Peristiwa Bulu Merak Bab 08 : Khong-Jiok-San-Ceng

 
Bab 08. Khong-Jiok-San-Ceng

Wajah manusia memangnya juga sebuah topeng, topeng yang mudah berubah menyesuaikan situasi dari yang empunya.

Siapa pula yang dapat menebak rahasia yang terbenam di dalam sanubari orang dari mimik mukanya? Adakah topeng yang benar-benar bagus sebagus wajah manusia? Manusia yang punya kedudukan makin tinggi yang terpandang dan diagungkan, dengan adanya topeng yang dikenakan di wajahnya justru makin sukar orang melihatnya.

Waktu berhadapan dengan Jiu Cui-jing, dalam hati Bing-gwat-sim bertanya kepada diri sendiri, “Topeng macam apakah yang dikenakan di mukanya?”

Peduli topeng apa yang dipakainya, bahwa majikan Khong-jiok-san-ceng sendiri keluar menyambut kedatangan mereka, betapapun adalah suatu hal yang menggembirakan.

Bulu merak yang indah, Khong-jiok-san-ceng nan megah.

Gentingnya berwarna hijau pupus, ditimpa sinar mentari menjelang magrib kelihatan lebih mengkilap laksana zamrud, undakan panjang yang bersusun seindah batu jade masuk melalui tembok-tembok tinggi laksana emas, tempat ini seolah-olah tersusun dari kepingan-kepingan mutiara atau permata lainnya.

Di bawah pohon dalam taman, beberapa ekor merak sedang mondar-mandir, di tengah empang angsa sedang berenang santai. Beberapa gadis berpakaian kain kembang warna-warni berjalan-jalan di atas rerumputan yang empuk, menghilang di tengah gerombolan kembang, lenyap ditelan keindahan taman yang berwarna-warni.

Hembusan angin membawa bau harum yang memabukkan, di kejauhan seperti ada seorang meniup seruling, mayapada ini seperti diliputi kedamaian.

Tiga lapis pintu besar di luar maupun di dalam perkampungan terpentang lebar, tiada seorang pun yang menjaganya. Jiu Cui-jing berdiri di undakan terbawah di depan pintu, mengawasi Pho Ang-soat dengan tenang. Dia seorang yang serba hati-hati, serba kolot, bicara atau bekerja pantang membocorkan rahasia, umpama hatinya amat senang, juga tidak pernah diperlihatkan di wajahnya.

Melihat kedatangan Pho Ang-soat, dia hanya tertawa tawar, sapanya, “Aku tidak menduga kau bakal kemari, tapi kedatanganmu memang kebetulan.”

“Kenapa kebetulan?” tanya Pho Ang-soat.

“Malam ini tempat ini akan kedatangan tamu, kebetulan bukan tamu sembarangan.” “Siapa?”

“Kongcu Gi.”

Pho Ang-sot mengancing mulut, wajahnya tidak menampilkan perubahan perasaan, demikian pula Bing- gwat-sim ternyata juga adem-ayem.

Jiu Cui-jing meliriknya sekali lalu mengawasi Yan Lam-hwi yang digotong masuk. “Mereka ini temanmu?” tanyanya.

Pho Ang-soat tidak menjawab, tapi juga tidak menyangkal. Bahwasanya mereka kawan atau lawan? Mereka sendiri pun sukar membedakan.

Ternyata Jiu Cui-jing juga tidak banyak bertanya, sedikit miringkan tubuh dia berkata, “Silakan, silakan masuk.”

Dua orang menggotong Yan Lam-hwi menaiki undakan panjang, Bing-gwat-sim mengikut di belakang, tiba- tiba dia berhenti menatap Jiu Cui-jing, katanya, “Kenapa Cengcu tidak bertanya untuk apa kami kemari?”

Jiu Cui-jing menggeleng kepala. Kalau kalian adalah teman Pho Ang-soat, maka aku tidak perlu bertanya, kalau tidak mau bertanya, maka tak usah buka mulut. Biasanya dia memang tidak suka berbicara.

Bing-gwat-sim justru tidak mau menutup mulut, katanya, “Umpama Cengcu tidak bertanya, akulah yang akan menerangkan.”

Karena dia bicara, terpaksa Jiu Cui-jing mendengarkan.

“Kedatangan kami kemari, pertama, untuk menyembunyikan diri dari bencana, kedua, mohon pengobatan, entah Cengcu sudi tidak memeriksa dulu penyakitnya?”

Akhirnya Jiu Cui-jing bertanya, “Penyakit apa?” “Penyakit hati.”

Jiu Cui-jing mendadak menoleh dan menatapnya, “Sakit hati hanya dapat disembuhkan dengan kebatinan.” “Aku tahu

Baru dua patah kata terucap dari mulut Bing-gwat-sim, Yan Lam-hwi yang berada di atas gotongan mendadak melompat bangun terus menerjang dengan kecepatan kilat. Demikian pula Bing-gwat-sim pun turun tangan.

Seorang berdiri di depan Jiu Cui-jing yang lain berdiri di belakangnya, jadi dari depan dan belakang menyergap, sekali turun tangan jalan mundur Jiu Cui-jing telah dicegatnya buntu. Bahwasanya tiada jurus silat apa pun di dunia ini yang serba sempurna, namun sergapan kedua orang ini justru amat sempurna, amat tepat dan telak. Tiada seorang pun yang mampu melawan atau menyingkir, bahwasanya tiada seorang pun yang mengira bahwa mereka mendadak bakal menyergap.

Gerakan mereka sudah menjamin bahwa sergapan ini tak lain merupakan suatu rencana yang  sudah dipikir masak-masak dan teliti, sergapan itu sendiri pasti juga sudah dilatih bersama berulangkali sehingga mahir betul.

Oleh karena itu majikan Khong-jiok-san-ceng yang menggetar dunia ini tak memiliki kesempatan untuk bergerak, tahu-tahu sudah dibekuk di depan pintu gerbang rumah sendiri. Hanya dalam sekejap mata mereka sudah menutuk delapan Hiat-to penting di sendi tulang antara kedua lengan dan kakinya.

Jiu Cui-jing juga tidak terjungkal jatuh, karena mereka memapahnya berdiri. Walau tubuhnya kaku mengejang, sikapnya ternyata masih tenang, orang yang masih bisa bersikap setenang ini dalam keadaan seperti ini, dicari di seluruh pelosok dunia juga sukar menemukan sepuluh orang. Sergapan mereka berhasil gemilang namun telapak tangan Bing-gwat-sim berkeringat dingin, perlahan dia menghembuskan napas, lalu melanjutkan perkataannya yang belum selesai tadi, “Karena aku juga tahu cara pengobatan seperti apa yang kau ucapkan tadi, maka kami kemari mencarimu.”

Ternyata melirik pun Jiu Cui-jing tidak ke arahnya, matanya mantap dingin ke arah Pho Ang-soat. Pho Ang-soat sendiri juga diam tidak menunjukkan reaksi.

“Kau tahu untuk apa mereka kemari?” tanya Jiu Cui-jing. Pho Ang-soat menggeleng kepala.

“Tapi kau justru membawa mereka kemari.”

“Karena aku juga ingin melihat untuk apakah sebetulnya mereka kemari.”

Hanya beberapa patah tanya jawab ini, suasana yang semula diliputi kedamaian di dalam taman ini seketika berubah diliputi hawa membunuh. Hawa membunuh yang keluar dari empat puluh sembilan batang pedang dan golok, bayangan pedang dan golok tampak bergerak, namun orangnya tiada yang bergeming. Kalau Cengcu mereka sudah dibekuk musuh, dijadikan sandera, siapa berani bertindak secara gegabah.

Tiba-tiba Jiu Cui-jing menghela napas, katanya; “Yan Lam-hwi, Yan Lam-hwi, kenapa kau melakukan perbuatan ini?”

Di luar dugaan Yan Lam-hwi melengak, katanya, “Kau sudah tahu siapa diriku?”

“Delapan puluh li daerah sekitar perkampungan merupakan daerah terlarang perkampungan merak, begitu kau memasuki daerah terlarang, aku lantas tahu asal-usul dan riwayatmu.”

Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Kelihatannya Khong-jiok-san-ceng memang bukan tempat yang boleh sembarangan dibuat mondar-mandir.”

“Karena aku tahu jelas seluk-belukmu, maka kau bertindak.” “Kau tidak menduga, bukan?”

“Sesungguhnya memang tidak kuduga.”

“Sebenarnya aku sendiri tidak menduga,” ucap Yan Lam-hwi tertawa getir.

Lekas Bing-gwat-sim menimbrung, “Soalnya juga terpaksa, penyakitnya memang cukup parah.” “Aku punya obat untuk menyembuhkan dia?” tanya Jiu Cui-jing.

“Kau punya, hanya kau yang punya,” sahut Bing-gwat-sim. “Obat apakah itu?”

“Sebuah rahasia.” “Rahasia? Rahasia apa?” “Rahasia Bulu merak.”

Terkancing mulut Jiu Cui-jing.

“Bukan maksud kami hendak mengancam dan menekan kau, kami hanya ingin barter.” “Dengan apa kau hendak barter?”

“Juga sebuah rahasia, rahasia tentang Bulu merak.”

*******************

Malam telah tiba, lampu pun menyala.

Rumah itu amat tenang dan bersih serba rapi, ini menandakan bahwa Jiu Cui-jing seorang pengagum seni, seni dekorasi, perabotnya serba antik dan mewah. Sayang sekali para tamunya ini tiada yang punya hasrat menikmati dekorasi rumahnya yang megah ini. Begitu masuk rumah, Bing-gwat-sim lantas bicara ke titik persoalan, “Sebenarnya aku juga tahu, Khong- jiok-ling (bulu merak) sudah hilang sejak moyangmu pada generasi Jiu Hong-go.”

Inipun sebuah rahasia, rahasia yang tidak diketahui oleh insan persilatan mana pun di dunia ini. Pertama kali melihat Jiu Cui-jing terkesiap, katanya, “Darimana kau tahu?”

Bing-gwat-sim berkata, “Karena Jiu Hong-go pernah membawa sketsa gambar Khong-jiok-ling mencari seorang, minta bantuannya untuk membikin sebuah Khong-jiok-ling.”

Sketsa gambar Khong-jiok-ling itu sendiri juga merupakan suatu rahasia, karena dalam sketsa itu dilukiskan bentuk dan rahasia pembuatan Khong-jiok-ling.

Tiada orang tahu Khong-jiok-ling ada lebih dulu atau sketsa gambar merak itu ada lebih dulu? Tapi siapa pun akan berpendapat dengan adanya sketsa gambar merak itu, dengan mudah akan bisa dibuat pula sebuah atau berapa saja yang dikehendaki Khong-jiok-ling yang sama.

“Tapi cara berpikir demikian sebetulnya keliru,” ujar Bing-gwat-sim. “Darimana kau tahu kalau cara berpikir begitu salah?”

“Menciptakan Am-gi yang menggunakan peralatan rahasia merupakan ilmu yang rumit, tinggi dan mendalam. Bukan saja penciptanya harus mempunyai jari-jari tangan yang tahu cara bagaimana mencampur kadar logam dan seluk-beluk tentang Am-gi yang akan dibuatnya.”

“Yang dicari Jiu Hong-go sudah tentu adalah seorang pandai besi yang ahli, malah pandai besi nomor satu di jagat ini,” ujar Bing-gwat-sim.

Jiu Cui-jing berkata, “Pandai besi nomor satu sejagat pada masa itu, konon justru seorang perempuan, yaitu Ji-hujin dari keluarga Tong dari Sujwan.

“Racun dan Am-gi keluarga Tong konon sudah menjagoi dunia selama empat ratus tahun, kepandaiannya sudah menjadi tradisi yang diturunkan kepada menantu, tidak kepada putri kandung sendiri. Ji-hujin adalah menantu tertua keluarga Tong masa itu, karya sulamannya dan buatan Am-ginya waktu itu diagulkan sebagai kepandaian tunggal yang tiada taranya, maka waktu itu dia dijuluki Siang-coat.”

Bing-gwat-sim berkata, “Namun Ji-hujin berjerih-payah selama enam tahun hingga rambut kepalanya pun ubanan karena terlalu banyak memeras otak, namun tidak mampu dia membikin sebuah Khong-jiok-ling yang mirip aslinya.”

Jiu Cui-jing mengawasinya, menunggu ceritanya lebih lanjut.

Bing-gwat-sim mengeluarkan sebuah bumbung bundar mengkilap kuning emas, lalu melanjutkan, “Selama enam tahun, walau dia berhasil membuat empat pasang Khong-jiok-ling, luarnya dan susunan peralatan di dalamnya meski mirip dengan gambar aslinya, sayang sekali hasil karyanya itu tidak digdaya seperti Khong-jiok-ling yang tulen, karena Khong-jiok-ling yang tulen mempunyai kekuatan hebat yang tidak mungkin bisa diterima oleh nalar manusia lumrah, kekuatan magis.”

“Itukah salah satu di antaranya?” tanya Jiu Cui-jing mengawasi bumbung kuning di tangan Bing-gwat-sim. Bing-gwat-sim mengangguk sambil mengiakan.

“Belakangan ini di kalangan Kangouw muncul seorang yang menamakan diri Merak.” “Bulu merak miliknya itu juga salah satu di antaranya.”

“Kaukah yang memberikan kepadanya?”

“Secara tidak langsung kuberikan kepadanya, namun secara kebetulan saja kubiarkan dia menemukan.” “Karena kau sengaja supaya orang-orang Kangouw tahu rahasia tentang hilangnya bulu merak itu.” Bing-gwat-sim mengaku.

Jika Khong-jiok-ling muncul di tangan orang, sudah tentu bulu merak itu sudah tidak berada di perkampungan merak pula. “Kenapa kau berbuat demikian?” tanya Jiu Cui-jing. “Karena sejak mula aku curiga akan satu hal.”

“Hal apa yang kau curigai?”

“Bulu merak merupakan urat jantung kehidupan, kejayaan perkampungan merak, para Cengcu Khong-jiok- san-ceng turun-temurun beberapa generasi semuanya adalah orang teliti, tabah dan cakap, maka…….” “Maka kau tidak percaya bahwa Khong-jiok-ling itu hilang.”

Bing-gwat-sim mengangguk, “Konon bulu merak itu hilang dari tangan Jiu It-hong, ayah kandung Jiu Hong- go, Jiu It-hong berbakat besar, berilmu tinggi serba pandai, bagaimana mungkin dia melakukan kecerobohan yang berakibat fatal ini? Dia sengaja berbuat demikian, mungkin hanya untuk menguji sampai dimana taraf reaksi putranya.”

Walau analisanya masuk akal, namun tak mungkin bisa dibuktikan. Maka dia berkata lebih lanjut, “Sengaja aku membocorkan rahasia ini, supaya musuh-musuh Khong-jiok-san-ceng yang sudah turun-temurun itu berlomba datang menyerbu kemari.”

“Yang datang tetap tiada yang bisa hidup dan keluar dari sini,” dingin suara Jiu Cui-jing, bangga namun juga sinis.

“Oleh karana itu aku yakin bahwa dugaanku tidak meleset, Khong-jiok-ling pasti masih berada di tanganmu.”

Jiu Cui-jing tutup mulut, namun sepasang matanya setajam mata burung elang menatap wajah Bing-gwat- sim.

Bing-gwat-sim segera menambahkan, “Kemudian Jiu Hong-go tidak menemui Ji-hujin lagi, karena dia sudah menemukan pula Khong-jiok-ling yang asli.”

Lama Jiu Cui-jing menepekur, katanya kemudian perlahan, “Semestinya dia tidak perlu menemui Ji-hujin.”

“Tapi Jiu Hong-go percaya kepada Ji-hujin, sebelum Ji-hujin menikah, mereka sudah lama berhubungan sebagai kawan.”

Jiu Cui-jing tertawa dingin, jengeknya, “Memang tidak sedikit orang yang mau menjual kawan sendiri dalam dunia ini.”

“Tapi Ji-hujin tidak mengingkari persahabatan mereka, kecuali beberapa tertua dari keluarga Tong yang lurus, tiada orang lain tahu akan rahsia ini.”

Makin mencorong cahaya mata Jiu Cui-jing, katanya, “Dan kau? Pernah apa pula kau dengan keluarga Tong?”

Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Waktu aku membeberkan rahasia ini, memang aku sudah siap membeber pula rahasia diriku.” Lalu perlahan dia menyambung, “Aku adalah putri sulung keluarga Tong angkatan tertua, nama asliku adalah Tong Lam.”

“Anak keturunan keluarga Tong kenapa sudi hidup di kalangan pelacuran?”

“Walau keluarga Tong kami menggunakan racun dan Am-gi, namun peraturan keluarga kami jauh lebih ketat, lebih keras dan disiplin dibanding tujuh perguruan besar dari aliran lurus, putra-putri keluarga Tong, selamanya suka mencampuri urusan Bu-lim yang tidak semestinya,” suaranya tenang tapi tegas. “Tapi kami sudah bertekad untuk melakukan sesuatu yang menggemparkan.”

“Apa tujuan kalian?”

“Kelaliman, hanya itu tujuan kami.” “Menentang kelaliman?”

“Betul, menentang kelaliman.”

“Kami tidak berani melanggar peraturan keluarga, supaya gerakan kita leluasa, terpaksa aku bersembunyi dalam kalangan pelacuran, selama tiga tahun ini, kami sudah menghimpun suatu kekuatan besar untuk menentang kelaliman, sayang sekali sejauh ini kekuatan kita pun belum memadai.”

Yan Lam-hwi tiba-tiba menimbrung, “Karena organisasi lawan lebih ketat dan keras, kekuatan mereka pun lebih besar.”

“Siapa pemimpin mereka?” tanya Jiu Cui-jing. “Seorang yang pantas dibunuh.”

“Dia itulah penyakit hatimu.”

Yan Lam-hwi diam, diam artinya mengakui.

“Kau hendak memakai Khong-jiok-ling milikku untuk membunuhnya?” “Kelaliman ditumpas dengan kelaliman, pembunuhan dicegah dengan membunuh.”

Jiu Cui-jing menatapnya, lalu menatap Pho Ang-soat pula, mendadak dia berkata, “Bukalah Hiat-to di kakiku, mari ikuti aku.”

Setelah melewati gambar dinding besar dan indah itu, mereka menerobos hutan bambu serta rumpun kembang anggrek, melewati jembatan bambu sembilan liku, maju lebih jauh pula, sinar pelita mulai jarang- jarang. Taman yang gelap terasa sepi lengang dan seram, sehingga sinar api pun menjadi guram gelap. Dibanding gedung-gedung berloteng yang megah dan angker di bilangan depan, di sini seperti berada di dunia yang lain.

Rumah besar di sini juga serba gelap, dingin lembab dan menggiriskan. Di dalam rumah dipasang ratusan dian, sinar api yang kelap-kelip seumpama api setan, di belakang setiap dian berdiri sebuah Ling-pay, di atas Ling-pay tertulis nama-nama almarhum, nama tokoh besar yang belum lama ini masih malang melintang di Kangouw. Melihat deretan Ling-pay ini, sikap Bing-gwat-sim kelihatan serius dan khidmat.

Dia tahu mereka adalah para korban yang mati di bawah Khong-jiok-ling, dia mengharap di sini akan ditambah lagi sebuah Ling-pay dengan satu nama, “Kongcu Gi”.

“Leluhur kita kuatir bila anak cucunya terlalu ganas membunuh manusia, maka di sini didirikan tempat penyimpanan perabuan mereka, supaya arwah mereka tenteram dan masuk surga.”

Maka selanjutnya mereka mulai memasuki urat nadi Khong-jiok-san-ceng, mereka masuk lewat sebuah lorong, lorong yang berbelak-belok, terali besi yang mereka lewati entah ada berapa lapis.

Tanpa bersuara mereka terus beranjak di belakangnya, seolah-olah mereka sedang memasuki sebuah kuburan raksasa peninggalan raja-raja pada dinasti ribuan tahun yang lampau, gelap dingin, lembab juga serba misterius.

Pintu besi terakhir ternyata terbuat dari papan baja setebal tiga kaki, beratnya ada laksaan kati. Di atas pintu ini terdapat tiga belas lubang kunci.

“Semula tiga belas kunci berada di tangan tiga belas orang, tapi sekarang teman yang patut dipercaya betul-betul makin jarang. Maka sekarang mereka tinggal enam orang, semua adalah orang-orang tua yang sudah beruban, di antaranya ada keturunan dekat atau famili keluarga Khong-jiok-san-ceng sendiri, ada pula sesepuh dunia persilatan yang sudah kenamaan di Bu-lim. Asal-usul dan kedudukan mereka berbeda, namun persahabatan mereka serta loyalitasnya terhadap Khong-jiok-san-ceng cukup membuat Jiu Cui-jing percaya kepada mereka. Demikian pula kungfu kalian lebih meyakinkan lagi,” Jiu Cui-jing menjelaskan.

Cukup Jiu Cui-jing menepuk tangannya dua kali, enam orang segera muncul seperti gerakan setan, pendatang yang paling cepat ternyata bermata tajam bagai mata elang, gerak-geriknya juga seringan dan setangkas elang, mukanya yang sudah tergembleng di bawah hujan dan terik matahari penuh dihiasi codet bekas bacokan yang malang melintang tidak keruan, kalau tidak salah, dia bukan lain adalah Put-si-sin-eng Kongsun To yang dahulu pernah menggetarkan padang pasir di luar perbatasan.

Kunci terikat pada rantai di atas badannya, kunci terakhir ternyata berada di tangan Jiu Cui-jing.

Dengan cermat Bing-gwat-sim memperhatikan dia membuka kunci terakhir, waktu dia menoleh pula, bayangan keenam orang itu sudah tidak kelihatan, seumpama setan dedemit yang sengaja diutus dari neraka oleh para leluhur keluarga Jiu yang berkuasa di perkampungan ini.

Di belakang pintu besi tebal ternyata adalah sebuah rumah batu, dindingnya sudah lumutan, di sini tersulut enam lentera.

Cahaya api guram dingin dan menyeramkan, di empat penjuru terdapat rak senjata, seperti pajangan saja terdapat berbagai jenis senjata tajam, di antaranya malah ada yang belum pernah terlihat oleh Yan Lam- hwi, entah itu senjata yang pernah digunakan leluhur keluarga Jiu atau gaman yang dipakai musuh mereka, bahwa senjata itu masih utuh dan tersimpan di sini, namun jiwa raga mereka sudah tiada, tulang- belulangnya pun sudah tak tersisa lagi.

Jiu Cui-jing mendorong sebuah batu raksasa pula, di dalam dinding batu ternyata tersembunyi sebuah almari besi, apakah Khong-jiok-ling tersimpan di dalam almari besi ini?

Semua menahan napas, mengawasinya membuka almari besi itu, lalu dengan laku hormat mengeluarkan sebuah kotak kayu cendana yang berukir indah dan kuno. Tiada yang menduga bahwa yang tersimpan di dalam kotak kayu bukan Khong-jiok-ling, tapi adalah selembar kulit tipis yang sudah kuning seperti malam. Bing-gwat-sim tidak ingin menyimpan rasa kecewanya, katanya sambil mengerut alis, “Apakah ini?” Sikap Jiu Cui-jing serius dan hormat, sahutnya kereng, “Inilah wajah seorang.”

Bing-gwat-sim terkesiap, tanyanya, “Apakah kulit yang dibeset dari wajah seseorang?”

Jiu Cui-jing manggut-manggut, sorot matanya diliputi kedukaan, katanya rawan, “Karena orang ini kehilangan suatu barang yang amat penting, merasa malu untuk hidup lebih lanjut, sebelum bunuh diri dia meninggalkan pesan, menyuruh orang membeset kulit mukanya sebagai peringatan bagi anak keturunannya kelak.”

Dia tidak menjelaskan nama orang itu namun semua tahu siapa yang dia maksud. Bahwa Jiu It-hong dikabarkan mendadak mati, peristiwa ini pernah menimbulkan rasa curiga kaum persilatan masa itu, sampai sekarang baru rahasia itu dibongkar oleh Jiu Cui-jing.

Merinding sekujur badan Bing-gwat-sim, agak lama kemudian baru dia menghela napas panjang, katanya, “Peristiwa ini sebetulnya tidak perlu kau beberkan di hadapan kita.”

“Sebetulnya memang pantang untuk kubeberkan,” ucap Jiu Cui-jing dengan suara berat, “tapi aku ingin supaya kalian percaya, bahwa sejak lama Khong-jiok-ling sudah tidak berada di Khong-jiok-san-ceng.”

Bing-gwat-sim bertanya, “Tapi bagaimana dengan orang-orang yang mati di perkampungan merak ini.”

“Membunuh orang banyak caranya,” Jiu Cui-jing menukas dingin, “tidak pasti harus menggunakan Khong- jiok-ling.”

Mengawasi kulit manusia di dalam kotak kayu cendana, terbayang dalam benak Bing-gwat-sim bagaimana orang itu gugur secara ksatria untuk menebus dosa kesalahannya, lalu timbul penyesalan dalam hatinya, semestinya dirinya tidak kemari saja. Demikian pula Yan Lam-hwi, dia kelihatan juga amat menyesal.

Pada saat itulah terdengar suara “Blam” yang cukup keras, pintu besi setebal itu telah menutup sendiri. Menyusul terdengar pula suara “Klik, klik, klik” secara beruntun tiga belas kali, tiga belas lubang kunci di sebelah luar ternyata sudah digembok.

Berubah air muka Bing-gwat-sim.

Yan Lam-hwi juga menghela napas, katanya, “Bukan saja tidak pantas kami kemari, juga tidak patut tahu rahasia ini, lebih tidak pantas lagi secara sembrono main terobos di hadapan arwah para Cianpwe yang menghuni tempat ini, kami memang patut mampus.”

Jiu Cui-ing mendengarkan dengan tenang, tiada perubahan di wajahnya.

Yan Lam-hwi berkata pula, “Tapi jiwaku ini sudah menjadi milik Pho Ang-soat, Pho Ang-soat tidak pantas ikut mati sini.”

“Aku juga tidak harus mati,” jengek Jui Cui-jing tiba-tiba. Yan Lam-hwi melotot dengan kaget. Bing-gwat- sim menyela, “Ini bukan kehendakmu?”

“Bukan,” sahut Jiu Cui-jing tegas.

Bing-gwat-sim makin kaget, serunya, “Lalu siapa yang mengunci pintu dari luar? Tempat serahasia ini, orang luar mana bisa masuk kemari?”

“Sedikitnya masih ada enam orang,” sahut Jiu Cui-jing. “Tapi mereka adalah sahabatmu.” “Aku pernah bilang, tidak sedikit manusia di dunia ini yang mau menjual kawan.”

Sekarang baru Pho Ang-soat bersuara, “Satu di antara keenam orang itu pasti adalah pengkhianat.” “Siapa yang kau maksud?” tanya Bing-gwat-sim.

Pho Ang-soat tidak menjawab, malah bertanya pada Jiu Cui-jing, “Yang membuka kunci pertama apakah Kongsun To?”

Jiu Cui-jing mengangguk, mulutnya mengiakan.

Baru sekarang Bing-gwat-sim bertanya, “Apakah Put-si-sin-eng (elang sakti yang tidak pernah mati) Kongsun To yang sudah hampir mati beberapa kali itu?”

Jiu Cui-jing mengiakan saja.

Yan Lam-hwi bertanya, “Lawan duelnya yang terakhir bukankah Kongcu Gi?” “Betul,” sahut Jiu Cui-jing.

Yan Lam-hwi memandang Bing-gwat-sim, Bing-gwat-sim menatap Pho Ang-soat, ketiga orang ini terkancing mulutnya. Soal ini tidak perlu ditanyakan lagi.

Bahwa Kongsun To lolos dari tangan Kongcu Gi, kejadian itu memang sudah dianggap kejadian ajaib dunia persilatan. Baru sekarang mereka sadar kejadian itu bukan lagi ajaib, karena Kongcu Gi sengaja mengampuni jiwa Kongsun To, sekaligus merangkulnya untuk dijadikan kambrat di dalam melaksanakan tipu dayanya.

Sekarang persoalan terpenting satu-satunya adalah adakah jalan keluar kedua dari tempat ini?

“Tidak ada,” jawaban Jiu Cui-jing cekak tapi jelas, gudang harta mana mungkin dibuatkan pintu kedua?

Setelah menghela napas panjang pula, sekujur tubuh Bing-gwat-sim terasa lemas lunglai, arwahnya seolah-olah meninggalkan jazad kasarnya.

Kamar ini ditutup oleh daun pintu besi setebal tiga kaki dengan dinding tebal enam kaki, peduli manusia mana pun yang terkurung di dalam kamar batu seperti ini, satu hal yang masih bisa mereka lakukan adalah menunggu kematian.

Mendadak Yan Lam-hwi bertanya pula, “Apakah di sini ada arak?” “Ada,” sahut Jiu Cui-jing. “Hanya seguci, seguci arak beracun.”

“Arak beracun juga mending daripada tiada arak?” ujar Yan Lam-hwi tertawa. Bagi seorang yang kerjanya hanya menunggu kematian, apa salahnya minum arak beracun? Maka Yan Lam-hwi menemukan guci arak itu, dengan bernafsu dia membuka tutupnya yang tersegel, mendadak sinar golok berkelebat, guci arak itupun hancur.

Pho Ang-soat berkata dingin, “Jangan lupa jiwamu ini milikku, mau mati akulah yang harus turun tangan.”

“Kapan kau akan turun tangan?” tanya Yan Lam-hwi. “Kalau betul-betul sudah putus asa,” sahut Pho Ang- soat. “Sekarang masih adakah harapan hidup bagi kita?”

“Bila manusia masih hidup, maka harapan itu tetap ada.” Yan Lam-hwi tertawa lebar, serunya, “Bagus, baiklah, selama aku masih hidup, tidak akan kulupakan nasehatmu ini.”

Pho Ang-soat tidak banyak bicara lagi, perhatiannya tertuju ke rak-rak senjata yang berada di empat penjuru itu, entah apa sebabnya dia kelihatan tertarik sekali. Perlahan dia beranjak ke sana, setiap senjata pasti diperiksa dan ditelitinya dengan seksama…..

*******************

Kamar batu yang lembab basah ini lambat-laun terasa pengap dan gerah, Jiu Cui-jing meniup padam tiga lentera, mendadak dilihatnya Pho Ang-soat menarik keluar sebatang Cu-coat-pian (ruyung ruas bambu) dari rak senjata. Ruyung tiga ruas seperti bambu ini terbuat dari baja murni, bobotnya teramat  berat, namun bentuknya kelihatan tidak seberat bobotnya.

Lama Pho Ang-soat menimang-nimang ruyung itu, tanyanya kemudian, “Darimanakah senjata ini?”

Jiu Cui-jing tidak lantas menjawab, dari dalam almari dia mencari sejilid buku catatan yang cukup tebal, setelah meniup debunya, mulai dia membalik halaman demi halaman sampai belasan lembar, baru perlahan dia bersuara, “Itulah peninggalan Hay Tang-kay.”

“Hay Tang-kay dari Pi-lik-tong di Kanglam?” Pho Ang-soat menegas.

Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, “Senjata api dari Pi-lik-tong menjagoi segala macam senjata rahasia di dunia ini, namun sejak Khong-jiok-ling muncul dalam percaturan dunia persilatan, perbawa  mereka semakin pudar dan menurun, karena itu Hay Tang-kay mengumpulkan kambrat-kambratnya menyerbu kemari, maksudnya hendak menghancurkan Khong-jiok-san-ceng, sayang sekali sebelum dia bertindak, jiwanya sudah melayang oleh bulu merak.”

Mendadak bercahaya mata Pho Ang-soat, tanyanya menegas, “Dia belum turun tangan sudah mati di bawah Khong-jiok-ling.” Jiu Cui-jing manggut-manggut, katanya, “Kejadian meski sudah seratus tahun yang lampau, namun di dalam buku ini peristiwa itu dicatat dengan jelas.”

Bing-gwat-sim berkata, “Pernah juga aku mendengar tentang Bu-lim Cianpwe ini, kuingat nama julukannya adalah Pi-lik-pian (ruyung geledek).”

Perlahan Pho Ang-soat mengangguk, kembali dia mulai beranjak menyusuri dinding. Tangan kanan memegang golok, tangan kiri menggenggam ruyung, namun matanya terpejam, gayanya berjalan meski lucu, rona mukanya justru setenang padri agung yang sedang semadi. Semua menahan napas,  mengawasi gerak-geriknya, keheningan mencekam seluruh kamar batu ini.

Mendadak sinar golok berkelebat pula, cahayanya kelihatan lebih terang dari tabasan di waktu menghancurkan guci di tangan Yan Lam-hwi tadi. Jelas untuk bacokan kali ini Pho Ang-soat telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, walau matanya terpejam, goloknya ternyata tepat menusuk celah-celah batu di atas dinding. Dia tidak melihat dengan mata, namun melihat dengan hati, dengan perasaan, dengan insting. Sekali tusuk, seluruh batang goloknya ternyata amblas ke dalam dinding.

Pho Ang-soat menarik napas panjang, golok segera dicabut, setelah dia ganti Cu-coat-pian di tangan kirinya sekarang yang menusuk, amblas pula ke lubang dimana tadi goloknya membuat lubang di atas dinding.

Pada saat itulah terdengar ledakan menggelegar, Cu-coat-pian ternyata meledak di dalam celah-celah dinding. Dinding yang dibangun dengan batu-batu persegi sebesar enam kaki itu ternyata berguguran dan ambruk oleh getaran dahsyat dari ledakan itu.

Lekas sekali keadaan kembali menjadi tenang, sepi lengang, dinding yang semula rapi kini sudah ambrol dan bolong.

Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, dengan suara tawar dia berkata, “Senjata api buatan Pi- lik-tong dari Kanglam memang nyata tiada bandingannya di dunia.”

Jiu Cui-jing, Bing-gwat-sim dan Yan Lam-hwi mengawasinya diam saja, sorot mata mereka diliputi rasa kagum dan hormat.

“Darimana kau tahu kalau di dalam Cu-coat-pian ada tersimpan bahan peledak?”

“Aku tidak tahu,” sahut Pho Ang-soat. “Aku hanya merasa bobotnya tidak semestinya seringan itu, oleh karena itu aku menduga di dalamnya tentu kosong, kebetulan aku teringat pula pada nama Hay Tang-kay.”

Pertempuran besar yang terjadi waktu Hay Tang-kay bersama kawan-kawannya menyerbu Khong-jiok-san- ceng memang terkenal sebagai pertempuran paling besar di Bu-lim kala itu. Seluruhnya ada tujuh puluh dua pertempuran dahsyat yang terkenal di kalangan persilatan masa itu, paling sedikit ada tujuh kali terjadi di Khong-jiok-san-ceng.

Kenyataan sampai sekarang Khong-jiok-san-ceng masih berdiri sampai sekarang, masih jaya dan digdaya. Akan tetapi begitu mereka keluar dari lubang bekas ledakan itu, segera mereka melihat Khong-jiok-san- ceng yang tak pernah ambruk meski sudah mengalami beberapa kali bencana ini sekarang sudah menjadi puing-puing yang rata dengan bumi, sembilan lapis bangunan beruntun, tiga puluh enam gedung berloteng seluas delapan puluh li, seluruhnya sudah terbakar habis tinggal puing-puing saja yang masih mengepulkan asap.

Aliran darah masih belum kering, Jiu Cui-jing sekarang sedang berdiri di antara genangan darah tak jauh dari puing-puing itu.

Bangunan seluas delapan puluh li jauhnya yang sudah bertahan selama tiga puluh turunan dengan lima ratus jiwa manusia, kini sudah hancur lebur. Hancur secara aneh, lenyap secara mesterius.

Jiu Cui-jing tidak bergerak, juga tidak mengucurkan air mata, dendam kesumat ini sudah tidak bisa ditawarkan dengan hanya cucuran air mata. Sekarang yang terpikir hanyalah ingin mengucurkan darah.

Sayang dia tidak melihat dan tidak tahu siapa penyebab bencana ini.

Cuaca buruk, tanah seluas ribuan li kecuali mereka berempat, seolah-olah tiada kehidupan lain.

Yan Lam-hwi berdiri jauh di sana, sikapnya kelihatan lebih menderita dan duka daripada Jiu Cui-jing.

Sudah lama Pho Ang-soat menatapnya, katanya dingin, “Kau sedang menyesal dan bertobat, semua adalah gara-garamu sehingga bencana ini terjadi?” Yan Lam-hwi manggut-manggut, beberapa kali ingin bicara namun selalu batal, kontradiksi dalam sanubarinya sedang bergelut dengan batinnya sehingga dia merasa amat menderita. Akhirnya dia tidak tahan dan tercetuslah perkataannya, “Inilah yang ketiga.”

“Yang ketiga?” Pho Ang-soat menegas.

“Pertama di Hong hong-kip, kedua, di taman kembang keluarga Ni dan sekarang adalah yang ketiga,” Yan Lam-hwi bicara cepat karena dia sudah berkeputusan untuk membeberkan segala rahasia ini secara terbuka.

“Di dunia sekarang ini, orang yang memiliki kungfu paling tinggi bukan kau, tapi adalah Kongcu Gi,” dia bicara secara jujur, “golokmu memang sudah hampir mencapai tiada taranya, tapi ini mempunyai satu ciri.”

“Dan kau?” Pho Ang-soat balas bertanya.

“Yang kuyakinkan adalah Sim-kiam (hati pedang), Gi-kiam (arti pedang), dimana hati mempunyai selera, apa pun tiada yang dapat membendungnya. Itulah salah satu jenis puncak kesempurnaan dari ilmu pedang, jika latihan berhasil mencapai taraf yang tiada taranya, maka ilmunya itu tidak akan mendapat tandingan di seluruh jagat.”

“Dan kau gagal melatihnya?”

“Ilmu pedang itu laksana sebuah pintu yang mempunyai tiga belas kunci... jelas aku sudah memperoleh seluruh kuncinya, tapi setelah aku membuka kunci kedua belas, kunci terakhir justru tidak kutemukan,” dengan tertawa getir Yan Lam-hwi berkata lebih lanjut, “oleh karena itu, setiap kali turun tangan, aku selalu merasa tenaga tidak memadai dengan hasrat keinginan. Ada kalanya sekali tusuk jelas telak mengenai sasaran, namun pada detik terakhir ternyata meleset hampir satu dim.”

“Bagaimana dengan Kongcu Gi?” tanya Pho Ang-soat.

“Bukan saja kungfunya sudah sempurna, malah tiada titik kelemahan yang dapat dibuat sasaran. Di kolong langit ini, mungkin hanya ada dua benda yang dapat menandingi dia.”

“Pertama ialah Khong-jiok-ling?” Pho Ang-soat menegas. “Kedua ialah Thian-te-kiau-ceng-im-yang-tay-pi-bu.”

Dalam buku ini tercatat tujuh jenis kungfu yang paling hebat, jahat dan lihai sejak zaman dulu hingga sekarang. Konon waktu buku ini selesai ditulis, dari langit hujan darah, tengah malam setan pun menjerit tangis, penulisnya setelah mengakhiri huruf terakhir juga mati dengan tumpah darah.

Sudah tentu Pho Ang-soat juga pernah mendengar legenda ini.

“Tapi setelah buku itu berhasil ditulis lantas lenyap tak keruan parannya, bahwasanya tiada kaum persilatan di Kangouw yang pernah melihat atau membacanya.”

Yan Lam-hwi berkata, “Memang sudah lama buku ini putus turunan, artinya tidak keruan parannya, tapi belakangan ini memang betul-betul telah muncul.”

“Muncul dimana?” Pho Ang-soat menegas. “Di Hong-hong-kip.”

Setahun yang lalu dia pun pernah ke Hong-hong-kip untuk mencari buku itu, kebetulan waktu itu Pho Ang- soat juga berada di sana.

“Waktu itu aku juga mengira kehadiranmu di sana juga lantaran buku itu, maka aku beranggapan bahwa kau juga sudah mau diperalat serta menjadi antek Kongcu Gi, maka aku tidak segan turun tangan kepadamu.”

Tapi dia yang kalah, kalau dia ingin membunuh Pho Ang-soat, Pho Ang-soat justru tidak membunuhnya, karena itu terjadilah rangkaian cerita yang berkepanjangan ini.

“Setelah pertempuran dengan kau itu, hati luluh semangat lumpuh, dua jam kemudian baru aku putar balik ke Hong-hong-kip.”

Waktu itu Hong-hong-kip ternyata sudah menjadi kota mati, Kongcu Gi telah menyikat dan membantai seluruh penghuni kota kecil itu, agaknya dia pun tidak berhasil, sehingga terjadilah peristiwa kedua yang mengerikan. “Pagi hari itu, empat di antara Ni-si-jit-kiat (tujuh ksatria keluarga Ni) juga berada di Hong-hong-kip, mereka datang secara terburu-buru dan pergi dengan tergesa-gesa, sebetulnya tidak menarik perhatian orang lain, namun aku tidak tahan untuk tidak menemui mereka, ingin aku mencari berita, tak nyana karena kedatanganku, terjadi perubahan pada taman besar yang tersohor sejak tiga belas turunan kakek-moyang mereka, taman itu telah hancur-lebur menjadi tempat yang tak berguna lagi.” Sesaat dia berpikir, lalu menambahkan, “Pada hari itu juga, pertama kali aku bertemu dengan Bing-gwat-sim, waktu itu dia baru pindah ke sana belum genap lima hari.”

Mengepal kedua tinju Pho Ang-soat, agak lama kemudian dia berkata perlahan, “Walau sampai sekarang kau sendiri belum pernah melihat buku Tay-pi-bu itu, namun akibatnya justru teramat fatal, entah berapa jiwa dan harta telah hancur karenanya.”

Yan Lam-hwi juga mengepal tinju, desisnya geram, “Oleh karena itu aku harus mengganyang Kongcu Gi, untuk membalaskan sakit hati para korban itu.”

“Karena itu pula dia pun harus membunuhmu.”

Mereka tidak melanjutkan pembicaraan ini, karena Jiu Cui-jing sudah beranjak perlahan mendekat. Wajahnya tetap tidak menunjukkan perasaan apa-apa, demikian pula sepasang matanya yang semula tajam berkilat kelihatan hambar dan lengang.

Berdiri di hadapan mereka, lama dia diam saja seperti patung, lalu dengan suara seperti mengigau berkata, “Seluruh warga keluarga Jiu sudah mati, namun mayat mereka seluruhnya lengkap, hanya kurang satu saja.”

“Kongsun To?” Pho Ang-soat menegas.

Jiu Cui-jing mengangguk, katanya, “Untuk menyikat habis keluarga Jiu bukan pekerjaan yang gampang, pihak mereka juga pasti akan jatuh korban, namun korban musuh seluruhnya sudah disingkirkan.”

Yan Lam-hwi menyelutuk, “Sepak terjang mereka memang bersih dan cekatan, tidak meninggalkan bekas dan jejak.”

“Tapi orang sebanyak itu tak mungkin bisa lenyap begitu cepat, peduli dengan cara apa pun mereka menyingkir, sedikit banyak pasti akan meninggalkan jejak, jejak itulah sumber penyelidikan kita,” demikian Pho Ang-soat mengutarakan pendapatnya.

Jiu Cui-jing menatapnya, sorot matanya menampilkan rasa kagum, katanya mendadak, “Istriku sering sakit, di dalam kota ada pula seorang biniku, sekarang dia sedang hamil, jika dia melahirkan seorang putra,  maka dialah keturunan keluarga Jiu kami satu-satunya.” Perlahan dia melanjutkan, “Dia she Co bernama Giok-cin, ayahnya bernama Co Tong-lay, seorang Piausu.”

Pho Ang-soat diam mendengarkan, setiap patah kata didengarnya dengan penuh perhatian.

Setelah menghela napas panjang Jiu Cui jing berkata pula, “Persoalan ini sepantasnya kubereskan sendiri, tapi aku sudah tidak mampu lagi, bila aku harus bertahan hidup, kelak di alam baka aku  tetap malu bertemu dengan para leluhur Jiu kita.”

Yan Lam-hwi segera meraung galak, serunya beringas, “Kau tidak boleh mati, memangnya kau tidak ingin menuntut balas?”

Mendadak Jiu Cui-jing tertawa, tawa yang lebih mengenaskan dari tangisan, “Menuntut balas? Kau suruh aku menuntut balas? Tahukah kau orang macam apa Kongcu Gi sebetulnya? Tahukah kau berapa kekuatan yang tergenggam di tangannya?”

Sudah tentu Yan Lam-hwi tahu, tiada orang lain yang tahu sejelas dirinya.

Kecuali Jit-toa-kiam-pay yang sudah punya sejarah keemasan, mereka bersama Kay-pang dalam kalangan Kangouw, masih ada tiga puluh sembilan organisasi yang mempunyai kekuatan besar. Paling sedikit separo di antaranya mempunyai ikatan atau hubungan erat dengan Kongcu Gi, di antaranya pula sedikitnya ada sembilan organisasi yang langsung berada di bawah kekuasaan Kongcu Gi.

Jago-jago kosen dalam Bu-lim, entah betapa banyak yang telah diperalat dan sudi menjadi anteknya. Di antara para pengawal pribadinya, ada dua orang yang memiliki kungfu yang susah diukur.

Sudah siap Yan Lam-hwi menuturkan apa yang dirinya ketahui, namun Jiu Cui-jing sudah tidak ingin mendengar. Dia masih berdiri tidak bergerak, namun dari tujuh lubang panca indranya mendadak mengucurkan darah segar. Waktu dia terjungkal roboh, kebetulan di kejauhan berkumandang kokok ayam yang pertama.

Letak Khong-jiok-san-ceng diapit dua gunung, sungai lebar terbentang luas di belakangnya. Gunung cukup tinggi, keadaan belukar jelas tidak mungkin dilalui mereka yang menggotong para korban, arus sungai juga jelas, ombak bergolak, perahu tak mungkin bisa menyeberang.

Perkampungan merak terjaga ketat dan keras, semuanya berkepandaian tinggi, untuk mengganyang mereka seluruhnya, paling sedikit memerlukan lima puluhan tenaga jago-jago silat kelas wahid. Umpama benar orang-orang itu datang dari arah gunung dan menyeberang sungai, untuk mengundurkan diri jelas hanya arah depan paling leluasa.

Di depan adalah hutan lebat, jalan raya lapang dan lebar, namun kenyataan tiada bekas tapak kaki kuda atau bekas tergilasnya roda kereta, tapak kaki manusia juga tidak kelihatan.

Bing-gwat-sim mengertak gigi, katanya, “Apa pun hari ini kita harus dapat menemukan orang ketiga.” “Kecuali Co Giok-cin dan Kongsun To, masih ada siapa lagi?” tanya Pho Ang-soat.

“Merak,” sahut Bing-gwat-sim, “dia sudah tunduk kepadaku, kusuruh dia kembali menjadi agen rahasia pihak kita, dia pasti dapat memberi sedikit keterangan kepada kita.”

Yan Lam-hwi menjengek, katanya, “Sayang sekali setiap keterangan yang.dia berikan bukan mustahil merupakan perangkap.”

“Perangkap?” Bing-gwat-sim menegas.

“Kau bilang dia jeri terhadapmu, tapi aku berani bertaruh dia pasti lebih takut terhadap Kongcu Gi, jika bukan dia yang membocorkan rahasia kami, bagaimana mungkin Kongcu Gi secepat ini tahu kami berada di Khong-jiok-san-ceng, mungkinkah serbuan mereka juga begini kebetulan.”

Bing-gwat-sim menggreget gemas, desisnya, “Bila analisamu benar, lebih besar hasratku untuk mencarinya.”

“Tapi orang pertama yang kita cari bukan dia?” ujar Pho Ang-soat, “tapi Co Giok-cin.”

Tiada orang kenal Co Giok-cin, tapi Co Tang-lay justru seorang yang terkenal sebagai setan arak.

Saat itu dia sedang mabuk, tubuhnya meringkuk di bawah pohon yang rindang dalam pekarangan, namun begitu mendengar nama Jiu Cui-jing, mendadak dia berteriak dan memaki, “Bintang tua itu, kuanggap dia sebagai teman. Sekarang diam-diam dia justru malah menggremet putriku...”

Mereka tidak menyumbat mulutnya, makin kotor caci-makinya, makin membuktikan bahwa persoalan ini memang benar terjadi, asal dapat mempertahankan anak keturunan Jiu Cui-jing ini, umpama dia harus mencaci tiga hari tiga malam juga tidak jadi soal.

Tapi putrinya justru tidak betah tinggal di rumah lagi, dia minggat tak keruan parannya, secarik kertas dia taruh di atas meja riasnya, seorang nona cilik yang menguncir rambut panjangnya sedang mendekap meja menangis terisak-isak.

Surat di atas kertas itu berbunyi: “Putrimu tidak berbakti, membikin kotor nama baik keluarga, demi orok yang kukandung ini, tak mungkin aku menebus dosa dengan kematian ”.

Nona cilik itu memberi keterangan, “Terpaksa Siocia minggat, aku tak berhasil menahannya.” “Kau tahu dia pergi kemana?”

“Kalau aku tahu, sudah tentu aku menyusulnya, buat apa aku berada di sini sendirian.”

Kalau dalam rumah ada setan arak, siapa pun takkan sudi tinggal di sana, maka terpaksa mereka meninggalkan rumah itu. Tapi mereka harus menemukan Co Giok-cin, dunia seluas ini kemana mereka harus mencari seorang?

Mendadak Bing-gwat-sim berkata, “Ada satu tempat pasti dapat menemukan dia.” Yan Lam-hwi segera bertanya, “Di tempat mana?”

“Kalau ayahnya tidak tahu tentang hubungan gelap ini, Jiu Cui-jing tentu sudah menyediakan suatu tempat untuk pertemuan mereka secara tetap.”

Kalau majikan sebuah toko kain yang berdagang kecil-kecilan dapat memelihara seorang gundik yang cantik, masih muda lagi apalagi seorang Cengcu Khong-jiok-san-ceng. Sayang sekali tempat pertemuan gelap itu pasti amat rahasia, Jiu Cui-jing biasanya juga bekerja amat teliti dan hati-hati, kecuali mereka sendiri yang tahu, lalu siapa pula yang mengetahui?

“Pasti ada orang lain yang tahu.” “Siapa?”

“Nona cilik berkuncir itu,” Bing-gwat-sim bicara dengan penuh keyakinan. “Hubungan antara Siocia dengan pelayan pribadinya ada kalanya seperti hubungan kakak beradik yang intim, kalau aku yang melakukan perbuatan itu, jelas tidak akan bisa mengelabui Sing-song.” Sing-song adalah nama nona cilik berkuncir itu.

“Dilihat wajahnya serta lirikan matanya, kelihatan bahwa nona cilik itu cerdik pandai, tadi dia hanya bersandiwara dan sengaja ditunjukkan di depan kita, dalam jangka setengah jam, secara diam-diam dia pasti akan pergi menemuinya. Inilah rekaan Bing-gwat-sim dalam hati, jadi pikirannya ini tidak dia utarakan.

Kenyataan memang demikian, setengah jam kemudian nona cilik itu diam-diam menyelinap keluar dari pintu belakang, secara sembunyi-sembunyi berlari memasuki sebuah gang sempit di sebelah kiri. Diam- diam Bing-gwat-sim menguntitnya, Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga menguntit Bing-gwat-sim.

“Seorang gadis perawan apa pun tidak leluasa bergerak, oleh karena itu tempat dimana dia sering mengadakan pertemuan gelap dengan kekasihnya pasti tempat yang tak jauh dari rumahnya,” dugaan Bing-gwat-sim memang tidak keliru, tempat itu memang terletak di sebuah gang sempit yang terletak di ujung jalan raya sebelah timur, tembok tinggi pintu sempit, dimana ada sebuah pekarangan kecil yang sepi bersih, di dalam pekarangan tumbuh sepucuk pohon murbai, di pinggir tembok sana berderet belasan vas kembang dengan bunga beraneka warna yang sedang mekar.

Pintu sempit itu tidak terkunci atau terpalang dari dalam, hanya dirapatkan saja seperti sengaja menunggu kedatangan nona cilik ini, setelah longak-longok ke sekelilingnya, lalu mendorong pintu menyelinap masuk, dari sebelah dalam dia tutup serta dipalang lagi.

Kembang yang mekar itu seperti berlomba kecantikan memancarkan bau harum semerbak, daun pohon gemersik ditiup angin, tiada bayangan orang di dalam pekarangan bersih ini.

“Kau masuk dulu, kami menunggu di luar.”

Bing-gwat-sim tahu kedua lelaki ini pasti tidak mau ikut terobosan di kamar seorang gadis, karena mereka adalah lelaki sejati, lelaki tulen, lelaki di antara lelaki.

Mereka mengawasi Bing-gwat-sim melompati tembok terus masuk ke dalam, menunggu sekian lamanya, harum kembang merangsang hidung menyegarkan badan.

Pekarangan ini sepi dan lengang, namun mendadak terdengar sebuah jeritan, itulah jeritan Bing-gwat-sim.

Bing-gwat-sim bukan jenis perempuan yang mau sembarangan menjerit kecuali menghadapi sesuatu yang mengerikan.

Penerangan dalam rumah agak guram, nona cilik yang menguncir rambutnya tampak mendekam di meja, kuncir rambutnya yang panjang dan legam itu melingkar di lehernya, menjerat tenggorokannya, kaki tangannya sudah dingin.

Kaki tangan Bing-gwat-sim juga dingin berkeringat, katanya gegetun, “Kita datang terlambat.”

Nona cilik itu sudah mati terjerat lehernya, Co Giok-cin pun tidak kelihatan bayangannya. Tiada orang yang bisa bunuh diri dengan menjerat leher dengan kuncir rambutnya sendiri, lalu siapakah pembunuhnya?

Kedua tangan Yan Lam-hwi saling genggam, desisnya, “Hubungan rahasia Jiu Cui-jing dengan Co-Giok- cin agaknya bukan rahasia yang tidak diketahui orang lain.”

Karena itu anak buah Kongcu Gi bertindak selangkah lebih cepat dari mereka.

Wajah Pho Ang-soat masih pucat, namun matanya mulai membara, dengan teliti dia mencari, dia berharap pembunuh itu meninggalkan bekas atau sesuatu yang tidak disengaja karena tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Sedikit kelalaian musuh merupakan sumber penyelidikan yang berharga dan itu cukup sebagai bekal yang tidak akan diabaikan oleh Pho Ang-soat, kali ini hampir saja dia mengabaikan kesempatan itu, karena kelalaian musuh atau sumber penyelidikan itu terlampau nyata, seperti sengaja dipaparkan di depan mata.

Di atas meja rias berdiri sebuah cermin berbentuk hati, seseorang menggores tiga huruf yang  ditulis dengan gincu di permukaan kaca, tulisannya terlalu kasar, jelas Co Giok-cin meninggalkan tulisan itu dalam keadaan gugup dan terburu-buru, sementara penculiknya juga tidak memperhatikan tulisan tangan di kaca itu.

Kenapa sesuatu yang nyata justru jarang diperhatikan oleh orang? Padahal gincu itu berwarna merah, merah seperti darah, tiga huruf itu berbunyi “Jik-yang-koan”.

Jik-yang-koan adalah nama yang terlalu umum, banyak biara yang dihuni kawanan Tosu bernama Jik- yang-koan, kebetulan di kota ini hanya ada satu Jik-yang-koan.

“Darimana dia bisa tahu kalau mereka hendak membawanya ke Jik-yang-koan?”

“Mungkin secara tidak sengaja dia mencuri dengar percakapan musuh, atau di antara penculiknya itu ada Tosu dari Jik-yang-koan, dia dilahirkan di sini, sejak kecil dan tumbuh dewasa di sini pula, tidak heran kalau dia betul kenal mereka.

Betul atau tidak, mereka harus ke sana, umpama musuh mengatur jebakan di sana, mereka juga harus coba meluruk ke sana.

Di pekarangan luar Jik-yang-koan ternyata juga tumbuh sepucuk pohon yang rindang, pohon yang sama yang tumbuh di pekarangan kecil itu, sama tinggi sama besar dan sama rimbunnya.

Asap dupa tampak mengepul di ruang pemujaan, tiada bayangan orang, tapi mereka tiba di pekarangan belakang, mereka mendengar percakapan orang.

Pekarangan yang sepi, suara orang yang dingin, hanya mengucap dua patah kata, “Silakan masuk.”

Suara itu berkumandang dari kamar semadi di sebelah kiri, orang yang di dalam kamar seperti sengaja sedang menunggu kedatangan mereka. Agaknya di sini memang ada perangkap, namun kapan mereka pernah gentar menghadapi perangkap musuh? Tanpa pikir Pho Ang-soat langsung beranjak ke sana, pintu setengah dirapatkan, hanya sekali dorong lantas terbuka.

Di dalam kamar ada empat orang.

Asal dia berpendapat harus melakukan tugasnya, asal golok berada di tangannya, meski di depan ada barisan berkuda laksaan jumlahnya juga dia tidak akan mundur selangkah pun, apalagi hanya empat orang.

Keempat orang itu, seorang sedang minum arak, dua orang sedang main catur, seorang lagi pemuda berbaju merah darah dengan sebilah pisau kecil sedang mengerik dan membersihkan kuku jarinya.

Dalam kamar tidak dinyalakan lampu, rona muka pemuda ini mirip pisau di tangannya, putih semu hijau, warna hijau itulah yang mengerikan.

Salah satu dari dua orang yang bermain catur, ternyata memang seorang Tosu, rambut dan jenggotnya sudah ubanan, namun raut mukanya ternyata masih segar dan memerah seperti wajah anak kecil. Lawan bermainnya berpakaian hijau berkaos kaki putih, dandanannya sederhana, sebentuk cincin yang dipakai di jarinya ternyata adalah sebuah batu jade dengan permata yang tak ternilai harganya.

Mendadak Pho Ang-soat memicingkan mata, ujung matanya kedutan, wajahnya yang pucat mendadak bersemu merah yang ganjil. Karena orang yang sedang minum arak sambil menundukkan kepala sekarang perlahan mengangkat kepalanya. Melihat wajah orang ini, kaki tangan Bing-gwat-sim seketika dingin berkeringat.

Seraut wajahnya yang penuh codet bekas bacokan senjata tajam, mata elang hidung betet, siapa lagi  kalau bukan Put-si-sin-eng Kongsun To. Kongsun To juga sedang mengawasi mereka, mata elangnya  yang mencorong seperti membayangkan senyum sinis yang sadis, serunya, “Silakan duduk.”

Dalam kamar semadi ini ternyata masih ada tiga kursi kosong, Pho Ang-soat juga tidak sungkan, langsung dia berduduk.

Menjelang pertempuran antara mati hidup, kalau bisa menyimpan sedikit tenaga juga pasti bermanfaat sekali. Karena itu Yan Lam-hwi dan Bing-gwat-sim juga duduk, mereka juga insyaf sekarang sudah tiba saatnya detik-detik yang bakal menentukan antara mati dan hidup…..

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar