Peristiwa Merah Salju Jilid 06

Jilid 6

BAB 16. SEKALI MASUK JARANG HARAP PULANG

Di tengah-tengah padang rumput terdapat sebuah kapel peristirahatan minum teh. Para pengembala kuda suka menamakan tempat ini sebagai sarang tenteram, bahwasanya tempat ini tidak lebih dibangun dari rumput alang-alang yang sederhana sekali.

Tapi di sekeliling padang rumput ini, hanya tempat ini saja satu-satunya tempat yang bisa untuk berteduh dari teriknya matahari dan hujan bayu.

Begitu hujan mulai turun, Yap Kay dan Be Hong-ling sudah berlari masuk ke sarang tenteram ini untuk berteduh dari curahan air yang tumpah dari langit

Hujan deras. Titik air selebat butiran mutiara yang berderet-deret berhamburan dari langit.

Padang ilalang nan luas tak berujung pangkal, kelihatannya seperti dunia impian belaka.

Be Hong-ling duduk di bangku panjang di samping teko air teh, kedua tangannya memeluk lutut, dengan mendelong mengawasi padang rumput yang diterpa hujan.

Sudah lama dia tidak bicara. Bila perempuan tidak bicara, biasanya Yap Kay juga tidak mengusiknya supaya dia buka suara. Selamanya dia berpendapat bila perempuan jarang berbicara, maka laki-laki pasti berumur sedikit lebih panjang umur.

Sinar kilat menyinari wajah Be Hong-ling. Air mukanya jelek sekali, terang lantaran kurang tidur, dan dilihat gelagatnya seperti dirundung banyak persoalan yang mengganjal sanubarinya. Tapi air muka seperti ini kelihatannya malah berubah lebih matang, lebih tahu banyak urusan.

Yap Kay menuang secawan teh, sekaligus dia tenggak habis, dia harap yang terisi di dalam teko air teh ini adalah air kata-kata. Sebetulnya dia bukan setan arak, hanya di kala hatinya riang atau di saat hatinya bebal dan nsau baru dia ada hasrat minum arak. Sekarang hatinya sedang mendelu, pikiran sedang pepat. Sekarang tiba-tiba dia ingin minum arak.

Be Hong-ling mengangkat kepala memandangnya sekejap, katanya tiba-tiba, "Biasanya ayahku menentang kita berhubungan."

"O, lantas?"

"Tetapi hari ini dia justru menyuruh aku mengajakmu keluar bertamasya."

Yap Kay tertawa, ujarnya, "Memang orang giliran yang tepat, sayang waktunya yang tidak benar."

Be Hong-ling menggigit bibir, katanya, "Apa kau tahu kenapa mendadak dia berubah haluan?" "Tidak tahu."

"Pagi hari ini," kata Be Hong-ling pula menatapnya, "tentu kau sudah banyak bicara dengan dia." Yap Kay tertawa tawar, ujarnya pula, "Tentunya kau sudah tahu dia bukan laki-laki yang suka cerewet, demikian pula aku."

Be Hong-ling tiba-tiba berjingkrak bangun, katanya keras, "Kalian pasti banyak membicarakan apa-apa yang tidak ingin kuketahui, kalau tidak, kenapa kau tidak mau memberitahu kepadaku."

Yap Kay menepekur sebentar, katanya kalem, "Betulkah kau ingin supaya aku memberitahu kepadamu?"

"Sudah tentu betul."

"Kalau aku bilang dia ingin kau kawin dengan aku, kau percaya tidak?" "Sudah tentu tidak percaya."

"Kenapa tidak percaya?"

'Aku " mendadak Be Hong-ling membanting kaki, membalik badan, serunya, "Hatiku sedang

kusut, kau masih menggodaku." "Kenapa hatimu kusut?"

"Aku pun tidak tahu, kalau aku tahu, hatiku takkan bingung seperti ini."

"Kedengarannya ucapanmu ini amat janggal dan lucu, namun masuk akal juga " "Memang kenyataan demikian," seru Be Hong-ling uring-uringan, tiba-tiba dia berputar

menghadap Yap Kay pula, katanya, "Apa selamanya kau tidak pernah bingung?" "Jarang sekali."

"Masakah selamanya kau tidak pernah tergerak hatimu?" "Jarang sekali."

"Kau terhadapku kau pun tidak tergerak hatimu?"

"Pernah tergerak," jawaban yang gamblang dan terus terang.

Be Hong-ling justru seperti amat kaget, mukanya merah terus

menunduk, dengan keras dia kucek-kucek ujung bajunya, lama juga baru dia menghela napas, katanya, "Saat seperti ini, di tempat seperti ini pula, jika benar kau menyukai aku, sejak tadi kau seharusnya sudah memelukku, mencium aku."

Yap Kay tidak memberi reaksi, kembali dia menuang secawan the panas.

Setelah menunggu sekian lamanya, tak tahan Be Hong-ling merengek lagi, "Ehm, apa yang kukatakan sudah kau dengar tidak?"

"Tidak"

"Memangnya kau tuli?" "Bukan."

"Tidak tuli kenapa tidak mendengar?"

Yap Kay menghela napas, ujarnya, "Karena meski aku ini bukan tuli, namun aku seorang bodoh, laki-laki linglung."

Be Hong-ling mengangkat kepala melotot kepadanya, mendadak dia menubruk maju serta memeluknya dengan kencang. Begitu kencang pelukannya sampai terasa deru napasnya memburu sesak.

Hujan bayu masih deras di luar, hawa semakin dingin, namun badan Be Hong-ling justru semakin hangat, lemas-lunglai tapi serba kekeringan. Demikian pula bibirnya kering dan panas. Jantungnya justru berdebar keras sekeras hujan bayu yang tumpah di padang rumput. Pelan-pelan Yap Kay justru mendorongnya. Di saat-saat seperti ini, Yap Kay justru mendorongnya.

Be Hong-ling melotot, mendelik dengan amarah menyala, sekujur badannya seolah-olah berubah kejang. Dengan kencang dia menggigit bibir, seperti hendak menangis, katanya, "Kau ... kau sudah berubah."

"Aku tidak akan bisa berubah," sahut Yap Kay lembut. "Terhadapku dulu kau tidak seperti ini."

Yap Kay tenggelam dalam alam pikirannya, lama juga baru dia menghela napas, ujarnya, "Mungkin karena sekarang aku lebih memahami dirimu daripada sebelum ini."

"Apaku yang kau pahami!"

"Bahwasanya kau tidak menyukaiku sepenuh hati."

"Aku tidak menyukaimu sepenuh hati? Aku ... memangnya aku sudah gila?"

"Apa yang kau lakukan terhadapku, tidak lebih karena kau takut " "Takut apa?"

"Takut kesepian, takut sebatangkara, sejak mula kau sudah dibayangi perasaan minder, kau kira tiada seorang pun di dunia ini yang betul-betul memperhatikan dirimu."

Mendadak merah membara biji mata Be Hong-ling, kepala tertunduk, katanya pelan-pelan, "Umpama kata keadaanku benar seperti yang kau katakan, maka kau harus lebih baik terhadapku."

"Cara bagaimana aku harus bertindak baru kau anggap sikapku baik terhadap kau? Memelukmu dan menciumimu di saat-saat tiada orang lain seperti saat ini? Melakukan " belum selesai kata-

katanya, mendadak Be Hong-ling melayangkan telapak tangannya menampar pipinya sekuat- kuatnya. Begitu keras tamparan ini sampai telapak tangannya sendiri terasa panas dan kesemutan. Tapi Yap Kay justru seperti tidak merasakan apa-apa, dengan tawar dia mengawasinya, mengawasi air matanya bercucuran.

Dengan air mata bercucuran Be Hong-ling mengumpat sengit, "Kau bukan manusia, baru sekarang aku tahu hakikatnya kau ini bukan manusia, aku benci kepadamu, membencimu sampai kau mampus " Sembari berteriak-teriak dia berlari lintang-pukang keluar, lari ke dalam hujan

lebat. Sekejap saja bayangannya sudah hilang ditelan derasnya air hujan yang semakin tercurah dari langit.

Yap Kay tidak mengejarnya keluar, malah bergeming pun tidak, tapi entah kenapa, tampak mimik mukanya justru berubah teramat menderita seperti tersiksa batinnya.

Karena dalam sanubarinya pun mempunyai hawa nafsu yang keras, keinginan yang besar, hampir saja dia tidak tahan hendak lari mengejar, menyandaknya serta memeluknya, terguling- guling di padang rumput di saat hujan selebat ini.

Akan tetapi keinginannya itu tidak dia laksanakan. Apa pun tidak dia lakukan, hanya berdiri kaku seperti patung batu, dia menunggu hujan ini reda ....

Akhirnya hujan ini reda.

Yap Kay menyusuri jalan raya yang masih tergenang air, langsung masuk ke pintu sempit yang satu ini.

Dalam rumah tenang dan sunyi, hanya kedengaran satu suara saja, suara kartu dikocok.

Siau Piat-li tidak berpaling untuk menyambut kedatangannya, agaknya seluruh perhatian dia tumplekkan kepada permainan kartunya itu untuk meramalkan sesuatu. Yap Kay langsung menghampiri, lalu duduk.

Mengawasi kartu-kartu yang terbentang di hadapannya, mimik wajah Siau Piat-li kelihatan masgul serta menguatirkan sesuatu.

"Hari ini apa yang berhasil kau ramal?" tanya Yap Kay.

Siau Piat-li menghirup napas panjang, sahutnya, "Hari ini apa pun tidak berhasil kuramalkan." "Kalau tak berhasil kau ramal, kenapa harus menghela napas."

"Justru aku tidak berhasil maka aku menghela napas," akhirnya kepalanya terangkat menatap Yap Kay, katanya lebih lanjut, "Hanya peristiwa yang paling berbahaya, paling menakutkan saja selalu tak berhasil kuramalkan."

Lama Yap Kay berdiam diri, tiba-tiba tertawa, katanya, "Tapi aku justru merasakan adanya hal. "

"O, hal apa?"

"Paling tidak hari ini kau tidak akan bangkrut."

Siau Piat-li sedang menunggu kata-katanya lebih lanjut. Tapi Yap Kay tidak bicara banyak, cuma dari dalam kantongnya dia rogoh keluar setumpukan uang kertas yang masih baru, pelan- pelan dia letakkan di atas meja, pelan-pelan pula dia dorong ke hadapan Siau Piat-li.

Mengawasi tumpukan uang ini, ternyata Siau Piat-li diam saja, tidak mengajukan pertanyaan.

Soal ini hakikatnya memang tidak perlu dibicarakan, juga tidak perlu ditanyakan.

Berselang agak lama, Yap Kay baru tersenyum, katanya, "Sebetulnya tidak perlu aku kembalikan uang sebanyak ini kepadamu."

"O, kenapa kau kembalikan?"

"Karena hakikatnya kau sendiri pun tidak ingin betul-betul supaya aku membunuhnya, betul tidak?"

"O!"

"Kalian hanya ingin menjajal aku, apa benar aku ingin membunuhnya."

Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa, ujarnya, "Terlalu banyak yang kau pikirkan, banyak pikiran bukan suatu hal yang baik."

"Bagaimana pun juga, sekarang tentunya kau sudah tahu, aku bukan orang yang ingin membunuhnya."

"Sekarang penduduk kota ini siapa pun memang sudah tahu." "Kenapa?"

"Karena Kongsun Toan sudah mati, menemui ajalnya di bawah golok Pho Ang-soat."

Senyuman yang menghias muka Yap Kay tiba-tiba menjadi kaku membeku. Selamanya belum pernah terunjuk mimik seburuk itu menghiasi mukanya.

Pelan-pelan Siau Piat-li melanjutkan, "Bukan saja Kongun Toan sudah mati, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian pun sudah mampus."

"Apa mereka juga mati di tangan Pho Ang-soat?" teriak Yap Kay. Siau Piat-li geleng-geleng kepala. "Siapakah yang membunuh mereka?"

"Be Khong-cun!"

Kembali Yap Kay tertegun. Lama juga baru dia menarik napas panjang, mulutnya menggumam, "Tak habis mengerti, sungguh tidak habis mengerti."

"Ada apa yang tidak bisa kau mengerti?" "Bahwasanya kini dia sudah tahu bila ada seorang musuh tangguh yang akan membunuhnya sembarang waktu, kenapa dua pembantunya yang terpercaya justru dia bunuh pada saat seperti ini?"

Sikap Siau Piat-li amat tawar, katanya, "Mungkin karena dia sendiri memang manusia yang paling aneh di dunia ini, maka selalu melakukan sesuatu yang di luar dugaan orang lain." Jawaban yang tidak boleh dianggap jawaban, tapi Yap Kay seolah-olah sudah dapat menerima arti dari jawaban yang bukan jawaban ini. Mendadak dia mengubah pokok pembicaraan, "Dimana tamu agungmu yang berada di atas loteng kemarin malam itu?"

"Tamu agung?"

"Kim-pwe-tho-liong Ting Kiu."

Seperti baru sekarang Siau Piat-li ingat akan diri Ting Kiu, katanya tersenyum, "Dia pun seorang yang aneh, sering dia pun melakukan hal-hal yang tidak dimengerti orang lain."

"O."

"Belum pernah terpikir dalam benakku bahwa dia pun bakal berada di tempat seperti ini." "Bukankah dia mencari kau?"

"Memangnya siapa yang sudi mencari orang sepertiku yang cacad ini." "Dia masih di atas loteng?"

"Sudah lama pergi." "Kemana?" "Mencari orang."

"Mencari orang? Mencari orang siapa?" "Loh Loh-san."

"Mereka sahabat karib?"

"Bukan sahabat, malah musuh besar, musuh besar sejak beberapa puluhan tahun yang lalu." "Jadi kedatangan Ting Kiu kali ini hanya untuk membikin perhitungan kepada Loh Loh-san?" "Mungkin."

"Sebetulnya mereka punya permusuhan apa?"

"Siapa tahu? Memangnya dendam sakit hati orang-orang Kangouw sering berlarut-larut."

Lama Yap Kay termenung, tiba-tiba bertanya pula, "Di kalangan Kangouw pada puluhan tahun yang lalu, katanya ada seorang tokoh ahli menggunakan senjata rahasia yang ganas dan culas, kabarnya dia adalah murid tunggal Ang-hoa Popo."

"Yang kau maksud adalah Toan-yang ciam Toh-popo?" "Benar."

"Namanya memang pernah kudengar." "Pernah melihatnya belum?"

"Lebih baik selama hidupku ini aku tidak pernah melihatnya."

"Empat murid besar dari perguruan Jian-bin-jin-mo (manusia iblis seribu muka), belakangan hanya tinggal seorang saja yang bernama Bu-kut-coa (ular tak bertulang) Sebun Jun, tentunya kau pun pernah mendengar nama orang ini."

"Lebih baik berhadapan dengan Toh-popo daripada berhadapan dengan orang ini." "Namun menurut apa yang kuketahui, kabarnya kedua orang ini sekarang sudah berada di sini."

"Kapan mereka datang?" "Sudah lama mereka di sini."

Kini Siau Piat-li yang termenung, tiba-tiba dia menggeleng-geleng kepala, katanya, "Tidak mungkin, pasti tidak mungkin, kalau mereka sudah berada di sini, aku pasti tahu."

Yap Kay menatapnya, katanya, "Mungkin mereka sudah berada di Ban-be-tong, bukankah Ban- be-tong merupakan sarang naga dan gua harimau?"

Siau Piat-li sudah manggut-manggut, namun segera geleng-geleng pula.

"Mungkin karena Ban-be-tong sekarang sudah punya bantuan mereka, maka dia tidak perlu gentar menghadapi musuh besarnya yang tangguh."

Tiba-tiba Siau Piat-li tertawa, ujarnya, "Itulah urusan Ban-be-tong, tiada sangkut-pautnya dengan kami."

"Hari ini omonganku sungguh terlalu banyak." Agaknya dia sudah ingin pamitan, tapi pada saat itu pula dari luar tahu-tahu sudah melangkah masuk seseorang.

Seorang laki-laki serba putih, pinggangnya terikat tali rami, tangannya membawa setumpukan kertas mirip kartu undangan, seperti sampul surat pula.

Ternyata itu bukan sampul surat, juga bukan kartu undangan. Tetapi adalah berita duka cita. Berita duka cita Koangsun Toan, Hun Cay-thian dan Hoa Boan-thian, atas nama Be Khong-cun. Hari penguburan adalah besok lusa.

Pagi-pagi jenazah diberangkatkan, tepat tengah hari peti mati dimasukkan ke liang lahat, selanjutnya dengan makanan tanpa daging menjamu para pelayat.

Ternyata Yap Kay pun menerima bagiannya. Setelah menyampaikan berita duka cita itu, laki- laki berkabung ini lantas menjura, katanya, "Sam-lopan ada pesan pula, pada waktunya diharap Siau-siansing dan Yap-kongcu hadir dalam upacara penghabisan."

Siau Piat-li menarik napas panjang, katanya prihatin, "Sahabat lama, setelah berpisah untuk selamanya, kenapa aku tidak akan hadir?"

"Aku pun akan datang," ujar Yap Kay.

Laki-laki baju putih kembali menjura serta mengucapkan terima kasih.

Tiba-tiba Yap Kay berkata pula, "Agaknya tidak sedikit berita duka cita ini disebar "

"Sam-lopan adalah teman karib Kongsun-siansing selama puluhan tahun, beliau mengharap upacara terakhir ini dapat dilaksanakan sebaik mungkin."

"Jadi setiap penduduk kota sudah memperoleh berita duka ini?" "Boleh dikata seluruhnya sudah menerima." "

Bagaimana dengan Pho Ang-soat?"

Seketika tersorot rasa kebencian pada mata laki-laki baju putih, katanya dingin, "Dia pun memperoleh selembar, cuma aku kuatir dia tidak berani hadir pada saat itu."

Yap Kay berpikir sebentar, katanya pelan, "Kupikir dia pasti akan datang."

"Semoga seperti harapan tuan," ujar laki-laki baju putih. "Kau sudah menemukan dia belum?" "Belum lagi ketemu."

"Kalau kau percaya, aku mau mewakilkan kau menyampaikan kepadanya." Sebentar bimbang, akhirnya laki-laki baju putih manggut-manggut, katanya, "Kalau begitu membikin susah Yap-kongcu saja, terus terang Cayhe sebetulnya juga tidak sudi berhadapan dengan orang seperti dia, lebih baik bila dia tidak sampai terlihat orang lain."

Siau Piat-li sedang menatap berita duka cita yang berada di tangannya, setelah laki-laki baju putih pergi, baru dia menghela napas ringan, katanya, "Sungguh tak nyana Ban-be-tong pun mengirim berita duka cita ini kepada Pho Ang-soat."

"Kau pernah bilang, dia kan orang aneh." "Kau pikir Pho Ang-soat akan datang?" "Pasti datang."

"Kenapa?"

"Karena aku tahu dia bukanlah laki-laki yang suka menyingkir dari kenyataan."

"Kalau kau anggap dia temanmu, lebih baik kau bujuk dia supaya jangan datang." "Kenapa?" "Memangnya kau tidak merasakan bila berita duka cita ini merupakan jebakan?"

"Jebakan?" Yap Kay mengerut kening.

Sikap Siau Piat-li amat serius, katanya, "Kalau kali ini Pho Ang-soat sampai masuk ke Ban-be- tong, mungkin selama hidupnya ini jangan harap bisa kembali ke kampung halamannya pula."

"Langit bergoncang, bumi bergetar, mata 'mengalirkan air darah, rembulan guram. Sekali masuk ke Ban-be-tong. jangan harap pulang ke kampung halaman."

Setelah lohor, sesudah hujan reda cuaca cerah, langit membiru. Yap Kay sedang mengetuk pintu tempat tinggal Pho Ang-soat.

Sejak pagi hari ini, sudah tiada seorang pun yang pernah melihat bayangan Pho Ang-soat lagi, setiap orang yang menyinggung tentang si timpang yang bermuka pucat ini, pasti menunjukkan mimik yang aneh, seolah-olah dia melihat seekor ular berbisa.

Peristiwa Pho Ang-soat membunuh Kongsun Toan, tentunya sudah tersiar luas di seluruh pelosok kota.

Tidak ada reaksi dari dalam pintu sempit itu, tapi dari pintu sebelah yang sama sempitnya, tiba- tiba menongol keluar kepala seorang nenek, dengan sorot mata curiga dan takut-takut mengawasi Yap Kay. Kulit mukanya penuh dihiasi keriput, kulitnya sudah kering-kerontang.

Yap Kay tahu nenek ini adalah pemilik rumah yang disewakan ini, dengan senyum di kulum segera dia bertanya, "Dimana Pho-kongcu?"

Nenek itu tertawa pula. Agaknya dia memang jarang marah.

Tiba-tiba berkata pula nenek itu, "Jika kau mencari si timpang yang pucat itu, dia sudah pindah."

"Sudah pindah? Kapan dia pindah?" "Selekasnya dia akan pindah." "Darimana kau tahu dia akan pindah."

"Karena rumahku sekali-kali tidak akan kusewakan pada seorang pembunuh."

Yap Kay akhirnya mengerti. Bagi setiap insan yang berbuat salah terhadap Ban-be-tong, maka dia sulit untuk menetap di kota kecil di pegunungan ini. Tanpa bicara lagi Yap Kay segera berlalu meninggalkan gang sempit ini.

Tak nyana nenek itu ternyata membuntutinya, katanya, "Tapi kalau kau tidak punya tempat tinggal, aku boleh menyewakan kamar itu kepadamu."

Yap Kay tertawa, katanya, "Darimana kau tahu bila aku ini bukan seorang pembunuh?" "Kau tidak mirip pembunuh."

Tiba-tiba Yap Kay menarik muka, katanya, "Kau keliru, bukan saja aku pernah membunuh orang, malah sudah tujuh delapan puluh orang yang menjadi korban."

Nenek itu gelagapan dan menyurut mundur dengan muka ketakutan.

Lekas sekali Yap Kay sudah keluar dari gang sempit itu, dia mengharap selekasnya bisa menemukan Pho Ang-soat. Tapi sebelum dia berhasil menemukan Pho Ang-soat, dia malah melihat Ting Kiu.

Ternyata Ting Kiu sedang duduk di bawah emperan rumah di seberang sana, tangannya menyungging cawan sedang minum teh panas. Pakaian perlentenya itu terbungkus oleh seperangkat jubah hijau yang baru pula, sikapnya kelihatannya acuh tak acuh dan kurang bersemangat.

Pada saat itu dari ujung jalan raya sana tengah mendatangi seorang penggembala yang menggiring empat-lima ekor kambing dengan pelan-pelan.

Penggembala kambing ini mengenakan baju pendek yang terbuat dari kapuk, kepalanya mengenakan sebuah topi rumput. Topi rumput yang lebar ini dia tarik ke bawah sampai amblas, karena batok kepalanya memang lebih kecil dari topi rumput itu.

Dengan menundukkan kepala, tangannya menenteng sebatang galah kecil, sementara mulutnya sedang berdendang dengan lagu-lagu gembala yang lincah dan gembira.

Di tanah pegunungan yang serba belukar dan serba kekurangan dari segala kebutuhan hidup ini, setiap laki-laki mengutamakan berburu binatang liar dengan memelihara burung elang atau menggembala sapi, hanya laki-laki yang tidak punya harga diri saja suka mengembala kambing, oleh karena itu bukan saja penggembala kambing selalu miskin, dia pun selalu menjadi cemoohan dan olok-olok orang lain.

Hakikatnya tiada seorang pun di tengah jalan raya itu yang sudi melirik atau menyapanya, agaknya penggembala kambing ini juga tahu diri, dia tidak berani berjalan di tengah jalan raya, hanya satu harapannya dalam mengerjakan tugasnya sehari-hari, yaitu selekasnya membawa kambing-kambingnya ini ke kandang.

Tak nyana di antara sekian banyak orang yang berada di sepanjang jalan raya ini, justru ada seseorang yang tengah mengawasi gerak-geriknya. Begitu Ting Kiu melihat penggembala kambing ini mendatangi, sorot matanya seketika bersinar terang, seolah-olah duduk sejak tadi di warung minuman ini memang khusus sedang menunggu kedatangan orang.

Yap Kay pun sudah menghentikan langkahnya, dengan nanar dia mengawasi penggembala kambing ini, lalu beralih pandang ke arah Ting Kiu pula. Ternyata biji matanya pun bersinar terang.

Jalan raya masih basah oleh genangan air. Baru saja penggembala kambing ini berkisar melewati genangan air, dia lantas melihat Ting Kiu dengan langkah lebar memapak ke hadapannya dan menghadang jalan. Tanpa mengangkat kepala segera dia berkisar hendak lewat dari samping Ting Kiu. Penggembala kambing biasanya penakut.

Siapa tahu Ting Kiu agaknya memang sengaja hendak cari perkara padanya, katanya tiba-tiba, "Sejak kapan kau belajar jadi penggembala?"

Penggembala itu melengak, sahutnya gemetar, "Sejak kecil aku sudah mempelajarinya." "Memangnya waktu di Bu-tong-san kau hanya belajar menggembala kambing?"

Kembali penggembala itu melengak, akhirnya dia mengangkat kepala pelan, dua kali dia melirik kepada Ting Kiu, katanya, "Aku tidak kenal dengan kau."

"Aku sebaliknya mengenalmu." "Agaknya kau salah mengenali orang." "Orang she Loh, Loh Loh-san, umpama kau sudah berubah jadi abu, aku tetap mengenalmu.

Kali ini kemana pula kau hendak melarikan diri?"

Apa benar penggembala kambing ini Loh Loh-san? Sekian lamanya dia mcnepekur, lalu katanya menghela napas, "Umpama kau mengenalku, aku tetap tidak mengenalmu."

Ternyata dia memang Loh Loh-san.

Ting Kiu tertawa dingin, tiba-tiba dia merenggut jubah hijau yang menutupi pakaian aslinya yang mewah menyala itu, serta punuk di punggungnya, gamblang sekali punggungnya itu bergambar naga emas dengan kelima jari kakinya.

"Kim-pwe-tho-liong?" Loh Loh-san berteriak terkejut. "Ternyata kau masih mengenalku."

"Untuk apa kau mencariku?" "Untuk membuat perhitungan." "Membuat perhitungan apa?"

"Perhitungan lama, sepuluh tahun yang lalu, memangnya kau sudah lupa?" "Melihatmu pun aku belum pernah, perhitungan lama darimana?"

"Hutang darah tujuh belas jiwa, jangan harap kau bisa mungkir, serahkan jiwamu!" "Orang ini gila, aku "

Ting Kiu tidak memberi kesempatan Loh Loh-san banyak bicara lagi, serempak kedua tangannya terkembang, tahu-tahu dia sudah mengeluarkan seutas cambuk emas lima kaki panjangnya.

Sinar emas bertaburan laksana naga emas sedang menari-nari dengan lincahnya, dengan deru angin yang kencang menyapu ke arah pinggang Loh Loh-san.

Sambil berkelit memiringkan badan, Loh Loh-san merenggut baju pendek yang terbuat dari kulit domba itu, bagai segumpal awan terus ditebarkan ke depan, bentaknya, "Tunggu dulu!"

Ting Kiu tak menghiraukan seruannya, cambuk emasnya beruntun sudah berubah empat jurus serangan. Loh Loh-san membanting kaki, kedua tangannya cepat memelintir baju kulit kambingnya, ternyata dia gunakan senjata lemas pula. Inilah kepandaian sejati dari aliran dalam Bu-tong-pay yang bisa mengkhususkan sesuatu benda lemas yang dipelintir atau dibasahi untuk menjadi tongkat lemas. Bagi orang yang sudah melatih sempurna kepandaian ini, benda apa pun bila berada di tangannya, bisa dia gunakan sebagai gaman untuk membela diri

Dalam sekejap kedua pihak sudah bergebrak belasan jurus di jalan raya yang becek tergenang air itu.

Yap Kay menonton dari kejauhan, tiba-tiba dia menemukan dua hal. Seorang setan arak yang tulen tidak mungkin bisa menjadi tokoh silat kosen dari Bu-lim, Loh Loh-san, hanya meminjam arak untuk pura-pura gila, ternyata orang memang sengaja berpura-pura untuk mengelabui pandangan orang, yang terang dia sebenarnya jauh lebih sadar dari siapa pun.

Akan tetapi naga-naganya dia memang betul-betul tidak kenal atau salah mengenali orang, memangnya apakah sebetulnya yang telah terjadi? Yap Kau menerawang sebentar, kejap lain ujung mulutnya sudah menyungging senyum, mendadak dia merasa kejadian ini amat menggelikan.

Akan tetapi sesungguhnya hal ini tidak perlu dibuat geli. Mati sekali-kali bukan kejadian yang menggelikan.

Kepandaian silat Loh Loh-san amat mahir dan matang, lucu Jenaka, ahli, meski serangannya tidak gencar dan ganas, terang tidak menunjukkan lubang kelemahan. Tapi entah lantaran apa tiba-tiba dia toh menunjukkan suatu gerakan aneh yang menunjukkan lubang kelemahannya. Suatu lubang kelemahan yang fatal dan menamatkan riwayatnya.

Orang semacam dia hakikatnya tidak pantas menunjukkan lubang kelemahan seperti itu, tangannya seolah-olah mendadak menjadi kaku dan kejang. Dalam selikas itulah. Yap Kay sudah melihat sorot matanya Mendadak sorot matanya menampilkan rasa gusar dan ketakutan yang luar biasa, lalu melototlah kedua biji matanya seperti biji mata ikan emas.

Cambuk emas Ting Kiu ternyata sudah membelit lehernya seperti naga berbisa yang ganas. "Krak", tulang lehernya patah terjirat cambuk dengan kerasnya.

Ting Kiu mendongak sambil terloroh-loroh, serunya, "Hutang darah bayar darah, akhirnya aku berhasil menuntut balas perhitungan lama ini." Di tengah gelak tawanya, tiba-tiba badannya melejit mundur terus bersalto ke belakang di tengah udara, tiba-tiba bayangannya sudah menghilang di balik wuwungan rumah penduduk. Tinggal Loh Loh-san yang rebah di dalam genangan air dengan kepala tertekuk lemas ke belakang, biji matanya melotot besar dan kaku. Kelihatannya sekarang berubah pula seperti laki-laki setan arak yang tengah mabuk dan pulas di tengah jalan raya.

Tiada orang yang mendekati, tiada orang yang bersuara. Siapa pun bila melihat seseorang yang semula segar-bugar mendadak menggeletak mampus begitu saja, persaan hatinya tentu tidak tenteram.

Tauke toko kelontong berdiri di depan tokonya, kedua tangan memeluk perut, seakan-akan merasa mual hendak muntah-muntah.

Matahari kembali terbit. Cahayanya yang segar menyinari mayat Loh Loh-san, menyoroti noktah-noktah darah yang baru saja mengalir dari hidung, kuping dan matanya. Lekas sekali darah itu sudah kering.

Pelan-pelan Yap Kay maju menghampiri, berjongkok, mengawasi mimik mukanya yang berubah sedemikian seram menakutkan, katanya seperti berdoa, "Betapapun kami pernah berkenalan, masih ada pesan apa pula yang ingin kau sampaikan kepadaku?"

Sudah tentu tiada. Orang yang sudah mati masakah bisa bicara memberi pesan apa-apa? Yap Kay justru mengulurkan tangan menepuk pundaknya, katanya, "Kau tak usah kuatir, ada orang yang akan membereskan jenazahmu, aku pun akan mengumpulkan beberapa cangkir arak untuk menyirami pusaramu." Dengan menghela napas, pelan-pelan dia berdiri

Maka dia pun melihat Siau Piat li.

Ternyata Siau Piat-li juga berjalan-jalan di luar, dengan kedua tangan dia memegangi tongkatnya untuk jalan, berdiri tenang di bawah emperan sana.

Kelihatannya raut mukanya jauh lebih pucat dari Pho Ang-soat di bawah sinar matahari.

Memangnya sepanjang tahun dia jarang terjemur sinar surya.

Yap Kay langsung menghampirinya, katanya setelah menghela napas, "Aku tidak suka melihat orang membunuh orang, namun justru sering aku melihatnya."

Siau Piat-li diam saja, sikapnya seperti ikut berduka, lama juga baru dia bersuara, "Aku justru sudah tahu bila dia akan berbuat demikian, sayang sekali aku tidak sempat menasehatinya."

Yap Kay manggut-manggut, katanya, "Loh-toasiansing memang mati terlalu cepat." Tiba-tiba terangkat kepalanya, tanyanya, "Kau baru saja keluar."

"Seharusnya sejak tadi aku sudah keluar."

"Barusan aku sedang bicara dengan dia, ternyata tidak kulihat kau keluar " "Dengan siapa kau bicara?" "Loh-toasiansing "

Siau Piat-li menatapnya lekat-lekat, lama juga baru dia berkata pelan-pelan, "Orang mati tidak bisa bicara." "Bisa saja." Mimik muka Siau Piat-li berubah amat aneh, serunya, "Orang mati juga bisa berbicara?" "Cuma apa yang dikatakan orang mati, jarang ada orang bisa mendengarkan."

"Kau bisa mendengarkan?" "Bisa."

"Apa saja yang dia katakan?"

"Katanya kematiannya terlalu penasaran." "Dimana letak penasarannya?"

"Katanya Ting Kiu sebetulnya takkan mampu membunuhnya." "Tapi kenyataan dia mampus di bawah cambuk emas Ting Kiu."

"Karena ada orang dari samping yang membokongnya secara gelap." "Ada orang membokong dia? Siapa?"

Yap Kay menghela napas, tiba-tiba dia ulurkan telapak tangannya yang terbuka di hadapan Siau Piat-li. Tepat di telapak tangannya ternyata terdapat sebatang jarum. Jarum yang berwarna hijau keputihan ujung jarum masih berlepotan darah.

"Toan-yang-ciam?" teriak Siau Piat-li tertahan. "Ya, inilah Toan-yang-ciam (jarum pemutus usus)"

"Kalau begitu Toh-popo memang sudah berada di sini " "Malah sudah lama dia berada di sini."

"Kau sudah melihatnya?"

"Bila Toan-yang-ciam Toh-popo disambitkan. kalau ada orang dapat melihatnya, sia-sialah dia dipanggil Toh-popo." Siau Piat-li mandah menghela napas saja.

"Tapi aku tahu bila dia tidak menyembunyikan diri di dalam Ban-be-tong." "Darimana kesimpulanmu ini?"

"Karena dia menetap di dalam kota ini, bukan mustahil nenek yang sedang menggendong orok itulah "

Berubah air muka Siau Piat-li, dia sudah melihat seorang nenek sedang menyeberang jalan sambil menggendong seorang bocah.

"Kalau Toan-yang ciam sudah berada di sini, Bu-kut-coa pasti juga tidak jauh." "Memangnya selama ini dia menyembunyikan diri di dalam kota ini?"

"Amat mungkin."

"Masakah belum pernah kudapati dalam kota ini adanya tokoh Bu-lim yang begitu kosen?" "Memangnya tokoh silat sejati tidak gampang memperlihatkan wujudnya, bukan mustahil Tauke

toko kelontong itulah orangnya " Sambil mengawasi Siau Piat-li tiba-tiba dia tertawa pula, sambungnya dengan kalem, "Kemungkinan pula kau adanya."

Siau Piat-li ikut tertawa. Di bawah sinar matahari, senyum tawanya kelihatan seperti menghina dan merendahkan. Maka pelan-pelan dia membalik badan, pelan-pelan kembali ke dalam.

Bila melihat senyuman orang, Yap Kay bisa lupa bahwa laki-laki cacad yang satu ini kesepian, sebatangkara. Tapi yang terlihat oleh Yap Kay sekarang adalah bayangan punggungnya. Bayangan seorang yang kurus, cacad dan terasing dari pergaulan umum.

Tiba-tiba Yap Kay memburu maju menarik lengannya, katanya, "Kapan kau pernah keluar, hayolah aku ingin mentraktir kau minum." Agaknya Siau Piat-li amat heran dan kaget, tanyanya, "Kau hendak mentraktir aku minum?" "Memangnya kapan aku pernah mentraktir orang minum."

"Mau minum dimana?"

"Kemana saja bolehlah, asal tidak di dalam rumahmu." "Kenapa?"

"Arak dalam rumahmu terlalu mahal." "Tapi di rumahku kau boleh teken bon."

Yap Kay terbahak-bahak, serunya, "Kau sedang memancing dan memincut aku?" Boleh teken bon, istilah ini memang suatu pancingan yang tak terlawankan oleh setiap orang yang sedang kantong kosong.

Siau Piat-li tersenyum, katanya, "Aku hanya sedang mencari langganan saja." "Kadang kala kau memang mirip seorang pedagang."

"Memangnya aku ini seorang pedagang." Dengan tersenyum Siau Piat-li memandang Yap Kay, katanya lebih lanjut, "Sekarang kau mau mengajak aku minum dimana? Menurut pendapatku tempat dimana kau boleh teken bon terhitung tempat paling murah menjual barang-barangnya, tempat minum arak adalah tempat yang paling kusenangi."

"Lalu bagaimana bila tiba saatnya kau melunasi bon itu?" tanya Siau Piat-li.

"Meski cukup menyebalkan dan menjengkelkan bila tiba saatnya harus membayar, tepi itu urusan kelak, apakah aku masih hidup masih merupakan pertanyaan bagiku sendiri." Sambil tersenyum segera Yap Kay membuka pintu, membiarkan Siau Piat-li masuk lebih dulu. Tapi dia sendiri tetap berdiri di tempatnya tidak ikut masuk.

Karena pada saat itu pula, dia melihat Cui-long. Dengan kepala tertunduk Cui-long sedang beranjak di bawah emperan rumah ke arah dirinya. Kenapa semalam dia menghilang? Kemana saja selama ini? Darimana pula dia sekarang?

Sudah tentu tak tertahan lagi Yap Kay hendak menghujani pertanyaan ini, seolah-olah dia pernah melihat kehadiran Yap Kay di depannya. Sebaliknya seorang yang lain sedang mengawasi Yap Kay.

Pho Ang-soat.

0oo0

Akhirnya Pho Ang-soat muncul kembali.

Baru saja jari-jari tangan Yap Kay terulur hendak menarik Cui-long, matanya kebetulan melihat Pho Ang-soat. Orang mengawasi jari tangan Yap Kay, sinar matanya yang dingin diliputi kemarahan, kulit mukanya yang pucat sudah merah membara.

Pelan-pelan Yap Kay menarik tangannya, kembali dia mendorong daun pintu, sehingga Cui-long berkesempatan masuk ke dalam. Setelah berada di dalam baru Cui-long berpaling sambil mengunjuk senyuman manis kepadanya, seakan baru sekarang baru dia melihat dirinya di sini.

Yap Kay justru rada sukar tertawa, karena Pho Ang-soat masih menatapnya, warna matanya mirip benar dengan suami yang sedang mengawasi gendak istrinya.

Yap Kay mengawasinya, lalu berpaling mengawasi Cui-long, sungguh dia tidak habis mengerti apa yang telah terjadi. Tapi bukankah banyak kejadian aneh yang mengherankan di dunia ini?

Bukankah setiap malam mungkin saja terjadi hal-hal seperti ini?

Yap Kay tertawa, katanya, "Aku sedang mencarimu."

Lama juga Pho Ang-soat menatapnya, baru sahutnya dingin, "Kau punya urusan?" "Ada sebuah barang yang ditinggalkan untuk kau." "O!"

"Kau sudah membunuh Kongsun Toan?"

"Sejak mula aku memang sudah harus membunuhnya." "Inilah berita undangan duka citanya."

"Berita duka cita?"

"Kau membunuhnya, pada hari upacara penguburannya, Ban-be-tong-cu justru mengundangmu untuk minum arak, coba katakan bukankah amat aneh kejadiannya."

Pho Ang-soat mengawasi secarik kertas yang diangsurkan kepadanya, sorot matanya seperti memancarkan perasaan yang aneh, katanya kemudian, "haik sekali, memang amat aneh dan lucu."

Yap Kay mengawasi mata orang, katanya kalem, "Tentunya kau pasti akan hadir." "Kenapa?"

"Karena hari itu pasti amat ramai."

Tiba-tiba Pho Ang-soat mengangkat kepala, katanya menatapnya, "Agaknya kau amat prihatin terhadap urusanku."

"Mungkin karena aku ini memang orang yang suka usil."

" Tahukah kau kenapa Loh Loh-san menjadi korban pula?" “Tidak tahu."

"Lantaran dia terlalu usil dan suka turut campur urusan orang lain."

Tanpa melirik pula kepada Yap Kay, pelan-pelan dengan berjalan dari samping Yap Kay, langsung menuju ke tengah jalan.

Jalan masih tergenang air.

Kaki kiri Pho Ang-soat melangkah dulu setindak, kaki kanan baru ikut terseret maju ke depan.

Gaya jalannya aneh dan menggelikan.

Hari ini di saat dia menyeberang jalan, banyak orang mengawasi kakinya. Tapi sekarang keadaan jauh berbeda, biasanya orang-orang di jalan mengawasi tangannya, tangan yang mencekal golok. Golok yang sudah membunuh Kongsun Toan. Setiap sorot mata orang yang memandangnya menampilkan rasa permusuhan.

"Sekarang seluruh penduduk kota tahu bila kaulah musuh umum Ban-be-tong, pasti takkan ada seorang pun yang menganggapmu sebagai teman."

"Kenapa?"

"Karena penduduk kota ini paling tidak separo di antaranya hidup mengandalkan Ban-be-tong.

Maka sejak kini kau harus hati-hati, sampai pun minum secangkir air pun kau harus hati-hati", itulah kata-kata Sim Sam-nio yang ditujukan kepada dirinya.

Sungguh dia tak habis mengerti, kenapa perempuan ini begitu besar perhatiannya terhadap dirinya. Hakikatnya dia tidak kenal siapa perempuan ini, dia hanya tahu orang adalah teman karib Cui-long, dia adalah bini atau peliharaan Ban-be-tong-cu.

Bagaimana mungkin Cui-long bersahabat dengan perempuan seperti itu? Dia tidak mengerti.

Entah lantaran apa setiap berhadapan dengan perempuan ini dia seperti merasa sebal dan membencinya, besar harapannya supaya orang lekas menyingkir saja. Akan tetapi orang justru tidak bisa menyelami perasaan hatinya. Lama juga mereka berputar-putar di tengah padang rumput, besar harapan di sana mereka menemukan suatu tempat yang tenteram dan tenang, duduk berhadapan dengan Cui-long.

Siapa pun sukar diberi pengertian bahwa untuk pertama kali inilah dia membunuh orang selama hidupnya, mungkin Kongsun Toan sendiri pun takkan mau percaya. Tapi memang kenyataan baru pertama kali ini dia membunuh orang.

Waktu dia mencabut pedangnya dari perut Kongsun Toan, tak tertahan dia sampai muntah- muntah, memang siapa pun sukar memahami perasaan hatinya, sampai pun dia sendiri pun sulit memahami sepak terjang dirinya sendiri. Melihat seseorang yang semula segar-bugar tiba-tiba roboh menjadi mayat di depanmu, bukanlah suatu kejadian yang menggembirakan.

Sebetulnya dia tidak ingin membunuh orang, namun dia dipaksa untuk membunuhnya. Tiada salju, hanya ada pasir. Merah Salju.

Darah segar ikut menyembur keluar waktu goloknya dicabut, membasahi pasir kuning.

Lama juga dia berlutut di atas pasir sambil tumpah-tumpah, sampai darah sudah kering, baru dia bisa berdiri pula.

Waktu dia berdiri baru dia sadar bahwa Sim Sam-nio tengah mengawasinya, mengawasinya dengan pandangan yang aneh sekali, entah karena simpatik? Menghina? Memandang rendah atau merasa kasihan?

Peduli apa pun, yang terang dia tidak bisa menerimanya! Tapi dia justru bisa menahan diri karena caci-maki, penghinaan dan kemarahan orang lain. Dia sudah biasa.

0oo0

Pho Ang-soat menegakkan badan, pelan-pelan dia menyeberang jalan.

Kini yang terpikir hanya ingin tidur, tidur menunggu kedatangan Cui-long. Setelah tiba di luar kota, Sim Sam-nio baru berpisah dengan mereka. Dia tidak bertanya orang mau pergi kemana, hakikatnya dia memang tidak ingin melihatnya lagi. Tapi dia justru menarik Cui-long, kembali mereka kasak-kusuk. Tak lama kemudian Cui-long pun kembali.

"Biar aku pulang membereskan barang-barangku, lalu mencarimu, aku tahu. Sudah tentu Pho Ang-soat tidak pernah menduga si 'dia' sebenarnya bukan Cui-long, tapi adalah Sim Sam-nio yang dibencinya ini. Mungkin takkan ada orang tahu akan rahasia ini.

BAB 17. NENEK MISTERIUS

Kertas merah pengumuman itu masih merekat di dinding di ujung gang.

Waktu Pho Ang-soat menuju ke sana, maka dia pun melihat nenek yang ubanan itu tengah berdiri menghadang di tengah gang sempit itu, sepasang matanya selincah kelinci sedang menatap dirinya dengan diliputi rasa benci. Agaknya nenek ini juga bukan teman karibnya.

"Maaf, sukalah memberi jalan," pinta Pho Ang-soat. "Kenapa aku harus memberi jalan?"

"Aku hendak pulang."

"Kabarnya kau mencela tempatku ini tidak baik, sekarang sudah pindah, kenapa kembali lagi?" "Siapa bilang aku sudah pindah?"

"Aku yang bilang." "Siapa yang bilang aku mencela tempat ini terlalu kotor?"

"Bukan kau mencela tempat ini kotor, tempat inilah yang mencelamu kurang baik."

Akhirnya Pho Ang-soat tahu dan dapat meraba juntrungan kata-kata si nenek, maka sepatah kata pun dia tidak bersuara lagi, memangnya tidak perlu dibicarakan lagi.

"Buntalanmu sudah kukirim ke toko kelontong di sebelah, sembarang waktu kau boleh pergi mengambilnya."

Pho Ang-soat manggut-manggut.

"Dan uang ini, boleh kau simpan untuk membeli peti matimu sendiri." Memangnya dia sudah menggenggam sekeping uang perak, kini tiba-tiba dia timpukkan dengan sekuat tenaganya.

Terpaksa Pho Ang-soat harus mengulur tangan menyambuti. Tapi dia batal menangkap uang itu. Karena begitu uang itu melesat terbang dari telapak tangan si nenek, mendadak terpukul balik pula oleh sesuatu benda. Soalnya uang perak itu mendadak melayang turun, sebuah benda memukulnya balik, kalau tidak, umpama jiwa Pho Ang-soat tidak ajal, maka lengannya itu yang harus dipotong menjadi cacad buntung pula.

Kini puluhan jarum itu tiba-tiba terpukul balik mengarah ke nenek yang menyambitnya malah.

Tak terkira nenek tua renta yang jalannya harus merambat tembok ini, tiba-tiba badannya melenting tinggi ke tengah udara terus bersalto dan lenyap di balik wuwungan.

Jejak penyamaran sudah ketahuan, maka dia sudah siap melarikan diri. Siapa tahu seseorang justru sudah menunggunya di atas wuwungan.

Entah sejak kapan tahu-tahu Yap Kay sudah melejit naik ke atas wuwungan rumah pula, dia sedang berdiri menggedong kedua tangannya, tersenyum mengawasi si nenek yang coba melarikan diri ini.

Seketika berubah air muka si nenek, sepasang biji matanya yang jelilatan licin menampilkan rasa ketakutan. Matanya tidak buta, sudah tentu dia cukup tahu bila Yap Kay bukan seorang yang gampang diingusi dan dihadapi.

"Nenek," sapa Yap Kay tertawa, "bagaimana kau berubah menjadi begini muda?"

Nenek itu tertawa kering dua kali, katanya, "Bukan menjadi muda, yang benar tulangku jadi ringan, begitu melihat kau si ganteng ini tulangku lantas berubah menjadi ringan sekali."

"Kabarnya bila orang tua menghirup darah orang, usianya bisa menjadi muda kembali." "Kau ingin supaya aku menghirup darahmu?"

"Bukankah tadi kau sudah menghirup darah Loh Loh-san?"

Nenek itu menyeringai iblis, katanya, "Kakek tua bangka itu darahnya terlalu banyak mengandung alkohol, lebih baik kalau minum darahmu saja." Di mana tangannya terayun, dari dalam lengan bajunya tiba-tiba terbang keluar dua utas benang perak, bagai ular beracun yang ganas tahu-tahu menjerat leher Yap Kay Senjata yang digunakan amat aneh dan jarang terlihat, keji dan jahat lagi. Tapi seakan-akan Yap Kay justru seorang ahli dalam menghadapi berbagai alat senjata yang serba keji dan jahat ini.

Entah bagaimana dia bergerak, tiba-tiba badannya berkisar, seperti merogoh keluar sesuatu benda kehitam-hitaman dari lengan bajunya. "Ting", seketika dua utas benang perak itu lenyap tak berbekas.

Jari-jari tangan si nenek yang kaku dan runcing laksana cakar burung itu seketika kaku mengejang. Yap Kay kembali menggendong kedua tangannya, berdiri di tempat semula dengan tersenyum simpul, katanya, "Kau masih punya mainan apalagi, kenapa tidak kau keluarkan seluruhnya, biar aku berkenalan dengan kelihaianmu."

Menatapnya lekat-lekat nenek itu berkata dengan suara serak, "Kau ... siapakah kau sebenarnya?"

"Aku she Yap, bernama Yap Kay," sahutnya tertawa, "Yap berarti daun pohon, Kay atau Kay- sim berarti riang gembira. Sayang sekali bila hatiku riang, maka kau pasti takkan bisa gembira."

Tanpa bicara lagi, tiba-tiba nenek ini mengenjot kaki, badannya melejit ke tengah angkasa terus bersalto ke belakang sejauh tiga empat tombak. Siapa tahu baru saja badannya meluncur turun dan tancap kaki, tahu-tahu dilihatnya Yap Kay sudah berdiri di depannya dengan tersenyum sambil menggendong tangan, senyum tawanya itu laksana seekor rase kecil.

Nenek ini menghela napas, serunya, "Bagus, Ginkang yang hebat!" "Bukan Ginkang yang bagus, cuma tulangku yang lebih ringan."

Si nenek tertawa getir, katanya, "Agaknya tulangmu memang jauh lebih ringan dari punyaku." Belum lagi ucapannya ini selesai dikatakan, jari-jari tangannya yang bagai cakar burung itu tiba- tiba merangsek empat jurus ke arah Yap Kay.

Jurus permainannya ini juga teramat aneh, ganas dan culas. Tapi Yap Kay justru seorang ahli dalam menghadapi berbagai serangan keji dan culas. Bukan saja gerak permainannya tidak aneh dan luar biasa, juga tidak seperti orang mau sulapan. Cuma amat cepat, begitu cepatnya sehingga orang sulit membayangkan gerakannya.

Baru saja kedua tangan si nenek bergerak, seketika dia merasakan sesuatu benda tahu-tahu menggaris pada urat nadinya, selanjutnya kedua tangannya itu lantas menjuntai turun lemas- lunglai, tak mampu bergerak lagi.

Yap Kay tetap berdiri di tempatnya dengan menggendong tangan, seolah-olah tidak pernah bergerak dan tidak terjadi apa-apa, senyum tawanya lebih riang dari tadi. Namun harus disayangkan bila hatinya sedang riang, maka orang lain justru tak bisa bergembira. 

Si nenek menarik napas panjang, katanya, "Aku pun tidak kenal kau, kenapa kau harus bermusuhan dengan aku?"

"Siapa bilang aku hendak bermusuhan dengan kau?" "Memangnya apa kehendakmu?"

"Tidak lain hanya ingin mentraktir kau minum arak saja." Nenek ini melengak, "Mentraktir minum arak?"

"Biasanya jarang aku sudi mentraktir orang minum arak, jangan kau sia-siakan kesempatan baik ini."

Si nenek mengertak gigi, katanya, "Kemana minumnya?"

"Sudah tentu di warung Siau Piat-li, di sana aku boleh teken bon"

Tangan Pho Ang-soat masih menggenggam goloknya dengan kencang. Dia tetap berdiri di tempatnya semula dengan gaya tetap tak berubah, bergeming pun tidak. Tapi kulit mukanya yang pucat kini sudah membara saking bergejolak sanubarinya.

Si nenek melompat turun dari wuwungan rumah, menundukkan kepala, pelan-pelan lewat di samping orang. Melirik pun Pho Ang-soat tidak kepadanya, tiba-tiba dia berseru, "Tunggu!"

Maka nenek itu lantas berhenti menunggu,, agaknya dia berubah begitu mendengar kata- katanya.

"Aku sudah pernah membunuh orang," kata Pho Ang-soat. Si nenek mendengarkan.

"Tak jadi soal bagiku untuk membunuh lebih banyak satu jiwa." Tangan si nenek sudah gemetar.

Yap Kay sudah beranjak mendatangi, katanya dengan tersenyum, "Membunuh orang seperti orang minum arak, hanya tegukan pertama yang sulit tertelan, kalau kau sudah menghabiskan cangkir pertama, berapa cangkir pula akan kau habiskan sudah tidak menjadi halangan, cuma "

"Cuma bagaimana?" tanya Pho Ang-soat.

"Membunuh orang seperti orang minum arak, kalau terlalu banyak kau minum, kau akan ketagihan dan jadi tuman." Sambil mengawasi Pho Ang-soat dia tertawa, katanya lebih lanjut, "Lebih baik jangan kau tuman melakukan hal-hal seperti itu."

"Aku tidak ingin membunuhmu." "Kau hendak membunuh dia?"

"Semula aku hanya membunuh dua macam orang, sekarang terpaksa bertambah semacam lagi."

"Macam bagaimana?"

"Orang yang ingin membunuhku."

Yap Kay manggut-manggut, "Tadi dia ingin membunuhmu, sekarang kau hendak membunuhnya, memangnya suatu hal yang adil."

"Kau minggir."

"Aku boleh minggir, tapi kau tak boleh membunuhnya. Tahu tidak?" "Kenapa?"

"Karena dia toh tidak betul-betul ingin membunuhmu."

Pho Ang-soat mendelik kepadanya, kulit mukanya yang pucat seolah-olah menjadi bening, lama juga baru dia berkata dengan tegas, "Sebetulnya kau ini siapa?"

"Yang terang kau sendiri tahu aku ini orang apa, kenapa justru kau tanyakan hal ini kepadaku?" "Aku ingin tahu lebih jelas, karena aku masih berhutang sesuatu kepadamu."

"Kau hutang apa kepadaku?"

"Hutang jiwa kepadamu," mendadak Pho Ang-soat putar tubuh, katanya lebih lanjut dengan kalem, "Cepat atau lambat aku harus membuat perhitungan kepadamu, sembarang waktu kau pun boleh minta kepadaku." Kemudian kaki kirinya melangkah, kaki kanan lantas diseret ke depan.

Langkah kakinya sekarang kelihatan jauh lebih berat.

Tiba-tiba Yap Kay merasa bayangan punggung orang mirip benar dengan Siau Piat-li, kelihatan sama-sama kesepian, sebatangkara pula. Malah kemungkinan keadaannya jauh lebih mengenaskan, karena dia hanya punya satu pilihan untuk menempuh arahnya. Arah yang selamanya takkan berpaling kembali.

Ada arak di atas meja.

Yap Kay menuang secangkir penuh untuk Siau Piat-li, lalu menuang pula secangkir yang lain untuk si nenek, katanya tertawa, "Bagaimana tempat ini?"

"Lumayan." "Araknya?" "Baik juga."

"Kalau begitu kau harus berterima kasih kepadaku." "Berterima kasih kepadamu?"

"Kalau bukan aku, masakah kau bisa berada di sini minum arak." "Kenapa tidak bisa?"

Yap Kay tertawa, katanya, "Tempat ini adalah dunia laki-laki, Toan-yang-ciam Toh-popo meski seorang tokoh kosen Bu-lim yang menggetarkan dunia, tapi dia adalah seorang perempuan."

Nenek itu berkedip-kedip mata, katanya menegas, "Aku ini Toh-popo?"

"Begitu melihat Loh Loh-san tersambit Toan yang ciam, aku lantas teringat kepadamu." "Pandangan yang tajam," puji si nenek sambil menghela napas. "Tapi aku tiada maksud untuk

menuntut balas kematiannya."

"Kau tidak bermaksud?"

"Karena orang yang benar-benar ingin membunuh Loh Loh-san bukan kau! Kalau tidak...," "Oh, kenapa?"

"Aku hanya ingin bertanya kepadamu, kenapa kau membunuh orang demi kepentingan Ban be tong?"

"Jadi orang yang betul-betul mau membunuh Loh Loh-san adalah Ban be tongcu?" "Tentunya rekaanku tidak akan meleset."

"Jadi kau berpendapat bahwa aku membunuhnya untuk Ban be tongcu?" Yap Kay manggut-manggut.

Kata si nenek, "Karena pada waktu itu aku pun berada di sana, dan lagi aku ini seorang nenek, maka aku ini pasti adalah Toh-popo (nenek she Toh)."

"Memangnya pengertian ini gampang diselami." "Tentunya Toh-popo tidak mungkin seorang laki-laki."

"Sudah tentu bukan."

Mendadak nenek ini tertawa, tawanya amat aneh. "Kau kira hal ini amat menggelikan"

"Hanya satu saja yang menggelikan." "Satu yang mana?"

"Aku ini bukan Toh-popo." "Kau bukan?"

"Menjadi Toh-popo memang tiada jeleknya, sayang sekali aku ini adalah seorang laki-laki tulen."

Keruan Yap Kay melenggong.

Si nenek yang disangkanya Toh-popo ini ternyata memang benar seorang laki-laki. Dari mukanya dia mencopot sebuah kedok muka yang amat hidup dan bagus sekali buatannya, lalu pelan-pelan dia menanggalkan pakaian luarnya dan berdiri tegak. Nenek yang semula sudah renta dan terbungkuk-bungkuk kini berubah jadi laki-laki pertengahan umur yang bertubuh kurus kering, siapa pun akan tahu bila orang ini adalah laki-laki tulen.

Baru sekarang Yap Kay tiba-tiba sadar bahwa pandangan matanya hakikatnya tidak setajam dan seahli seperti yang pernah dia bayangkan sendiri.

Kata orang itu dengan tersenyum, "Apa perlu kau memeriksaku lagi, apa benar aku ini sebetulnya laki-laki atau perempuan?" Yap Kay geleng-geleng kepala, katanya dengan apa boleh buat, "Tak usahlah." "Toh-popo tentunya tidak mungkin adalah seorang laki-laki"

"Sudah tentu bukan."

"Kalau begitu jadi aku ini terang bukan Toh-popo seperti yang kau sangka." "Ya, kau memang bukan."

"Jadi kematian Loh Loh-san pun bukan karena aku yang membunuhnya."

Terpaksa Yap Kay harus mengakui ucapan orang, karena siapa pun tahu bahwa Toan yang ciam adalah senjata rahasia tunggal milik Toh-popo.

Berkata pula laki-laki itu, "Aku pun tidak benar-benar ingin membunuh Pho Ang-soat."

Kembali Yap Kay harus mengakui pula, karena sampai sekarang kenyataan Pho Ang-soat masih segar-bugar.

Orang itu menarik napas panjang, diangkatnya cangkir yang penuh arak, ditenggaknya habis, katanya tertawa, "Memang arak bagus."

Setelah menghabiskan secangkir arak, dia berdiri terus beranjak pergi.

Kembali terpancar rasa mencemooh dan hina pada sorot mata Siau Piat-li, katanya tersenyum, "Lain kali harap sukalah datang pula."

Orang itu tertawa, ujarnya, "Sudah tentu aku pasti datang, kabarnya di sini orang boleh teken bon, apalagi beberapa petak rumah bobrokku itu tak ada yang menyewanya."

Yap Kay tiba-tiba berseru memanggil, "Sebun-jun."

Laki-laki itu segera berpaling. Semula mukanya masih dihiasi senyuman, tapi begitu dia berpaling, air mukanya seketika berubah.

Kini ganti Yap Kay yang tersenyum senang, memang di kala hatinya riang, orang lain justru kebalikannya. Agaknya laki-laki itu ingin tertawa pula, sayang sekali kulit daging mukanya seperti sudah kaku.

Kata Yap Kay tersenyum, "Kalau arak ini memang bagus, kenapa Sebun-siangsing tidak mencicipinya lagi beberapa cangkir pula."

Laki-laki itu berdiri menjublek di tempatnya mengawasi dirinya sekian lama, katanya kemudian setelah menghela napas, "Sekarang tentunya aku tidak perlu lagi bertanya kepadamu siapa kau sebenarnya."

"Ya, memang tidak perlu."

"Tapi aku ingin tanya kau, kau ini sebenarnya apakah manusia?"

Yap Kay tertawa lebar. Kembali dia yakin akan pandangan matanya yang tajam, ternyata memang tidak sejelek seperti yang sudah dia bayangkan. Katanya sambil tertawa, "Murid-murid kesayangan Jian bin jin mo ternyata memang berkepandaian silat yang aneh dan ganas, begitu pula ilmu tata riasnya, sebetulnya aku takkan bisa melihat penyamaranmu."

Sebun Jun menghela napas, katanya, "Sekarang kau sudah melihat kenyataan, toh belum terlambat juga."

"Sudah tentu Toh-popo pasti bukan seorang perempuan, tak mungkin pula menjelma jadi seorang nenek tulen, kalau tidak, orang lain masakah tidak bisa menebaknya dengan jitu?"

"Ya, masuk akal."

"Lalu siapakah dia sebenarnya?"

Siau Piat-li tiba-tiba tertawa, katanya tawar, "Kemungkinan kau, kemungkinan pula aku." "Mungkin juga memang " Yap Kay termenung pula, tiba-tiba dia berjingkrak, serunya keras,

"Aku tahu sekarang, pasti dia itulah Toh-popo adanya."

Sebun Jun menghela napas pula, gumamnya, "Sayang sekali baru sekarang kau paham, mungkin sudah terlambat."

Pelan-pelan Pho Ang-soat menghampiri terus masuk ke dalam toko kelontong. Selamanya belum pernah dia masuk ke dalam toko kelontong ini, memang selama hidupnya belum pernah dia masuk ke toko kelontong di mana saja.

Memangnya dia sebenarnya bukan hidup di dunia yang fana ini, dia memiliki kehidupan dunianya sendiri. Dalam dunianya itu hanya ada dendam, dendam sekali lagi dendam, tiada lainnya.

Li Ma-hou sedang mendekam di atas meja kasirnya, kembali dia sedang mendekam di atas meja kasirnya, kembali dia sedang mengantuk, seolah-olah sudah lama dia tidak pernah tidur nyenyak.

Pho Ang-soat langsung menghampiri, dengan gagang goloknya dia mengetok meja. Li Ma-hou berjingkrak kaget dan sadar dari kantuknya, seketika dia melihat golok hitam di tangan Pho Ang- soat. Gagang dan sarung golok sama-sama hitam legam, tapi apakah tajam goloknya masih berlepotan darah! Keruan pucat-pias selebar muka Li Ma-hou, teriaknya ketakutan, "Kau apa

yang kau inginkan?"

"Aku ingin minta kembali buntalanku."

"Buntalanmu oh, ya, di sini memang dititipi sebuah buntalan," baru sekarang dia merasa

lega, tersipu-sipu dia membuka laci serta mengangsurkan sebuah buntalan kain. Sudah tentu Pho Ang-soat hanya menerimanya dengan sebelah tangan. Sementara tangan yang lain masih kencang memegangi goloknya.

Kongsun Toan sudah ajal oleh golok ini, siapa lagi yang bakal menjadi korban kedua? Mungkin dia sendiri pun tidak tahu. Pelan-pelan dia membalik badan, tiba-tiba dilihatnya setumpukan telur di atas keranjang yang dijajakan, tanyanya tiba-tiba, "Apa telur itu dijual?"

"Kau ingin beli?"

Pho Ang-soat manggut-manggut. Mendadak dia sadar, lapar ternyata rasanya begitu menyiksa, suatu siksaan yang merupakan tekanan berat, lebih berat dari kobaran rasa dendamnya.

Sesaat Li Ma-hou mengawasinya, lalu geleng-geleng kepala, sahutnya, "Tidak, telur itu tak kujual kepadamu."

Pho Ang-soat sudah tahu, semua pintu di dalam kota ini seolah-olah sudah tertutup rapat di hadapannya, demikian pula pintu toko kelontong ini. Jika dia berkukuh dan berkeras hendak membelinya, sudah tentu tiada seorang pun yang bisa merintanginya. Tapi dia bukan laki-laki macam begitu. Sasaran utama untuk melampiaskan rasa marah hatinya jelas bukan kepada seorang nenek, juga bukan kepada Tauke toko kelontong ini.

Sinar bulan sudah guram, hembusan angin malam sudah terasa dingin. Memangnya tiada sesuatu tempat lagi bagi dirinya di sini? Dengan kencang dia cekal goloknya, mencekal buntalannya, memangnya dia sudah biasa hidup di dalam alam dunia yang lain. Bagaimana pun sikap dan kelakuan orang-orang di dunia ini terhadapnya, dia tetap acuh tak acuh, dia tidak peduli kepada mereka.

Tak nyana Li Ma-hou justru menambahkan pula, "Telur ini tidak kujual kepadamu, karena telur ini mentah, tentunya kau tidak makan telur mentah."

Pho Ang-soat menghentikan langkah, berdiri di tempatnya.

"Di belakang ada tungku, dalam tungku ada api, bukan saja bisa menggoreng telur, juga bisa menghangatkan arak," demikian Li Ma-hou menambahkan.

"Berapa yang kau inginkan?" tanya Pho Ang-soat berpaling. Li Ma-hou tertawa, "Ternyata Kongcu memang gampang mengerti, bolehlah dihitung dua belas tahil saja." Dua belas tahil untuk sekali makan, sungguh tarip mahal yang menggorok leher pembelinya. Tapi betapapun banyak kau memiliki uang perak juga tidak akan bisa mengisi perut, lapar justru merupakan siksaan yang tak tertahankan.

Li Ma-hou sedang menggoreng telur. Nasi goreng telur. Araknya sudah dihangatkan, masih terdapat semangkuk kecil acar dan kacang.

"Kacang dan acar ini gratis, arak pun boleh kau minum sepuasmu, silakan berapa banyak kau habiskan."

Tapi setetes arak pun Pho Ang-soat tidak meminumnya. Karena begitu dia minum pasti mabuk, sekarang bukan saatnya minum arak.

Li Ma-hou mengantar sepiring nasi goreng telur ke atas meja, melihat arak dalam cangkirnya pula. katanya dengan mengunjuk tawa, "Toaya, anggap arak ini kurang enak?"

"Arak ini baik."

"Umpama tidak baik, bolehlah minum barang seteguk dua teguk untuk melepaskan lelah meringankan tekanan hati."

Pho Ang-soat sudah mulai makan. Sedikit pun dia tidak takut bila nasi goreng itu beracun. Cara untuk membedakan apakah di dalam sesuatu makanan ada dicampur racun ada tiga puluh enam macam banyaknya, paling tidak dia paham dua puluh macam di antaranya. Soalnya bila dia sendiri tidak ingin melakukan sesuatu, tiada seorang pun yang kuasa memaksanya. Sudah tentu Li Ma- hou bukan laki-laki yang suka memaksa orang melakukan keinginan dirinya.

Kalau Pho Ang-soat tidak mau minum, maka dia sendiri yang akan menenggaknya sampai habis. Seteko arak yang dihangatkan tadi sekaligus dia tenggak habis, katanya tertawa getir, "Bicara menurut isi hati, aku sering menjadi heran, kenapa sebanyak ini orang di dunia yang suka minum arak, arak sebetulnya jauh lebih sukar diminum dari obat racun "

"Kau tidak suka minum arak?" tanya Pho Ang-soat.

"Sebetulnya aku tidak pandai minum, sekarang juga aku sudah hampir mabuk." Memang dia hampir mabuk, bukan saja kulit mukanya sudah merah legam, biji matanya pun sudah membara.

Pho Ang-soat mengerut kening, tanyanya, "Tidak bisa minum kenapa harus minum?" "Arak ini sudah kupanasi, kalau tidak kuminum, besok akan rusak."

"Maka kau rela diri sendiri jatuh mabuk."

"Siapa pun bila dia ingin membuka toko kelontong, maka dia harus mempelajari satu hal." "Hal apa?"

"Lebih baik diri sendiri yang rugi, jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan barang yang dijajakan." Sampai di sini Li Ma-hou menghela napas, katanya labih lanjut, "Maka laki-laki yang tidak becus macamku ini saja yang rela membuka toko kelontong. Bukan saja tidak bisa mempersunting seorang istri, seorang teman pun dia tidak punya."

Pelan-pelan Pho Ang-soat sedang melalap nasi gorengnya, tiba-tiba dia menghela napas ringan, katanya, "Kau salah."

"Bluk", Li Ma-hou jatuh terduduk di sampingnya, katanya, "Dalam hal apa aku salah?" "Hanya ada semacam orang di dunia ini yang tidak punya kawan."

"Orang macam apa dia?"

"Macam diriku ini." Kepala Pho Ang-soat terangkat, seolah sedang menatap ke tempat jauh, seolah-olah kelihatan hambar kesepian. Selamanya dia tidak punya teman, kelak mungkin takkan punya untuk selamanya. Jiwa raganya seolah-olah sudah dia persembahkan demi dendam kesumat, dendam sakit hati yang takkan terlampias dan terbuka untuk selamanya. Tapi dalam relung hatinya yang paling dalam, kenapa justru mengharap persahabatan yang simpatik?

Dengan biji matanya yang membara Li Ma-hou mengawasinya, tanyanya tiba-tiba, "Yap-kongcu itu masakah bukan temanmu?"

"Bukan," sahut Pho Ang-soat dingin.

"Tapi agaknya dia memandang kau sebagai teman karibnya" "Itulah karena dia mempunyai ciri."

"Punya ciri?"

"Orang yang memandang diriku sebagai teman, otaknya pasti ada cirinya." "Kalau begitu aku ini juga ada cirinya," ujar Li Ma-hou.

"Kau?"

"Karena sekarang ini aku juga hendak bersahabat dengan kau." Begitu mengoceh, lidahnya seolah-olah menjadi besar, memang cepat benar dia jatuh mabuk.

Pho Ang-soat tiba-tiba meletakkan sumpit, katanya dingin, "Nasi gorengmu ini memang tidak jelek rasanya." Tanpa berpaling kepada Li Ma-hou, pelan-pelan dia berdiri memutar badan, karena dia tidak ingin orang melihat mimik mukanya. Tapi Li Ma-hou justru masih mengawasinya, mengawasi punggungnya. Tampak pundak orang sudah mulai mengkeret, agaknya perasaan hatinya tidak tenang.

Tiba-tiba terpancar cahaya aneh dari kedua biji mata Li Ma-hou, pelan-pelan dia mengulurkan tangan, seperti hendak menepuk pundaknya. Tepat pada saat itulah, sekonyong-konyong selarik sinar dingin berkelebat. Sebatang pisau tahu-tahu sudah menancap di atas punggung tangannya.

BAB 18. PISAU TERBANG PENYELAMAT NYAWA

Pisau sepanjang tiga dim tujuh mili. Pisau terbang.

Begitu melihat pisau ini, selebar muka Li Ma-hou seketika berkerut-kerut mengejang. Lalu orangnya pun roboh, seolah disambar petir yang tak bersuara. Waktu dia roboh itulah sesuatu benda kebetulan terjatuh ke atas meja terlepas dari genggaman tangannya.

Sigap sekali Pho Ang-soat tiba-tiba membalik badan, maka dia pun melihat Yap Kay. Dengan tersenyum Yap Kay tengah melangkah masuk. Dia tidak membawa pisau.

Pho Ang-soat menatapnya, lalu mengawasi Li Ma-hou yang menggeletak di atas lantai, bentaknya bengis, "Apa yang kau lakukan?"

Yap Kay mandah tertawa saja diperlakukan secara kasar. Selalu dia suka tertawa untuk menjawab pertanyaan yang tidak perlu dia jawab.

Pho Ang-soat memang tidak perlu bertanya lagi, kini dia pun sudah melihat tiga batang jarum di atas meja. Jarum yang mengkilap hijau keputihan. Jarum inilah yang terjatuh dari jari-jari tangan Li Ma-hou.

Jika pisau itu tidak bertindak tepat pada waktunya, mungkin sekarang Pho Ang-soat sudah mirip Loh Loh-san rebah di tanah tanpa bernyawa lagi. Apakah juragan toko kelontong yang biasanya bekerja secara sembrono ini adalah Toh-popo yang berhati kejam bertangan gapah itu. Lama sekali Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, waktu dia mengangkat kepala, dilihatnya Yap Kay tengah tersenyum kepadanya Mendadak Pho Ang-soat berkata dingin, "Bagaimana kau tahu bila aku tidak akan bisa meluputkan diri dari bokongannya?"

"Aku tidak tahu," sahut Yap Kay.

"Kenapa selalu kau berusaha menolong aku?" "Siapa bilang aku menolong kau?"

"Lalu untuk apa kau kemari?"

"Tidak lebih aku hanya menyambitkan pisau mengarah punggung tangan orang ini, tangan miliknya, pisau milikku, dengan kau tiada sangkut-pautnya."

Terbungkam mulut Pho Ang-soat.

Pelan-pelan Yap Kay maju menghampiri, menghirup napas dalam-dalam, lalu katanya dengan tersenyum, "Agaknya nasi goreng ini memang lezat sekali, wangi memenuhi selera."

"Hm," Pho Ang-soat menggeram.

"Arak ini agaknya juga baik mutunya, sayang sekali sudah habis."

Baru saja Pho Ang-soat hendak buka suara, tiba-tiba Yap Kay sudah tertawa pula, katanya, "Pisauku itu cukup tidak untuk menukar arak seharga seketip?"

Orang yang rebah di lantai diam saja tak bergerak, tiada ada yang menjawab. "Kalau tidak cukup," sela Pho Ang-soat, "kau harus mengganti golokku ini." Tetap tiada orang yang bersuara atau menjawab.

Sambil menghela napas Yap Kay berjongkok menepuk pundak orang, katanya, "Toh-popo aku sudah mengenalimu, buat apa kau " Suaranya mendadak terputus, roman mukanya seketika

menunjukkan keheranan dan terkejut, orang yang dia robohkan ini ternyata untuk selamanya takkan bangun lagi.

Kulit daging muka orang ini sudah mengkeret seperti karet yang kedinginan, kaki tangan pun sudah dingin kaku. Pisau masih menancap di punggung tangannya.

Mengawasi muka itu, lalu mengawasi pisau itu pula, berkata Pho Ang-soat, "Pisaumu beracun?" "Tidak," sahut Yap Kay.

"Kalau tidak beracun bagaimana orang ini bisa mampus?"

"Usianya agak terlalu tua, orang tua biasanya memang tak tahan kaget." "Maksudmu dia mampus lantaran kaget dan ketakutan?"

"Punggung tangan bukan tempat vital, pisauku terang tidak beracun." "Katamu dia ini adalah Toan-yang-ciam Toh-popo?"

"Kalau Bu kut coa (ulat tak bertulang) bisa menjadi nenek, kenapa loh-popo tidak boleh menjadi laki-laki?"

"Ya, aku pun tahu, orang macam apa sebenarnya Toh-popo itu." "Memangnya kau harus tahu."

Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, katanya, "Orang seperti dia, masakah bakal mati ketakutan hanya oleh sebilah pisau sekecil itu?"

"Tapi kenyataan dia sudah mati" "Sebetulnya pisau macam apakah itu?" Yap Kay mandah tertawa. Seperti biasa dia senang tertawa untuk menjawab pertanyaan yang tak perlu dia jawab.

Batang pisau ini tipis dan tajam luar biasa, memancarkan sinar kehijauan yang berkilauan.

Waktu dia mengawasi pisau ini, sorot matanya pun memancarkan cahaya. Lama sudah baru dia bersuara kalem, "Bagaimana pun juga, tidak bisa tidak kau harus mengakui bahwa kenyataan inilah sebatang pisau."

Lama juga Pho Ang-soat menepekur, katanya pelan-pelan kemudian, "Sungguh tak nyana kau pun ahli menggunakan pisau."

Yap Kay tertawa pula.

"Selama ini belum pernah aku melihat kau membawa pisau." "Memangnya pisauku tidak untuk dipertontonkan kepada orang." Terpaksa Pho Ang-soat mengakui.

"Mungkin hanya pisau yang tidak kelihatan saja baru merupakan pisau yang paling menakutkan."

"Tiada pisau yang tidak kelihatan di dunia ini," jengek Pho Ang-soat.

Dengan memicing Yap Kay mengawasi pisau di tangannya, katanya kalem, "Mungkin kau bisa melihatnya, tapi bila kau benar-benar sudah melihatnya, mungkin saat itu sudah terlambat."

Pisau yang dapat membuat orang mati ketakutan, biasanya memang sebilah pisau yang tak kelihatan. Karena begitu kau dapat melihatnya, segalanya sudah terlambat.

Tahu-tahu pisau itu sudah tak terlihat lagi. Mendadak pisau di tangan Yap Kay itu sudah lenyap, seperti dia pandai main sulap saja.

Pho Ang-soat tertunduk, mengawasi golok di tangannya, sorot matanya menampilkan perasaan yang aneh sekali. Akhirnya dia paham apa yang dimaksud oleh Yap Kay.

Kongsun Toan pun belum pernah melihat goloknya itu. Yang terlihat oleh Kongsun Toan hanyalah gagang golok dan sarung goloknya.

Yap Kay berkata tawar, "Orang yang gampang terlihat oleh orang, sulit untuk dia membunuh orang."

Pho Ang-soat sedang mendengarkan.

Pelan-pelan Yap Kay melanjutkan, "Maka orang yang tahu cara menggunakan pisau, maka dia pun tahu cara bagaimana dia harus menyimpan pisaunya."

Pelan-pelan Pho Ang-soat menghela napas, seperti menggumam dia berkata, "Sayang sekali hal ini sulit dilaksanakan."

"Ya, memang sulit."

"Jauh lebih sulit daripada kau menggunakannya." "Agaknya kau sudah paham."

"Aku sudah paham," sahut Pho Ang-soat sambil angkat kepala mengawasi Yap Kay. Tawa Yap Kay hangat dan simpatik.

Tiba-tiba Pho Ang-soat menarik muka pula, katanya dingin, "Oleh karena itu aku pun berharap kau memahami satu hal"

"Hal apa?"

"Selanjutnya jangan kau datang berusaha menolongku, jalanlah menuju ke tujuanmu, aku akan pergi ke arahku sendiri, bahwasanya kita tidak punya hubungan apa-apa, umpama kau mampus di hadapanku aku pun takkan menolongmu." "Kita bukan teman?" "Bukan."

"Ya, aku pun mengertilah."

"Kalau begitu sekarang juga silakan kau tempuh ke arahmu sendiri" "Dan kau, kau tidak mau keluar?"

"Kenapa aku harus keluar?"

"Ada orang sedang menunggumu di luar." "Siapa?"

"Seorang nenek yang bukan nenek." "Untuk apa dia menunggu aku?"

"Supaya kau ke sana bertanya, kenapa dia hendak membokong kau."

Seketika bersinar biji mata Pho Ang-soat, segera dia beranjak keluar dengan langkah lebar. Bahwasanya dia tidak perlu tergesa-gesa keluar, karena betapapun lamanya orang di luar itu harus menunggu, dia toh tidak pernah gugup dan gelisah. Orang yang sudah mati selamanya takkan gelisah.

Perawakan Sebun Jun memang sedang-sedang saja, kini sudah meringkuk seperti trenggiling.

Mereka berada di pojokan belakang punggung lemari, biji matanya melotot keluar, seolah-olah membawa perasaan gusar dan ketakutan sebelum ajalnya. Siapakah yang membunuhnya?

Agaknya dia sendiri tidak menduga bila orang itu akan datang membunuhnya. Sebuah bor baja telak sekali tembus di hulu hatinya, darah yang mengalir dari lukanya masih belum lagi membeku kering.

Sekelilingnya tidak kelihatan bayangan seorang pun. Kini tibalah saatnya orang-orang makan malam, memang biasanya jarang orang berlalu-lalang di jalan raya pada saat-saat seperti ini.

Pho Ang-soat berdiri di sana, badannya pun sudah kaku, setelah dia mendengar langkah Yap Kay yang mendatangi, baru dia bertanya dengan suara berat, "Katamu orang-orang inikah Bu kut coa Sebun Jun?"

Berselang lama Yap Kay baru menghela napas, dengan ogah-ogahan dia mengiakan. "Aku pun tahu orang macam apa dia sebenarnya."

"Memang pantas kau mengetahuinya."

"Tanpa memberi perlawanan dia pun tidak berteriak, tahu-tahu sudah mampus terbunuh." "Memangnya ini serangan telak yang mematikan."

"Tak banyak orang yang mampu membunuhnya dengan cara ini." "Banyak sekali."

"Banyak sekali?"

"Siapa pun boleh saja membunuhnya, karena dia hakikatnya sudah tidak punya daya untuk melawan."

"Kenapa?"

"Aku kuatir dia tidak sudi menunggumu, maka sebelumnya sudah kutotok Hiat-tonya!" Yap Kay tertawa getir, sambungnya, "Meski banyak orang yang bisa membunuh dia, namun yang benar- benar ingin membunuhnya hanya seorang saja."

"Siapa?" "Seorang yang kuatir kau dapat mengompas keterangannya."

"Kenapa dia hendak membunuhku? Siapa pula yang menyuruh dia membunuhku? ... inikah rahasianya?"

"Tidak salah."

Pho Ang-soat tiba-tiba tertawa dingin, lalu putar badan tinggal pergi. "Kemana kau?"

"Akan kutempuh jalanku sendiri, kenapa tidak kau tuju arah jalanmu sendiri?" Tanpa berpaling pelan-pelan dia menyusuri jalan raya yang panjang ini.

Jalan raya ini sunyi lengang, lampion merah di atas pintu sempit itu sudah menyala. Kebetulan segulung angin deras menghembus datang, kertas yang ditempelkan pada dinding di luar gang sempit itu seketika tertiup lepas dan terbang entah kemana.

Angin terasa dingin, malam sudah tiba, apakah musim rontok pun bakal tiba?

Angin dingin, hawa sedikit panas. Tapi dalam rumah hangat segar seperti hawa di musim semi. Memang bagi pandangan kaum pria, tempat ini seolah-olah sepanjang tahun adalah musim semi.

Meja-meja di pojokan sana sudah diduduki beberapa orang yang sibuk menghabiskan arak masing-masing, malam belum larut, namun mereka sudah terpengaruh oleh air kata-kata.

Baru saja Yap Kay duduk, Siau Piat-li sudah mendorong cangkir arak kepadanya, katanya dengan tersenyum, "Jangan lupa kau pernah berjanji hendak mentraktir aku minum." Cangkir itu sudah diisi penuh arak.

Yap Kay tertawa, ujarnya, "Jangan lupa kau berjanji aku boleh teken bon di sini."

"Siapa pun yang pernah berjanji sesuatu kepadamu, agaknya sulit juga untuk melupakannya." "Memangnya sukar."

"Maka boleh sesuka dan sepuasmu kau minum di sini."

Yap Kay tertawa lebar, cangkir diangkat terus ditenggaknya habis, kepalanya berpaling matanya menjelajah, katanya, "Hari ini tamu yang datang tidak sedikit jumlahnya."

Siau Piat-li manggut-manggut, ujarnya, "Asal lampion merah menyala, segera orang bakal masuk kemari."

"Maka aku curiga apakah seharian mereka sudah menunggunya lebih dulu di luar pintu." "Tempat seperti ini memang rada aneh, setiap orang yang pernah berkunjung dua tiga kali,

lekas sekali dia sudah akan tuman, jika tidak kemari meski hanya untuk duduk dan berputar-putar saja, agaknya mereka tidak bisa tidur."

"Sekarang juga aku sudah tuman, hari ini aku datang tiga kali." "Maka aku menyukai kau."

"Oleh karena itu kau memperbolehkan aku teken bon di sini."

Siau Piat-li tergelak-gelak. Orang yang duduk di pojokan sana berpaling kemari dengan pandangan keheranan. Paling tidak mereka sudah ratusan kali datang ke tempat ini, namun belum pernah mereka melihat juragan dari sarang hiburan sebatangkara dan cacad ini tertawa sedemikian riangnya. Tapi lekas sekali Siau Piat-li sudah menghentikan tawanya, katanya, "Apa benar Li Ma-hou adalah Toh-popo?"

Yap Kay manggut-manggut.

"Aku masih belum mengerti, cara bagaimana kau bisa mengetahuinya." "Aku tidak tahu, hakikatnya apa pun aku tidak tahu." "Jadi hanya tebakanmu saja."

"Aku hanya merasa sedikit heran, kenapa Sebun Jun menyuruh Pho Ang-soat mengambil buntalannya di toko kelontong itu?"

"Hanya satu saja alasannya."

"Waktu aku sampai di sana, ternyata dia mengundang Pho Ang-soat untuk makan di luar." "Itu tidak mengherankan."

"Justru mengherankan," ujar Yap Kay. "Sekarang setiap penduduk kota ini sudah tahu bahwa Pho Ang-soat adalah musuh besar Ban be tong, orang dengan watak dan perangai seperti Li Ma- hou, masakah dia berani berdosa terhadap Ban be tong?"

"Benar, seharusnya dia bisa menolak atau tidak berani menyimpan buntalan itu." "Tapi dia justru menyimpannya."

"Maka dia pasti mempunyai suatu maksud tertentu" "Maka aku baru merasa pasti dia itulah Toh-popo." "Tebakanmu tidak meleset."

"Untung aku tidak salah tebak." "Kenapa?"

"Karena dia sudah mati lebih dulu karena ketakutan." Siau Piat-li melenggong.

"Tidak kau kira bukan?" tanya Yap Kay.

Siau Piat-li menghela napas, tanyanya, "Lalu Sebun Jun?" "Dia pun sudah ajal."

Diangkatnya cangkir arak di depannya pelan-pelan. Siau Piat-li menenggaknya pelan-pelan, katanya dingin, "Agaknya hatimu memang tidak lemah."

Yap Kay menatapnya bulat-bulat, katanya tawar, "Sekarang agaknya kau sudah menyesal karena memberi peluang kepadaku untuk tekan bon."

"Aku hanya heran, orang-orang seperti mereka bagaimana bisa datang dan berada di tempat seperti ini, malah begitu datang lantas menetap di sini lidak mau pergi."

"Mungkin mereka sedang menghindari kejaran musuh atau mungkin pula musuh besar mereka adalah Pho Ang-soat."

"Tapi waktu mereka datang kemari, Pho Ang-soat masih seorang bocah kecil." "Lalu kenapa mereka hendak membunuh Pho Ang-soat?" ujar Yap kay.

“Tidak seharusnya kau bunuh mereka, karena hanya mereka saja yang patut mengajukan pertanyaan itu kepadamu."

"Memang mereka mati terlalu cepat dan belum saat ajalnya, namun.....

"Namun bagaimana?" Siau Piat-li menegas

Tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, ujarnya, "Jangan kau lupa bahwa manusia mati ada kalanya pun bisa bicara."

"Apa yang mereka katakan?"

"Sekarang belum bicara, karena aku belum sempat bertanya pada mereka." "Kenapa tidak segera kau tanya?" "Kalau aku tidak tergesa-gesa, tentu mereka pun tetap sabar."

Siau Piat-li tertawa pula, katanya tersenyum sambil menatap Yap Kay, "Kau ini memang seorang yang aneh sekali."

"Sama anehnya dengan Sam-lopan "

"Lebih aneh lagi. " sampai di sini kata-katanya, mendadak terdengar suara ribut-ribut, di

antara suara ribut-ribut terdengar orang berteriak, "Api, kebakaran, lekas tolong kebakaran "

Kobaran jago merah amat besar. Yang terbakar ternyata adalah toko kelontong Li Ma-hou. Asal kebakaran ternyata dari gubuk papan di bagian belakang itu, sekejap saja seluruh toko kelontong itu sudah terjilat begitu cepat api menjalar sampai tak bisa dikuasai lagi.

Umpama orang ingin menonton kebakaran dari seberang juga tidak mungkin lagi. Karena bangunan rumah-rumah sepanjang jalan raya yang berhimpitan ini semuanya terbuat dari papan kayu. Dalam sekejap seluruh penduduk jalan raya ini menjadi ribut dan sibuk, berbagai barang yang dapat dibuat wadah air sudah diboyong keluar.

Cahaya api menerangi muka Siau Piat-li, raut mukanya yang pucat kelihatan merah dan menguning ditimpa sinar api, katanya setelah menepekur, "Agaknya api mulai menjilat dari gubuk di belakang yang menjadi dapur itu."

Yap Kay manggut-manggut.

"Waktu kau keluar, apa kau lupa memadamkan api?" "Bahwasanya waktu itu belum saatnya menyalakan lampu." "Apakah tungkunya tidak ada sisa api?"

"Tungku milik setiap keluarga selalu ada apinya."

"Jadi kau berpendapat ada orang yang sengaja melepas api membakar rumah itu?" "Seharusnya aku ingat ada orang akan membakar rumah itu," ujar Yap Kay tertawa. "Kenapa?"

Yap Kay tertawa aneh, ujarnya, "Karena mayat yang sudah terbakar hangus, selamanya dia akan betul tidak bisa bicara lagi" Tiba-tiba dia merebut sebuah ember di tangan orang yang baru saja lewat di depannya, dengan gigih dia ikut bekerja menolong memadamkan api. Lekas sekali Siau Piat-li sudah tidak melihat lagi bayangannya, namun sorot matanya masih kelihatan banyak dirundung persoalan dan hati pun masgul.

Tiba-tiba datang seseorang secara diam-diam ke dekatnya, lalu bertanya dengan lirih, "Apa yang sedang kau pikirkan?"

Siau Piat-li tidak berpaling, sahutnya kalem, "Baru saja aku memperoleh suatu pelajaran." "Pelajaran apa?" tanya orang itu.

"Kalau kau ingin seseorang bungkam dan tak bicara lagi, sesudah kau bunuh harus kau bakar sekalian."

Banyak sekali orang yang sibuk berusaha memadamkan kebakaran ini, sayang sekali sumber airnya yang tiada.

Untung belum lama berselang baru saja hujan, rumah-rumah penduduk tidak seluruhnya kering seratus persen, walau kobaran api tidak segera bisa dipadamkan, tapi merambatnya yang sedikit terhalang.

Yap Kay berjubel di antara orang banyak yang banting tulang menolong kebakaran, namun sepasang matanya setajam mata elang jelalatan ke setiap penjuru, menjelajahi raut muka setiap orang yang dilihatnya. Soalnya orang yang melepas api biasanya pura-pura ikut berusaha menolong kebakaran, mungkin lantaran supaya tiada orang yang mencurigai dirinya, atau mungkin dia ingin menikmati jerih payah orang-orang yang bekerja mati-matian memadamkan api, sekaligus menikmati hasil karyanya dengan melepas api tadi. Sudah tentu ini merupakan sifat atau sikap kejam dan tidak berperi-kemanusiaan, tapi orang yang melepas api itu memangnya bukan mustahil memiliki jiwa yang eksentrik dan kejam? Cuma sayang sulit sekali dapat melihat jiwa orang-orang seperti ini dari lahiriah dan tingkah-laku orang ini.

Baru saja Yap Kay merasa rada kecewa, tiba-tiba terasa ada seseorang tengah menarik lengan bajunya dengan keras dari belakang. Begitu dia berpaling, dilihatnya orang itu sudah berpaling ke arah lain dan sebat sekali sudah mendesak keluar dari gerombolan orang banyak. Itulah seorang yang mengenakan topi beludru dan berpakaian jubah hijau. Sudah tentu Yap Kay tidak kalah gesitnya ikut mendesak keluar dari kerumunan orang banyak. Setelah berada di luar, yang terlihat juga cuma bayangan punggung orang baju hijau ini.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar