Peristiwa Bulu Merak Bab 20 : Taysu Dan Kacung Pembawa Kecapi

Bab 20. Taysu Dan Kacung Pembawa Kecapi

Tampak orang itu mulai melangkah keluar dari tempat gelap, melangkah perlahan ke bawah penerangan lampu. Raut mukanya juga pucat, hampir sepucat Pho Ang-soat, pucat bening. Matanya bersinar, namun membayangkan kehampaan.

Dengan terbelalak laki-laki kekar itu mengawasinya, tanyanya, “Kau tahu dia hendak membunuhmu, kau masih berani kemari?”

“Aku harus kemari.” “Kenapa?”

“Karena aku pun ingin membunuhnya.” “Juga harus membunuhnya?”

Orang itu manggut-manggut, katanya, “Setiap orang selama hidupnya pasti pernah melakukan sesuatu yang tidak ingin dia lakukan, karena dia tidak diberi pilihan lain.”

Laki-laki kekar mengawasinya, lalu mengawasi Pho Ang-soat, kelihatan amat heran, kaget dan bingung, persoalan seperti ini memang sukar dimengerti oleh orang seperti dirinya. Tapi dia sudah merasakan adanya hawa membunuh.

Tanah lapang di dalam jalan sempit di depan warung laki-laki tua ini mendadak seperti berubah jadi ajang pembunuhan. Hawa membunuh yang dia resapi di sini sekarang ternyata lebih keras dibanding hawa membunuh di gelanggang hukuman, dimana dia sering menjadi algojo.

Pandangan orang yang keluar dari tempat gelap kini sudah beralih ke arah Pho Ang-soat, rona matanya begitu hambar dan sendu. Seorang yang tidak punya rasa cinta, tidak selayaknya memiliki perasaan serawan itu. Siau Si-bu adalah orang yang tidak punya cinta, mendadak dia menghela napas, katanya, “Kau harus tahu semestinya aku tidak ingin kemari.”

Pho Ang-soat tetap bungkam.

Agaknya dia sudah mabuk, sudah sinting, beku dan pati rasa, malah jari-jari tangannya yang memegang golok itupun tidak setenang semula. Tapi tangannya masih memegang golok, golok hitam. Golok itu tak pernah berubah, golok itu abadi.

Siau Si-bu mengawasi goloknya, katanya, “Aku yakin akan datang suatu hari pasti dapat mematahkan golokmu.”

Pho Ang-soat pernah berkata, “Aku akan menunggumu.”

Siau Si-bu berkata pula, “Sebetulnya aku pun ingin menunggu hari itu baru akan kucari kau.” Mendadak Pho Ang-soat bersuara, “Maka tidak layak kau datang sekarang.”

“Tapi aku sudah datang.”

“Kalau sudah tahu tidak pantas kau datang, kenapa tetap kemari?”

Siau Si-bu tertawa, tawa yang mencemooh, tawa sindiran, “Apa kau tidak pernah melakukan sesuatu yang kau tahu, tidak pantas kau lakukan sesuatu itu?”

Pho Ang-soat tutup mulut. Dia pernah melakukan.

Ada sementara persoalan kau tahu tidak pantas kau lakukan, namun kau justru harus melakukan, kau sendiri pun tidak mungkin mengekang dirimu sendiri.

Karena persoalan itu seolah-olah mempunyai daya tarik yang tak mungkin bisa kau lawan.

Kecuali itu ada sementara persoalan yang tidak pantas kau lakukan sudah kau kerjakan, tapi lantaran situasi dan kondisi memaksamu, untuk menyingkir atau lari dari kenyataan itupun sudah tidak mampu lagi.”

“Sudah tiga kali aku mencarimu, tiga kali aku akan membunuhmu, tiga kali pula kau melepas aku pergi.” Pho Ang-soat membungkam pula.

“Aku tahu sejak mula kau tidak ingin membunuhku.”

Pho Ang-soat mendadak bertanya, “Kau juga tahu kenapa aku tidak ingin membunuhmu?”

“Karena sudah lama kau belum ketemu tandingan, kau pun ingin menunggu akan datang suatu hari yang menentukan itu, ingin membuktikan apakah aku mampu mematahkan golokmu.” Pho Ang-soat diam.

Malang melintang tiada tandingan ternyata bukan sesuatu yang menggembirakan seperti yang dibayangkan kebanyakan orang, seseorang bila dia sudah tidak ketemu tandingan lagi, dia akan lebih kesepian daripada seorang yang tidak punya teman.

Siau Si-bu berkata, “Tapi aku tahu sekarang, kau sudah tidak sabar menanti lagi, kali ini kau harus membunuhku.”

“Kenapa?” Pho Ang-soat menegas.

“Karena kau sudah tidak mampu mengendalikan dirimu sendiri.”

Pandangannya kosong hampa, kelihatannya seperti mata orang mati, namun senyumannya masih mengandung cemoohan, “Karena sekarang kau bukan lagi Pho Ang-soat yang dahulu.”

Sekarang kau tidak lebih hanya seorang algojo.

Beberapa patah kata ini tidak dia ucapkan, karena pisau terbangnya sudah melesat, cepat, telak dan mematikan. Walau dia tahu timpukan pisau terbangnya ini dapat dipatahkan oleh Pho Ang-soat, waktu turun tangan dia kerahkan seluruh kekuatannya.

Karena dia setia, paling tidak, dia setia terhadap pisaunya. Arti dari kesetiaan ini adalah semangat yang luhur, semangat yang tidak pernah luntur, tidak pernah goyah, bila tidak kepepet dan memang tiada harapan sama sekali takkan membuang kesempatan terakhir. Takkan mengabaikan usaha terakhir meski itu hanya setitik saja. Untuk melakukan hal ini memang tidak mudah. Siapa pun asal dia bisa melakukan hal ini, apa pun yang dia lakukan pasti berhasil, pasti sukses. Sayang sekali dia sudah tidak punya kesempatan, karena dia menempuh jalan yang tidak harus dia lalui, karena Pho Ang-soat sudah melolos goloknya.

Sinar golok berkelebat, batok kepala menggelundung jatuh di tanah, darah segar menyembur bagai kabut merah berkembang di bawah lampu yang guram, sinar lampu menjadi merah, tapi muka orang menjadi pucat, menjadi hijau malah.

Sekujur badan laki-laki kekar itu menggigil, darah dalam tubuhnya seperti membeku, napas pun seperti berhenti. Dia juga menggunakan golok, tidak sedikit pula orang yang pernah dibunuhnya.

Tapi sekarang setelah dia melihat tabasan golok Pho Ang-soat ini, baru dia menyadari gaman yang digunakannya selama ini hakikatnya bukan golok. Malah dia merasakan dahulu dirinya belum pernah membunuh orang, tidak terhitung membunuh orang.

Cahaya lampu menguning lagi. Waktu dia mengangkat kepala, Pho Ang-soat sudah tidak di bawah lampu lagi, tempat yang tidak terjangkau oleh penerangan lampu tetap gelap.

“Sebenarnya aku bisa tidak membunuhnya, kenapa aku membunuhnya juga?” Pho Ang-soat mengawasi golok di tangannya, mendadak dia sadar kenapa Siau Si-bu harus datang.

Karena dia tahu Pho Ang-soat sudah tidak bisa mengendalikan diri sendiri, dia mengira bisa memperoleh kesempatan untuk mengalahkan Pho Ang-soat.

Dia ingin lekas mencoba, maka dia sudah tidak tahan untuk menunggu hari yang pernah dijanjikan dulu. Menunggu memang amat menyiksa perasaan, apalagi dia masih muda, masih berjiwa panas.

Analisa Pho Ang-soat memang tidak salah, dia pun tahu bahwa dirinya tidak salah, lalu siapakah yang salah?

Peduli siapa yang salah, tekanan jiwanya dan beban yang harus dipikulnya sudah tidak bisa menjadi ringan, karena orang yang dia bunuh sebelum ini tidak ingin dia bunuh.

“Apakah betul aku sudah tidak mampu mengendalikan diriku sendiri? Apakah betul aku sudah menjadi algojo picisan? Apakah akhirnya aku betul-betul akan menjadi gila?”

Meja sebesar itu ternyata mengkilap, tidak berdebu sedikitpun, dalam rumah yang besar ini juga tiada sedikitpun suara.

Kongcu Gi sedang termenung.

“Siau-si-bu sudah pergi?” tadi dia bertanya demikian. “Ya.” “Dengan cara apa kalian menganjurkan dia pergi?”

“Kami memberi gambaran supaya dia merasa punya kesempatan untuk membunuh Pho Ang-soat.”

