Peristiwa Bulu Merak Bab 09 : Satu Bacokan Mempertaruhkan Nyawa

 
Bab 09. Satu Bacokan Mempertaruhkan Nyawa

Keheningan mencekam, hanya terdengar hembusan angin lalu di pekarangan, pemuda yang sedang  membersihkan kuku jarinya tetap berdiri tidak memperlihatkan perubahan mimik mukanya, yang sedang main catur juga asyik dengan biji-biji caturnya, jangan kata melirik, mengangkat kepala pun tidak.

Bing-gwat-sim tidak sabar lagi, serunya, “Kedatangan kami bukan ingin menonton orang main catur.”

Kongsun To menjadi juru bicara mereka, katanya, “Aku tahu kalian mencari diriku, akulah yang mencuci bersih Khong-jiok-san-ceng dengan darah, kalian tidak salah mencariku.”

Jari tangan Bing-gwat-sim menggenggam kencang, kuku jarinya sudah amblas ke kulit dagingnya, katanya, “Dan mereka bertiga?”

Kongsun To tidak menjawab langsung, tapi dia memperkenalkan dulu pemuda yang sedang membersihkan kuku jarinya, “Inilah Si-bu Kongcu dari keluarga Siau di Lok-yang.” Seperti sengaja mau pamer, dia menjelaskan lebih terperinci, “Maksud dari Si-bu (empat tanpa) adalah pisau terbangnya tanpa tandingan, membunuh orang tanpa hitungan, bila sudah bermusuhan tanpa kenal belas kasihan.”

“Masih ada satu lagi, tanpa apa?”

“Umpama tidak bermusuhan juga tanpa kenal kasihan,” Kongsun To menjelaskan lebih lanjut, “dia masih punya julukan aneh yang cukup panjang yaitu, naik ke langit masuk ke bumi mencari Siau Li, bertekad bulat membunuh Yap Kay.”

Dahulu Li cilik si pisau terbang Li Sun-hoan pernah menggetarkan dunia, setiap kali pisau terbangnya disambitkan, selamanya tidak pernah ditimpukkan sia-sia, kebesaran jiwanya, kecemerlangan namanya, sampai sekarang belum ada orang yang bisa melampaui, Yap Kay memperoleh ajaran murninya, mewarisi kepandaianya, malang melintang di Bu-lim selama tiga puluh tahun, walau tidak pernah salah membunuh seorang pun, tapi tiada orang yang berani mengusiknya.

Bing-gwat-sim berkata, “Pemuda yang berdarah dingin ini bukan saja yakin dapat membunuh Yap Kay, malah dia pun ingin bertanding dengan Li Sun-hoan?”

“Agaknya memang demikian,” ujar Kongsun To. “Besar juga pambeknya,” ucap Bing-gwat-sim tertawa.

“Orang yang pambeknya besar, umumnya tidak berkecil hati.” “Agaknya memang demikian,” giliran Bing-gwat-sim mengiakan. “Sebetulnya keliru,” kata Kongsun To sambil tertawa.

Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Makin besar mulut kepandaiannya makin rendah, bukankah banyak orang-orang kerdil seperti itu di kalangan Kangouw?”

Gelak tawa Kongsun To seperti bernada mengadu domba, namun tawa Bing-gwat-sim justru bernada menantang, ucapannya itu sengaja dia lontarkan kepada Siau Si-bu.

Pemuda jumawa itu justru seperti tidak mendengar ucapannya, wajahnya tetap dingin kaku seperti tidak ambil peduli akan ocehan orang lain. Pisau di tangannya bergerak amat lamban, setiap gerakan dilakukan teramat hati-hati, seperti kuatir pisau yang tajam itu mengiris luka jari tangannya. Tangannya kelihatan bersih dan tenang, jari-jarinya tumbuh panjang terpelihara dan mantap.

Selamanya tidak pernah Pho Ang-soat memperhatikan tangan orang lain, sekarang dia justru sedang memperhatikan jari-jari orang, setiap gerakan jari orang diperhatikan dengan seksama. Mengiris dan membersihkan kuku bukan suatu yang menarik, tidak patut dibuat tontonan.

Tapi Siau Si-bu kelihatan menjadi tidak tenang karena diawasi, mendadak dia. berkata dingin, “Melihat orang mengiris kuku, mendingan kau melihat orang bermain catur.”

Kongsun To tertawa lebar, serunya, “Apalagi yang sedang bermain catur adalah juara catur di seluruh negeri periode tahun ini.”

Bing-gwat-sim mengedipkan mata, katanya, “Apakah Totiang ini pemilik Jik-yang-koan?”

Kongsun To seperti ingin mengadu domba pula, sengaja dia bertanya, “Dalam biara mana ada Toa-lopan (jurangan) segala?” Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Koancu (pemimpin biara) di dalam sebuah biara adalah Toa-lopan, mucikari adalah Toa-lopannya para pelacur. Nama Toa-lopan, siapa pun boleh saja menggunakannya.”

Tojin rambut putih sedang memegang sebuah biji catur, sebelum meletakkan biji caturnya, mendadak dia mengangkat kepala, tertawa kepadanya, katanya, “Betul aku adalah Toa-lopan tempat ini.”

Bing-gwat-sim tertawa manis, katanya, “Bagaimana dagangan di sini belakangan ini?”

“Ya, masih mending, cukup lumayan, sembarangan waktu selalu ada saja nyonya-nyonya pikun atau lelaki goblok bergerombol atau perseorangan yang datang bersembahyang di sini, tidak jarang mereka memberi derma untuk keperluan biara kami, terutama setiap hari raya di musim semi, wah, keuntungan yang masuk sungguh luar biasa,” nada bicaranya betul-betul mirip seorang juragan.

Bing-gwat-sim tertawa riang, katanya, “Toa-lopan umumnya memang suka berkelakar, suka humor, siapa nyana Toa-lopan yang satu ini juga amat jenaka.”

Tojin ubanan berkata, “Yah, aku ini memang seorang yang tidak punya pantangan.” Dia pun tertawa riang. Tawa Bing-gwat-sim justru mendadak seperti dipaksakan, “Tanpa pantangan? Toa-lopan, kau she apa?” “Aku she Nyo,” sahut Tojin ubanan.

“Nyo Bu-ki?” seru Bing-gwat-sim. “Agaknya benar.”

Bing-gwat-sim tidak bisa tertawa lagi. Dia tahu tentang orang ini.

Tiga puluh tahun yang lalu, Nyo Bu-ki pernah sejajar dengan Butong Ciangbun, dan ternama bersama Pa- san Tocu, sebagai salah satu dari Jit-toa-khiam-khek (tujuh jago besar ilmu pedang) tanpa aliran. Dia juga tahu empat kata pameo untuk menjuluki Tojin yang satu ini, pertama berbunyi 'tanpa pantangan' dan diakhiri dengan 'tanpa pantangan' pula. Jarang orang tahu keempat patah pameo itu. 'Tanpa pantangan, tertawa membunuh orang, kalau ingin membunuh orang, tanpa pantangan'.

Konon bila orang ini bersikap dingin kepadamu, dia malah menganggap kau sebagai sahabat, bila dia ramah-tamah dan tertawa sopan kepadamu, umumnya hanya ada satu maksud, yaitu dia hendak membunuhmu. Konon bila dia mau membunuh orang, bukan saja tanpa pantangan, peduli famili atau saudara kandung sendiri juga tidak terkecuali, umpama naik ke langit masuk ke bumi juga kau akan dikejar sampai jiwamu melayang.

Tadi dia sudah tertawa, sekarang juga masih tertawa. Lalu kapan dia siap turun tangan? Maka Bing-gwat- sim mengawasinya, sekejap pun tidak berani lena.

Tak nyana Nyo Bu-ki malah menoleh pula, “Tak”, biji catur yang dipegangnya itu ditaruh di papan catur, namun begitu biji catur itu dia taruh, lekas sekali dia mengebaskan lengan bajunya menyapu minggir semua biji-biji catur itu, serunya sambil menghela napas, “Kenyataan kau memang seorang juara, Pinto mengaku kalah saja.”

Lelaki setengah umur berbaju hijau dan berkaos putih berkata, “Permainan kali ini karena terpencar perhatianmu oleh gangguan orang, mana boleh mengaku kalah begitu saja?”

Nyo Bu-ki berkata, “Sekali salah langkah, seluruhnya berantakan, kenapa tidak boleh dianggap kalah?” Lalu dia menghela napas serta menambahkan, “Apalagi main catur seperti juga latihan pedang, pikiran harus konsentrasi, tidak boleh membagi perhatian, bila pikiran terpencar, mana boleh diagulkan sebagai jago kosen?”

Kongsun To tertawa, katanya, “Untunglah meski Totiang waktu main catur dapat diganggu konsentrasinya, namun di kala main pedang pasti akan penuh keyakinan.”

Nyo Bu-ki berkata tawar, “Syukurlah memang demikian, maka Pinto sampai sekarang masih dapat mencari hidup di dunia ini.”

Laki-laki baju hijau menghela napas, katanya, “Celakanya meski dalam bermain catur aku dapat mencurahkan seluruh perhatian, bila bertanding pedang justru pikiranku tidak keruan.”

Bing-gwat-sim bertanya, “Kau she apa?”

“Tidak boleh tahu, tidak boleh tahu,” kata orang baju hijau. “Kenapa tidak boleh dikatakan?” Bing-gwat-sim menegas. “Karena aku sebenarnya seorang keroco, aku hanya seorang kacung catur belaka.” “Kacung catur? Kacung catur siapa?”

Yan Lam-hwi tertawa, selanya, “Majikan kacung sudah tentu adalah Kongcu.”

Orang baju hijau itu seperti baru melihatnya, segera dia tertawa, katanya sambil menjura, “Kiranya Yan- kongcu.”

“Sayang aku bukan Kongcumu.”

“Apakah belakangan ini Kongcu masih sering bermain catur?”

“Menyelamatkan jiwa juga masih terburu-buru, mana ada tempo bermain catur?”

“Cayhe justru ingin main catur, jiwa pun boleh dikorbankan, buat apa harus melarikan diri?”

Yan Lam-hwi tertawa lebar, orang baju hijau tersenyum, ternyata kedua orang ini sebelumnya sudah kenal satu dengan yang lain. Kalau begini tampang si kacung, lalu orang macam apa pula sang majikan (Kongcu)?

“Apakah kongcumu belakangan ini masih sering main catur?” Yan Lam-hwi bertanya. “Sudah tidak pernah lagi.”

“Dia tidak main catur lagi, tentu bukan untuk menyelamatkan jiwa, sebaliknya dia menuntut jiwa orang lain.”

Orang baju hijau tertawa lebar, Yan Lam-hwi tersenyum, apakah orang yang mereka perbincangkan ini Kongcu Gi? Apakah Yan Lam-hwi dan Kongcu Gi sebetulnya juga teman?

Orang baju hijau menjura pula, katanya, “Silakan Kongcu duduk lagi, Cayhe mohon diri.” “Kenapa kau tidak duduk lagi?”

“Aku datang untuk main catur, bila catur tidak bisa dimainkan, buat apa aku tinggal?” “Buat membunuh orang?”

“Membunuh orang? Siapa yang mau membunuh orang?”

“Aku,” mendadak Yan Lam-hwi menarik muka, matanya menatap dingin kepada Kongsun To, “Orang yang ingin kubunuh adalah kau.”

Sedikitpun Kongsun To tidak merasa di luar dugaan, dia menghela napas malah, katanya, “Kenapa setiap orang ingin membunuh aku?”

“Karena terlalu banyak manusia yang jadi korban keganasanmu.”

“Orang yang ingin membunuh aku juga tidak sedikit, namun sampai sekarang aku masih hidup, masih segar bugar, masih panjang umur.”

“Ya kau sudah terlalui tua, mungkin hari inilah saat tibanya kematianmu.”

“Hari ini memang saat kematian, namun entah saat kematian siapa?” Kongsun To bicara dengan nada memelas, sikapnya tetap tenang, namun nada bicaranya mengandung hasutan, membakar amarah orang, membangkitkan emosi lawan, sengaja menyakiti hati orang. Mungkin karena dia pandai membawa diri dan berbuat demikian, maka sampai sekarang dia masih hidup. Atau mungkin pula dia seorang yang semestinya sudah mati puluhan kali, tapi tetap hidup, maka dalam menghadapi kematian dia tetap berlaku tenang dan tabah.

Jelas Yan Lam-hwi bukan tandingannya dalam hal ini, perlahan dia melolos pedang dari balik bajunya. Jong-hwi-kiam (Pedang mawar).

Pedang mawar adalah pedang lemas, biasanya melilit pinggang di dalam balik pakaiannya, sarung pedangnya yang juga lemas entah terbuat dari anyaman apa dan diwarnai dengan apa pula? Yang jelas warnanya juga merah, merah seperti sekuntum mawar merah yang mekar, merah laksana darah musuh.

Melihat pedang ini, terunjuk rasa kagum dan hormat Kongsun To dari sinar matanya, katanya, “Aku tahu tentang pedang ini, digembleng ratusan kali, ditempa ribuan kali pula, bisa lemas dapat kaku, senjata tajam yang jarang ada di dunia.”

“Aku juga tahu gantolanmu,” ucap Yan Lam-hwi. Cakar elang memang menakutkan, namun senjata elang yang paling ampuh justru bukan cakarnya, tapi paruhnya. Gantolan yang dipakai Kongsun To dinamakan paruh elang, entah bentuk, bobot dan cara penggunaannya jauh berbeda dengan gantolan yang sering terlihat di kalangan Kangouw.

Yan Lam-hwi tahu orang bersenjata paruh elang, namun dia belum pernah melihatnya. “Mana gantolanmu?” tanyanya.

Kongsun To tertawa, katanya, “Kapan kau pernah melihat seorang memetik kembang dengan gantolan?” “Memetik kembang?” Yan Lam-hwi menegas. “Apakah mawar bukan kembang?”

Orang baju hijau mendadak menyelutuk, “Jika kau ingin memetik mawar, maka jangan kau lupa kalau mawar ada durinya, bukan saja dapat menusuk tangan, juga dapat menusuk hati orang.”

Kongsun To berkata, “Aku sudah tidak punya hati untuk ditusuk.”

“Tapi tanganmu masih ada dan tanganmu boleh ditusuk,” orang baju hijau mendesak. “Kalau dia melukai tanganku, akan kulukai hatinya.”

“Dengan apa kau hendak melukai hatinya?” “Dengan orang.”

“Orang? Siapa?” “Co Giok-cin.”

“Jadi kalau dia melukai kau, kau akan membunuh Co Giok-cin?”

Kongsun To mengangguk, katanya, “Co Giok-cin tidak boleh mati, maka aku pun belum saatnya mampus, hanya dia saja yang boleh mati.”

Orang baju hijau berkata, “Dalam duel nanti, kau sudah menempatkan diri pada posisi yang tidak terkalahkan?”

“Memangnya perlu diragukan?” ujar Kongsun To sambil mengawasi Yan Lam-hwi dengan tersenyum, “Oleh karena itu sekarang kau harus mengerti, hari ini saat kematian siapa?”

“Saat kematianmu,” bentak Yan Lim-hwi, suaranya lebih dingin, “Orang mati takkan bisa membunuh orang, aku ingin mempertahankan jiwa Co Giok-cin, maka jiwamu harus melayang lebih dulu.”

Kongsun To menghela napas, katanya, “Agaknya kau belum jelas duduk persoalannya, karena tadi aku sudah mengucapkan sepatah kata, kau tidak mendengar.”

“Aku sudah mendengar,” orang baju hijau berkata. “Apa yang kukatakan?” tanya Kongsun To.

“Tadi kau bilang, begitu kau melihat darah, Co Giok-cin akan segera kau bunuh,” orang baju hijau menjelaskan. “Kepada siapa tadi aku bilang?”

“Aku tidak kenal siapa dia, hanya tahu kau memanggilnya Jari telunjuk.” “Dimana dia sekarang?”

“Sudah pergi membawa Co Giok-cin.” “Kemana mereka?”

“Aku tidak tahu.” “Siapa yang tahu?”

“Agaknya tiada yang tahu,” ujar orang baju hijau.

“Memang tiada seorang pun yang tahu,” Kongsun To tersenyum mengawasi Yan Lam-hwi. “Sekarang apakah kau sudah paham seluruhnya.”

Yan Lam-hwi mengangguk, ternyata sikapnya tetap tenang dan wajar. Maka Kongsun To bertanya, “Hari ini saat kematian siapa?”

“Saat kematianmu,” Yan Lam-hwi menjawab tegas. Kongsun To menggeleng kepala dengan tersenyum getir, “Agaknya bukan saja orang ini keras kepala, kukuh dan juga goblok, ternyata sejauh ini dia masih belum mengerti.”

“Kaulah yang belum mengerti, karena dihitung seribu kali, diulang selaksa kali, kau tetap melupakan satu hal.”

“Ah, apa begitu?”

“Kau lupa aku tidak boleh mati dan tidak ingin mati, apalagi jika aku mati, Co Giok-cin tetap tidak bisa tertolong, karena itu kenapa aku harus mandah kau bunuh? Kenapa tidak aku saja yang membunuhmu?”

Kongsun To melenggong, katanya kemudian, “Kalau kedua pihak sama-sama tidak boleh mati, coba katakan, lalu bagaimana baiknya?”

“Keluarkan gantolanmu, lawanlah pedangku, dalam sepuluh jurus, jika aku tidak bisa mengalahkan engkau, akan kuserahkan satu jiwa kepadamu.”

“Jiwa siapa?” “Jiwaku.”

“Bagus, kalau kau dapat mengalahkan aku, aku berikan berikan satu jiwa kepadamu?” “Sudah tentu, imbalan harus setimpal.”

“Jiwa siapa yang kau kehendaki? Jiwa Co Giok-cin?”

“Akan kusaksikan kau menyerahkan dia di hadapanku dengan laku hormat dan sopan.”

Kongsun To menepekur sebentar, lalu tanyanya kepada orang baju hijau, “Apakah perkataan ini langsung diucapkan oleh mulut Yan Lam-hwi?”

Orang baju hijau mengangguk sambil mengiakan. “Apakah Yan Lam-hwi seorang yang dapat dipercaya?” “Sepatah katanya senilai ribuan tahil emas, mati pun dia tidak menyesal.”

Tiba-tiba Kongsun To tertawa, tertawa lebar, “Sebenarnya obrolan panjang lebarku ini memang menunggu pernyataannya ini.” Ketika gelak tawanya terhenti, gantolan pun sudah berada di tangannya.

Gantolan yang mengkilap terang, seterang mata elang, setajam paruh elang, walau bobotnya cukup berat, namun gerak perubahannya teramat lincah dan enteng.

Kongsun To tersenyum, katanya, “Tahukah kau dimana kegunaan gantolanku ini?” “Coba terangkan,” tantang Yan Lam-hwi.

Kongsun To mengelus pucuk gantolannya yang runcing, katanya, “Walau bobot gantolan ini cukup berat, di dalam rumah juga dapat dimainkan secara wajar, entah bagaimana dengan pedangmu?”

“Jika aku terdesak keluar kamar ini, anggaplah aku yang kalah.”

Kongsun To tertawa lebar, serunya, “Bagus, tidak lekas kau cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?” “Tidak perlu.”

“Tidak perlu?”

“Pedang di dalam sarung juga dapat membunuh orang, lalu kenapa harus dicabut? Setelah tercabut, kemungkinan malah tidak bisa untuk membunuh orang.”

“Lho, kenapa?”

“Karena letak yang paling menakutkan dari pedang ini bukan pada mata pedangnya, tapi terletak pada sarung pedangnya.”

Kongsun To tidak mengerti, “Apakah sarung pedang lebih tajam dari mata pedang?”

Yan Lam-hwi mengelus sarung pedangnya yang merah, katanya, “Tahukah kau dengan apa aku mewarnai sarung pedangku ini?”

Kongsun To tidak tahu. “Dengan getah mawar darah.” Agaknya Kongsun To juga tidak tahu apa itu mawar darah, bahwasanya belum pernah dia mendengar jenis kembang ini.

Maka Yan Lam-hwi menerangkan, “Mawar darah adalah kembang mawar yang selalu kusiram dengan lima jenis darah beracun.”

“Lima jenis darah beracun? Jenis panca bisa apakah itu?”

“Jit-jun-im-coa, Pek-coat-bu-siong, Jian-lian-ham-hian, Jik-hwe-tok-koat.” “Dan satu lagi?”

“Satu lagi ialah darah dari durjana yang khianat.” Kali ini Kongsun To ternyata tidak bisa tertawa lagi.

Yan Lam-hwi berkata lebih lanjut, “Lima jenis kejahatan itulah yang akan ditumpas oleh pedang mawar, jika berhadapan dengan orang yang berbakti, pembesar setia, ksatria dan pahlawan bangsa, pedang ini justru tidak mampu dikembangkan.”

“Lalu perbawa sarung pedang?” tanya Kongsun To.

Yan Lam-hwi tidak menyangkal, “Bila berhadapan dengan kelima bisa, sukma kembang dari mawar darah akan hidup di atas pedang.” Dia menatap Kongsun To, lalu meneruskan, “Bila kau salah satu dari panca bisa itu, kau akan mencium suatu aroma wangi secara aneh, maka sukma kembang dari mawar darah secara di luar sadarmu akan mencabut sukmamu.”

Kongsun To tertawa lebar, codet bekas bacokan di mukanya tampak berkerut laksana ulat yang meringkel, seperti ular yang saling lilit.

“Kau tidak percaya?” Yan Lam-hwi mengancam.

“Kalau pedangmu ada sukma kembang, gantolanku juga ada.” “Ada apa?”

“Setan gentayangan perenggut sukma,” gelak tawanya berderai seram, wajahnya menyeringai sadis, “Entah berapa banyak setan gentayangan hasil gantolanku ini, kini seluruhnya sedang menunggu aku mencarikan korban pengganti mereka, supaya mereka lekas menitis kembali.”

“Aku percaya, aku pun bisa membayangkan, yang paling mereka harapkan untuk ditemukan adalah sukmamu.”

“Kenapa tidak segera kau turun tangan?” tantang Kongsun To. “Sekarang aku sudah turun tangan.”

Tawa Kongsun To seketika sirna, ular-ular di kulit mukanya itu seperti mendadak dicekik lehernya, dan sekali betot jiwanya seketika melayang.

Pedang Yan Lam-hwi memang sudah mulai bergerak, gerakannya amat lambat, gerakannya seperti membawa irama yang aneh menakjubkan, seolah-olah kelopak kembang mawar yang bertaburan ditiup angin musim semi.

Gerakan pedang ini bukan saja tidak tepat, juga tidak punya kecepatan yang menggiriskan, seluruhnya tidak memperlihatkan setitik pun perbawanya yang mampu membunuh jiwa orang.

Kongsun To tertawa dingin, gantolannya menyerang, serangannya cepat dan tepat. Pertempuran besar kecil menentukan mati-hidup selama beberapa tahun ini menjadikan dia menyederhanakan gantolannya, maka setiap kali menyerang dia yakin berhasil.

Tapi sekali ini, serangan gantolannya itu justru tergulung ke dalam irama pedang mawar yang mengandung nada aneh mengalun, seumpama kulit kerang yang tajam tergulung ombak dan tenggelam di dalam lautan. Bila ombak menyurut, maka perbawa serangannya pun sirna tak berbekas. Maka hidungnya lantas mengendus serangkum bau wangi yang magis, pandangannya mendadak berubah serba merah segar, kecuali warna merah yang menyala itu, tiada warna lain, seperti tabir merah yang mendadak terbentang di depan matanya.

Jantungnya bergetar, dengan gantolan di tangan, dia menyingkap tabir merah itu, lalu menusuknya agar berlubang bolong, namun reaksinya sudah terlalu lamban, gerakannya berat. Ketika tabir merah itu sirna, pedang mawar sudah mengancam tenggorokannya. Baru sekarang dia merasa tenggorokannya mendadak kering, mulutnya getir, rasa letih juga merangsang sekujur badan, begitu lelahnya sampai badan lemas dan hampir muntah-muntah.

“Trang”, gantolannya jatuh di tanah.

Nyo Bu-ki menarik napas panjang, jelas barusan dia pun seperti mengalami sendiri apa yang dirasakan oleh Kongsun To, akan tekanan misterius yang terpancar dari pedang mawar. Empat puluh tahun dia belajar dan meyakinkan pedang, ternyata tidak tahu dan tak mampu melihat jelas ilmu pedang apa yang dikembangkan Yan Lam-hwi.

Orang baju putih juga menghembus napas pendek, gumamnya, “Inikah Sin-kiam (pedang hati)? Betul-betul tumbuh sukma kembang di atas pedang?”

Yan Lam-hwi berkata, “Belum lagi tumbuh, hanya siuman sekilas saja,” ujar Yan Lam-hwi. “Jika betul-betul tumbuh?” tanya orang baju hijau.

Sikap Yan Lam-hwi tampak serius, katanya perlahan, “Sukma kembang hidup, keinginan pun pasti tercapai, umpama harus mati, aku pun boleh berlega hati.”

Orang baju hijau berkata, “Bila sukma kembang tumbuh, pasti ada orang mati?” “Ya, pasti mati.”

“Siapa yang mati?”

“Sedikitnya ada dua orang, yang satu aku, seorang lagi adalah dia tidak melanjutkan, orang baju hijau juga tidak mendesak.

Kedua orang ini mendadak menampilkan rona aneh di muka mereka, mendadak keduanya tertawa bersama.

Yan Lam-hwi tertawa gembira, pedang mawar tetap mengancam tenggorokan Kongsun To, dia tahu, segera dia akan bertemu dan melihat Co Ciok-cin.

“Siapkan kereta dan kedua, suruh orangmu mengantar nona Co naik kereta, lalu antar kami keluar.” Syarat yang diajukan diterima oleh Kongsun To.

Dengan tersenyum lebar Bing-gwat-sim berdiri, dalam hati dia menghela napas, syukur sekali mereka tidak gagal.

Siau Si-bu tetap membersihkan kuku jarinya, jari-jari tangannya tetap tenang, tidak goyah, sorot matanya yang semula dingin ternyata sudah menampilkan rasa gelisah.

Karena Pho Ang-soat terus mengawasinya, di waktu Yan Lam-hwi bergebrak, sorot matanya tidak berkedip, berpaling pun tidak. Kecuali sepasang tangan pemuda ini, seolah-olah tiada sesuatu persoalan di dunia ini yang patut dipandangnya.

Otot hijau sudah merongkol di punggung tangan Siau Si-bu, seakan-akan dia sudah mengerahkan banyak tenaga baru mempertahankan ketenangan kedua tangannya itu. Gerak-geriknya masih lamban, gayanya pun tidak berubah, bisa berbuat seperti apa yang dilakukan sekarang sebetulnya juga bukan soal sepele.

Mendadak Pho Ang-soat berkata, “Tanganmu amat tenang dan mantap.”

“Selamanya tidak pernah goyah,” tawar suara Siau Si-bu. “Gerakanmu pasti juga cepat, dan lagi begitu pisau lepas dari tangan, kemampuan pisau itu sendiri masih mengandung perubahan.”

“Kau bisa melihatnya?”

“Kulihat kau melempar pisau dengan tiga jari tanganmu, maka di atas mata pisaumu itu kau tinggalkan tenaga pusaran, aku juga dapat melihat kau melempar pisau dengan tangan kiri mengarah ke samping baru menyerang sasaran.”

“Bagaimana kau bisa melihatnya?”

“Ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah tangan kirimu amat besar tenaganya.”

“Pandangan tajam, patut dipuji,” dingin nada Siau Si-bu, namun wajahnya tampak kelam. “Pisau bagus,” puji Pho Ang-soat.

“Memang pisau bagus,” jumawa sikap Siau Si-bu. “Walau pisaumu bagus, tapi masih bukan tandingan Yap Kay.” Gerak-gerik Siau Si-bu mendadak berhenti.

Akhirnya Pho Ang-soat pun berdiri, katanya, “Bila pisau terbang Yap Kay disambitkan, di dunia ini paling hanya seorang yang dapat menggagalkannya.”

Merongkol pula otot di punggung tangan Siau Si-bu, desisnya tajam, “Bagaimana pisauku?”

Tawar suara Pho Ang-soat, “Dalam rumah ini sedikitnya ada tiga orang yang dapat menggagalkan serangan pisaumu.”

“Kau salah satu di antaranya?”

“Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?” tegas jawaban Pho Ang-soat, perlahan dia membalik badan, tanpa berpaling dia beranjak keluar.

Siau Si-bu mengawasi dia keluar, ternyata dia tidak bergerak, juga tidak bicara. Pisau masih berada di tangan, namun pisaunya pasti tidak sembarangan disambitkan.

Dia tertawa dingin sambil mengawasi tapak kaki di atas tanah.

Tapak yang ditinggalkan kaki Pho Ang-soat cukup dalam, waktu dia melangkah keluar dari pintu itu, seluruh kekuatan badannya telah terpusatkan. Karena dia harus memusatkan seluruh tenaganya, bersiap menyambut timpukan pisau Siau Si-bu, tapi pisau Siau Si-bu tidak disambitkan.

Ketika Pho Ang-soat berada di luar pintu, dia menengadah menghela napas panjang, kelihatannya dia amat kecewa, bukan saja kecewa, juga mendelu.

Mendadak disadarinya bahwa pemuda ini jauh lebih menakutkan dari musuh mana pun yang pernah dihadapinya. Tadi dia sudah tahu gaya mempermainkan pisau orang, maka dia memancingnya supaya pemuda ini turun tangan. Kalau sekarang dia turun tangan, dia yakin dirinya masih mampu menyambut serangannya.

Siapa tahu ketenangan pemuda ini ternyata jauh lebih mantap dari pisau di tangannya itu, lebih menakutkan pula.

“Tiga tahun lagi, bila dia turun tangan, apakah aku masih mampu menyambut serangannya?” batin Pho Ang-soat.

Di depan berkumandang ringkik kuda, pekarangan kecil ini masih dalam suasana tenang, mendadak gemuruh emosi Pho Ang-soat, ingin rasanya dia berbalik membunuh pemuda itu. Tapi dia tidak berpaling, perlahan dia melangkah keluar.

Yang berjalan paling depan adalah Yan Lam-hwi dan Kongsun To, pedang mawar masih mengancam tenggorokan Kongsun To, Yan Lam-hwi menghadap, ke arahnya, selangkah demi selangkah mundur ke belakang.

Kongsun To justru tidak mau berhadapan muka, matanya dipejamkan, keadaannya seperti seorang yang menggiring si buta dengan sebatang bambu.

Tapi si buta yang satu ini sungguh amat berbahaya, sedikit lena pun tidak boleh, karena sekilas saja akibatnya bisa fatal, maka dia tidak boleh mengendorkan kewaspadaan.

Yang terakhir keluar dari kamar semadi adalah Bing-gwat-sim, baru saja hendak mempercepat langkah menyusul Pho Ang-soat, mendadak Nyo Bu-ki muncul di sampingnya, katanya, “Tahukah kau tempat apa di belakang tembok itu?” Bing-gwat-sim menggeleng.

Nyo Bu-ki tertawa, katanya, “Segera juga kau akan tahu.” Melihat orang ini tertawa, tangan Bing-gwat-sim berkeringat dingin.

Nyo Bu-ki malah menyurut mundur, dengan tersenyum dia mengangguk, pada saat itulah dari balik tembok pendek sana sekaligus muncul sembilan orang. Sembilan orang tiga belas jenis Am-gi, setiap jenis sedikitnya ada tiga buah, suara jepretan gendewa atau bekerjanya alat-alat rahasia seperti berpadu, tiga puluhan bintik sinar dingin selebat hujan memberondong datang.

Reaksi Bing-gwat-sim tidak lamban, begitu jepretan gendewa berbunyi, dia pun sudah mengembangkan Ginkangnya. Tabir cahaya golok datang laksana kilat cepatnya telah membantu merontokkan sebagian besar Am-gi yang menyerang. Bing-gwat-sim kembangkan gerakannya berkelit ke kiri, sehingga sisa Am-gi yang masih menyambar tiada yang mengenai tubuhnya, baru saja dia menghela napas lega, sebilah pedang tahu-tahu sudah menusuk ketiak kanannya, hampir dia tidak merasakan sakit sama sekali.

Mata pedang dingin dan runcing, dia hanya merasa tubuhnya mendadak menjadi dingin, dilihatnya Pho Ang-soat yang pucat itu mendadak menampilkan mimik yang aneh dan lucu, mendadak tangannya diulur menarik dirinya. Kejap lain dia sudah jatuh ke dalam pelukan Pho Ang-soat.

Nyo Bu-ki menggunakan sebatang pedang Siong-bun-ko-kiam, pedangnya itu sekarang sudah terlolos dari sarungnya, ujung pedang masih meneteskan darah. Matanya menatap darah di ujung pedangnya, wajahnya mendadak berubah tidak berekspresi sama sekali.

Sekali sergap pasti kena.

Dia sudah memperhitungkan bahwa Pho Ang-soat pasti mencabut golok sudah diperhitungkan ke arah mana Bing-gwat-sim akan menyingkir, maka di sanalah pedangnya sudah menunggu, setiap gerakan, setiap posisi yang paling ruwet sekalipun sudah berada dalam perhitungannya yang cermat, dia sudah memperhitungkan satu kali tusuk pasti kena.

Sembilan orang yang barusan muncul dari balik tembok pendek kini sudah tidak kelihatan lagi, Pho Ang- soat tidak mengejar mereka, hanya memandang dingin kepada Nyo Bu-ki.

Yan Lam-hwi juga sudah berhenti, tangannya yang memegang pedang tampak gemetar.

Mendadak Nyo Bu-ki berkata, “Lebih baik kau berhati-hati, jangan kau melukainya, jika dia mati, Co Giok- cin juga pasti akan mati.”

Yan Lam-hwi mengertak gigi, desisnya, “Kau ini seorang jago pedang yang kenamaan, tempat ini adalah biara tetirahmu, dengan cara keji dan kotor kau membokong serta melukai seorang perempuan, sebetulnya kau ini barang apa?”

Tawar suara Nyo Bu-ki, “Aku adalah Nyo Bu-ki, aku ingin membunuhnya.”

Orang baju hijau berdiri jauh di samping pintu kamar semadi, katanya setelah menghela napas, “Jika ingin membunuh orang, selalu tanpa pantangan, Nyo Bu-ki ternyata memang Nyo Bu-ki.”

Kata Nyo Bu-ki pula, “Kalau sekarang aku tidak membunuhnya, kesempatan baik ini terabaikan begini saja, kelak mungkin tiada kesempatan kedua.”

Pho Ang-soat menatapnya, satu tangan menggenggam golok, tangan yang lain memeluk Bing-gwat-sim yang pingsan, terasa olehnya badan Bing-gwat-sim sudah mulai dingin.

“Kalian ingin menuntut balas kematiannya?” Nyo Bu-ki menantang.

Sepatah kata pun Pho Ang-soat tidak bicara, dia mulai mundur ke belakang.

Yan Lam-hwi mengawasi Bing-gwat-sim dalam pelukan Pho Ang-soat, lalu menatap Kongsun To yang terancam di ujung pedangnya.

Kongsun To tetap memejamkan mata, mukanya yang penuh codet mirip selembar topeng. Mendadak Yan Lam-hwi juga mulai mundur.

Ternyata Nyo Bu-ki tidak merasa heran, katanya tawar, “Kereta kuda sudah disiapkan, Co Giok-cin sudah menunggu di atas kereta, semoga kalian selamat sepanjang jalan.”

Yan Lam-hwi berseru, “Kau tidak kuatir setelah naik kereta aku akan membunuh Kongsun To?”

Nyo Bu-ki berkata, “Kenapa aku harus takut? Mati hidup Kongsun To ada sangkut-paut apa dengan  diriku?” Mendadak dia membalik tubuh terus beranjak ke arah kamar semadi, waktu tiba di depan pintu dia menarik orang baju hijau, katanya pula, “Hayolah kita bermain catur lagi.”

Orang baju hijau segera mengangguk, katanya sambil tersenyum, “Aku kemari memang ingin main catur.” Kereta kuda memang sudah lengkap tersedia.

Seorang nyonya muda yang hamil, tengah duduk di pojok sambil menunduk sesenggukan.

Pho Ang-soat membawa Bing-gwat-sim naik ke atas kereta, pedang mawar masih mengancam tenggorokan Kongsun To. “Buka matamu,” hardik Yan Lam-hwi beringas. Kongsun To segera membuka mata.

Yan Lam-hwi menatapnya, katanya penuh kebencian, “Sebetulnya ingin aku membunuhmu.”

“Tapi kau tidak akan turun tangan,” kalem suara Kongsun To, “karena kau adalah Yan Lam-hwi yang boleh dipercaya.”

Lama Yan Lam-hwi menatapnya pula, mendadak kakinya melayang menendang perutnya.

“Huk”, Kongsun To segera meliuk badan, perlahan badannya menjungkir roboh seperti udang kepanasan. Air mata, ingus dan keringat dingin bercucuran bersama.

Tanpa memandangnya lagi Yan Lam-hwi berputar menghadap sais kereta, katanya, “Lajukan kereta ke depan, sekejap pun tidak boleh berhenti, jika kau berani main gila, jangan kau lupa bahwa pedangku berada di belakangmu.”

Kabin kereta besar dan luas, tempat duduknya juga empuk, sais yang pegang kendali juga ahli pada bidangnya, kereta kuda ini memang cukup menyenangkan, siapa pun yang duduk di dalam kereta ini akan merasa nyaman, tapi sekarang mereka yang berada di dalam kereta tiada yang merasa gembira.

Mendadak Pho Ang-soat berkata, “Seharusnya aku sudah membunuh Siau Si-bu.”

“Tapi kau tidak turun tangan,” kata Yan Lam-hwi. “Karena aku agak kuatir, maka “Maka kau terlambat.”

Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Kalau mau membunuh orang, tanpa pantangan kesempatan diabaikan, selamanya takkan kembali pula.” Perkataannya perlahan, setiap patah katanya seperti dikunyah lebih dulu.

Lama Yan Lam-hwi menepekur, baru kemudian dia berkata, “Kesempatanku untuk membunuh Kongsun To mungkin juga susah kucari lagi.”

“Untung Bing-gwat-sim belum mati, nona Co juga selamat tidak kurang apa-apa.”

Co Giok-cin yang duduk di pojok tiba-tiba menyeka air mata, menatapnya, lalu berkata, “Kau inikah Pho Ang-soat?”

Pho Ang-soat manggut-manggut.

Co Giok-cin terharu, “Aku belum pernah melihatmu, tapi sering kudengar Jiu ... Jiu-toako bicara tentang dirimu, dia sering bilang kau adalah teman satu-satunya yang dapat dipercaya, dia pun sering bilang

“Bilang apa?”

“Selalu dia berpesan wanti-wanti, bila aku tertimpa suatu bencana di saat dia tidak mampu melindungi diriku, aku disuruh mencarimu, maka wajahmu dia lukiskan amat terperinci.” Kepalanya tertunduk serta terisak lagi, “Yang tidak terduga, sekarang aku masih hidup, dia malah Sampai di sini isak tangisnya makin keras, lalu mendekam di tempat duduk dan menangis tergerung-gerung.

Dia seorang perempuan cantik, kecantikannya termasuk anggun, lembut dan lemah, perempuan jenis  inilah yang gampang menarik belas kasihan orang lain. Walaupun Bing-gwat-sim pintar dan keras hati, kalau Pho Ang-soat tidak segera menutuk Hiat-tonya mencegah darah mengalir terlalu banyak, sekarang mungkin jiwanya sudah melayang.

Mengawasi mereka, Yan Lam-hwi menghela napas, “Apa pun yang terjadi, jelek-jelek kita sudah bekerja sekuat tenaga sebagai

pertanggungan jawab kita kepada Jiu-cengcu.”

“Tiada pertanggungan jawab,” tiba-tiba Pho Ang-soat berkata. “Tiada?” Yan Lam-hwi berteriak setengah tidak percaya.

Setajam pisau Pho Ang-soat menatap perempuan di sampingnya, suaranya dingin, “Nona ini bukan Co Giok-cin, pasti bukan.”

*******************

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar