Peristiwa Bulu Merak Bab 15 : Kuil Kuno Naga Langit

Bab 15. Kuil Kuno Naga Langit

Tengah hari, sinar surya memenuhi jagat.

Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari dalam hotel, terasa semangatnya bergelora, cukup sebagai bekal untuk menghadapi setiap tantangan, kesulitan dan mara bahaya.

Dia tidur sehari penuh, bangun tidur berendam satu jam di dalam air panas, rasa penat kantuknya selama beberapa hari ini telah tercuci bersih dan lenyap bersama debu dan dekil yang melekat di badannya.

Tahun-tahun belakangan ini dia sendiri menyadari sudah jarang mencabut golok, sekarang dia menyadari, dengan golok membereskan persoalan ternyata bukan cara yang baik.

Tapi cara berpikirnya sekarang sudah banyak berubah, karena itu dia perlu membangkitkan semangat. Karena membunuh orang bukan saja merupakan tugas yang melampui batas, untuk melaksanakan tugas itupun memerlukan semangat, tenaga jasmani dan kekuatan batin. Sekarang walau dia belum  tahu, dimana orang-orang itu, dia percaya akan datang suatu ketika dapat menemukan jejak mereka.

The Kiat adalah seorang penebang kayu, usianya baru dua puluh satu, perjaka yang hidup seorang diri, menetap di sebuah rumah kayu kecil di tengah hutan. Setiap hari hanya turun gunung sekali, menukar beras, garam dan keperluan makan lainnya dengan kayu-kayu kering. Daging dan arak setiap minggu dibelinya sekali, kadang dia pun mampir ke dalam gang sempit yang terletak di ujung kota yang jorok itu, mencari hiburan dengan perempuan yang banyak terdapat di sana.

Kayu-kayu bakar yang dia tebang selalu dia jual ke restoran yang banyak terdapat di sepanjang jalan raya kota itu, kayu yang dia jual murah harganya, ditanggung kayu kering. Maka pemilik restoran banyak yang senang mengundangnya minum barang secangkir dua cangkir teh wangi, yang baik hati dan murah hati ada yang menyuguh secangkir arak kepadanya.

Takaran minumnya tidak besar, minum tiga cangkir saja mukanya tentu sudah merah, biasanya dia jarang buka mulut, memang The Kiat bukan lelaki cerewet.

Tapi dua tiga hari ini ternyata dia senang bercerita, cerita yang sama sedikitnya sudah pernah dia ceritakan dua tiga puluh kali. Setiap kali mulai ceritanya, selalu dia menekankan, “Inilah kejadiannya nyata, kejadian yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, kalau tidak, aku sendiri pun tidak mau percaya.”

Peristiwa terjadi pada tiga hari yang lalu menjelang lohor, dimulai waktu dia melihat berkelebatnya sinar golok di dalam hutan. “Mimpi pun kalian pasti tidak menduga di dunia ini ada golok seperti itu, hanya terlihat sinar golok berkelebat, seekor kuda kekar besar, segar bugar tahu-tahu terbelah menjadi dua.

“Seorang pemuda yang bermuka cakap seperti pemain opera di atas panggung, ternyata bersenjata pedang merah menyala laksana darah, siapa saja yang membentur pedangnya pasti segera rebah. “Dia punya seorang teman, wajahnya pucat lesi, pucat mengkilat seperti tembus cahaya. Orang ini lebih menakutkan

Cerita yang sama sudah dikisahkan tiga puluh kali, yang bercerita menghayati dengan rasa ngeri, takjub dan bernapsu, pendengarnya juga asyik dan tertarik.

Tapi kali ini sebelum habis ceritanya, mendadak dia menutup mulut, karena mendadak dia melihat seorang bermuka pucat berdiri di depannya, sepasang mata yang menatap seperti ujung golok mengawasinya.

*******************

Golok yang hitam, sinar golok yang menyambar bagai kilat, hujan darah yang berhamburan seperti panah rontok ....

Perut The Kiat seperti dipuntir, seperti mengkeret, hampir tak tahan dia ingin muntah-muntah lagi. Dia ingin lari, tapi kedua lututnya terasa lemas dan goyah.

Dingin Pho Ang-soat menatapnya, mendadak bersuara, “Teruskan!”

The Kiat menyengir kuda, katanya tergagap, “Apa apanya yang teruskan?”

“Setelah aku pergi hari itu, apa pula yang kau saksikan?”

The Kiat menyeka keringat di mukanya, katanya, “Aku melihat banyak kejadian, tapi semuanya tak kulihat jelas.” Dia memang tidak bohong, maklum waktu itu dia sudah hampir gila, hampir semaput karena ngeri dan ketakutan.

Hanya satu yang ingin diketahui Pho Ang-soat, “Bagaimana nasib orang yang berpedang merah itu?” Jawaban The Kiat ini cukup cepat, “Dia sudah mati.”

Mengencang genggaman jari-jari Pho Ang-soat, hatinya seperti tenggelam, sekujur badan berkeringat dingin, lama kemudian baru dia buka suara, “Bagaimana dia bisa mati? Siapa yang membunuhnya?”

“Sebetulnya dia tidak mati. Setelah kau pergi membawa kereta itu, dia merintangi tiga orang yang berusaha mengudak kereta orang lain, agaknya takut tersentuh pedangnya, maka dia pun mencari kesempatan melarikan diri, begitu cepat dia pergi, boleh dikata seperti angin puyuh.” Mulut bercerita, benaknya membayangkan kejadian waktu itu, maka mimik mukanya berulang kali menunjukkan berbagai perubahan yang berbeda.

Dia bercerita cepat dan lancar, karena cerita ini sudah amat hapal, “Sayang sekali, baru saja dia menerobos masuk ke dalam hutan di pinggir jalan sana, sinar golok yang membelah kuda tadi mendadak melesat keluar pula, walau dia berhasil meluputkan diri dari bacokan pertama, tapi bacokan kedua orang  itu sudah menyerang tiba pula, malah gerakan goloknya dari jurus ke jurus lebih cepat dan lihai,” sampai di sini dia berhenti tidak meneruskan ceritanya karena bagaimana akhir dari kisahnya itu orang banyak sudah maklum.

Thian-ong-cam-kui-to membacok dari depan, sementara Kongsun To dan Siau Si-bu merangsek dari belakang, siapa pun akan terdesak dalam keadaan seperti ini, bagaimana akhirnya pasti juga sama.

Pho Ang-soat menunduk diam, lahirnya kelihatan tenang, namun hatinya bergejolak seperti derap kuda di medan laga. Lama dia menepekur, lalu tanyanya, “Orang itu macam apakah di ”

The Kiat menjelaskan, “Kelihatannya dia mirip malaikat dari langit, tapi juga mirip raja iblis, perawakannya setengah badan lebih tinggi dari laki-laki jangkung yang pernah kulihat, kupingnya diganduli gelang emas besar, pakaiannya terbuat dari kulit binatang, golok yang berada di tangannya sedikitnya panjang delapan kaki.”

“Akhirnya bagaimana?”

“Laki-laki gembrot yang berjuluk Koki Dol itu semula hendak memotong temanmu serta dimasak ke dalam wajan, tapi seorang yang semula bermain catur tetap menentang, akhirnya......” dia menghela napas panjang, lalu menyambung, “akhirnya mereka menyerahkan mayat temanmu itu kepada Hwesio-Hwesio Thian-liong-ko-sa.”

Segera Pho Ang-soat bertanya, “Dimana letak Thian-liong-ko-sa?” “Kabarnya terletak di pintu utara, tapi aku tak pernah ke sana, jarang orang di sini sembahyang ke sana.” “Mereka menyerahkan kepada Hwesio yang mana?”

“Kalau tidak salah, Thian-liong hanya dihuni seorang Hwesio gila, kabarnya dia...” “Dia kenapa?”

The Kiat menyengir getir, seperti hendak muntah, katanya, “Kabarnya bukan saja gila, dia pun suka makan daging manusia.”

Sinar surya panasnya bagai bara, jalan raya ini seperti wajan panasnya.

Pho Ang-soat beranjak di jalan raya yang panas bagai di dalam tungku, dia tidak mengucurkan keringat, air mata pun tiada setetes pun, hanya darah saja yang bisa menetes dari tubuhnya.

Bila bisa naik kereta aku pasti tidak akan berjalan kaki, aku benci berjalan.

Kebetulan wataknya terbalik dengan Yan Lam-hwi, kalau masih bisa berjalan, dia takkan naik kereta, agaknya dia seperti sengaja menyiksa kedua kakinya, karena kedua kakinya itu membawa banyak derita, banyak sengsara, gerak-geriknya tidak leluasa.

*******************

Ada kalanya sampai pun berjalan aku pun bisa tidur.

Sekarang sudah pasti Pho Ang-soat tidak akan tidur, sorot matanya membayangkan perasaan yang aneh, tapi bukan perpaduan antara sedih dan marah, namun heran, curiga dan menepekur.

Kejap lain mendadak dia membalik badan, putar balik ke arah datangnya. Apakah yang dia pikirkan? Apakah masih ada persoalan yang belum jelas? Ingin dia bertanya dulu kepada si penebang kayu muda itu.

Tapi The Kiat sudah tidak berada di restoran itu.

“Baru saja pergi,” pemilik restoran memberi penjelasan, “dua hari ini selalu dia bercerita sampai berjam- berjam lamanya di sini, bila hari sudah petang baru dia pulang, tapi hari ini entah kenapa dia pulang lebih dini.”

Kelihatannya dia merasa jeri terhadap orang asing yang berwajah pucat ini, maka waktu bicara amat hati- hati, juga amat jelas dan terperinci.

“Malah dia pergi dengan terburu-buru, seperti ada urusan penting yang hendak dia kerjakan,” pemilik restoran menambahkan, “dia pergi ke arah sebuah lorong panjang di seberang jalan. Wajahnya menampilkan serangai yang culas, katanya pula, “Di dalam lorong panjang itu ada seorang teman baiknya, kalau tidak salah bernama Siau-tho-cu, sekarang pasti dia ke sana mencari hiburan.”

Lorong sempit gelap dan lembab, selokan yang berlumpur hitam itu mengeluarkan bau busuk, di sini sampah bertumpuk, jorok sekali. Tapi Pho Ang-soat seperti tidak merasakannya, matanya menyala, otot di punggung tangannya yang menggenggam golok tampak merongkol, sepertinya dia amat terharu, bergelora, juga senang dan kuatir pula, sebetulnya soal apakah yang terpikir olehnya?

Di belakang sebuah daun pintu yang sudah bobrok, tiba-tiba muncul seorang perempuan yang berkalung kembang melati. Melati nan asri, dengan minyak wangi yang rendah harganya, berpadu dengan bau busuk selokan dan sampah di dalam lorong sempit ini, menjadikan suatu rangsangan yang rendah penuh dosa.

Perempuan ini bersolek secara luar biasa, tebal pupur yang melumuri mukanya cukup untuk mengapur dinding, sambil mendekati Pho Ang-soat dengan gayanya yang merangsang, sebelah tangannya menggosok paha Pho Ang-soat, tepat pada pangkal 'anu' nya.

“Di dalam kusediakan sebuah ranjang, empuk dan hangat, ditambah servisku dan seember air panas,  kutanggung kau puas, taripnya cukup murah, cuma dua tahil ketip saja.”

Matanya memicing memancarkan napsu jalang. “Usiaku baru tujuh belas, tapi aku cukup ahli di atas ranjang, lebih mahir dan lihai dibanding Siau-thoa-cu,” tawanya kelihatan gembira, dia kira sekali ini dia berhasil memelet laki-laki yang perlu hiburan ini. Karena terasa olehnya, 'anu' nya laki-laki ini sudah menunjukkan perubahan.

Muka Pho Ang-soat yang pucat itu mendadak merah padam, bukan saja dia ingin muntah, dia pun amat marah. Di hadapan perempuan rendah seperti ini, ternyata dia tidak kuasa menahan gejolak nafsu sendiri.

Maklum sudah cukup lama dia tidak menyentuh perempuan, tidak pernah bergaul dengan perempuan, atau karena dia terlalu bernafsu, terlalu bergairah. Gairah macam apa pun, pasti mudah membangkitkan nafsu birahi.

Perempuan berkalung kembang melati itu sudah merapatkan badannya, tangannya lebih berani, beraksi lebih cepat.

Mendadak Pho Ang-soat melayangkan tangannya dengan keras, dia tampar muka perempuan itu, kontan dia terjengkang roboh menubruk daun pintu, lalu terbanting telentang di atas tanah.

Anehnya meski sebelah pipinya bengap, tapi raut mukanya tidak menampilkan rasa sakit, kaget, heran atau marah, tapi menampilkan rasa lelah, duka dan putus asa. Agaknya penghinaan seperti ini sudah  sering dan kenyang dia rasakan, amarahnya sudah beku, dia berduka karena dia tidak berhasil menarik langganan, kalau dia tidak berhasil menggaet laki-laki, entah dimana nanti malam dia harus makan? Serenteng kalung kembang melati takkan bisa membuat kenyang perutnya.

Pho Ang-soat melengos ke sana, tak tega dia melihat keadaannya, seluruh uang perak yang ada di dalam kantongnya dia rogoh keluar serta dibuang di depannya, “Beritahu padaku Siau-tho-cu berada dimana?”

“Di rumah paling belakang sebelah kanan itulah.”

Kembang melati itu sudah berhamburan di tanah, dia merangkak di atas tanah, menjemput kepingan- kepingan perak yang berserakan. Di tanah ternyata melirik pun tidak, apalagi memandang Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat mulai beranjak ke depan, tapi hanya beberapa langkah mendadak dia menungging terus muntah-muntah…..

*******************

Dalam lorong jorok dan sempit ini, hanya daun pintu ini saja yang kelihatan pantas, bersih dan mengkilap, catnya pun masih kelihatan bagus. Agaknya bukan saja Siau-thou-cu pandai bermain di atas ranjang, dia pun pandai mengatur lingkungannya, maka usahanya berkembang dan maju.

Suasana di balik pintu sunyi senyap, tiada terdengar suara apa pun.

Seorang lelaki yang muda perkasa, dengan pelacur muda cantik yang banyak digilai laki-laki normal  berada di dalam sebuah kamar, bagaimana mungkin suasana di dalam rumah sehening ini? Pintu meski dipalang dari dalam, tapi tidak kokoh, perempuan yang biasa menerima tamu memang tidak perlu punya pintu yang kokoh.

Ketika pintu terpentang, di dalam adalah sebuah ruang tamu, menjadi kamar tidurnya pula, dinding kelihatan baru dikapur, gambar-gambar perempuan telanjang dengan pose yang merangsang memenuhi dinding papan yang bolong-bolong.

Segenggam kembang sedap malam yang sudah mulai layu berada di dalam vas kembang di atas meja, kecuali cangkir dan poci teh, di pinggir meja terdapat setengah mangkuk mie tite yang tidak sempat dihabiskan. Agaknya pelacur juga selalu memelihara kondisi badannya karena kemontokan adalah modal utama mereka mencari duit, terutama pinggang yang ramping adalah modal utama untuk memelet kaum lelaki hidung belang.

Kecuali sebuah dipan yang dilembari seprei bersulam kembang besar, barang paling antik di kamar ini adalah sebuah patung pemujaan di dalam sebuah wadah ukiran di atas ranjang, dengan kain korden warna kuning, kehadiran patung pemujaan di dalam terasa amat bertentangan dan merupakan persaingan antara kebusukan, kemesuman dengan kesucian dan keagungan.

Kenapa dia meletakkan patung pemujaan ini di atas ranjang, apakah maksudnya supaya patung yang dipujanya ini menyaksikan beginilah kehidupan manusia kelas rendah yang bergulat dengan penderitaan yang hina dina? Menyaksikan bagaimana dia harus menjual diri untuk menyambung hidup hingga akhir hayatnya.

Siau-tho-cu ternyata sudah mati, mati bersama The Kiat di atas ranjang, darah segar membuat sulaman kembang merah besar itu kelihatan lebih menyala.

Darah meleleh dari urat nadi besar di belakang leher, sekali bacok menghabiskan jiwa. Pembunuh ini bukan saja memiliki gaman yang tajam, golok kilat, agaknya dia pun amat berpengalaman di bidang ini.

Pho Ang-soat tidak muntah lagi, juga tidak merasa heran, mungkinkah kejadian ini memang sudah dalam rekaannya?

Pho Ang-soat sedang menerawang.

Seorang yang biasanya jarang cerewet, kenapa selama dua tiga hari bercerita di restoran? Tugasnya sehari-hari menebang kayu dan dijual untuk hidup pun dilupakan.

Kalau dia gemar minum arak, suka makan daging, hanya simpanan seorang pelacur, jelas tidak mungkin punya tabungan.

Tapi setelah dua hari dia tidak bekerja, darimana datangnya uang untuk membayar Siau-tho-cu?

Cerita itu sudah terlalu hapal bagi The kiat, terlalu ramai dan menarik, malah mimik mukanya pun sedemikian serasi dengan cerita yang dikisahkan, seolah-olah sebelumnya memang sengaja sudah dilatih, seperti pemain sandiwara yang siap naik pentas saja.

Dia sengaja mengisahkan pengalaman yang dilihatnya di restoran yang paling ramai, tujuannya adalah supaya Pho Ang-soat pergi mencarinya.

Kongsun To dan orang-orangnya sudah menyogoknya dengan sejumlah uang, dengan syarat supaya dia membual, supaya bualannya didengar oleh Pho Ang-soat.

Karena itu sekarang mereka membunuhnya supaya rahasia ini tidak bocor.

Akan tetapi umpama analisanya ini tepat dan sesuai kejadian, namun masih ada beberapa persoalan yang susah dipecahkan!

Di antara kisah yang diceritakan itu, sebetulnya bagian mana yang benar, bagian mana yang sengaja ditambahkan? Tambahan itulah yang bohong.

Kenapa mereka sengaja mau berbohong? Untuk menghilangkan jejak pembunuh Yan Lam-hwi? Atau supaya Pho Ang-soat meluruk ke Thian-liong-si?

Pho Ang-soat sukar memastikan, tapi dia sudah berkeputusan jika di dalam Thian-liong-si sudah diatur jebakan untuk menangkap atau membunuh dirinya, dia pasti tetap akan meluruk ke sana.

Pada saat itulah, perempuan telanjang yang berlumuran darah di atas ranjang itu mendadak berjingkrak bangun, dari bawah bantal melolos sebilah golok, dan sekonyong-konyong menusuk dadanya. Almari di belakangnya juga mendadak menjeblak, dari dalam lemari menerobos keluar seorang, sebatang tombak perak laksana kepala ular memagut punggungnya.

Kejadian di luar dugaan, siapa pun takkan siaga sebelumnya. The Kiat memang sudah mati, tiada orang menyangka perempuan yang rebah dalam dekapannya ternyata masih hidup. Maklum di tempat seperti ini, jarang orang menaruh perhatian terhadap perempuan telanjang yang dipeluk mayat berlepotan darah. Lebih tidak terpikir lagi bahwa perempuan telanjang ini ternyata mampu menyerang dengan golok secara telengas dan penuh perhitungan, tusukan goloknya itu laksana kilat menyambar.

Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak mencabut golok, hakikatnya dia tidak perlu menyingkir.

Pada detik yang kritis itulah dari luar pintu mendadak berkelebat selarik sinar pisau melesat terbang menyerempet leher lelaki bertombak yang membokong di belakang, menghujam sebelah kanan tenggorokan perempuan telanjang itu. Darah menyembur bagai air dari leher lelaki itu, sementara badan perempuan telanjang yang terapung itu seketika terbanting jatuh pula. Hanya sekali sinar pisau berkelebat, dua jiwa melayang seketika.

Darah segar berhamburan selebat hujan deras.

Perlahan Pho Ang-soat membalik badan, dilihatnya Siau Si-bu berdiri di sana. Tangannya masih memegang pisau, kali ini dia tidak membersihkan kuku jarinya, tapi hanya menatap dingin ke arah Pho Ang-soat. “Sebatang pisau dua jiwa, pisau bagus,” puji Pho Ang-soat. “Betul-betul bagus?” kaku suara Siau Si-bu. “Bagus,” Pho Ang-soat mengulang.

Siau Si-bu sudah membalik badan, melangkah dua tindak, tiba-tiba dia menoleh, “Sudah pasti kau tahu bahwa aku tidak bermaksud menolongmu.”

“Oya?”

“Aku hanya ingin supaya kau juga menyaksikan pisauku.” “Sekarang aku sudah menyaksikan.”

“Kau pernah melihat aku tiga kali turun tangan, dua kali kutujukan kepadamu, tentang bagaimana aku turun tangan, tiada orang lain dunia ini yang lebih jelas daripada engkau.”

“Ya mungkin.”

“Yap Kay adalah temanmu, sudah tentu kau pun pernah menyaksikan dia turun tangan.” Pho Ang-soat mengakui, sudah tentu dia pernah menyaksikan, malah bukan hanya sekali.

Siau Si-bu berkata, “Sekarang aku hanya tanya satu hal kepadamu, jika kau tidak mau menjelaskan, aku juga tidak akan menyalahkan kau.”

“Silakan.”

“Pisau terbangku dalam hal apa bukan tandingan Yap Kay?”

Pho Ang-soat menepekur, cukup lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Dua kali kau pernah membokongku, pertama, walau menggunakan seluruh tenaga, namun sebelum kau menyerang mulutmu sudah memberi peringatan. Serangan kedua memang tidak memberi peringatan, namun waktu menyerang kau masih menyimpan dua bagian tenagamu.”

Siau Si-bu diam saja, dia tidak menyangkal keterangan Pho Ang-soat.

Pho Ang-soat berkata pula, “Lantaran dalam hati kau sendiri maklum tidak pantas membunuh aku, bahwasanya kau tidak punya alasan untuk membunuhku, maka di waktu turun tangan kau tidak dilandasi perbawa yang tidak mungkin dapat ditundukkan oleh siapa pun di dunia ini.” Lalu dengan suara kalem dia menambahkan, “Mereka yang terbunuh oleh Yap Kay adalah orang-orang yang patut dibunuh, maka dia lebih kuat dari engkau.”

“Hanya satu hal itu saja?”

“Satu hal sudah lebih dari cukup, selamanya kau tidak akan dapat mengejarnya.”

Lama juga Siau Si-bu termenung, mendadak dia putar tubuh, tanpa menoleh dia beranjak pergi. Pho Ang-soat juga tidak mengawasinya.

Cukup jauh kakinya melangkah, mendadak Siau Si-bu menoleh pula, serunya keras, “Boleh kau buktikan kelak, akan datang suatu hari aku pasti lebih kuat dari dia, bila saat itu tiba, maka aku pasti akan membunuhmu.”

“Aku pasti akan menunggu,” sahut Pho Ang-soat dengan suara tawar. Kalau mau membunuh orang harus tanpa pantangan.

Apakah kali ini Pho Ang-soat tidak harus membunuh Siau Si-bu? Kali ini aku tidak membunuhnya, lain kali mungkin kau yang mampus di bawah pisaunya.

Tapi kali ini Pho Ang-soat tidak turun tangan pula, tapi dia tidak menyesal, karena dia sudah menanam sebutir bibit di dalam sanubari Siau Si-bu. Bibit kebenaran.

Dia tahu bibit kebenaran ini akan datang suatu saat bersemi, tumbuh berkembang dan berbuah.

Waktu Pho Ang-soat beranjak keluar dari lorong lembah sempit dan jorok ini, gadis tujuh belas tahun itu sudah merenceng pula kembang melati, berdiri sambil menunduk di ambang pintu, secara diam-diam dia melirik ke arah Pho Ang-soat, kelihatannya agak takut, tapi juga tertarik.

Selama ini belum pernah ada orang tanpa sebab menghamburkan uangnya sebanyak puluhan tahil kepadanya, lelaki timpang yang bermuka pucat ini pasti manusia aneh.

Walau Pho Ang-soat tidak sudi melihatnya, tapi tak urung dia meliriknya sekali. Ketika dia tiba di ujung lorong, gadis tujuh belas tahun itu mendadak berteriak, “Kau memukulku, berarti kau suka kepadaku. Aku tahu selanjutnya kau pasti akan mencari aku.” Lalu dia meninggikan suaranya, “Aku pasti akan menunggumu.”

Thian-liong-ko-sa adalah Toa-thian-liong-si, kuil yang sering dikunjungi penduduk untuk memenuhi  kaulnya, tiada orang tahu, kuil yang semula ramai mengapa mendadak menjadi sepi, tapi cerita yang tersiar di luar tentang hal ini banyak ragamnya.

Berita angin yang tersiar paling luas adalah: Kuil yang kelihatan angker dan megah ini, sebenarnya adalah sarang mesum, tidak sedikit nyonya cantik atau gadis-gadis rupawan yang pernah bersembahyang di sini sering diculik dan disekap di dalam kamar-kamar rahasia di dalam kuil itu, bagi  yang membangkang dihabisi nyawanya setelah diperkosa.

Karena itu bila tiba malam pekat, tiada bintang tak ada rembulan, setan-setan gentayangan itu lantas keluyuran mencari mangsa.

Padahal apakah benar di dalam kuil terdapat banyak kamar-kamar rahasia? Berapa banyak perempuan yang telah diperkosa di kuil ini? Siapa pun tidak bisa memberikan angka yang pasti, karena tiada seorang pun yang pernah menyaksikan sendiri.

Tapi sejak berita angin tersiar di kalangan penduduk, orang-orang yang bersembahyang di kuil ini makin sedikit.

Seseorang bila hanya sekedar mengeluarkan duit untuk membeli dupa lilin, mohon berkah supaya sepanjang tahun selamat dan banyak rezeki, maka terhadap salah benarnya berita angin itu, semestinya tidak terlalu teliti menyelidiki kebenarannya.

Kuil kuno itu dikelilingi lebatnya hutan, meski di musim semi, daun-daun yang rontok di sini juga lebih banyak.

Jalan yang langsung menembus ke pintu kuil itu sekarang sudah tertutup oleh rontokan daun-daun kering, seorang yang sering kemari pun bila memasuki hutan yang rimbun ini bukan mustahil akan kesasar karena tidak bisa memilih jalan lagi.

Padahal Pho Ang-soat belum pernah kemari, selepas mata memandang dimana sekarang dia berdiri, sekelilingnya adalah pohon-pohon raksasa, bentuk pohon-pohon itu mirip satu dengan yang lain. Sesaat dia berdiri bingung, susah dia menentukan kemana arah yang harus dituju.

Tengah dia berdiri bimbang, daun-daun kering di depan sana terdengar berbunyi karena terinjak oleh langkah seorang, maka tampak seorang Hwesio berwajah bersih, alis gombyok, mata bening, bersikap agung sedang melangkah datang, jubahnya yang berwarna kelabu kelihatan bersih dan rapi. Usianya belum banyak, tapi jelas kelihatan bahwa padri ini pasti sudah teguh dalam ajaran agamanya.

Pho Ang-soat bukan seorang Buddhis yang saleh, namun terhadap Hwesio, orang terkenal dan pujangga, dia tetap menghormatinya.

“Taysu mau pergi kemana?” sapanya.

“Datang dari arahnya, sudah tentu pergi ke arah itu pula,” demikian sabda Hwesio itu sambil merangkap kedua tangan, ternyata melirik pun tidak kepadanya.

Tapi Pho Ang-soat tidak mengabaikan kesempatan untuk bertanya jalan kepadanya, sekarang tiada waktu untuk menentukan arah jalannya.

“Apakah Taysu tahu dimana letak Thian-liong-ko-sa?” “Kau ikuti aku saja.”

Langkah Hwesio ini tenteram dan perlahan, umpama jalan ini menuju ke alam baka, dia pun takkan berjalan selangkah lebih cepat.

Terpaksa perlahan-lahan Pho Ang-soat mengikut di belakangnya.

Cuaca sudah gelap, akhirnya mereka tiba di depan sebuah gardu, warna pagar dari gardu itu sudah luntur, di dalam gardu terdapat sebuah kecapi, sebuah papan catur, satu poci arak, seperangkat alat-alat tulis dan sebuah hiolo cilik yang terbuat dari tanah merah. Di dalam hutan yang sunyi tenteram ini, memetik kecapi, bermain catur, bersenandung, membuat syair sambil menikmati arak wangi. Padri agung tiada bedanya dengan seorang pujangga, selama kegemarannya berkembang, hidup ini tidak akan terasa kesepian.

Walau belum pernah Pho Ang-soat mengecap kehidupan nan tenteram damai, tapi dia selalu manaruh hormat dan menghargai kegemaran orang lain.

Padri yang bersih dan kelihatan agung ini sudah memasuki gardu, dia menjemput satu biji catur, menatapnya lekat-lekat, sorot seolah-olah sedang mempertimbangkan, entah langkah apa yang harus dilakukan oleh biji caturnya.

Akhirnya dia masukkan biji catur itu ke dalam mulut, pelan-pelan dia kunyah sekali dan “Glek” langsung ditelannya. Kelakuannya sungguh di luar dugaan, mendadak dia menggaplok hancur kecapi itu, terus dimasukkan ke dalam anglo dan menyulut api, arak dalam poci dia tuang untuk mencuci kaki, tinta hitam di atas tatakan batu itu dia tuang ke dalam poci, lalu ditaruh di atas anglo untuk dipanasi, papan catur diangkatnya serta dipukulnya seperti orang menabuh gembreng, wajahnya menampilkan tawa lebar dan rasa puas, seakan-akan dia merasa suara ketukan papan catur itu jauh lebih merdu dari petikan kecapi.

Pho Ang-soat menjublek di tempatnya, padri agung yang kelihatan saleh ini apakah benar seorang Hwesio gila, dia senang makan daging manusia.

Hwesio itu kini sedang mengawasi dirinya, dari kepala sampai kaki, menimbang berapa kilo daging seluruh badannya. Tapi Pho Ang-soat amat tabah, dia tidak percaya, “Apa betul kau si Hwesio gila?”

“Gila adalah tidak gila, tidak gila adalah gila,” padri itu tertawa menyengir, “mungkin yang benar-benar gila bukan aku, tapi kau.”

“Aku gila?”

“Kalau kau tidak gila, kenapa menyerahkan jiwa?”

Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat, katanya pula, “Kau tahu siapa aku? Tahu kemana aku hendak pergi?”

Hwesio itu manggut-manggut, lalu geleng-geleng kepala pula, mendadak dia mendongak sambil terloroh- loroh, gumamnya “Habislah, habislah sudah, kuil kuno ribuan tahun ini akan segera ambruk, dimana ada manusia, di situ banjir darah, kemana lagi Hwesio ini harus pergi?”

Mendadak dia angkat poci di atas anglo yang panas, langsung menuang tinta hitam di dalam poci ke dalam mulutnya, tinta yang tercecer mengotori jubahnya yang bersih. Mendadak dia mendeprok di lantai terus menangis tergerung-gerung, sambil menuding ke barat dia berkata lantang, “Kau ingin mati, lekas kau pergi, orang hidup ada kalanya memang lebih baik mati saja.”

Pada saat itulah dari arah barat bergema suara genta, hanya genta di dalam kuil kuno berusia ribuan tahun yang dapat mengeluarkan gema suara senyaring itu.

Kalau kuil kuno itu hanya dihuni seorang Hwesio gila, lalu siapa yang menabuh genta? Hwesio yang sedang menangis tergerung-gerung mendadak berjingkrak bangun, sorot matanya memancarkan rasa kaget, takut dan ngeri.

“Itulah gema duka cita,” teriaknya, “bila genta duka cita bergema, pasti ada orang akan mati.” Kembali dia berjingkrak, poci arak di tangannya dia lempar ke arah Pho Ang-soat, teriaknya pula, “Jika kau tidak mampus, orang lain yang akan jadi korban, kenapa tidak lekas kau ke sana menyerahkan jiwamu.”

Pho Ang-soat menatapnya, katanya tawar, “Baik aku akan segera pergi.”

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar