Peristiwa Bulu Merak Bab 16 : Genta Kematian

Bab 16. Genta Kematian

Suara genta sudah berhenti, namun gemanya masih mengalun di angkasa.

Pho Ang-soat sudah berada di depan pintu besar Thian-liong-ko-sa. Bangunan kuno yang berwarna gelap kelabu meski sudah mulai bobrok, namun masih kelihatan kemegahannya. Di tengah pekarangan tergeletak sebuah hiolo raksasa terbuat dari tembaga, beratnya ada ribuan kati, undakan batu juga sudah berlumut, jelas kelihatan tempat ini tidak terpelihara dan lama tidak diinjak kaki manusia, tapi ruangan pemujaan yang angker dan gagah tetap kelihatan tegak dan berwibawa, pilar-pilar bangunannya masih kokoh kuat.

Kuil kuno yang sudah ribuan tahun ini, bagaimana mungkin mendadak ambruk? Hwesio gila sudah tentu bicara ngelantur.

Gelegasi sudah menghiasi ruang pemujaan ini, debu amat tebal, kain korden yang sudah luntur dan kotor itu masih melambai tertiup angin, hening lelap, tiada suara orang, juga tiada bayangan manusia. Lalu siapakah yang memukul genta?

Pho Ang-soat berdiri diam di depan patung yang dipuja di dalam kuil ini, mendadak timbul suatu perasaan aneh dalam relung hatinya, mendadak dia ingin berlutut, berlutut di depan patung Buddha yang disepuh emas itu untuk memohon keselamatan, minta keselamatannya, Co Giok-cin dan kedua anaknya. Selama hidup ini baru pertama kali dia berubah tulus saleh, tapi dia tidak jadi berlutut.

Karena pada saat itulah di luar ruang pemujaan, terdengar suara “Pletak” yang nyaring, waktu menoleh, maka dilihatnya sinar golok yang kemilau seperti kilat menyambar, pelangi menari dan berkelebatan di luar. Dimana sinar golok itu menyambar, pilar-pilar besar penyanggah kuil ini satu per satu telah terbabat putus, suara bacokan itu terus-menerus tiada henti sehingga kuil kuno yang megah, besar dan kokoh ini pelan- pelan bergetar dan mulai doyong. Waktu dia mengangkat kepala, saka besar di dalam kuil ini sudah hampir ambruk.

Golok macam apakah itu? Ternyata memiliki kekuatan dahsyat dan mengerikan. Suara gemuruh menggetar bumi, ujung ruangan sana sudah menggetar bumi, ujung ruang sana sudah ambruk. Tapi Pho Ang-soat tidak roboh, gunung boleh gugur, bumi boleh merekah, namun sementara orang tidak pernah jatuh…..

*******************

Suara gemuruh runtuhan balok dan genteng terus berlangsung, debu pasir beterbangan, burung walet yang bersarang di atas belandar sudah terbang menyelamatkan diri, tapi Pho Ang-soat masih berdiri tegak tak bergeming.

Di luar bukan saja ada Thian-ong-cam-kui-to yang cukup menciutkan nyali, malaikat itu sedang menunggu dirinya, entah masih berapa banyak pula perangkap yang mematikan.

Mendadak dia tertawa dingin, “Biau Cam-kwi, golokmu memang gaman baik, jiwamu justru sekerdil tikus, nyalimu seperti kelinci, kenapa tidak berani kau berhadapan langsung dengan aku, hayolah berduel secara jantan, kenapa hanya main rusak dan gertak macam badut tak berguna.”

Sinar golok seketika sirna, maka terdengar seorang tertawa dingin di luar Toa-thian, seorang berkata, “Asal kau belum mampus, temuilah aku di pekarangan belakang.” Baja langit yang pemenggal setan itu bergelak tertawa seperti iblis menangis, lalu menyambung dengan kata-kata tegas, “Aku pasti menunggumu.”

“Aku pasti menunggumu”, kata-kata yang sama bila diucapkan dari mulut orang yang berbeda, maka dia mempunyai arti yang berbeda pula.

Di saat menghadapi mara bahaya, mendadak Pho Ang-soat teringat akan gadis berkalung kembang melati itu, terbayang olehnya sorot matanya yang penuh derita duka dan putus asa waktu roboh telentang di atas tanah.

Gadis itu juga manusia, manusia macam apa pun pasti tidak mau dihina dan disakiti, hidupnya selalu terombang-ambing seperti gubuk reyot yang hampir roboh, ke depan tiada harapan, ke belakang jalan buntu, tinggal ambruknya genteng dan balok yang akan menindih dirinya, mengubur jazadnya.

Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang, mendadak dia mulai beranjak keluar, langkahnya perlahan, gaya berjalannya juga kelihatan menderita, namun bila dia sudah beranjak ke depan, maka tidak akan berhenti.

Daun pintu sudah ambruk, debu yang mengepul menutupi pandangannya, perlahan-lahan dia beranjak dari tengah kepulan debu. Kembali terdengar suara gemuruh, seluruh ruangan pemujaannya itu sudah runtuh total. Pecahan genteng dan debu pasir memukul punggungnya, tapi dia tidak menoleh, matanya pun tidak berkedip.

Bukan saja dia punya ketenangan dan ketabahan yang luar biasa, dia pun memiliki keberanian besar, tidak kaget meski menghadapi perubahan apa pun. Karena ketabahannya, dia punya keberanian, maka dia terhindar dari ancaman elmaut yang mengincar jiwanya.

Baru saja selangkah dia keluar dari pintu Toa-thian, dari luar lima puluhan senjata rahasia sudah memberondong laksana hujan lebat ke arah dirinya, jika dia kaget dan menoleh, semangat luluh, maka dia pasti sudah roboh, roboh seperti kuil kuno yang kokoh kuat itu.

Keberanian dan keyakinan adalah saka guru manusia, karena ada keberanian dan keyakinan maka manusia kuat bertahan hidup. Selama kedua saka ini tidak patah, maka umat manusia tidak akan habis.

Baru saja hujan senjata rahasia diruntuhkan, dua jalur sinar pelangi yang menyala sudah melesat tiba pula, itulah sebatang pedang dan sebatang gantolan.

Golok Pho Ang-soat sudah keluar sarungnya dimana sinar golok menabas miring, tubuhnya pun menerjang keluar. Dia tidak tahu masih berapa banyak perangkap yang mematikan.

Hiolo besar dari tembaga di pekarangan masih ada, tubuhnya yang kurus laksana sebatang tombak saja melesat ke sana, jatuh di belakang hiolo tembaga itu. Bila angin menghembus silir, seketika dia merasa goresan golok yang dingin mengiris pundaknya waktu dia menunduk, dilihatnya luka panjang empat dim telah merobek kulit pundaknya.

Serangan pedang dan gantolan itu memang teramat lihai dan ganas, untung Pho Ang-soat punya pengalaman tempur yang luas. Jika tidak mengalami sendiri, orang lain pasti takkan percaya dan bisa membayangkan. Darah mengalir di pundaknya, darah pun menetes di ujung goloknya, darah siapa yang menetes di ujung goloknya?

Gantolan itu jelas adalah paruh elang milik Kongsun To, pedang itu pasti bukan Siong-bun-ko-kiam milik Nyo Bu-ki. Pedang ini jauh lebih cepat, lebih telak, lebih menakutkan dari pedang Nyo Bu-ki, apalagi  tangan Nyo Bu-ki yang memegang pedang sudah ditabasnya buntung.

Luka-luka di pundak Pho Ang-soat jelas adalah goresan pedang, lalu goloknya melukai siapa?

Kuil ini sudah hampir runtuh seluruhnya, waktu dia putar tubuh memandang ke belakang, bayangan seorang pun sudah tidak kelihatan. Sekali sergap tidak berhasil, seluruhnya mundur teratur. Itulah tata tertib pihak Sing-siok-hay, merupakan prinsip bagi setiap insan persilatan juga.

Tapi kenapa Thian-ong-cam-kui-to tidak muncul lagi! Pertama, dia membelah kuda, kedua, meruntuhkan kuil, kenapa tidak langsung dia menyerang Pho Ang-soat? Apa benar dia akan menunggu Pho Ang-soat di pekarangan belakang?

Pekarangan belakang tersapu bersih, hening dan nyaman, tiada bayangan manusia, dari dalam hutan yang menghijau rimbun, berkumandang alunan suara nyanyian yang merdu. Di dalam hutan terdapat tiga bilik yang terbuka lebar pintu dan jendelanya ....

Bila memasuki hutan, maka terlihat seorang raksasa bagai malaikat geledek sedang rebah di atas sebuah dipan ayunan yang terletak di pinggir jendela, rambutnya panjang semrawut diikat dengan gelang emas, tubuhnya hanya ditutupi kaos kulit harimau yang terselempang saja, bagian bawahnya diikat gaun pendek dari kulit harimau, sepasang sorot matanya mencorong, sekujur badan yang berkulit coklat tembaga itu mengkilap terang.

Empat perempuan yang berdandan molek dengan sanggul penuh perhiasan berada di kanan kirinya, seorang memegang gelas emas duduk di pahanya, seorang sedang mulai menyisir rambut, seorang lagi sedang mencopot sepatunya yang bertali panjang melingkar di kaki mencapai lutut, seorang lagi duduk di jendela sedang tarik suara mengumandangkan suaranya yang merdu.

Mereka adalah gadis-gadis yang sekereta dengan Kwi-gwa-po, walau mereka sudah tidak muda lagi, namun masih kelihatan molek, karena hanya perempuan yang sudah matang dan pengalaman saja yang akan kuat melayani raksasa tegap dan gede ini.

Di ujung rumah mengepul asap dupa wangi, di pinggir meja kecil sana menggeletak sebilah golok, gagang goloknya saja panjang satu kaki tiga dim, sarung goloknya yang indah dan bagus dari kulit ikan, penuh dihiasi mutiara, berlian dan mutu manikam lainnya.

Itulah Thian-ong-cam-kui-to (golok raja langit penjagal setan)? Raksasa inikah Biau-thian-ong?” Beranjak di atas rontokan daun-daun kering, Pho Ang-soat maju perlahan-lahan. Kini dia sudah melihat orang itu, walau raut mukanya tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, tapi sekujur badannya sudah mengencang tegang.

Golok yang mampu meruntuhkan sebuah kuil dan membelah seekor kuda, mestinya hanya bisa ditemukan di dalam dongeng, tapi kenyataan sekarang dirinya sudah menghadapinya.

Perempuan yang sedang bernyanyi di atas jendela hanya melirik sekejap ke arahnya, nyanyiannya tetap berkumandang merdu, namun suaranya kedengarannya makin sendu dan pilu.

Perempuan yang memegang gelas emas mendadak menghela napas, katanya, “Seorang segar-bugar kenapa justru mengantar jiwa?”

Perempuan yang menyisir rambut berkata dingin, “Karena umpama dia hidup, pasti hidupnya sengsara.” Perempuan yang mencopot sepatu mengikik tawa, katanya, “Aku senang melihat pembunuhan.”

“Untuk membunuh orang ini mungkin tidak enak dipandang,” jengek perempuan yang menyisir. “Kenapa?” tanya perempuan yang mencopot sepatu.

“Dilihat dari tampangnya, agaknya orang ini sudah kehabisan darah,” ujar perempuan menyisir rambut. Perempuan memegang gelas emas berkata, “Umpama ada darahnya, juga pasti darah dingin.”

Perempuan yang mencopot sepatu tetap tertawa, katanya, “Darah yang dingin kan juga mending daripada tidak punya darah. Aku hanya mengharap dia punya sedikit darah, sedikit saja juga sudah cukup, aku perempuan yang mudah puas.”

Pho Ang-soat sudah berada di ambang pintu, dia berhenti, ocehan mereka seperti tidak pernah didengarnya. Memang sepatah kata pun dia tidak mendengarnya. Karena seluruh tenaga, semangat dan konsentrasinya dia tujukan kepada laki-laki raksasa bagai malaikat ini. Mendadak dia bertanya, “Biau-thian- ong?”

Biau-thian-ong sudah mengulur tangannya yang gede, menggenggam gagang golok yang menggeletak di meja pendek itu.

“Itulah Thian-ong-cam-kui-to?” tanya Pho Ang-soat.

“Kadang-kadang membabat setan, sewaktu-waktu membunuh orang, bila golok keluar dari sarungnya, entah setan atau manusia pasti akan mati oleh golok ini.”

“Bagus sekali.”

Mata Biau-thian-ong seperti mata harimau, menunjukkan rasa kaget dan heran, serunya, “Bagus sekali?” “Golok sudah di tanganmu, aku sudah berada di bawah golok, apakah masih kurang bagus?”

“Bagus sekali,” Biau-thian-ong bergelak tertawa, “memang bagus sekali.” “Sayang aku belum mati.”

“Antara mati dan hidup hanya terpaut sekejap saja, aku tidak terburu-buru, kenapa kau gelisah malah?”

Pho Ang-soat menutup mulut, gagangnya goloknya dibungkus sutera ungu, kini warnanya berubah seperti darah yang sudah mengering keras.

Jari-jari Biau-thian-ong mengelus gagang goloknya, katanya kalem, “Apakah kau menunggu aku mencabut golok?”

Pho Ang-soat mengangguk.

“Berita yang tersiar di kalangan Kangouw mengatakan bahwa golokmu adalah golok kilat yang tiada bandingannya di dunia.” Pho Ang-soat diam saja. “Kenapa tidak kau lolos dulu golokmu?”

“Karena aku ingin menyaksikan golok,” secara tidak langsung dia menyatakan bila aku mencabut golok lebih dulu, mungkin kau takkan punya kesempatan melolos golokmu lagi.

Biau-thian-oang tertawa tergelak-gelak, mendadak dia berjingkrak berdiri, maka perempuan yang duduk di pahanya terguling di atas pembaringan. Waktu dia berdiri, tingginya ternyata lebih sembilan kaki, pinggangnya lebih besar dari pelukan satu orang dewasa, perawakannya yang gagah kereng kelihatan amat garang. Memangnya hanya laki-laki segede dia yang setimpal menggunakan golok seperti itu. Pho Ang-soat berdiri di depannya, seperti macan kumbang berhadapan dengan seekor singa. Walau singa bertampang seram dan gagah, namun macan kumbang tidak gentar sedikitpun.

Loroh tawa Biau-thian-ong masih berkumandang, katanya, “Kau ingin supaya aku mencabut golok lebih dulu?”

Pho Ang-soat mengangguk. “Kau tidak menyesal?”

Pho Ang-soat tertawa dingin.

Pada saat itulah selarik sinar golok yang menyala dari udara telah membelah turun. Tangan Biau-thian-ong masih memegang gagang goloknya, masih belum tercabut dari sarungnya yang dihiasi mutiara, dia tidak mencabut golok.

Sinar golok itu membacok dari belakang Pho Ang-soat, bagaikan kilat yang menyambar dari tengah udara, padahal seluruh perhatian Pho Ang-soat tercurahkan kepada laki-laki raksasa di depannya, apa pun tak terpikir olehnya bahwa ada golok membelah dari belakang.

Perempuan yang bernyanyi di jendela meski masih terus bernyanyi, namun dia sudah memejamkan mata. Dia pernah menyaksikan perbawa bacokan golok ini, dimana sinar golok menyambar, darah muncrat kepala terpenggal. Sudah sering dia melihat banyak orang menjadi korban, kali ini dia tidak tega menyaksikan lagi.

Perempuan yang mencopot sepatu sudah mengkeretkan tubuh mendekam di pinggir ranjang, agaknya dia bukan perempuan yang suka melihat pembunuhan seperti yang diucapkan tadi.

Tapi bila sinar golok itu membelah turun, ternyata tiada darah muncrat, apalagi badan orang terbelah. Ternyata badan Pho Ang-soat mendadak melesat terbang ke pinggir, secara tepat tubuhnya bergerak dari pinggir sambaran sinar golok. Pada saat goloknya keluar dan menyabet ke belakang, dia sudah memperhitungkan posisinya, tabasan goloknya ini mengincar paha di atas lutut di bawah lambung orang yang memegang golok. Selamanya dia tidak pernah meleset dengan perhitungannya, demikian pula goloknya tidak pernah gagal.

Tapi tabasan goloknya ternyata tidak mengundang suara kesakitan, darah tidak muncrat, badan orang tidak ambruk, hanya terdengar “Cras” sekali, itu bukan suara tulang tertabas tapi lebih mirip suara kayu yang terbacok.

Begitu bacokan Thian-ong-cam-kui-to mengenai tempat kosong, ujung golok menutul tanah, laksana lembayung mendadak meluncur terbang ke udara. Di tengah berkelebatnya sinar golok yang mencorong itu, seperti terlihat berkelebatnya bayangan kecil disertai lengking tawa yang mengerikan berkelebat ke dalam hutan.

Suara tawa dan bayangan orang sudah lenyap, di atas tanah menggeletak dua pentung yang tertabas kutung. Mungkinkah kedua pentung ini menjadi kaki orang itu? Ataukah dia berjalan memakai jangkungan?

Ketika Pho Ang-soat membalik badan, goloknya sudah masuk ke sarungnya.

Laki-laki gede bagai raksasa itu sudah ambruk di atas ranjang, sikap garang dan wibawanya tadi kini entah kabur kemana, algojo yang dipandang bak malaikat ini apakah hanya macan kertas? Boneka raksasa untuk menggertak orang belaka?

Pho Ang-soat menatapnya, tanyanya, “Siapakah orang itu?” “Biau-thian-ong, dialah Biau-thian-ong asli.”

“Dan kau?”

“Aku hanya bonekanya, boneka pajangan untuk pameran dan menggertak orang, seperti golok ini,” dia mencabut golok panjang bersarung hiasan mutiara, ternyata yang tercabut keluar hanyalah sebatang golok kayu.

Sungguh kejadian yang lucu, brutal dan menggelikan, hanya orang gila saja yang bisa berbuat seperti ini, maka Pho Ang-soat bertanya, “Siapakah dia sebetulnya? Macam apa dia? Kenapa dia melakukan semua ini?”

Raksasa ini menundukkan kepala. Perempuan yang memegang gelas sibuk memegang poci, menuang arak dan minum sendiri. Perempuan di jendela pun menghentikan nyanyiannya, katanya keras, “Mereka tidak berani memberitahu kepadamu, biar aku yang menjelaskan.”

Nyanyiannya tadi merdu bening, tapi perkataannya ternyata serak penuh kemarahan, “Sebetulnya dia bukan laki-laki, namun dia berangan-angan untuk menjadi seorang laki-laki jantan yang sekaligus mampu memuaskan empat orang perempuan. Perawakannya hanya tiga kaki delapan dim, tapi berkhayal bahwa dirinya adalah laki-laki raksasa yang ditakuti seperti malaikat dewata, dia melakukan semua ini, karena sebetulnya dia orang gila.”

Perempuan yang memegang gelas emas mendadak terkial-kial, serunya sambil berkeplok, “Bagus, caci- maki bagus, caci-makimu memang tepat.” Wajah yang sedang tertawa itu ternyata berkerut-merut karena menahan derita, “Kenapa tidak sekalian kau perlihatkan kepada orang she Pho ini, bagaimana suami kerdil itu memuaskan kita?”

Perempuan yang mencopot sepatu tadi mendadak mencabik pakaiannya sendiri, dadanya yang montok padat memutih gempal ini ternyata penuh dihiasi jalur-jalur pecutan biru.

“Beginilah caranya memuaskan kami,” tawanya lebih memilukan dari isak tangis. “Aku adalah perempuan yang mudah mendapat kepuasan, terus terang aku amat puas.”

Tanpa bersuara Pho Ang-soat membalik badan, melangkah keluar tanpa bersuara pula. Tak tega dia menyaksikan, tak tega mendengarkan. Mendadak dia teringat gadis yang berkalung kembang melati itu, mereka sama saja, sama-sama dirusak, sama-sama disiksa dan diinjak-injak.

Dalam pandangan lelaki mana pun, mereka adalah perempuan yang tidak tahu malu. Mereka tidak tahu malu, apakah bukan lantaran mereka dirusak laki-laki hidung belang? Betapapun besar siksa derita yang mereka alami, terpaksa mereka harus berani menerimanya, karena hakikatnya mereka tidak mungkin melawan, juga tak mungkin menyingkir dari kenyataan hidup ini, apakah begini arti dari tidak tahu malu itu?

Tiga perempuan itu menjerit dan berseru bersama, “Kenapa tidak kau tolong kami? Kenapa tidak kau bawa kami keluar dari sini?”

Pho Ang-soat tidak menoleh, bukan dia tidak ingin menolong mereka, tapi dia tidak mampu berbuat demikian, persoalan yang menyangkut mereka, siapa pun tak mungkin menyelesaikan.

Bila laki-laki tidak tahu malu masih ada di dunia ini, maka perempuan tidak tahu malu tetap akan ada. Di situlah letak persoalan yang sebenarnya, siapa pun takkan ada yang bisa menyelesaikan persoalan ini.

Pho Ang-soat tidak berani menoleh, karena dia hampir tak tahan hendak muntah-muntah. Dia tahu cara satu-satunya untuk menolong mereka, bukan dengan mengajak mereka pergi, asal Biau-thian-ong terbunuh, maka mereka kan benar-benar lepas, bebas merdeka.

Ranting berdaun yang baru saja tertabas menggeletak di tanah, tertabas oleh tajamnya golok, oleh Thian- ong-cam-kui-to.

Mengikuti jejak itu, Pho Ang-soat terus menyelusuri ke sana, mungkin Biau-thian-ong sudah pergi jauh, namun yang dia kejar bukan Biau-thian-ong pribadi, tapi adalah satu tujuan. Pho Ang-soat tahu, selama dirinya masih bernapas, selama itu pula dia tidak akan mengabaikan tujuan ini, tujuan memberantas kejahatannya.

Sekarang dia lebih mengerti, kenapa Yan Lam-hwi ingin membunuh Kongcu Gi, yang akan mereka bunuh bukan seseorang, tetapi lambang dosa dan kekuatan orang itu…..

*******************

Keluar dari hutan, melewati pekarangan belakang, seorang sedang berdiri di tengah reruntuhan kuil, mengawasi Pho Ang-soat dengan tertawa cengeng.

“Kuil kuno ribuan tahun inipun sudah runtuh, kenapa kau belum mampus? Apalagi yang sedang kau tunggu?” jubahnya yang semula bersih kini berlepotan tinta hitam, tangannya memegang sekuntum kembang yang baru mekar. Sekuntum kembang kecil yang segar dan wangi, sekuntum kembang kuning.

Di pinggir rumah papan di bawah gunung itu, tumbuh juga beberapa rumpun kembang kuning. “Kembang itu ditanam gadis cilik, gadis cilik berkuncir panjang dengan mata bundar besar dan jeli.”

Perasaan Pho Ang-soat mendadak tertekan, pelupuk matanya mengkeret, jari-jari tangannya yang menggenggam golok mengencang, “Darimana kau ambil kembang itu?”

“Darimana orang datang, sudah tentu dari sana pula kembang ini diperoleh,” Hwesio itu masih tertawa cengeng, mendadak dia lempar kembang yang dipegangnya itu ke arah Pho Ang-soat. “Coba kau periksa lebih dulu kembang ini bunga apa?”

“Aku tidak tahu.”

“Inilah kembang perpisahan yang menyedihkan.”

“Mana ada kembang jenis itu di dunia ini?” jari-jari Pho Ang-soat sudah dingin.

“Ada saja, kalau ada orang sedih, ada perpisahan antar sesama, kenapa tidak ada kembang perpisahan yang menyedihkan?” Hwesio gila tidak lagi tertawa, sorot matanya diliputi rasa sedih dan duka yang tak terperikan, “Kalau di dunia ini sudah ada kembang perpisahan yang menyedihkan, takkan terhindar bakal sedih dan berpisah.”

Pho Ang-soat memegang dahan kembang itu dengan kedua jarinya, tangannya tidak bergerak. Di sini tiada angin, tapi kelopak kembangnya tiba-tiba berguguran, ranting kembang itupun layu. Tangan inilah tangan yang digunakan untuk mencabut golok, tangan yang memiliki kekuatan cukup untuk merenggut nyawa.

Makin tebal rasa duka Hwesio gila, katanya pula, “Kembang datang dari sumbernya, sudah pergi kemana dia harus pergi, lalu manusia kenapa masih belum kembali?”

“Kembali kemana?” tanya Pho Ang-soat.

“Darimana kau datang, ke sanalah kau harus pulang, sekarang pulang mungkin masih keburu.” “Keburu berbuat apa?”

“Kau mau apa, mana kau tahu?” “Siapa kau sebetulnya?”

“Aku hanyalah Hwesio gila, secara kebetulan menemukan sekuntum kembang kecil,” mendadak dia mengulap tangan dan membentak lantang, “Pergi! Lakukan apa yang harus kau kerjakan, jangan ganggu Hwesio, Hwesio perlu ketenangan.”

Hwesio gila sudah mendeprok duduk bersemadi.

Ruang pemujaan kuil ini sudah runtuh, namun ruang pemujaan dalam relung hatinya masih utuh. Seperti juga keong, bila hujan turun, dia bisa segera menyembunyikan diri. Apakah dia dapat meramal hujan badai bakal tiba?

Cahaya kuning mentari di kala senja memenuhi angkasa, tiada angin tiada hujan. Hujan badai berada di dalam sanubari orang, di dalam relung hati Pho Ang-soat.

Kembang kuning cilik itu apakah dia petik di samping rumah papan itu? Kenapa dinamakan perpisahan yang menyedihkan? Siapa yang akan berpisah?

Pho Ang-soat tidak bisa bertanya, tidak berani bertanya, umpama bertanya juga takkan memperoleh jawaban. Untuk mendapat jawaban hanya ada satu cara.

Dengan sekuat tenaga dia memburu pulang, “Sekarang pulang mungkin masih keburu”, tapi waktu dia tiba di sana, ternyata sudah terlambat.

Kembang-kembang kuning di bawah bambu ternyata sudah hilang seluruhnya, sisa sekuntum pun tidak, demikian pula orangnya tak keruan parannya.

Masih ada sisa tiga masakan di atas meja, bubur sepanci, dua sumpit dan dua mangkuk, bubur masih hangat. Bekas ompol anak-anak di atas ranjang masih basah, tapi mana orangnya?

“Co Giok-cin, Toh Cap-jit!” teriak Pho Ang-soat keras, tiada jawaban.

Apakah Co Giok-cin mengingkarinya? Kemana dia harus menemukan mereka? Kemana dia harus menghindari bencana yang akan menimpa dirinya? Malam kelam, di tengah gelap mendadak terdengar suara “Tok, tok, tok” beberapa kali, menyusul selarik sinar menyala. Bukan sinar kilat, tapi sinar golok. Di tengah berkelebatnya sinar golok samar-samar terlihat bayangan manusia yang lebih tinggi dari pucuk pohon.

Bayangan orang meluncur tiba bersama sinar golok, ternyata itulah seorang kate yang berbentuk aneh. Kakinya menginjak dua batang bambu panjang satu tombak, tangannya menarikan sebatang golok besar panjang sembilan kaki.

Itulah Thian-ong-cam-kui-to.

Sinar golok berkelebat, atap alang-alang beterbangan, bagai kilat membacok batok kepala Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat sudah mundur delapan kaki, kembali sinar golok menyambar atap rumah itu hancur, kekuatan sambaran Thian-ong-cam-kui-to memang laksana guntur menggelegar. Kini golok menabas miring, dalam sekejap sudah membacok tujuh kali.

Terpaksa Pho Ang-soat mundur, karena dia tidak mampu melawan atau menangkis. Dia harus melompat tinggi satu tombak lebih baru goloknya mampu menyentuh badan Biau-thian-ong yang berada di atas jangkungan. Padahal dirinya sekarang seperti dibungkus sinar golok, gerak-geriknya terasa sempit karena kanan kiri atas bawah sambaran sinar golok melulu.

Biau-thian-ong memegang golok dengan kedua tangannya, bacokan demi bacokan, hakikatnya tidak memberi kesempatan baginya untuk berganti napas. Padahal umpama guntur menggelegar juga ada saatnya istirahat, umpama jendral malaikat yang gagah perkasa, tenaganya juga pasti terbatas. Tapi Pho Ang-soat beruntun harus berkelit empat puluh sembilan kali dari tabasan golok lawan, baru mendadak tubuhnya melesat keluar dari pinggir sambaran golok.

Kini goloknya pun sudah terlolos, Thian-ong-cam-kui-to terlalu panjang, makin panjang makin kuat, namun goloknya ini terlalu panjang, hanya bisa menjangkau jarak jauh, bila lawan menyerang dalam jarak dekat, maka susah dia membela diri.

Agaknya Pho Ang-soat tahu titik kelemahannya ini, maka goloknya sekarang sudah melesat ke hulu hati Biau-thian-ong. Siapa tahu pada saat yang menentukan itulah, mendadak bambu di bawah kakinya itu mendadak pula putus menjadi belasan ruas. Kontan badannya anjlok dari udara, Thian-ong-cam-kui-to  juga sudah dibuangnya, entah bagaimana jadinya, waktu dia membalikkan tangan, tahu-tahu sudah mencabut sebatang golok lain. Golok pendek yang memancarkan cahaya kemilau, seiring dengan melorotnya tubuh ke bawah, goloknya menggores dada Pho Ang-soat.

Jurus mematikan yang pasti menang Pho Ang-soat ini justru berbalik menjadikan pangkal kematiannya. Bila singa atau harimau menerkam manusia, bagi pemburu yang punya pengalaman pasti akan  menyelinap ke bawah perutnya dan mengangkat golok membelah perutnya. Demikianlah keadaan Pho Ang-soat sekarang, dia mirip seekor macan yang menerkam dari udara, golok pemburu itu sudah mengancam lambungnya, seolah-olah dia sudah merasakan tajam golok yang dingin mengiris sobek bajunya.

Biau-thian-ong juga sudah memperhitungkan Pho Ang-soat pasti takkan mampu menyelamatkan diri dari serangan goloknya, ini bukan lagi Thian-ong-cam-kui-to, tapi golok piranti membunuh manusia. Seluruh tenaganya sudah dia pusatkan di atas golok ini, tapi tenaganya mendadak sirna, hilang tanpa bekas.

Seluruh kekuatannya telah lenyap, seperti kantong kulit yang mendadak terkuras habis isinya. Padahal sudah jelas bahwa goloknya dapat menembus dada Pho Ang-soat, namun dia justru tidak mampu menusuknya lagi.

Apakah yang terjadi? Sungguh dia tidak habis mengerti, mati pun tidak mengerti. Tapi dia melihat darah, tapi bukan darah Pho Ang-soat, darimana datangnya darah? Dia pun tidak tahu, baru sekarang dia merasakan mendadak lehernya seperti tersedak oleh sekeping batu, dingin dan sakit seketika merangsang sekujur badannya, seperti tenggorokannya sudah digorok pisau.

Tapi dia tidak percaya, bahwa sinar golok yang berkelebat tadi telah menggorok lehernya, sampai mati dia tetap tidak percaya bahwa ada golok secepat itu di dunia ini, bahwasanya dia tidak melihat bagaimana golok itu menyambar.

Pho Ang-soat juga ambruk, jatuh di bawah rumpun bambu, alam semesta kembali diliputi keheningan nan damai. Mendadak dia merasakan sekujur tubuhnya teramat penat. Kejadian barusan meski hanya berlangsung dalam sekejap mata, namun dalam sekejap itu seluruh kekuatannya sudah terkuras habis. Perbatasan antara hidup dan mati, memangnya hanya terpaut segaris saja. Baru sekarang dia maklum akan makna perkataan itu, tadi jiwanya memang sudah teramat dekat dengan kematian. Duel kali ini boleh dikata sebagai pertempuran paling dahsyat yang belum pernah dia alami selama hidup.

Bintang-bintang memenuhi angkasa, darah sudah kering, darah Biau-thian-ong, bukan darahnya. Tapi dia seperti merasakan darahnya juga sudah kering mengalir, bila Biau-thian-ong mampu menggerakkan goloknya, dia pasti tak mampu melawan.

Malah dia maklum bila seorang bocah membawa pisau kecil pun mampu membunuh dirinya, untung orang yang mati tak bisa menggerakkan senjata.

Malam telah larut, di pegunungan yang terpencil dan sepi ini pasti takkan ada orang kemari.

Dia memejamkan mata, dia ingin pulas sebentar, dengan pikiran yang jernih baru bisa mangatur rencana, melakukan aksi selanjutnya.

Siapa tahu pada saat itulah justru seseorang telah datang.

Di tengah kegelapan mendadak berkumandang derap kaki orang mendatangi, perlahan tapi mantap dan tenang, seolah-olah derap langkahnya membawa irama yang aneh, irama yang mengasyikkan. Hanya seorang yang merasa yakin akan tugas yang dilakukannya, waktu berjalan baru bisa membawa irama tertentu.

Siapakah orang ini? Kenapa dia kemari? Datang untuk apa?

Pho Ang-soat mendengarkan penuh perhatian dalam hati, mendadak timbul perasaan aneh, irama langkah kaki ini ternyata mirip dengan gema genta dari kuil kuno di tengah hutan itu, itulah gema genta kematian. Irama langkah ini kedengarannya juga mengandung napsu membunuh…..

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar