Peristiwa Bulu Merak Bab 05 : Burung Merak

 
Bab 05. Burung Merak

Kuda tidak melukai orang, kereta itupun tidak terbalik.

Laki-laki yang berdandan secara umum inipun lekas sekali telah lenyap di kerumunan orang banyak, bagaikan buih yang lenyap di tengah samudra, yang jelas orang lain tidak akan menaruh perhatian padanya.

Pelan-pelan Pho Ang-soat mengangkat kepala, Bing-gwat-sim sedang tersenyum sambil mengawasi, senyum yang aneh tapi juga manis. Namun dia justru seperti dipecut rubuhnya, mendadak dia putar tubuh masuk kembali ke dalam kabin kereta.

Bukan saja Bing-gwat-sim sudah melihat jelas rasa kaget dan deritanya, dia pun merasakan betapa duka- lara yang tak tersembuhkan di dalam relung hatinya. Kenangan lama yang sudah lanjut terbawa masa, sudah buyar laksana segumpal asap di tengah udara, kenapa sekarang kembali muncul di hadapannya?

Tanpa sadar Bing-gwat-sim mengangkat tangan mengelus muka sendiri. Topeng jenaka yang dipakainya itu sudah dia tanggalkan waktu melompat keluar dari kereta, sehingga untuk kedua kalinya dia melihat wajah aslinya.

Mendadak Bing-gwat-sim merasa benci terhadap diri sendiri, kenapa wajahnya mirip perempuan itu? Kenapa memberi penderitaan sedalam itu kepadanya? Sesama manusia kenapa sering terjadi harus saling menyalahkan dan saling melukai, semakin besar rasa cinta, semakin besar pula luka yang dideritanya.

Waktu ujung jarinya mengucek pelupuk matanya, baru dia sadar bahwa air matanya telah berlinang. Untuk siapa? Untuk umat manusia yang dungu? Atau untuk pria asing yang sebatangkara ini? Diam-diam dia mengusap air mata, waktu dia masuk ke dalam kabin kereta pula, topeng itu sudah dipakainya lagi, dalam hati dia mengharap dirinya selalu bisa tersenyum ramah dan jenaka seperti topeng gendut ini, bisa melupakan duka-lara dan penderitaan di dunia ini, meski itu bisa diperolehnya hanya sekejap.

Sayang manusia tetap manusia, bukan malaikat atau dewa, umpama malaikat dan dewa, mungkin juga memiliki penderitaan mereka sendiri, bahwa mereka tertawa lebar, bukan mustahil hanya sengaja ditunjukkan kepada umat manusia, demikian dia menghibur diri dalam hati.

Muka Pho Ang-soat yang pucat masih kelihatan berkerut-merut, tubuhnya juga kelihatan bergerak, sekuatnya Bing-gwat-sim menekan rasa sakit hatinya, mendadak dia berkata, “Orang yang satu tadi, tentu kau pun sudah melihatnya.”

“Sudah tentu kulihat.”

Bing-gwat-sim berkata, “Tapi kau tidak memperhatikan dia karena dia juga orang awam ...”

Orang biasa seperti buih di permukaan air, bagai sebutir gabah di dalam beras, siapa pun jarang memperhatikan dia. Tapi bila air sudah masuk ke tenggorokan, mendadak kau akan sadar, buih itu sudah berubah menjadi jari hitam, dari tenggorokan menusuk ke dalam jantungmu.

Bing-gwat-sim menghela napas, katanya, “Karena itu aku selalu beranggapan orang semacam ini paling menakutkan, jikalau tadi dia sendiri memperlihatkan belangnya, mungkin sampai sekarang kau tetap tidak akan memperhatikan dia.”

Pho Ang-soat mengakui hal ini, tapi kenapa orang itu sengaja berbuat demikian? Bing-gwat-sim berkata, “Karena dia hendak mencari tahu jejak kita.”

Ibu jari tentu sudah tahu adanya kereta yang berhenti di seberang jalan dan sedang mengawasi gerak- geriknya, maka dia sengaja menyembur basah kakinya, dengan tertawa serta munduk-munduk membersihkan kaki orang, saat itulah dia memberi kisikan kepadanya. Bahwa lelaki yang basah kakinya ini sengaja jatuh di bawah kaki kuda, karena dia juga tahu hanya dengan berbuat demikian baru bisa memaksa penumpang di kabin kereta keluar.

Bing-gwat-sim tertawa getir, katanya, “Sekarang kita belum tahu asal-usulnya, dia malah sudah bisa melihat kita, dalam waktu satu jam tentu dia sudah berhasil menemukan tempat Yan Lam-hwi.”

Pho Ang-soat bertanya mendadak, “Tangan hitam juga bermusuhan dengan Yan Lam-hwi?”

“Tidak,” sahut Bing-gwat-sim, “mereka tidak pernah membunuh orang lantaran permusuhan atau dendam pribadi.”

“Lalu untuk apa mereka membunuh orang?”

“Perintah,” pendek jawaban Bing-gwat-sim. Begitu perintah tiba, mereka segera membunuh, siapa pun mereka bunuh.

“Jadi mereka juga mendengar perintah orang?” “Hanya mendengar perintah seorang.” “Perintah siapa?”

“Perintah Kongcu Gi.”

Mengencang genggaman tangan Pho Ang-soat.

“Kalau hanya lima orang anggota tangan hitam, belum cukup mampu membentuk kekuatan mereka dalam satu organisasi besar.” Mereka boleh dikata sudah menjaring seluruh pembunuh bayaran dan manusia-manusia durjana, demikian pula Ngo-heng-siang-sat dan Kwi-gwa-po jelas masuk dalam anggota organisasi itu. Padahal penghasilan mereka pribadi sudah teramat tinggi, untuk menjaring atau menggaruk mereka jelas tidak mudah.

“Di kolong langit ini, hanya ada satu orang saja yang menggenggam kekuatan besar ini,” Bing-gwat-sim mendesis lirih.

“Kongcu Gi maksudmu?” Pho Ang-soat menegas. “Ya, hanya dia seorang.”

Pho Ang-soat mengawasi jari-jari tangan sendiri yang menggenggam gagang golok, pelupuk matanya memicing dan mulai kedutan pula.

Bing-gwat-sim juga berdiam diri, agak lama kemudian baru bersuara lagi, “Membunuh untuk mencegah pembunuhan, tadi seharusnya kau sudah membunuh orang itu.”

Pho Ang-soat tertawa dingin.

“Aku tahu selamanya kau tidak sembarangan mencabut golokmu, tapi orang yang satu ini cukup setimpal untuk kau mencabut senjata.”

“Jadi kau beranggapan bahwa dia itulah Bu-bing-cay?”

Perlahan Bing-gwat-sim mengangguk, katanya, “Aku malah curiga bahwa dia itu si Merak.” “Merak?”

“Merak adalah sejenis burung, burung yang elok dan cantik, terutama bulunya…” “Tapi merak yang kau maksud justru bukan burung.”

“Ya, yang kumaksud memang bukan burung, tapi manusia, seorang yang menakutkan,” pelupuk matanya ternyata juga kedutan, suaranya makin perlahan, mengandung perasaan ngeri, “Malah aku berpendapat bahwa dia orang yang paling menakutkan di jagat ini.”

“Kenapa?”

“Karena dia memiliki Bulu merak.” Bulu merak.

Waktu mengucap kedua kata ini, sorot matanya mendadak menampilkan rasa hormat, takut dan juga ngeri. Rona muka Pho Ang-soat ternyata juga berubah.

Merak memang punya bulu, seperti kambing punya tanduk, bukan saja berharga juga kelihatan indah. Tapi Bulu merak yang dibicarakan di sini bukan bulu merak seekor burung, bukan bulu benar-benar bulu, tapi Bulu merak yang dimaksud di sini adalah sejenis Am-gi, senjata rahasia yang indah tapi juga amat misterius, senjata rahasia yang mengerikan.

Tiada orang yang bisa melukiskan keindahannya, juga tiada seorang pun di jagat ini yang dapat meluputkan diri dari serangan Am-gi ini, menangkis pun tidak.

Di kala Am-gi itu disambitkan, keindahannya yang semarak dan cemerlang begitu misterius, bukan saja dapat membuat orang terpesona, pusing dan pandangan kabur, malah bisa membuat orang lupa takut akan kematian yang mengancam jiwanya.

Konon setiap korban yang mati oleh Am-gi ini wajahnya tentu menampilkan senyuman lucu yang misterius, sehingga banyak orang berpendapat bahwa dia suka rela mati oleh Am-gi itu. Umpama orang-orang kebanyakan, meski tahu kembang mawar itu ada durinya, tapi justru memetiknya. Karena keindahan yang semarak itu, jelas tak mungkin dilawan oleh kekuatan manusia lumrah.

“Tentu kau juga tahu Bulu merak itu.” “Ya, aku tahu.”

“Tapi kau pasti tidak tahu, bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak berada di Khong-jiok-san-ceng (perkampungan merak).” Biasanya jarang Pho Ang-soat terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya, hatinya seperti beku, kapan dia pernah goyah keteguhan imannya, namun waktu dia mendengar berita ini, jelas kelihatan dia agak kaget. Bukan saja dia tahu Bulu merak, malah dia pun pernah berkunjung ke perkampungan merak itu.

Perasaan hatinya waktu itu, seperti seorang umat saleh berada di tempat suci. Waktu itu permulaan musim rontok, suatu malam di musim rontok.

Selama hidup belum pernah dia lihat perkampungan megah, angker dan seindah itu. Meski dironai tabir malam, namun keindahan perkampungan merak itu sungguh menyerupai istana dewa di dalam dongeng.

“Di sini ada sembilan lapis pekarangan atau taman, di antaranya sudah dibangun sejak tiga ratus tiga puluh tahun yang lalu, mengalami beberapa generasi, baru tempat ini kelihatan bentuknya seperti sekarang.”

Orang yang menerima kedatangannya adalah adik kandung Khong-jiok-san-ceng Cengcu yang paling kecil, Jiu Cui-jing. Jiu Cui-jing adalah seorang yang pandai menyimpan rahasia setiap kali berbicara. Yang benar bukan saja tempat ini teramat megah, besar dan jaya, bahwa perkampungan ini bisa berdiri juga sudah merupakan keajaiban. Memang suatu keajaiban, karena setelah mengalami beberapa kali perang, tempat ini tetap aman sentosa, tidak pernah terlanda oleh api peperangan.

Dinding kaca yang terletak di pekarangan paling belakang tampak mengkilap, di atasnya tergantung dua belas lampion warna-warni, cahaya lampion yang terang-temaram menyinari sebuah gambar lukisan raksasa di atas kaca itu. Puluhan lelaki berwajah bengis dan buas, bergaman aneka ragam senjata, sorot mata mereka tampak kaget, bingung dan ketakutan, karena seorang pemuda pelajar berwajah putih memegang sebuah bumbung kuning emas, dari bumbung emas inilah memancar cahaya cemerlang laksana pelangi yang berwarna-warni. Warna yang lebih semarak, lebih indah dari lembayung.

“Sudah lama berselang peristiwa ini terjadi, waktu itu dalam golongan hitam terdapat tiga puluh enam manusia durjana, untuk menghancurkan tempat ini, mereka berserikat dan berkomplot menyerbu dengan kekuatan gabungan mereka yang besar, konon bila tiga puluh enam orang ini bergabung, jarang ada musuh yang mampu melawan mereka. Akan tetapi, tiada satu pun dari ketiga puluh enam orang itu yang bisa pergi dari sini, semuanya tertumpas. Sejak peristiwa itulah, tiada golongan atau aliran, entah itu organisasi penjahat yang terbesar sekalipun tiada yang berani mengganggu perkampungan merak. Sejak itu adalah Bulu merak menggetarkan dan disegani di kolong langit.”

Sampai sekarang apa yang pernah diuraikan Jiu Cui-jing dahulu, seperti masih terngiang di telinganya. Mimpi pun tidak terpikir olehnya bahwa Bulu merak sekarang sudah tidak berada di perkampungan merak lagi.

“Itulah sebuah rahasia,” ujar Bing-gwat-sim. “Selamanya tiada orang tahu akan rahasia ini di kalangan Kangouw.”

Ternyata Bulu merak lenyap dari tangan majikan generasi ketiga belas keluarga Jiu di puncak Thay-san.

“Sampai sekarang baru rahasia ini mulai diketahui orang luar karena secara mendadak Bulu merak tahu- tahu telah muncul di kalangan Kangouw. Pernah muncul dua kali, dan membunuh dua tokoh yang amat terkenal, pembunuhnya justru bukan anak didik keluarga Jiu maupun warga perkampungan merak.

“Selama Bulu merak masih ada, tiada seorang pun dari kalangan Kangouw yang berani meluruk ke perkampungan merak, kalau tidak, tempat megah ini tentu sudah hancur lebur sejak lama. Perkampungan merak sudah berdiri sejak tiga ratus tahun lebih, dengan bangunannya mencapai delapan puluh li, dengan penghuni lima ratus jiwa lebih, seluruh benda yang ada, baik yang hidup maupun yang mati dalam perkampungan merak ini berdiri dan ditunjang hanya oleh Bulu merak yang kecil dan indah.”

Akan tetapi Bulu merak itu sudah terjatuh ke tangan seorang yang tidak dikenal asal-usulnya. Maka Pho Ang-soat bertanya, “Jadi orang itu adalah Merak.”

“Benar.”

Badak dibunuh karena orang ingin mengambil culanya, kuburan dibongkar karena pencuri ingin mengeduk harta peninggalan dalam layon, si lemah yang miskin dan sederhana jarang tertimpa bencana, gadis yang molek mukanya, jauh lebih mudah mempertahankan kesucian perawannya. Karena itu hanya mereka yang terlalu biasa, terlalu awam atau orang yang tidak punya nama, baru bisa mempertahankan senjata ampuh macam Bulu merak itu.

'Merak' maklum akan hal ini. Sebetulnya dia bukan manusia jenis ini, seperti juga orang kebanyakan, dia pun mendambakan harta benda, kekayaan dan nama besar. Sejak peristiwa di malam musim panas dulu, menyaksikan gadis yang dicintainya ditindih dan ternoda kesuciannya oleh seorang yang kaya di atas tanah berumput, dalam hati dia sudah berkeputusan, dia ingin mengejar dan mendapatkan kekayaan dan kebesaran yang selalu diimpi-impikan orang lain. Dan harapannya ternyata tidak sia-sia, barang yang diperolehnya ternyata jauh lebih berharga dari apa yang dia impikan sendiri, dia menemukan Bulu merak. Maka tekadnya berubah, karena dia seorang pintar, dia tidak ingin menjadi badak yang terbunuh dan diambil culanya.

Justru sebaliknya, dia ingin membunuh orang. Setiap kali dia teringat adegan di malam musim panas itu, terbayang betapa gadis itu merintih, meronta dengan napas ngos-ngosan dan keringat yang bercucuran, maka timbul keinginannya membunuh orang.

*******************

Hari ini dia tidak membunuh orang, bukan dia tidak punya keinginan, tapi dia tidak berani. Berhadapan dengan orang yang bermuka pucat, sorot matanya yang kaku dingin, entah mengapa hatinya mendadak menjadi jeri dan takut.

Sejak dia memiliki Bulu merak, baru pertama kali dia merasa takut terhadap seseorang. Bukan golok hitam itu yang ditakuti, tapi orang yang memegang golok itu, meski orang ini hanya berdiri diam, namun dia jauh lebih tajam dari golok kebanyakan yang terlolos dari sarungnya.

Melihat tatapan matanya, jantungnya lantas berdetak, hingga dia kembali ke rumahnya, jantung masih kebat-kebit, bukan lantaran tegang atau takut, tapi lantaran bergairah. Sungguh ingin sekali dia mencoba, apakah Bulu merak mampu membunuh orang yang satu ini, akan tetapi dia justru tidak punya keberanian untuk mencobanya.

Itulah rumah sederhana, hanya ada satu ranjang, satu meja dan satu kursi. Begitu masuk kamar lantas dia ambruk, ambruk di atas ranjang yang dingin dan keras, rebah di atas ranjang ternyata tidak memberikan ketenangan baginya, mendadak dia menyadari sesuatu benda telah tegak berdiri di selangkangannya.

Dia memang terlalu bergairah, terlalu bernafsu, karena dia ingin membunuh orang, terbayang pula peristiwa di malam musim panas dulu ... keinginan membunuh ternyata mendorong pula napsu birahinya, hal ini dia sendiri pun merasa luar biasa. Dan payahnya, bila napsu ini sudah berkobar, maka dia tidak kuasa membendung atau menahannya.

Dia tidak punya teman perempuan, selamanya dia tidak mau percaya lagi pada orang perempuan, perempuan mana pun pantang mendekati dirinya, dan untuk melampiaskam napsunya ini dia hanya membunuh orang.

Sayang sekali orang yang ingin dia bunuh justru adalah orang yang tidak berani dia bunuh. Sore hari di musim semi, ternyata berubah sepanas musim panas, perlahan dia mengulur tangannya yang sudah berkeringat ... sekarang terpaksa dia menyelesaikan dengan tangan, lalu dia rebah mendekam di atas ranjang, mendadak dia muntah, muntah sambil mengucurkan air mata.

Menjelang senja, namun senja belum tiba.

Seorang mendorong pintu pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara, lalu menyelinap masuk secara diam- diam, perawakannya meski gendut dan lamban, namun gerak-geriknya ternyata seenteng kucing.

Khong-jiok atau Merak masih rebah diam di atas ranjang tanpa bergerak, dingin-dingin saja dia mengawasi orang ini, selama ini dia paling tidak suka kepada si gendut yang dungu ini, apalagi dalam keadaan seperti dirinya sekarang, timbul rasa muak dan benci dalam benaknya, karena orang ini hanyalah seorang sida- sida, laki-laki yang sudah dikebiri 'anu'nya, lelaki tak berguna, lebih tepat kalau dianggap babi.

Akan tetapi babi yang satu ini tak pernah disiksa oleh kobaran nafsu birahi, maka selama hidup dia tidak akan pernah merasakan derita yang mendesak itu. Mengawasi wajah bundar yang tertawa menyengir ini, sungguh hampir tak tertahan ingin dia menggenjot pecah hidungnya.

Tapi dia dipaksa untuk menahan diri, karena babi ini adalah koleganya, karena dia ini Ibu jari.

Ibu jari masih tertawa, langsung mendekati ranjang, katanya, “Aku tahu kau cukup mampu memancing mereka keluar, terbukti kau belum pernah gagal dalam menunaikan tugas.”

Tawar suara Merak, “Kau melihat mereka?” Ibu jari manggut-manggut, katanya, “Yang perempuan adalah Bing-gwat-sim, yang lelaki ialah Pho Ang- soat.” Pho Ang-soat.

Jari-jari tangan Merak mengepal kencang, dia pernah mendengar nama ini, tahu orangnya, lebih jelas tentang goloknya, golok kilat yang tiada bandingannya di dunia.

Ibu jari berkata, “Bahwa Yan Lam-hwi bisa bertahan hidup sampai sekarang adalah gara-gara Pho Ang- soat, maka

Mendadak Merak berjingkrak berdiri, katanya, “Maka untuk membunuh Yan Lam-hwi, harus membunuh Pho Ang-soat lebih dulu.” Mukanya merah bersemangat, kedua matanya menyala.

Ibu jari menatapnya dengan kaget, selama ini tiada orang yang pernah melihat dia begitu bergairah, begitu emosi. Merak yang tabah, Merak yang tak terkenal, Merak bukan sembarang merak, Merak yang ini mampu membunuh orang.

Ibu jari coba bertanya, “Kau ingin membunuh Pho Ang-soat?”

Merak tertawa, katanya, “Selama ini aku suka membunuh orang, Pho Ang-soat kan juga manusia.” “Tapi dia bukan manusia kebanyakan, untuk membunuhnya bukan suatu hal yang gampang.”  “Aku tahu, maka aku tidak akan turun tangan sendiri.”

“Kalau kau sendiri tidak berani, memangnya siapa yang berani mengusik dia?”

Merak tertawa, katanya, “Aku tidak akan bergerak hanya karena aku ini bukan orang ternama, aku pun tidak ingin terkenal.”

Ibu jari tertawa, tertawa dengan mata memicing, “Kau ingin menyuruh Toh Lui mengadu jiwa dulu dengan dia, lalu kau akan memungut keuntungan dari belakang?”

“Peduli siapa di antara mereka yang mati, aku tidak akan berduka.”

Bing-gwat-sim amat tersiksa. Tersiksa seperti keong yang sudah lama bersembunyi di dalam cangkangnya dan tidak bisa berjemur di bawah sinar matahari.

Topeng yang sekarang dipakainya ini dia beli tahun lalu waktu di kelenteng ada perayaan, bikinannya memang bagus dan halus, tapi jikalau dipakai terlalu lama, mukanya terasa gatal dan kepanasan. Bila kulit muka sudah terasa gatal dan tidak bisa digaruk, maka sekujur badan ikut merasa gatal dan risi. Tapi tiada niatnya menanggalkan topeng itu, sekarang agaknya dia jadi takut bila Pho Ang-soat melihat mukanya.

Waktu mereka beranjak masuk, sinar surya yang sudah mendoyong ke barat tetap menyinari mawar merah di pinggir jendela, mawar yang baru saja tersiram hujan, maka warnanya kelihatan elok dan segar.

Air muka Yan Lam-hwi justru amat pucat bagai kertas. “Yan-kongcu pernah siuman tidak?” “Tidak,” nona cilik bermata bundar besar itu tetap berjaga di samping Yan Lam-hwi.

“Kau sudah memberi minum obat?”

“Juga tidak,” sahut nona cilik sambil mendekap mulut dan tertawa cekikikan. “Tanpa pesan nona, menyentuh pun aku tidak berani.”

“Kenapa?”

“Karena...” nona cilik cekikikan genit, “karena aku kuatir nona cemburu.”

Bing-gwat-sim melototinya gemas, lalu berpaling serta bertanya kepada Pho Ang-soat, “Apakah sekarang sudah saatnya makan obat?”

Menghadap ke arah jendela, Pho Ang-soat mengangguk perlahan.

Sinar surya yang mendoyong miring menyorot masuk memenuhi kamar, kertas hias di jendela masih baru, demikian pula kayu jendela juga baru saja dicat, hingga mengkilap bersih laksana kaca. Kedua daun jendela terbentang miring kedua arah berlawanan, kertas kaca yang tertempel di atas jendela memetakan gambar kembang mawar yang sedang mekar di sebelah kanan, sementara di kertas kaca sebelah kiri memetakan gambar terbalik yang ada di dalam kamar, bayangan si nona cilik dan Bing-gwat-sim terlihat jelas di dalamnya.

Bing-gwat-sim duduk di pinggir ranjang, tangannya memegang botol kayu yang berisi obat, dituangnya sebutir pil serta dicairkan dengan air putih. Gerak-geriknya kelihatan amat prihatin, seperti takut bila obat itu tumpah dari sendok hingga mengurangi kadar obatnya. Akan tetapi obat yang sudah cair di dalam sendok tidak dia cekokan ke mulut Yan Lam-hwi.

Pho Ang-soat masih berdiri membelakangi mereka, sekilas dia mencuri lirik kepadanya, mendadak obat di dalam sendok itu dia buang ke dalam lengan baju nona cilik, lalu dia pura-pura memapah Yan Lam-hwi dan mendekatkan sendok kosong itu ke dekat mulutnya.

Apa maksudnya?

Bing-gwat-sim mengundang Pho Ang-soat adalah untuk menolong jiwa Yan Lam-hwi, akan tetapi jiwa yang sekarat siapa pun takkan bisa menyelamatkan.

Pho Ang-soat masih tetap berdiri di tempatnya, diam tidak memberi reaksi. Walau dia tidak menoleh, kejadian di belakangnya juga dapat disaksikan dari bayangan kertas kaca di jendela, namun sedikitpun dia tidak memberi reaksi.

Diam-diam Bing-gwat-sim meliriknya sekali, lalu pelan-pelan menurunkan Yan Lam-hwi, gumamnya, “Setelah makan obat sekali ini, bila tidur nyenyak cukup lama kukira besok pagi juga dia sudah siuman.”

Padahal dalam hati dia tahu, Yan Lam-hwi tidak mungkin bisa siuman. Di mulut bicara penuh harap dengan helaan napas rawan, sorot matanya justru seterang sinar rembulan, mimik mukanya seperti mengulum senyum nakal.

Pada saat itulah, seorang mendadak berteriak di luar pintu, “Ada surat untuk Pho-tayhiap.”

Kertas surat dan sampulnya mudah dibeli di toko buku dimana saja asal berani bayar, sebab kertas surat itu dari jenis kertas termahal.

Cekak dan sederhana sekali surat itu, gaya tulisannya juga rajin. “Besok siang, di kebun keluarga Ni, di luar gardu pemandangan, bawalah golokmu, satu orang, satu golok.”

Pho Ang-soat tidak memeriksa tanda tangan penulis surat ini, dia sudah tahu yang menulis pasti adalah seorang yang patuh akan tata tertib dan kebersihan, namun dia juga suka pamer kekayaan dan kepintarannya. Pandangan Pho Ang-soat memang tidak meleset.

Bing-gwat-sim menghembuskan napas panjang, katanya, “Aku sudah menduga Toh Lui pasti akan menantangmu, tak nyana begini cepat tantangannya datang.”

Dengan sebelah tangannya yang tidak memegang golok, Pho Ang-soat melempit kertas surat itu, lalu tanyanya, “Kebun keluarga Ni terletak dimana?”

“Tuh, di seberang rumah sana.” “Bagus sekali.”

“Apanya yang bagus?”

Dingin suara Pho Ang-soat, “Aku ini seorang timpang, sebelum berduel aku tidak ingin menempuh perjalanan jauh.”

“Jadi kau sudah siap menerima tantangannya?” “Ya, sudah pasti.”

“Pergi sendirian?”

“Satu orang, satu golok.”

Bing-gwat-sim mendadak tertawa dingin, katanya, “Bagus sekali.”

Ucapan yang sukar dimengerti, jengek tawanya juga ganjil, Pho Ang-soat tidak habis mengerti, tapi dia tidak bertanya.

Bing-gwat-sim berkata, “Malam ini kau boleh tidur nyenyak menyegarkan badan, besok pagi setelah sarapan, cukup beberapa langkah kau akan sudah berada di kebun keluarga Ni yang sudah lama telantar itu, masih ada banyak waktu untuk memeriksa dan meneliti setiap jengkal dan keadaan di sana.”

Duel antara dua jago kosen, siapa dapat menguasai situasi dan kondisi, merupakan unsur penting untuk mencapai kemenangan. “Orang jenis apa Toh Lui itu, kau sudah melihatnya sendiri, dia sebaliknya tidak tahu tentang seluk-beluk dirimu. Bisa tahu kekuatan lawan untuk mengukur kemampuan sendiri, jelas hal ini jauh lebih penting daripada tahu lebih dulu akan situasi dan kondisi arena.

“Maka dalam duel nanti kau sudah menempatkan diri pada posisi yang lebih unggul, tiba waktunya asal  kau mencabut golokmu, hanya dua belas orang yang akan tercantum di dalam daftar orang-orang yang ternama. Umpama kau tidak punya kegemaran membunuh orang, tapi peristiwa itu patut dibuat girang.”

Mendadak dia tertawa dingin, suaranya meninggi, “Tetapi bagaimana dengan Yan Lam-hwi? Apa kau tidak memikirkan dirinya?”

Tawar suara Pho Ang-soat, “Orang yang akan berduel kan bukan dia.” “Tapi orang yang akan mati sudah pasti adalah dia.”

“Ya, pasti.”

“Ibu jari dan Merak sekarang tentu sudah tahu dimana dia berada, bila kau memasuki kebun keluarga Ni, mereka pasti akan menerobos masuk kemari.”

Otot hijau tampak merongkol di punggung tangan Pho Ang-soat yang menggenggam gagang golok.

Bing-gwat-sim menatapnya, suaranya sinis, “Mungkin sebelum ini kau pernah menolong jiwanya, akan tetapi kali ini umpama tiada kau di sini, kemungkinan dia malah bisa bertahan hidup lebih lama.”

Otot hijau di punggung tangan Pho Ang-soat tampak lebih mengencang, mendadak dia mengajukan pertanyaan yang semestinya bukan dia yang bertanya, “Apa benar kau memperhatikan dia?”

“Memangnya harus diragukan,” seru Bing-gwat-sim, jawabannya reflek, spontan, tanpa pikir dulu, jawaban yang wajar. Kejadian membuang obat dalam sendok ke dalam lengan baju nona cilik tadi, seolah-olah tidak pernah terjadi atau tiada sangkut-pautnya dengan dia.

Pho Ang-soat tidak melihat mimik mukanya, umpama dia menoleh juga tidak akan melihatnya, karena Bing-gwat-sim masih mengenakan topengnya yang tertawa lebar itu, lalu perempuan macam apakah sebenarnya yang tersembunyi di balik topeng lucu itu?

Agak lama kemudian baru Pho Ang-soat bersuara, “Jadi aku tidak usah pergi.” “Sudah tentu kau harus pergi!”

“Tapi ”

“Tapi sebelum kau berangkat, kau harus mengantarnya ke suatu tempat yang aman.” “Tempat mana yang aman?”

“Perkampungan merak.”

Tiada manusia di jagat ini yang mampu meluputkan diri dari serangan Am-gi itu, Am-gi yang memancarkan cahaya cemerlang dan semarak melebihi cahaya pelangi.

Perlahan Pho Ang-soat menghela napas, katanya, “Kau pernah bilang, Bulu merak sekarang sudah tidak berada di perkampungan merak, lalu ada siapa pula di perkampungan itu?”

“Di sana masih ada Jiu Cui-jing,” sahut Bing-gwat-sim. Seorang lelaki besar yang pendiam, namanya yang terkenal cukup disegani orang.

“Walau selamanya dia amat hati-hati dan pandai menyimpan rahasia, tapi yakin dia tidak akan menolak kedatanganmu dan orang yang kau antar ke sana.”

“Ah, masakah begitu?”

“Betul, karena dia banyak berhutang terhadapmu.” “Hutang apa?”

“Hutang jiwa,” seperti tidak memberi kesempatan kepada Pho Ang-soat bicara, “walaupun jarang engkau menolong orang, tapi kau pernah menolong jiwanya, malah menolongnya dua kali, pertama di pesisir Wu- cui, kedua kali di puncak Thay-san.”

Pho Ang-soat tidak dapat menyangkal karena apa yang diketahui Bing-gwat-sim memang terlalu lengkap. “Sekarang dia sudah menjadi Cengcu perkampungan merak itu, dia sudah punya kemampuan untuk membalas hutangnya kepadamu.”

“Tapi dia tidak punya Bulu merak.”

Bila Bulu merak tidak ada, bukan mustahil perkampungan merak itupun bakal dihancurkan.

“Banyak orang beranggapan bahwa perkampungan merak bisa berdiri, jaya dan bertahan sampai ratusan tahun adalah karena Bulu merak, hingga sekarang baru banyak orang tahu bahwa Jiu Cui-jing ternyata jauh lebih menakutkan daripada Bulu merak.”

“Alasanmu?”

“Bahwa Bulu merak terjatuh ke tangan orang luar, berita ini sudah tersiar luas di kalangan Kangouw. Tidak sedikit jumlah musuh besar perkampungan merak, selama dua tahun ini, ada enam rombongan musuh yang menyerbu perkampungan merak,” dengan suara kalem dia meneruskan, “enam rombongan seluruhnya berjumlah tujuh puluh sembilan orang, setiap orang memiliki kepandaian khas yang lihai.”

“Bagaimana akhirnya?”

“Tujuh puluh sembilan gembong-gembong silat itu begitu masuk ke perkampungan merak, seperti bata yang tenggelam di lautan, tiada terdengar berita mereka lagi.”

“Rombongan terakhir meluruk ke sana di waktu perayaan Tiong-yang tahun lalu, sejak itu tiada insan persilatan yang berani coba-coba menyerbu lagi ke perkampungan merak itu.”

Pho Ang-sat masih membungkam.

Bing-gwat-sim mengerling ke arahnya, katanya pula, “Letak perkampungan merak itu tidak jauh dari sini, bila naik kereta yang berlari kencang, besok sebelum tengah hari pasti sudah putar balik.”

Pho Ang-soat tidak memberi jawaban tapi juga tidak menentang, lama sekali baru dia berkata, “Tidak takut dicegat mereka di tengah jalan?”

“Insan persilatan yang ada di Kangouw sekarang, siapa yang berani mencegat kau?” “Sedikitnya ada seorang.”

“Siapa?”

“Merak yang membawa Bulu merak.”

“Dia pasti tidak akan berani turun tangan.” “Kenapa?”

“Walau Bulu merak adalah Am-gi yang tiada keduanya di kolong langit ini, tapi orang itu bukan tokoh kosen yang tiada bandingannya di dunia, dia takut golokmu lebih cepat dari dia.”

Betapapun lihainya sesuatu Am-gi, bila tidak sempat dilancarkan, apa bedanya dengan barang rongsokan, hal ini memang benar, Pho Ang-soat terkancing mulurnya.

“Kalau kau tidak ingin dia mati di tangan orang lain, maka sekarang juga kau harus membawa kami ke sana.”

Akhirnya Pho Ang-soat mengambil keputusan, “Aku boleh saja membawa kalian ke sana, tapi ada satu hal ingin aku tanya kau.”

“Silakan bertanya.”

Dingin suara Pho Ang-soat, “Jika kau benar-benar memperhatikan dia, kenapa obat itu kau lemparkan ke dalam lengan baju orang lain?” Tanpa menoleh dia lantas menduga bahwa Bing-gwat-sim tidak akan mampu menjawabnya.

Bing-gwat-sim memang terlongong, dia memang tidak menjawab, juga tidak mau menjawab. Dengan mendelong terpaksa dia mengawasi Pho Ang-soat yang beranjak keluar, meski jalannya lambat, namun tidak berhenti. Bila dia sudah mulai berjalan, pasti tidak akan berhenti.

Sinar surya sudah makin guram seterang sinar rembulan. Sinar mentari yang guram kebetulan menyinari wajah Yan Lam-hwi. Angin menghembus datang dari puncak gunung, membawa bau harumnya kayu dan daun. Dari tempat Bing-gwat-sim berdiri memandang keluar, pemandangan tampak menghijau permai di alam pegunungan nan jauh di sana, tapi pandangannya sekarang tertuju ke wajah Yan Lam-hwi. Yan Lam-hwi sudah keracunan parah dan selama ini masih tetap pingsan, tak terduga  mendadak membuka kedua matanya, balas menatapnya, ternyata Bing-gwat-sim sedikitpun tidak merasa heran.

Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Sudah kubilang, sejak mula sudah kukatakan, bukan soal mudah untuk menipu dia.”

“Aku tahu memang tidak mudah, tapi aku ingin mencobanya.” “Sekarang kau sudah mencobanya.”

“Ya, aku sudah mencobanya.” “Bagaimana pendapatmu?”

Bing-gwat-sim menghela napas, katanya dengan tertawa getir, “Aku hanya merasa untuk menipunya memang bukan soal gampang.”

“Tapi aku justru ingin mencobanya sekali lagi,” demikian ujar Yan Lam-hwi.

Bersinar mata Bing-gwat-sim, mata Yan Lam-hwi juga menyala. Kenapa mereka mau menipu Pho Ang- soat? Apa tujuan mereka?

Mentari sudah hampir tenggelam.

Pho Ang-soat berdiri di bawah pancaran sinar surya, seolah-olah di mayapada ini hanya tinggal  dia seorang yang masih hidup.

Memangnya Pho Ang-soat adalah seorang yang sebatangkara, orang yang suka menyendiri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar