Peristiwa Bulu Merak Bab 24 : Pertarungan Terakhir (Tamat)

 
Bab 24. Pertarungan Terakhir (Tamat)

Kiu-hoa-san terletak empat puluh li di sebelah barat daya kota Ceng-yang di wilayah propinsi An-hwi.

Ke arah selatan dari Kui-hoa-san dapat memandang Ling-yang, ke barat menghadap ke Jiu-poh, di utara bersambung dengan jalan raya Ngo-hi, ke timur bertaut dengan dua puncak Ling-gou dan Kui-hoa-san.

Kiu-hoa-kiam-pay bukan saja memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya, di puncak gunung itu penuh diliputi romantika para penyair dan kaum Buddhis yang serba rahasia.

Dalam Bu-lim ada Jit-toa-kiam-pay (tujuh aliran besar ilmu pedang), Kiu-hoa-san tidak termasuk di antaranya, karena murid didik Kiu-hoa-san memang teramat jarang, jejak mereka pun tidak sembarangan berkecimpung di Kangouw. Beberapa tahun yang lampau, sudah tersiar luas berita bahwa Kiu-hoa-san sudah menggabungkan diri ke pihak Yu-bing-kau, sekaligus mereka menjunjung dua Cosu sebagai cikal-bakal mereka. Seorang adalah Te-cong-ong Posat, seorang lagi adalah penyair terkenal sejak zaman dinasti Tong waktu Li Si-bin bertahta, yaitu penyair romantis Li Pek.

Konon Li Pek yang bergelar Ceng-lian Kisu bukan saja dewanya penyair, dia pun seorang dewa pedang, ilmu pedang Kiu-hoa-pay merupakan warisan langsung dari ilmu ciptaannya.

Setelah ratusan dan ribuan tahun kemudian, dalam kalangan Kangouw muncul pula seorang pendekar aneh Li Mo-pek, dia pun keturunan langsung dari Kiu-hoa-pay. Berita yang tersiar luas di kalangan Kangouw, menjadikan pandangan kaum persilatan bertambah misterius terhadap aliran Kiu-hoa-pay.

Maka jejak murid-murid Kiu-hoa-pay serba tersembunyi dan rahasia, beberapa tahun belakangan ini boleh dikata mereka sudah tidak terjun ke dalam percaturan dunia persilatan.

Tapi semua ini bukan penyebab kagetnya Pho Ang-soat, yang membuatnya terkejut adalah ji-gi Taysu sendiri.

Ji-gi Taysu mengenakan jubah keimanan warna putih, berkaos kaki putih, kepala gundul klimis, sikapnya serius dan agung, sorot matanya bersinar, selintas pandang jelas adalah seorang beribadat yang sudah amat mendalam ajaran agamanya, seorang perempuan yang menjadi pendeta dalam ajaran agamanya.

Ji-gi Taysu ternyata adalah seorang Nikoh.

Kelihatan usianya sudah mendekati setengah baya, perawakannya sedang, wajahnya ayu jelita tapi bersih dan kereng, gerak-geriknya sopan dan sikapnya ramah, wajahnya yang kelihatan serius, tidak menampilkan sesuatu yang menarik perhatian orang. Sudah tentu tidak pula menunjukkan sesuatu yang patut dibuat kaget.

Dalam padangan siapa pun, dia tidak lebih hanya seorang Nikoh setengah baya yang patuh pada ajaran agama dan tekun menjalankan ibadah, tiada bedanya dengan para Nikoh lain yang tekun dan patuh akan tata tertib ajaran agamanya.

Tapi dalam pandangan Pho Ang-soat ternyata jauh berbeda, walau wajahnya kelihatan cantik dan suci, sepasang tangannya pun seelok batu jade yang mulus dan lembut serta lemas seperti tak bertulang. Kakinya yang telanjang juga kelihatan putih mulus mempesona pandangan. Jubah keimanan yang putih dan gombrong lemas, bersih tak berdebu, menutupi perawakannya yang ramping dan menggiurkan. Tiada seorang pun pernah membayangkan bagaimana bentuk tubuh seorang Nikoh setengah baya yang kelihatan alim ini di balik jubah gombrongnya.

Tapi lain bagi Pho Ang-soat, dia dipaksa untuk membayangkan. Jubah putih yang terlampir di atas pagar, perawakan ramping molek di dalam bak mandi, rintihan di tengah gelap dengan napas yang memburu, pelukan yang hangat dan halus licin, sepasang payudara yang gempal, serta kedua tangan yang memancing birahi hingga dia tenggelam dalam mimpi kenikmatan.

Ternyata tidak bisa tidak dia harus membandingkan perempuan yang semalam mahir bermain adegan ranjang dengan Nikoh setengah baya yang kelihatan suci dan agung ini. Walau dia berusaha mencegah hatinya berpikir, namun apa lacur, dia tidak bisa tidak memikirkannya.

Padahal dia sudah tidak peduli dan tak mau campur akan segala persoalan di sekelilingnya, namun Nikoh setengah baya yang patuh akan ajaran agamanya ini justru membuatnya kacau dan berantakan. Terasa bibirnya kering tenggorokan gatal, jantung berdetak lebih keras, hampir tak kuat dia menguasai emosinya.

Ji-gi Taysu sebaliknya hanya memandangnya sekilas, wajahnya yang agung kelihatan suci sedikitpun tidak menampilkan perasaan hatinya.

Pho Ang-soat sudah hampir tak tahan, ingin memburu ke bawah menjambret jubahnya serta menelanjanginya, ingin dia memeriksa apakah Nikoh ini adalah perempuan yang semalam temannya bermain.

Tapi terpaksa dia harus menekan emosi dan bersabar, seolah-olah dia mendengar orang bertanya, “Apakah Sicu ini adalah Pho Ang-soat yang terkenal di seluruh dunia itu?” Seolah-olah dia pun mendengar jawabannya, “Ya, aku adalah Pho Ang-soat.”

Coh-hujin mengawasi mereka, sorot matanya membayangkan rona kelicikan, mencemooh dan penuh muslihat. Apakah dia sudah tahu akan kejadian mereka semalam? Mendadak Coh-hujin tertawa, katanya, “Taysu sudah lama mengasingkan diri di Kiu-hoa, tak nyana juga sudah tahu nama besar Pho-tayhiap.”

Ji-gi Taysu berkata, “Walau Pinni hidup di luar duniawi, namun segala kejadian di dunia Kangouw, sedikitpun tak pernah ketinggalan.”

Coh-hujin bertanya pula, “Sebelum ini apakah Taysu pernah melihatnya?”

Ji-gi Taysu menepekur, ternyata dia mengangguk, katanya, “Agaknya pernah melihatnya sekali, sayang waktu itu cuaca amat gelap, hingga tak sempat melihat jelas.”

Coh-hujin tertawa, katanya, “Walau Taysu tak melihat jelas, dia pasti melihat Taysu dengan jelas.” “Ah, masa?”

Senyum Coh-hujin penuh mengandung arti, katanya, “Karena Pho-tayhiap kita ini punya mata malam, di dalam gelap dapat melihat benda seterang kita melihat benda di tempat terang.”

Wajah Ji-gi Taysu seperti menunjukkan sedikit perubahan aneh.

Perasaan Pho Ang-soat pun semakin berat, seperti tenggelam dalam lautan.

Dalam kegelapan semalam, hakikatnya dia tidak memperhatikan, cuma lapat-lapat dia hanya melihat bentuk tubuhnya yang mulus menggiurkan. Selama ini tak pernah terpikir olehnya akan hal ini, baru sekarang dia menyadari bahwa ketajaman matanya mulai terpengaruh dan kurang beres. Kejadian pasti berlangsung setelah dia bertemu dengan orangtua dalam almari besi itu. Apakah sorot mata orangtua itu, memiliki kekuatan iblis yang dapat menyebabkan seseorang berubah menjadi pikun dan tumpul pikirannya? Kenapa dia mencegah Pho Ang-soat melihat jelas perempuan yang diajaknya bermain di atas ranjang? Kenapa pula perempuan itu harus menunggunya di tempat gelap?

Dua orang saksi terakhir juga ditunjuk oleh Kongcu Gi dan dipanggil masuk, ternyata Pho Ang-soat tidak memperhatikan lagi siapa kedua saksi ini.

Hatinya kalut lagi, perasaannya tidak tenteram.

Apa pun dia tak bisa melupakan adegan 'syuur' semalam, dia merasa berdosa karena seorang segar bugar dia peralat untuk melampiaskan nafsu binatangnya.

Isak tangis Tan-toalopan, tatapan benci Ni Po-hong yang penuh dendam, mendadak berubah menjadi tekanan yang tak mungkin bisa dia bendung. Demikian pula pedang merah darah itu.

Kenapa pedang merah darah itu bisa terjatuh ke tangan Kongcu Gi? Kalau pedang di tangannya, lalu dimana Yan Lam-hwi sekarang? Ada hubungan misterius apakah di antara kedua orang ini, kenapa sampai sejauh ini Kongcu Gi tetap tidak mau memperlihatkan wajah aslinya?

*******************

Cahaya obor menyala benderang sehingga panggung batu itu seterang siang hari.

Akhirnya Pho Ang-soat naik ke atas panggung batu, jarinya menggenggam kencang gagang goloknya, lebih kencang dari pegangan biasanya.

Di kala dia sedang sedih, pilu dan risau, menderita tanpa bantuan, hanya golok itu yang selalu menjadi pendamping, memberikan kekuatan yang menenteramkan perasaannya.

Terhadap dirinya, golok ini lebih berguna dari sebatang tongkat yang biasa digunakan si tuna netra, antara jiwa raga dan goloknya itu, seperti sudah terjalin suatu ikatan lahir batin. Semacam perasaan atau ikatan yang tak bisa diselami oleh orang lain, malah satu sama lain saling mempercayai.

Kongcu Gi menatapnya lekat-lekat, katanya pelan sepatah demi sepatah, “Sekarang setiap saat kau sudah boleh mencabut golokmu.” Sekarang pedang pun sudah berada di tangannya.

Hadirin maklum dalam kondisi seperti ini, orang percaya dia jauh lebih yakin dan mantap dibanding Pho Ang-soat.

Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Maukah kau menunggu sebentar?” Sorot mata Kongcu Gi menampilkan cemoohan, katanya, “Kau boleh menunggu, namun harus kau sadari, betapapun lama aku menunggu, kalah menang tetap takkan bisa berubah.”

Pho Ang-soat seperti tidak mendengar, habis dia bicara, mendadak dia putar tubuh beranjak pergi, langsung mendekati Ji-gi Taysu.

Ji-gi Taysu mengangkat kepala memandangnya dengan rasa kejut dan curiga. Pho Ang-soat bertanya, “Taysu datang darimana?”

“Datang dari Kiu-hoa,” jawab Ji-gi Taysu. “Sang raja datang darimana?”

“Datang dari Sin-kiang.”

“Dia membuang kedudukan dan keagungan, apa tujuannya?” “Membina diri memperdalam agama Buddha.”

“Kalau sudah membina diri belajar agama Buddha, kenapa bersumpah pun dia tidak bisa menjadi dewa?”

“Karena dia harus menolong sesama manusia,” sikap Ji-gi Taysu makin tenang, sikapnya pun kelihatan agung dan angker, orang lain hakikatnya tiada yang paham apa yang mereka perbincangkan.

Pho Ang-soat bertanya pula, “Ongcu sekarang dimana?” “Tetap di Kiu-hoa.”

“Kalau Ongcu menolong sesama umat manusia, lalu Taysu?” “Pinni juga punya cita-cita yang sama.”

“Kalau demikian, semoga Taysu sudi memberi berkah kepadaku, supaya hatiku tenteram pikiran tenang.”

Ji-gi Taysu merangkap kedua tangan, katanya, “Ya.” Dari dalam kantung bajunya dia mengeluarkan sebuah botol kecil serta menuangkannya beberapa tetes minyak suci, minyak suci ini dia poleskan di muka dan punggung tangan Pho Ang-soat, mulutnya komat-kamit membaca mantra entah apa artinya, lalu dia bertanya, “Apa keinginanmu?”

Seperti bersenandung Pho Ang-soat tarik suara, “Selamat tenteram, tak bergerak laksana bumi, tenang mendalam, laksana madu seperti sang dewa.”

Dengan telapak tangannya perlahan Ji-gi Taysu menepuk batok kepala Pho Ang-soat, katanya, “Baiklah, kau boleh pergi.”

“Baik, aku segera pergi,” sahut Pho Ang-soat.

Waktu dia mengangkat kepala, wajahnya yang pucat dan kurus kelihatan memancarkan cahaya, bukan cahaya dari minyak. Tapi cahaya terang laksana sinar pusaka yang membawa ketenteraman dan ketenangan.

Lalu dia putar tubuh langsung beranjak ke atas panggung. Waktu lewat di depan Coh-hujin, mendadak dia berkata, “Sekarang aku sudah tahu.”

“Tahu apa?” tanya Coh-hujin.

“Tahu kau inilah, “sahut Pho Ang-soat.

Berubah rona muka Coh-hujin, serunya, “Apalagi yang kau ketahui?” “Yang patut kuketahui sudah kuketahui.”

“Kau ... darimana kau bisa tahu?” “Tenang mendalam laksana dewa.”

Di waktu dia naik pula ke atas panggung berhadapan dengan Kongcu Gi, bukan saja sikapnya tenang wajar, seolah-olah dia betul-betul setenang bumi yang tak tergoyahkan.

Punggung tangan Kongcu Gi yang menggenggam pedang ternyata mengencang hijau karena otot-otot tangannya merongkol keluar. Pho Ang-soat menatapnya sinis, katanya tiba-tiba, “Kau sudah pernah kalah sekali, kenapa mengejar kekalahan lagi?”

Badan Kongcu Gi bergetar, sorot matanya memicing beringas, mendadak dia menghardik laksana guntur, pedang sudah tercabut, sinar pedang yang merah darah berkelebat laksana bianglala. Hanya pandangan seorang yang betul-betul tajam mungkin dapat mengikuti sambaran sinar perak yang berkelebat sekali di tengah sambaran cahaya merah bianglala tadi.

“Ting” hanya sekali berdenting, maka seluruh gerakan seketika berhenti, seperti beku dan kaku, seluruh kehidupan di mayapada ini, seperti mati seketika dalam detik itu pula. Golok Pho Ang-soat sudah berada dalam sarungnya, ujung pedang Kongcu Gi masih mengincar tenggorokannya, tapi dia tidak berani menusukkan. Sekujur badannya seperti mendadak menjadi kaku dan beku.

Perlahan tapi pasti topeng tembaga hijau di mukanya merekah menjadi dua hingga kelihatan wajah asli di balik topeng. Itulah seraut wajah yang putih bersih, wajah nan cakap dan ganteng, namun wajah ini diliputi rasa ngeri dan takut.

“Trang”, waktu topeng tembaga yang terbelah itu jatuh mengeluarkan suara berisik, pedang pun terlepas berkerontang.

Orang di balik kedok ini ternyata adalah Yan Lam-hwi.

Cahaya obor gemerlapan, ruang sebesar itu dalam keadaan hening lelap tanpa sedikit suara pun. Akhirnya Yan Lam-hwi buka suara, “Sejak kapan kau tahu?”

“Belum lama,” sahut Pho Ang-soat.

“Waktu kau mencabut golok sudah tahu akan diriku?” “Betul.”

“Maka kau punya keyakinan pasti menang.”

“Karena dalam hatiku sudah tidak kalut tidak tergerak.”

Yan Lam-hwi menarik napas panjang, katanya muram, “Sudah tentu kau harus punya keyakinan, karena aku sebetulnya memang sudah mati di tanganmu.”

Lalu dia memungut pedang panjangnya dengan kedua tangan, dia angsurkan ke depan, katanya pula, “Silakan, silakan turun tangan.”

Pho Ang-soat menatapnya bulat, katanya, “Sekarang cita-citamu sudah terkabul?” “Ya, sudah,” ujar Yan lam-hwi.

Tawar suara Pho Ang-soat, “Maka sekarang kau sudah menjadi seorang mati, kenapa aku harus turun tangan pula?” Dia membalik badan, tidak memandang lagi ke arah Yan Lam-hwi.

Memang dia tidak perlu melihat atau menjumpainya lagi. Di belakang didengarnya helaan napas panjang, darah muncrat bercecer di sekitar kakinya. Dia tetap tidak menoleh, wajahnya yang pucat menampilkan kepedihan dan kerawanan.

Dia tahu akhir dari persoalan ini. Ada kalanya akhir dari sesuatu persoalan memang tak bisa diubah oleh siapa pun, demikian pula nasib manusia.

Lalu bagaimana dengan nasibnya sendiri?

Orang pertama yang menyongsong dirinya adalah Ji-gi Taysu, dengan tersenyum dia menyapa, “Sicu sudah menang.”

“Apa betul Taysu pasti Ji-gi (terkabul)?” Ji-gi Taysu bungkam.

“Kalau Taysu juga belum tentu Ji-gi, lalu darimana tahu aku betul-betul sudah menang?”

Perlahan Ji-gi Taysu menghela napas, katanya, “Betul, entah menang entah kalah? Terkabul atau tidak terkabul? Lalu siapa yang tahu?” Kedua tangan terangkap di depan dada, lalu bersabda pula, perlahan dia beranjak minggir.

******************* Waktu Pho Ang-soat mengangkat kepalanya, dalam ruang besar ini hanya tertinggal Coh-hujin seorang saja. Orang sedang mengawasi dirinya, bila dia menoleh baru dia berkata kalem, “Aku tahu.”

“Kau tahu?” Pho Ang-soat menegas.

“Menang adalah menang, yang menang memiliki segalanya, yang kalah harus mati, hal ini jelas tak boleh dipalsukan.” Setelah menghela napas dia menyambung, “Yan Lam-hwi sudah mati, maka sudah pasti kau adalah ”

Pho Ang-soat menukas perkataannya, “Yan Lam-hwi memang sudah mati, lalu Kongcu Gi?” “Bukankah kau sudah saksikan sendiri?”

“Saksikan apa?”

“Yan Lam-hwi adalah Kongcu Gi.” “Apa betul dia?”

“Memangnya bukan?” “Pasti bukan.”

Coh-hujin tertawa, mendadak dia menuding ke belakangnya, katanya, “Coba kau lihat pula apakah itu?”

Di belakangnya adalah panggung batu. Panggung batu yang datar mengkilap mendadak merekah ke pinggir, sebuah kaca tembaga raksasa tengah mumbul dari bawah panggung.

“Apakah itu?” tanya Coh-hujin. “Kaca tembaga.”

“Ada apa di dalam kaca?”

Di dalam kaca masih ada orang.

Pho Ang-soat tepat berdiri di depan kaca tembaga, maka bayangannya terlihat di dalam kaca. “Sekarang apa yang kau lihat?”

“Melihat diriku sendiri.”

“Maka kau sudah melihat Kongcu Gi, karena sekarang kau adalah Kongcu Gi.” Pho Ang-soat diam.

Dia bilang dirinya adalah Kongcu Gi. Ternyata dia diam. Kadang kala diam merupakan tantangan tanpa suara, tapi lebih sering bukan demikian.

“Kau serba pintar dan teliti, dari tangan Ji-gi Taysu yang memoles minyak di muka dan di tanganmu, kau lantas tahu perempuan yang semalam tidur dengan kau bukan dia, tapi adalah aku.”

Pho Ang-soat tetap bungkam.

“Oleh karena itu sekarang kau pasti sudah tahu, kenapa kau adalah Kongcu Gi.” Mendadak Pho Ang-soat bertanya, “Apa betul sekarang aku adalah Kongcu Gi?” “Paling tidak sekarang memang demikian kenyataannya.”

“Lalu sampai kapan baru aku bukan Kongcu Gi?”

“Sampai muncul pula seorang jago yang lebih kuat dari kau di Bu lim, waktu itu “Waktu itu nasibku akan seperti Yan Lam-hwi sekarang.”

“Betul, waktu itu bukan saja kau bukan lagi Kongcu Gi, kau pun bukan Pho Ang-soat. Waktu itu kau sudah menjadi orang mati,” dia tersenyum manis dan genit. “Tapi aku percaya dalam jangka sepuluh tahun pasti takkan muncul seorang yang lebih kuat dari kau, maka semua yang ada di sini menjadi milikmu, kau bisa memiliki, menikmati seluruh kekayaan, kebesaran nama dan kewibawaan, kau pun bisa menikmati kehangatan tubuhku.”

Jari Pho Ang-soat yang menggenggam golok mengencang katanya, “Jadi selamanya kau adalah milik Kongcu Gi?” “Ya, selamanya, meski Kongcu Gi berganti sepuluh orang.”

Pho Ang-soat menatapnya nanar, genggaman tangan semakin erat, menggenggam goloknya. Mendadak dia mencabut golok, hanya sekali golok berkelebat. Kaca tembaga itupun terbelah, mirip topeng tembaga di muka Yan Lam-hwi tadi, terbelah dua dan ambruk.

Begitu kaca tembaga ambruk, maka muncullah satu orang…..

*******************

Satu orang tua.

Di belakang kaca adalah sebuah kamar yang terpajang serba mewah dan antik, di pojok sana terdapat sebuah ranjang pendek yang serba baru dan menyolok warnanya.

Orang tua itu rebah miring di atas ranjang.

Dia sudah tua, sudah reyot, namun sepasang matanya masih kelihatan cemerlang seperti mata setan dan iblis, hingga kelihatan masih muda dan bercahaya.

Sepasang mata inilah yang dilihat Pho Ang-soat di dalam almari besi yang gelap itu. Mata bercahaya muda ini kini sedang menatapnya.

Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, tajam goloknya seperti berganti di kedua matanya, katanya menatap tajam, “Di dunia ini hanya ada satu orang tahu siapa sebenarnya Kongcu Gi itu.”

“Siapa tahu?” tanya orangtua.

“Kau sendiri,” sahut Pho Ang-soat tegas. “Kenapa aku yang tahu?” tanya orangtua. “Karena kaulah Kongcu Gi yang tulen.”

Orang tua itu tertawa, tertawa bukan menyangkal, apalagi tawa seperti yang satu ini.

Pho Ang-soat berkata pula, “Kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Kongcu Gi pasti bukan diperoleh dengan mudah.”

Memang tiada hasil yang diperoleh tanpa kerja di dunia ini, terutama nama besar, kekayaan dan kekuasaan.

“Seseorang pasti merasa berat kehilangan segala yang dimiliki,” demikian kata Pho Ang-soat. Siapa pun demikian.

“Sayang sekali kau sudah tua, kondisi badanmu semakin susut dan kesehatan pun menurun, kau ingin mempertahankan segala milikmu, terpaksa kau harus mencari seorang duplikat, seorang yang dapat mewakili dirimu, atau jelasnya menjadi antekmu.”

Kongcu Gi bungkam. Bungkam berarti mengakui apa yang dikatakan itu memang benar.

“Maka wakil atau duplikatmu sudah tentu harus seorang yang paling kuat, maka kau menemukan Yan Lam-hwi.”

Kongcu Gi tersenyum, katanya, “Dia memang amat kuat, apalagi masih muda.” “Dia tidak kuat menahan hasutan dan bujukanmu, lalu menjadi duplikatmu.” “Sebetulnya selama ini dia bekerja dengan baik sekali.”

“Sayang sekali dia kalah. Kalah oleh golokku di Hong-hong-kip.” “Bagi dirinya, memang satu hal yang harus dibuat sayang.” “Bagi dirimu?” tanya Pho Ang-soat.

“Bagi diriku sama saja,” sahut Kongcu Gi. “Sama saja?” “Kalau ada seorang lain yang lebih kuat untuk menggantikan dia, kenapa aku masih harus memakainya?” Pho Ang-soat menyeringai dingin.

“Tapi aku memberi kesempatan kepadanya, dalam setahun asal dia dapat mengalahkan kau, dia akan tetap memiliki segalanya,” suaranya lebih kereng, “maksudku dia harus mengalahkan kau, bukan untuk membunuhmu.”

“Karena kau ingin seorang yang paling kuat.” “Betul.”

“Dia berpendapat permainan golokku yang paling menakutkan adalah mencabut golok.”

“Maka dia giat berlatih mencabut pedang, sayang sekali setahun kemudian dia tetap tak yakin dapat mengalahkan kau.”

“Maka lebih besar hasratnya untuk memiliki Toa-pi-bu dan Khong-jiok-ling?” “Maka dia keliru?”

“Dia pula yang keliru?” “Memangnya aku yang salah?” “Kenapa dia keliru?”

“Karena dia tidak tahu kedua benda itu sudah berada di tanganku.” Pho Ang-soat mengancing mulut.

“Dia pun tidak tahu, bahwa kedua benda itu hakikatnya tidak menakutkan seperti yang tersiar di Bu-lim. Umpama dia memperoleh kedua benda itu, juga belum tentu pasti dapat mengalahkan kau.”

Berita di luar, kabar yang tersiar dari mulut ke mulut biasanya memang lebih indah, lebih muluk dari kenyataannya.

Pho Ang-soat cukup tahu akan hal ini.

Kongcu Gi berkata, “Sejak mula aku sudah menilaimu lebih kuat dari dia, karena kau memiliki kekuatan atau daya tahan yang aneh dan luar biasa.” Lalu dia menjelaskan, “Kau dapat menahan derita yang tak mungkin ditahan oleh orang lain, dapat pula menerima pukulan lahir batin yang tak mungkin diterima orang lain.”

“Maka dalam duel ini kau memang sudah mengharap aku yang menang.”

“Karena itu aku suruh Meja (Coh-hujin) menemani kau, tidak ingin kau terlalu tegang menjelang duelmu dengan dia.”

Kembali terkatup mulut Pho Ang-soat. Sekarang baru dia mengerti akan segala kejadian, semua persoalan yang tak terjawab, dalam sekejap ini mendadak menjadi mudah dimengerti.

Kongcu Gi menatapnya, katanya, “Karena itu sekarang kau sudah menjadi Kongcu Gi.” “Bukan. Aku bukan Kongcu Gi, aku tetap aku, aku adalah Pho Ang-soat.”

“Kenapa bukan?”

“Aku hanya duplikat Kongcu Gi saja. Begitu?” “Tapi kau memiliki segalanya.”

“Tiada seorang pun yang bisa memiliki segala itu, tetap menjadi milikmu.” “Maka ”

“Maka sekarang aku tetap adalah Pho Ang-soat.”

Berdenyut pelupuk mata Kongcu Gi, matanya makin memicing, katanya, “Jadi kau tidak mau menerima segala itu?”

“Ya, tidak mau.”

Pelupuk mata mengkeret dan setengah terpejam, jari-jari tangan juga mengencang. Tangan yang memegang golok. Agak lama kemudian, mendadak Kongcu Gi tertawa, katanya, “Kau tahu bahwa aku ini sudah tua renta.” Pho Ang-soat tidak memberi komentar.

“Tahun ini usiamu ada tiga puluh lima atau enam?” tanya Kongcu Gi. “Tiga puluh tujuh, “ sahut Pho Ang-soat. “Kau tahu berapa usiaku?” “Enam puluh?”

Kongcu Gi tertawa, tawa yang aneh, namun membawa mimik yang sedih dan mencemooh. “Kau belum ada enam puluh?”

“Tahun ini usiaku juga genap tiga puluh tujuh.”

Pho Ang-soat terbelalak kaget, menatap tajam kerut keriput di wajahnya yang pucat.

Dia tak bisa percaya, tapi dia tahu, seseorang menjadi tua dan renta, ada kalanya bukan lantaran tersiksa oleh jalannya sang waktu. Banyak persoalan, peristiwa dapat menjadikan seseorang menjadi cepat tua.

Rindu dapat membuat orang menjadi tua, demikian pula sedih dan risau serta penderitaan dapat menjadikan orang beruban.

Kongcu Gi berkata, “Tahukah kau kenapa aku menjadi tua begini?” Pho Ang-soat tahu.

Bila seseorang memiliki banyak keinginan, entah itu angan-angan atau cita-cita, terlalu besar ambisi, maka dia pasti dapat menjadi lekas tua. Pho Ang-soat tahu akan hal ini, tapi dia tidak melontarkan isi hatinya dengan kata-kata, kalau sudah tahu kenapa harus dikatakan.

Ternyata Kongcu Gi tidak memberi penjelasan lebih lanjut, karena dia maklum Pho Ang-soat pasti sudah tahu apa maksudnya.

“Karena terlalu banyak yang kupikirkan, maka aku cepat tua, karena aku tua, maka aku tetap lebih kuat  dari kau,” uraiannya serba diplomasi, “jika kau bukan Kongcu Gi, maka kau tidak akan menjadi Pho Ang- soat.”

“Aku orang mati?” “Betul.”

Pho Ang-soat duduk, duduk di meja pendek di seberang ranjang. Dia amat lelah. Mengalami duel tadi, asal dia seorang manusia, maka dia pasti akan merasa lelah.

Namun relung hatinya justru amat bergairah, semangatnya menyala. Dia tahu akan datang satu pertempuran lagi, pertempuran yang jauh lebih sengit dan tegang dari duel yang terdahulu tadi.

“Kau masih kuberi kesempatan untuk mempertimbangkan,” desak Kongcu Gi. “Kurasa tidak perlu,” ujar Pho Ang-soat.

Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Kau pasti tahu aku tidak ingin kau mati.”

Pho Ang-soat tahu, untuk mencari seorang duplikat seperti dirinya, pasti bukan suatu hal mudah. “Sayang sekali, aku sudah terpojok, tiada pilihanku yang lain.”

“Aku pun tiada pilihan lain.”

“Memangnya apa pun kau tidak punya.” Pho Ang-soat tidak menyangkal.

“Kau tidak punya kekayaan, tiada kekuasaan, tiada teman, tiada sanak-kadang.” “Aku hanya punya satu jiwa dan raga.”

“Kau masih punya satu lagi.” “Punya apa pula?”

“Nama besar.”

“Kalau kau menolak tawaranku, bukan saja aku akan menuntut jiwa ragamu, aku pun akan merusak dan meruntuhkan nama besarmu, aku punya banyak cara.” “Kurasa apa pun kau tidak punya,” jengek Pho Ang-soat. Kongcu Gi juga tidak menyangkal.

“Kau punya kekayaan, kau punya kekuasaan, anak buahmu adalah jago-jago kosen.” “Untuk membunuhmu, kukira aku perlu menggunakan mereka.”

“Kau memiliki apa saja, tapi masih kurang satu.” “Kurang apa?”

“Kau tidak punya daya hidup, gairah hidupmu sudah pudar.” Kongcu Gi masih tertawa.

“Umpama betul nama besar dan kebesaran Kongcu Gi bisa bertahan lama dan abadi, akhirnya kau pun sudah mati.”

Tangan Kongcu Gi juga mengepal kencang.

“Tanpa gairah hidup, berarti tidak punya semangat juang, maka bila kau berani berduel dengan aku, maka kau pasti kalah.”

Kongcu Gi masih tertawa, tapi tawanya makin kaku dan menjadi seringai lucu.

“Jika kau berani berdiri dan berduel dengan aku, kalau kau dapat mengalahkan aku, aku akan menjual hidupku kepadamu, pasti takkan menyesal atau mengomel di kemudian hari,” lalu dia tertawa dingin, katanya pula, “Tapi kau tidak berani.”

Matanya mencorong terang laksana bintang kejora, Kongcu Gi ditatapnya tanpa berkedip. Tangannya memegang golok, matanya seakan berpisau, ucapannya pun seperti pisau tajam.

Ternyata Kongcu Gi tidak berdiri. Apakah karena dia tidak mampu berdiri, atau karena tangan Coh-hujin. Tangan Coh-hujin menekan kedua pundaknya.

Pho Ang-soat sudah membalik badan, pelan-pelan dia beranjak pergi.

Kongcu Gi hanya mengawasi punggungnya, gaya jalannya masih kelihatan kaku dan lucu, gerakannya lamban dan malas, namun siapa pun bila mengawasinya pandangannya pasti memancarkan rasa hormat dan kagum.

Siapa pun tak terkecuali. Tangannya terus menggenggam golok, tapi tidak dia cabut. Aku tidak membunuhmu, karena kau sudah seperti orang mati.

Bila hati seseorang sudah beku, sudah mati, seumpama raga atau jazad kasarnya masih utuh juga sudah tak berguna lagi.

Pho Ang-soat tahu kenapa Coh-hujin menekan pundak Kongcu Gi, karena dia tidak ingin hidup dalam suasana dan kondisi seperti itu pula. Selama hayat masih di kandung badan dia tetap milik Kongcu Gi, dalam sanubarinya, Kongcu Gi yang tulen hanya ada satu, selamanya tiada orang lain yang dapat menggantikan dia. Peduli dia sudah tua atau sudah loyo, mati atau hidup, selamanya takkan ada orang lain yang dapat mewakilinya. Karena itu Coh-hujin rela melakukan apa pun demi sang suami.

Apakah dalam hal ini dia bisa maklum? Sampai kapan dia baru mau mengerti? Kenapa ulat sutra baru berhenti memproduksi benang sutra setelah dia mati?

Sang surya sudah hampir terbenam.

Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya terakhir yang menguning emas, berdiri di tengah puing-puing perkampungan merak yang sudah mulai belukar, petang mulai tiba, suasana terasa hening beku, selayang pandang keadaan yang serba mengenaskan melulu.

Pho Ang-soat mengeluarkan segebung kertas, menata di depan pusara para kawannya. Kertas putih bak salju, dengan tulisan tinta hitam yang melambangkan kematian.

Itulah berita duka kematian Kongcu Gi, berita duka yang disiarkan ke seluruh pelosok dunia, jelas berita ini amat menggetarkan seluruh jagat. Debu akhirnya melayang turun ke bumi, manusia akhirnya pasti akan mati.

Pho Ang-soat menarik napas panjang lalu menghembuskan pelan-pelan, dia mendongak melihat cuaca, keremangan senja mulai diliputi kabut, tabir malam sudah menjelang. Hatinya mendadak merasa aman tenteram dan sentosa, damai dalam hati, damailah dunia fana ini, karena dia tahu bila tabir malam menjelang, maka rembulan (bing-gwat) akan segera terbit.

Arak dalam cangkir, cangkir di tangan.

Kongcu Gi duduk menghadap jendela sambil menikmati arak dalam cangkir di tangannya, gunung- gemunung menghijau permai di luar jendela, air mengalir gemerisik di bawah jembatan kecil berliku di pinggir kanan.

Sebelah tangan yang menekan pundaknya begitu indah, begitu lembut dan mesra. Dengan suara perlahan dia sedang bertanya, “Sejak kapan kau mengambil keputusan untuk melakukan hal itu?”

“Setelah pikiranku benar-benar terbuka.” “Pikiran terbuka bagaimana?”

“Seseorang hidup untuk apa?” tangannya juga menekan lembut di punggung tangannya. “Orang hidup hanya untuk mengejar ketenangan dan kesenangan, jika gairah hidup pun tidak dimiliki, maka umpama dia mempunyai nama besar, kaya raya dan besar kekuasaannya dapat bertahan selamanya, apa pula gunanya?”

Dia tertawa riang, tawa yang manis, tawa mesra nan lembut dan menggiurkan. Dia tahu sekarang pikirannya memang benar-benar terbuka.

Sekarang sudah tersiar luas, meski orang banyak menganggap dia sudah mati, tapi kenyataan dia masih hidup, benar-benar hidup, hidup segar bugar, karena sekarang dia sudah tahu mengecap kesenangan hidup.

Seorang bila sudah benar-benar tahu menikmati kesenangan hidup, maka umpama dia hanya hidup sehari saja juga cukup puas.

“Aku tahu Kongsun To dan kawan-kawannya pasti takkan berumur panjang,” ujar Kongcu Gi. “Kenapa?” tanya Coh-hujin.

“Karena aku sudah menanam bibit racun dalam hati mereka.” “Bibit racun apa?”

“Yaitu kekayaan dan kekuasaanku.”

“Kau kira mereka akan saling rebut dan cakar-cakaran sampai mati?” “Ya, pasti.”

Coh-hujin tertawa pula. Tawanya lebih manis, lebih lembut.

Coh-hujin tahu kenapa Kongcu Gi berbuat demikian, karena dia harus menebus dosanya, juga harus menebus dosanya sendiri. Sekarang yang dikejar hanyalah ketenangan dan kesenangan hidup.

Sekarang semuanya sudah berlalu. Dia meneguk araknya, menikmati sejuknya hawa gunung, langit nan biru hijau, namun tak pernah dia bertanya lagi dimana sekarang Bing-gwat berada. Karena dia tahu dimana Bing-gwat sekarang berada.

Dalam sebuah rumah kecil yang sepi dihuni seorang perempuan kesepian. Hidupnya serba kesepian, serba sulit dan menderita.

Tapi dia tidak pernah berkeluh-kesah terhadap Yang maha Kuasa, karena dia merasa tenteram, sekarang dia sudah bisa hidup dari imbalan jerih-payahnya sendiri, dengan tenaga dan cucuran keringat dia bekerja memperoleh ongkos kehidupan, tak perlu menjual diri, menjual tampang dan senyum.

Mungkin dia belum merasa gembira, namun dia sudah terbiasa untuk menahan diri. Dalam kehidupan di dunia fana ini memang banyak persoalan yang tak bisa terkabulkan, maka siapa pun asal dia manusia, dia harus berani menghadapi kenyataan, belajar menahan diri, menahan perasaan dan emosi.

Sehari ini akan berlalu, suatu hari yang bersahaja, hari-hari berlalu seperti biasa.

Dia menjinjing keranjang berisi pakaian, melangkah di pinggir sungai lalu turun ke dalam air. Dia harus mencuci bersih seluruh pakaian dalam keranjang itu, baru bisa beristirahat. Di atas bajunya tergantung serenceng kecil kembang melati, hanya kembang melati inilah kesenangannya, miliknya yang paling disenangi.

Air sungai jernih bening laksana kaca. Waktu dia menunduk memandang ke air, mendadak di permukaan air nan bening terbayang terbalik seraut wajah seorang.

Seorang yang sebatangkara, seorang yang kesepian, sebatang golok yang tunggal.

Jantungnya mendadak berdetak, ketika dia mengangkat kepala, dilihatnya seraut muka yang pucat. Hatinya hampir saja berhenti berdenyut, sudah lama tak kunjung harapan dalam benaknya bahwa hidupnya ini masih ada harapan. Tapi sekarang bahagia seperti mendadak muncul di depan matanya.

Mereka berdiri diam saling berpandangan, saling selidik, bahagia laksana sekuntum kembang yang mekar segar terbetik di dalam sanubari mereka, berkembang biak dalam adu pandang yang lekat dan penuh  kasih mesra ini.

Lama mereka tidak bersuara. Dalam keadaan seperti ini, dengan rangkaian kata-kata muluk apakah untuk mengisahkan atau melimpahkan rasa senang dan bahagia mereka?

Pada saat itu, Bing-gwat sudah mulai terbit.

Dimana ada Bing-gwat? Asal hatimu belum loyo, bila semangatmu masih menyala, maka Bing-gwat akan menyala di dalam hatimu.

>>>>> T A M A T <<<<<
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar