Jilid 8
BAB 22. SEBELUM DAN SESUDAH MEMBUNUH
Tan-toakoan, Thio-losu, Ting-losu, sudah tentu sudah masuk semua, seolah-olah mereka sedang menunggu petunjuk Lok Siau-ka. Tapi Lok Siau-ka sebaliknya seperti tidak pernah melihat atau tahu akan kehadiran mereka. Sampai sekarang dia tetap tidak berpaling mengawasi mereka, namun berkata dingin, "Di sini adakah orang yang mau membayar uang kepadaku?"
"Ada, sudah tentu ada!" Tan-toakoan segera menjawab dengan mengunjuk tawa. "Apa yang kuinginkan kau bisa melaksanakan seluruhnya?" "Siau-jin akan berusaha sekuat tenaga." "Lebih baik kalau kau bekerja sekuat tenaga." "Silakan memberi petunjuk."
"Aku minta lima kati kacang, kacang goreng, tidak terlalu panas, tapi jangan setengah matang." Tan-toakoan segera mengiakan.
"Aku minta pula segentong air panas, gentong kayu yang tingginya enam kaki." Kembali Tan-toakoan mengiakan.
"Siapkan pula dua perangkat pakaian dalam yang serba baru, kain belacu atau kain kaci pun boleh."
"Dua perangkat?" tanya Tan-toakoan.
"Ya, dua perangkat, seperangkat kuganti untuk membunuh orang, habis membunuh ganti pula seperangkat yang lain."
"Ya," Tan-toakoan manggut-manggut.
"Kalau kacang-kacang itu ada sebutir saja yang busuk atau rusak, maka tanganmu akan kutabas kutung, kalau ada dua butir, jiwamu akan tamat."
Dingin bulu kuduk Tan-toakoan, tersipu-sipu dia mengiakan lagi.
Tiba-tiba Yap Kay bertanya, "Kau harus mandi dulu baru akan membunuh orang?" "Membunuh orang bukan membunuh babi, membunuh orang merupakan tugas suci bersih
yang menyenangkan."
"Orang yang harus kau bunuh memang harus menunggu kau mandi lebih dulu?"
"Dia boleh tidak usah menunggu, aku pun boleh mengutungi kakinya lebih dulu, setelah mandi baru kucabut jiwanya."
"Tak nyana sebelum kau membunuh orang, masih memerlukan banyak kesulitan." "Setelah aku membunuh orang masih ada juga kesulitannya."
"Kesulitan apa?"
"Kesulitan yang paling besar." "Perempuan?"
"Itulah ucapanmu kedua yang pintar!"
"Kesulitan paling besar bagi laki-laki memangnya perempuan, kukira laki-laki yang paling bodoh pun paham akan hal ini."
"Oleh karena itu maka kau harus menyediakan juga seorang perempuan, perempuan yang paling baik."
Tan-toakoan ragu-ragu, katanya, "Tapi bagaimana kalau nona baju merah itu kembali datang." Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, katanya, "Kau kuatir dia cemburu?"
"Bagaimana aku tidak akan takut, batok kepalaku ini kan gampang dikepruk sampai pecah." "Kau kira dia betul-betul sedang mencari aku?"
"Memangnya bukan kau yang dicari?"
"Bahwasanya selamanya belum pernah aku melihat orang seperti dia itu." Tan-toakoan melenggong, katanya, "Lalu tadi dia " Lok Siau-ka menarik muka, katanya, "Masakah kau tidak tahu bila dia memang sengaja hendak mencari gara-gara?" Tan-toakoan melongo.
"Tentu kalian sendiri yang membocorkan kabar ini, dia tahu aku hendak kemari, sengaja memburu datang lebih dulu."
"Untuk apa dia kemari?"
"Kenapa tidak kau tanya kepada dia?"
Tiba-tiba terpancar rasa takut dalam sorot mata Tan-toakoan, namun kulit mukanya sebaliknya sedang tersenyum palsu. Senyum palsu ini seolah-olah sudah diukir di kulit mukanya.
0oo0
Toko kain sutra milik Tan-toakoan tidak terhitung besar, tapi di kota kecil di pedalaman yang jauh dari keramaian kota besar sudah termasuk toko yang paling mentereng.
Sudah tentu toko kainnya hari ini jarang dikunjungi pembeli, maka kedua pembantu tokonya hari ini kelihatan duduk-duduk saja dengan malas, mereka mengharap hari lekas petang, supaya lekas pulang, kalau di toko mereka sebagai pelayan, di rumah mereka sebaliknya menjadi juragan.
Tidak lama Tan-toakoan berada di tokonya, begitu pulang lantas pergi pula tergesa-gesa menuju ke bilangan belakang. Setelah melewati sebuah pekarangan kecil, dia tiba di tempat tinggalnya sendiri. Selamanya tidak akan pernah terpikir olehnya di pekarangan kecil ini ada seseorang sedang menunggu kedatangannya.
0oo0
Dalam pekarangan kecil ini terdapat sebatang pohon cemara, Yap Kay sedang berdiri di bawah pohon ini, katanya dengan tersenyum, "Tidak menduga aku berada di sini?"
Tan-toakoan melengak, segera dia tertawa dibuat-buat, katanya, "Kenapa Yap-kongcu tak menemani Lok-tayhiap mengobrol? Bukankah kalian tadi bicara begitu asyik?"
"Kacang pun dia tidak mau berbagi kepadaku, perutku sudah kelaparan, seekor kuda pun bisa ku telan bulat-bulat."
"Aku buru-buru pulang hendak membikin api menggodok air, di dapur masih ada sedikit sisa makanan, kalau Yap-kongcu tidak merasa "
Yap kau lekas menukas, katanya, "Kabarnya Tan-toako pandai memasak sayur, agaknya hari ini aku beruntung dapat menikmati hidangannya."
Tan-toakoan menghela napas, ujarnya, "Sayang sekali kedatangan Yap-kongcu hari ini tidak kebetulan, beberapa hari ini dia lagi sakit."
"Lagi sakit?" Yap Kay mengerut kening.
"Sakitnya tidak ringan, sehari-hari rebah saja di ranjang tidak bisa bangun." Yap Kay tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Aku tidak percaya."
Tan-toakoan kembali melengak, katanya, "Buat apa aku harus membohongi Yap-kongcu?"
"Kemarin dia masih segar-bugar, bagaimana bisa hari ini tiba-tiba jatuh sakit? Ingin aku menengoknya, dia terserang penyakit apa?" dengan muka bersungut, dia sudah siap menerjang ke dalam rumah.
Tan-toakoan menundukkan kepala, katanya pelan-pelan, "Kalau demikian biar Cayhe bawa Yap-kongcu menengoknya." Betul juga dia bawa Yap Kay memasuki ruang tamu terus menuju ke kamar tidur, pelan-pelan membuka pintu sambil menyingkap kerai.
Cahaya dalam kamar tidur amat guram, kalau tidak mau dikatakan gelap, daun jendela tertutup rapat, kamar penuh ditaburi asap dupa yang berbau wangi. Seorang perempuan rebah di atas ranjang menghadap ke arah tembok, rambutnya awut- awutan, tubuhnya ditutup selimut tebal, kelihatannya memang orang sakit.
Yap Kay menghela napas, katanya, "Agaknya aku keliru menyalahkan kau."
"Tidak menjadi soal," ujar Tan-toakoan tertawa dibuat-buat.
"Cuaca begini panas, kenapa dia masih selimutan? Tak sakit bisa menjadi sakit."
"Mungkin dia terserang malaria, semalam badannya masih gemetar kedinginan meski sudah kututupi dua lapisan selimut tebal."
Yap Kay tertawa pula, katanya tawar, "Orang mati masakah masih bisa gemetar?" Belum habis dia bicara, tiba-tiba dia sudah menerjang masuk, terus menyingkap selimut. Warna merah melambari seluruh badan orang yang kaku dan tertutup selimut. Darah memang berwarna merah! Badan orang ternyata sudah kaku dingin.
0oo0
Pelan-pelan Yap Kay menutup pula jenazah orang dengan selimut itu, seolah-olah takut kalau membikin kaget perempuan ini. Dia anggap orang selamanya tidak akan bangun lagi. Yap Kay menghela napas, pelan-pelan dia berpaling muka.
Tan-toakoan masih berdiri di tempatnya, senyuman dingin dan sadis menghiasi mukanya, seolah senyuman ini sudah terukir di kulit mukanya.
Kata Yap Kay setelah menghela napas, "Agaknya selamanya aku takkan beruntung menikmati hidangan Tan-toaso lagi."
"Orang yang sudah mati memang tidak bisa masak lagi," ujar Tan-toakoan dingin. "Dan kau?"
"Aku bukan orang mati."
"Tapi kau juga patut demikian!" "O, masa?"
"Karena aku sudah melihatmu di dalam peti mati."
Kelopak mata Tan-toakoan seperti meronta-ronta, roman mukanya tetap tersenyum yang memang sudah terukir di kulit mukanya.
Kata Yap Kay, "Untuk menyaru jadi Tan-toakoan memang bukan tugas yang sulit, karena orang itu setiap saat selalu tersenyum palsu, memang mukanya seolah-olah mengenakan kedok."
"Oleh karena itu orang ini pantas mati," jengek Tan-toakoan.
"Tapi betapapun mirip samaranmu, kau tak akan bisa mengelabui bininya, tiada kepandaian tata rias yang begitu lihai dan misterius di dunia, ini."
"Oleh karena itu bininya itu patut juga dibikin mampus."
"Aku hanya heran, kenapa kalian tidak memasukkan sekalian mayat istrinya ke dalam peti mati?"
"Kalau ada orang tidur di sisi kan lebih baik, supaya pelayan-pelayan toko tidak curiga." "Kau tidak mengira bila ada orang lain mencurigai kau?"
"Memang tidak kuduga."
"Oleh karena itu aku pun pantas dibikin mampus."
"Hakikatnya persoalan ini sebenarnya tiada sangkut-pautnya dengan kau." "Aku mengerti, tujuan kalian hanya untuk menghadapi Pho Ang-soat." Tan-toakoan manggut-manggut, ujarnya, "Dia memang patut mampus!" "Kenapa?"
"Kau tidak mengerti?"
"Setiap musuh Ban-be-tong harus mampus?" Terkancing mulut Tan-toakoan.
"Kalian orang-orang undangan Ban-be-tong?"
Semakin kencang mulut Tan-toakoan. Tapi sekarang jari-jarinya sudah terlepas, semula tangannya kosong, kini melesatlah segulung sinar dingin bagai hujan deras dari tangannya.
Tepat pada waktu yang sama, dari luar jendela juga melesat masuk setitik sinar bintang laksana perak, mendadak berpencar laksana kembang bertaburan di pucuk pohon.
Setitik sinar perak mendadak berubah menjadi bintik-bintik kembang yang bertaburan, dimana sinar-sinar perak itu menyambar, sinarnya yang menyala membuat orang sukar membuka mata untuk melihatnya.
Tapi pada saat itu pula sebilah pisau kecil tahu-tahu sudah menghujam ke tenggorokan Tan- toakoan. Sampai ajalnya tetap tidak melihat darimana datangnya pisau kecil yang menamatkan jiwanya.
0oo0
Pisau itu tidak terlihat, namun senjata-senjata gelap itu terlihat dengan jelas. Kalau senjata- senjata gelap itu kelihatan jelas, tapi bayangan Yap Kay tiba-tiba menghilang tak keruan paran. Kejap lain, bintik-bintik sinar perak yang bertaburan di dalam kamar pun mulai mereda dan kuncup seluruhnya. Bayangan Yap Kay tetap tidak kelihatan.
Angin menghembus di luar jendela, namun sudah tidak terdengar lagi dengus napas di dalam kamar. Lama berselang, mendadak sebuah tangan pelan-pelan mendorong daun pintu, sebuah tangan yang elok, jari-jarinya panjang, kukunya juga terpelihara dengan baik. Tapi lengan bajunya justru amat kotor, kumal, dekil berminyak lagi.
Tangan ini terang bukan tangan Thio-losu, namun lengan baju itu adalah lengan baju Thio-losu, seraut wajah tiba-tiba menongol masuk, itulah muka Thio-losu. Dia tetap tidak melihat bayangan Yap Kay, namun dia melihat pisau di tenggorokan Tan-toakoan.
Mendadak jari-jarinya mengejang. Tahu-tahu tenggorokannya sendiri pun mendadak tertusuk sebilah pisau kecil. Sampai ajal dia tetap tidak melihat pisau ini.
0oo0
Pisau yang sudah menancap di tenggorokan orang lain sudah tentu tidak berbahaya lagi sudah tentu dia bisa melihatnya dengan jelas. Sayang sekali, dia hanya melihat pisau yang itu saja.
Apa benar hanya pisau yang tidak kelihatan baru benar-benar menakutkan?
Seenteng asap melayang Yap Kay meluncur dari atas langit-langit rumah, terlebih dulu dia jemput masing-masing satu macam senjata rahasia, dua batang senjata rahasia tergenggam di tangannya, baru pelan-pelan dia mencabut pisaunya sendiri. Dengan nanar dia awasi pisaunya sendiri, sikap dan mimik wajahnya tiba-tiba jadi serius, begitu seriusnya seolah-olah dia amat segan dan menghormatinya.
"Aku pasti tidak akan menyuuruh kau membunuh orang yang tidak pantas mampus, aku berjanji, orang-orang yang kubunuh adalah manusia yang memang pantas menemui ajalnya."
0oo0 Song-lopan atau juragan Song sudah membuka mata.
Dalam kamar hanya ada dua orang, keduanya tidur di atas ranjang, salah seorang perempuan tidur menghadap ke dalam tembok, cara tidurnya mirip dengan istri Tan-toakoan, cuma rambut kepalanya sudah ubanan.
Memang usia mereka suami istri sudah cukup lanjut. Setelah dalam kamar itu terdengar suara orang ketiga, kedua biji mata juragan Song baru terpentang lebar. Yang pertama-tama dilihatnya adalah sebuah tangan. Di antara jari-jari tangan ini terdapat dua benda yang aneh, sebuah mirip dengan duri rumput liar di tengah pegunungan, sebuah yang lain seperti kelopak kembang yang terbuat dari air raksa. Waktu dia mengangkat kepalanya, baru dilihatnya Yap Kay.
Karena inipun guram, namun kedua biji mata Yap Kay justru terang laksana dua pelita, kedua pelita tajam ini sedang menatap dirinya, katanya, "Kau tahu apakah ini?"
Juragan Song geleng-geleng kepala, sorot matanya memancarkan keheranan dan ketakutan, lehernya pun serasa kaku.
"Inilah senjata rahasia." "Senjata rahasia?"
"Senjata rahasia adalah senjata yang dapat membunuh orang secara menggelap." Entah mengerti atau tidak penjelasan ini, yang terang juragan Song manggut-manggut.
"Kedua macam senjata rahasia ini masing-masing dinamakan Ngo tok-ji-ih-bong dan Hwe-ji- gin-hoa, keduanya adalah senjata rahasia tunggal milik Hoa Hong (tawon kembang) dan Phoa Ling."
Juragan Song menjilati bibirnya yang kering, katanya tertawa dibuat-buat, "Nama besar Tayhiap ini belum pernah kudengar."
"Mereka bukan Tayhiap." "Bukan?"
"Mereka adalah maling rendah yang paling kotor, maling pemetik bunga (tukang perkosa)." Sampai di sini Yap Kay menarik muka, katanya lebih lanjut, "Selamanya aku menghargai jiwa orang lain, tapi orang-orang kotor dan rendah seperti mereka menjadi kekecualian bagiku."
"Aku tahu, tiada orang yang tidak membenci maling cabul."
"Tapi mereka adalah lima aliran terendah yang paling suka menggunakan senjata rahasia jahat."
"Lima orang maksudmu?"
"Kelima orang ini dijuluki Kangouw-ngo-tok (lima racun dari Kangouw), kecuali orang yang kusebut tadi, masih ada tiga orang lagi yang lebih jahat dan berbisa."
"Apakah kelima orang ini sama-sama sudah datang?" "Mungkin satu pun tiada yang ketinggalan."
"Kapan sih mereka datang?"
"Kemarin lusa, yaitu pada waktu ada orang membawa peti-peti mati itu kemari." "Kenapa aku tidak melihat adanya lima orang asing yang datang ke kota kecil ini?"
"Yang datang pada hari itu bukan hanya kelima orang ini saja, cuma mereka semua bersembunyi di dalam peti mati, maka tiada orang dalam kota ini yang melihat mereka."
"Si Bungkuk itu mengantar peti mati kemari, apakah tujuannya hendak mengangkut pula orang-orang itu kemari?"
"Mungkin demikian." "Apakah sekarang mereka masih bersembunyi dalam peti mati?" "Sekarang peti-peti mati itu sudah berisi mayat-mayat tulen."
"Jadi mereka sudah mampus semuanya," juragan Song menghela napas lega.
"Sayang sekali bukan mereka yang mampus, semuanya orang lain." "Bagaimana mungkin bisa orang lain?"
"Karena waktu mereka keluar, lalu mengganti orang lain masuk kesana " "Siapa saja yang menggantikan mereka?"
"Sekarang aku baru tahu Hoa Hong adalah Tan-toakoan, Phoa Ling menggantikan Thio-losu." "Mereka ... cara bagaimana mereka menukar diri?"
"Di dunia ini ada seorang, sebenarnya dia ahli di bidang tata rias." "Siapa?"
"Sebun Jun."
Juragan Song mengerut kening, katanya, "Siapa pula gerangan Sebun Jun? Kenapa selamanya tidak pernah kudengar?"
"Sekarang aku juga ingin tahu siapa sebenarnya dia itu, tapi cepat atau lambat, akhirnya aku pasti berhasil menemukannya "
"Menurut katamu dia bikin Hoa Hong menyaru jadi Tan-toakoan, Phoa Ling menyaru jadi Thio- losu?"
Yap Kay manggut-manggut, katanya, "Sayang sekali betapapun tinggi teknik dan ahlinya seseorang menggunakan tata riasnya, dia tidak akan bisa mengelabui sanak-kadangnya sendiri, oleh karena itu orang pertama yang terpilih oleh mereka adalah Thio-losu."
"Kenapa?"
"Karena bukan saja Thio-losu tidak punya sanak-kadang, dia pun tidak punya teman, apalagi jarang mandi, orang yang berani bergaul dan berdekatan dengannya memangnya tidak banyak jumlahnya "
"Oleh karena itu umpama dia berubah apa pun, takkan ada orang yang memperhatikan." "Sayang sekali, orang-orang seperti Thio-losu dan Ting-losu di dalam kota kecil ini hanya ada
beberapa orang saja."
"Kenapa mereka memilih juga Tan-toakoan?" "Karena dia yang mau mendekatinya."
"Tapi dia kan punya istri."
"Maka istrinya itu harus mampus."
Juragan Song geleng-geleng kepala, "Itulah yang dinamakan menutup pintu duduk di dalam rumah, bencana datang dari langit."
Dengan menghela napas, dia bergerak hendak duduk, tapi Yap Kay lantas menekan pundaknya, katanya, "Aku sudah banyak menceritakan kejadian ini kepadamu, maka ada sebuah pertanyaan ingin juga kutanyakan kepadamu."
"Silakan berkata."
"Bahwa Thio-losu ternyata adalah Phoa Ling dan Tan-toakoan alias Hoa Hong, lalu kau siapa?"
Juragan Song melenggong, katanya tergagap, "Aku she Song, dipanggil Song-toaya, namun belakangan jarang ada orang memanggil namaku." "Apakah karena semua orang tahu bahwa kau ini bangkotan licin dan licik, maka tiada orang mencari perkara dan bergaul dengan kau."
Juragan Song tertawa dipaksakan, katanya, "Untung sekali mereka belum mengincar diriku untuk menjadi duplikat mereka "
"O? Masa?"
"Kupikir, Yap-kongcu tentu tidak beranggapan aku inipun samaran palsu." "Kenapa bukan?"
"Istri tuaku ini sudah hidup puluhan tahun bersamaku, memangnya dia tidak bisa membedakan aku ini tulen atau palsu?"
"Kalau dia memang sudah menjadi mayat, sudah tentu takkan bisa membedakan dirimu." "Memangnya kau kira aku sudi tidur seranjang dengan sesosok mayat?"
"Perbuatan apa saja yang tidak pernah kalian lakukan? Jangan kata hanya orang mati, umpama mayat seekor anjing " belum dia bicara habis, nenek ubanan yang tidur di bagian dalam ranjang
tiba-tiba menghela napas panjang sambil menggeliat membalik badan. Kata-kata Yap Kay tidak diteruskan lagi.
Orang mati sedikitnya tidak mungkin bisa menggeliat, terdengar pula nenek ubanan ini mengigau seperti bicara apa-apa di alam mimpinya orang mati sudah tentu tidak bisa
mengigau.
Tangan Yap Kay sudah ditarik mundur.
Terpancar sinar puas dan senang pada sorot mata juragan Song, katanya, "Perlahan Yap- kongcu membangunkan dia, boleh kau tanya langsung kepadanya."
Terpaksa Yap Kay menyeringai kikuk, katanya, "Tidak usahlah!"
Akhirnya juragan Song bangun berduduk, katanya tertawa, "Kalau begitu silakan Yap-kongcu duduk di ruang tamu untuk menikmati secangkir teh."
"Ah, bikin repot saja, tidak usahlah!" seperti tidak enak tinggal lama-lama lagi di situ, dia sudah siap hendak tinggal pergi, siapa tahu mendadak juragan Song mencengkeram lengan nenek ubanan itu terus diangkatnya dan dilempar ke arah Yap Kay.
Sudah tentu perbuatannya ini amat di luar dugaan, baru saja Yap Kay kebingungan, apa perlu dia mengulur tangan menyambut lemparan badan orang. Pada saat itu pula, dari dalam selimut tadi mendadak menyembur keluar segulung asap tebal.
Asap tebal yang berwarna ungu muda itu seolah-olah kabut pagi yang ditimpa sinar surya di waktu fajar baru menyingsing, begitu indah dan menakjubkan.
Baru saja Yap Kay menyanggah badan nenek ubanan itu, terus diangsur kembali ke atas ranjang, namun dia sendiri sudah terselubung di dalam kabut ungu yang tebal itu.
Mengawasi orang, sorot mata Song-lopan menyorotkan rona sadis dan bengis, dia tunggu orang roboh di bawah kakinya
0oo0
Ternyata Yap Kay tidak roboh seperti yang diharapkan. Setelah kabut tebal itu sirna, juragan Song masih tetap melihat sinar mata Yap Kay tetap terang menyala.
Sungguh merupakan suatu keajaiban. Siapa pun asal mengendus sedikit Hoa-kut-ciang, manusia besi pun akan menjadi lumpuh tak bertenaga lagi. Sekujur badan juragan Song menjadi kaku mengejang karena dijalari rasa takut yang mencekam sanubarinya. Yap Kay balas mengawasinya, katanya pelan-pelan dengan menghela napas, "Ternyata memang kau."
"Kau sudah tahu siapa aku sebenarnya?"
"Kalau tidak tahu, sekarang aku sudah roboh terkapar." "Jadi sebelum kemari kau sudah siap siaga?"
"Bahwa aku sudah bicara panjang lebar dengan kau, sudah tentu kau tidak akan membiarkan aku berlalu demikian saja, jika tidak siap sedia, masakah aku berani meluruk kemari?"
Juragan Song mengertak gigi, katanya, "Tapi aku tak habis mengerti cara bagaimana kau mampu melawan kekuatan Hoa-kut-ciang."
"Kau boleh memikirkannya sendiri." Bersinar lagi biji mata Song-lopan.
"Asal kau mau membeberkan siapa yang merias dirimu, mungkin kau masih bisa berpikir sepuluh atau dua puluh tahun."
"Kalau tidak kukatakan?"
"Kalau begitu selamanya kau takkan punya kesempatan untuk berpikir lagi."
Song-lopan menatapnya, katanya dingin, "Mungkin hakikatnya aku tidak perlu berpikir, mungkin aku pun bisa memaksa kau mengatakan."
"Sedikit kesempatan pun kau sekarang tiada lagi”ancam Yap Kay. "O."
"Asal tanganmu bergerak, seketika aku bisa membikin kau mampus di atas ranjang," tutur katanya lemah lembut, namun nadanya mengandung keyakinan yang menggiriskan orang yang diancam, siapa pun tak berani untuk tidak mempercayai ancaman ini.
Kata Song-lopan dengan menghela napas, "Sebetulnya siapakah kau, aku tidak tahu, tapi aku percaya kepadamu."
"Aku tanggung kau tidak akan kecewa," ujar Yap Kay tertawa.
"jika tidak kubeberkan, selamanya kau tidak akan tahu siapa " kata-katanya tidak sempat
habis diucapkan. Sekonyong-konyong sekujur badannya tiba-tiba gemetar dan mengejang, sorot matanya berubah jadi kelabu lalu hitam, mirip benar dengan dua pelita yang tiba-tiba padam karena kehabisan minyak.
Sebat sekali Yap Kay menerjang maju. Maka dilihatnya sebatang jarum menancap di atas jidatnya. Sebarang jarum yang berwarna hijau keputihan.
Toh-popo turun tangan lagi! Ternyata dia memang belum mati
Dimanakah dia? Apakah dia menyamar jadi istri juragan Song ini? Tapi nenek ubanan ini terang sudah lumpuh, napasnya pun berhenti, memangnya Hoa-kut-ciang tidak bisa dilawan oleh siapa pun seperti keadaan Yap Kay sekarang.
Darimana Toan-yang-ciam ini ditimpukkan? Waktu Yap Kay angkat kepala, maka dilihatnya sebuah pintu angin di langit-langit rumah, daun pintunya sudah tersingkap terbuka.
Dia tidak segera menerjang naik ke atas. Dia cukup tahu macam apa sebenarnya senjata rahasia seperti Toan-yang-ciam itu.
Darimana tadi dia masuk ke kamar tidur ini, sekarang dari sana pula dia keluar. Karena dia tahu jalan yang ditempuhnya ini paling aman.
0oo0 BAB 23. BUNYI KELINTINGAN
Di bilangan luar tembok terdapat pula sebuah pekarangan kecil.
Waktu Yap Kay mengundurkan diri dan keluar dari pintu, sinar surya masih tetap cermelang, seekor kucing tengah mengawasi seekor kupu-kupu yang sedang menari-nari di atas rumput kembang di pojok tembok sana. Ingin menangkapnya, tapi agaknya malas bergerak.
Sudah tentu tiada bayangan seorang pun di atas rumah.
Yap Kay tahu di atas rumah pasti takkan bisa menemukan bayangan orang, sudah tentu Toh- popo tidak begitu goblok masih menunggunya di atas sana.
Tiba-tiba dia menghela napas, dia merasakan dirinya mirip dengan kucing jantan itu, dikiranya asal dirinya mau turun tangan, dengan mudah akan bisa menangkap kupu-kupu itu.
Sebetulnya umpama kucing itu tidak malas, tetap dia tidak akan bisa menangkap kupu-kupu itu. Kupu-kupu bukan tikus, kupu-kupu bisa terbang.
0oo0
Kupu-kupu terbang lebih tinggi, sekonyong-konyong sepasang tangan terulur masuk dari luar tembok, "Plak", kupu-kupu itu tahu-tahu sudah terjepit di antara kedua telapak tangannya.
Kupu-kupu menghilang, tangan itupun lenyap. Tapi di atas tembok tahu-tahu duduk seseorang.
Di luar tembok ternyata adalah sebuah sawah ladang yang sudah lama telantar, entah yang ditanam di sana gandum atau kapuk. Di tanah tandus seperti ini, tanaman apa pun yang kau tanam di sini, pasti tidak akan menghasilkan panen yang memuaskan, tapi toh tanah di sini tetap dicangkul dan ditanami apa saja yang bisa tumbuh. Itulah kehidupan.
Semua orang harus hidup, setiap orang harus berdaya-upaya untuk hidup.
Di tengah-tengah ladang telantar ini terdapat sebuah bangunan rumah kecil yang bobrok, penghuninya adalah keluarga yang paling muskin di tanah tandus yang serba kekurangan ini. Maka anak-anak kecil yang tumbuh dan dilahirkan dari rumah kecil reyot ini, semuanya memiliki roman muka yang pucat hijau seperti warna sayur.
Akan tetapi anak betapapun tetap anak. dia tetap tumbuh menjadi dewasa dengan riang dan lincah.
Saat itu kebetulan ada tujuh delapan anak-anak tengah berjajar membundar berdiri mengelilingi pohon dengan membelalakkan mata mengawasi seseorang yang duduk di bawah pohon.
Yap Kay yang sedang duduk di atas tembok pun sedang mengawasi orang ini. Orang ini memiliki raut muka bundar, biji mata yang besar, kulit badannya putih laksana salju, kalau tertawa tampak lesung pipit pada kedua pipinya.
Perempuan ini belum terhitung amat cantik, tapi tak usah disangsikan bahwa dia ini seorang gadis elok yang lincah dan Jenaka.
Waktu itu dia mengenakan gaun panjang warna putih yang terbuat dari kain halus dan lemas semampai, di atas lehernya yang jenjang dan putih itu mengenakan kalung gelang warna kuning yang terbuat dari emas, pada kalung gelang emas ini tergantung pula dua buah kelintingan emas.
Kedua tangannya masing-masing juga mengenakan gelang bundar emas, di atas gelang tangannya itupun tergantung masing-masing dua kelintingan emas, bila angin menghembus, kelintingan yang tergantung di badannya itu lantas bersuara nyaring dan merdu.
Tapi tadi dia tidak berpakaian seperti ini, tadi dia mengenakan seperangkat pakaian serba merah yang kebesaran. Kalau tadi dia berdiri di atas tiang bendera, sekarang dia duduk di bawah pohon. Di hadapannya menyanding sebuah meja kayu yang sudah hampir rusak, di atas meja pendek ini tertata sebuah anak-anakan kecil terbuat dari tanah liat yang mengenakan pakaian merah, sebuah medali perak yang diukiri kembang, sebuah mainan kalung dari batu akik, sebuah rantai yang berwarna-warni, sepasang dompet yang bersulam daun dan kembang teratai, sebuah sangkar burung dan sebuah tempayan ikan. Kupu-kupu yang baru saja dia tangkap juga berjajar di antara barang-barang itu.
Siapa pun takkan tahu darimana gadis ini membawa barang-barang itu kemari. Anehnya, di dalam sangkar burung itu terdapat sepasang burung kenari, demikian pula di tempayan itu terdapat beberapa ekor ikan mas.
Anak-anak yang mengelilingi dan mengawasinya itu, seolah-olah sedang mengawasi bidadari yang baru saja turun dari kahyangan.
Gadis itu bertepuk tangan, lalu katanya tertawa, "Baik, sekarang kalian boleh berbaris, satu per satu maju ke depan memilih barang, tapi satu orang hanya boleh mengambil satu, yang tamak dan nakal akan kuhajar pantatnya."
Anak-anak itu ternyata amat patuh dan mendengar aba-abanya. Anak pertama beranjak maju, setengah harian matanya terbelalak mengawasi barang-barang di depannya, sekian lama dia menjublek, karena semua barang-barang yang terpampang di depannya belum pernah dilihatnya, boleh dikata dia sudah kabur dan bingung melihatnya, tapi akhirnya dia toh memilih medali perak itu.
Anak kedua memilih sepasang burung kenari.
Gadis cantik bermata besar itu berkata dengan tertawa, "Bagus, pilihan kalian baik sekali, kelak pasti bisa belajar berdagang, yang lain bisa belajar sekolah dan jadi penyair yang kenamaan."
Kedua anak itu tertawa lebar, tertawa riang gembira.
Anak ketiga adalah perempuan, yang dia pilih adalah dompet bersulam itu.
Anak keempat berusia paling kecil, ingusnya masih meleleh keluar, sekian lama dia celingukan pilih sana-sini, akhirnya dia memilih kupu-kupu mati itu.
Gadis itu mengerut alis, katanya, "Kau tahu apakah ini?"
Anak itu manggut-manggut, sahutnya, "Kupu-kupu yang telah mati." "Tahukah kau barang yang lain lebih bagus dari kupu-kupu mati ini?" Anak itu manggut-manggut.
"Kenapa tidak kau pilih lain barang, kenapa kau ambil kupu-kupu mati ini?"
Anak itu menyeka ingusnya dengan tangan, sahutnya ragu-ragu, "Karena bila aku memilih barang yang lain, mereka pasti mencari akal untuk merebutnya, aku tidak unggulan berkelahi dengan mereka, barang yang tidak baik ini pasti tidak akan direbutnya, aku bisa bermain beberapa hari dengan aman dan tenteram."
Gadis mata besar mengawasinya, tiba-tiba tertawa, katanya, "Tak kukira kau bocah sekecil ini sudah begini pintar."
Merah muka anak itu, dia menundukkan kepala.
Kata gadis itu sambil mengedip mata, "Aku kenal satu orang, cara berpikirnya boleh dikata persis dengan kau."
Tak tahan tanya anak itu, "Dia pun bukan tandingan orang lain?"
"Dulu dia selalu kalah melawan orang, maka dia pun seperti kau, selalu rela diri sendiri yang rugi dan menderita."
"Belakangan bagaimana?"
"Lantaran itu maka dia giat mempelajari ilmu dan kepandaian, sekarang tiada orang yang berani melawannya lagi." Anak itu tertawa senang, katanya, "Sekarang semua barang yang baik pasti sudah menjadi miliknya."
"Benar, oleh karena itu bila kau ingin memiliki barang-barang baik, maka kau harus belajar seperti dia, kejarlah ilmu dan tuntutlah kepandaian, kau paham?"
"Aku tahu, seseorang bila tidak ingin dihina dan dianiaya orang, maka dia sendiri harus punya kepandaian."
"Benar sekali," puji si gadis, lalu dari tangannya dia menanggalkan sebuah kelintingan emas, katanya, "Nih kuberikan kepadamu, jika ada orang merebut milikmu ini, laporkan kepadaku, biar kuhajar pantatnya."
Ternyata anak itu geleng-geleng kepala, katanya, "Sekarang aku tidak mau." "Kenapa?"
"Karena kau pasti akan pergi, kalau kuterima, cepat atau lambat toh bakal mereka rebut, kelak bila aku sudah punya kepandaian, sudah tentu aku bakal memiliki banyak barang."
"Bagus," seru gadis itu bertepuk tangan, "Kau bocah ini kelak pasti jempolan."
"Apakah aku bisa menyerupai temanmu itu?" tanya si anak dengan berkedip-kedip mata. "Betul sekali," sahut si gadis, tiba-tiba dia membungkukkan badan mencium pipi si anak kecil
mungil ini.
Dengan muka merah bocah ini segera berlari pergi, tapi beberapa langkah kemudian dia berhenti dan berpaling, tanyanya pula, "Orang yang mengejar ilmu dan menuntut kepandaian itu siapa namanya?"
"Kenapa kau tanyakan namanya?"
"Karena aku akan belajar seperti dia, maka namanya harus kuukir dalam sanubariku." Berkedip-kedip mata si gadis, sahutnya lembut, "Baik, kau ingat, dia she Yap dan bernama
Kay."
0oo0
Akhirnya bocah-bocah itu berlalu seluruhnya.
Gadis itu menggeliat dan memuntir pinggang, badannya menggelendot ke batang pohon di belakangnya, sepasang matanya yang besar dan bening tengah mengerling ke arah Yap Kay.
Yap Kay sedang tersenyum simpul.
Kata si gadis dengan mengerling penuh arti, "Apa yang kau banggakan? Aku hanya menyuruh setan kecil yang masih ingusan untuk belajar seperti dirimu saja."
"Sebetulnya dia lebih patut kalau belajar seperti kau." "Apaku yang harus dia pelajari?"
"Asal melihat barang baik, ambil dulu urusan belakang, peduli akhirnya direbut orang atau tidak?"
Gadis itu menggigit bibir, melotot kepadanya, lama juga baru dia berkata pelan-pelan, "Tapi kalau memang barang yang kusukai, umpama ada orang berani merebutnya, cepat atau lambat aku pasti akan merebutnya kembali, merebutnya kembali meski harus mempertaruhkan jiwa dan raga."
Yap Kay tertawa getir, katanya menghela napas, "Tapi barang apa saja yang sudah diincar dan disenangi oleh Ting-toasiocia, memangnya siapa yang berani merebutnya?"
Gadis itu tertawa cekikikan, katanya tersenyum lebar, "Mereka tidak datang merebutnya, terhitung nasib mereka yang mujur." Saking gelinya dia tertawa terpingkal-pingkal, semua kelintingan di badannya sampai tergoncang dan berbunyi nyaring. Dia atau gadis mata besar ini bernama Ting Hun-pin. Maka kelintingan di badannya itupun dinamakan kelintingan milik Ting Hun-pin.
0oo0
Kelintingan Ting Hun-pin ini bukanlah barang mainan seperti mainan umumnya, barang mainan ini tidak boleh dibuat main-main dengan sembarangan.
Bukan saja barang mainan ini tidak lucu dan menggelikan, malah boleh dikata amat menakutkan.
Sebetulnya orang-orang persilatan di Kangouw boleh dikata jeri dan ketakutan menghadapi kelintingan milik Ting Hun-pin ini.
Tapi Yap Kay terang tidak perlu menakutinya. Seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang bisa membuatnya takut.
Setelah tertawa Ting Hun-pin lantas mengawasinya dengan mendelik, serunya, "Hai, kau sudah lupa belum?"
"Lupa apa?" tanya Yap Kay.
"Urusan yang kau minta agar aku mewakilkan kau menyelesaikan itu, jelek-jelek aku sudah menyelesaikan tugasku dengan baik."
"O, soal tugas apa?"
"Kau suruh aku menyaru jadi Lok Siau-ka, untuk menyelidiki asal-usul orang-orang itu." "Agaknya kau tidak berhasil mencari tahu siapa mereka sebenarnya."
"Hal ini tidak boleh kau salahkan aku."
"Tidak salahkan kau, memangnya harus menyalahkan siapa?"
"Salahmu sendiri, kau sendiri yang bilang dia tidak akan datang begitu cepat." "Pernah aku bilang demikian?"
"Kau malah bilang, umpama dia sudah datang, kau pun takkan dirugikan." "Memang kau agaknya tidak dirugikan."
"Tapi kapan aku pernah dibuat malu oleh orang demikian?"
"Siapa suruh kau tidak mau bekerja dengan baik. pintarmu hanya menyalahi orang lain melulu." Tiba-tiba biji mata Ting Hun-pin mendelik bundar lebih besar dari kerlingannya, serunya keras,
"Orang lain? Siapa orang lain yang kau maksud? Memangnya apa hubunganmu dengan dia?
Sampai sekarang kau masih bicara membelanya?"
Yap Kay geleng-geleng dengan tertawa getir, "Paling tidak dia toh tidak berbuat salah kepadamu."
"Meski dia tidak salah kepadaku, tapi melihat dia berdiri di sampingmu, aku merasa terlalu menyolok pandangan." Orang lain pasti mengira dia sedang cemburu kepada Lok Siau-ka, siapa tahu ternyata lantaran Yap Kay. Jadi kata-kata yang dilontarkan kepada Lok Siau-ka tadi, hakikatnya dia tujukan kepada Yap Kay.
Dengan melotot dan bertolak pinggang, sikapnya lebih garang, katanya pula, "Sudah tiga bulan lebih aku mengejarmu, dengan susah-payah baru kutemukan kau di sini, kau minta aku menyaru jadi malaikat meniru setan, aku pun menurut saja, dalam hal apa kurang memuaskan hatimu, hayo katakan!"
Apa pula yang masih bisa dikatakan oleh Yap Kay? Dengan jengkel Ting Hun-pin membanting kaki, begitu kakinya bergerak suara kelintingan segera berdenting, jadi kakinya pun ada kelintingan, tapi kata-katanya lebih cepat dan lebih nyaring dari suara kelintingannya.
Umpama Yap Kay ada maksud hendak bicara, dia toh tiada kesempatan untuk bicara. "Kutanya kau, terang kau hendak menghadapi Ban-be-tong. kenapa membantu putrinya juga?
Sebetulnya budak itu punya hubungan rahasia apa dengan kau?"
"Hubungan apa pun tiada," sahut Yap Kay.
"Baik, kau sendiri yang bilang, kalau kalian tiada hubungan apa-apa. biar sekarang juga kuluruk dia dan membunuhnya." Setiap patah kata yang pernah diucapkan oleh Ting-toasiocia, selamanya pasti dilaksanakan.
Tersipu-sipu Yap Kay melompat turun, katanya sembari mencegah dan mengalinginya, "Entah berapa banyak gadis-gadis yang pernah kukenal memangnya kau hendak membunuh mereka semua?"
"Aku hanya bunuh yang satu ini?" "Kenapa?"
"Aku senang."
"Baiklah, sebetulnya apa kehendakmu atas diriku?"
"Aku ingin kau apa? Memangnya apa yang kuinginkan lantas kau mau menurut?"
"Asal apa yang kau minta masuk akal dan tidak kelewat batas, apa pun keinginanmu pasti kupenuhi."
"Apa benar?" "Ehm!"
Berputar biji mata Ting Hun-pin, katanya, "Pertama, aku ingin selanjutnya kemanapun kau pergi, jangan kau tinggalkan aku."
"Ehm, baik!"
Biji mata Ting Hun-pin yang besar menyipit, dengan memicingkan mata dia mengawasi Yap Kay, sementara barisan giginya yang putih seperti biji mentimun itu menggigit bibir, katanya sambil mengerling, "Masih ada, kau harus menggandeng tanganku, berjalan-jalan satu putaran di dalam kota, supaya penduduk kota tahu aku adalah ... adalah temanmu, kau mau tidak?"
Yap Kay menghela napas, katanya dengan kecut, "Jangan kata hanya menggandeng tanganmu, umpama aku harus menggandeng kakimu pun tiada halangannya."
Ting Hun-pin tertawa riang. Bila dia tertawa, kelintingan di badannya segera berbunyi nyaring, senyaring suara cekikik tawanya.
Tatkala itu segulung angin sedang menghembus, terasa sepoi-sepoi, hawa segar dan nyaman.
Dalam keadaan seperti ini, suara kelintingan Ting Hun-pin kedengarannya sungguh amat mengasyikan.
0oo0
Terik matahari.
Bumi seolah-olah dipanggang menjadi panas dan merekah, sepanas roti yang baru dikeluarkan dari tungku panggangan.
Be Hong-ling sedang mengeprak kudanya sekencang-kencangnya, membedal di padang rumput.
Padang rumput nan luas, langit cerah tak berujung pangkal. Butiran keringat berderet-deret mengalir turun laksana mutiara melalui ujung hidungnya, bertetesan, seluruh badannya seolah-olah sedang dipanggang di atas tungku. Hakikatnya dia tidak tahu sekarang dirinya hendak menuju kemana. Sampai sekarang baru dia benar-benar meresapi betapa dirinya harus dikasihani mendadak timbul rasa iba dan simpatik terhadap keadaan dirinya yang serba kasihan.
Walaupun dia punya rumah, tapi tiada seorang pun keluarga di rumahnya yang betul-betul mau memahami dirinya. Sim Sam-nio tinggal pergi, sekarang ayahnya menghilang entah kemana.
Bagaimana dengan teman-teman? Tiada seorang pun yang menjadi temannya, para gembala kuda itu terang bukan, Yap Kay ... lebih baik kalau Yap Kay mampus saja.
Mendadak dia menyadari bahwa dirinya seolah-olah sebatangkara di dunia ini, tiada seorang pun yang menjadi saudaranya lagi. Perasaan yang mencekam sanubarinya ini boleh dikata hampir membuatnya gila.
0oo0 BAB 24. TERIK MATAHARI MENYINARI PANJI SAKTI
"Koan-tang-ban-be-tong!"
Bendera besar yang bertuliskan kelima huruf menyolok ini berkibar-kibar dengan megahnya di tengah angkasa.
Jika kau berdiri di padang rumput, melihatnya dari kejauhan, ada kalanya kau akan merasa mirip sepasang kekasih yang harus berpisah, sedang melambaikan sapu tangan di kejauhan.
Kelima huruf besar yang menyolok dengan warna merah itu, mirip benar dengan cucuran darah sang kekasih.
Air mata dan darah.
Bukankah kelima huruf menyolok itu hasil dari sulaman air mata dan darah.
Saat itu berdiri seseorang di tengah padang rumput, diam-diam mengawasi bendera besar yang berkibar-kibar ini. Perawakannya rada kurus tapi kekar dan kuat, namun seolah-olah membawa gambaran sunyi dan sebatangkara.
Langit membiru, rumput tumbuh subur menjulang tinggi, dia berdiri di sana, mirip sebatang pohon yang tumbuh dengan kekar dan kuat di padang rumput. Pohon pun kuat dan kekar, sebatangkara pula. Entahlah apakah pohon itu juga merasa menderita dan dendam seperti perasaan yang bergejolak dalam benaknya.
Be Hong-ling dari kejauhan sudah melihatnya, melihat golok hitam di tangannya. Bayangan orang yang samar-samar, golok yang membawa firasat jelek.
Tapi begitu Be Hong-ling melihatnya, dalam lubuk hatinya yang paling dalam tiba-tiba timbul rasa hangat yang tak bisa diutarakan, seolah-olah baru saja secangkir arak pahit yang keras dan panas dia tuang ke dalam tenggorokannya. Semestinya tidak pantas dia punya perasaan seperti ini.
Seorang yang tidak sebatangkara, bila melihat seorang lain yang sebatangkara, perasaan seperti itu kecuali dirinya sendiri, siapa pun tidak akan bisa menyelaminya.
Tanpa banyak pikir, dia keprak kudanya menuju ke arah orang.
0oo0
Seolah-olah Pho Ang-soat tidak merasakan kedatanganya, paling tidak berpaling melihat ke arahnya. Be Hong-ling melompat turun dari punggung kuda, berdiri di belakang orang, dia pun mengawasi bendera besar itu, di kala hembusan angin berlalu, kupingnya dengan jelas dapat mendengar napas Be Hong-ling yang tersengal-sengal.
Angin sepoi-sepoi saja.
Terik panas matahari terasa membara sehingga hembusan angin terasa tertekan, sehingga kekuatan angin amat lemah, tapi bendera masih kuasa dihembusnya sampai berkibar-kibar.
Tiba-tiba Be Hong-ling berkata, "Aku tahu apa yang tengah kau pikirkan." Pho Ang-soat tak mendengar, dia menolak untuk mendengarkan.
Be Hong-ling berkata pula, "Dalam hatimu tentu sedang berpikir, akan datang suatu hari aku pasti akan membacok roboh bendera ini."
Bibir Pho Ang-soat terkancing rapat, dia pun menolak untuk berbicara. Tapi dia tidak bisa melarang Be Hong-ling berpidato, katanya dingin, "Tapi selamanya kau takkan mampu merobohkannya. Untuk selamanya!"
Punggung tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok semakin kencang sampai otot-otot hijau merongkol keluar.
"Oleh karena itu," kata Be Hong-ling lebih lanjut, "kuberi nasehat kepadamu, lebih baik kau lekas menyingkir, semakin jauh kau pergi semakin baik."
Pho Ang-soat tiba-tiba membalik badan, menatapnya tajam. Sorot matanya seolah memancarkan bara, seolah-olah hendak membakarnya menjadi hangus. Lalu berkatalah dia dengan tandas dan tegas, "Kau tahu yang hendak kubacok roboh bukan bendera itu, tapi adalah batok kepala Be Khong-cun!" Kata-katanya setajam golok.
Tanpa disadari Be Hong-ling menyurut mundur dua langkah, tapi suaranya malah lebih keras, "Kenapa kau harus membencinya begitu rupa?"
Tiba-tiba Pho Ang-soat tertawa, barisan giginya yang memutih tampil ke depan, tawa seringai yang lebih mirip binatang buas yang sedang marah. Siapa pun melihat tawa seperti ini, pasti akan merasakan betapa besar dan menakutkan dendam yang bersemayam di dalam relung hatinya.
Tanpa sadar Be Hong-ling menyurut lagi setengah langkah, katanya keras, "Tapi selamanya kau pun takkan bisa merobohkan dia, dia jauh lebih kuat dari yang kau bayangkan, hakikatnya kau takkan bisa menandinginya!"
Suaranya seperti orang berpekik. Maklumlah semakin takut hati seseorang, tanpa disadari suaranya pasti akan lebih besar.
Suara Pho Ang-soat sebaliknya dingin dan tenang, "Kau tahu aku pasti dapat membunuhnya, dia sudah tua, terlalu tua, begitu tuanya hingga dia tidak berani mengucurkan air mata, tidak berani mengalirkan darah."
Dengan kencang Be Hong-ling mengertak gigi, tetapi badannya sebaliknya terasa lemas dan lunglai, sampai pun tenaga untuk marah pun sudah berakhir, hanya takut yang melembari sanubarinya.
Tiba-tiba Be Hong-ling menundukkan kepala, katanya rawan, "Benar, beliau memang sudah tua, tidak lain seorang tua bangka yang sudah tak punya kekuatan, oleh karena itu umpama kau membunuhnya, bagi dirimu pun tidak akan membawa manfaat apa-apa."
Terunjuk senyuman sadis pada sorot mata Pho Ang-soat, katanya, "Apa kau memohon kepadaku untuk tidak membunuhnya7"
"Aku ... aku sedang meminta kepadamu, selamanya belum pernah aku minta-minta kepada siapa pun."
"Kau kira aku pasti menerima permintaanmu?" "Asal kau sudi menerima, aku "
"Kau kenapa?"
Tiba-tiba merah muka Be Hong-ling, katanya tertunduk semakin dalam, "Boleh terserah kepadamu apa yang kau hendaki akan diriku, kau akan pergi, aku ikut kau, kemana kau minta aku pergi, selalu aku ikut kau."
Tanpa berganti napas Be Hong-ling mengutarakan maksudnya, setelah selesai bicara, baru dia sadar, menyesal kenapa dia mengeluarkan kata-kata seperti itu. Diam-diam lahirnya bertanya, apakah setulus hati dia mengutarakan janjinya itu.
Apakah karena dia sedang memancing dan menjajaki hati Pho Ang-soat, apakah Pho Ang-soat masih begitu getol dan bergelora menginginkan dirinya untuk memuaskan nafsunya! Tapi cara yang dia tempuh bukankah akal yang paling goblok, terlalu bahaya dan amat menakutkan.
Untung Pho Ang-soat tidak segera menampik, orang hanya mengawasinya dengan dingin. Tiba- tiba terasa oleh Be Hong-ling, bukan saja sinar matanya sadis, malah mengandung juga rasa rendah menghina dan jijik yang lebih menyakiti hati daripada kesadisannya itu. Seolah-olah orang sedang berkata. "Kemarin malam kau menolakku begitu rupa, kenapa hari ini kau mencariku lagi?"
Serasa tenggelam hati Be Hong-ling, penghinaan tanpa suara dengan mimik dan sorot mata ini, sungguh jauh lebih besar pukulannya daripada kau tolak secara mentah-mentah.
Mengawasinya, tiba-tiba Pho Ang-soat berkata, "Hanya sepatah kata ingin kutanya kepadamu.
Apa benar lantaran ayahmu saja kau minta kepadaku? Ataukah untuk dirimu sendiri?" Tanpa menunggu jawaban, segera dia putar badan melangkah pergi dengan gaya jalannya yang aneh dan lucu. Gaya jalan yang lucu dan jelek serta tak enak dipandang ini, seolah-olah malah menjadikan sindiran pula yang pedas dan menusuk perasaan.
Dengan kencang Be Hong-ling menggengam jari-jarinya dengan keras dia mengertak gigi, tapi akhirnya dia roboh juga. Pasir terasa hangat,, terasa asin, getir dan panas. Demikian juga air matanya. Kalau tadi dia sedang merasa kasihan akan nasibnya sendiri, simpati akan penderitaannya, kini sebaliknya dia sedang membenci awak sendiri, begitu bencinya sampai hampir gila, begitu besar kebencian kepada diri sendiri, ingin rasanya bumi ini merekah dan kiamat segera menguburnya hidup-hidup.
Kalau tadi dia hanya ingin menghancurkan orang-orang yang mengingkari dan membuang dirinya, sekarang justru dia ingin menghancurkan dirinya sendiri....
0oo0
Untuk menghancurkan orang lain mungkin agak sukar, sebaliknya hendak menghancurkan diri sendiri, jauh lebih gampang. Peduli siapa pun paling sedikit pasti bisa menemukan lima puluh cara untuk menghancurkan diri sendiri. Sudah tentu satu di antara kelima puluh cara itu adalah cara yang paling bodoh.
0oo0
Gudang di bawah tanah itu lembab dan gelap. Gudang ini sebetulnya hanya untuk menyembunyikan arak, kini layon Kongsun Toan berada di sini. Begitu juga Ban-be-tong-cu pun berada di sini.
Dia berlutut di lantai batu yang lembab dingin, berlutut di depan layon Kongsun Toan, kelihatannya menderita dan sedih. Mungkin yang dia sedihkan bukan kematian Kongsun Toan, tapi adalah dirinya sendiri.
Masa lalu bagai asap mengepul tinggi dan menghilang. Kini laksana asap tebal yang bergulung- gulung kejadian masa lalu kembali terbayang di depan matanya. Di dalam relung hatinya.
Kegagahan di masa muda, perjuangan gigih di masa usia menanjak, serta pikiran iri dan jelus yang menghantui sanubarinya setelah menginjak usia lanjut.... Darah yang tergenang di dalam cangkir arak emas di waktu angkat saudara, darah di atas golok waktu membunuh orang, darah mengalir di dadanya, mengalir membasahi salju.
Sekarang noktah-noktah darah di atas golok sudah tercuci bersih, darah di dadanya sudah dingin. Dengan apa hutang darah itu harus dilunasi?
Manusia kenapa setelah lanjut usia, baru akan menyadari betapa besar dan menakutkan serta memalukan dosa-dosa yang pernah dilakukannya di masa lalu! Sekarang apakah dia sedang menyiksa diri?
0oo0
Hendak menyiksa orang lain mungkin sulit, tapi untuk menyiksa diri sendiri, sudah tentu jauh lebih gampang.
Setiap insan di dunia ini pasti dengan mudah akan dapat menemukan lima puluh cara untuk menyiksa diri.
Tapi siksa bukan penghancuran, ada kalanya penyiksaan melulu hanya untuk membuat dirinya menjadi tenang dan sadar, lebih teguh dan kuat imannya.
0oo0
Sinar matahari kebetulan menyinari jalan raya. Tiada bayangan seorang pun yang lewat di jalan raya, tapi di antara celah-celah pintu atau celah-celah jendela dan lubang dinding, entah berapa pasang mata sedang mengintip keluar, mengintip satu orang.
Mengintip Lok Siau-ka.
Saat itu Lok Siau-ka sedang merendam diri dan mandi di dalam sebuah gentong air kayu setinggi enam kaki, gentong kayu itu terletak tepat di tengah jalan raya. Airnya penuh, dia berdiri di dalam gentong air, kebetulan hanya kepalanya saja yang menongol di permukaan air.
Seperangkat pakaian yang serba baru, terlempit dan tergosok rapi tengah ditaruh di atas rak di sebelah gentong kayu. Demikian juga pedangnya berada di atas rak, di sebelahnya lagi sudah tentu tersedia pula sebungkus kacang.
Tinggal mengulur tangan saja dengan mudah dia menjemput kacang, baju dan pedang, saat itu dia sedang menjemput sebutir kacang, dikupas kulitnya, isinya terus dilempar ke atas, mulut pun terbuka. Kacang itu tepat masuk ke dalam mulut. Kelihatannya dia amat gembira menikmati kacangnya.
Cahaya matahari amat terik, air dalam gentong itupun menguapkan asap panas, tapi sebutir keringat pun tidak kelihatan di raut wajahnya. Agaknya dia merasa kurang puas, gentong diketok- ketoknya dengan keras, serunya lantang, "Godok air, godok air panas lebih banyak."
Dua orang segera berlari keluar dari balik pintu sempit itu sambil menenteng dua teko besar berisi air panas, kedua orang ini adalah Ting-losu dan seorang yang lain bermuka kuning, memelihara kumis tikus, dia bukan lain adalah juragan beras, yaitu Oh-ciangkui. Selintas pandang dia kelihatannya mirip benar dengan seekor tikus yang sedang mencuri beras.
Kata Lok Siau-ka mengerut kening, "Kenapa hanya kalian berdua, mana orang she Tan?"
Oh-ciangkui mengunjuk tawa, katanya, "Dia sebentar akan datang, mungkin sekarang dia sedang mencari cewek, maklumlah perempuan di tempat ini yang benar-benar cantik sukar dicari." Sampai di sini ucapannya, seketika matanya terbelalak, karena dilihatnya seorang perempuan cantik muncul di sana.
0oo0
Perempuan ini muncul diiringi suara kelintingan yang nyaring merdu, suara tawanya yang cekikikan itupun semerdu dan senyaring suara kelintingan.
Matahari menyinari badannya, seluruh badannya memancarkan cahaya emas kemilau, tapi kulit badannya begitu mulus laksana batu jade. Pakaian yang dikenakan adalah gaun sutra tipis yang lemas, waktu angin menghembus, napas setiap laki-laki yang mengawasinya pasti akan berhenti. Jari-jari tangannya yang runcing dan mulus, tengah menggandeng lengan seorang laki-laki.
Kalau biji mata Oh-ciangkui melotot terpesona, demikian juga mata-mata yang mengintip di dalam rumah itupun terpesona dan kagum. Lapat¬lapat mereka masih ingat, perempuan ini adalah nona baju merah yang amat menyenangi Lok Siau-ka itu. Siapa pun takkan menduga kini dia tengah menarik lengan Yap Kay, dalam waktu yang genting ini mendadak muncul bersama di tempat ini.
Kebanyakan orang tahu bahwa nanti perempuan gampang dan cepat berubah, betapapun mereka tidak menduga perempuan ini berubah begini cepat.
Ting Hun-pin justru tidak mempedulikan apa yang tengah dipikir orang lain. Demikian pula sorot matanya sedikit pun tidak peduli pandangan orang lain. Memangnya tiada orang lain dalam pandangan matanya, dia hanya mengawasi Yap Kay, katanya tiba-tiba dengan tertawa, "Hari ini terang adalah cuaca yang cocok untuk membunuh orang, kenapa justru ada orang hendak menyembelih babi?"
"Menyembelih babi?"
"Kalau tidak menyembelih babi, untuk apa memerlukan air panas sebanyak itu?"
Yap Kay tertawa, ujarnya, "Kabarnya orang melahirkan anak juga memerlukan air hangat."
Berkedip-kedip biji mata Ting Hun-pin, katanya, "Anehnya, kenapa begitu dilahirkan, bocah itu sudah begini gede."
"Apakah kandungan raksasa?"
Dengan bersungguh-sungguh Ting Hun-pin manggut-manggut, katanya menahan geli, "Ya, pasti kandungan raksasa."
Tak tertahan, terdengar seseorang tak kuat menahan geli dan tertawa di belakang pintu. Tapi suara tawa tiba-tiba berubah jadi suara jeritan, sekeping kulit kacang tiba-tiba terbang masuk melalui celah-celah pintu dan merontohkan dua buah giginya.
Roman muka Lok Siau-ka membesi hijau, seolah-olah duduk di dalam air es, matanya menatap Ting Hun-pin, katanya menyeringai, "Ternyata kau nona Ting yang ingin mampus."
Mengerling genit biji mata Ting Hun-pin, katanya berseri tawa, "Betapa menusuk pendengaran istilah 'ingin mampus' yang kau katakan ini, kenapa tidak kau panggil namaku yang terdengar lebih enak dirasakan itu?"
"Seharusnya aku sudah ingat akan dirimu," ujar Loh Siau-ka, "Tidak banyak orang yang berani menyaru sebagai diriku."
"Sebetulnya namamu sendiri pun tak enak didengar, aku tetap heran, kenapa ada orang memanggilmu Bwe-hoa-lok (menjangan kembang)?"
"Mungkin karena mereka tahu bahwa tanduk menjangan amat tajam, siapa pun yang membenturnya pasti binasa."
"Kalau begitu lebih mirip kalau kau dinamakan Toa-cui-gu (kerbau air) saja, bukankah tanduk kerbau lebih lihai?"
Lok Siau-ka seketika menarik muka. Baru sekarang dia benar-benar menyadari adu mulut dengan perempuan adalah cara yang kurang pintar, oleh karena itu segera dia merubah pokok pembicaraan tanyanya, "Apakah Toakomu baik-baik?"
"Selamanya dia baik-baik, apalagi belakangan dia memenangkan sebilah pedang pusaka, dia menang bertanding pedang dengan Hwi-king-kiam-khek dari Lam-hay-pay. Tentu kau tahu dia paling suka menggunakan pedang bagus."
"Lalu bagaimana dengan Jikomu?" tanya Lok Siau-ka pula. "Sudah tentu dia pun baik-baik, belakangan ini dia malah menghancur-leburkan Hoa-hong-tong di Hopak, tiga ekor harimau yang ganas dan telengas itu terpenggal kepalanya, kau kan tahu dia paling suka membunuh kaum perampok."
"Lalu Samkomu?"
"Dia yang lebih baik, dengan persaudaraan Lamkiong dia bertempur tiga hari lamanya, pertama adu nyanyi, lalu main catur, baru adu pukulan, dan bertanding pedang, akhirnya tiga puluh guci
Li-ji-ciu simpanan keluarga besar Lamkiong selama bertahun-tahun dia miliki seluruhnya, di samping itu dia hukum mereka untuk bernyanyi dan berjoget," dengan tersenyum lebar dia meneruskan, "Kegemaran Ting-samsiauya adalah arak dan perempuan cantik, tentunya kau pun sudah tahu."
"Apa yang paling disukai oleh para Cihumu?" tanya Lok Siauka pula. Cihu adalah suami kakak perempuan.
"Yang paling disukai oleh Cihuku sudah tentu Ciciku." "Kau punya berapa Cici?"
"Tidak banyak, hanya enam." "Tiga engkoh, enam kakak?"
"Memangnya kau belum kenal dengan Sam-kiam-khek dan Jit-sian-li dari keluarga Ting?" Lok Siau-ka tiba-tiba tertawa, ujarnya, "Baik sekali."
"Apa maksudnya baik sekali?"
"Maksudku ialah, untung keluarga Ting banyak perempuannya, laki-lakinya sedikit." "Memangnya kenapa?"
"Kau tahu selamanya aku tidak suka membunuh perempuan." "O, lalu?"
"Untung tidak banyak. Hanya membunuh tiga orang."
Tiba-tiba Ting Hun-pin menghela napas, katanya, "Tidak baik sekali." "Tidak baik sekali?"
"Mereka tidak di sini, sudah tentu tidak baik." "Kalau mereka di sini?"
"Asal satu di antara mereka di sini, sekarang kau sudah menjadi mayat menjangan."
Lekat-lekat Lok Siau-ka mengawasinya, tiba-tiba dia alihkan sorot matanya ke tumpukan kacang di sebelahnya.
Seolah-olah karena dia akhirnya berhasil memilih sesuatu yang lebih baik, maka dia merasa puas dan bangga akan pilihannya, sampai pun biji matanya yang bersinar tajam, kini berganti lembut dan kalem.
Lalu diambilnya sebutir kacang, dikupas dan dilempar. Kacang yang bulat segar memutih itu di bawah sinar matahari kelihatan membawa cahaya redup yang melegakan hati dan menyolok pandangan, melihat kacang itu melayang jatuh masuk ke dalam mulutnya, baru dia pejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu mulailah dia mengunyah.
Sinar matahari yang panas, air mandi yang hangat, kacang yang segar dan kering. Terhadap segala sesuatu yang diinginkan dia merasa puas.
0oo0 Sebaliknya Ting Hun-pin merasa kurang puas. Semua ini seolah-olah sebuah pertunjukan sandiwara yang sebenarnya bisa dilanjutkan ke babak-babak selanjutnya. Malahan dia sudah siap melanjutkan peranannya sendiri.
Tak terkira Lok Siau-ka ternyata seorang pemain yang lugu dan kaku, seolah-olah pemain yang sedang beraksi di atas panggung tiba-tiba melupakan kata-kata yang harus diucapkan, secara tegas dan langsung menolak memerankan adegan selanjutnya.
Sungguh suatu kejadian yang menyebalkan.
Ting Hun-pin menghela napas, katanya sambil berpaling ke arah Yap Kay, "Sekarang tentunya kau sudah tahu orang macam apa dia sebetulnya?"
"Dia memang seorang yang pintar." "Orang pintar?"
"Orang pintar akan lebih tahu makan kacang dengan mulut tentu jauh lebih menggembirakan daripada adu mulut dengan perempuan."
Ting Hun-pin menjadi gemas, ingin rasanya menggigitnya sekali.
Jika Yap Kay mengatakan Lok Siau-ka adalah seorang tuli, seorang lemah, maka sandiwara ini tetap bisa diteruskan. Siapa nyana Yap Kay ternyata pun seorang pemain yang bodoh, bahwasanya dia tidak mau bekerja sama dengan dirinya.
Setelah mengunyah habis kacang di mulutnya, Lok Siau-ka menghela napas pula, gumamnya, "Baru sekarang aku tahu, ternyata perempuan pun suka melihat laki-laki mandi, kalau tidak, kenapa dia tidak mau berlalu?"
Ting Hun-pin membanting kaki, tangan Yap Kay ditariknya, katanya dengan muka merah, "Hayo kita pergi." Yap Kay tertarik pergi.
Begitu mereka putar badan, maka terdengarlah kumandang gelak tawa Lok Siau-ka, tawa besar, tawa gembira.
Ting Hun-pin mengertak gigi, dengan kuku jarinya dengan keras dia cengkeram tangan Yap Kay.
"Tanganmu sakit tidak?" tiba-tiba Yap Kay bertanya. "Tidak sakit."
"Kenapa tanganku sakit sekali?"
"Karena kau ini keparat, apa yang perlu kau katakan selamanya tidak mau kau utarakan." "Kata-kata yang tidak patut diucapkan, selamanya aku pun tidak pernah mengatakan." "Kau tahu aku ingin kau mengatakan apa?"
"Ehm, ya, aku tahu!"
"Kau kira tidak pantas dikatakan?" "Karena tiada gunanya lagi." "Kenapa tidak berguna?"
"Karena Lok Siau-ka sudah tahu bahwa kita sengaja hendak memancing kemarahannya. Dia pun sadar dalam situasi seperti ini dirinya sekali-kali tidak boleh marah."
"Darimana kau tahu bila dia sudah tahu?"
"Karena bila dia tidak tahu, tidak perlu dia tunggu sampai sekarang, sejak tadi dia sudah menjadi mayat menjangan."
"Agaknya kau amat mengaguminya."
"Tapi yang paling kagum justru bukan dia." "Siapa?" "Aku sendiri."
Ting Hun-pin menahan geli, katanya, "Aku masih tak melihat dalam hal apa kau patut dikagumi."
"Paling tidak ada satu hal" "Hal yang mana?"
"Di waktu orang lain mencengkeram tanganku dengan kuku jarinya, ternyata aku masih pura- pura tidak tahu "
Akhirnya tak tertahan Ting Hun-pin terpingkal-pingkal, katanya sambil melepas tangan, "Adakalanya kau memang mirip dengan golek kayu." Dengan menarik tangannya, tawanya mekar dan riang sekali.
Tiba-tiba Ting Hun-pin merasa puas dan bangga akan segala sesuatu di sekelilingnya, sehingga tidak disadari olehnya bahwa sepasang mata yang cemburu dan benci sedang mengawasi mereka.
0oo0
Sorot mata Be Hong-ling menampilkan kebencian dan cemburu yang tak terperikan, seperti mata serigala yang kelaparan mengincar mangsanya dia mengawasi mereka masuk ke dalam toko Tan-toakoan.
Mereka memang berkeputusan untuk menunggu di sini, menunggu sampai Pho Ang-soat muncul, menunggu duel yang amat mendebarkan dan menakutkan itu.
Kebetulan bagi Ting Hun-pin, sekalian dia bisa membeli bahan-bahan pakaian baru. Memang jarang perempuan menyia-nyiakan kesempatan baik untuk membeli pakaian.
Be Hong-ling melihat mereka dengan bergandeng tangan masuk ke dalam toko, kedua tangan yang bergandengan ini, sungguh-sungguh telah merenggut hatinya.
Kenapa tiada laki-laki di dunia ini yang mau menarik tangannya seperti itu? Dia membenci dirinya sendiri, kenapa dirinya selalu tidak menarik perhatian orang lain.
Di belakang tembok terdapat sebuah tempat gelap, sinar matahari tidak menyorot sampai di sini. Terasa olehnya, dirinya bak seorang anak hnram yang dibuang oleh ayah-bundanya di pinggir jalan.
0oo0
Air panas diantar datang pula.
Lok Siau-ka mengawasi Oh-ciangkun si juragan beras menuang air panas itu ke dalam gentong mandinya, katanya, "Kenapa orangnya belum datang juga?"
"Orang siapa?"
"Orang yang kalian ingin supaya kubunuh." "Dia pasti akan datang."
"Dia saja seorang masih belum cukup." "Masih perlu siapa lagi?"
"Perempuan."
"Aku memang hendak mencari Tan-toakoan." "Mungkin selamanya dia tidak akan kemari lagi." "Kenapa?" Lok Siauka tidak menjawab pertanyaan ini, dengan mata terpicing merem-melek dia mengawasi tangan orang.
Tangan orang kelihatan kering menguning dan kurus, tapi amat tenang dan gerak-geriknya mantap, teko besar yang penuh terisi air panas itu seolah barang kosong belaka terjinjing di tangannya.
Mendadak Lok Siau-ka tertawa, katanya, "Orang lain bilang kau ini adalah juragan beras di sini, apa betul?"
"Sudah tentu " Oh-ciangkui mengunjuk tawa berseri.
"Tapi semakin kupandang kau ini sedikit pun tidak mirip." Tiba-tiba dia merendahkan suaranya, "Sejak mula aku sudah berpendapat tidak pantas kalian mengundangku kemari."
"Kenapa?" tanya Oh-ciangkui
"Dulu bila kalian ingin membunuh orang, bukankah selalu turun tangan sendiri?"
Air panas dalam teko sudah habis, tapi tangan yang menjinjing teko itu masih terangkat bergantung di tengah udara. Lama juga baru tangan ini diturunkan, tiba-tiba Oh-ciangkui juga merendahkan suaranya dan berbisik, "Kami hanya mengundangmu untuk membunuh orang, bukan untuk menyuruhmu menyelidiki asal-usul kami."
Pelan-pelan Lok Siau-ka manggut-manggut, katanya tersenyum, "Memang masuk akal." "Tarip yang kau minta, kami sudah membayarnya lunas, kan tiada orang yang menanyai asal-
usulmu."
"Tapi mana perempuan yang kuinginkan?" "Perempuan ”
Belum habis Oh-ciangkui menjawab, tiba-tiba didengarnya seseorang berkata lantang, "Itu bergantung perempuan macam apa yang kau inginkan?" Itulah suara perempuan.
Lok Siau-ka segera berpaling, maka dilihatnya seorang perempuan pelan-pelan muncul dari balik tembok yang gelap sana. Perempuan yang masih muda belia, gadis yang cantik rupawan, tapi sorot matanya penuh mengandung rasa kebencian, kemarahan dan dendam yang memburu
0oo0
Be Hong-ling sudah beranjak sampai ke tengah jalan. Cahaya matahari menyinari mukanya, roman mukanya menampilkan mimik yang aneh, biasanya bila seseorang pesakitan digusur ke gelanggang hukuman untuk dipenggal kepalanya, mimik mukanya sering menampilkan perasaan seperti yang ditunjuk oleh mimik Be Hong-ling sekarang.
Pandangan Lok Siau-ka dari kaki pelan-pelan meninggi mengawasi mukanya, akhirnya berhenti pada sepasang bibirnya. Bibirnya tipis dan basah lembut, mirip benar dengan delima merekah yang baru saja matang.
Lok Siau-ka tertawa, katanya tersenyum, "Kau yang bertanya kepadaku perempuan jenis apa yang kuinginkan?"
Be Hong-ling manggut-manggut.
Lok Siau-ka tertawa pula, ujarnya, "Perempuan seperti kau inilah yang sedang kuharapkan, tentunya kau pun sudah tahu."
"Kalau begitu perempuan yang kau inginkan sekarang sudah ada." "Kau sendiri maksudmu?"
"Ya, aku inilah."
Lok Siau-ka tertawa lebar.
"Kau kira aku menipumu?" Be Hong-ling menegas. "Sudah tentu kau tidak akan menipuku, cuma kurasa paling tidak kau harus unjuk tawa dulu kepadaku."
Be Hong-ling segera tertawa. Siapa pun harus mengakui bahwa dia memang sudah tertawa. Tapi Lok Siau-ka malah mengerut kening.
"Kau belum puas juga?" tanya Be Hong-ling.
"Soalnya aku tidak suka melihat perempuan yang tertawa mirip orang menangis."
Bibir Be Hong-ling sampai berdarah karena tergigit kencang, lama baru dia berkata lirih, "Walau jelek tawaku, tapi tugas lain pasti dapat kulakukan dengan baik."
"Kau bisa kerja apa?"
"Kerja apa saja yang kau inginkan?"
Lok Siau-ka mengawasinya lekat-lekat, tiba-tiba dia raih handuk di dalam baskom terus dilempar ke arahnya. Terpaksa Be Hong-ling menangkapnya.
"Tahukah kau untuk apa handuk itu?" tanya Lok Siau-ka. Be Hong-ling geleng-geleng kepala.
"Untuk menggosok punggung," kata Lok Siau-ka.
Mengawasi handuk basah di tangannya, tangan Be Hong-ling tiba-tiba gemetar, tahu-tahu handuk itu jatuh karena tangannya menjadi lemas. Tapi lekas sekali dia sudah meraihnya, lalu dipegangnya dengan kencang. Seolah-olah dia sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memegangi handuk itu, punggung tangannya yang berkulit halus putih itu kelihatan otot-otot hijaunya yang merongkol karena terlalu keras mengerahkan tenaga. Sebetulnya dia sudah tahu barang yang sudah tergenggam di tangannya takkan bisa terlepas jatuh lagi. Memangnya dia tidak akan rela membiarkan barang apa pun jatuh dari tangannya, cukup banyak dia kehilangan.
Sudah tentu Lok Siau-ka tetap mengawasinya, sorot matanya tersenyum tajam laksana ujung jarum, seolah-olah hendak menghujam ke hulu hatinya. Dengan mengertak gigi, tiba-tiba dia bertanya, "Ada sepatah kata ingin kutanyakan kepadamu."
"Terus terang aku tidak suka perempuan yang cerewet, tapi kali ini boleh kulanggar kebiasaanku ini, boleh kau bertanya!"
"Perempuan yang kau inginkan sekarang sudah kau dapat, tapi orang yang ingin kau bunuh sekarang masih segar-bugar."
"Jadi kau tidak ingin dia hidup?" tanya Lok Siau-ka. Be Hong-ling manggut-manggut.
"Kau kemari, hanya karena aku hendak membunuhnya?" Be Hong-ling manggut-manggut pula sebagai jawaban.
Lok Siau-ka tertawa pula, katanya tawar, "Kau tidak usah kuatir, kutanggung dia tidak akan berumur panjang."
0oo0
Waktu berlalu tanpa terasa, hari menjelang lohor, terik matahari semakin membara.
Tiba-tiba Be Hong-ling merasakan dirinya seperti semut yang berada di dalam kuali, dirinya sedang digodok dan dipanggang. Dengan menggenggam kencang handuk di tangannya, pelan- pelan dia maju menghampiri.
Lok Siau-ka tersenyum menyambut kedatangannya, giginya yang putih laksana mutiara berkilau ditimpa sinar matahari, kelihatan mirip benar dengan binatang liar....