Bab 03. Bulan Terang Di Atas Loteng
Waktu itu Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi juga sedang berdiri ditengah asap tebal itu.
Akhirnya asap itu buyar. Asap yang dapat mencabut nyawa, entah betapa banyak kaum ksatria yang gugur oleh asap ini?
Bila asap telah buyar, sepasang mata manusia kayu tampak bersinar, dia percaya bahwa kedua orang itu pasti sudah roboh. Terbayang dalam benaknya mereka sedang meregang jiwa. Meronta dan merintih, merayap kedepannya mohon diberi obat penawarnya. Demikian pula halnya Ciok Pa-thian dan Tang Hou juga berlutut di depannya meratap minta belas kasihan. Padahal mereka adalah orang kuat yang gagah berani di dunia persilatan, namun dikala menghadapi elmaut, seorang yang pemberani sekalipun juga berobah lemah dan penakut. Penderitaan dan keputusasaan orang lain dianggapnya sebagai hiburan yang menyenangkan.
Tapi sekali ini dia yang putus asa dan kecewa.
Pho Ang-soat dan Yan Lam-hwi ternyata tidak roboh, mereka tetap tegak ditempatnya, mata merekapun memancarkan cahaya.
Sinar yang terpancar dari bola mata manusia kayu sudah padam seperti kobaran api diatas badannya. Pakaiannya yang terbakar hangus juga sudah lenyap tertiup angin lewat tinggal badannya yang hangus hitam itu mirip kepingan baja yang tak meman api, tapi juga mirip seonggok kayu yang terbakar jadi arang.
Mendadak Yan Lam-hwi berkata: “Kedua orang ini adalah Ngo-heng-siang-sat.” Pho Ang-soat hanya mendengus sekali.
“Dalam emas tersembunyi kayu, api dan air satu sumber. Menghilang meminjam bumi tangan setan menangkap kaki, merupakan sergapan yang susah dijaga sebelumnya. Nga heng siang sat adalah salah satu dari pembunuh bayaran yang memperoleh honor tinggi, konon sekarang mereka sudah menjadi kaya raya, harta miliknya sudah laksaan tahil emas. Sayang sekali banyak hartawan didunia ini, dalam pendangan kebanyakan orang ternyata tidak berharta sepeserpun. Lekas manusia tanah unjuk tawa dipaksakan, katanya: “Dia inilah emas, kayu, api dan air, aku hanya tanah belaka, aku ini mirip keledai dungu, mirip kacang tanah, mirip ajning kurap” dia mengawasi golok ditangan Pho Ang soat, golok itu sudah berada dalam serangka, golok hitam. setelah menghela napas dia tertawa getir, “Umpama kami tidak kenal Pho Tay hiap, juga harus kenal golokmu itu “
Manusia kayu berkata: “Soalnya kami tidak menduga bahwa Pho Tayhiap akan membelanya” Pho Ang soat berkata dingin: “Jiwanya ini sudah menjadi milikku. tahu”
“Ya.” Manusia kayu mengiakan. Kecuali aku, siapapun tak boleh mengganggu seujung rambutnya”
Manusia tanah mengiakan. Lalu katanya: “Asal Pho tayhiap sudi mengampuni jiwa kami, kami akan segera enyah dari sini”
“Enyah” Pho Ang soat segera menghardik.
Segera kedua orang itu memang menggelundung keluar, menggelundung mirip bola. Yan Lam-hwi tertawa, katanya: “Aku tahu kau pasti takkan membunuh mereka”
“O, apa alasannya?” tanya Pho Ang soat. “Karena mereka tidak setimpal”
Pho Ang soat menatap golok ditangannya, mimik wajahnya menampilkan kesepian yang tak terperikan. Tidak banyak dia punya kawan, hingga sekarang musuhnyapun tidak banyak lagi. Memang berapa banyak pula manusia dalam kolong langit ini yang setimpal untuk dirinya mencabut golok?
Perlahan Pho Ang soat berkata: “Aku pernah dengar, mereka membunuh Ciok Pa thian, honornya tiga belas laksaan tahil”
“Memang benar.”
“Nilai jiwamu sudah tentu jauh lebih tinggi dibandingkan Ciok Pa-thian.” “Sudah tentu lebih mahal.”
“Tidak banyak orang yang mampu membayar honor tinggi kepada mereka untuk membunuhmu.” Terkancing mulut Yan Lam-hwi.
“Kau tidak bersuara lagi, karena kau sudah tahu siapa orang itu.” Yan Lam-hwi tetap bungkam tidak memberi tanggapan.
“Cita-citamu yang belum tercapai, yaitu untuk menghadapi orang yang satu ini?” Mendadak Yan Lam-hwi tertawa dingin, jengeknya, “Terlalu banyak yang kau tanyakan.” “Tidak kau jelaskan?”
“Tidak.”
“Baiklah, silakan pergi.” “Aku tidak boleh pergi.”
“Jangan lupa kau pinjam setahun kepadaku, dalam jangka setahun ini, kau tetap hutang terhadapku.” “Kau ingin aku membayar? Bagaimana aku harus membayar?”
“Selesaikan dulu apa yang harus kau selesaikan.” “Tapi aku…”
“Kalau kau seorang laki-laki sejati, umpama benar ingin mati juga harus gugur secara jantan,” demikian desis Pho Ang-soat seraya menatapnya tajam, kalau dia angkat kepalanya, Yan Lam-hwi justru tertunduk, seolah-olah dia tidak ingin memperlihatkan mimik mukanya. Mimik muka yang tidak bisa dimengerti oleh siapapun, entah itu duka dan penasaran, ataukah penderitaan? Atau ketakutan?
“Pedang masih lengkap, jiwamu juga belum layu, kenapa tidak berani kau menghadapi kenyataan ini?”
Mendadak Yan Lam-hwi angkat kepalanya, kedua tangan menggenggam kencang pedang, katanya tegas, “Baik, akan kulakukan, tapi setahun kemudian aku pasti datang.”
“Aku tahu,” ujar Pho Ang-soat. Arak masih ada di atas meja, mendadak Yan Lam-hwi mencengkeram guci arak, katanya, “Kau tetap tidak minum?”
“Tidak minum,” jawaban Pho Ang-soat tetap lantang dan tegas.
Kini ganti Yan Lam-hwi yang menatapnya, katanya, “Apa benar orang yang tidak pernah minum arak pikirannya selalu jernih?”
“Belum tentu,” pendek jawaban Pho Ang-soat.
Yan Lam-hwi terloroh-loroh sambil menengadah, sisa setengah guci arak dia tenggak sampai habis lalu melangkah lebar keluar pintu. Guci dilempar seenaknya.
Langkahnya lebar jalannya cepat. Karena dia tahu jalan yang harus ditempuhnya terbentang panjang dan lebar di depan, bukan saja penuh aral rintang juga tak berujung jauh dan jauh sekali.
Kota mati, jalan raya yang sudah menjadi belukar. Dunia menjadi lengang oleh kesunyian yang beku seolah-olah tiada kehidupan lagi di keremangan malam ini.
Malam ini kebetulan bulan purnama, bulan bundar, jikalau hati manusia sudah cedera, memangnya kenapa kalau bulan purnama? Yan Lam-hwi melangkah lebar di bawah bulan purnama, bukan saja langkahnya lebar juga kokoh dan cepat.
Tapi Pho Ang-soat tetap mengintil dari kejauhan, betapapun dia melangkah lebar, betapa cepatnya, setiap kali dia menoleh segera dia melihat si cacad yang sebatangkara ini, dengan langkahnya yang berat dan gayanya yang lucu, tetap mengintil di belakang dalam jarak tertentu.
Bintang-bintang bertaburan di angkasa raya, bulan sudah condong ke barat, malam ini sudah akan menjelang. Fajar telah tak jauh lagi, namun dia masih berada di belakang dalam jarak yang sama, dengan langkah dan gaya yang sama pula.
Akhir kali menoleh Yan Lam-hwi tidak tahan lagi, segera dia berseru keras, “Apakah kau ini bayanganku?” “Bukan,” sahut Pho Ang-soat.
“Kenapa kau menguntit aku?”
“Karena aku tidak menghendaki kau mati di tangan orang lain.”
Yan Lam-hwi tertawa dingin, katanya, “Tak usah kau berjerih payah, selamanya aku pandai menjaga diriku sendiri.”
“Betulkah kau mampu?” tanya Pho Ang-soat. Sebelum Yan Lam-hwi menjawab dia sudah menambahkan, “Hanya seorang yang tidak kenal cinta kasih baru dia dapat menjaga dirinya sendiri, kau ini seorang pemuda romantis.”
“Dan kau?”
“Umpama aku tahu adanya cinta, juga sudah kulupakan, sudah sejak lama sekali.”
Roman mukanya tetap pucat kaku, lalu siapa dapat meraba di belakang sikapnya yang kaku ini menyembunyikan pengalaman hidup merana? Kenangan yang membawa siksa derita? Bila seseorang benar-benar sudah tidak memiliki hatinya, cinta sudah pudar, lalu siapa pula dalam dunia ini yang mampu melukai hatinya, melukai lahir batinnya?
Yan Lam-hwi menatapnya bulat-bulat, katanya perlahan, “Bila kau berpendapat kau mampu menjaga dirimu sendiri, kukira kaupun keliru.”
“Kenapa keliru?”
“Paling sedikit masih ada seorang yang mampu melukai kau.” “Siapa?”
“Kau sendiri.”
******************* Fajar menyingsing. Matahari telah terbit. Cahaya surya telah menerangi mayapada, menyinari batu pilar di pinggir jalan, di atas batu itu terukir tiga huruf besar yang berbunyi Hong-hong-kip. Hanya batu pilar itu dengan tiga ukiran huruf yang sama, tidak berbeda sejak setahun yang lalu.
Sebenarnya Pho Ang-soat bukan lelaki yang gampang menunjukkan suka dukanya, tapi waktu dia melewati batu pilar itu, tak betahan dia menoleh dan melirik beberapa kali. Memangnya tiada sesuatu ayng abadi didunia ini, demikian pula kehidupan manusia mengalami banyak perobahan hanya tempat saja ini saja yang tidak mengalami banyak perobahan.
Ternyata Yan Lam hwi dapat meraba isi hatinya, mendadak dia tanya: “Kau tidak mengira?”
Pho Ang soat manggut manggut, katanya “Aku tidak mengira, kau justru tahu bahwa tempat ini sudah menjadi kota mati, maka kau membawa rombongan musik dan pelacur serta hidangan lezat itu kemari”
Ternyata Yan Lam hwi tidak menyangkal.
“Tentunya kau juga sudah tahu kenapa tempat ini berobah menjadi kota mati?” “Sudah tentu aku tahu”
“Apa sebabnya?”
Terpancar perasaan derita dan amarah yang bercampur baur pada sorot mata Yan Lam hwi, agak lama kemudian baru dia berkata perlahan: “Karena aku”
“Karena engkau? Bagaimana kau bisa membikin kota yang makmur menjadi kota mati?”
Yan Lam Hwi tutup mulut. Bila dia menutup mulut, bentuk bibirnya kelihatan tebal kaku dan kedutan, seolah olah mendekati kejam dan buas. Oleh kerana itu bila dia sudah bungkam, siapaun sudah harus tahu bahwa dia menolak diajak bicara karena itu Pho Ang soat pun menutup mulutnya.
Akan tetapi mata mereka tidak boleh terpejam, waktu mereka menoleh pula kearah depan bersamaan mereka melihat seekor kuda mencongklang pesat dari cabang jalan bebelaj kiri yang bertanah tandus kearah sini, kusa itu memang berlari bagai terbang.
Kudanya bagus, penunggangnya juga cekatan dan cukup ahli, begitu mereka menoleh melihat kuda itu. kuda dan penunggangnyapun sudah berasa didepan mata.
Mendadak Yan Lam hwi memburu maju sambil menjejak kaki, tubuhnya melejit bersalto diudara, melesat lewat diatas kepala kuda, bila dia sudah menginjak kakinya dibumi pula tali kekang kuda itupun sudah dipegangnya dan ditariknya kencang. selama tubuhnya berdiri kokoh, sekokoh tonggak yang terpendam didalam tanah, hanya dengan sebelah tangannya dia berhasil menguasai kuda binal ini. Kuda itu meringkik sambil berjingktak berdiri dengan kaki belakang. Karuan penunggang kuda membentak gusar, pecut ditangan terayun menghajar kepala Yan lam hwi. Tapi pecutnya itu juga kena ditangkap, kontan penunggangnya tertarik jatuh jumpalitan, wajahnya kelihatan basah oleh keringat, saking murka dan menahan takut, kulit dagingnya tampak kedutan dan berkerut kerut, dengan terbeliak dia mengawasi Yan Lam hwi.
Yan Lam hwi tersenyum, katanya: “Kenapa kau buru buru menempuh perjalanan?”
Penunggang kuda itu menahan sabar, setelah melihat kepandaian Yan Lam Hwi yang mengejutkan, tak bisa tidak dia harus bersabar, tak berani dia menjawab; “Aku hendak melayat”
“Apakah familimu ada yang mati?” “Ya, pamanku yang kedua.”
“Bila kau memburu kesana, apakah kau mampu menolong jiwanya?” “Tidak bisa, jelas tidak mungkin.”
“Kalau kau tidak bisa menghidupkannya lagi, kenapa pula kau membedal kuda sekencang itu?” Penuggang kuda itu bertanya: “Sebetulnya apa kehendakmu?”
“Aku ingin membeli kudamu ini.” “Tidak kujual.”
Sekenanya Yan Lam hwi merogoh sekeping emas dilempar kedepan orang itu, ujarnya: “Mau tidak menjualnya?” Penunggang kuda terbelalak kaget, lama dia menjublek mengawasi kepingan emas itu, akhirnya dia menarik napas panjang dan menggumam: “Orang mati tak bisa hidup lagi, buat apa aku buru buru menempuh perjalanan”
Yan Lam hwi tertawa, dia mengelus bulu suri sikuda jantan yang gagah ini, katanya kepada Pho Ang soat dengan tersenyum: “Aku tahu aku takkan mampu meninggalkan ungkau, tapi sekarang aku sudah memiliki enam kaki”
Pho Ang soat diam saja.
Yan Lam hwi tertawa besar, serunya mengulap tangan: “Selamat bertemu, setahun lagi kita bertemu” kudanya kuda pilihan, penalanya juga terbikin oleh tukang yang ahli, baru saja dia hendak melompat kepunggung kuda mendadak sinar golok berkelebat. Pho Ang saot telah memcabut goloknya namun hanya sekali berkelebat, golok itu sudah kembali kedalam selangkanya, kuda itu tidak terkejut kerananya, orangpun tiada yang terluka, semberan sinar golok tadi seperti bintang jatuh diangkasa raya, membawakan harapan dan keindahan bagi umat manusia, jadi bukan lagi rasa ketakutan, kaget atau ngeri.
Akan tetapi Yan Lam hwi justru teramat kaget, matanya menatap golok digenggaman tangannya, katanya: “Aku tahu biasianya jarang kau mencabut pedang. Golokmu itu bukan untuk dipamerkan kepada orang kali ini kenapa tanpa sebab kau justru mencabut golok?”
“Karena pahamu” “Karena pahaku?”
“Jangan kira kau punya enam kaki, begitu kau naik kepunggung kuda ini, maka kau tidak akan punya kaki lagi, sebuah kakipun tiada “
Memicing ngeri mata Yan Lam hwi, mendadak dia menoleh, segera dia melihat darah.
Darah kental itu mengalir, bukan mengalir dari tubuh manusia, juga bukan keluar dari badan kuda. Tapi darah itu mengalir dari dalam pelana. Penunggang kuda yang sudah duduk dipinggir jalan mendadak melompat, laksana anak panah dia menerobos jauh kesana.
Ternyata Pho Ang soat tidak merintangi, demikian pula Yan Lam hwi tidak mengudak, malah menolehpun tidak. Matanya terus menatap pelana, perlahan dia ulur dua jarinya menarik pelana ternyata yang dijinjingnya hanya bagian atas. Pelana yang terbuat secara antik ini sekali bocah ternyata terbelah menjadi dua.
Kenapa pelana bisa mengalirkan darah? Jelas tidak mungkin. Darah itu dingin, karena darah itu mengalir dari tubuh ular, dan ular itu berada didalam pelana. Empat ekor ular beracun, empat ekor ular itupun terbacok putus oleh selarik sinar golok tadi.
Jikalau seseorang duduk diatas pelana. jikalau pelana itu berlobang hingga kepala ular bisa menongol keluar, jikalau seseorang telah membuka tutup lobang itu.
Jikalau empat ekor uler itu sekaligus mengigit paha penunggang kuda. Apakah penunggang kuda itu masih mampu mempertahankan pahanya? Terbayang semua hal ini, mau tidak mau berkeringat dingan telapak tangan Yan Lam hwi.
Tapi sebelum dia mencucurkan keringat dingin. kupingnya sudah mendengar jeritan yang mengerikan, seperti dana manusia yang mendadak ditusuk pedang. Penunggang kuda yang melarikan diri tadi sudah mengembangkan ginkang Yan cu sam jau cui melesat tujuh tombak jauhnya. Tapi waktu dia melompat untuk keempat kalinya, mendadak mulutnya menjerit panjang, tubuh yang sudah terapung diudara seketika terjungkal jatuh.
Samberan sinar golok tadi bukan saja membelah pelana, memotong ular, ternyata juga melukai hatinya, waktu dia terjungkal roboh, lalu meringkel dan kelejetan seperti ular yang sekarat. Tiada orang menoleh menyaksikan keadaannya.
Perlahan Yan Lam-hwi menurunkan pelana yang berada di tangannya, waktu dia angkat kepala, matanya menatap tajam wajah Pho Ang-soat.
Tangan Pho Ang-soat menggenggam golok, golok di dalam sarungnya.
Lama Yan Lam-hwi merenung, akhirnya menarik nafas panjang, katanya, “Sayang aku dilahirkan terlambat, belum pernah aku melihatnya.”
“Apa kau pernah melihat pisau Yap Kay?” tanya Pho Ang-soat. “Sayang aku tidak berjodoh, aku…”
“Kau tidak berjodoh, tapi beruntung dulu ada juga orang yang melihat pisaunya menyamber…” “Tapi orang yang pernah melihat pisaunya itu semua sudah mati?”
“Umpama orangnya belum mati, hatinya pasti sudah mampus.” “Hatinya mampus?”
“Siapa saja, asal pernah melihat pisaunya itu menyerang, maka selama hidup dia tidak akan berani memakai pisau lagi.”
“Tapi Yap Kay menggunakan pisau terbang.” “Pisau terbang juga pisau.”
Yan Lam-hwi mengakui, hanya mengakui. Pisau memang banyak jenisnya, pisau jenis apapun dia tetap pisau, pisau jenis apapun dapat untuk membunuh orang.
“Kau pernah menggunakan pisau?” tanya Pho Ang-soat. “Tidak,” sahut Yan Lam-hwi pendek.
“Pernah kau melihat orang yang benar-benar mahir menggunakan pisau?” “Ya, hanya beberapa gelintir saja.”
“Kalau begitu kau tidak setimpal bicara soal pisau.”
Yan Lam-hwi tertawa, ujarnya, “Betul mungkin aku tidak setimpal bicara soal pisau, mungkin golokmu juga bukan tiada tandingan di kolong langit ini, hal ini aku tidak bisa pastikan, aku hanya bisa memastikan satu hal.”
“Satu hal apa?”
“Sekarang aku punya enam kaki, kau sebaliknya hanya dua saja,” di tengah gelak tawanya kembali dia mencemplak ke punggung kuda. Meski pelana sudah rusak, ular sudah mati tapi kuda itu tetap segar bugar. Lari kuda seperti berlomba dengan angin meninggalkan kepulan debu di belakangnya.
Pho Ang-soat menunduk, mengawasi kaki sendiri, sorot matanya memancarkan perasaan yang sukar dilukiskan, entah itu mencemooh atau menyindir, “Kau keliru, aku bukan hanya dua kaki, aku hanya punya satu.”
*******************
Setiap kota tentu ada restoran, setiap restoran tentu berusaha dalam jangka panjang tentu mempunyai pelayanan yang istimewa, masakan yang khas.
Tapi tidak demikian dengan Ban-siu-kou ini, keistimewaannya adalah mahal, mau apapun yang tersedia disini, meski hanya sepiring nasi putih dan segelas teh juga harganya jauh lebih mahal dari restoran lain di manapun.
Manusia memang banyak cirinya, menghamburkan uang, bermuka-muka, menjaga gengsi merupakan salah satu ciri terlemah dari watak manusia. Oleh karena itu, suatu tempat yang memasang tarif tinggi, usaha dagangnya justru maju.
Waktu Yan Lam-hwi keluar dari Ban-siu-lou, melihat kudanya yang terikat di luar pintu, tak tertahan dia berteriak. Dua kaki betapapun tak lebih unggul dari enam kaki. Siapapun asal dia manusia pasti punya keinginan untuk membebaskan diri dari bayangan sendiri, bukankah inipun salah satu ciri dari manusia. Tapi waktu dia menarik tali kekang kuda sebelum berbuat lebih banyak, matanya tawanya seketika kuncup.
Karena begitu dia angkat kepala, matanya sudah melihat Pho Ang-soat. Pho Ang-soat berdiri di seberang jalan, mengawasinya dingin. Wajah yang pucat, sorot mata dingin, golok yang hitam.
Yan Lam-hwi tertawa. Pantat kuda dipukulnya sekali, kuda lari pergi. Dia tetap berdiri di situ, dengan tersenyum dia mengawasi Pho Ang-soat. Lari kuda meninggalkan kepulan debu, bila debu sudah buyar tertiup angin baru dia menyeberang jalan menghampiri Pho Ang-soat, katanya tersenyum, “Akhirnya kau toh menyusulku juga. Karena siapa pun yang ingin kau kuntit, maka jangan harap orang itu dapat lolos.”
Pho Ang-soat hanya bersuara dalam mulut.
Yan Lam-hwi menghela nafas, katanya, “Untung aku ini bukan cewek, kalau dikuntit seketat ini, tidak ingin kawin dengan kau juga tidak mungkin.”
Wajah yang pucat itu mendadak menampilkan rasa jengah, warna merah yang menakutkan, ternyata pelupuk matanya pun berkerut dan kedutan seperti menahan derita yang luar biasa. Entah ada derita apa yang menjadi kenangan dalam benaknya? Hanya sepatah kata kelakar yang tidak disengaja kenapa bisa membuatnya begitu merana?
Yan Lam-hwi segera tutup mulut, selamanya dia tidak suka melukai hati orang. Bila tanpa sengaja dia melukai hati orang, sanubarinya sendiripun akan ikut merasa sedih.
Maka kedua orang ini berdiri berhadapan di emper depan sebuah toko roti.
Di dalam toko kebetulan ada seorang nenek tua kurus kering yang membawa dua bocah laki perempuan sedang memilih roti. Belum keluar pintu, kedua bocah itu sudah ribut minta makan roti, di mulut nenek itu berkata, “Di jalanan tidak boleh makan.” Tak urung dia membuka bungkusan, merogoh keluar dua potong roti dan dibagikan kepada kedua cucunya.
Tak nyata setelah menerima roti kedua bocah itu malah makin ribut. Yang laki mencak-mencak dan berteriak, “Kenapa Siau Bing diberi roti yang lebih besar? Aku minta tukar.”
Sudah tentu bocah perempuan itu tidak mau, bocah laki itu lantas memburu hendak merebut, yang perempuannya berlari kejar mengejar mengelilingi si nenek, mau mencegah juga kalah gesit, terpaksa si nenek hanya berkaok-kaok, menghela nafas serta geleng-geleng.
Anak perempuan larinya sudah tentu kalah gesit dan cepat, karena kewalahan berputar di sekitar badan sang nenek, akhirnya dia berlari ke belakang Yan Lam-hwi, menarik lengan baju Yan Lam-hwi seraya berseru, “Paman yang baik, tolonglah aku, dia ini perampok cilik.”
Anak lelaki itu berteriak, “Mana bisa paman ini membantu kau, kita kan sama-sama laki, biasanya lelaki membantu lelaki.”
Yan Lam-hwi tertawa, walau nakal tapi kedua anak ini kelihatan pintar dan lincah jenaka. Yan Lam-hwi juga pernah mengalami masa kanak-kanak, masa kanak-kanak adalah masa keemasan, masa yang tiada arti duka-lara dan masa kanak-kanak takkan pernah kembali lagi, teman bermain sejak kecil yang tak pernah terlupakan dalam benaknya, entah sekarang sudah menikah dengan siapa.
Dari kenakalan kedua bocah laki perempuan ini, seolah-olah dia melihat masa lampau waktu dirinya juga masih kanak-kanak dulu, mendadak hatinya diliputi rasa hangat, mesra tapi juga mendelu, tanpa sadar dia menarik kedua bocah itu serta berkata lembut, “Kalian jangan ribut, biar paman membelikan roti pula untuk kalian, setiap orang sepuluh buah.”
Berseri wajah kedua bocah itu, seri tawa jenaka yang riang, berebut kedua orang ini memeluknya, Yan Lam-hwi juga mengulur tangan, seorang satu hendak dipeluknya.
Pada saat itulah sinar golok berkelebat, Pho Ang-soat yang selamanya tidak sembarangan mengeluarkan senjatanya, mendadak mencabut goloknya. Begitu sinar golok menyambar, roti yang dipegang kedua bocah itu sudah tertabas jatuh di tanah menjadi dua potong.
Kejadian yang mendadak itu keruan membuat kedua anak itu kaget terpana, dengan menangis keras mereka berlari balik ke samping sang nenek.
Yan Lam-hwi sendiri juga tertegun, dengan kaget dia mengawasi Pho Ang-soat.
Golok Pho Ang-soat sudah kembali ke sarungnya, wajahnya tidak memperlihatkan perubahan perasaan apa-apa.
Yan Lam-hwi menyeringai dingin, katanya, “Sekarang baru aku mengerti, kecuali untuk membunuh orang golokmu itu masih ada pula gunanya.”
“Hm,” Pho Ang-soat hanya mendengus dalam tenggorokan. “Golokmu inipun berguna untuk menakuti bocah.”
“Ya, tapi aku hanya menakuti satu macam bocah.” “Bocah macam apa?”
“Bocah yang berani membunuh orang.”
Kembali Yan Lam-hwi melengak, perlahan dia menoleh, dilihatnya si nenek sedang menyurut mundur sambil memeluk kedua anak itu. Kedua bocah itu tidak menangis lagi, matanya terbeliak, dengan penuh kebencian mereka melotot kepada Yan Lam-hwi. Terpancar cahaya kebencian dan dendam kesumat dari sinar matanya.
Yan Lam-hwi menundukkan kepala, hatinya juga seperti tenggelam, dari dalam roti yang tertabas jatuh di tanah ternyata memancarkan cahaya gemerlap. Waktu dia memungut setengah potong di antaranya, segera dia mendapatkan di dalam roti ternyata berisi sebuah bumbung kecil berisi jepretan jarum, itulah Ngo-tok-hwi-ciam, jarum terbang yang mengandung panca bisa. Laksana burung terbang, mendadak dia melesat ke depan dan berdiri di depan nenek itu, katanya, “kau inikah Kwi-gwa-po?”
Nenek itu tertawa, wajahnya yang kecil dan tirus itu mendadak berubah bengis menyeringai, katanya, “Sungguh tak nyana ternyata kau tahu juga tentang diriku.”
Yan Lam-hwi menatapnya lama, katanya kemudian, “Tentu kau juga tahu aku punya semacam kebiasaan?”
“Kebiasaan apa?”
“Selamanya tidak pernah membunuh perempuan.” “Itu kebiasaan baik.”
“Walau kau sudah tua, jelek-jelek kau juga perempuan.” Kwi-gwa-po menghela napas, katanya, “Sayang kau tidak pernah melihat tampangku waktu masih muda, kalau tidak ...”
“Kalau tidak, aku tetap akan membunuhmu,” desis Yan Lam-hwi.
“Masih segar dalam ingatanku, barusan kau bilang selamanya tidak pernah membunuh perempuan.” “Tapi kau boleh dikecualikan.”
“Kenapa aku harus dikecualikan?”
“Anak-anak masih berjiwa polos dan bersih, tak pantas kau memperalat mereka, kau menyia-nyiakan masa depan mereka.”
Kwi-gwa-po tertawa lagi, tawa yang menakutkan, katanya, “Nenek yang baik sayang kepada cucunya, anak-anak itu juga senang mengerjakan sesuatu untuk neneknya, memangnya apa sangkut-pautnya dengan kau.”
Yan Lam-hwi bungkam, dia segan membicarakan soal ini, dia sudah menggenggam gagang pedang. Pedang yang merah, merah bagai darah segar.
Kwi-gwa-po menyeringai, katanya, “Orang lain takut terhadap Jio-hwi-kiam, aku ”
Ternyata dia tidak meneruskan ucapannya, mendadak sebungkus roti yang dipegang dibantingnya ke tanah dengan gregetan.
“Blam”, ledakan cukup keras menimbulkan kepulan asap dan debu, dibarengi sinar bintik-bintik. Yan Lam-hwi bersalto di tengah udara, mundur dua tombak jauhnya.
Setelah asap dan debu buyar tertiup angin, bayangan Kwi-gwa-po dan kedua bocah itu sudah tidak kelihatan lagi, tanah dimana tadi mereka berpijak sudah berlubang besar. Orang-orang merubung maju, lekas sekali mereka pun bubar, tiada tontonan yang bisa mereka saksikan di sini.
Yan Lam-hwi masih berdiri menjublek, lama sekali baru dia berputar ke arah Pho Ang-soat. Pho Ang-soat tetap bersikap dingin laksana es.
Akhirnya Yan Lam-hwi menghela napas, katanya, “Kali ini kau tidak meleset juga.” “Jarang sekali aku meleset.”
“Tapi anak-anak itu tidak berdosa, pasti sejak kecil mereka telah diculik dan dididik oleh Kwi-gwa-po ...
dengan berbagai daya-upaya dia menggembleng kedua bocah itu, jadi sejak kecil mereka sudah diajar berbuat jahat, menanam dendam dan dosa.” “Karena itu sepantasnya kau tidak memberi ampun kepadanya.”
“Aku tidak menyangka dalam bungkusan roti di tangannya disembunyikan granat tangan buatan Pi-lik-tong dari Kanglam.”
“Seharusnya kau sudah menduga, jika jarum bisa disembunyikan di dalam roti, maka mungkin saja juga bisa dimasuki granat tangan itu.”
“Jadi kau sudah menduga sebelumnya?” Pho Ang-soat tidak menyangkal.
“Bahwa kau juga berpendapat tidak pantas membiarkan dia pergi, kenapa kau tidak turun tangan.” “Karena dia bukan hendak membunuh aku, aku pun tidak mengira bahwa kau begini goblok.”
Yan Lam-hwi menatapnya, mendadak dia tertawa, tertawa getir.
“Mungkin bukan aku yang goblok, tapi karena kau terlalu cerdik sampai sekarang aku masih belum mengerti racun dalam asap, ular dalam pelana, cara bagaimana kau bisa mengetahui?”
Pho Ang-soat membungkam agak lama, akhirnya berkata dengan perlahan, “Cara membunuh orang banyak macamnya, membokong adalah salah satu cara di antaranya, malah cara ini paling menakutkan?”
“Aku tahu.”
“Tahukah kau berapa macam pula cara membunuh secara membokong.” “Aku tidak tahu.”
“Tahukah kau selama tiga ratusan tahun ini, berapa banyak orang mati terbunuh karena dibokong.” “Tidak tahu.”
“Sedikitnya ada lima ratus tiga puluh delapan orang.” “Kau pernah menghitung?”
“Aku pernah menghitung, menghabiskan waktu tujuh tahun baru jelas seluruhnya.” “Kenapa kau membuang waktu dan tenaga hanya untuk menghitung jumlah orang mati?”
“Karena kalau aku tidak pernah menghitungnya, sekarang paling sedikit aku sudah mati belasan kali dan kau juga sudah mati tiga kali.”
Perlahan Yan Lam-hwi menghembuskan napas, ingin membuka mulut namun dibatalkan pula.
“Lima ratus tiga puluh delapan orang yang kumaksud, semua adalah jago kosen kelas wahid di Bu-lim, orang yang membunuh semestinya bukan tandingan mereka.”
“Soalnya cara orang-orang itu membunuh lawannya teramat keji dan lihai, maka mereka berhasil dengan baik.”
Pho Ang-soat mengangguk, katanya, “Yang mati terbunuh ada lima ratus tiga puluh delapan, tapi pembunuhnya ternyata hanya empat ratus delapan puluh tiga.”
“Karena di antara korban terbunuh di tangan orang yang sama.”
“Caranya membunuh korbannya juga ada beberapa di antaranya yang sama.” “Itu bisa kuduga.”
“Seluruhnya mereka menggunakan dua ratus tujuh puluh dua cara.”
“Dua ratus tujuh puluh dua cara membunuh orang, sudah tentu adalah cara yang paling ganas, paling lihai dan hebat.”
“Sudah tentu.”
“Kau tahu berapa di antaranya?” “Dua ratus tujuh puluh dua macam.”
Yan Lam-hwi menghela napas, katanya dengan menggeleng kepala, “Sebetulnya satu cara pun aku tiada yang tahu.” “Sekarang paling sedikit kau sudah tahu tiga di antaranya.” “Kukira tidak terbatas tiga macam saja.”
“Tidak terbatas?”
“Tahukah kau selama setengah tahun ini berapa kali aku pernah dibokong orang?” Pho Ang-soat menggeleng.
“Tidak termasuk yang pernah kau saksikan, seluruhnya tiga puluh sembilan kali.” “Cara yang mereka gunakan berbeda?”
“Bukan saja berbeda, malah semuanya tidak pernah kuduga, tapi sampai sekarang aku masih hidup.” Kali ini giliran Pho Ang-soat yang bungkam.
Di tengah tawa lebarnya Yan Lam-hwi berputar beranjak pergi, membelok ke sebuah jalan melintang di seberang sana, di jalan ini terdapat sebuah gedung berloteng, di atas loteng terdapat kembang wangi, aroma kembang apakah itu? Apakah kembang mawar?
Loteng itu tinggi, di atas loteng ada jendela, rembulan bergantung di luar jendela, di bawah rembulan kembang mekar. Kembang bunga mawar, bulannya bulan purnama. Di sini tiada lampu, sinar bulan menyorot masuk lewat jendela, menyinari bunga mawar di samping Yan Lam-hwi. Bukan saja di sampingnya terdapat bunga mawar, ada pula seorang yang pernah tertusuk duri mawar.
Malam telah larut. Manusia pantas mabuk, tapi Yan Lam-hwi tidak mabuk, sepasang matanya tetap cemerlang laksana rembulan, namun mimik mukanya seperti orang yang tangannya tertusuk duri mawar, kalau mawar ada durinya, bagaimana dengan Bing-gwat (bulan purnama)? Bing-gwat punya hati, maka dia bernama Bing-gwat-sim.
Malam makin kelam, cahaya bulan lebih jernih, wajahnya juga lebih molek, namun rona mukanya kelihatan amat menderita. Lama dia memandangnya dari dekat, akhirnya menghela napas, tanyanya, “Apa yang sedang kau pikirkan?”
Agak lama juga Yan Lam-hwi termenung, lalu menjawab lirih, “Aku sedang memikirkan dua orang.”
Makin lembut suara Bing-gwat-sim, “Satu di antara kedua orang yang sedang kau pikirkan adakah aku di antaranya?”
“Tidak,” ujar Yan Lam-hwi, suaranya dingin. “Bukan kau.”
Si cantik tertusuk pula, namun dia tidak kenal mundur, tanyanya pula, “Bukan aku, lalu siapa?” “Seorang jelas adalah Pho Ang-soat.”
“Pho Ang-soat? Orang yang menunggumu di Hong-hong-kip? Bukankah dia musuhmu?” “Bukan.”
“Jadi temanmu?”
“Juga bukan,” mendadak Lam-hwi tertawa sendiri. “Selamanya kau tidak akan menduga, kenapa dia mau menungguku di Hong-hong-kip?”
“Ya, kenapa?”
“Dia menungguku di sana untuk membunuh aku.” “Tapi kenyataan dia tidak membunuhmu.”
“Bukan saja tidak membunuhku, malah tiga kali pula dia menyelamatkan jiwaku.”
“Apa yang dilakukan lelaki seperti kalian, kaum hawa seperti aku ini selamanya takkan tahu.” “Memang kalian tidak akan mengerti.”
Bing-gwat-sim memandang keluar, menatap bulan purnama di luar jendela. “Siapa pula seorang lagi yang kau pikirkan?”
Sorot mata yang mengandung sindiran kini berubah menjadi tekanan derita, perlahan suaranya, “Seorang yang ingin kubunuh, sayang aku sendiri tahu, selamanya aku tidak akan bisa membunuhnya.” Mengawasi betapa besar derita batinnya, sorot mata Bing-gwat-sim ikut guram, demikian pula cahaya rembulan di luar jendela juga seperti redup, segumpal mega melayang menutupi bulan purnama.
Tiba-tiba dia berbisik, “Kau sudah harus tidur, aku pun harus berlalu.” “Pergilah kau,” ucap Yan Lam-hwi tanpa mengangkat kepala.
Bing-gwat-sim berkata pula, “Aku maklum akan perasaanmu sekarang, seharusnya aku tetap di sini menemani kau, tapi...”
“Tapi kau harus berlalu, karena meski kau berada dalam lingkunganmu ini, di sini tak pernah kau menerima tamu, apalagi sampai menginap, bahwa aku bisa menginap semalam di sini terhitung kau sudah memberi muka kepadaku.”
Bing-gwat-sim menatapnya, lama-lama sorot matanya menampilkan penderitaan, mendadak dia berputar, katanya rawan dan sendu, “Mungkin aku tidak pantas menahanmu di sini atau mungkin kau tidak patut kemari.”
Bulan purnama sudah tidak terlihat lagi, mega mendung, hujan pun turun amat lebat.
Mawar yang mekar di jendela pun rontok tertimpa air hujan. Tapi di bawah dinding di depan sana ada seorang yang tak pernah rontok. Bukan saja tidak dapat merontokkan orangnya, juga tak akan bisa merontokkan hatinya.
Waktu Yan Lam-hwi mendorong jendela, dia melihat orang itu.
“Dia masih di situ,” demikian mulutnya menggumam, “hujan makin deras, tapi orang itu masih berdiri tegak tak bergerak, umpama titik air hujan yang berlaksa banyaknya itu berubah menjadi laksaan pisau, orang itu juga tidak akan menyurut barang setapak pun.”
Yan Lam-hwi tertawa getir, “Pho Ang-soat, Pho Ang-soat, kenapa kau adalah manusia bukan kebanyakan manusia?”
Angin berhembus santer, air hujan memukul mukanya, dinginnya menyentuh sanubari. Rasa dingin ini justru membakar darah panasnya, entah darimana timbul hasratnya, mendadak dia menerobos keluar jendela, menerobos hujan lebat yang dingin, dia melompati tembok, melayang ke depan Pho Ang-soat.
Sukma Pho Ang-soat seperti berada di tempat jauh, tidak merasakan datangnya hujan lebat ini, juga tidak melihat kedatangannya. Hanya sekejap Yan Lam-hwi sudah berdiri di tengah hujan lebat itu, sekujur badannya juga sudah basah kuyup. Tapi bila Pho Ang-soat tidak buka suara, dia pun tidak buka mulut.
Untunglah sorot mata Pho Ang-soat akhirnya berputar ke arahnya, suaranya dingin, “Di luar sedang hujan, hujan lebat.”
“Aku tahu.”
“Seharusnya kau tidak keluar.”
Yan Lam-hwi tertawa, katanya, “Kalau kau boleh kehujanan di luar, kenapa aku tidak?”
“Boleh saja,” kata Pho Ang-soat, lalu dia mengalihkan sorot matanya, jelas dia siap mengakhiri percakapan ini.
Tapi Yan Lam-hui tidak mau mengakhiri, katanya pula, “Sudah tentu aku boleh kehujanan, setiap orang bebas untuk berdiri di tengah hujan.”
Sorot mata Pho Ang-soat lurus lengang, seolah-olah sukmanya pergi ke tempat nan jauh.
Yan Lam-hwi menambah keras suaranya, “Tapi aku bukan sengaja keluar untuk berdiri di tengah hujan.” Suaranya mendekati jeritan, jauh lebih keras dari suara hujan deras.
Betapapun Pho Ang-soat tidak tuli, akhirnya dia bertanya tawar, “Lalu untuk apa kau keluar?” “Aku ingin memberitahu sebuah persoalan, sebuah rahasia.”
Sorot mata Pho Ang-soat seketika memancarkan cahaya, katanya, “Jadi kau sudah siap memberitahu kepadaku sekarang?”
Yan Lam-hwi mengangguk.
“Semula bukankah mati pun kau tidak mau menjelaskan kepadaku?” “Ya, sebetulnya aku sudah bertekad bulat, kepada siapa pun tidak akan kujelaskan.” “Kenapa sekarang mau kau jelaskan kepadaku?”
Yan Lam-hwi menatap mukanya, menatap air hujan yang mengalir di mukanya, muka yang pucat, katanya, “Sekarang aku mau memberitahu kepadamu, karena mendadak aku menemukan satu kenyataan.”
“Kenyataan apa?”
Yan Lam-hwi menyeringai tawa, suaranya tawar, “Kau bukan manusia, hakikatnya bukan.”
*******************