Peristiwa Bulu Merak Bab 04 : Ibu Jari Tangan Hitam

 
Bab 04. Ibu Jari Tangan Hitam

Bukan manusia lalu apa? Binatang? Setan? Kayu? Batu? Atau malaikat? Dewa? Mungkin semuanya bukan. Cuma sepak terjangnya, apa yang dia lakukan selalu melampaui batas kemampuan orang kebanyakan, melampui daya tahan dan kesabaran orang awam umumnya. Dalam hal ini Yan Lam-hwi mempunyai alasan, 'Umpama kau ini manusia, paling juga termasuk manusia yang bukan manusia'.

Pho Ang-soat tertawa, ternyata dia masih bisa tertawa. Umpama dia tidak tertawa benar-benar, tertawa lebar umpamanya, sorot matanya sudah menampilkan rona yang tajam. Hal ini jarang terjadi dan merupakan kejadian luar biasa, bagaikan di tengah hujan lebat di antara mega mendung mendadak terbersit selarik sinar surya.

Yan Lam-hwi mengawasinya, mendadak dia menghela napas, katanya, “Yang membuatku di luar dugaan adalah manusia yang bukan manusia macammu ini ternyata juga bisa tertawa.”

“Bukan saja bisa tertawa, juga pandai mendengar,” ujar Pho Ang-soat. “Kalau begitu marilah ikut aku.”

“Kemana?”

“Ke tempat yang tak bakal kehujanan, ke tempat yang ada arak.”

Di atas loteng kecil itu ada arak, juga ada lentera, di malam nan dingin ini, terasa lebih hangat dari senyum tawa Pho Ang-soat. Tapi Pho Ang-soat hanya menengadah sekilas, rona tawa dalam matanya seketika membulat dingin, katanya, “Itulah tempat tujuanmu, bukan tempatku.”

“Kau tidak mau?” “Pasti tidak.”

“Kalau aku boleh ke sana, kenapa kau tidak?” “Karena kau bukan aku, dan aku bukan kau.”

Justru karena kau bukan aku, maka kau pasti takkan tahu duka-lara dan penderitaanku. Hal ini tidak dia ucapkan, juga tidak perlu diucapkan.

Tapi Yan Lam-hwi sudah melihat penderitaannya, karena menderita hingga kulit mukanya tampak berkerut dan kedutan.

Tempat itu hanyalah sarang pelacur, tempat setiap lelaki mencari hiburan, kenapa justru memancing reaksi penderitaannya? Mungkinkah di tempat seperti ini dia mempunyai kenangan lama yang menyebabkan dia menderita?

Mendadak Yan Lam-hwi bertanya, “Adakah kau melihat orang yang menemani aku pergi ke Hong-hong- kip? Orang yang memetik harpa itu?”

Pho Ang-soat menggeleng tanpa bersuara.

“Aku tahu kau tidak melihatnya, karena kau tidak minum arak, selamanya juga tidak melihat perempuan.” Wajah Pho Ang-soat ditatapnya, lalu melanjutkan dengan perlahan, “Apakah lantaran arak dan perempuan yang membuat hatimu terluka?”

Pho Ang-soat tidak bergerak, juga tidak buka suara, namun setiap inci kulit daging mukanya seperti mengejang. Karena setiap patah pertanyaan Yan Lam-hwi setajam jarum menusuk sanubarinya. Di tempat hiburan, kenapa tidak mungkin terjadi kenangan yang penuh derita? Tanpa hiburan darimana datangnya sengsara?

Yan Lam-hwi tutup mulut, dia tidak ingin bertanya lagi, tidak tega mengajukan pertanyaan lagi.

Pada saat itulah dari belakang tembok mendadak melesat terbang dua orang, “Bluk”, seorang di antaranya jatuh di tanah untuk tidak bergerak lagi, seorang lagi menggunakan Yan-cu-sam-jau-cui, Ginkang tingkat tinggi untuk meluncur ke loteng di seberang sana. 

Waktu Yan Lam-hwi keluar, jendela sudah terbuka, lentera juga menyala. Di bawah sinar lentera yang menyorot keluar hanya terlihat sesosok bayangan langsing yang lincah cekatan berkelebat sekali, terus menerobos masuk jendela.

Yang roboh di atas tanah adalah seorang kakek tua berbaju hitam, memelihara jenggot pendek seperti jenggot kambing, wajahnya kurus kering berwarna kuning. Begitu badan menyentuh tanah, napasnya lantas putus.

Tahu napas orang sudah putus, segera Yan Lam-hwi melompat, terbang ke atas dengan kecepatan tinggi, menerobos ke dalam loteng lewat jendela. Ketika dia sudah berada di atas loteng, dilihatnya Pho Ang-soat juga sudah berdiri di dalam rumah. Tiada bayangan orang di dalam kecuali bekas tapak kaki yang masih basah.

Tapak kakinya amat enteng dan kecil, bayangan orang seringan burung walet tadi jelas adalah seorang perempuan.

Yan Lam-hwi mengerut kening, gumamnya, “Mungkinkah dia?” “Dia siapa?” tanya Pho Ang-soat.

“Bing-gwat-sim.”

Dingin suara Pho Ang-soat, “Di langit tiada bulan, bulan tiada hati, darimana datangnya Bing-gwat-sim?”

“Kau keliru,” ujar Yan Lam-hwi dengan menghela napas, “sebetulnya aku juga keliru, sampai sekarang  baru aku tahu bahwa Bing-gwat-sim itu punya hati.”

Yang tidak punya hati adalah mawar, maka mawar di ujung langit, di tempat yang amat jauh. “Jadi Bing-gwat-sim adalah penghuni tempat ini?” tanya Pho Ang-soat.

Yan Lam-hwi mengangguk tidak bersuara, dari luar terdengar ketukan pintu.

Daun pintu hanya dirapatkan saja, nona cilik dengan mata bundar berpakaian sutra hijau, wajahnya bersemu merah, tangan kiri membawa cangkir, tangan kanan memeluk sebuah guci arak kecil yang masih disegel tutupnya, dengan malu-malu dia beranjak masuk, matanya yang jeli lincah berputar mengawasi Pho Ang-soat sekian lamanya. Tiba-tiba dia berkata, “Apakah dia ini tamu agungmu yang dikatakan nona kami?”

Pho Ang-soat tidak mengerti, demikian pula Yan Lam-hwi juga tidak habis mengerti.

Nona cilik ini berkata pula, “Nona kami bilang, ada tamu agung bertandang, maka menyuruhku menyiapkan santapan, tapi kulihat kau ini tidak mirip tamu agung.” Seperti malas melihat Pho Ang-soat lagi, mulut selesai bicara segera ia membalik ke sana membersihkan meja, lalu menata hidangan.

Bayangan orang tadi ternyata memang benar Bing-gwat-sim adanya.

Kakek tua berbaju hitam memang hendak membunuh Yan Lam-hwi, sayang pembunuh gelap ini telah terbunuh lebih dulu oleh Bing-gwat-sim, namun dia tidak ingin segera unjuk diri, mungkin hendak memancing Pho Ang-soat masuk ke atas loteng itu.

Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Gelagatnya dia lebih mahir dari aku dalam hal mengundang tamu.”

Pho Ang-soat menarik muka, katanya, “Sayang sekali aku ini bukan tamu agung seperti yang dibayangkan olehnya.”

“Betapapun kau sudah berada di sini, setelah datang kenapa tidak tinggal di sini?” “Kalau aku sudah berada di sini, kenapa kau masih tidak bicara?”

Yan Lam-hwi tertawa, dia tepuk tutup guci arak serta menyobek segelnya, bau arak segera merangsang hidung. “Arak bagus,” pujinya dengan tertawa, “sejak aku kemari, belum pernah aku mencicipi arak sebagus ini.”

Nona cilik itu sedang mengangkat guci menuang arak ke dalam poci, dari poci dia mengisi arak ke dalam cangkir.

Yan Lam-hwi berkata, “Agaknya bukan saja dia mengenalmu, orang macam apa kau ini, dia pun sudah tahu jelas.”

Arak secangkir penuh segera ditenggaknya habis, lalu dia berputar ke arah Pho Ang-soat, katanya pula perlahan, “Cita-citaku belum terlaksana, lantaran ada seorang belum mati.”

“Siapakah dia?”

“Seorang yang patut dibunuh.” “Kau ingin membunuhnya?”

“Setiap hari setiap malam aku ingin membunuhnya.”

Lama Pho Ang-soat berdiam diri, lalu berkata dingin, “Orang yang patut mati, cepat atau lambat pasti akan mati, kenapa harus kau sendiri yang turun tangan?”

“Karena kecuali aku, tiada orang yang tahu bahwa dia patut dibunuh.” “Lalu siapa dia?”

“Dia bernama Kongcu Gi.”

Ruangan itu mendadak hening, nona cilik yang menuang arak itupun berdiri melenggong, lupa mengisi cangkir yang kosong…..

*******************

Kongcu Gi.

Nama ini seolah-olah membawa daya magis yang dapat menyedot sukma orang.

Pho Ang-soat menatap keluar jendela, lama sekali mendadak dia berkata, “Ingin aku bertanya kepadamu, selama empat puluhan tahun mendatang ini, ada berapa orang yang betul-betul dapat diagulkan menjadi pendekar besar?”

“Ada tiga orang.”

“Hanya tiga orang saja?” “Kau tidak kuhitung, kau

“Aku tahu aku bukan, aku hanya bisa membunuh orang, tidak bisa menolong orang.” “Aku tahu kau memang bukan, karena hakikatnya kau tidak ingin

jadi pendekar.”

“Jadi yang kau maksud adalah Sim Long, Li Sun-hoan dan Yap Kay?”

Yan Lam-hwi mengangguk, katanya, “Ya, hanya mereka bertiga yang setimpal.”

Setiap insan persilatan tiada yang berani menyangkal akan kebenaran ini. Sepuluh tahun pertama adalah zamannya Sim Long, sepuluh tahun kedua Siau-li si pisau terbang Li Sun-hoan malang melintang di kolong langit, sepuluh tahun ketiga adalah kejayaan Yap Kay.

“Lalu sepuluh tahun terakhir ini?” tanya Pho Ang-soat.

Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, “Dunia Kangouw sekarang berada di bawah kekuasaan Kongcu Gi.” Cangkir penuh arak, sekali tenggak dia habiskan, “Bukan saja dia orang berbakat, kaya raya dan berkuasa, dia pula satu-satunya ahli-waris Sim Long, bukan saja seorang gagah romantis, juga seorang pendekar besar yang memiliki kungfu tinggi.”

“Tapi kau justru ingin membunuhnya.” “Aku ingin membunuhnya, bukan lantaran ingin berebut nama, juga bukan untuk menuntut balas.” “Memangnya apa tujuanmu?”

“Demi keadilan dan kebenaran, karena aku tahu rahasianya, hanya aku ...” waktu dia mengangkat cangkir ketiga kalinya, mendadak terdengar “Plak”, cangkir itu remuk di tangannya. Seketika rona mukanya berubah, berubah putih mulus dan mengkilap.

Hanya sekilas Pho Ang-soat melihat wajahnya, mendadak dia maju, tangan bekerja bagai angin, sepasang sumpit dia jejalkan ke dalam mulutnya, sekaligus dia menutuk pula delapan Hiat-to di sekitar urat nadinya.

Yan Lam-hwi mengertak gigi sekerasnya, tapi tak mampu menggigit putus sepasang sumpit itu, di antara dua baris gigi atas bawah terdapat celah-celah lubang. Lekas sekali Pho Ang-soat sudah  mencekok sebotol puyer obat ke dalam mulutnya, begitu kedua jarinya memegang dagu dan memijat gerahamnya, mulutnya lantas terpentang lebih lebar, sumpit jatuh obat pun tertelan.

Nona cilik itu sudah berdiri kaku ketakutan, diam-diam dia menggeremet mundur hendak ngacir, tiba-tiba dilihatnya sepasang mata dingin setajam pisau sedang mendelik kepadanya.

Poci arak dan cangkir terbuat dari perak, segel dan tutup guci jelas belum pernah disentuh orang. Tapi kenyataan Yan Lam-hwi terkena racun, hanya tiga cangkir, tapi racun yang bekerja ternyata sudah segawat ini, lalu darimana datangnya racun dalam arak.

Segera Pho Ang-soat angkat guci itu lalu dibalik, arak tumpah, sinar lentera yang benderang menyinari pantat guci, tampak setitik sinar gemerdep. Begitu guci dia tepuk pecah, maka ditemukan sebatang jarum putih beracun di dalam guci. Jarum panjang satu setengah dim, tebal guci itu hanya satu dim, bila jarum ditusukkan dari bawah, racun di ujung jarum segera akan terendam di dalam arak.

Lekas sekali Pho Ang-soat sudah memperoleh jawabannya, tapi persoalan tidak sederhana, racun memang dari ujung jarum, lalu dari mana asalnya jarum ini?

Setajam pisau tatapan mata Pho Ang-soat, tanyanya dingin, “Kau yang membawa guci arak ini?” Nona cilik itu mengangguk, pipinya yang merah seperti buah apel kini sudah pucat-lesi. “Darimana kau mengambilnya?”

Gemetar suara nona cilik itu, “Guci arak ini tersimpan di kamar bawah loteng ini.” “Bagaimana kau bisa memilih guci arak yang satu ini?”

“Bukan aku yang memilih, nona kami bilang supaya meladeni tamu agung dengan arak yang paling bagus, arak dalam guci ini adalah yang paling bagus.”

“Dimana dia sekarang?”

“Dia sedang berganti pakaian, karena ...”

“Karena waktu aku kembali tadi, seluruh pakaianku juga sudah basah kuyup,” seorang tiba-tiba menyambung dari luar pintu. Suaranya merdu, senyumannya lebih elok, sikapnya begitu anggun dan ramah, dandanannya juga sederhana tapi asri.

Mungkin dia tidak terhitung perempuan paling cantik di seluruh negeri ini, tapi waktu dia melangkah masuk, seumpama suatu malam di musim semi, cahaya rembulan menyorot masuk dari jendela, sehingga setiap orang akan merasa betapa elok dan permai, betapa senang dan bahagia serta tenteramnya. Kerlingan matanya pun selembut cahaya rembulan, tapi begitu dia melihat jarum di tangan Pho Ang-soat, sorot matanya seketika berubah tajam bersinar.

“Bahwa kau bisa menemukan jarum itu pasti kau tahu asal-usulnya,” suaranya berubah tajam tegas, “itu kan Am-gi tunggal keluarga Tong di Sujwan, orang tua yang mati di luar itu adalah satu-satunya sampah persilatan dari keluarga Tong, bernama Tong In, dia pernah kemari, tempat ini tidak terlarang dan tidak pernah dijaga ketat, kamar bawah tanah dimana arak ini disimpan juga tidak pernah dikunci.”

Bahwasanya sikap Pho Ang-soat seperti tidak mendengar uraiannya, dia hanya memandangnya kosong, mendelong seperti orang linglung, wajah yang semula pucat mendadak berubah merah, dengus napasnya juga bertambah berat dan sesak, air hujan di mukanya baru saja kering, kini mukanya basah pula oleh keringat dingin.

Waktu Bing-gwat-sim mengangkat kepala, baru dia menemukan perubahan ganjil di wajah Pho Ang-soat, serunya gugup, “Apa kau juga keracunan?” Kedua tangan Pho Ang-soat saling cengkeram, tapi tak bertahan masih juga tubuhnya menggigil, mendadak dia membalik tubuh terus menerobos keluar jendela.

Nona cilik terbelalak kaget mengawasi bayangan orang lenyap di luar, katanya sambil mengerut alis, “Agaknya orang ini tidak normal.”

“Ya,” ucap Bing-gwat-sim. “Penyakitnya memang sudah parah.” “Penyakit apa?”

“Sakit di hati.”

Berkedip mata si nona cilik, “Bagaimana mungkin sakit bisa di hati?”

Bing-gwat-sim diam cukup lama, lalu menghela napas, “Karena dia pun seorang yang selalu dirundung kesedihan.”

Hujan ritik-rintik, angin bertiup kencang.

Di sini tiada lampu, diliputi kegelapan, bagai berada di tegalan belukar.

Pho Ang-soat sudah terjungkal jatuh ke selokan di pinggir jalan, tubuhnya meringkuk dan berkelejetan, mulutnya muntah-muntah. Kemungkinan tiada isi perut yang ditumpahkannya, dia hanya ingin menumpahkan rasa sedih, rasa kecut dan penderitaan batinnya.

Pho Ang-soat memang sakit. Bagi Ang-soat, bukan saja penyakit merupakan derita yang tak mungkin dihindarkan, juga merupakan ciri yang memalukan, setiap kali amarah dan deritanya memuncak tak tertahankan, penyakitnya itu lantas saja kumat, maka dia harus menyembunyikan diri, seorang diri bersembunyi di tempat yang tidak diketahui orang, dengan cara yang paling sadis menyiksa diri sendiri. Karena dia membenci dirinya sendiri, membenci kenapa dirinya bisa dihinggapi penyakit seperti ini?

Hujan masih turun, tetesan air hujan seperti cambuk yang melecut tubuhnya, hatinya sedang berdarah, tangannya pun berdarah, kedua tangannya mencengkeram bumi, dengan kencang dia mencomot tanah, tanah yang berlumur darah itu dia jejalkan ke dalam mulut. Dia kuatir dalam keadaan penyakit kumat ini, dirinya akan mengerang, merintih dan berteriak seperti binatang yang sekarat. Dia lebih suka mengucurkan darah daripada keadaannya yang memalukan ini terlihat orang lain.

Tapi gang sempit yang jorok dan gelap ini sekarang justru telah dikunjungi orang.

Bayangan semampai dengan langkah gemulai, seorang tengah menghampiri pelan-pelan dan langsung berhenti di depannya. Dia tidak melihat orangnya, hanya melihat sepasang kakinya.

Sepasang kaki yang mulus, mengenakan sepatu sulam yang lemas, serasi dengan warna pakaiannya. Warna pakaiannya ternyata kalem dan muda, semuda cahaya rembulan yang cemerlang.

Dari tenggorokan Pho Ang-soat mendadak mengeluarkan raungan rendah seperti binatang buas, bagai seekor harimau yang perutnya disembelih. Dia lebih suka orang-orang di dunia ini memergoki keadaannya yang menderita dan memalukan ini, tapi jangan orang yang satu ini.

Sekuatnya dia meronta dan melompat, sayang sekujur badannya hanya bisa mengejang, tulang seperti dicopot dari ruasnya, tenaga pun susah dikerahkan.

Terdengar si dia menghela napas, perlahan ia membungkuk badan.

Pho Ang-soat mendengar helaan napasnya, terasa jari-jari halus nan dingin mengelus mukanya, lalu mendadak dia kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan, seluruh derita yang dialami seperti bebas meninggalkan badan kasarnya.

Waktu dia siuman, dirinya sudah berada di atas loteng pula. Si dia duduk di ujung ranjang sedang mengawasi, pakaiannya selembut cahaya bulan, sementara matanya gemerlapan laksana bintang kejora. Melihat sepasang mata ini, dari relung hatinya yang paling dalam segera bergema suatu perasaan ganjil, bagai getaran senar harpa yang dipetik terus tanpa berhenti.

Si dia tampak dingin, katanya tawar, “Apa pun tak usah kau katakan, aku membawa dirimu pulang karena aku ingin menolong Yan Lam-hwi, dia keracunan, keadaannya amat parah.”

Pho Ang-soat memejamkan mata, entah untuk menghindari tatapan matanya atau karena tidak ingin melihat derita hatinya dari sorot matanya sendiri. Bing-gwat-sim berkata, “Aku tahu di kalangan Kangouw, paling hanya tiga orang yang dapat menawarkan racun keluarga Tong dan kau adalah satu di antaranya.”

Pho Ang-soat tidak memberikan reaksi, tapi mendadak dia berdiri, berdiri ke arah jendela dan membelakangi si dia. Pakaian yang dikenakan tetap pakaiannya yang dulu, golok masih berada di tangan, kedua hal ini jelas menenteramkan hatinya, maka kali ini dia tidak lagi menerobos jendela, namun hanya bertanya dingin, “Dimana dia?”

“Masih di sini, di kamar sebelah.”

“Aku akan ke sana, kau tunggu di sini.”

Bing-gwat-sim berdiri di sana, mengawasi dia yang pelan-pelan masuk ke dalam, melihat gayanya berjalan, sorot matanya seketika mengalirkan perasaan sedih, pilu serta derita yang tak bisa dijelaskan.

Lama sekali baru terdengar suaranya berkata dari balik kerai, “Obat penawar di atas meja.” Suaranya kaku dingin, sambungnya, “Keadaannya sudah tidak menguatirkan, tiga hari lagi pasti siuman, tujuh hari kemudian sudah sembuh seluruhnya.”

“Sekarang kau belum boleh pergi.”

Bing-gwat-sim bicara cepat, seperti tahu bahwa dia hendak pergi.

“Umpama kau tidak ingin melihatnya lagi, betapapun sekarang janganlah kau pergi?”

“Aku menyelami keadaanmu, aku dapat merasakan duka-lara masa lalumu, orang yang membuatmu sedih pasti berwajah seperti diriku,” suara Bing-gwat-sim tegas dan mantap, “tapi kau harus maklum, dia tetap dia, bukan aku, juga bukan orang lain. Karena itu kau tidak boleh menyingkir, lari dari  kenyataan ini, kepada siapa pun kau tidak perlu menyingkir.”

Angin masih menghembus, kerai juga tertiup berderai, ternyata dia belum pergi, Bing-gwat-sim mendengar helaan napasnya, segera dia berkata pula, “Jika kau ingin dia hidup setahun lagi, maka kau harus melakukan dua hal.”

“Dua hal apa?” akhirnya Pho Ang-soat bersuara.

“Dalam tujuh hari ini kau tidak boleh pergi,” Bing-gwat-sim mengedipkan mata, lalu melanjutkan, “tengah hari nanti, kau harus menemani aku berjalan-jalan, akan kutunjukkan beberapa orang kepadamu.”

“Siapakah mereka?”

“Orang-orang yang tidak akan memberi kesempatan hidup kepada Yan Lam-hwi.”

*******************

Lohor.

Sebuah kereta berhenti di sebuah pintu kecil di belakang kebun, kerai diturunkan rendah hingga penumpang tidak kelihatan dari luar. “Kenapa harus naik kereta?”

“Karena kuingin kau dapat melihat mereka, tapi mereka tidak dapat melihat engkau,” Bing-gwat-sin mendadak tertawa. “Aku tahu kau pun tidak ingin melihatku, karena itu aku sudah siap mengenakan kedok.”

Topeng yang dipakainya berbentuk Mi-to-hud yang sedang tertawa, pipinya gemuk, bibirnya tebal, begitu mungil laksana orok kecil, padahal perawakannya ramping semampai serta menggiurkan, jadi kelihatannya agak ganjil dan lucu.

Jangankan melihat, melirik pun Pho Ang-soat tidak, jari-jari tangannya yang pucat dengan otot hijau merongkol menghias punggung tangannya yang menggenggam kencang golok hitamnya.

Dalam pandangan Pho Ang-soat, di dunia ini seakan-akan tiada sesuatu persoalan yang patut membuatnya tertawa.

Sepasang mata Bing-gwat-sim justru tengah menatapnya dari balik kedok jenaka itu, tanyanya tiba-tiba, “Apakah kau tidak ingin tahu siapa orang pertama yang ingin kutunjukkan kepadamu?”

Pho Ang-soat tidak menjawab. “Dia bernama Toh Lui, It-to-tang-hong-lui Toh Lui.” Pho Ang-soat tetap tidak memberi reaksi.

Bing-gwat-sim menghela napas, katanya pula, “Agaknya sudah lama kau meninggalkan percaturan dunia persilatan, ternyata Toh Lui yang sekali menggerakkan golok mengguncang angin dan geledek juga tidak kau kenal.”

Akhirnya Pho Ang-soat buka suara, “Mengapa aku harus tahu?” “Karena dia termasuk salah seorang dalam daftar.”

“Daftar apa?”

“Daftar nama-nama orang terkenal kaum persilatan.” Semakin pucat muka Pho Ang-soat.

Dia tahu, siapa pun bila dia sudah angkat nama di kalangan Kangouw, maka dia tidak akan mau tunduk kepada orang lain.

Dahulu waktu Pek-hiau-sing membuat daftar senjata, menilai dan menimbang jago-jago kosen seluruh jagat, meski daftar nama yang tercantum di dalamnya cukup adil dan obyektif, toh masih juga menimbulkan huru-hara yang cukup gawat bagi dunia persilatan, belakangan ada orang menuduh dia sengaja ingin menimbulkan onar sehingga kaum persilatan saling bunuh. Sekarang entah darimana asal mulanya, tahu- tahu ada pula daftar nama tokoh terkenal dunia persilatan? Apakah tidak mempunyai maksud tertentu?

Bing-gwat-sim memberi uraian, “Konon daftar nama itu adalah buah karya Kongcu Gi sendiri, di dalam daftar hanya tercantum tiga belas nama orang.”

Mendadak Pho Ang-soat tertawa dingin, jengeknya, “Namanya sendiri tentu juga tercantum di dalam daftar itu.”

“Dugaanmu memang benar.”

Jelalatan sinar mata Pho Ang-soat, tanyanya, “Yap Kay? Apakah juga tercantum?”

“Nama Yap kay justru tidak tercantum, mungkin karena sudah lama dia meninggalkan dunia Kangouw, sebagai orang di luar garis percaturan.”

Pho Ang-soat diam, sorot matanya seperti mendadak sudah berada di tempat jauh.

“Aku tahu Yap Kay adalah kawanmu satu-satunya, apakah kau pun tidak pernah mendapat kabar beritanya?”

Sorot mata Pho Ang-soat mendadak berubah kaku dingin dan tajam, suaranya mendesis, “Aku tidak punya kawan, satu pun tidak punya.”

Bing-gwat-sim menghela napas panjang, segera dia alihkan pembicaraan, “Kenapa kau tidak bertanya padaku, apakah namamu juga tercantum di dalam daftar itu?”

Pho Ang-soat tidak bertanya, karena dia tahu bahwasanya tidak perlu dia bertanya.

“Mungkin kau memang tidak usah bertanya, dalam daftar itu memang ada namamu. Nama Yan Lam-hwi juga tercantum di dalamnya,” seperti memikirkan sesuatu, lalu dia meneruskan, “Di dalam daftar memang sudah diberi catatan bahwa urutan nama itu tidak ditentukan tinggi rendah atau besar kecil nama seseorang, namun di atas secarik kertas terdaftar tiga belas nama orang betapapun harus diberi nomor urut.”

Akhirnya Pho Ang-soat bertanya, “Nama siapa yang tercantum paling atas?” “Yan Lam-hwi.”

Gemetar tangan Pho Ang-soat yang menggenggam golok, namun lambat-laun mengendor pula.

“Kenapa selama dia berkelana di Kangouw selalu tidak pernah aman, selalu menghadapi  bahaya, sekarang tentu kau sudah maklum sebabnya.”

Pho Ang-soat tidak bersuara.

Kereta sudah berhenti, berhenti di seberang sebuah gedung berloteng, Hwe-ping-lau itu tingginya ada puluhan tombak. “Aku tahu setiap hari Toh Lui makan siang di sini, setelah makan, cukup lama dia berdiam di atas loteng, kira-kira pada saat seperti ini baru akan pulang,” Bing-gwat-sim menerangkan, “menu yang dimakan setiap hari terdiri empat macam hidangan, dua mangkuk nasi dan sepoci arak, jenis keempat hidangan itupun tidak pernah berubah.”

Wajah pucat Pho Ang-soat kelihatan tetap tidak menunjukkan perasaan, namun kedua matanya sudah mulai memicing. Dia tahu kali ini dirinya bakal berhadapan dengan seorang lawan yang amat menakutkan.

Jago dalam dunia persilatan memang tidak terhitung banyaknya, namun yang terdaftar justru hanya tiga belas orang, maka dapatlah dibayangkan bahwa tiga belas orang itu pasti adalah tokoh-tokoh yang menakutkan.

Bing-gwat-sim sedikit menyingkap kerai mengintip keluar, katanya mendadak, “Nah, itu dia keluar.” Mentari tepat bercokol di tengah angkasa.

Waktu Toh Lui beranjak keluar dari Hwe-ping-lau, bayangan tubuhnya kebetulan terinjak di bawah telapak kaki sendiri. Kakinya memakai sepasang sepatu beludru, selop tinggi beralas karet yang lunak, harga sepatu ini delapan belas tahil, baru kemarin dibelinya.

Setiap kali dia memakai sepatu barunya menginjak bayangan sendiri, selalu timbul gejolak perasaan aneh di dalam sanubarinya, ingin dia mencopot sepatunya, mencopot seluruh pakaian yang dipakainya hingga telanjang bulat, lalu berlari di jalanan sambil berteriak-teriak, Namun jelas dia tidak akan berbuat demikian, karena sekarang dia sudah menjadi orang ternama, seorang yang terkenal, setiap persoalan yang dikerjakan pasti beres, tepat dan adil. Dimana pun dia berada, berapa lama dia akan di sana, setiap hari dia pasti menggunakan waktu yang sama untuk makan minum, dan yang dimakan adalah menu yang itu- itu juga.

Ada kalanya dia sendiri merasa hampir gila karena kebiasaannya itu, namun dia tetap bandel, tidak mau merubah kebiasaan ini, karena dia ingin dan mengharap orang lain menganggap dirinya punya disiplin keras dan hidup terpimpin, dia tahu manusia umumnya akan menaruh hormat terhadap orang sejenis ini. Dan itulah hal yang paling menggembirakan dan dianggapnya sebagai suatu kenikmatan.

Setelah mengalami gemblengan tujuh belas tahun, perjuangan lima tahun, empat puluh tiga pertarungan besar kecil, jerih-payahnya agaknya tidak mengecewakan, dan apa yang diharapkan memang adalah yang itu pula, maka dia berpedoman supaya diri sendiri percaya, sekarang dia bukan lagi anak miskin yang sepanjang tahun bertelanjang kaki.

Gagang goloknya yang dihiasi mutiara tampak kemilau ditimpa sinar mentari, banyak orang di jalanan menatap tajam ke arah goloknya itu.

Dua pasang mata tersenyum di balik kerai di dalam kereta di seberang jalan juga seperti sedang mengintip golok itu.

Beberapa tahun belakangan ini, dia sudah biasa ditatap dan diawasi orang banyak di tengah jalan, maklum setiap orang ternama harus berani menghadapi kebiasaan ini. Tapi entah mengapa hari ini dia seperti merasa risi dan kikuk, bagai seorang gadis rupawan yang bertelanjang bulat di hadapan banyak orang laki- laki.

Apakah ini lantaran dua pasang mata yang mengintipnya dari dalam kereta hitam di seberang jalan, sudah menembusi rahasia dirinya bahwa hanya kerangka luar badannya saja yang disepuh emas, terbayang pula akan seorang anak miskin yang telanjang kaki.

Sekali tabas membelah kabin kereta itu dan mengorek keluar kedua pasang mata itu. Sebetulnya emosi ini sudah menggelitik hatinya, namun tidak dia lakukan, karena kedatangannya kemari bukan untuk mencari kesulitan. Beberapa tahun belakangan ini dia sudah pandai mengendalikan diri, menahan sabar.

Dia tidak menoleh ke arah seberang, langkahnya menyusuri jalan raya panjang yang diterangi sinar matahari, beranjak ke hotel dimana dia menginap. Setiap langkah kakinya diperhitungkan dan pas satu dengan yang lain, sejengkal pun tidak berbeda. Dia pun mengharap orang lain juga maklum bahwa goloknya juga selalu tepat.

Bing-gwat-sim menurunkan kerai perlahan, lalu menghela napas pula, katanya, “Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?”

Dingin reaksi Pho Ang-soat, “Dalam tiga tahun kalau dia masih hidup, pasti menjadi gila.” “Sayang, sekarang dia belum gila.” Kereta itu berhenti pula di seberang It-ping-hiang, sebuah restoran yang amat besar. Umumnya restoran dikunjungi berbagai macam manusia, semakin besar restorannya semakin banyak pengunjungnya.

Bing-gwat-sim menyingkap kerai sedikit supaya Pho Ang-soat bisa mengintip cukup lama, lalu dia bertanya, “Apa yang kau lihat?”

“Manusia,” sahut Pho Ang-soat pendek. “Berapa?”

“Tujuh orang.”

Sekarang adalah saatnya restoran itu paling ramai, waktunya makan siang, ada seratus lebih tamu yang sedang gegares di dalam restoran besar ini, kenapa dia hanya bilang melihat tujuh orang?

Ternyata Bing-gwat-sim tidak menyatakan heran, sorot matanya malah memancarkan rasa kagum, tanyanya pula, “Tujuh orang yang mana yang kau lihat?”

Tujuh orang yang dilihat Pho Ang-soat adalah dua orang yang sedang main catur, seorang makan kacang kulit, seorang Hwesio, seorang burikan, seorang nona yang menjual suara nyanyian, satu lagi adalah seorang gendut yang mengantuk mendekam di meja. Ketujuh orang ini ada yang duduk di pojok, ada yang duduk di tengah kerumunan orang, tampang mereka juga tiada yang istimewa, kenapa orang lain tidak memperhatikan, justru yang dia lihat hanya ketujuh orang ini?

Bukan saja tidak merasa heran sikap, Bing-gwat-sim malah kelihatan kagum, katanya dengan menghela napas perlahan, “Aku hanya tahu golokmu cepat, tak nyana pandangan matamu lebih cepat lagi.”

“Sebetulnya asal aku hanya melihat seorang juga sudah cukup/' ujar Pho Ang-soat, memang sekarang dia sedang mengawasi satu orang.

Si gendut yang mendekam ngantuk di meja sekarang sedang menggeliat dan menegakkan badan, lalu menuang secangkir teh untuk kumur, “Crot”, mendadak dia semburkan air teh di mulut ke lantai dan menyemprot basah kaki dan celana satu orang, bergegas dia memburu maju, membungkuk badan membersihkan kaki orang serta munduk-munduk dan tertawa minta maaf.

Seseorang bila badannya terlalu tambun setiap melakukan sesuatu pasti kelihatan agak dungu dan menggelikan, tapi waktu Pho Ang-soat mengawasi si gendut ini, rona matanya justru prihatin, seperti waktu dia mengawasi Toh Lui tadi. Apakah dia berpendapat bahwa si gendut ini  juga seorang lawan tangguh yang menakutkan?

“Kau kenal orang ini?” tanya Bing-gwat-sim. Pho Ang-soat menggeleng kepala.

“Tapi kau justru memperhatikan dia.” Pho Ang-soat mengangguk.

“Kau sudah melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya?”

Lama Pho Ang-soat tidak bersuara, lalu sepatah demi sepatah dia berkata, “Orang ini membawa hawa membunuh.”

“Hawa membunuh?” Bing-gwat-sim menegas.

Pho Ang-soat menggenggam kencang goloknya, katanya, “Hanya seorang kosen yang pernah membunuh orang tak terhitung banyaknya, pada tubuhnya baru akan timbul hawa membunuh.”

“Tapi kelihatannya dia tidak lebih hanya seorang gendut yang lamban, si gendut yang dungu.” “Itu hanya sebagai tabir untuk menutupi keaslian dirinya, bagai sarung pedang atau golok itulah.”

“Agaknya matamu lebih tajam dari golokmu,” Bing-gwat-sim menghela napas. Agaknya dia kenal  baik orang ini, malah tahu asal-usulnya.

“Siapakah dia?” Pho Ang-soat bertanya “Dia itu Bok-cay (ibu jari).”

“Ibu jari?”

“Tahukah kau belakangan ini di kalangan Kangouw muncul suatu sindikat rahasia yang menakutkan?” “Apa nama sindikat itu?” “Hek-jiu (tangan hitam).”

Belum pernah Pho Ang-soat mendengar nama ini, namun dalam pendengarannya terasa adanya suatu tekanan yang tak bisa dilukiskan.

“Sejauh ini belum banyak orang persilatan yang tahu tentang sindikat rahasia itu, karena mereka bekerja di bawah tanah, melakukan pekerjaan yang takut dilihat matahari.”

“Apa tugas kerja sindikat rahasia itu?” “Merampok, merampas dan pembunuhan gelap.”

Setiap orang mempunyai lima jari tangan, maka sindikat ini dipimpin lima orang. Dan si gendut ini adalah Bok-cay alias Ibu jari, ibu jari dari tangan hitam itu.

Kereta itu bergerak lagi ke depan, kerai pun diturunkan pula.

Mendadak Bing-gwat-sim bertanya, “Pada sebuah tangan, jari manakah yang memiliki tenaga paling besar?”

“Sudah tentu ibu jari.”

“Yang paling lincah jari mana?” “Jari telunjuk.”

“Dalam sindikat gelap tangan hitam ini, tugas Ibu jari dan Jari telunjuk adalah menjadi pembunuh gelap.”

Yang paling menakutkan pada Ibu jari adalah dia meyakinkan Cap-sah-thay-po, ilmu weduk yang harus dilandasi dengan Thong-cu-kang, kekebalan badan yang tak mungkin bisa diyakinkan orang lain.”

Karena Ibu jari adalah seorang Thay-kam (sida-sida), sejak kecil dia sudah menjadi sida-sida, beberapa jago kosen dalam istana raja pernah mengajar silat kepadanya, ilmunya tinggi dan menakutkan.

Asal-usul jari telunjuk lebih aneh dan luar biasa, konon bukan saja dia pernah menjadi petugas penerima tamu di Siau-lim-si, di dalam Kay-pang dia pernah menggendong enam karung, pernah pula menjadi Sing- tong Tongcu dari Cap-ji-lian-hoan-ou yang dikuasai Hong-bwe-pang di Kanglam. Anak buah mereka merupakan kelompok tersendiri, setiap orang memiliki kepandaian khas yang luar biasa, malah sudah  biasa bekerja sama. Karena itu aksi pembunuhan yang mereka lakukan, selamanya tidak pernah gagal.

“Tapi orang yang paling menakutkan di dalam sindikat itu bukan kedua orang ini,” ucap Bing-gwat-sim. “Siapa?”

“Yaitu Bu-bing-cay (jari tak bernama, jari manis).” Bu-bing-cay memang adalah jari yang tak berguna, jari yang lamban dan goblok di tangan manusia.

“Kenapa Bu-bing-cay menakutkan?” “Karena dia tidak bernama.”

Pho Ang-soat manggut-manggut, hal ini memang betul.

Jago Bu-Iim yang memiliki kepandaian hebat pasti menyimpan kungfu khas yang menakutkan, akan tetapi ada sementara orang yang tidak punya nama ada kalanya justru lebih menakutkan. Karena biasanya kau menunggu setelah goloknya menusuk jantungmu, baru kau sadar akan kelihaiannya, tahu betapa dia menakutkan.

Bing-gwat-sim berkata, “Tiada orang dalam dunia persilatan yang tahu siapa sebenarnya Jari tak bernama itu, tiada seorang pun yang pernah melihatnya.”

“Dan kau pun tidak tahu?”

“Mungkin setelah goloknya menusuk hulu hatiku baru aku tahu siapa dia.” Bing-gwat-sim tertawa getir.

Lama Pho Ang-soat berdiam pula, lalu bertanya, “Sekarang kau hendak membawa aku melihat siapa pula?” Bing-gwat-sim tidak langsung menjawab pertanyaan ini, katanya, “Kota kecil ini sebetulnya bukan tempat yang ramai, tapi beberapa hari belakangan ini mendadak berdatangan orang-orang asing dari kaum persilatan, terhadap tamu-tamu yang tidak diundang ini dia tidak merasa asing lagi, karena dia sudah  mencari tahu asal-usul serta latar belakang mereka.”

Ternyata Pho Ang-soat juga tidak kaget atau heran. Sejak bertemu pertama kali Pho Ang-soat sudah merasakan perempuan yang satu ini kelihatannya tidak seperti gayanya yang lemah lembut dan sederhana. Pada kedua tangannya yang terpelihara baik itu, jelas menggenggam suatu kekuatan besar dari yang pernah dibayangkan oleh siapa pun.

Bing-gwat-sim berkata, “Boleh dikata aku sudah mencari tahu sejelasnya tentang asal-usul  kedua orang itu, hanya satu orang terkecuali.”

“Siapa?”

Bing-gwat-sim belum bersuara, mendadak kuda kekar penarik kereta meringkik dan berjingkrak kaget seraya melompat berdiri dengan kaki belakang, keruan kereta tertarik miring hampir terbalik.

Sebat sekali Bing-gwat-sim sudah berada di luar kereta, dilihatnya seorang laki-laki setengah umur berpakaian hijau celana putih jatuh di bawah kaki kuda. Bila kaki depan kuda yang berjingkrak berdiri ini menginjak turun, umpama dia tidak mati juga pasti terluka parah. Kejap lain kaki kuda itu jelas sudah hampir menginjak, bukan saja Bing-gwat-sim tidak berusaha menolong, ternyata bergerak dari tempatnya pun tidak. Matanya mengawasi Pho Ang-soat, ternyata Pho Ang-soat sudah berada di atas kereta, mukanya yang pucat tidak memperlihatkan perasaan hatinya, ternyata sikapnya tidak menunjukkan bahwa dia bermaksud turun tangan menolong orang yang rebah miring memeluk lutut itu.

Orang-orang di pinggir jalan menjerit ngeri, akhirnya kaki kuda itu anjlok ke bawah, lelaki yang jatuh di bawah kaki kuda jelas meringkal memeluk lutut, siapa pun melihat dengan jelas, tapi kenyataan dia tidak terinjak oleh sang kuda. Ketika sang kusir berhasil menenteramkan kuda itu, baru pelan-pelan dia merangkak bangun, napasnya nampak tersengal.

Walau wajahnya berubah karena ketakutan, namun kelihatannya tetap biasa saja. Memang dia seorang yang biasa, seorang sederhana,

tiada tanda-tanda istimewa yang melekat pada tubuhnya. Tapi waktu Pho Ang-soat mengawasinya, tatapan matanya kelihatan dingin dan sadis. Dia pernah melihat orang ini, orang yang kaki dan celananya disembur air teh si gendut alias si Ibu jari bukan lain adalah lelaki ini.

Tiba-tiba Bing-gwat-sim tertawa, katanya, “Agaknya nasibmu hari ini kurang baik, tadi celanamu dibuat basah, sekarang jatuh di jalan raya lagi hingga badan kotor berdebu.”

Orang itu juga tertawa tawar, katanya, “Hari ini nasibku memang jelek, tapi yang bernasib lebih jelek dari aku entah masih berapa banyak? Hari ini aku sial, besok entah berapa banyak pula orang yang akan lebih sial dari aku, begitulah kehidupan umat manusia, kenapa nona menganggap persoalan ini begitu serius?”

*******************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar