Bab 17. Putus Asa
Langkah kaki itu makin dekat, dari tengah kegelapan akhirnya muncul satu orang, seorang yang memegang sekuntum kembang, sekuntum kembang kecil warna kuning.
Yang sedang ternyata Hwesio gila, dia masih mengenakan jubah yang berlepotan tinta itu, maju perlahan- lahan, menancapkan kembang kuning itu di bawah rumpun bambu.
“Orang sudah kembali ke tempat asal, kembangnya pun kembali dimana tumbuh.”
Sorot matanya seperti membawa duka-lara, sayang sekali bentuk kembang ini masih tetap segar, tapi keadaan di sini sudah porak-poranda.
Dengan terlongong Pho Ang-soat juga mengawasi kembang kuning di bawah rumpun bambu itu, “Kau tahu bahwa aku pergi dari sini, kau pun tahu kembang ini tumbuh di sini, maka kau pun datang kemari.”
“Kau tahu apa?” tanya Hwesio gila “Apa pun aku tidak tahu,” sahut Pho Ang-soat. “Jadi kau tidak tahu siapa pemetik kembang ini, juga tidak tahu siapa diriku?”
“Siapa kau?”
Hwesio gila mendadak menuding noda tinta di jubahnya, katanya, “Kau bisa lihat tidak, apa ini?” Pho Ang-soat menggeleng kepala.
Hwesio gila menghela napas, mendadak dia duduk di depan Pho Ang-soat, katanya, “Coba kau lihat lagi, kau harus mengawasi sepenuh perasaan.”
Pho Ang-soat bimbang, akhirnya dia pun duduk. Sinar bintang yang guram menyinari jubah yang semula bersih dan rapi itu, sekarang berlepotan noda hitam yang tak keruan.
Sepenuh perhatian Pho Ang-soat mengawasi, seperti mengawasi
api dupa yang berkelap-kelip di kamar nan gelap. Jika kau sudah merasakan api dupa ini tidak lagi berkelap-kelip, malah terangnya seperti obor, maka kau sudah setengah sukses. Selanjutnya kau akan dapat melihat asap dupa yang mengepul ke udara, sejelas melihat gumpalan mega di puncak gunung yang tinggi, kepulan asap yang menari-nari itu kelihatan seperti bangau yang terbang di balik mega. Pho Ang-soat menatap sepenuh perhatian, mendadak terasa noda-noda yang tak keruan itu tidak lagi semrawut, seolah-olah mengandung suatu irama magis. Selanjutnya mendadak dia menemukan noda tinta hitam yang tak keruan itu secara gaib berubah menjadi suatu lukisan, dimana seolah-olah ada gunung tinggi, ada air mengalir, ada sinar golok yang menari tak pernah henti, ada pula air mata di wajah si bocah.
“Sebetulnya gambar apa yang kau lukis.”
“Apa yang sedang kau pikir dalam hatimu, gambar itulah yang sedang kulukis.”
Bentuk suatu lukisan memang timbul dari nurani orang, maka bukan saja gambar itu sebuah lukisan, malah lukisan yang paling antik di antara gambar.
Mata Pho Ang-soat sudah memancarkan cahaya, “Aku sudah tahu siapa kau, kau pasti Go Ho, salah satu pembantu Kongcu Gi.”
Hwesio gila terbahak-bahak, katanya, “Jelas ada gambar, kenapa kau bilang tiada lukisan? Jika tiada lukisan, mana bisa ada orang?”
“Orang siapa?”
“Sudah tentu orang di dalam gambar.”
Dalam gambar ada air mata si bocah, dalam hati memang merekalah yang dipikirkan. “Orangnya kemana?”
“Jelas ada orangnya, kenapa kau justru bertanya, agaknya yang gila bukan Hwesio, tapi adalah kau,” sambil tertawa lebar tangannya menuding sekenanya. “Coba kau lihat, bukankah orang ada di sana?”
Yang dituding adalah beberapa gubuk kecil itu, pintu jendela gubuk kecil itu terbuka lebar. Entah sejak kapan cahaya api sudah menyala di dalam rumah.
Waktu Pho Ang-soat menoleh dan memandang ke arah yang dituding, seketika dia melenggong.
Di dalam rumah ada orang, dua orang. Toh Cap-jit dan Co Giok-cin sedang duduk makan bubur, bubur yang sudah hampir dingin tadi kini tampak mengebul panas.
Tapi sekujur badan Pho Ang-soat justru menjadi dingin. Apakah yang dilihatnya ini mirip noda-noda hitam di jubah Hwesio gila, hanyalah lukisan abstrak? Lukisan yang tidak berbentuk? Lukisan dalam khayal belaka?
Bukan, yang satu ini pasti bukan, di dalam rumah memang kenyataan ada dua orang yang segar-bugar dan hidup, mereka memang Toh Cap-jit dan Co Giok-cin.
Setelah mengawasi noda hitam di jubah si Hwesio, sekarang setiap kerut-merut di muka mereka pun dapat dilihatnya dengan amat jelas, malah dia juga melihat jelas pori-pori mereka seperti sedang membuka, kulit daging kedutan.
Mereka tidak memperhatikan keadaan di luar rumah, dalam keadaan seperti itu, kebanyakan orang pasti akan berjingkat dan memburu ke sana atau berteriak memanggil.
Tapi Pho Ang-soat adalah Pho Ang-soat, Pho Ang-soat bukan kebanyakan orang itu, walaupun dia sudah berdiri, namun tetap berdiri di situ, bergerak pun tidak. Karena bukan saja dia sudah melihat kedua orang ini, malah dia mengawasi dengan lebih tajam, lekat dan jauh. Hanya dalam sekejap ini segera dia sudah melihat seluruh gelagat, kenyataan dari kejadian ini.
“Bukankah orang yang kau cari berada di sana?” ucap Hwesio gila. “Ya, benar,” sahut Pho Ang-soat. “Kenapa tidak lekas kau ke sana?”
Pelan-pelan Pho Ang-soat berputar, lalu menatapnya, mata yang semula sudah kelihatan letih, duka hingga merah itu mendadak berubah menjadi dingin, kaku dan bening, setajam pisau menatapnya sampai lama, akhirnya dia berkata perlahan, “Aku hanya mengharap kau paham satu hal.”
“Coba katakan.”
“Sekarang bila aku mau mencabut golok, kau pasti mati, di langit di bumi yakin tiada seorang pun yang mampu menolong jiwamu.”
Hwesio gila tertawa pula, tawa yang dipaksakan, “Aku sudah memberi kesempatan hingga kau melihat orang yang kau cari, kau justru mau membunuhku.” “Hanya melihat mereka belum cukup.” “Apa pula kehendakmu?”
“Kau harus duduk tenang di sini, sekarang kau harus suruh orang yang bersembunyi di belakang pintu dan pojok rumah keluar, bila mereka berani melukai seujung rambut Co Giok-cin dan Toh Cap-jit, aku akan segera menggorok lehermu.”
Hwesio gila tidak tertawa lagi, sepasang mata yang suka memandang orang dengan nanar mendadak berubah amat bening dan dingin, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Pandanganmu memang tidak keliru, di pojok rumah dan di belakang pintu memang ada orang bersembunyi di sana, tapi sudah pasti mereka takkan mau keluar.”
“Kau tidak percaya bahwa aku mampu membunuhmu?” “Aku percaya.”
“Kau tidak peduli?”
“Sudah tentu aku ingin hidup, tapi mereka boleh tidak peduli mati hidupku, membunuh dan pertumpahan darah sudah merupakan kejadian biasa bagi mereka, umpama kau mencacah tubuhku, aku berani tanggung mereka tidak akan mengerutkan alis.”
Pho Ang-soat bungkam, ucapan si Hwesio memang tidak salah, karena dia sudah melihat seraut wajah yang menongol di jendela, terlihat jelas wajah yang penuh codet serta seringainya yang sadis. Yang bersembunyi di pojok rumah itu adalah Kongsun To.
Hwesio gila berkata, “Tentu kau sudah mengerti bagaimana perangai orang ini, umpama kau mencacah hancur anaknya di depan matanya, mungkin dia pun tidak akan mengerutkan kening. Jiwanya kejam.”
Pho Ang-soat tidak menanggapi.
“Sekarang aku hanya mengharap kau memaklumi satu hal,” ucap Hwesio gila. “Coba katakan.”
“Jika mereka mencacah lebur Co Giok-cin dan Toh Cap-jit, apakah kau tetap tak peduli?” Tangan Pho Ang-soat mengepal kencang, perasaannya berat seperti tertindih.
Kongsun To mendadak tertawa lebar, katanya, “Bagus, pertanyaan bagus, aku juga boleh memberi jaminan, bila Pho Ang-soat berani melukai seujung rambutmu, aku pun akan menggorok leher kedua orang ini.”
Saking murkanya, muka Pho Ang-soat yang pucat kelihatan berkerut kedutan. “Kau percaya tidak apa yang diucapkannya?”, tanya Hwesio gila.
“Aku percaya, maka aku harus hati-hati,” ucap Pho Ang-soat, “aku ingin mereka hidup segar, entah apa keinginan kalian?”
“Apa keinginan kami, kau pasti akan memberikan?” Hwesio gila menegas.
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Bila mereka tetap hidup, asal aku mampu dan punya.”
Hwesio gila tertawa pula, katanya, “Aku hanya ingin kau mencopot pakaianmu, copot semua sampai telanjang bulat.”
Muka Pho Ang-soat yang pucat mendadak merah, otot sekujur badannya mengencang dan merongkol. Dia rela mati daripada dihina, apa boleh buat, dalam keadaan seperti ini dia tidak mungkin melawan, tidak bisa menolak.
“Sekarang juga aku ingin kau mulai copot pakaian, copot sampai telanjang.”
Tangan Pho Ang-soat terangkat, tapi tangan ini bukan mencopot kancing baju, tapi mencabut goloknya. Sinar golok menyambar bagai kilat, tapi gerakan tubuhnya agaknya lebih cepat dari sambaran sinar golok itu.
Di tengah berkelebatnya sinar golok itu, dia sudah menerjang ke gubuk kayu itu, goloknya sudah menusuk amblas papan pintu rumah itu. Maka melolong jeritan ngeri di belakang pintu, seorang tersungkur roboh, siapa lagi kalau bukan “kalau ingin membunuh, maka tanpa pantangan”, yaitu Nyo Bu-ki. Kini dia hanya memiliki sebelah tangan, tak terpikir olehnya bahwa golok itu akan menusuk tembus dari balik papan menghunjam dadanya. Dengan pandangan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat, sorot matanya seperti bertanya, “Beginilah kau membunuhku?”
Sekilas Pho Ang-soat menatapnya dingin, sorot matanya seperti menjawab, “Jika ingin membunuh, tanpa pantangan, aku belajar dari kau.”
Pertanyaan dan jawaban itu tidak mereka ucapkan, karena sebelum Nyo Bu-ki sempat melontarkan sepatah kata pun, napasnya sudah berhenti.
Pho Ang-soat hanya menatapnya sekilas, di kala matanya menatap tajam, goloknya sudah berputar ke arah Kongsun To. Kongsun To melambung ke udara bersalto ke belakang, menerobos jendela turun di luar rumah, ternyata dia mampu menyelamatkan jiwanya dari sambaran golok itu. Maklum karena serangan golok Pho Ang-soat bukan bermaksud melukainya, tujuannya melindungi Co Giok-cin.
Sinar golok hanya berkelebat sekejap, tahu-tahu golok sudah kembali ke sarungnya.
Kongsun To berdiri jauh di pinggir rumpun bambu, mukanya yang bercodet mengkilap oleh keringat dingin yang mengucur deras.
Co Giok-cin menurunkan mangkuk dan sumpit, maka air matanya pun berderai membasahi pipi. Toh Cap- jit menatapnya, sorot matanya mengandung perasaan yang aneh, pandangan ganjil.
Hwesio gila menghela napas, katanya, “Bagus, orang yang lihai, golok yang bagus.”
Wajah Pho Ang-soat tetap pucat kaku, tak berubah, padahal jantungnya berdetak keras. Sergapannya tadi, padahal dia tidak yakin pasti berhasil, cuma kenyataan nasib baik seperti selalu menjadi miliknya, padahal posisi lawan lebih menguntungkan, maka terpaksa dia harus bertindak secara untung-untungan.
Mendadak Kongsun To menyeringai dingin, katanya, “Taruhanmu kali ini memang tepat, kau lebih mujur, namun percaturan ini, kemenangan tetap akan berada di tanganku.”
“Hm,” Pho Ang-soat mengejek.
“Karena kartu terakhir masih tergenggam di tanganku,” ucap Kongsun To. “Dia masih punya kartu apa?”
Kongsun To berkata pula, “Sebetulnya kau sendiri bisa menduga, kalau tiada orang menunjukkan jalan, bagaimana mungkin kami menemukan tempat ini?”
Jari-jari Pho Ang-soat mengencang, lalu siapakah yang mengkhianati dirinya?
Mendadak sebuah jeritan lengking berkumandang, Toh Cap-jit mendadak turun tangan, dia menelikung lengan Co Giok-cin serta memeluk di depannya.
“Kaukah?!” seru Pho Ang-soat sambil membalikkan badan.
Toh Cap-jit mengawasi, sorot matanya memancarkan mimik yang aneh, seperti ingin bicara, tapi ditahannya pula.
Pho Ang-soat berkata, “Sebetulnya kau laki-laki jantan, kenapa tega melakukan perbuatan serendah ini?”
Akhirnya tak tertahan Toh Cap-jit buka suara, “Kau Dia hanya mengucap sepatah kata, mendadak kedua matanya melotot, selanjutnya darah meleleh dari ujung mata, lubang hidung dan menyembur dari mulutnya.
Kontan Co Giok-cin membalik, sikut menyodok dadanya hingga tubuhnya terjengkang roboh, di bawah ketiak di atas lambungnya ternyata ditembus oleh sebatang pisau runcing, pisau satu kaki yang mengkilap itu amblas sampai gagangnya. Raut mukanya sudah mengkeret, ujung mulutnya gemetar, seperti mau mengatakan, “Aku salah, aku keliru ”
Asalkan dia manusia pasti pernah melakukan kesalahan, tak peduli orang macam apa pun tidak terkecuali.
Setelah melepas gagang pisau, Co Giok-cin segera mundur ke belakang, mendadak dia membalik terus memeluk Pho Ang-soat, pekiknya, “Aku membunuh orang aku membunuh orang!” Bagi dirinya, ternyata
membunuh jauh lebih menakutkan daripada dibunuh. Jelas baru pertama kali ini dia membunuh orang…..
******************* Dulu Pho Ang-soat juga punya pengalaman demikian, waktu dia membunuh orang pertama kali, isi perutnya yang asam pun dimuntahkan keluar, dia maklum akan gejolak perasaan ini.
Bukan soal mudah untuk melupakan gejolak perasaan seperti ini. Tapi manusia masih akan terus membunuh orang, hanya manusia yang bisa membunuh manusia, karena ada sementara orang pasti mendesak seseorang untuk membunuh orang.
Soal bunuh membunuh ini ada kalanya seperti penyakit menular, siapa pun sukar meluputkan diri dari ketularan, karena bila kau tidak membunuh dia, maka dia akan membunuhmu.
Yang menjadi korban akan memperoleh ketenteraman di alam baka, yang membunuh malah akan tersiksa oleh derita lahir dan batin. Bukankah tragedi seperti ini mengandung suatu sindiran?
Keadaan telah tenang kembali, terlalu tenteram.
Darah tidak lagi mengalir, permusuhan sudah jauh terhindar. Jagat raya gelap kelam, tak terdengar suara apa pun. Tangis bayi pun tidak terdengar, dimana anak-anak itu?
Sekujur badan Pho Ang-soat menjadi dingin, katanya, “Anak-anak sudah jatuh ke tangan mereka!”
Co Giok-cin malah menekan rasa dukanya, membujuknya malah, “Anak-anak tidak akan mengalami bahaya, tujuan mereka bukan anak-anak.”
Segera Pho Ang-soat bertanya, “Apa kehendak mereka?” “Yang mereka tuntut adalah ”
“Apakah Khong-jiok-ling?”
Terpaksa Co Giok-cin membenarkan, “Mereka kira Jiu Cui-jing menyerahkan bulu merak itu kepadaku, bila aku menyerahkan bulu merak itu kepada mereka, anak-anakku akan dikembalikan kepadaku.” Air matanya mulai meleleh, “Tapi aku tidak punya bulu merak, padahal bagaimana bentuk barang itu aku pun belum pernah melihatnya.”
Dingin tangan Pho Ang-soat, sedingin es.
Co Giok-cin menggenggam tangannya, katanya rawan, “Sebetulnya tidak akan kuceritakan hal ini kepadamu, aku tahu tiada seorang pun di dunia ini dapat merebut anakku dari tangan mereka.”
“Tapi mereka kan juga anakku.”
“Tapi kau tak punya bulu merak, misal kau mampu membunuh mereka, anak-anak itu tetap takkan dapat kau rebut kembali.”
Pho Ang-soat membungkam, tidak bisa tidak dia harus mengakui bahwa dirinya tak mampu membereskan persoalan ini, perasaannya seperti disayat pisau.
Co Giok-cin menghiburnya lagi, “Untuk sementara mereka pasti tidak akan mengganggu anak-anak, tapi
...” Jari tangannya mengelus wajah Pho Ang-soat yang pucat, “Kau sudah terlalu lelah, terluka lagi, kau harus banyak istirahat, berusahalah kau membuang segala kerisauan hati dan melupakan mereka.”
Pho Ang-soat tidak bersuara, tidak bergerak, seolah-olah dia sudah kaku, pati rasa. Karena dia tidak punya bulu merak, dia tidak akan bisa menyelamatkan anak-anak. Dengan kedua tangannya dia menyambut kelahiran mereka di dunia ini, sekarang terpaksa dia harus menyaksikan mereka menderita dan terpisah dari ibunya, kemungkinan pula akan mati.
Sudah tentu Co Giok-cin juga merasakan penderitaannya, dengan air mata bercucuran dia menariknya ke ranjang serta menekan kedua pundaknya, katanya dengan lembut dan mesra, “Sekarang kau harus berusaha mengendorkan diri, apa pun jangan kau pikirkan, biar aku mengobati luka-lukamu.” Kembali dia meraba lembut muka orang, lalu secara tiba-tiba dia menotok tujuh Hiat-tonya dengan totokan berat.
Tiada orang bisa membayangkan perubahan ini, umpama setiap orang di dunia ini sudah menduga sebelumnya, tapi Pho Ang-soat pasti tidak pernah membayangkan. Maka dia hanya bisa menatapnya dengan kaget, tapi kejut dan herannya jauh lebih besar dari pukulan batinnya.
Bila sepenuh hati, dengan keluhuran jiwamu kau melayani seseorang, tapi orang itu malah mengkhianati kau, siapa dapat membayangkan betapa penderitaan batinnya. Tapi Co Giok-cin malah tertawa, tertawa lembut dan manis, “Kelihatannya kau amat menyesal atau menderita, apakah luka-lukamu sakit? Atau perasaanmu yang tertusuk?” Tawanya kelihatan lebih riang, “Dimanapun rasa sakitmu, sebentar tidak akan terasa sakit lagi, karena orang mati tidak akan merasa sakit.”
Dengan tersenyum genit dia bertanya, “Semula kukira bulu merak berada di tanganmu, tapi melihat gelagatnya, agaknya rekaanku meleset. Maka aku akan segera membunuhmu, bila tiba saatnya, segala penderitaan sudah tidak akan terasa lagi olehmu.”
Bibir Pho Ang-soat sudah tergigit sampai mengeluarkan darah, bibir yang kering itu memang sudah merekah, sekarang sepatah kata pun tak mampu dia bicara.
Co Giok-cin berkata, “Aku tahu, kau pasti ingin bertanya kepadaku, kenapa bersikap begini terhadapmu, tapi aku justru tidak mau menerangkan.” Matanya mengawasi goloknya, “Kau bilang siapa pun tak boleh menyentuh golokmu ini, sekarang aku justru akan memegangnya.”
Dia mengulur tangan mengambil goloknya, lalu berkata pula, “Bukan saja memegangnya, malah dengan golokmu ini akan kubunuh dirimu.”
Jari tangannya terpaut satu dim saja dari gagang golok, mendadak Pho Ang-soat berkata, “Lebih baik jangan kau menyentuhnya.”
“Kenapa?” tanya Co Giok-cin.
“Karena aku belum ingin membunuhmu.”
Co Giok-cin tertawa lebar, katanya, “Aku justru ingin menyentuhnya, ingin aku tahu dengan cara apa kau akan membunuhku.” Akhirnya dia menyentuh golok itu.
Tapi golok itu mendadak membalik memukul punggung tangannya, sarung golok yang hitam itu seperti besi yang terbakar membara. Punggung tangannya seketika dihiasi jalur merah, saking kesakitan hampir saja dia melelehkan air mata, tapi rasa kejut dan takutnya jauh lebih besar daripada rasa sakit. Padahal dia sudah menotok tujuh Hiat-to di badannya. Selamanya tidak pernah meleset dia menotok Hiat-to orang.
“Sayang sekali ada satu hal selamanya takkan terpikir olehmu,” ujar Pho Ang-soat. “Hal apa?”, Co Giok-cin menegas.
“Setiap Hiat-to di seluruh tubuhku sudah digeser satu dim dari tempat asalnya.” Co Giok-cin melenggong.
Padahal segala rencana tiada satu pun yang dilalaikannya, tiada kesalahan gerakan totokannya, selamanya telak dan tidak pernah gagal. Yang salah sebetulnya adalah Pho Ang-soat, tapi mimpi pun dia tidak pernah menyangka bahwa letak Hiat-tonya juga salah. Kesalahan letak satu dim ini justru amat fatal, karena membuat seluruh rencananya gagal total.
Dia masgul, menyesal, gegetun dan menyalahkan Yang maha Kuasa tidak adil, namun dia lupa berpikir, bagaimana penggeseran letak satu dim ini bisa terjadi?
Latihan selama dua puluh tahun, darah dan keringat mengalir deras tak pernah habis, tekad yang teguh sekeras baja, kesabaran yang mengertak gigi. Begitulah terciptanya penggeseran yang satu dim itu, tiada sesuatu yang kebetulan untung-untungan di dunia ini.
Semua itu tidak pernah dia pikirkan, dia hanya memikirkan satu hal. Setelah gagal sekali pasti takkan ada kesempatan kedua kali, maka luluhlah dia.
Pho Ang-soat justru berdiri diam, menatapnya dingin, katanya mendadak, “Aku tahu kau terluka.” “Kau tahu?” Co Giok-cin menegas dengan terbelalak.
“Lukamu di bawah ketiak, di antara tulang kedua dan ketiga di igamu, luka golok sepanjang empat centi, dalamnya tujuh mili.”
“Darimana kau bisa tahu?” “Karena golokku yang melukaimu.”
Di luar ruang pemujaan Thian-liong-ko-sa, darah menetes di ujung goloknya. “Orang yang membokong aku bersama Kongsun To di luar kuil tadi adalah kau.” Ternyata Co Giok-cin cukup tabah, katanya, “Betul, memang aku.” “Ilmu pedangmu patut dibanggakan.”
“Ya, lumayan.”
“Setiba aku di Thian-liong-ko-sa, kau pun segera menyusulku ke sana.” “Langkahmu memang tidak lambat.”
“Kongsun To dan kawan-kawannya bisa menemukan tempat ini, sudah tentu bukan Toh Cap-jit yang membocorkan kepada mereka.”
“Sudah tentu bukan dia, tapi aku.” “Karena itu kau membunuhnya.”
“Tentu takkan kubiarkan dia membocorkan rahasiaku.”
“Mereka dapat menemukan Bing-gwat-sim, sudah tentu juga lantaran engkau.”
“Jika bukan aku, mana mungkin mereka bisa tahu bahwa Bing-gwat-sim sudah kembali ke kamar rahasia bawah tanah itu?”
“Kau mengaku semua kesalahanmu?” “Kenapa aku harus mungkir?” “Kenapa kau lakukan semua itu?”
Mendadak Co Giok-cin mengeluarkan sekuntum bunga mutiara, bunga yang jatuh dari balik baju Tio Ping sebagai Jari telunjuk di dalam kamar rahasia di bawah tanah itu. Sambil mengawasi bunga mutiara itu dia berkata, “Kau pasti ingat darimana bunga mutiara ini.”
Sudah tentu Pho Ang-soat masih ingat.
“Hari itu apa pun aku tidak mau, aku hanya mengambil bunga mutiara ini, kau pasti mengira aku seperti juga perempuan umumnya melihat barang mestika lantas melupakan segalanya.”
“Jadi kau bukan perempuan jenis itu?”
“Aku merebut bunga mutiara ini lebih dulu, karena aku kuatir kau melihat sandi rahasia merak di atas bunga mutiara ini.”
“Merak?”
“Bunga mutiara ini adalah pemberian Jiu Cui-jing kepada Co Giok-cin tanda ikatan perkawinan mereka, sampai dia akan membawa bunga mutiara ini.”
“Jadi Co Giok-cin sudah mati?”
“Kalau dia belum mati, bagaimana mungkin bunga mutiara ini bisa terjatuh ke tangan Tio Ping.”
Pho Ang-soat menutup mulut, sebab dia berusaha mengendalikan emosinya. Lama kemudian baru dia menghela napas pelan, katanya, “Ternyata kau memang bukan Co Giok-cin, siapa kau?”
Dia tertawa pula, tertawa licik dan kejam, “Kau tanya siapa aku? Memangnya kau sudah lupa bahwa aku adalah anakmu?”
Dingin kaki tangan Pho Ang-soat.
“Aku mau menikah dengan kau, meski hanya memberi beban kepadamu, sehingga kau gampang ditekan, dikendalikan, supaya kau mampus kelelahan, supaya kau selalu berusaha untuk menolongku hingga kau harus mengadu jiwa dengan orang lain, tapi siapa pun takkan menyangkal, bahwa aku sudah menikah dengan kau, sudah menjadi binimu.”
Tiada komentar.
“Aku menjebloskan Bing-gwat-sim, membunuh Yan Lam-hwi, tadi kutusuk Toh Cap-jit, ingin membunuhmu pula, tapi aku adalah istrimu,” tawanya lebih sadis, “aku hanya ingin kau ingat satu hal, kalau kau ingin membunuhku, boleh sekarang kau turun tangan.”
Mendadak Pho Ang-soat menerjang keluar. Waktu itu adalah saatnya paling gelap sepanjang malam ini, tanpa menoleh dia terus terjun ke tengah kegelapan, dia sudah tidak bisa berpaling lagi.
Gelap pekat, kegelapan yang membawa kekecewaan. Gelap yang membuat orang putus asa.
Pho Ang-soat berlari kencang seperti kesetanan, dia tidak boleh berhenti, karena sekali dia berhenti dia pasti roboh. Sekarang apa pun tidak dipikirnya lagi, karena dia tidak bisa tidak harus berpikir.
Khong-jiok-san-ceng sudah runtuh, Jiu Cui-jing tidak menyesal, hanya mohon dia melakukan satu hal, mohon dia mempertahankan keturunan marga Jiu saja.
Tapi Co Giok-cin sekarang sudah mati.
Dia tahu bahwa di atas bunga mutiara itu pasti ada sandi rahasia merak, maka sudah pasti bahwa “dia” adalah salah satu dari pembunuh itu.
Tapi dia justru mengawalnya, memperhatikan sepenuh hati dan melindunginya, malah menikahinya pula. Jika bukan lantaran dia, bagaimana Bing-gwat-sim bisa mati?
Jika bukan melindungi dia, bagaimana Yan Lam-hwi bisa mati?
Dia malah menganggap apa yang dilakukan selama ini benar dan tepat, baru sekarang dia menyadari apa yang pernah dilakukannya sungguh amat menakutkan.
Tapi sekarang sudah terlambat, kecuali muncul keajaiban, orang yang sudah mati, pasti takkan bisa hidup kembali. Padahal dia tidak percaya adanya kegaiban. Maka kecuali lari lintang-pukang seperti anjing kelaparan di tengah kegelapan, apa pula yang bisa dia lakukan sekarang? Umpama dia membunuhnya apa pula faedahnya?
Semua persoalan itu dia tidak berani memikirkan, juga tak bisa dipikirkan, karena benaknya ruwet, pikirannya kacau balau. Keruwetan yang mendekati gila.
Dia lari dan lari terus hingga kehabisan tenaga, maka dia roboh, begitu badannya mulai berkelejetan, mengejang dan meronta-ronta. Cambuk yang tidak kelihatan itu mulai melecut dan menghajar sekujur badannya pula.
Para malaikat, para dedemit atau iblis yang ada di bumi dan langit sekarang seperti mengutuk serta menghukumnya, sehingga dia menderita, dia sendiri pun ingin menghukum dan menyiksa diri sendiri. Paling tidak, hanya itulah yang bisa dia lakukan sekarang.
Dalam gubuk kecil itu tenang, hening tiada suara apa pun.
Di luar pintu sayup-sayup seperti ada orang bicara, tapi suaranya kedengaran amat jauh.
Segala sesuatu di sekitarnya kelihatan remang-remang, amat jauh, sampai awak sendiri pun terasa seperti di tempat jauh.
Tapi kenyataan dirinya jelas berada di sini, di dalam gubuk cilik yang sempit, bau apek dan pengap ini.
Tempat apakah ini? Siapa pula pemilik gubuk reyot ini? Dia hanya sedikit ingat sebelum dirinya ambruk, dia seperti menjebol roboh sebuah pintu sempit. Agaknya dia pernah kemari.
Tapi ingatannya juga masih samar-samar, amat jauh, namun percakapan di luar pintu mendadak makin keras. Itulah percakapan seorang laki dan perempuan.
“Jangan lupa aku inikan sudah langganan lama, kenapa kau membiarkan aku pulang gigit jari,” itulah suara laki-laki.
“Sudah kujelaskan, hari ini tidak bisa. Kuharap kau datang lain kali,” suara perempuan setengah meminta, nadanya tegas.
“Kenapa hari ini tidak boleh?”
“Karena ... karena hari ini aku datang bulan.”
“Kentut busuk,” laki-laki itu mendamprat gusar. “Umpama benar kau datang bulan, kau juga harus mencopot celana biar kuperiksa.”
Nafsu laki-laki bila tidak tersalurkan biasanya memang mudah naik pitam. “Kau tidak takut sial?” “Kenapa takut? Tuan besarmu ini punya uang, takut apa? Nah, ini lima tahil boleh kau terima dulu, baru kau copot celanamu.”
Lima tahil dapat memuaskan nafsu? Lima tahil cukup untuk menghina perempuan? Tempat apakah sebetulnya di sini? Dunia macam apakah yang ada di sini?
Sekujur badan Pho Ang-soat dingin lunglai, seperti mendadak dia terjeblos ke dalam air dingin, tenggelam ke dasar air, akhirnya dia teringat tempat apa ini.
Akhirnya dia melihat patung pemujaan di atas ranjang itu, lalu terbayang akan gadis yang mengenakan kalung kembang melati itu. Bagaimana aku bisa kemari? Apakah lantaran dia pernah mengatakan, “Aku pasti menunggumu?” Apakah sekarang dirinya seperti dia menghadapi jalan buntu, tiada arah yang bisa ditempuhnya? Apakah lantaran nafsunya sudah terbenam sekian lama dan di sini dia memperoleh pelampiasan?
Hanya dia sendiri yang dapat menjawab pertanyaan ini, tapi jawabannya justru tersembunyi di relung hatinya yang paling dalam, mungkin untuk selamanya tiada orang yang bisa menggalinya keluar, mungkin dia sendiri pun tidak mampu.
Dia tidak bisa berpikir lagi, karena pada saat itulah seorang laki-laki mabuk sudah menerjang masuk.
“Ha, memangnya tuanmu sudah tahu dalam kamarmu menyembunyikan laki-laki, ternyata kau tertangkap basah sekarang.” Jari-jari tangannya yang segede wortel itu terpentang, seperti ingin merenggut Pho Ang- soat dari atas ranjang. Tapi yang dia cengkeram ternyata gadis berkalung kembang melati itu, karena dia ikut memburu ke dalam, menghadang di depan ranjang serta berteriak, “Jangan kau menyentuhnya, dia sedang sakit.”
Laki-laki itu tertawa lebar, serunya, “Laki-laki macam apa yang tak bisa kau cari, kenapa kau justru memilih setan penyakitan ini?”
Gadis berkalung kembang melati mengertak gigi, katanya, “Kalau kau memaksa, boleh aku ikut kau ke tempat lain, lima tahil uangmu pun tak usah kuterima, kali ini kau boleh gratis.”
Laki-laki itu menatapnya seperti heran, desisnya, “Biasanya kau minta bayar lebih dulu, kenapa kali ini kau rela gratis?”
“Karena hari ini aku senang,” sahut gadis itu keras.
Laki-laki itu mendadak berjingkrak beringas, serunya, “Berdasar apa tuanmu harus melihat kau senang. Kau senang, tuanmu tidak senang.” Begitu dia kerahkan tenaga, seperti elang menyambar ayam kecil, gadis itu diangkatnya tinggi-tinggi.
Dia melawan, karena bukan saja dia tidak mampu melawan, juga tidak bisa melawan, penghinaan dan siksaan yang dia alami sudah terlalu biasa.
Akhirnya Pho Ang-soat berdiri, desisnya, “Lepaskan dia.” Laki-laki itu mengawasinya dengan kaget, “Kau yang bicara?” Pho Ang-soat mengangguk.
“Kau setan penyakitan ini suruh aku melepas dia?” Pho Ang-soat mengangguk pula.
“Tuan besar justru tidak mau melepaskan dia, kau setan penyakitan ini mau apa?” mendadak dia melihat tangan Pho Ang-soat memegang golok. “Jahanam, ternyata kau membawa golok, memangnya kau berani membunuhku?”
Membunuh orang.
Lagi-lagi membunuh orang, kenapa orang harus memaksa membunuh orang? Akhirnya Pho Ang-soat berduduk di pinggir ranjang tanpa bersuara, terasa perutnya sedang mengkeret, hampir tak tertahan dia ingin muntah.
Laki-laki itu tertawa lebar, perawakannya tinggi kekar, daging otot kedua lengannya merongkol mirip binaragawan, hanya sedikit bergerak dia lempar gadis berkalung melati itu terbanting di atas ranjang. Lalu dia merenggut baju Pho Ang-soat, serunya dengan tertawa lebar, “Setan penyakitan macammu begini juga berani menjadi pengawal pelacur busuk ini? Ingin tuanmu membuktikan berapa besar tulang-tulangmu?”
Gadis itu sudah meringkal di ranjang sambil memekik.
Laki-laki kekar itu sudah siap menjinjing Pho Ang-soat serta melemparkannya keluar pintu. “Blang!”, seorang terbanting keras di luar pintu, namun bukan Pho Ang-soat yang terbanting, ternyata laki- laki kekar malah. Cepat dia merangkak lalu menerjang maju pula, tinjunya terayun menggenjot muka Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tidak bergerak, tahu-tahu laki-laki itu menjerit memegangi tangan sambil menjengking, saking kesakitan keringat dingin membasahi selebar mukanya, sambil menjerit-jerit dia berlari keluar.
Pho Ang-soat memejamkan mata, gadis itu malah terbelalak, dengan kaget dia mengawasinya, seperti heran, kaget juga kagum.
Pelan-pelan Pho Ang-soat berdiri perlahan, beranjak keluar, pakaiannya basah kuyup oleh keringat dingin. Bersabar itu bukan sesuatu yang mudah.
Bersabar adalah derita, derita yang jarang bisa dipahami dan diselami oleh kebanyakan orang.
Sinar surya di luar rumah menerpa mata, wajahnya yang pucat kelihatan bening ditimpa sinar mentari. Di bawah pancaran sinar mentari yang segar dan benderang ini, seorang seperti dirinya, apa yang dapat dia lakukan? Kemana dia bisa pergi? Mendadak hatinya seperti dirundung suatu kekuatan yang tak bisa dia lukiskan.
Bukan orang yang dia takuti, tapi diri sendiri. Dia pun takut pada cahaya matahari, karena dia tidak berani berhadapan dengan cahaya mentari yang segar dan benderang ini, dia tidak berani menghadapi dirinya sendiri, akhirnya dia terjungkal lagi…..
*******************