“Akhirnya?”

“Akhirnya Pho Ang-soat telah membunuhnya.” “Dia turun tangan lebih dulu?”

“Ya.”

Sekarang Kongcu Gi sedang termenung, yang menjadi persoalan pemikirannya sudah tentu adalah Pho Ang-soat, memang hanya seorang Pho Ang-soat yang setimpal dibuat pikiran oleh Kongcu Gi. Kecuali Pho Ang-soat, sekarang boleh dikata hampir tiada orang lain yang bisa menarik perhatiannya.

Hari sudah petang, aroma kembang yang semerbak terbawa angin, akhirnya Kongcu Gi tertawa, katanya, “Dia masih membunuh orang, tetap sekali tabas menamatkan jiwa orang, tapi dia sendiri sudah hampir tamat.” Lalu dia bertanya, “Kau tahu kenapa dia bakal lekas tamat?”

Yang dipandang bukan Ku Ki yang berdiri di depannya, tapi orang yang berdiri di belakangnya. Tiada yang memperhatikan orang ini, karena dia terlalu pendiam, terlalu awam, mirip bayangan atau duplikat Kongcu Gi. Tiada orang mau memperhatikan bayangan, tapi pertanyaan Kongcu Gi tadi tidak ditujukan kepada Ku Ki, tapi ditujukan kepada orang ini. Apakah persoalan yang tidak mampu dijelaskan oleh Ku Ki, orang ini mampu menjelaskan? Apakah yang dia tahu lebih banyak dari Ku Ki?

“Seseorang bila sudah tiba saatnya hampir tamat, maka dia pasti akan memperlihatkan lubang kelemahannya.”

“Lubang kelemahan?”

“Ya, lubang seperti yang terdapat di tanggul sebelum jebol.”

“Jadi Pho Ang-soat sudah memperlihatkan lubang kelemahannya?” Kongcu Gi bertanya.

“Sebetulnya dia tidak ingin membunuh Siau Si-bu, dia pernah mengampuni jiwa Siau Si-bu tiga kali, kali ini ternyata dia sudah tidak mampu mengendalikan diri.”

“Itulah kelemahannya?” “Betul!”

Tawa Kongcu Gi amat riang, “Sekarang apakah kita masih perlu mengantar orang supaya dibunuh olehnya?”

“Boleh diantar satu lagi.” “Siapa?”

“Dia sendiri,” bahasa yang digunakan bayangan itu memang khas, “Di kolong langit ini, hanya dia sendiri yang mampu membunuh Pho Ang-soat, dan hanya Pho Ang-soat yang mampu membunuh dirinya sendiri.”

Kejadian apa yang lebih kejam dari membunuh orang? Memaksa orang bunuh diri lebih kejam dari membunuh orang, karena untuk itu memerlukan proses yang lebih panjang, lebih menyiksa.

Malam amat panjang, amat menakutkan. Tapi malam panjang pun ada akhirnya.

Pho Ang-soat berhenti, mengawasi kabut pagi nan putih bagai sari, mulai mengepul di antara rumpun kembang dan bambu. Malam nan panjang ini, akhirnya dilewatinya begitu saja.

Berapa lama lagi dia kuat bertahan? Lelah, lapar dan dahaga, kepala sakit seperti hampir pecah, bibirnya pun sudah merekah saking keringnya.

Bahwasanya dia sendiri tidak tahu dimana sekarang dirinya berada? Tidak tahu pagar bambu keluarga siapakah itu? Kebun atau taman kembang milik siapa?

Sudah lama dia berjalan, di sini dia berhenti, karena dia mendengar petikan kecapi. Suara kecapi yang kedengaran kosong mendengung di udara, suara yang datang dari alam gaib.

Sebetulnya dia tidak ingin berhenti di sini, entah kenapa tahu-tahu dia sudah berhenti sendiri. Alunan kecapi yang mengambang itu seperti panggilan sanak-kadang di tempat nan jauh. Dia tidak punya sanak tiada kadang, tapi waktu mendengar kecapi ini, nuraninya seperti terketuk oleh suatu kekuatan yang gaib. Lalu dia merasakan dirinya seperti terbaur dan bersenyawa dengan alunan kecapi itu, perkara pembunuhan dan kejadian darah mengalir dalam sekejap ini telah berubah jauh, sudah sirna.

Sejak dia membunuh kakak beradik keluarga Ni, belum pernah dia merasa longgar seperti ini meski hanya sekali saja. “Creng”, mendadak suara kecapi terputus, dari dalam kebun cilik berkumandang suara  seorang, “Sungguh tak nyana di luar pintu ada seorang yang juga gemar musik, kenapa tidak silakan masuk dan duduk di dalam sambil menikmati suara kecapi?”

Tanpa pikir Pho Ang-soat segera mendorong pintu terus beranjak masuk. Kembang tidak terlalu banyak di dalam taman, pohon pun jarang-jarang, gubuk pun hanya dibangun tiga petak. Seorang tua beruban dengan pakaian kain kasar sudah berdiri menyambut kedatangannya sambil bersoja.

Pho Ang-soat balas menjura, katanya, “Tamu tidak diundang, mana berani mendapat sambutan Lotiang sendiri?”

Orang tua itu tersenyum, “Tamu agung gampang diperoleh, kawan sekegemaran susah didapat, jika tidak menyambut sendiri, bukankah tidak sopan dan kurang hormat? Hanya orang yang tidak tahu sopan santun dan tata kehormatan, mana boleh dia belajar memetik kecapi?”

“Betul,” ucap Pho Ang-soat. “Silakan.” Di dalam gubuk terdapat ranjang tinggi, meja pendek di atasnya, di atas meja pendek itulah tergeletak sebuah kecapi. Kecapi yang berbentuk kuno, kelihatannya sudah berusia ribuan tahun, ujung buntut kecapi kelihatan gosong seperti bekas terbakar.

“Bukankah ini Kiau-bwe-khim, kecapi nomor satu di dunia yang turun-temurun sejak zaman dahulu kala?” Orang tua itu tersenyum, katanya, “Tajam benar pandangan tuan.”

“Kalau begitu tentu Lotiang adalah Ciong-taysu?” “Losiu memang she Ciong.”

Kembali Pho Ang-soat membungkuk badan. Sejak hidup di rantau, baru pertama kali ini dia bersikap hormat terhadap orang, namun yang dia hormati bukan orangnya, tapi adalah kepandaiannya memetik kecapi yang tiada bandingan di seluruh jagat.

Seni khusus yang bernilai tinggi, watak kemanusiaan yang tunggal dan luhur, keduanya patut dihormati oleh setiap insan manusia.

Meja pendek itu mengkilap bersih, Ciong-taysu membuka sepatu, lalu naik ke atas ranjang, duduk bersimpuh, lalu berkata, “Silakan duduk.”

Pho Ang-soat tidak duduk.

Kotoran dan noda darahnya sudah cukup lama tidak dibersihkan.

Ciong-taysu berkata, “Walau hanya ada meja dan kecapi ini di dalam kamarku, tapi orang yang bisa masuk ke sini bisa dihitung dengan sebelah jariku.” Dia menatap Pho Ang-soat, “Tahukah kau kenapa aku mengundangmu masuk?”

Pho Ang-soat menggeleng.

“Karena aku dapat melihat, meski pakaianmu dekil, hatimu justru bersih bagai kaca, lalu kenapa pula kau harus merendahkan dirimu?” Maka Pho Ang-soat pun berduduk.

Ciong-taysu tersenyum, jari-jarinya mulai bergerak memetik senar, “Cring”, suara kecapi yang mengambang kosong kembali merasuk ke dalam sanubari Pho Ang-soat. Tangannya masih menggenggam goloknya, tapi mendadak dia merasa golok yang dipegangnya sudah tiada artinya lagi bagi dirinya. Baru pertama kali ini hatinya dirangsang oleh perasaan yang ganjil seperti ini.

Suara kecapi seakan-akan membuainya ke alam lain, dimana tidak ada golok, tiada arti sial. Manusia kenapa harus membunuh manusia? Bukan saja awak sendiri membunuh, juga memaksa orang lain membunuh orang: Jari-jari Pho Ang-soat yang menggenggam gagang golok sudah mengendor.

Sebetulnya ketahanan Pho Ang-soat sudah mendekati keruntuhan, namun di tengah irama kecapi ini dia sudah memperoleh kebebasan. Pada saat itulah, di kejauhan mendadak juga terdengar suara “cring” sekali, kedengarannya juga suara kecapi. Walau suaranya jauh, namun jelas terdengar.

Jari-jari Ciong-taysu yang sedang memetik kecapi mendadak bergetar, “krak”, lima senar putus bersama. Air muka Pho Ang-soat berubah seketika.

Alam semesta mendadak berubah hening lelap seperti tiada kehidupan, Ciong-taysu duduk mematung tidak bergerak, semangatnya kelihatan luluh, seakan kehilangan sesuatu, tampangnya kelihatan mendadak lebih tua sepuluh tahun.

Maka Pho Ang-soat bertanya, “Taysu apakah kau mendengar firasat jelek?”

Ciong-taysu diam saja, seperti tidak mendengar, juga tidak bersuara, dari jauh kembali terdengar suara “Cring” sekali lagi, keringat dingin seketika berketes-ketes di jidatnya, ketika suara kecapi berbunyi lagi, orang tua yang semula tabah dan tenang serta saleh ini mendadak melompat bangun, hanya dengan sepasang kaos putih saja dia terus menerjang keluar.

Pho Ang-soat ikut keluar.

Keluar dari gang panjang ini, tiba di jalan raya yang panjang pula, di ujung jalan raya ini ada sebuah pasar. Saat itu sedang ramainya orang berbelanja, hari masih pagi. Di dalam pasar berkumpul berbagai jenis orang, penuh berbagai suara yang berpadu.

Orangnya adalah orang awam, suaranya juga suara biasa, lalu untuk apa Ciong-taysu yang tidak biasa ini ke tempat ini, apa yang dicarinya? Sepasang kaos kakinya yang putih, yang biasanya tidak pernah kena debu sekarang sudah kotor, dia berdiri melenggong celingukan ke kanan-kiri, seperti nyonya muda yang kehilangan dompet uangnya.

Khim-sin (kecapi sakti) yang terkenal di dunia ini, kenapa berubah begini rupa?

Pho Ang-soat bukan orang yang cerewet, kini tak tahan dia bertanya, “Taysu, apakah yang kau cari?”

Ciong-taysu membesi mukanya, wajahnya menampilkan mimik yang aneh, agak lama baru dia menjawab, “Aku hendak mencari seorang, aku harus menemukan orang ini.”

“Siapa dia?”

“Seorang kosen yang tiada bandingan di zaman ini.” “Dia kosen dalam hal apa?”

“Kecapi.”

“Permainan kecapinya lebih tinggi dari Taysu?”

Ciong-taysu menghela napas panjang, katanya rawan, “Sekali kecapinya berkumandang, cukup membuatku tidak berani bicara tentang kecapi seumur hidup.”

Pho Ang-soat terkesiap, katanya, “Taysu sudah tahu dimana orang ini?” “Suara kecapi terdengar dari sini, maka orangnya juga pasti di sini.”

“Di sini kan pasar.”

“Justru di sini pasar baru dapat memperlihatkan kelihaiannya.” “Kenapa?”

Pandangan Ciong-taysu menatap jauh ke depan, seperti kehilangan tapi juga seperti memperoleh sesuatu, “Karena meski raganya berada di dunia fana, tapi batinnya berada jauh di luar lapisan mega, segala benda segala persoalan di dunia fana ini sudah tiada yang bisa mempengaruhi ketenangan hatinya bak permukaan air bening.”

Pho Ang-soat termenung, pelan-pelan dia mengangkat kepala, mendadak berkata keras, “Apakah yang Taysu maksud adalah dia?”

Di dalam pasar ada tempat khusus yang menjual daging, pasar besar kecil dan dimana saja pasti ada yang menjual daging. Ada yang menjual daging pasti ada jagal. Dimana saja seorang jagal pasti beranggapan dirinya luar biasa, merasa daging yang dijajakan lebih baik dan mahal dari milik orang lain. Karena dia bisa memotong sendiri, karena dia tidak takut darah mengalir.

Sekarang jagal itu sedang memotong daging, memotong daging di atas bangku besar dan tinggi, di bawah bangku itulah duduk menggelendot miring seseorang. Seorang berbaju putih yang bermalas-malasan di situ. “

Padahal tempat itu kotor dan basah, nyonya yang berbelanja semua mengenakan sepatu tinggi, tapi orang ini tidak peduli, begitu saja dia mendeprok di tanah sambil merem-melek. Di atas pangkuannya menggeletak sebuah kecapi, gelagatnya dia sedang memetik kecapi, tapi senar kecapinya tidak berbunyi.

Ciong-taysu langsung mendekat ke depan orang sambil berdiri tegak penuh hormat, lalu membungkuk sembilan puluh derajat. Sementara orang itu sedang mengawasi jari tangan sendiri, angkat kepala pun tidak.

Sikap Ciong-taysu ramah dan hormat, dia mengaku diri sebagai murid, “Tecu Ciong Le.” Si baju putih berkata tawar, “Bukankah si kecapi sakti Ciong-taysu?”

Keringat dingin membasahi jidat Ciong-taysu pula, katanya dengan suara tersendat, “Petikan senar kecapi Kuncu berkumandang sudah tiada bandingan di kolong langit, kenapa tidak diulang sekali lagi?”

“Aku takut,” ujar si baju putih. Ciong-taysu melongo, “Takut? Takut apa?” “Aku takut bila kau mati membenturkan kepalamu di atas Kiau-bwe-khim.”

Ciong-taysu menundukkan kepala, keringat dingin mengucur deras, namun dia masih bertanya, “Kuncu datang darimana?”

“Datang dari jauh, namun tak tahu kemana harus pergi.” “Mohon tanya she dan nama besarmu?”

“Tak usah bertanya, aku hanyalah seorang Khim-thong (kacung kecapi) saja.”

Khim Thong? Orang selihai ini terima menjadi kacung orang lain? Lalu siapa yang setimpal punya kacung kecapi seperti dia?

Ciong-taysu tidak percaya, kenyataan ini membuat otaknya butek dan tak bisa membayangkan duduk perkara sebenarnya, tak tahan dia bertanya pula, “Dengan bakat dan kemampuan Kuncu, kenapa harus menjadi orang bawahan?”

Tawar suara orang baju putih, “Karena aku memang bukan tandingannya.” “Siapa dia?” mendadak Pho Ang-soat bertanya.

Orang baju putih tertawa tawar, katanya, “Kalau aku sudah tahu siapa kau, pasti kau pun sudah tahu siapa aku.”

“Kongcu Gi?” desis Pho Ang-soat, tangannya menggenggam kencang gagang goloknya. “Ternyata kau memang tahu,” ujar orang baju putih tertawa.

Secepat kilat mendadak Pho Ang-soat turun tangan, dia pegang tangan orang, siapa tahu mendadak Ciong-taysu menubruk datang, dengan kencang dia memeluk lengan Pho Ang-soat, teriaknya, “Jangan kau melukai tangan ini, inilah tangan yang tiada bandingannya di seluruh jagat.”

Orang baju putih bergelak tertawa.

Si jagal yang sedang memotong daging mendadak mengayun parang di tangannya membacok kepala Pho Ang-soat. Di sebelah penjual daging adalah penjual sayuran, dengan timbangan dia menutuk Ki-bun, Ciang-tay dan Hian-ki, tiga Hiat-to besar di tubuh Pho Ang-soat.

Seorang nyonya yang menjinjing keranjang belanja juga angkat keranjangnya mengepruk kepala Pho Ang- soat. Kebetulan di sebelah belakang lewat seorang yang memikul dua keranjang ayam hidup, dengan pikulannya dia menyapu pinggang Pho Ang-soat.

Mendadak sinar golok berkelebat, “Klak”, pikulan putus, keranjang hancur, timbangan terpotong jadi dua, parang besar itu mencelat terbang, kurungan tangan masih memegang kencang gagang parang itu. Unggas yang ada di dalam keranjang besar beterbangan, pasar yang biasa tenang kini menjadi ribut dan gempar. Kejadian hanya sekejap, tapi orang baju putih yang duduk santai di bawah bangku itu ternyata sudah menghilang.

Orang-orang di pasar merubung maju, semua ingin tahu apa yang terjadi di sini, tapi tukang jagal, penjual sayur, penjual ayam berbareng menyelinap hilang di kerumunan orang banyak.

Suara kecapi terdengar berkumandang di tempat jauh.

Pho Ang-soat menyibak orang banyak dan beranjak pergi, ternyata terlampau banyak orang di pasar yang berkerumun ini hingga susah bagi Pho Ang-soat untuk menemukan orang yang ingin dicari, tapi dia mendengar pula suara kecapi itu.

Darimana arah datangnya suara kecapi ke sana dia melangkah, langkahnya tidak cepat.

Suara kecapi yang mengambang di udara susah dibedakan darimana datangnya, siapa pun susah menentukan arah, lalu apa gunanya berjalan cepat? Tapi Pho Ang-soat tidak berpeluk tangan, asal di depan masih terdengar suara kecapi, maka dia melangkah ke depan.

Ternyata Ciong-taysu mengintil di belakangnya, kaos kakinya yang putih sudah sobek, malah telapak kakinya pun sudah lecet dan melepuh, entah berapa lama mereka putar-kayun tanpa tujuan.

Sang surya merambat semakin tinggi, mereka sudah lama meninggalkan pasar, keluar kota, hembusan angin bertiup di musim semi, sawah ladang yang menghijau dengan padi yang belum masak tampak menari dan melambai, gunung-gemunung di kejauhan seperti bernapas turun naik, mayapada selembut dada seorang dara yang lembut, mereka maju terus masuk ke dalam pelukannya.

Gunung menghijau tampak di empat penjuru, sebuah sungai mengalir tenang, suara kecapi seolah-olah berkumandang dari dasar air yang dalam.

Mereka sudah menjelajah gunung melampaui sungai, tibalah di pinggir sebuah danau kecil, di pinggir  danau berdiri sebuah rumah kecil. Di dalam rumah terdapat sebuah meja dan kecapi, senar kecapi seperti masih mengumandangkan sisa getaran suaranya, di bawah kecapi tertindih secarik kertas, di atasnya tertulis, “Golok gumpil kecapi putus, bulan purnama kembang layu, Kongcu bagai nama, terbang melayang ke langit sembilan”.

Ciong-taysu menghadap ke alam semesta yang terbentang luas di depannya, lama dia menepekur, akhirnya perlahan berkata, “Tempat ini sungguh amat baik, orang yang bisa tinggal di sini lebih baik menetap saja, bagi yang tidak bisa, kenapa harus pergi?”

Pho Ang-soat mengawasinya dari kejauhan, menunggu dia bicara lebih lanjut.

Ciong-taysu menepekur lagi, kemudian katanya pula, “Aku sudah tidak akan pergi lagi.” “Tidak ingin pergi atau tidak boleh pergi?” tanya Pho Ang-soat.

Ciong-taysu tidak menjawab, tapi dia berbalik menghadapinya, tanyanya, “Menurut penglihatanmu, berapa usiaku?”

Rambut kepalanya sudah ubanan, raut mukanya juga sudah dipenuhi kerut-merut tanda ketuaan, hidup menderita serba kekurangan, maka dia menjawab pertanyaannya sendiri, “Sejak muda aku sudah berhasil angkat nama, tahun ini aku baru berusia tiga puluh enam.”

Pho Ang-soat menatap wajahnya yang penuh keriput dan rambutnya yang ubanan, walau tidak berkomentar apa pun, namun tidak menampilkan rasa kaget atau heran.

Ciong-taysu tertawa, katanya, “Aku tahu, kelihatannya aku pasti sudah amat tua, sejak lama aku memang sudah beruban.” Senyumnya penuh kegetiran hidup, lanjutnya, “Karena keringat dan darahku  sudah kering, walau dalam permainan kecapi aku memperoleh keahlian yang tidak mungkin dicapai orang lain, meski dalam mimpi memperoleh ketenteraman hidup dan mahkota kebesaran, namun kecapi itu sendiri juga telah menghisap seluruh jerih-payahku, darah, keringat dan tulang sumsumku.”

Pho Ang-soat mengerti apa yang diartikan dalam ucapannya.

Seseorang bila hidupnya sudah tenggelam di dalam suatu persoalan atau kegemaran, maka dia seperti menjalin suatu hubungan kental dengan iblis.

Apa yang kau inginkan, aku bisa berikan seluruhnya kepadamu, maka apa yang kau miliki seluruhnya juga harus kau berikan kepadaku, termasuk jiwa raga dan sukmamu.

Ciong-taysu berkata, “Sebetulnya itu merupakan timbal-balik yang cukup adil, maka tiada yang perlu kusesalkan, tapi sekarang ” Dia menatap Pho-ang-soat dan melanjutkan, “Kau belajar ilmu golok, jika kau

pun seperti diriku, demi golokmu kau telah mempertaruhkan segala milikmu, mendadak kau menyadari bahwa orang lain hanya dalam jangka sekejap mampu merobohkan engkau, lalu bagaimana sikapmu? Apa yang akan kau lakukan?”

Pho Ang-soat tidak menjawab.

Ciong-taysu menghela napas, katanya pula perlahan, “Soal-soal begini tentu kau tidak akan paham, bagimu sebatang golok tetap sebatang golok, tiada makna lain.”

Pho Ang-soat ingin tertawa, tertawa terbahak-bahak, tapi dia tidak bisa tertawa.

Sebatang golok tetap sebatang golok, lalu siapa bisa meresapi makna dan manfaat golok itu terhadap dirinya?

Bukankah dia sudah punya hubungan intim dengan iblis, bukankah berarti dia juga harus mempertaruhkan segala miliknya?

Lalu apa yang telah diperolehnya?

Mungkin tiada orang kedua di dunia ini yang lebih paham tentang persoalan ini daripadanya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa, karena air getirnya telah meresap ke dalam tulangnya, ditumpahkan keluar juga tidak bisa lagi.

Ciong-taysu tertawa, katanya, “Bagaimanapun juga kau bisa bertemu denganku, terhitung ada jodoh juga, biarlah kupetik sebuah lagu untukmu.”

“Selanjutnya?”

“Jika kau ingin pergi, silakan kau pergi.” “Kau tidak mau pergi?” “Aku? Aku bisa kemana lagi?”

Akhirnya Pho Ang-soat tahu apa maksud seluruhnya, di sini tempat baik, dia sudah siap menguburkan jazadnya di tempat ini. Bagi dirinya, kehidupan ini sudah bukan lagi kebebasan, gengsi dan ketenaran, sebaliknya adalah penghinaan, suatu yang memalukan, maka hidupnya sudah tidak ada artinya lagi.

“Creng”, senar kecapi mulai bergema lagi.

Tabir malam sudah menyelimuti jagat raya, menyelimuti lembah pegunungan ini…..

*******************

Suara kecapinya sendu dan memilukan, seperti seorang dayang tua yang sudah kenyang hidup dalam belenggu sedang menceritakan kehidupan yang penuh derita ini kepada manusia, meski kehidupan itu terselip rasa senang dan gembira, namun hanya sekejap seperti sirnanya mega, hanya duka-lara saja yang melekat abadi pada dirinya. Begitulah kehidupan manusia yang pendek, siapa pun pada akhirnya pasti akan mati.

Lalu apa artinya manusia hidup?

Kenapa harus berjuang, bergelut dan ulet? Kenapa harus sakit dan menderita? Kenapa susah dimengerti bahwa hanya kematianlah yang bisa mencapai ketenteraman nan abadi?

Suara kecapi membuat pikiran orang tenggelam ke alam yang berbeda, menceritakan bagaimana damai dan indahnya kematian itu, keadaan damai dan keindahan yang tidak mungkin bisa dilukiskan dengan rangkaian kata-kata, hanya irama kecapinya inilah yang bisa melimpahkan.

Karena dia kini sudah tenggelam di alam mimpi kematian, malaikat kematian seakan membantu dia memetik kecapinya itu, membujuk orang untuk meninggalkan dunia fana ini, meninggalkan segala kerisauan dan keduniawian, pergi keimpian kematian dan memperoleh ketenteraman dan damai abadi.

Di sana tiada siksa derita, tak usah pula bergelut, berjuang dan berkelahi, bertarung dengan sesama manusia. Di sana tiada pembunuhan, tiada yang memaksa orang untuk membunuh. Jelas hal semacam ini takkan mungkin dilawan oleh manusia umumnya.

Tangan Pho Ang-soat sudah bergetar, bajunya sudah basah-kuyup oleh keringat dingin. Kalau kehidupan memang begini memilukan, kenapa harus bertahan hidup?

Jari-jarinya menggenggam gagang golok makin mengencang, apakah dia sudah siap mencabut golok? Mencabut golok untuk membunuh siapa?

Hanya dia sendiri yang dapat membunuh Pho Ang-soat dan hanya Pho Ang-soat yang mampu membunuh dirinya sendiri.

Suara kecapi makin memilukan, lambat-laun gunung itu makin gelap, tiada penerangan, tiada harapan. Suara kecapi seperti memanggil, seolah-olah dia melihat Bing-gwat-sim dan Yan Lam-hwi. Apakah mereka sedang membujuknya untuk menikmati keindahan nan damai…..

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar