Bab 19. Sang Algojo
Sinar golok berkelebat, darah pun muncrat.
Ni Hwi melihat berkelebatnya sinar golok ini, malah dia pun melihat muncratnya darah, darah yang menyembur dari tengah-tengah kedua matanya. Melihat semburan darah ini, seperti melihat setan, seperti seorang menyaksikan kedua kakinya mendadak copot dari badannya, dan kaki itu menendang awak sendiri. Malahan dia seperti merasakan mata kirinya sudah melihat mata kanan sendiri. Memangnya siapa yang meresapi perasaannya ini?
Tiada seorang pun.
Hanya orang hidup yang mempunyai perasaan, kepala yang sudah terbelah menjadi dua pasti takkan bisa punya perasaan lagi. Seorang yang batok kepalanya sudah terbelah menjadi dua sebetulnya takkan bisa melihat apa pun di dunia ini. Jika bukan lantaran sambaran golok itu teramat cepat, di kala golok tajam itu membacok tiba, daya pandangnya juga belum mati, maka dia masih sempat melihat sesuatu yang terjadi dalam sekejap itu, sekejap yang terakhir.
Berapa lamakah sekejap itu? Tragisnya, umumnya manusia sebelum meninggal dalam sekejap itu, ternyata dapat memikirkan banyak persoalan yang biasanya takkan terpikir habis sehari semalam. Sekarang apakah Ni Hwi telah memikirkannya? Juga tiada orang tahu. Sudah tentu dia sudah tidak mungkin menjelaskan.
Ni Ping, tiga puluh tahun.
Putra kedua Cong-tin-kek-cu Ni Po-hong, bergaman pedang panjang, salah seorang tunas muda di kalangan Kangouw yang berpedang paling cepat dan ternama.
Seorang diri, belum menikah.
Setelah Ni-keh-tay-wan bubar dan terobrak-abrik, sering menetap di Giok-hiang-wan, di tempat Pek-ji-giok, pelacur terkenal. Tanggal 19 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Ni Ping…..
*******************
Ni Hwi, 20 tahun
Putri kedua Cong-tin-kek-cu, cerdik pandai, banyak akalnya, Ginkangnya juga amat tinggi, Thian-hoa-li adalah Am-gi tunggal keluarganya yang teramat jahat, pernah membunuh tiga orang sekali serang.
Seorang diri, belum menikah.
Malam tanggal 18 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Ni Hwi…..
*******************
To-jing-jin, 35 tahun. Semula she Oh, riwayatnya tidak jelas, sejak kecil masuk perguruan Sing-siok-hay di bilangan Barat, sejak remaja kungfunya sudah kelihatan menonjol, ilmu Thian-coat-te-biat Toa-siu-hun-jiu merupakan salah satu dari ilmu pusaka Bu-lim, korban yang jatuh di tangannya tak terhitung banyaknya.
Seorang diri, belum menikah.
Bulan 3 masuk ke perbatasan, memperkosa dan membunuh enam wanita.
Tanggal 19 bulan 4 malam, Pho Ang-soat membunuh Ti-jing-jin. Lo Siau-hou, 42 tahun.
Begal tunggal yang malang melintang di Ho-say, bergaman golok, amat sombong dan suka mengagulkan diri, menganggap dirinya sebagai golok tercepat di seluruh Kangouw.
Seorang diri, tidak menikah.
Tanggal 21 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Lo Siau-hou…..
*******************
Nyo Bu-li, 44 tahun.
Adik sepupu Pek-hun Koancu Nyo Bu-ki, murid Kun-lun, Hwi-liong-cap-pwe-sek adalah kemahirannya, berjiwa sempit berhati culas, dendam pasti dibalas, punya tabiat seperti engkohnya, Nyo Bu-ki, membunuh orang tidak usah takut.
Sejak muda sudah Jut-keh (menjadi Tosu), belum menikah. Tanggal 22 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Nyo Bu-li.
Im-jip-te, 30 tahun dan Kim-jip-bok, 33 tahun.
Korban yang dibunuh kedua orang ini tak terhitung banyaknya, julukannya Ngo-hing-siang-sat, kungfunya aneh dan penuh misteri.
Watak kedua orang ini kikir, tamak dan loba, sepeser pun tak mau rugi, beberapa tahun belakangan sudah menjadi kaya raya.
Im-jip-te kemaruk paras ayu, hidung belang. Kim-jip-bok impoten.
Tanggal 23 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Im-jip-te dan Kim-jip-bok…..
*******************
Cukat Toan, 50 tahun.
Ahli waris Lo It-to dari Koan-say, dingin dan mudah curiga, kegemarannya membunuh orang. Sudah lama membujang.
Pernah kawin tiga kali, ketiga isterinya mati di ujung goloknya sendiri. Tidak punya keturunan.
Tanggal 24 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Cukat Toan. It-cu-hoa-jian-li-hiang, 29 tahun. Begal pemetik kembang (pemerkosa), ahli Ginkang dan obat bius.
Belum menikah.
Tanggal 25 bulan 4, Pho Ang-soat membunuh Jian-li-hiang…..
******************* Di dalam buku tebal itu masih banyak bahan keterangan, itu hasil kerja dua orang yang berdiri di depannya, merekalah yang mengumpulkan bahan-bahan itu dari berbagai pihak dan tempat.
Dia hanya membalik beberapa lembar, lalu enggan membaca lagi.
Kedua orang yang berdiri itu seorang berpakaian putih kaos putih, dia bukan lain adalah Ku Ki, seorang lagi berjubah kelabu bersih dan rapi, dia bukan lain adalah si Hwesio gila yang menjaga Thian-liong-si, sekarang sikapnya tidak seperti orang gila lagi.
Sikap kedua orang ini tampak ramah dan hormat, namun sikapnya terhadap mereka juga lembut, seperti menteri yang setia terhadap junjungannya.
Walaupun mereka berdiri di depan, tapi di antara mereka terpaut sebuah meja yang lebar. Memang dimana dan kapan saja, dia selalu terpaut dalam jarak tertentu dengan orang lain. Walau senyumannya ramah dan kalem, namun selamanya tiada orang berani menyinggung dan menyalahi dirinya, karena dia adalah tokoh yang paling kaya di Bu-lim, dia adalah Kongcu Gi.
Dalam rumah terasa nyaman dan tenteram, setiap perabot yang ada di dalam rumah ini semuanya adalah barang pilihan dan berkualitas, di pajang di tempat yang cocok dan serasi.
Barang-barang yang ada di atas meja ternyata tidak banyak, kecuali buku tebal berisi laporan, hanya ada sebilah pedang panjang yang dibungkus dengan sutra kuning.
Kembang mekar semerbak di luar jendela, tiada suara orang, dalam rumah hanya mereka bertiga. Di kala dia tidak bicara, bernapas pun mereka tidak berani keras-keras, mereka tahu Kongcu Gi suka ketenangan.
Buku laporan itu sudah tertutup lagi.
Akhirnya Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Kenapa kalian selalu ingin aku melihat barang-barang itu?” Dengan dua jarinya dia dorong buku laporan itu ke depan mereka, seolah-olah takut kecipratan noda darah dan hawa membunuh di atas buku itu, lalu dia menambahkan, “Kenapa tidak kalian laporkan langsung kepadaku saja, selama beberapa hari ini dia sudah membunuh berapa orang?”
Ong Hoat mengawasi Ku Ki.
Ku Ki menjawab, “Dua puluh tiga orang.”
Kongcu Gi mengerut kening, katanya, “Tujuh belas hari membunuh dua puluh tiga orang?” Ku Ki mengiakan.
Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Apakah orang yang dia bunuh tidak terlalu banyak?” “Ya, terlalu banyak.”
“Kabarnya kawan main caturmu, Nyo Bu-ki, juga terpenggal tangannya olehnya?” “Ya,” sahut Ku Ki.
“Nyo Bu-li ingin menuntut balas sakit hati engkohnya, maka dia mencari Pho Ang-soat?.” “Ya,” kembali Ku Ki mengiakan.
“Lo Siau-hou pasti merasa dirinya lebih hebat, untuk berebut nama, maka dia menantangnya bertanding kecepatan mencabut golok.”
“Betul”
“Kenapa Cukat Toan membunuh ketiga bininya?” “Karena ketiga bininya itu tertawa dengan lelaki lain.”
“Kedua orang ini, seorang tidak tahu dirinya, yang lain terlalu cemburu, orang-orang macam mereka takkan mampu bekerja, bukan mustahil hanya akan meninggalkan urusan, selanjutnya kalian jangan menarik orang-orang sejenis mereka ke dalam perkumpulan kita.”
Ku Ki dan Ong Hoat mengiakan bersama.
Sikap Kongcu Gi kelihatan lebih kalem, katanya, “Tapi aku juga tahu ilmu golok mereka memang tidak lemah.”
“Benar.” “Toa-siu-hun-jiu dari Sing-siok-hay, boleh terhitung suatu kungfu yang amat lihai. Konon beberapa hari belakangan ini keadaan Pho Ang-soat semakin lesu dan pesimis, hampir setiap hari dia tenggelam dalam mabuk araknya.”
“Ya.”
“Tapi para algojo yang kalian undang ini, justru segebrak pun tidak mampu melawannya.”
Ku Ki tidak berani buka suara, mengiakan pun tidak berani. Kongcu Gi justru menunggu jawabannya, setiap pertanyaan yang diajukan, jawabannya harus tegas dan jelas dan harus dijawab. Tanpa jawaban berarti pertanyaan tidak patut diperhatikan.
Akhirnya Ku Ki menjawab, “Walau dia banyak minum, tapi tangannya teramat kokoh dan tenang.” “Jadi arak tidak membawa pengaruh terhadapnya?”
“Hanya sedikit.” “Apa pengaruhnya?”
“Serangannya malah lebih kejam dan beringas.”
Kongcu Gi menepekur sejenak, katanya perlahan, “Kupikir dia pasti amat marah, maka goloknya lebih menakutkan.”
Ku Ki tidak bertanya kenapa, di hadapan Kongcu Gi dia hanya menjawab, tidak boleh bertanya.
Kongcu Gi melanjutkan, “Karena amarah adalah sejenis kekuatan, kekuatan yang dapat mendorong manusia melakukan banyak urusan.”
Ku Ki mengawasinya, sorot matanya diliputi rasa kagum dan hormat. Memang dia tidak pernah memandang ringan musuhnya.
Analisa dan keputusannya pasti benar dan tepat.
Seluk-beluk musuh, mungkin dia lebih jelas dari musuh itu tahu akan seluk-beluk sendiri. Maka dia sukses, suksesnya jelas bukan lantaran nasib baik.
Kongcu Gi menghela napas, katanya, “Hal itulah yang paling menakutkan.” Ku Ki tidak bertanya, hanya mendengarkan.
Kongcu Gi berkata pula, “Bergerak belakangan menundukkan lawan lebih dulu, jelas mutlak lebih menakutkan daripada bergerak dulu merobohkan musuh.”
“Betul.”
“Kau tahu kenapa demikian?”
“Karena bila jurus serangan sudah dilancarkan, di saat serangan akan dilancarkan dan belum dilancarkan, tenaganya paling lemah, di saat sekejap itulah goloknya sudah memutus jiwa lawan.”
“Orang lain mampu tidak berbuat demikian?” “Tidak.”
“Kenapa?”
“Sekejap itu lekas sekali sudah lenyap, kecuali dia, jarang ada yang bisa menangkap dan memanfaatkan kesempatan sekejap itu.”
Kongcu Gi tersenyum, katanya, “Kelihatannya kungfunya ada kemajuan.”
“Ya, maju sedikit,” sahut Ku Ki, dia tidak berani merendah atau berpura-pura, siapa pun di hadapannya harus bicara jujur.
Senyum Kongcu Gi tampak riang, katanya, “Apa kau tidak ingin mencoba betapa cepat goloknya itu?” “Tidak ingin.”
“Kau insyaf bukan tandingannya?”
“Menurut apa yang kulihat dan kutahu, di kolong langit ini hanya ada dua orang mampu menundukkan dia.” “Satu di antaranya sudah tentu adalah Yap Kay.” “Benar.”
“Seorang lagi adalah aku.” “Betul.”
Pelan-pelan Kongcu Gi berdiri melangkah ke depan jendela, mendorong daun jendela, bau kembang yang semerbak di taman segera merangsang hidung. Dia berdiri diam dan tenang, tidak bergerak tidak bersuara.
Ku Ki dan Ong Hoat tidak berani bergeming.
Lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Ada satu hal mungkin kalian tidak tahu.” Ku Ki tidak berani bertanya.
“Aku tidak suka membunuh orang, selama hidup ini, belum pernah membunuh orang dengan kedua tanganku.”
Ku Ki tidak perlu heran, ada sementara orang membunuh orang tidak perlu turun tangan sendiri.
Kongcu Gi berkata, “Tiada orang yang mampu menundukkan dia, paling aku juga hanya dapat membunuhnya.”
Karena dia mirip sebatang golok, golok baja, kau bisa memutuskannya, tapi takkan bisa membuatnya bengkok.
Kongcu Gi berkata pula, “Tapi aku sekarang belum ingin melanggar kebiasaan membunuh orang.” Karena masih ada segi-segi yang dia kuatirkan.
Dia adalah seorang laki-laki, pendekar ternama yang terkenal sebagai laki-laki budiman, setia dan penuh cinta kasih kepada sesamanya, kebesaran namanya itu tidak mudah diperoleh, maka dia perlu berhati-hati.
Karena itu dia tidak membunuh orang, tidak boleh membunuh Pho Ang-soat.
Pho Ang-soat bukan manusia durjana, bukan manusia yang harus dibunuh menurut anggapan kebanyakan orang.
Kongcu Gi berkata, “Oleh karena itu sekarang aku biarkan dia membunuh orang, makin banyak yang dibunuh makin baik.”
“Sampai kapan dia harus membunuh?”
“Membunuh dan membunuh sampai kebanyakan orang merasa perlu membunuhnya, biar saja membunuh sampai dia menjadi gila sendiri.”
Kongcu Gi berkata, “Karena itu sekarang kita masih bisa memberi dorongan supaya dia membunuh lebih banyak orang lagi.” Dia berpaling mengawasi mereka, “Malah kita harus berusaha mencari orang supaya dibunuh olehnya.”
“Biar aku yang mengatur,” sahut Ku Ki.
“Siapa kira-kira yang akan kau cari supaya dia bunuh?” tanya Kongcu Gi.
“Orang pertama adalah Siau Si-bu,” sahut Ku Ki. “Kenapa kau memilih orang ini?” “Karena sekarang dia sudah berubah.”
“Kukira kau pasti masih bisa berusaha mencari orang yang lebih menarik untuk dibunuhnya,” dengan tersenyum dia menambahkan lebih kalem, “sekarang aku sudah menemukan salah satu yang paling menarik.”
*******************
Harum semerbak bau kembang itu memenuhi taman, Kongcu Gi menggendong tangan sedang berjalan- jalan di dalam taman, di antara rumpun kembang yang mekar bersolek. Hatinya sedang riang, dia percaya anak buahnya pasti dapat melaksanakan tugas yang dia perintahkan, perintah untuk membunuh orang. Tapi dia sendiri tidak pernah turun tangan, tidak pernah membunuh orang. Malam tenang, malam sudah larut.
Pho Ang-soat tidak bisa pulas, tidak bisa tidur memang cukup merisaukan, tapi bila tidur dia akan lebih menderita.
Seorang bila tidur di atas ranjang papan yang keras dan dingin, di dalam kamar dipenuhi bau apek, bau busuk yang menyesakkan napas, dengan mata mendelong mengawasi langit-langit yang mulai keropos dan kotor, bolak-balik memikirkan kenangan masa lalu yang semestinya tidak perlu dibayangkan lagi.
Para gelandangan yang tidak punya akar di suatu tempat, duka-lara dan derita mereka siapa mau memahami, mau meresapi? Maka dia lebih suka menjadi gelandangan di kegelapan malam seperti setan gentayangan.
Ada sementara rumah yang masih menyala lampunya, apa yang dilakukan orang-orang di dalam rumah itu selarut malam ini? Kenapa tidak tidur? Apakah suami isteri sedang makan tengah malam, makan sisa makanan yang masih ada sore tadi setelah mereka kecapaian mengecap surga dunia? Atau mereka terjaga oleh tangis sang orok, ayah atau bunda sedang mengganti pakaiannya karena basah oleh ompol?
Kehidupan ini meski biasa bagi orang-orang awam, namun kesenangan dan bahagia yang mereka resapi, takkan mungkin bisa dinikmati oleh orang seperti Pho Ang-soat.
Mendengar jerit tangis bayi, hatinya mulai sakit, seperti diiris-iris. Dia ingin minum arak lagi, walau arak tidak dapat mengobati segala derita, paling tidak dapat membuat seseorang sementara melupakan siksa derita itu.
Di ujung jalan kecil di tengah kegelapan sana, ada sebuah lampu gantung bergoyang-goyang. Seorang tua kelihatan sedang duduk malas di bawah lampu remang-remang itu sambil menikmati araknya.
Sudah tiga puluh lima tahun dia berjualan mi di sini, dari pagi dia sudah mulai sibuk ke pasar membeli tulang yang murah untuk kuah sayur, mi dan segala keperluan untuk campuran masakan mi yang dijualnya, saat magrib dia sudah mulai berjualan hingga esok pagi.
Selama tiga puluh lima tahun, kehidupannya ini tidak berubah. Kegemaran satu-satunya ialah bila malam telah larut, setelah yang datang makan semakin jarang, baru dia punya kesempatan minum arak seorang diri. Setelah minum arak, baru dia merasa dirinya telah masuk ke dalam dunianya sendiri. Dunia nan damai dan indah, dunia yang bersih dan suci, di sini tiada manusia makan manusia. Walau dunia ini penuh khayal, namun baginya sudah terasa cukup, merasa puas, seseorang asal dia bisa mempertahankan sedikit khayalan, maka dia sudah cukup puas.
Pho Ang-soat sekarang sudah di bawah lampu gantung dengan cahayanya yang redup itu. “Berikan aku dua kati arak,” asal bisa mabuk, minum arak sembarangan pun tidak jadi soal.
Di pinggir pikulan mi, terdapat tiga meja yang dibuat sederhana dari papan, setelah dia duduk, baru dia sadar bukan dia seorang yang sedang duduk di tempat penjual mi ini.
Di meja yang lain masih ada seorang lelaki kekar, semula dia sedang melahap mi panas dalam mangkuk besar, minum arak dengan mangkuk besar pula, kini ternyata berhenti, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat. Dia kenal setan penyakitan yang bermuka pucat ini, karena dia pernah dihajar oleh setan penyakitan sialan ini. Kejadian di rumah reyot di lokasi pelacuran kelas rendah, di rumah gadis berkalung kembang melati itu.
Arak yang sudah masuk perutnya agaknya tidak sedikit, dengan tertawa menyengir setengah sinting mendadak dia berdiri, lalu menghampirinya dan berkata, “Tak nyana kau pun suka minum, sudah selarut ini, seorang diri keluar mencari arak, maka takaran minummu tentu besar.”
Pho Ang-soat tidak peduli.
Laki-laki kekar itu berkata, “Aku tahu kau membenciku, tapi aku mengagumimu, kelihatannya kau memang mirip setan penyakitan, yang benar adalah seorang laki-laki sejati, laki-laki gagah.”
Pho Ang-soat tetap tidak mempedulikannya, betapapun tebal mukanya, terpaksa dia menyengir kuda, lalu berputar hendak balik ke tempatnya. Siapa tahu saat itulah mendadak Pho Ang-soat berkata, “Duduk!”
Seseorang umpama dia sudah biasa hidup sebatangkara dan kesepian, ada kalanya dia akan merasa jemu, tersiksa dan tak tahan lagi. Mendadak timbul keinginannya supaya seseorang duduk di sampingnya menemani dia, peduli siapa dia dan macam apa, laki-laki dungu berotak kerbau juga tidak jadi soal, karena hanya orang dungu yang berotak kerbau saja tidak akan dapat menyentuh penderitaannya yang tersekam sekian lama di relung hatinya yang paling dalam.
Lelaki itu kegirangan, segera dia duduk serta berseru lantang, “Kasih sepiring buntut babi lagi dan dua kepala bebek.” Lalu dengan tertawa dia menyambung, “Sayang sekali kepala bebek itu sebelumnya sudah dipotong orang, kalau aku sendiri yang memotongnya, pasti lebih beres dan sedap.”
Penjual mi yang tua usia itu agaknya juga terpengaruh oleh kerasnya arak, matanya melirik, katanya, “Kau sering memotong kepala bebek?”
Laki-laki itu menjawab, “Kepala bebek atau kepala manusia sering kupotong.” Lalu dia tepuk dada, “Bukan aku membual, soal memotong kepala, dalam daerah seluas ratusan li di sini mungkin aku nomor satu.”
“Apa kerjamu?” tanya si orang tua.
“Aku ini algojo. Algojo nomor satu di kota ini dan tiga belas karesidenan. Ada orang mengundang aku untuk memenggal kepala, sedikitnya harus mengupah aku seratus tahil perak padaku.”
“Kau mau memenggal kepala orang, dia harus bayar uang kepadamu malah?” si orang tua bertanya dengan melotot.
“Kalau diberi sedikit aku tidak mau mengerjakan.” “Berdasar apa kau bekerja?”
Laki-laki itu mengulur jari-jari tangannya yang gede, katanya, “Berdasar kedua tanganku dengan Kui-thau- to milikku yang berat bobotnya.” Lalu dia menirukan cara dan gaya orang memenggal, “Sekali penggal, orang yang terpenggal kepalanya ada yang tidak tahu kalau kepalanya sudah berpisah dari lehernya.”
“Ulur kepala dipenggal, mengkeret kepala juga dipenggal, berdasar apa pula orang harus memberi uang kepadamu?”
“Karena daripada lama tersiksa, lebih baik lekas mati, kalau aku yang memenggal kepalanya, paling tidak dia mati tanpa merasakan jiwanya telah melayang.”
“Memangnya orang lain tidak mampu sekali penggal kepala orang terpental jatuh?” “Kau masih ingat tidak anak muda yang tempo hari kuajak jajan mi di sini?”
“Dia kenapa?”
“Dia juga seorang algojo, untuk mencari duit, dia berlatih beberapa tahun dengan semangka, setelah yakin dirinya sudah cukup mahir, waktu datang kemari dia pandang sebelah mata kepadaku.”
“Lalu?”
“Waktu pertama kali dia maju ke tengah gelanggang, baru dia insyaf adanya sesuatu yang tidak beres.” “Apanya yang tidak beres?”
“Di tengah arena ada hawa membunuh dan kewibawaannya sendiri, mungkin mimpi pun kau tak pernah memikirkannya, setiba di tengah arena kaki lemas lutut goyah, setelah mengayun golok delapan kali, kepala orang masih belum mau putus dari lehernya, saking kesakitan pesakitan itu berkelejetan dan meronta-ronta tak keruan,” setelah menghela napas dia meneruskan, “coba kau bayangkan, seorang yang terbacok delapan kali belum mati, bagaimana rasanya?”
Pucat muka lelaki tua itu, katanya, “Bila kau yang memenggal, cukup sekali bacok saja.” “Tanggung hanya sekali bacok, bersih dan beres.”
“Memenggal kepala apakah memerlukan kepandaian?” “Ilmu kepandaian yang diperlukan memang teramat besar.”
Laki-laki tua itu mengangkat cawan arak dan pocinya ke meja sini, duduk di sampingnya, katanya, “Coba kau ceritakan.”
Laki-laki kekar berkata, “Bukan saja harus berpandangan tajam, gerakan golok itupun harus cepat, sebelum turun tangan harus dibikin jelas lebih dulu, siapakah orang yang akan kau penggal lehernya.”
“Lho, kenapa?” “Karena ada sementara orang pembawaannya punya nyali besar, di waktu kepalanya terpenggal, pinggangnya masih tegak berdiri, lehernya juga tidak mengkeret, memenggal kepala orang seperti ini paling mudah.” Setelah memperoleh pendengar, ceritanya makin bernafsu, lebih senang, “Tapi ada pula orang yang bernyali kecil, setiba di gelanggang, tulangnya menjadi lemas, celananya pun basah dan bau, ditarik pun tidak mudah.”
“Kalau dia merangkak di tanah, apakah kau tidak mampu memenggal kepalanya?” “Tidak bisa dipenggal.”
“Kenapa?”
“Karena tulang di bagian belakang leher lebih keras, kau harus menemukan dulu letak sela-sela ruas tulangnya, baru sekali bacok akan memenggal putus kepalanya,” lalu dia menambahkan, “kalau aku sudah tahu pesakitan yang harus kupenggal kepalanya seorang jahat maka aku harus mempersiapkan diri lebih dulu.”
“Mempersiapkan apa?”
“Biasanya aku mencekok dulu beberapa cangkir arak, untuk membesarkan nyalinya, tapi tidak boleh mencekoknya sampai mabuk, maka sebelumnya aku pun harus mencari tahu apa dia suka minum arak.”
“Lalu?”
“Setiba di tengah gelanggang, bila dia tetap tak berani mengulur lehernya, maka aku akan menendang pinggangnya, begitu kepalanya bergerak, golokku segera menyambar, bergegas aku harus mengeluarkan bakpao yang sudah kusiapkan sebelumnya.”
“Untuk apa kau membawa bakpao?”
“Begitu kepala terpenggal jatuh, bakpao itu harus segera kugunakan untuk menyumpal lubang lehernya.” “Untuk apa?”
“Karena aku harus mencegah darah yang menyembur dari lehernya mengotori badanku, besar atau kecil bakpao itu adalah sama karena dia bisa menghisap darah, bila penonton sudah bubar, bakpao itu tetap hangat, mumpung masih panas aku lantas melahapnya.”
Bertaut alis laki-laki tua, tanyanya, “Kenapa harus makan bakpao itu?”
“Karena makan bakpao berdarah dapat menambah nyali,” setelah menenggak dua teguk arak dia meneruskan dengan tertawa, “pekerja seperti kami ini, bila terlalu banyak membunuh orang, akhirnya bisa bernyali kecil juga, mula pertama malamnya tidak bisa tidur, akhirnya ada yang menjadi gila malah.”
“Gila sungguhan?” tanya laki-laki tua.
“Suhuku sendiri juga gila. Dua puluh tahun dia menjadi algojo, ternyata gila. Mulutnya selalu mengigau katanya ada setan yang datang membuat perhitungan dengan dia, mau memenggal kepalanya. Suatu hari, dia masukkan kepala sendiri ke dalam tungku yang membara.”
Laki-laki tua menatapnya, akhirnya menghela napas, katanya, “Arak yang kau minum hari ini biar aku yang traktir.”
“Kenapa?”
“Karena tidak mudah kau peroleh uangmu itu, kelak kau pasti juga akan menjadi gila.”
“Kau mau mentraktir, kalau aku tidak mau, sia-sia aku minum, tapi aku pasti tidak akan gila.” “Kenapa?”
“Karena aku senang dengan pekerjaanku.” “Kau benar-benar suka?”
“Orang lain membunuh orang berarti melanggar hukum, aku membunuh orang malah terima bayaran, tugas ringan dan menguntungkan seperti ini, kemana pula aku bisa mendapatkannya?” mendadak dia menoleh ke arah Pho Ang-soat, katanya, “Dan kau? Bidang apa kerjamu?”
Pho Ang-soat tidak menjawab, perutnya seperti mengkeret, seperti diplintir, seperti mau muntah. Dari tempat gelap mendadak seorang berkata dingin, “Dia seperti kau, dia pun seorang algojo.” Malam panjang sudah akan berakhir. Sebelum fajar akan tiba saatnya paling gelap, orang itu berdiri di tempat yang paling gelap sana.
Laki-laki kekar itu terperanjat, serunya, “Maksudmu dia juga seorang algojo?”
Bayangan orang di tempat gelap itu manggut-manggut, katanya, “Cuma dia belum bisa menandingi kau.” “Dalam hal apa dia tidak bisa menandingi aku?”
“Bagimu, membunuh orang adalah tugas sepele, pekerjaan enteng, kau mendapat upah lagi.” “Dan dia?”
“Setelah membunuh orang dia malah amat menderita, sekarang dia sudah tidak bisa tidur.” Mula pertama menjalankan tugas, malamnya tidak bisa tidur, akhirnya bisa jadi gila.
“Dia pernah membunuh banyak orang.”
“Yang dulu tidak dihitung, dalam tujuh belas hari ini dia sudah membunuh dua puluh tiga orang.” “Dia membunuh memperoleh duit tidak?”
“Tidak.”
“Tidak mendapat duit, menderita lagi, tapi dia masih ingin membunuh?” “Benar.”
“Selanjutnya dia masih ingin membunuh?”
Bayangan di tempat gelap itu berkata, “Bukan saja kelak masih ingin membunuh, sekarang juga dia mau membunuh.”
Tegang laki-laki kekar itu, tanyanya, “Sekarang dia mau membunuh siapa?” “Membunuh aku,” suara orang di tempat gelap menjawab.
*******************