Peristiwa Bulu Merak Bab 10 : Perubahan

 
Bab 10. Perubahan

Isak tangis mendadak berhenti, Co Giok-cin mengangkat kepala memandang Pho Ang-soat dengan pandangan kaget, “Aku bukan Co Giok-cin? Kenapa kau bilang aku bukan Co Giok-cin?”

Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaannya, malah bertanya tentang persoalan yang tidak pantas dia ketahui, “Sudah berapa bulan kau hamil?”

Co Giok-cin ragu-ragu, akhirnya menjawab, “Tujuh bulan.”

“Kau sudah hamil tujuh bulan, tapi ayahmu baru tahu hubungan gelapmu ini, memangnya dia buta?”

“Dia tidak buta, dia bukan ayah kandungku,” suaranya mengandung rasa benci dan penasaran. “Aku sudah lama tahu akan hal ini, aku kenal Jiu Cui-jing juga dia yang mengatur, karena Jiu Cui-jing adalah tokoh besar dalam kalangan Kangouw, Cengcu dari Khong-jiok-san-ceng, seorang yang paling dikagumi oleh Lau-congpiauthau.”

“Lau-congpiauthau?” Yan Lam-hwi menimbrung, “Lau Tin-kok dari Tin-wan Piaukiok? Apakah ayahmu Piausu Tin-wan Piaukiok?”

“Semula memang betul,” sahut Co Giok-cin. “Dan sekarang?” Yan Lam-hwi mendesak.

“Dia terlalu banyak minum arak, Piaukiok mana pun pasti tidak mau mempunyai Piausu yang sering mabuk seperti dia.”

“Jadi Lau Tin-kok telah memecatnya?” Yan Lam-hwi bertanya.

Co Giok-cin mengangguk, katanya, “Lau-congpiauthau sih tidak melarang anak buahnya minum arak, tapi setelah minum arak seorang Piausu sejawatnya dianggap perampok yang mau membegal, sebelah tangannya dibacok buntung lagi, bukankah perbuatannya keterlaluan.”

“Jadi hendak memperalat hubunganmu dengan Jiu Cui-jing, untuk memulihkan kedudukannya di Tin-wan Piaukiok?” tanya Yan Lam-hwi.

“Memang besar keinginannya sampai hampir gila, umpama aku ini putri kandungnya juga tidak segan- segan dia berbuat demikian.”

“Sayang Jiu Cui-jing tidak sudi berbuat demikian, Lau Tin-kok juga bukan manusia yang cupat pikiran, mementingkan hubungan tidak memikirkan kepentingan umum.”

“Oleh karena itu walau setiap bulan Jiu Cui-jing menyokong seratus tahil perak untuk beli arak, dia masih belum puas, setiap kali mabuk, selalu berusaha menyiksa aku.”

“Hingga pagi hari ini kau betul-betul tidak tahan lagi?”

“Aku ini seorang perempuan, namanya saja adalah putrinya, apa pun yang dia lakukan terhadapku, aku harus menerima dan menelan kegetiran ini, tapi pagi hari ini...”

“Pagi hari ini apa yang dilakukannya?”

“Dia hendak memukul anak dalam kandunganku supaya gugur, dia melarang aku melahirkan anak Jiu Cui- jing karena ... karena dia sudah mendengar berita buruk dari Khong-jiok-san-ceng.”

Yan Lam-hwi terkesiap, katanya dengan mata terbeliak, “Peristiwa itu terjadi semalam, tidak mungkin dia bisa tahu secepat itu.”

“Tapi kenyataan dia sudah tahu.”

Masam muka Yan Lam-hwi, lebih pucat dari muka Pho Ang-soat.

Hanya sejenis orang yang bisa memperoleh berita dengan cepat, berita kilat. Umpama semalam dia tidak ikut meluruk ke Khong-jiong-san-ceng, tidak menjadi algojo, pasti juga ikut penjaga atau kurir.”

“Jika aku melihat orang sebanyak itu dibantai secara kejam, setelah pulang pasti juga ingin minum arak sampai mabuk,” demikian kata Yan Lam-hwi.

Sejak tadi Pho Ang-soat diam saja, mendadak dia bertanya, “Kau kenal Lau Tin-kok? Dia orang macam apa?” “Usaha Tin-wan Piaukiok makin besar, cabangnya juga luas, untuk menjadi seorang Piausu Tin-wan Paukiok diperlukan ujian yang cukup berat.”

“Dia pandai memilih orang.”

“Pegawainya semua pilihan, jago-jago kelas satu,” sahut Yan Lam-hwi. Mengepal jari-jari Pho Ang-soat.

Co Giok-cin berkata, “Kungfu ayah angkatku tidak lemah, jikalau arak tidak membuatnya rusak, bukan mustahil suatu ketika dia bisa diangkat menjadi Congpiauthau.”

Dingin perkataan Pho Ang-soat, “Menjadi Congpiauthau sukar, membunuh orang mudah.” “Kau kira dia juga salah seorang pembunuhnya?” tanya Yan Lam-hwi.

“Kalau bukan pembunuh juga pembantu kejahatan.” “Kalau begitu, marilah kita mencarinya.”

“Waktu naik kereta tadi sudah kuberi pesan, jalan yang kita tempuh sekarang juga menuju ke sana,” ujar Pho Ang-soat, lalu dipandangnya Co-Giok-cin, “Karena itu aku harap apa yang kau katakan semuanya benar.”

Co Giok-cin balas menatapnya, pembohong tidak akan berani balas menatap matanya, juga tidak akan memperlihatkan sikap yang wajar begini.

Yan Lam-hwi menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat, seperti ada pendapat yang ingin dia kemukakan. Sebelum dia buka suara, seorang sudah berkata dengan keras, “Sekarang jangan kita pulang ke rumah keluarga Co.”

Ternyata Bing-gwat-sim sudah siuman, dia terlalu banyak mengeluarkan darah, badannya teramat lemah, kelihatannya dia harus mengerahkan sisa tenaganya untuk melontarkan perkataannya tadi.

Yan Lam-hwi meletakkan badannya supaya tidur lebih enak, lalu bertanya, “Kenapa kita tidak boleh pulang ke rumah keluarga Co?”

Napas Bing-gwat-sim memburu, katanya, “Karena di sana sekarang pasti sudah ada perangkap keji.” Besar hasratnya mengemukakan apa yang terkandung dalam hatinya, sehingga wajahnya yang pucat bersemu merah, “Kongsun To tentu tidak berpeluk tangan, tentu dia juga menduga bahwa kita pasti akan pergi ke rumah Co Tang-lay, orang mereka banyak, semuanya jago-jago lihai, aku sendiri sudah terluka parah.”

Yan Lam-hwi mencegahnya banyak bicara, “Aku mengerti maksudmu, Pho Ang-soat juga pasti maklum.”

“Kalian tidak mengerti,” kata Bing-gwat-sim ngotot, “bukan demi diriku, aku juga tahu dengan kekuatan kalian berdua mungkin kuat menghadapi mereka, tapi bagaimana dengan nona Co? Kalian harus menghadapi pedang Nyo Bu-ki, gantolan Kongsun To, harus waspada pula pada pisau terbang Siau Si-bu, mana punya kesempatan untuk melindunginya?”

Pho Ang-soat tidak bersuara, juga tidak memberi reaksi.

Bing-gwat-sim mengawasinya, katanya, “Kali ini kau harus tunduk pada usulku, sekarang kau harus lekas menghentikan kereta ini dan putar balik.”

“Tidak perlu,” pendek jawaban Pho Ang-soat.

“Dan ... kenapa tidak kau dengar usulku?” Bing-gwat-sim amat menyesal.

Wajah Pho Ang-soat tetap kaku, katanya tawar, “Karena jalan raya ini bukan menuju ke rumah keluarga Co.”

Bing-gwat-sim melengak, serunya, “Bukan? Bagaimana bisa bukan?”

“Karena aku suruh dia membawa kereta ini keluar kota, mana berani dia menempuh jalan lain?” Lega hati Bing-gwat-sim, katanya, “Ternyata jalan pikiranmu sama dengan aku.”

Dingin dan keras tegas suara Pho Ang-soat, “Selamanya aku tidak pernah mempertaruhkan jiwa orang untuk menempuh bahaya.”

“Tapi tadi kau ” “Tadi aku bilang demikian hanya untuk mencoba dan menjajaki hati nona Co saja.”

Sebelum dia bicara habis, kereta mendadak berhenti, sang kusir melongok ke belakang dan berkata dengan mengunjuk tawa berseri, “Sekarang sudah berada di luar kota, kemana lagi Pho-tayhiap akan pergi?”

Dengan dingin Pho Ang-soat mengawasi wajah orang yang berseri itu, tiba-tiba dia bertanya, “Bukankah yang kau latih kungfu dari Sian-thian-bu-kek-pay?”

Tawa si kusir mendadak kaku, sahutnya, “Hakikatnya hamba tidak pernah latihan kungfu segala.”

Pho Ang-soat tidak menghiraukan jawabannya, tanyanya pula, “Tio Bu-kek, Tio Bu-liang bersaudara apakah ayah dan pamanmu? Atau gurumu?”

Si kusir menatapnya dengan terbelalak kaget, seperti mendadak melihat setan yang menakutkan. Dia memang mahir sebagai kusir, sejak tadi duduk tenang memegang kendali, bukan saja tidak melakukan gerakan apa pun, dia pun tunduk pada perintah, sungguh dia tidak habis mengerti, makhluk aneh yang bermuka pucat ini, bagaimana bisa membongkar asal-usulnya.

Pho Ang-soat berkata, “Kulit dagingmu mengkilap, pori-porimu kelihatan lembut berhimpit, sehingga mirip sesuatu barang yang direndam dalam minyak, hanya seorang yang pernah meyakinkan Khikang tunggal dari Sian-thian-bu-kek-pay saja baru memperlihatkan gejala-gejala kulit tangan yang berbeda.”

Tajam benar pandangan makhluk aneh ini, akhirnya si kusir menghela napas, katanya tertawa  getir, “Cayhe Tio Ping, Tio Bu-kek adalah ayahku.”

“Bukankah kau masih punya nama lain dan biasa dipanggil Jari telunjuk?” tanya Pho Ang-soat pula.

Terpaksa Tio Ping mengangguk, dia insyaf di hadapan makhluk aneh ini hakikatnya dia tidak bisa berbohong lagi.

Pho Ang-soat berkata, “Menilai keluarga dan asal-usulmu, ternyata kau melakukan kejahatan yang memalukan, sepantasnya aku mewakili Sian-thian-bu-kek membersihkan nama baik perguruannya.”

Berubah air muka Tio Ping, katanya tergagap, “Tapi aku…..”

Pho Ang-soat tidak memberi kesempatan dia bicara, “Jika kau bukan putra tunggal Tio Bu-kek, sekarang kau sudah mampus di bawah kereta.”

Dia duduk di dalam kereta, tidak bergerak. Jari-jari yang paling lincah pada tangan setiap orang adalah jari telunjuk. Seorang yang duduk di dalam kereta tidak bergerak, bagaimana mungkin bisa membunuh Tio Ping yang lincah seperti Jari telunjuk? Akhirnya Tio Ping insyaf akan hal ini, maka tubuhnya sudah siap melambung.

Pho Ang-soat berkata, “Hari ini aku tidak membunuhmu, aku hanya menuntut supaya kau tinggalkan jari tanganmu yang sering kau gunakan membunuh orang.”

Mendadak Tio Ping tertawa lebar, katanya, “Maaf saja, jari tanganku masih berguna, mana bisa kuberikan kepadamu.”

Mendadak sinar golok berkelebat, darah pun muncrat.

Berbareng tubuh Tio Ping juga melambung pergi, mendadak dilihatnya sebuah tangan berlompatan darah melayang jatuh dari tengah udara.

Dia masih belum tahu bahwa kurungan tangan itu adalah tangannya sendiri, sambaran  golok teramat cepat, dia masih belum merasakan sakit, dia malah sedang tertawa.

Bila tangan itu sudah jatuh di tanah, baru dia sadar bahwa tangannya sudah kurang satu. Gelak tawa berubah jeritan, orangnya juga terbanting keras.

Sinar golok lenyap, golok sudah masuk ke sarung, Pho Ang-soat tetap duduk di dalam kereta, tidak tampak bergerak.

Pergelangan tangan yang buntung dimasukkan ke dalam lengan baju, dengan tangan yang masih utuh Tio Ping berpegang pada sisi kereta serta meronta berdiri, lalu menatapnya.

“Tidak lekas kau enyah,” desis Pho Ang-soat.

Tio Ping mengertak gigi, katanya, “Aku tidak akan pergi, aku ingin melihat golokmu.” “Golokku bukan untuk tontonan.”

“Tanganku sudah buntung, berilah kesempatan padaku untuk melihat golokmu.” Lama Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia pun berkata, “Baik, lihatlah.” Golok berkelebat, rambut bertebaran. Itulah rambut Tio Ping.

Setelah dia melihat rambut itu berserakan di tanah, sinar golok pun telah lenyap. Golok sudah kembali ke dalam sarung, dia tetap tidak melihat golok itu.

Saking ketakutan, kulit daging mukanya mendadak berkerut dan kedutan, dia menyurut mundur dengan sempoyongan, mulutnya memekik histeris, “Kau bukan manusia, kau iblis laknat, yang kau pakai juga golok setan...”

Golok yang hitam, mata yang hitam pula.

Co Giok-cin juga sedang mengawasi golok itu, lama dia melamun, sorot matanya menampilkan ketakutan dan ngeri. Golok hitam ini seolah-olah sudah bersenyawa dengan Pho Ang-soat, seperti salah  satu anggota badannya saja.

Co Giok-cin coba bertanya, “Pernahkah kau meletakkan golokmu ini?” “Tidak.”

“Bolehkah aku melihatnya?” “Tidak boleh.”

“Pernah kau perlihatkan kepada orang lain?” tanya Co Giok-cin. “Apa betul itu golok iblis?”

Pho Ang-soat berkata, “Iblisnya tidak di dalam golok, tapi di dalam hati, hanya orang yang hatinya ada iblis, maka dia tidak akan luput dari sambaran golokku ini.”

Tiada orang bergerak, kereta itupun berhenti.

Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Agaknya sekarang kita tiada tempat tujuan tertentu lagi.” “Ada saja,” sahut Pho Ang-soat.

“Kemana?”

“Kembali ke Khong-jiok-san-ceng.”

Yan Lam-hwi tercengang, katanya, “Kembali ke Khong-jiok-san-ceng? Masih ada apa di sana?” “Masih ada kamar rahasia di bawah tanah.”

Yan Lam-hwi segera maklum, katanya, “Maksudmu Bing-gwat-sim harus bersembunyi di sana untuk menyembuhkan luka-lukanya?”

“Tiada orang menyangka dia berada di sana, di sana hanya ada jalan buntu, tempat yang mematikan.” “Ya, tempat yang mematikan untuk bertahan hidup?”

“Begitulah.”

“Kita tetap naik kereta ini?”

“Kereta kuda tidak akan membocorkan rahasia, juga tidak akan menjual jiwa kita.”

“Benar, hanya manusia menjual manusia, maka kau mengusir Tio Ping. Sekarang siapa yang akan pegang kendali?”

“Engkau.”

Dinding kamar bawah tanah itu meski berlubang oleh ledakan dahsyat itu, tempat lain masih tetap kokoh dan kuat, masih rapi dan tiada perubahan.

“Sekarang jalan keluar masuk satu-satunya kamar rahasia hanyalah lubang ini.” “Ya, hanya boleh keluar, tidak boleh masuk.”

“Lho, kenapa?” tanya Lam-hwi.

“Karena Bing-gwat-sim masih punya Khong-jiok-ling.” “Khong-jiok-ling miliknya masih berguna?” “Siapa bilang tidak berguna.”

“Asal dia memegang Khong-jiok-ling dan berjaga di sini, siapa pun takkan berani masuk.” “Ya, pasti tidak ada yang berani.”

“Bagaimanapun aku tetap mengharap tiada orang lain kemari.” Co Giok-cin tidak tahan, dia bertanya, “Apakah kalian hendak meninggalkan dia di sini seorang diri?”

“Tidak,” sahut Pho Ang-soat pendek. “Siapa yang akan menemani dia?” “Kau.”

“Dan Kalian? Kalian mau pergi kemana?” “Pergi membunuh orang,” desis Pho Ang-soat.

“Membunuh orang-orang yang membunuh orang itu?” tanya Co Giok-cin.

“Kongsun To pasti akan menuntut balas, aku pun tidak akan membiarkan dia hidup.”

Co Giok-cin mengawasi golok di tangannya, katanya, “Orang yang membunuh orang bukankah di dalam hatinya juga dirangsang iblis?”

“Benar.”

“Apakah dia pasti tidak akan mampu terhindar dari sambaran golokmu?” “Pasti tidak.”

Mendadak Co Giok-cin berlutut, air matanya bercucuran, “Aku mohon kepadamu, bawalah jantung hatinya kembali, aku ingin bersembahyang kepada arwah ayah anak yang berada dalam kandunganku.”

Pho Ang-soat menatapnya, katanya mendadak, “Aku bisa melaksanakan hal itu, kau sebaliknya tidak pantas berkata demikian.”

“Kenapa?”

“Karena omongan itupun mengandung hawa membunuh.”

“Kau kuatir orok dalam kandunganku ketularan hawa membunuh itu?”

Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Bocah yang punya hawa membunuh, setelah dewasa pasti gemar membunuh orang.”

Gemeratak gigi Co Giok-cin, katanya pula, “Kuharap dia bisa membunuh orang, membunuh kan lebih baik daripada dibunuh.”

“Kau lupa satu hal.” “Katakan!”

“Orang yang membunuh orang, cepat atau lambat akhirnya juga dibunuh orang.”

*******************

Kamar batu di bawah tanah itu bukan saja gelap, juga lembab, meja kursi terbuat dari batu, keras dan dingin.

Bing-gwat-sim ternyata duduk dengan enak, karena sebelum pergi, kasur bantal di dalam kereta sudah dipindahkan ke dalam kamar baru ini. Co Giok-cin juga kebagian tempat duduk yang empuk.

Setelah Pho Ang-soat pergi, tak tertahan dia menghela napas, “Sungguh tak nyana dia adalah seorang yang teliti dan cermat.”

Bing-gwat-sim berkata, “Dia memang orang aneh, Yan Lam-hwi juga aneh, tapi mereka adalah manusia, manusia jantan, laki-laki sejati.”

“Kelihatannya mereka amat baik terhadapmu,” tanya Co Giok-cin. Bing-gwat-sim tertawa dipaksakan, katanya, “Aku juga baik terhadap mereka.”

“Tapi akhirnya kau harus menentukan pilihanmu, seorang perempuan tak mungkin sekaligus menikah dengan dua laki-laki.”

“Aku sudah memilih.” “Siapa yang kau pilih?”

“Aku memilih diriku sendiri,” tawar suara Bing-gwat-sim, seorang perempuan memang tidak boleh  sekaligus kawin dengan dua pria, tapi kan boleh tidak kawin dengan keduanya.”

Co Giok-cin segera tutup mulut, dia tahu Bing-gwat-sim tidak ingin membicarakan soal jodoh lagi.

Bing-gwat-sim mengelus Khong-jiok-ling di tangannya, jari-jari tangannya dingin, lebih dingin dari bumbung emas itu, hatinya sedang dirundung gejolak perasaan. Apakah karena percakapannya dengan Co Giok-cin barusan sehingga mengorek isi hatinya?

Agak lama kemudian mendadak Co Giok-cin bertanya, “Apakah yang kau pegang itu benar-benar Khong- jiok-ling?”

“Bukan yang asli.” “Bolehkah aku melihatnya?” “Tidak boleh.”

“Kenapa?”

“Walau Khong-jiok-ling ini bukan yang asli, tapi dia juga alat untuk membunuh orang, tetap punya hawa untuk membunuh orang, aku tidak ingin orok dalam kandunganmu ketularan hawa membunuh.”

Co Ciok-cin mengawasinya, mendadak tertawa, katanya, “Kau kenapa aku tertawa?” “Entahlah.”

“Mendadak kusadari nadamu bicara amat mirip Pho Ang-soat, maka ”

“Maka kenapa?”

“Jika kau harus menikah, kupikir kau pasti menikah dengan dia.” Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Untung aku tidak pasti harus menikah.”

“Tapi aku harus menikah.” “Kenapa?”

“Karena anak dalam kandunganku, aku aku tidak akan membiarkan dia lahir tanpa ayah.” “Siapa yang kau pilih untuk menjadi ayahnya?”

“Sudah tentu harus seorang lelaki sejati, seorang lelaki yang mampu melindungi kami.” “Lelaki seperti Pho Ang-soat begitu?”

Ternyata Co Giok-cin tidak menyangkal. “Tahukah kau, dia itu tidak punya belas kasihan.”

Co Giok-cin tertawa sendu, katanya, “Punya atau tidak belas kasihan, memangnya siapa yang dapat membedakan?”

“Kita tetap naik kereta ini?” “Ya.”

“Siapa pegang kendali?” “Engkau.”

“Kenapa aku lagi?” “Karena aku tidak bisa.”

“Kenapa setiap patah katamu selalu membuatku melenggong?” “Karena aku selalu bicara jujur.”

Terpaksa Yan Lam-hwi naik ke atas kereta, mengayun cemeti, katanya, “Coba saksikan ini, bukan tugas berat atau sukar. Siapa pun bisa, kenapa kau tidak belajar?”

“Kalau setiap orang bisa, setiap orang bisa pegang kendali keretaku, buat apa aku belajar.”

Kembali Yan Lam-hwi melenggong, “Ucapanmu memang selalu jujur, selalu masuk akal, aku jadi ingin suatu ketika berbohong ala kadarnya.”

“Kenapa?”

“Karena omongan jujur kedengarannya tidak seenak dan senikmat omongan bualan.”

Kereta itu bergerak maju, lama sekali menempuh perjalanan, Pho Ang-soat masih terus terpekur, mendadak dia bertanya, “Kau kenal orang yang menemani Nyo Bu-ki bermain catur itu?”

Yan Lam-hwi manggut-manggut, katanya, “Dia bernama Ku Ki (catur sewaan), salah seorang panglima besar Kongcu Gi.”

“Konon pembantunya ada empat tokoh besar, yaitu yang dinamai dengan harpa, catur, menulis dan menggambarkan.”

“Bukan empat, tapi lima orang tokoh besar, yaitu Gi Khim, Ku Ki, Ong Su, Go Hoat dan Siau Kiam.” “Kau pernah melihat kelima orang itu?”

“Pernah kulihat tiga, waktu itu Kongcu Gi belum menemukan Gi Khim dan Siau Kiam.” “Waktu itu kapan?”

Yan Lam-hwi tutup mulut.

“Bukankah di saat kau sering bertemu dengan Kongcu Gi?” Yan Lam-hwi tetap tutup mulut.

“Kau tahu rahasianya, siapa-siapa jago kosen yang dikuasainya kau juga hapal, jadi sebelum ini kalian sering berhubungan?”

Yan Lam-hwi tidak menyangkal, memang tidak bisa menyangkal. “Sebetulnya pernah apa di antara kalian?”

“Orang lain selalu bilang setiap patah katamu bagai emas, kenapa hari ini aku menjadi bosan mendengar ocehanmu.”

“Karena kau tidak bisa berbohong, juga tidak berani bicara jujur.” “Sekarang yang ingin kubicarakan adalah kau, bukan aku.” “Yang ingin kubicarakan justru dirimu.”

“Apakah kita tak bisa berbincang persoalan lain? Sampai sekarang aku masih belum tahu kemana tujuanmu?”

“Kau tahu, untuk membunuh manusia, sudah tentu harus mencarinya ke tempat dimana dia mengatur perangkapnya.”

“Maksudmu ke rumah Co Tang-lay?” “Dahulu memang.”

“Sekarang bukan?”

“Orang yang sudah mati takkan punya rumah.” “Jadi Co Tang-lay sekarang sudah mati?”

“Oleh karena itu tempat itu hanyalah sebuah perangkap belaka.”

“Aku jadi mengharap semoga orang-orang buruan itu sekarang masih berada di sana.”

“Pantasnya mereka belum pergi, untuk menjadi seorang pemburu, pelajaran pertama yang harus dihapalkan adalah bersabar.”

Co Tang-lay memang sudah mati, mayatnya sudah kaku, sudah dingin. Ini bukan kejadian di luar dugaan, bila membunuh untuk mencari sesuap nasi, pelajaran pertama yang harus diresapi adalah menutup mulutnya. Bila kau pernah sekali ikut aksi mereka, sembarang waktu kemungkinan mulutmu bakal ditutup oleh mereka.

Dalam anggapan mereka, jiwa seseorang tidak lebih berharga dari seekor anjing liar. Begitulah keadaan Co Tang-lay sekarang, keadaannya lebih mengenaskan dari kematian seekor anjing liar di bawah pohon.

Pho Ang-soat mengawasi dari kejauhan, sorot matanya diliputi rasa duka dan kasihan. Nyawa memang berharga, kenapa manusia justru banyak yang tidak bisa menghargai nyawa?

Dia merasa simpati kepada orang yang menjadi korban ini, mungkin karena dahulu dia pun hampir musnah karena “arak”. Arak itu tidak jelek, persoalannya terletak pada awakmu sendiri, jika kau suka tenggelam dalam air kata-kata yang berlimpah, tak bisa membangkitkan semangat juang sendiri, maka tiada manusia di dunia ini yang bisa menolongmu.

Kesan sanubari Yan Lam-hwi mungkin tidak sedalam dia, dia masih muda, hatinya masih diliputi cita-cita, angan-angan muluk. Maka dia ingin bertanya, “Perangkapnya di sini, mana pemburunya?”

Pho Ang-soat masih diam.

Dari pojok rumah mendadak terdengar sebuah bentakan, “Lihat pisau!” Selarik sinar pisau laksana sambaran kilat meluncur lurus ke punggungnya.

Pho Ang-soat tidak berkelit, tidak bergerak. Yang bergerak hanya goloknya. “Ting”, kembang api pun berpijar, selarik sinar pisau melambung tinggi ke angkasa, kelihatannya seperti menembus tiga lapis mega dan lenyap ditelan angkasa.

Golok Pho Ang-soat kembali ke sarungnya.

Yan Lam-hwi menghela napas lega, katanya, “Gelagatnya paling sedikit masih kurang seorang.” “Aku sudah tahu, dia telah belajar bersabar.”

Setelah berlangsung percakapan ini, maka tampak sinar golok melayang jatuh, waktu jatuh, sinar yang semula satu berubah menjadi dua, seperti batu meteor jatuh di tanah. Itulah sebilah pisau, pisau terbang.

Mata pisau beradu dengan mata golok, kekuatan benturan yang keras menyebabkan pisau kecil itu mencelat ke udara mencapai puluhan tombak. Pisau terbang sepanjang empat dim sekarang telah putus menjadi dua keping.

Siapa dapat membayangkan atau mengukur betapa dahsyat kekuatan dan kecepatan luncuran pisau terbang itu? Tapi Pho Ang-soat mengayun golok ke belakang, pisau terbang itu telah dipukulnya mencelat dan jatuh. Pisau terbuat baja yang tajam luar biasa ternyata telah ditabasnya putus menjadi dua.

Di belakang rumah seorang menghela napas, katanya, “Memang ilmu golok yang tiada keduanya di dunia, kau memang tidak membual.”

Perlahan Pho Ang-soat membalik badan, katanya, “Kenapa kau belum pergi?”

Begitu dia membalik, lantas melihat Siau Si-bu, Siau Si-bu beranjak keluar dengan tangan kosong, katanya dingin, “Di antara empat 'tanpa' Siau-kongcu, tiada 'tanpa tahu malu', umpama aku harus pergi juga aku akan pergi secara terang-terangan.” Tangannya sudah tidak memegang pisau, bagai gadis belia yang mendadak bertelanjang bulat, sehingga tangannya kerepotan bergerak naik turun entah harus diletakkan dimana. Akan tetapi dia tidak lari.

Pho Ang-soat menatapnya, katanya, “Kau hanya punya sebatang pisau?”

“Hari ini yang kuhadapi adalah kau, maka aku hanya membawa sebatang pisau.” “Kenapa?”

“Karena aku tahu pisau pertama juga pisau terakhir, maka serangan pisauku tadi harus menggunakan seluruh kemampuan, setakar tenagaku.”

“Terlebih dulu kau menempatkan dirimu pada posisi yang mematikan, sehingga waktu turun tangan tidak menghiraukan segala akibatnya?”

“Ya, demikian,” kata Siau Si-bu, “apalagi serangan pisauku itu pasti dan harus mengenai sasaran, jika sekali tidak kena, diulang seribu kali juga tidak berguna.” Pho Ang-soat menatapnya, mendadak dia mengulap tangan, katanya, “Ucapanmu memang bagus,  baiklah, kau boleh pergi.”

“Kau membebaskan aku?” tanya Siau Si-bu.

“Kali ini aku tidak akan membunuhmu, karena kau mengucapkan dua patah kata.” “Dua patah kata apa?”

“Lihat pisau.”

Sebelum pisau terbang disambitkan, bersuara memberi peringatan jelas ini bukan sepak terjang menusia rendah, manusia hina dina.

“Golokku hanya membunuh manusia yang hatinya disetir iblis, pisaumu juga ada setannya, tapi hatimu bersih.”

Tangan Siau Si-bu mendadak saling genggam, sorot matanya mendadak menampilkan rona aneh, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan, “Jika aku tidak mengatakan kedua patah kata tadi, apakah kau mampu mematahkan pisau terbangku tadi?”

“Kau menyesal?”

“Bukan menyesal, tapi hanya ingin tahu duduk perkara sebenarnya saja.”

Pho Ang-soat menatapnya pula, pandangannya penuh selidik, katanya dingin, “Kalau kau tidak mengucap kedua patah kata tadi, sekarang kau sudah mati.”

Sepatah kata tidak bicara lagi, Siau Si-bu segera putar badan beranjak pergi, bukan saja langkahnya cepat, dia pun tidak menoleh.

Di pojok belakang rumah seorang menghela napas, katanya, “Umpama dia tidak menyesal, kau justru yang akan menyesal.”

Seorang berjalan keluar dengan langkah perlahan, berbaju hijau berkaos kaki putih, siapa lagi kalau bukan Ku Ki.

“Aku harus menyesal? Apa yang harus kusesalkan?”

Ku Ki berkata, “Menyesal karena kau tidak membunuhnya.”

Jari-jari Pho Ang-soat menggenggam kencang. Dua kesempatan dia dapat membunuh pemuda angkuh itu, tapi dua kesempatan baik itu dia abaikan begitu saja.

Ku Ki berkata, “Kesempatan baik diabaikan, selamanya tidak akan terulang lagi, jika ingin membunuh orang, sebaiknya tidak tanpa pantangan.” Setelah tertawa dia menambahkan, “Kali ini kau tidak membunuhnya, lain kali mungkin kau yang akan mati di tangannya.”

Pho Ang-soat mengawasinya, katanya tertawa dingin, “Dan kau? Pantas tidak sekali ini aku membunuhmu?”

“Itu harus dinilai. Aku akan melihat apakah kau akan menggasak bagian tanganku atau ingin mencaplok naga di pojok kananku? Kunilai pula kau pegang biji putih atau biji hitam?”

Pho Ang-soat tidak paham, dia tidak pernah main catur. Hanya orang yang suka iseng saja yang suka main catur, bila iseng Pho Ang-soat selalu mencabut golok.

Maka Ku Ki terpaksa tertawa sendiri, katanya, “Maksudku, kau tidak akan bisa membunuhku, kau hanya bisa membunuh caturku, karena aku hanya pandai main catur, apalagi permainan inipun sudah kalian mainkan sebelumnya, hakikatnya kau tidak mampu mencaplok biji-biji caturku.” Dengan tersenyum dia menjura hormat, lalu berjalan lenggang-kangkung lewat di samping Pho Ang-soat. Dia tahu Pho Ang-soat tidak akan membunuhnya, karena sedikit pun dia tidak bersiaga, siapa pun bisa membunuhnya, tapi Pho Ang-soat tidak termasuk “siapa pun”, Pho Ang-soat tetap Pho Ang-soat.

Yan Lam-hwi mengawasi dia berlalu, mendadak dia tertawa, katanya, “Agaknya langkahmu kali ini tidak meleset.”

“Tapi hari ini beruntun aku dikalahkan tiga babak,” ujar Ku Ki. “Dikalahkan Nyo Bu-ki?” tanya Yan Lam-hwi.

“Hanya dia yang dapat mengalahkan aku.” “Kenapa?”

“Karena main catur dia pun mirip membunuh manusia, tanpa pantangan, aku sebaliknya punya ganjalan hati, ada sesuatu yang kukuatirkan.”

“Apa yang kau kuatirkan?” “Aku kuatir kalah.”

Hanya orang yang takut kalah saja setiap main catur akan selalu kalah dengan penasaran, makin kuatir kalah makin sering kalah, semakin kalah semakin takut main.

Hanya orang yang hatinya diliputi ketakutan baru akan membunuh orang yang tidak pantas dibunuh, takut terhadap keadilan, takut terhadap kebenaran…..

*******************

Malam telah larut.

Malam selalu datang tanpa terasa, tabir malam tahu-tahu telah menyelimuti jagat raya.

Ku-ki beranjak keluar pintu, mendadak dia menoleh, katanya, “Kuanjurkan kalian tidak usah lama-lama di sini.”

“Di sini sudah tiada orang?” tanya Yan Lam-hwi. “Yang hidup sudah tiada, yang mati ditinggalkan.” “Kongsun To dan lain-lain tidak berada di sini?”

“Bahwasanya mereka tidak pernah kemari, karena mereka tergesa-gesa hendak pergi ke suatu tempat.” “Kemana?”

“Darimana tadi kalian datang, ke sanalah mereka pergi.”

Yan Lam-hwi masih ingin bertanya, dia sudah keluar pintu, Yan Lam-hwi mengejar keluar pintu, bayangannya sudah tidak kelihatan.

Terdengar suaranya berkumandang di kejauhan, “Konon di kala Merak mati, Bing-gwat-sim juga akan mengiringinya tenggelam, tenggelam ke dalam bumi, tenggelam ke lautan...”

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar