Pendekar Baja Jilid 02

 
Jilid 02

Tapi ketujuh kuda dan penunggang yang lain tetap diam bergeming, seperti tidak mendengar atau melihat kejadian yang dialami rekannya. Sikap diam mereka sungguh mengejutkan, jika bukan orang yang terlatih baik dan selalu mematuhi disiplin, mana mereka bisa bersikap setenang ini?

Orang banyak terbeliak kaget. Habis menjatuhkan seekor kuda, Leng Sam bergerak pula hendak menyikat kuda kedua. Tubuhnya seperti robot saja, tidak punya rasa kasihan sama sekali, asal dia sudah menangani sesuatu pekerjaan, sebelum beres tugasnya tidak mau berhenti, peduli apa pun yang akan dihadapinya, tak pernah dia mundur.

"Tahan!" mendadak Li Tiang-ceng berseru.
 
Gancu Leng Sam yang terayun seketika berhenti di udara, segera ia mundur tiga tindak. Sebat sekali Li Tiang-ceng melompat ke depan, katanya dengan suara bengis, "Saudara datang dari mana? Ada keperluan apa datang ke perkampungan kami?"

Kim Put-hoan segera menceletuk dengan suara dingin, "Setiba di Jin-gi-ceng juga berani main terjang, tidak turun dari kuda, memangnya kalian mengandalkan pamor siapa berani kurang ajar di sini?"

Ketujuh laki-laki itu tetap tidak bersuara, tapi dari luar segera berkumandang suara seorang yang berkata dengan sepatah demi sepatah, "Apa yang kuingin berbuat, orang lain tidak berhak ikut campur!"

Sombong sekali nadanya, namun suaranya nyaring merdu, semerdu kicau burung kenari.

Kun Put-hoan segera memicingkan mata, ujarnya, "Aduh merdunya, agaknya seorang cewek manis!"

Lalu dia berpaling ke arah Ji Yok-gi, katanya dengan tertawa, "Ji-heng, inilah kesempatan baik bagimu!"

Ji Yok-gi menarik muka, katanya ketus, "Ah, jangan bergurau!"

Tidak urung dia membetulkan topi dan menarik pakaian, sikapnya dibuat segagah mungkin.

Sementara itu sebuah kereta yang hanya terlihat dalam lukisan masuk ditarik empat ekor kuda putih, dua lelaki kekar berseragam hitam pegang tali kendali, dua lagi berpakaian sutera berjalan di sisi kereta.

Li Tiang-ceng berkerut alis, ia diam saja mengawasi kereta itu berhenti di depan undakan pendopo, akhirnya dia menegur, "Tindakan demikian apa tidak terlalu lancang?!"

"Peduli apa denganmu?" orang dalam kereta menanggapi dengan ketus.

Meski sabar dan biasanya bisa menekan emosi tak urung kali ini Li Tiang-ceng naik pitam, serunya gusar, "Apa nona tahu siapa majikan perkampungan ini?"

Ternyata orang di dalam kereta tambah marah, teriaknya keras, "Buka pintu, buka pintu ... biar aku turun bicara dengan dia."

Dua laki-laki berpakaian sutera hijau yang berdiri di sisi kereta cepat lari ke belakang dan mengambil sapu dengan gagang bambu panjang, sebelum membuka pintu kereta mereka menyapu bersih tanah di depan kereta yang menuju ke undakan, lalu dari dalam kereta keluar dua pelayan cilik berambut dikepang dua dengan menggotong permadani merah terus digelar di bawah kereta.

Kim Put-hoan berpangku tangan, mata tunggalnya jelalatan, sikapnya seperti orang ingin menonton keramaian. Sebaliknya Ji Yok-gi melotot, wajah Liu Giok-ji menampilkan sikap mengejek, ia membatin, "Gadis dari mana berani bertingkah sekasar ini, berani kurang ajar di Jin-gi-ceng, tentu punya asal usul yang luar biasa, bagaimana sih tampangnya?"
 
Soal lain tidak dipedulikan Liu Giok-ji, tapi gadis itu cantik atau tidak akan menjadi perhatiannya, maka dia pentang lebar matanya mengawasi pintu kereta.

Dalam kereta tiba-tiba berkumandang tertawa keras, seorang bocah cilik setinggi tiga kaki dengan pakaian serbamerah mendadak melompat keluar sambil tertawa lebar, tampang dan dandanannya mirip anak perempuan, namun gelak tertawanya jelas bukan suara perempuan. Bocah ini pendek kecil gemuk buntak, kedua tangannya putih halus, rambutnya dikucir menjadi puluhan banyaknya, semuanya tegak memenuhi kepala, bukan pakaiannya saja yang berwarna merah, sepatu, kaus kaki, dan sapu tangan, semuanya berwarna merah, tapi mukanya ditutup sebuah topeng setan, hanya kelihatan kedua bola matanya yang bundar, sekilas pandang orang akan menyangka dia itu bola api.

Liu Giok-ji betul-betul kaget, "Tadi ... apakah tadi kau?" tanyanya tak tahan.

Bocah merah itu cekikikan, katanya, "Hihi, Jitkohnio belum lagi keluar, tunggu sebentar, beliau jauh lebih cantik daripadamu!"

Tidak pernah terbayang oleh Liu Giok-ji bahwa bocah ini masih kecil tapi punya pikiran dewasa, karena isi hatinya kena dikatai orang, keruan dia jengah, semprotnya, "Setan cilik, siapa peduli dia cantik atau jelek?"

Belum habis dia bicara, mendadak pandangannya terasa silau, sesosok bayangan putih tahu-tahu sudah berdiri di atas permadani, cukup melihat tubuhnya yang ramping dengan gaun panjang putih yang membelit tubuhnya, perpaduan baju putih dengan permadani merah sungguh kontras dan memesona, belum lagi wajahnya yang cantik molek sungguh sukar dilukiskan, kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, siapa mau percaya bahwa di dunia ini ada gadis secantik bidadari.

Biasanya Liu Giok-ji suka bangga bahwa kecantikannya tiada bandingannya, tapi di hadapan nona ini, dia merasa dirinya seperti bintang berbanding rembulan.

Maka jengeknya, "Betul, memang cantik, tapi biarpun secantik bidadari juga tidak boleh kurang ajar terhadap Jin-gi-cengcu? Nona berdasar apa berani bertingkah di sini? Ingin kudengar alasanmu?"

"Berdasar apa pula kau ingin tahu?" jawab gadis berbaju putih tidak kalah galaknya. "Coba jelaskan dulu alasanmu."

"Pertanyaan nona Liu memang benar, aku pun ingin mengajukan pertanyaan serupa." tukas Li Tiang-ceng.

"Memangnya kau marah?" tanya si gadis baju putih.

Wajah Li Tiang-ceng sedingin es, ia tidak menjawab. Mendadak gadis itu tertawa terpingkal-pingkal, semula dingin, begitu tertawa ternyata semanis madu, lelaki berhati baja pun akan luluh dan takkan tega bertindak keras kepadanya.

Setelah puas tertawa, tiba-tiba dia angkat jari telunjuk dan menggores pipi, katanya, "Idih, malu ah, setua ini, masih marah-marah kepada anak kecil, memalukan!"
 
Sikapnya jenaka, gerak-geriknya nakal, perawakan dan bentuk badannya kelihatan sudah berusia dua puluhan, tapi tingkah lakunya sekarang mirip bocah belasan tahun.

Melihat perubahan yang mendadak ini, semua orang sama terpesona, Li Tiang-ceng melenggong, katanya bingung, "Kau ... kau "

Biasanya dia bersikap tegas, sekarang entah kenapa jadi gelagapan.

"Li-jisiok," kata si gadis baju putih, "masa engkau tidak mengenalku lagi?" "Aku sungguh sudah pangling padamu," ucap Li Tiang-ceng.
"Sembilan tahun yang lalu ... coba kau ingat-ingat kembali "

"Aku tidak ingat lagi " ujar Li Tiang-ceng sambil mengerut kening.

"Kukira engkau orang tua memang sudah linglung. Pada suatu hari hujan sembilan tahun yang lalu, engkau kehujanan hingga basah kuyup dan mampir ke rumahku "

"He, Cu jadi kau ini putri tunggal keluarga Cu itu?" tukas Li Tiang-ceng.

"Betul," seru gadis baju putih sambil berkeplok, "akulah gadis cilik yang menangis berguling-guling di lantai karena tidak diberi gula-gula itu " sembari bicara dia maju
menghampiri Li Tiang-ceng, jari-jarinya terulur untuk meraba jenggot orang, lalu berkata pula dengan senyum menggiurkan, "Kalau engkau orang tua masih marah juga, bolehlah kau lampiaskan kepadaku saja, mau maki atau hendak pukul boleh terserah, toh aku ini keponakan nakal yang jelas takkan melawan."

Selama malang melintang di dunia Kangouw dulu, entah berapa kali Li Tiang-ceng mengalami gelombang besar dan kecil, tidak jarang berhadapan dengan musuh lihai, tapi menghadapi gadis belia ini dia jadi kehilangan akal, rasa marahnya jadi entah tersapu ke mana, dengan tertawa getir dia berkata, "Eh, tak terasa waktu telah lalu dengan cepat, tahu-tahu Titli (keponakan) sudah sebesar ini, apakah ayahmu baik-baik saja?"

"Belakangan ini orang yang minta uang kepada beliau semakin banyak, mau tidak mau beliau harus merogoh kantong, hingga rambut kepalanya sekarang hampir botak."

Li Tiang-ceng tahu sifat ayahnya, mendengar banyolan anak dara itu, dia tertawa geli, katanya, "Sembilan tahun yang lalu, demi berdirinya Jin-gi-ceng pernah kami minta bantuan kepada ayahmu, akhirnya meski ayahmu rela menyumbang dua laksa tahil emas, tapi kulihat mukanya seperti merasa sangat sakit "

"Memangnya, setelah kalian pulang, ayah menyesal sampai tiga hari tiga malam, makan pun tidak punya selera lagi, arak pun terasa sayang diminum. Maka dia selalu hidup sederhana untuk menambal kerugian kedua-laksa tahil emas itu, yang celaka adalah anggota keluarganya, bila ingin makan enak harus main sembunyi di dapur "

Li Tiang-ceng tertawa geli, sambil menggandeng tangan si nona diajaknya ke pendopo, orang banyak sama terpesona oleh gaya manis gadis belia ini, tanpa merasa semua ikut kembali ke dalam, sampai Thian-hoat Taysu yang sudah mau pergi juga urung, padahal biasanya dia tidak suka bergurau, sekarang ia pun tersenyum-senyum.
 
Kim Put-hoan berada paling belakang, diam-diam dia menarik lengan baju Ji Yok-gi, katanya setengah berbisik, "Kelihatannya gadis itu anak hartawan, yaitu putri tunggal Cu- lothau (kakek Cu) yang kaya raya itu."

"Ya, pasti tidak salah lagi," sahut Ji Yok-gi.

"Tampaknya kesempatan kita bekerja sama sudah tiba saatnya." "Kerja sama apa?"
"Ji-heng bertampang begini cakap, bila kuatur sedikit tipu daya, mustahil dara cantik itu takkan terpelet olehmu. Tatkala mana bukan saja Ji-heng dapat untung harta dan bini rupawan, hingga kaum persilatan pasti sama iri terhadapmu, dan aku pun akan memperoleh sedikit keuntungan di belakangmu."

Tampak senang wajah Ji Yok-gi, tapi tiba-tiba dia mengerut alis, katanya, "Kurasa agak sukar "

Gemerdep sinar mata Kim Put-hoan, melihat sikap orang agak ragu, cepat dia menukas, "Apanya yang sukar? Jangan-jangan Ji-heng merasa dirimu tidak setimpal mempersunting dia, maka kau tidak berani bertindak?"

Dengan membusungkan dada Ji Yok-gi berkata, "Siapa bilang aku tidak berani?"

"Pukul besi mumpung panas, kalau mau beraksi harus segera dilakukan," demikian bujuk Kim Put-hoan.

Mendadak seorang berteriak di belakang, "Binatang, dua ekor binatang!"

Ji Yok-gi dan Kim Put-hoan kaget, serentak mereka membalik tubuh, tampak anak buntak berbaju merah tadi berdiri dengan bertolak pinggang, dan mata melototi mereka.

"Binatang, apa katamu?" Bentak Kim Put-hoan.

"Kubilang kau ini binatang!" maki anak merah itu. Mendadak dia melompat sambil mengayun tangan, betapa cepat gerakannya, belum lagi terlihat jelas, "plak", pipi kiri Kim Put-hoan tahu-tahu kena gampar.

Sebagai tokoh yang sudah terkenal di Kangouw, ternyata mukanya kena digampar seorang bocah cilik, sungguh sukar dipercaya bila tidak menyaksikan sendiri.

Kim Put-hoan gusar dan kaget, makinya, "Binatang cilik!"

Jari tangannya serupa cakar burung segera mencengkeram, tak tahunya bayangan merah tiba-tiba berkelebat, anak merah itu sudah menyelinap masuk pendopo.

"Celaka!" seru Ji Yok-gi khawatir, "pembicaraan kita telah didengar setan cilik itu." Segera dia putar tubuh dan hendak ngacir.
Lekas Kim Put-hoan menariknya, katanya, "Takut apa? Rencana sudah jadi, betapa pun harus dilaksanakan."
 
Apa boleh buat, Ji Yok-gi diam saja diseret masuk ke pendopo. Sementara itu bocah merah itu sudah berdiri di samping si gadis berbaju putih, melihat mereka masuk, segera dia bertepuk sambil berteriak, "Nah, dua ekor binatang itu masuk."

"Hei, anak kecil tidak boleh sembarangan omong!" tegur Li Tiang-ceng.

Anak merah itu berkata, "Kedua orang ini berkomplot dan berunding cara bagaimana hendak menipu Jitkohnio, supaya dapat bini dan harta, engkau orang tua harus memberi keadilan, bukankah kedua orang ini adalah binatang?"

Li Tiang-ceng batuk-batuk beberapa kali, mulut tidak bicara, tapi matanya menatap tajam mereka.

Ji Yok-gi merah jengah, sedangkan Kim Put-hoan bermuka tebal, sikapnya tetap tak acuh seperti tidak terjadi apa-apa, kelihatannya malah bangga.

"Siapakah kedua orang ini?" tanya Jitkohnio (nona ketujuh) dengan muka cemberut.

Berputar mata Liu Giok-ji, segera dia mendahului bersuara, "Biarlah kuperkenalkan, orang ini bergelar Kian-gi-yong-wi (berani bertindak demi keadilan) Kim Put-hoan, kecuali itu dia masih punya dua gelar lain, yaitu Kian-ci-gan-kay (melihat uang mata terbuka) dan Kian-li- bang-gi (mendapat untung lupa kebenaran), kedua gelar yang belakangan ini jauh lebih tersohor di kalangan Kangouw."

"Ya, juga lebih cocok daripada julukan yang pertama," tukas Jitkohnio.

Lekas Kim Put-hoan merangkap kedua tangan, katanya sambil menjura, "Ah, nona terlalu memuji."

Liu Giok-ji cekikik geli, katanya, "Tebal muka Kim-tayhiap ini memang tiada bandingannya di kolong langit, dibacok pedang atau golok juga tidak mempan."

"Cis, lalu siapa lagi yang satu?" tanya Jitkohnio.

"Yang satu ini jauh lebih tersohor. Gelarannya panjang, Giok-bin-yau-khim Sin-kiam-jiu (wajah kemala memetik harpa, si pedang sakti) Ji Yok-gi. Maksudnya, meski kelihatan tolol (Yok-gi), padahal otaknya encer dan cerdik, malah lebih pandai dibandingkan orang lain."

Jitkohnio mengawasi orang, mendadak dia terpingkal-pingkal, katanya sambil menuding Ji Yok-gi, "Jadi kedua orang ini kepingin makan daging angsa? Lucu, sungguh menggelikan, manusia begini juga setimpal disebut tujuh jago kosen dari Bu-lim, apakah orang lain mau mengakui mereka?"

Wajah Ji Yok-gi yang pucat seketika merah padam.

"Sampah persilatan," Kiau Ngo mencaci maki. "Tidak tahu malu." "Cuh," tiba-tiba Toan-hong Totiang membuang ludah.
Muka Thian-hoat Taysu bertambah kelam.
 
Liu Giok-ji menghela napas, "Bila tahu di antara ketujuh jago kosen ada manusia sebejat ini, aku sih lebih suka namaku dicoret saja dari deretan tujuh jago kosen."

Belum habis dia bicara, Ji Yok-gi sudah putar tubuh dan berlari pergi.

Kim Put-hoan biasanya hanya garang di depan yang lemah dan kuncup nyalinya di depan orang yang kuat, kini mau tidak mau hatinya terbakar juga, batinnya, "Biarpun anak dara ini banyak duit, apakah ilmu silatnya bisa lebih tinggi daripadaku? Biar tuan besarmu menghajar adat padamu."

Biasanya dia tidak mau bertindak bila keadaan tidak meyakinkan dirinya pasti akan menang. Maka setelah berpikir lagi, cepat dia menyusul Ji Yok-gi serta menariknya ke belakang pintu.

Ji Yok-gi mengentak kaki, omelnya, "Kau ... kau bikin aku malu saja, mau apa lagi kau tarik aku kemari?"

Jawab Kim Put-hoan dengan dingin, "Apa urusan selesai begini saja?" Ji Yok-gi mendesis, "Memangnya mau apa kalau tidak selesai?"
Kim Put-hoan menatapnya, katanya kalem, "Jika aku jadi dirimu, menghadapi cewek yang begitu menggiurkan, umpama kepalaku bocor juga akan kukejar terus sampai kena, kalau putus asa dan menarik diri di tengah jalan, bukankah memalukan malah?"

"Memalukan?" Ji Yok-gi melenggong, akhirnya menghela napas panjang, "Ai, ditertawakan orang juga pantas. Si dia tidak tertarik padaku, buat apa "

"Tolol," omel Kim Put-hoan sambil menghela napas, "siapa bilang dia tidak tertarik padamu?"

JI Yok-gi melengak, katanya dengan tergagap, "Tapi ... kalau dia tertarik padaku mana
bisa ... mana bisa menghinaku. Ai, sudahlah, sudahlah " kembali dia hendak putar
tubuh.

Kim Put-hoan menghela napas, katanya, "Agaknya kau masih hijau terhadap perempuan, masa tidak bisa kau tangkap perasaan seorang perempuan?"

Tanpa ditarik lagi, tiba-tiba Ji Yok-gi menghentikan langkah, maka Kim Put-hoan melanjutkan, "Umpama orang menaksir padamu, memangnya di depan orang banyak berani dia bicara blak-blakan?"

Berkedip mata Ji Yok-gi, "Ya, beralasan juga "

"Ketahuilah, isi hati orang perempuan sukar dijajaki, semakin dia naksir padamu, dia justru sengaja hendak menyiksamu, ingin menguji kemurnian cintamu, jika kalau mundur di medan laga, bukankah kau sia-siakan maksud baiknya?"

Ji Yok-gi terbujuk, katanya riang, "Ya betul! Lalu menurut pendapat saudara, bagaimana aku harus bertindak?"

"Dengan cara lunak kita gagal, boleh gunakan kekerasan!"
 
"Kekerasan ... mana boleh pakai kekerasan?"

"Memangnya kau tidak tahu bahwa pada umumnya perempuan pengagum orang gagah. Kesatria setampan kau, mustahil orang tidak akan kagum padamu?"

Ji Yok-gi berkeplok, serunya senang, "Betul, tanpa petunjuk Kim-heng, hampir saja Siaute mengabaikan kesempatan baik. Tapi ... pakai kekerasan bagaimana, tolong Kim-heng menjelaskan."

"Asal kau tidak mundur di medan laga, tapi mempertahankan garis depan denganku, urusan lain boleh kau bertindak menurut petunjukku nanti," segera dia mendahului melangkah masuk pula.

Terbakar semangat Ji Yok-gi, segera dia betulkan pakaiannya, dengan langkah lebar, dengan membusungkan dada dan menegakkan kepala, dia melangkah balik lagi ke pendopo.

Sementara itu Li Tiang-ceng tengah berkelakar dengan Jitkohnio.

Terhadap Li Tiang-ceng, Jitkohnio memang bersikap ramah, manja, dan jenaka, tapi terhadap orang lain ternyata dia bersikap tak acuh. Thian-hoat Taysu pun tidak dia hiraukan.

Semula orang banyak merasa suka padanya, kini setelah melihat sikap angkuhnya, mereka jadi mendongkol. Thian-hoat Taysu berdiri dan siap tinggal pergi. Demikian pula orang lain juga ingin tinggal pergi saja.

Sementara itu Li Tiang-ceng sedang berkata, "Kedatanganmu ini secara sengaja atau kebetulan mampir saja?"

Jitkohnio cekikikan, katanya, "Sepantasnya kubilang sengaja kemari untuk menyampaikan salam kepada engkau orang tua, tapi aku tak dapat berdusta, harap engkau tidak marah padaku."

"Baiklah, jadi kau hanya kebetulan mampir ke sini?" "Juga bukan mampir saja. Aku datang mencari orang." "Siapa? Apa dia berada di sini?" tanya Li Tiang-ceng. "Ya, di pendopo ini," sahut si nona.
Mendengar pembicaraan ini, hadirin batal pergi. Maklum, dalam pendopo hanya ada beberapa orang saja, bahwa nona jelita anak hartawan ini jauh-jauh datang kemari untuk mencari orang, sudah tentu mereka tertarik, ingin tahu siapa yang sedang dicarinya.

Thian-hoat Taysu membatalkan niatnya pergi, timbul juga rasa ingin tahunya, dia membatin, "Mungkin sejak lama dia mengagumi nama besarku, maka kedatangannya hendak minta petunjuk kepadaku?"
 
Waktu dia angkat kepala, dilihatnya hadirin yang lain juga bersikap aneh, agaknya punya maksud yang sama seperti dirinya.

Bercahaya mata Li Tiang-ceng, katanya dengan tersenyum, "Jago-jago kosen sedunia sekarang berada di pendopo ini, entah siapa yang Hiantitli cari?"

Tanpa berpaling, jari si gadis yang runcing tiba-tiba menuding ke sana, "Dia itulah!"

Tanpa terasa para hadirin menoleh mengikuti arah yang dituding, jari telunjuknya yang putih halus dengan kukunya yang panjang bercat merah ternyata menuding ke arah si pemuda rudin yang sejak tadi duduk di pojok sana.

Padahal sejak masuk ke pendopo ini pada hakikatnya Jitkohnio tidak melirik ke sana, seperti tidak tahu akan kehadiran seseorang di sana, tapi tudingan telunjuknya ternyata tepat, ini menandakan walaupun dia tidak pernah memandang ke sana, tapi diam-diam dia sudah memerhatikannya sejak tadi.

Keruan hadirin sama kecewa, "Ternyata bukan aku yang dia cari." "Tak nyana pemuda gelandangan ini dapat menarik perhatian gadis secantik ini hingga menyusulnya sampai di sini."

Sudah tentu hadirin makin tertarik, entah karena apa nona jelita ini jauh-jauh mencari pemuda miskin ini.

Tak tersangka tiba-tiba pemuda rudin ini berdehem, lalu berdiri, katanya sambil menjura, "Wanpwe mohon diri."

Belum habis bicara segera dia melangkah keluar.

Mendadak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu anak merah tadi sudah mengadang di depannya, serunya, "Tidak boleh pergi, memangnya kau tidak tahu betapa susah Jitkohnio mencarimu?"

Jitkohnio gigit bibir dan mengentak kaki, serunya, "Bagus, kau ... pergilah, pergi ... bila kau pergi, aku ... aku akan ... akan " tiba-tiba matanya berkaca dan mewek-mewek, sukar
meneruskan lagi.

Pemuda itu tertawa getir, katanya sambil menghela napas, "Ai, buat apa nona berbuat demikian, Cayhe "

Anak merah itu bertolak pinggang, teriaknya, "Bagus sekali, kau pemuda yang tidak berperasaan, berani kau bicara demikian, masa kau lupa bagaimana Jitkohnio terhadapmu
...."

Pemuda itu menghela napas pula. Sementara Jitkohnio mengentak kaki dan menyeka air mata. Hadirin jadi heran, mereka tidak tahu apa latar belakang kejadian ini, namun sama maklum juga bahwa Jitkohnio yang tinggi hati ini menaksir pemuda rudin ini, sebaliknya si pemuda bersikap tak acuh dan selalu cari alasan untuk menyingkir.

Liu Giok-ji melirik sambil berkerut kening, batinnya, "Aneh, laki-laki di dunia ini kan belum mampus seluruhnya, kenapa Jitkohnio justru menyukai pemuda kotor ini?"
 
Dengan mengelus jenggot, Li Tiang-ceng mengawasi pemuda itu, terasa olehnya bahwa pemuda ini memang bukan pemuda sembarangan, demikian pula Hoa-sikoh menatapnya lekat-lekat, dia punya pendapat yang sama dengan Li Tiang-ceng.

Sebelum hadirin dalam pendopo tahu duduk persoalannya, tertampak Kim Put-hoan menyeret Ji Yok-gi putar balik pula. Melihat muka mereka setebal ini, sudah pergi kembali lagi, keruan hadirin sama berkerut alis dan merasa muak.

Kiau Ngo segera memberi reaksi, "Kalian balik lagi untuk membikin malu?"

Kim Put-hoan tidak menghiraukannya, langsung dia menuju ke depan Jitkohnio, dengan tertawa dia menjura, katanya, "Selamat bertemu!"

Di sampingnya tersipu-sipu Ji Yok-gi juga ikut menjura dan menyapa, "Selamat bertemu!"

Memangnya Jitkohnio sedang jengkel dan penasaran tak terlampias, kontan matanya melotot, makinya sambil mengentak kaki, "Enyah! Enyah dari sini!"

Ji Yok-gi berjingkat kaget. Tapi Kim Put-hoan tenang-tenang saja. Katanya dengan cengar- cengir, "Cayhe memang ingin enyah, tapi dengan cara bagaimana nona hendak mengenyahkan kami? Cayhe ingin membuktikannya."

Sembari bicara, sebelah tangannya memberi tanda di belakang pantat kepada Ji Yok-gi.

Ji Yok-gi lantas berdehem, katanya dengan membusungkan dada, "Siapa tidak tahu Kim- heng ini menjagoi Bu-lim, berani kau kasar terhadapnya, bukankah berarti kau meremehkan orang-orang gagah sedunia?"

Orang ini mudah dihasut, tidak punya pendirian, suka anggap dirinya paling pintar, tapi bicaranya memang patut dipuji, sikapnya kelihatan gagah juga.

Jitkohnio mengerling ke kanan kiri, bergantian dia mengamati kedua orang ini, dengan dingin ia mendengarkan ocehan mereka, mendadak dia tertawa lebar, katanya, "Bagus, memang mirip orang gagah "

Ji Yok-gi bersorak dalam hati, "Akal Kim-heng memang tepat."

Segera ia berkata, "Jika sudah tahu, selanjutnya jangan kau rendahkan orang lain "
dadanya makin dibusungkan, namun nada bicaranya menjadi agak lunak.

Jitkohnio tertawa, katanya, "Baiklah, selanjutnya aku tidak berani memandang rendah kalian berdua."

Kontan terunjuk rasa senang pada wajah Ji Yok-gi, katanya dengan tertawa lebar, "Nah, seyogianya begitu."

Jitkohnio tertawa riang, katanya, "Kalian pikir aku ini perempuan lemah, membawa anak kecil, mana kuat melawan kalian. Maka setelah gagal dengan cara lunak sekarang hendak menggunakan kekerasan, mau mengajar adat kepadaku. Orang gagah yang pandai melihat gelagat memang jarang ada di dunia persilatan, mana berani kuremehkan kalian?"
 
Makin manis menggiurkan wajah si nona, muka Ji Yok-gi jadi makin merah, akhirnya dia berdiri melenggong, rasa senang tadi entah kabur ke mana.

Kim Put-hoan lantas menjengek, "Seorang perempuan, bicara secongkak ini, aku jadi heran, cara bagaimana orang tuamu mendidikmu sejak kecil."

"O, jadi kau hendak memberi ajaran padaku?" tanya Jitkohnio.

"Betul," jawab Kim Put-hoan, "Kau kira Ji-heng ini masih muda, ramah tamah, lantas boleh dihina? Hm, sikap Ji-heng memang ramah terhadap orang, tapi terhadap orang sekasar kau, dia merasa sebal. Ji-heng, betul tidak?"

"Ehm ... ya, ya " Ji Yok-gi mengiakan saja sambil manggut-manggut.

Dengan gaya gemulai Jitkohnio membetulkan sanggulnya, katanya dengan tersenyum manis, "Kalau demikian, silakan turun tangan saja."

Sebelah tangan anak merah tadi menarik ujung baju si pemuda miskin, serunya lantang, "Keparat yang sudah merasakan gamparanku tadi, marilah lawan aku saja, tak perlu nona turun tangan sendiri!"

Kim Put-hoan berkata, "Kalian maju bersama juga boleh, yang terang "

Toan-hong-cu yang sejak tadi bersikap dingin mendadak menceletuk, "Kim Put-hoan, apa kau perlu minta petunjuk padaku?"

Kim Put-hoan menyeringai, katanya, "Syukur jika kau sudi memberi petunjuk."

Toan-hong-cu berkata, "Hoat-cay-sin (malaikat harta hidup) mempunyai kekayaan berlimpah-limpah dan tiada bandingannya di kolong langit ini, tapi gembong penjahat dari golongan hitam mana pun tak pernah mengusik sepeser pun uangnya. Kenapa demikian, apa kau tahu sebabnya?"

Kim Put-hoan tertawa, katanya, "Mungkinkah gembong-gembong penjahat itu anggap uang perak atau emas miliknya itu sudah bulukan atau berbau!" dia merasa lucu akan banyolannya sendiri, maka dia tergelak, tapi ketika matanya melirik ke sana dan melihat wajah Toan-hong-cu yang kereng bengis, seketika kuncup gelak tawanya.

Toan-hong-cu menarik muka, katanya, "Jadi kau tidak mau mendengar? Hm, tidak apa, tetap akan kubicarakan hal ini. Sebab sudah lama kaum persilatan baik yang berkepandaian tinggi atau rendah, ada yang karena menghindari pengejaran musuh, ada yang menyelamatkan diri dari bahaya yang mengancamnya, semua lari ke rumah Hoat- cay-sin. Memang Hoat-cay-sin sayang pada uangnya dan amat pelit, namun terhadap orang-orang Kangouw itu, kalau ada yang minta pasti dia merogoh kantong. Selama puluhan tahun, rumah Hoat-cay-sin sudah merupakan sarang naga dan gua harimau, penuh dengan orang kosen, jangankan orang lain, sebagai contoh saja, saudara cilik yang ikut nona Cu ini, dia bukan tokoh sembarang tokoh yang boleh dibuat permainan, kau ingin memberi hajaran padanya, salah-salah kau sendiri yang bakal dihajar olehnya."

"Maksud Totiang anak merah ini?" tanya Kim Put-hoan sambil menuding bocah merah itu. "Kecuali dia, siapa lagi dalam ruangan ini yang patut disebut saudara cilik?"
 
Tak tertahan Kim Put-hoan bergelak tertawa, katanya, "Jadi maksud Totiang bocah ini? Apa tidak terlalu kau agulkan dia dan meremehkan kawan sendiri? Umpama makhluk aneh kecil ini sejak di kandungan ibunya sudah berlatih silat, memangnya kepandaiannya mampu menandingi jago kosen dari ketujuh pentolan Bu-lim?"

"Kalau tidak percaya, boleh kau coba," jengek Toan-hong-cu.

"Sudah tentu akan kucoba," ucap Kim Put-hoan sambil menyingsing lengan baju.

Mendadak Singa Jantan Kiau Ngo juga menyingsing lengan baju, tapi dia ditahan oleh Hoa-sikoh, katanya lirih, "Apa yang hendak kau lakukan Kiau-ngoko?"

"Keparat ini hendak berkelahi dengan seorang anak kecil. Hm, biar orang lain tidak mau ambil peduli, aku Kiau Ngo justru akan membelanya."

Hoa-sikoh tertawa, katanya, "Orang lain tidak peduli karena Jitkohnio terlalu temberang, maka mereka ingin lihat tontonan saja untuk mengetahui betapa tinggi Kungfunya. Tapi kalau Li-locianpwe sendiri juga berpeluk tangan saja, apa kau tahu apa sebabnya?
Memangnya kau kira beliau juga ingin menonton saja?"

"Iya," ujar Kiau Ngo sambil berkerut kening. "Aku juga heran "

Hoa-sikoh berbisik pula, "Soalnya Li-locianpwe sudah menaruh curiga kepada bocah cilik berbaju merah itu, maka dia tinggal diam saja membiarkan keributan terjadi."

Kiau Ngo heran, katanya, "Usianya masih sekecil itu, apanya yang perlu dicurigai?"

"Aku sendiri juga tidak tahu, pendek kata bocah cilik itu pasti ada sesuatu yang patut dicurigai, bukan mustahil Ai, kau tunggu dan lihat saja."

Kiau Ngo makin heran, gumamnya, "Kalau begitu, baiklah kutunggu "

Tampak Kim Put-hoan sedang menyingsing lengan baju kanan kiri, belum juga mau turun tangan, tiba-tiba dia tarik Ji Yok-gi ke pinggir serta berbisik entah apa yang dibicarakan.
Sementara Li Tiang-ceng, Toan-hong-cu, Thian-hoat Taysu sama menatap tajam kepada bocah merah itu dengan sorot mata yang aneh.

Kiau Ngo melirik juga dua kali ke arah bocah merah gemuk itu, diam-diam timbul juga rasa curiganya, pikirnya, "Kenapa bocah ini mengenakan topeng seaneh itu? Kenapa dia tidak mau menanggalkan topeng supaya orang banyak melihat muka aslinya? Usianya paling- paling baru dua belasan tahun, kenapa suara bicara dan tindak tanduknya mirip orang tua?"

Sementara itu bocah merah tetap memegangi ujung baju si pemuda rudin, sedangkan si pemuda bersungut sambil berkerut alis. Sekilas Jitkohnio melirik Kim Put-hoan, lalu sorot matanya beralih ke arah pemuda rudin dan tidak berkisar lagi.

"Sudah tiba kesempatannya," bisik Kim Put-hoan dengan gemas setelah menarik Ji Yok-gi ke samping.

"Kesempatan apa?" tanya Ji Yok-gi.
 
"Kesempatan untuk gigi dan angkat nama, memangnya kau belum juga mengerti. Lekas kau robohkan makhluk aneh cilik itu dalam dua-tiga gebrak, supaya budak yang tidak tahu diri itu kapok dan tahu kelihaianmu."

"Tapi ... tapi dia hanya seorang bocah, bagaimana aku tega turun tangan?"

"Memangnya kenapa kalau bocah? Tidakkah kau dengar Tojin setan itu bilang dia lihai, jika dapat kau robohkan dia, bukankah namamu akan tersohor?"

Sesaat Ji Yok-gi berpikir, tiba-tiba ia tertawa, katanya sambil menggeleng, "Kim-heng, kali ini Siaute takkan tertipu lagi olehmu."

"He, kenapa kau bilang demikian?"

"Kalau aku melabrak bocah itu, menang kan sudah jamak, sebaliknya bila aku kalah, ke mana aku harus menaruh mukaku? Karena itulah kau sendiri tidak mau turun tangan, tapi malah menyuruh aku."

"Kau betul tidak mau turun tangan?" jengek Kim Put-hoan.

"Biarlah kesempatan memperoleh nama ini kuberikan kepada Kim-heng saja," ujar Ji Yok- gi.

Kim Put-hoan memandangnya lekat-lekat, ia tanya pula, "Kau tidak menyesal?" "Pasti tidak akan menyesal."
Kim Put-hoan menghela napas, "Ai, maksud baikku kau salah artikan, sungguh sayang "
perlahan dia memutar tubuh terus hendak maju ke arena.

Ji Yok-gi melongo mengawasi punggungnya, senyumnya sirna seketika, ia mengerling pula ke arah Jitkohnio, betapa pun dia memang kesengsem kepada nona jelita ini, mendadak dia memanggil perlahan, "Kim-heng, tunggu sebentar!"

Kim Put-hoan tidak berpaling. "Ada apa?" tanyanya. "Biar ... biarlah aku saja aku saja yang turun tangan!"
"Tidak, katamu takkan menyesal?"

Ji Yok-gi menyengir, "Ah, bila bila Kim-heng memberi kesempatan ini kepadaku, kelak
Siaute pasti memberi kado besar kepadamu."

Kim Put-hoan seperti menimbang agak lama, kemudian dia membalik badan dan berkata, "Baiklah, maju!"

Ji Yok-gi kegirangan, "Terima kasih Kim-heng!" segera dia melompat ke depan.

Mengawasi punggung orang, Kim Put-hoan menyeringai, dengusnya perlahan, "Huh, kelihatannya gagah dan tampan, tak tahunya berotak udang."
 
Begitu melompat ke tengah pendopo, Ji Yok-gi segera berseru lantang, "Demi menghormati ketiga Cianpwe pemilik Jin-gi-ceng, maka harpa dan pedang tidak kubawa kemari, tapi siapa pun bila ingin memberi pelajaran kepada orang she Ji, akan kulayani dengan bertangan kosong saja."

Baru sekarang Jitkohnio menarik pandangannya atas diri si pemuda, katanya dengan tertawa dan menggeleng, "Bocah she Ji ini agaknya kena dihasut lagi oleh orang she Kim itu "

Anak merah menarik si pemuda rudin ke depan Jitkohnio, katanya, "Nona, kau jaga dia, jangan sampai terlepas, biar kuberi hajaran kepada bocah yang tidak tahu diri itu."

Jitkohnio mencibir, katanya, "Siapa sudi menjaga dia? Biarkan saja dia pergi," tapi sembari bicara diam-diam dia sudah ulur jarinya menggantol lengan baju si pemuda.

Pemuda itu menghela napas, ujarnya, "Buat apa selalu kau cari gara-gara?"

"Memangnya aku harus meniru tabiatmu?" omel Jitkohnio, "orang menampar pipi kirimu, malah kau berikan pipi kanan pula. Aku justru tidak mau dihina."

"Ya, kau memang lihai," ujar si pemuda dengan tertawa getir. "Tapi setelah kau bikin ribut, jangan suruh orang lain membereskan persoalannya. Kalau bisa kau selesaikan urusanmu sendiri, baru benar kau memang lihai."

"Jangan khawatir, mati pun aku tidak perlu minta bantuanmu," lalu si nona melengos dan tidak peduli lagi, tapi kedua jarinya yang menggantol lengan baju orang tetap tidak dilepaskan.

Dengan langkah bergoyang sampan seperti bebek berjalan, anak merah tadi maju ke depan Ji Yok-gi, sekejap dia amat-amati orang dari atas kepala sampai kaki, lalu berputar ke belakang, dan balik ke depan lagi, akhirnya dia tertawa cekikikan, katanya, "Nah, boleh pukul, tunggu apa lagi?"

"Sebetulnya orang she Ji tidak sudi bergebrak denganmu, tapi "

"Mau berkelahi ayo mulai, kenapa mengoceh saja," omel si bocah merah. Mendadak dia melompat ke atas terus menampar muka Ji Yok-gi.

Geraknya biasa dan terang-terangan, tapi kecepatan serangannya sukar dilukiskan.

Untung Kim Put-hoan yang sudah kena tampar tadi sudah menjadi contoh bagi Ji Yok-gi, maka dia berlaku hati-hati, begitu orang bergerak, sigap sekali dia berputar menyingkir, namun begitu hampir saja mukanya kena gampar.

Bocah merah cekikikan, katanya, "Ternyata betul sedikit berisi."

Sambil bicara tangan juga tidak menganggur, di mana bayangan merah berkelebat, tangannya segera menghantam.

Serangannya ternyata tidak mengutamakan tipu atau permainan ilmu silat umumnya, tapi lebih mirip anak kecil yang berkelahi main cakar dan tampar, namun serangannya justru
 
cepat dan ketat, gerakannya enteng dan sigap, sehingga lawan tidak diberi kesempatan bernapas.

Seketika Ji Yok-gi terdesak oleh serangan gencar si bocah, tapi gerak langkahnya ternyata cukup tangkas, gayanya kalem dan gagah sehingga penonton manggut-manggut.

Dengan suara perlahan Hoa-sikoh bertanya kepada Kiau Ngo, "Coba lihat, bukankah bocah itu agak aneh?"

Kiau Ngo mengerut alis, katanya, "Berkelahi cara demikian memang jarang kulihat."

"Justru ia sengaja berbuat demikian agar orang lain sukar menjajaki asal usul ilmu silatnya."

Kiau Ngo heran, tanyanya, "Apakah bocah ini juga punya asal usul?"

"Kalau tidak punya asal usul, mampukah dia mendesak Ji Yok-gi sedemikian rupa?"

Kerut alis Kiau Ngo makin rapat. Sesaat kemudian Hoa-sikoh berkata pula dengan menghela napas, "Meski bocah itu tidak menggunakan ilmu silat andalannya, kalau demikian cara bertempur Ji Yok-gi, akhirnya dia pasti kalah juga."

Kiau Ngo manggut-manggut, "Betul, jika Ji Yok-gi tidak banyak bertingkah, taraf Kungfunya tentu bisa maju lebih tinggi."

Ji Yok-gi memang suka mengagulkan diri sebagai pemuda ganteng yang romantis, sampai pun waktu berkelahi dengan orang juga memakai gerak-gerik yang terhormat dan gaya yang indah supaya menimbulkan kesan baik orang lain, gerakan yang buruk mati pun tidak sudi digunakan.

Waktu si bocah merah menyerang ketiga kalinya, bagian kiri bawah ketiaknya sebetulnya kosong, Hoa-sikoh dan Kiau Ngo menyaksikan kekosongan ini, mereka tahu bila Ji Yok-gi mau melancarkan jurus serangan Thi-gu-keng-te (lembu besi meluku sawah), umpama tidak berhasil menjatuhkan si bocah, paling tidak dapat memperbaiki posisinya yang terdesak.

Sayang Ji Yok-gi anggap jurus serangan itu kurang indah, maka dia abaikan kesempatan baik itu, malah melancarkan jurus Hong-jui-siu-liu (angin mengembus dahan Liu) yang tak bermanfaat sedikit pun.

Kim Put-hoan geleng-geleng kepala, katanya dingin, "Mati pun dia memilih gaya yang indah " tapi hatinya juga lega, karena dia tahu meski Ji Yok-gi tak mungkin menang,
agaknya juga tidak gampang dikalahkan.

Hoa-sikoh bergumam sendiri, "Entah Li-locianpwe sudah dapat membongkar asal usulnya atau tidak?"

Waktu dia berpaling, dilihatnya Leng Sam sedang memapah si orang tua sakit, entah sejak kapan sudah berdiri di samping Li Tiang-ceng, pandangan mereka pun tertuju si bocah merah, diam-diam kedua orang tua itu pun saling memandang.

Akhirnya Li Tiang-ceng bertanya, "Toako, sudah kau lihat sesuatu?"
 
Si orang sakit, Ki Ti, berkata setelah termenung sejenak, "Kukira tujuh bagian tepat."

Singa Jantan merasa bingung mendengar pembicaraan mereka, ia tanya, "Sebetulnya ada apa sih?"

Hoa-sikoh menghela napas, ujarnya, "Coba lihat cara berkelahi bocah itu tanpa menggunakan norma-norma ilmu silat, tapi gerak-geriknya tidak menunjukkan suatu kelemahan, kalau tidak mempunyai dasar latihan puluhan tahun, mana mampu dia berbuat demikian?"

"Tapi ... paling banyak dia baru berusia belasan tahun "

"Bocah berusia belasan tahun mana mungkin punya dasar latihan puluhan tahun,
kecuali usianya memang tidak muda lagi, hanya perawakannya saja yang memang katai
alias cebol, juga dia mengenakan kedok hingga orang sukar menduga berapa umurnya."

Kiau Ngo bergumam sendiri, "Latihan dasar puluhan tahun ... perawakannya cebol "
mendadak tergerak hatinya, dia teringat pada seseorang, serunya kaget, "Hah, dia!" "Ya, delapan bagian pasti dia," ujar Hoa-sikoh.
Kiau Ngo berkata pula, "Pantas sudah lama orang ini tak pernah unjuk diri, tak tahunya bersembunyi di rumah Hoat-cay-sin." Dia pandang Thian-hoat Taysu sekejap lalu katanya dengan suara tertahan, "Apakah Thian-hoat Taysu sudah tahu asal usulnya? Jika ia pun sudah tahu, mungkin "

"Bukan Thian-hoat Taysu saja, Liu Giok-ji, Toan-hong-cu pun tahu asal usulnya, mungkin mereka juga "

Tertampak Thian-hoat Taysu yang berperawakan kekar itu tiba-tiba mulai bergerak, wajahnya kelihatan serius, kulit mukanya bersemu ungu, selangkah demi selangkah perlahan mendekati bocah merah yang sedang melabrak Ji Yok-gi itu.

Jelalatan mata Jitkohnio, mendadak dia membentak, "Lekas!"

Kontan anak merah melejit ke atas, belum lenyap suara Jitkohnio mendadak dia pentang kedua tangan terus menukik dan menubruk ke arah Ji Yok-gi.

Melihat gerakan si bocah, Li Tiang-ceng terkejut, teriaknya, "Hui-liong-sik!"

Di tengah teriakan kaget Li Tiang-ceng, terdengar Ji Yok-gi juga menjerit kaget dan menjatuhkan diri ke lantai. Bukan kebetulan dia terkenal di dunia Kangouw, gerak-geriknya memang tangkas, meski terdesak ia tidak menjadi gugup, dengan gerakan Yan-ceng-cap- pwe-hoan (delapan belas kali jumpalitan gaya Yang Ceng), begitu badan menyentuh lantai langsung menggelinding ke sana lalu melompat berdiri, ia tidak terluka, namun melongo juga dia mengawasi bocah merah itu.

"Ayo pergi!" terdengar Jitkohnio membentak, segera dia tarik si pemuda rudin dan tangan lain menggandeng anak merah itu terus hendak melayang pergi.
 
Mendadak suara sabda Buddha berdengung dalam ruang itu, suaranya sangat keras, memekak telinga, perawakan Thian-hoat Taysu yang tinggi besar tahu-tahu sudah mengadang di depan mereka.

Jitkohnio tidak banyak bicara, dia putar haluan hendak melompat ke jendela. Tapi bayangan orang tampak berkelebat, Leng Sam, Toan-hong-cu, Liu Giok-ji, Ji Yok-gi dan Kim Put-hoan serempak bergerak mencegat mereka dengan wajah gusar.

Si pemuda rudin menghela napas, katanya geregetan, "Nyalimu memang teramat besar. Jelas orang akan tahu asal usulnya, kau justru membawanya kemari."

Dengan geram Jitkohnio melotot padanya, katanya dongkol, "Semua ini juga lantaran kau, karena mencari kau, penderitaan apa saja kurasakan dan apa pun berani kulakukan."

Dalam pada itu Thian-hoat Taysu, Leng Sam dan lain-lain sudah mengurung mereka bertiga. Tiba-tiba Jitkohnio berubah sikap, tanyanya dengan tertawa genit, "Eh, apa yang kalian lakukan ini?"

Dengan kereng Thian-hoat Taysu menjawab, "Nona sudah tahu, kenapa sengaja tanya pula?"

Jitkohnio berpaling, serunya, "Li-jisiok, bagaimana ini? Tamumu ini melarang aku pergi, berani mereka menghinaku di rumahmu, apa engkau orang tua tidak ikut malu?"

Li Tiang-ceng menoleh kepada Ki Ti, dia tidak berani membuka suara.

Mata Ki Ti gemerdep, sesaat lamanya dia diam saja, agaknya dirasakannya urusan cukup gawat.

Hadirin menahan napas, semua menunggu jawaban si cerdik nomor satu di Kangouw. Maklum, setiap patah kata orang tua ini laksana emas, sekali berucap, selamanya takkan berubah.

Agaknya lama juga baru Ki Ti berkata dengan suara berat, "Perkampungan ini berdiri juga berkat bantuan dana ayahmu yang cukup besar, nona Cu mau pergi atau datang, siapa pun dilarang merintanginya."

Legalah hati Jitkohnio, sebaliknya Thian-hoat Taysu dan lain-lain berubah air mukanya. Tapi hanya berhenti sejenak Ki Ti lantas menambahkan dengan suara perlahan, "Tapi orang yang kemari bersama nona, apa pun dia harus tetap tinggal di sini, siapa pun dilarang membawanya keluar."

Jitkohnio berkedip, sengaja dia menuding si pemuda rudin, katanya dengan tertawa, "Apa dia yang engkau maksudkan? Apakah dia pernah berbuat salah kepada orang lain?"

"Bukan," sahut Ki Ti.

"Kalau bukan dia, pasti bocah ini, dia ini pembantu pribadiku, engkau orang tua hendak menahannya di sini untuk meladeni siapa?"

Ki Ti menarik muka, katanya, "Urusan sudah sejauh ini, kenapa nona masih berlagak bodoh?"
 
"Apa maksud ucapanmu, sungguh aku tidak mengerti?!" sahut si nona.

"Tidak tahu?" jengek Ki Ti. "Leng Sam, ambil maklumat itu dan berikan kepadanya supaya dibacanya."

Serentak Leng Sam melesat keluar.

Tangan Jitkohnio yang mengandeng si pemuda sudah mulai gemetar, tapi wajahnya masih mengulum senyum, sikapnya seperti tidak acuh.

Cepat sekali Leng Sam sudah balik sambil membawa selembar kertas, warna kertas dan tulisannya sudah agak luntur. Ki Ti menerima kertas itu, sambil mendongak dia tertawa getir, katanya, "Sudah tujuh tahun maklumat ini ditempel di dinding depan, tak nyana hari ini baru bisa ditanggalkan dari tempatnya."

"Kertas apakah itu?" tanya Jitkohnio sambil berkedip-kedip.

"Peduli kau tahu atau benar-benar tidak tahu, boleh kau ambil dan melihatnya sendiri," segera Ki Ti melempar lembaran kertas itu di depan kaki Jitkohnio.

Jitkohnio mengerling kiri-kanannya, lalu menjemput kertas itu, katanya, "Marilah kalian pun ikut membacanya."

Lalu dia mendahului berjongkok, pemuda itu pun ditariknya berjongkok sehingga sama tinggi dengan anak merah itu agar lebih leluasa mereka membaca bersama.

Maklumat itu tertulis demikian:

"Hoa Lui-sian, berjuluk Siang-thian-jip-to (naik ke langit menyusup ke bumi), salah satu dari Cap-sah-thian-mo (tiga belas iblis besar) yang dulu pernah menjagoi Kangouw, sejak tragedi Heng-san hanya orang-orang ini dari Cap-sah-thian-mo yang masih hidup. Sebab jauh sebelum tragedi Heng-san itu, orang ini sudah menghilang, kaum persilatan tiada yang tahu ke mana perginya.

Orang ini berusia lima puluh empat tahun, namun perawakannya pendek seperti anak kecil, gemar berpakaian serbamerah, asal usul Kungfunya tidak jelas, namun dia pernah mewarisi ajaran majikan Ngo-toa-mo-kiong yang pernah menggetarkan Bu-lim pada enam puluh tahun yang lampau.

Selama hidup tidak pernah pakai senjata, juga tidak menggunakan senjata rahasia, tapi Ginkangnya tinggi, tenaga pukulannya jahat dan beracun, termasuk dalam urutan tokoh keenam dalam Bu-lim. Giok-long Taysu dari Ngo-tay, Liu Hwi-sian dari Hoa-san, Kanglam- tayhiap Tian Thi-ciang dan jago-jago kosen yang lain, semuanya gugur di tangannya.

Belasan tahun yang lalu pernah tersiar berita bahwa orang ini sudah mati di muara Huang- ho. Akan tetapi dalam setahun itu, orang-orang yang pernah bermusuhan dengan dia, semuanya batok kepalanya terpenggal di tengah malam, seluruh keluarganya juga dibantai habis, luka mereka lantaran pukulan beracun orang itu. Sampai sekarang sudah jatuh korban sebanyak seratus empat puluhan jiwa.

Karena setiap sakit hatinya pasti dituntut, peduli pertikaian besar atau perselisihan kecil, musuhnya tiada yang diberi ampun, sekalipun lari ke langit atau ambles ke bumi juga akan
 
diubernya. Semula Jin-gi-cengcu tidak tahu bahwa dialah pembunuhnya, tapi setelah beliau memeriksa langsung luka-luka para korbannya, yakinlah atas perbuatannya.

Konon pada kecilnya orang ini pernah disiksa secara keji dan disekap di dalam kurungan yang sempit selama delapan tahun, karena itulah bentuk badannya tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya, lantaran itulah tabiatnya amat jelek, setiap manusia di dunia ini dibencinya, terutama sering menganiaya anak kecil, kedua tangannya sudah berlumuran darah orang banyak, kejahatannya cukup mendirikan bulu roma, barang siapa berhasil membekuknya, baik mati atau hidup, akan mendapat upah sebesar lima ribu tahil perak, janji pasti ditepati.

Tertanda Jin-gi-cengcu.

Tangan Jitkohnio membeber maklumat itu, tapi matanya tidak pernah membaca apa yang tertulis di atas kertas itu, diam-diam ia mengerling kian kemari memerhatikan keadaan di sekelilingnya, tertampak kedelapan penunggang kuda di luar pintu sudah turun dari kudanya dan berdiri tegak menunggu perintah sambil memegang tali kendali. Thian-hoat Taysu dan lain-lain kelihatan emosi, agaknya ingin segera turun tangan, namun tanpa persetujuan Jin-gi-cengcu mereka tidak berani bertindak.

Setelah melirik sekian lamanya, tiba-tiba Jitkohnio berbisik kepada si pemuda, "Hari ini aku dan dia bisa tidak keluar dari sini, tergantung kepadamu seorang."

Pandangan si pemuda tertuju ke arah maklumat, katanya perlahan, "Ya, urusan sudah telanjur sejauh ini, apa yang dapat kuperbuat?" suaranya keluar dari tenggorokan tapi bibirnya tidak bergerak.

Jitkohnio berang, desisnya, "Mau atau tidak kau harus turut campur, jangan kau lupa siapa yang telah menolong jiwamu? Memangnya kau lupa bagaimana orang memperlakukan dirimu?"

Pemuda itu menghela napas, mulutnya terkancing.

Setelah menarik napas panjang Jitkohnio berdiri perlahan, katanya, "perbuatan Ciang- tiong-thian-mo ini memang keterlaluan, kejam dan keji."

"Syukurlah kalau nona tahu," ucap Ki Ti dengan suara kereng. "Dan kenapa kau masih membela dia?"

Jitkohnio melirik si bocah merah, katanya sambil menghela napas, "Agaknya mereka anggap kau inilah Hoa Lui-sian itu."

Bocah merah berkata, "Hah, sungguh lelucon besar!"

Seperti tertawa dan tidak tertawa Jitkohnio pandang si pemuda, katanya perlahan, "Peduli lelucon atau bukan, kutahu jelas selama tujuh tahun ini belum pernah dia meninggalkan setapak pun dari sampingku, kalau dia sempat keluar membunuh orang, boleh kau penggal kepalaku saja."

Meski ucapannya di tujukan kepada orang banyak, tapi matanya menatap si pemuda rudin. Tapi pemuda ini berdehem dan menunduk.
 
Thian-hoat Taysu segera berkata dengan bengis, "Apakah pembunuhan yang terjadi selama tujuh tahun ini perbuatan Hoa Lui-sian atau bukan, tapi kematian Giok-liong Susiok hari ini harus kutuntut balas."

"Betul, juga bibiku ... bibiku " Liu Giok-ji ikut menimbrung, tapi baru beberapa patah kata
matanya lantas merah, lidahnya seperti kaku, akhirnya mengentak kaki dan meneruskan, "Siapa berani merintangi aku menuntut balas, aku biar aku adu jiwa dengan dia."

Kedengarannya dia bicara kepada orang banyak, tapi sorot matanya tertuju ke arah Jitkohnio.

Diam-diam Kim Put-hoan memberi kedipan mata kepada Ji Yok-gi.

Segera Ji Yok-gi berseru lantang, "Orang she Ji tidak bermusuhan dengan Hoa Lui-sian, tapi terhadap manusia jahat dan kejam, siapa pun wajib menumpasnya."

Anak merah menyeringai, "Jago yang sudah keok juga berani kentut."

Merah muka Ji Yok-gi, cepat Kim Put-hoan angkat bicara, "Ji-heng terlalu memandang rendah lawannya sehingga kalah setengah jurus, kekalahan yang tidak berarti."

"Betul," seru Ji Yok-gi, "mengingat dia hanya bocah cilik, mana orang she Ji tega turun tangan sungguhan."

Jitkohnio menjengek, "Kalau dia betul Ciang-tiong-thian-mo, masa sekarang kau masih bernyawa? Cis, sok omong besar, tidak tahu malu, dasar muka tebal."

Merah pula muka Ji Yok-gi.

Ki Put-hoan balas mengejek, "Kungfu Hoa Lui-sian memang hebat, tapi demi menumpas kejahatan tidak perlu kami melawannya satu per satu. Yang punya dendam boleh menuntut, yang sakit hati boleh membalas, ayolah maju bersama, biar dia buktikan apakah dia benar-benar mampu naik ke langit atau ambles ke bumi?"

Li Tiang-ceng menghela napas, katanya, "Dengarlah nasihatku, lebih baik Hoa-hujin menyerah saja, nona Cu tidak perlu menjadi juru bicaranya lagi."

Jelalatan mata Jitkohnio, katanya sambil mengentak hati, "Jadi engkau orang tua juga mengira dia ini betul-betul Hoa Lui-sian?"

"Ai, untuk apa kau masih berdebat dan membela dia?" kata Li Tiang-ceng. "Kalau bukan dia, lalu bagaimana?" tanya Jitkohnio.
"Tanggalkan topengnya biar kami lihat," seru Kim Put-hoan. "Kalau betul dia seorang bocah, biar Li-locianpwe minta maaf kepadanya," sengaja dia mendahului bicara, kalau pekerjaannya betul, berarti dia yang mendapat jasa, bila sebaliknya, toh orang lain yang akan minta maaf, pekerjaan yang merugikan bagi Kim Put-hoan yang "melihat uang mata terbuka" jelas tidak akan dilakukannya.

"Baik," akhirnya Jitkohnio mengentak kaki pula, "buka ya buka, biar mereka melihat wajahmu."
 
Bocah merah segera berteriak, "Lihatlah!"

Belum lenyap suaranya, mendadak dia meraih topeng merah di mukanya.

Seketika mata hadirin terbeliak kaget, di balik topeng merah itu memang terdapat sebentuk wajah bocah yang tembam dan halus, tidak berkeriput, jelas wajah seorang anak-anak, jadi bukan muka seorang nenek yang sudah berusia lanjut.

Jitkohnio tertawa, katanya, "Nah, kalian sudah melihat jelas bukan? Soalnya kulit muka bocah ini kurang baik, bila kena angin lantas gatal-gatal, makanya dia selalu memakai topeng. Kedatangannya ternyata telah membuat lelucon yang tidak menggelikan di sini."

Di tengah tertawanya, dengan tangan kanan-kiri dia gandeng si pemuda dan si bocah merah terus berlenggang keluar pendopo.

Hadirin sama melongo, tiada lagi yang merintangi mereka. Tertampak baju Jitkohnio bergetar, entah tertiup angin atau karena gemetar, tapi begitu keluar pintu langkahnya segera di percepat.

"Tunggu sebentar " mendadak Ki Ti membentak. "Jangan lepaskan dia!"

Sementara itu Jitkohnio sudah lantas melayang jauh ke depan, jarinya sempat mencubit pergelangan tangan si pemuda. Ketika Ki Ti berteriak, "Jangan lepaskan dia!" Jitkohnio dan bocah merah itu sudah mencemplak ke atas kuda dan berseru, "Orang tak berperasaan, jiwa kami berdua kuserahkan kepada tanggung jawabmu."

Dalam pada itu tertampak Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji sudah mengejar keluar, bentakan Ki Ti tadi telah menyadarkan mereka adanya keganjilan dalam persoalan ini, maka sigap sekali mereka mendahului bertindak.

Mesti Jitkohnio sudah berada di atas kuda, tapi kuda itu belum lagi angkat kakinya, gerak kuda mana bisa menandingi kecepatan tokoh silat macam Thian-hoat Taysu, jelas sukar bagi mereka untuk lolos keluar pintu gerbang.

Pemuda rudin berdiri terlongong di tempatnya, didengarnya suara angin berkesiur di belakang, dia tahu Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji mengejar tiba.

Pada detik yang genting ini, si pemuda menghela napas, kedua tangannya mendadak terayun ke belakang, telapak tangan kanan laksana golok, telapak tangan kiri tersembunyi di dalam lengan baju, meski tidak menoleh ke belakang, tapi pukulan telapak tangan dan kebutan lengan bajunya ini justru menyerang ke tempat yang mematikan dan harus dihindari dulu oleh Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji.

Sudah tentu Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji mengutamakan menyelamatkan diri daripada mengejar orang. Tenaga sudah mereka himpun, seperti busur yang sudah ditarik, secara refleks mereka menangkis, maka dapat dibayangkan betapa dahsyat kekuatan mereka.

Liu Giok-ji menjengek, "Kau cari mampus!"

Kedua tangannya menyongsong kebutan lengan baju si pemuda.
 
Wajah Thian-hoat Taysu kelihatan prihatin, ia pun menangkis dengan telapak tangannya yang merah darah, "plak", hadirin melihat jelas bentrokan dahsyat ini, digencet dua jago kosen, mereka mengira si pemuda pasti akan hancur lebur.

Siapa tahu, mendadak Liu Giok-ji menjerit kaget, tubuhnya mencelat ke udara. Sementara Thian-hoat Taysu terentak mundur sempoyongan beberapa langkah, setiap langkah kakinya meninggalkan tapak kaki yang satu lebih dalam daripada yang lain, hal ini membuktikan Thian-hoat Taysu sudah mengerahkan seluruh kekuatannya sehingga dia tidak terjungkal jatuh.

Waktu hadirin perhatikan si pemuda, digencet oleh dua tenaga dahsyat itu, tubuhnya tiba- tiba meluncur pergi dengan lengan baju melambai membawa deru angin kencang, tampaknya sekejap lagi akan melayang keluar pintu gerbang.

Sementara itu Jitkohnio sudah membedal kudanya keluar, mendadak dia menghardik sekali, lengan kanan terayun, tubuh bocah merah terangkat ke udara dengan tangan kiri bergandeng tangan Jitkohnio, sementara tangan kanan meraih, dengan tepat dia pegang lengan baju si pemuda, sementara kuda masih terus membedal kencang, maka bocah merah dan si pemuda ikut terseret mabur ke depan, seolah-olah Jitkohnio mengerek dua helai bendera yang berkibar tertiup angin.

Meski hati gusar dan kaget, demi melihat demonstrasi Ginkang sehebat itu, hadirin sama melongo kagum, seketika mereka jadi lupa mengudak.

Sementara itu Liu Giok-ji jumpalitan dua kali terus melayang turun dengan napas tersengal-sengal.

Thian-hoat Taysu juga berdiri tegak lagi, wajahnya pucat, darah tampak meleleh di ujung bibirnya. Kalau tadi dia langsung menjatuhkan diri, mungkin dirinya tidak akan terluka, namun dasar wataknya keras, tinggi hati, makanya sekuatnya dia bertahan, darah yang hampir menyembur ditelan kembali, luka dalamnya tidaklah ringan.

Dalam pada itu kedelapan laki-laki berseragam hitam pun mencemplak ke punggung kuda masing-masing, perlahan mereka keluar, kelihatannya mereka tidak tergesa-gesa, kedua baris kuda mereka sengaja digunakan merintangi para pengejar, sebab mereka maklum orang-orang gagah ini tidak akan turun tangan keji kepada mereka.

Ki Ti mencengkeram pundak Li Tiang-ceng sambil berteriak, "Kejar, kejar! Lekas kejar, jangan terlambat."

Sekilas dia menatap Toan-hong-cu.

Namun Toan-hong-cu hanya batuk-batuk saja sambil melengos dan pura-pura tidak melihat.

Kembali Ki Ti menoleh ke arah Ji Yok-gi, tapi Ji Yok-gi malah melirik Kim Put-hoan, dan Kim Put-hoan hanya menyengir, ujarnya, "Kami berdua tidak ada permusuhan dengan dia, untuk apa mengejarnya?"

Mereka sudah menyaksikan kehebatan Kungfu si pemuda. Kalau Thian-hoat Taysu dan Liu Giok-ji saja kecundang, yang lain mana berani mengejar.
 
Ki Ti menghela napas sambil membanting kaki, katanya geregetan, "Tujuh jago kosen kalau mau bersatu padu mungkin bisa malang melintang di kolong langit ini, sayang ... sayang keadaan seperti pasir yang berserakan ... sungguh sayang "

Menegak alis si Singa Jantan Kiau Ngo, katanya, "Orang itu sudah membuka topengnya, jelas dia seorang bocah cilik, kenapa Cianpwe masih juga ingin mengudaknya?"

Ki Ti menghela napas, "Kalau dia bisa pakai topeng, apakah di balik topengnya tidak bisa mengenakan kedok pula? Kepandaian merias muka Cam-sap-mo kan terkenal tiada bandingan di dunia ini."

Kiau Ngo melongo, akhirnya dia sadar, "Kiranya begitu "

Tahu musuh sudah pergi jauh barulah Kim Put-hoan pura-pura mengentak kaki, katanya, "Ai, kenapa Cianpwe tidak katakan sejak tadi .... Ji-heng, mari kita kejar!" Ia tarik Ji Yok-gi dan ayunkan langkah seperti hendak mengejar.

Hoa-sikoh geleng-geleng kepala, katanya dengan tertawa, "Ji Yok-gi sudah terlibat dengan manusia bejat itu, nasibnya selanjutnya tentu celaka."

"Biar kupergi melihatnya," kata Kiau Ngo terus melompat pergi.

"Ngo-ko, kau pun akan tertipu " seru Hoa-sikoh, tapi Kiau Ngo sudah lari jauh.

Sambil mengentak kaki Hoa-sikoh berkata pula dengan membungkuk badan, "Urusan yang Cianpwe katakan tadi pasti akan kuperhatikan " agaknya dia khawatirkan
keselamatan Kiau Ngo, tanpa menunggu jawaban segera dia berlari keluar. Angin berembus kencang, bunga salju beterbangan pula di angkasa.
Liu Giok-ji termangu-mangu entah apa yang sedang dipikirkan, mendadak dia menghampiri Thian-hoat Taysu, katanya, "Bagaimana luka Taysu?"

"Siapa terluka?" sahut Thian-hoat Taysu dengan gusar, "bocah itulah yang terluka."

"Ya musuh Ngo-tay dan Hoa-san kita telah dibawa lari orang, bila Taysu mau bekerja
sama denganku, kuyakin pasti ada harapan untuk menuntut balas, entah bagaimana pendapat Taysu?"

"Selamanya tidak pernah kukerja sama dengan orang," jawab Thian-hoat Taysu bengis, lengan jubahnya mengebas terus melangkah pergi, tapi baru beberapa langkah tiba-tiba dia sempoyongan.

Liu Giok-ji tersenyum, cepat dia memburu maju memapahnya, katanya lembut, "Hujan salju dan angin kencang lagi, maukah Taysu kuantarkan?"

Thian-hoat Taysu terlongong sejenak, akhirnya dia menghela napas panjang dan tidak bicara lagi.

Hujan salju makin lebat, angin menderu kencang, tujuh jago kosen dalam sekejap sudah bubar. Tiba-tiba Ki Ti merasakan menggigil kedinginan, lekas dia merapatkan pakaian dan berkata dengan muram, "Beginilah persoalan kaum Bu-lim ... ai " tangan kiri berpegang
 
di pundak Leng Sam, tangan kanan dibimbing Li Tiang-ceng, perlahan dia kembali ke dalam pendopo.

"Beginilah kerja ketujuh jago kosen, tapi kecuali ketujuh orang ini, apakah tiada orang gagah lain lagi di kalangan Kangouw?" ujar Li Tiang-ceng.

"Ehm ... memang benar .... Ai, hujan semakin lebat, lekaslah tutup pintu " kata Ki Ti.

Perlahan Li Tiang-ceng putar balik dan menutup pintu, didengarnya sayup-sayup suara senandung Leng Sam yang sedang minum arak dengan nada yang memilukan itu.

Dalam pada itu, Kim Put-hoan menarik Ji Yok-gi dan diajak lari ke arah selatan.

Ji Yok-gi menoleh ke kanan, tiba-tiba berhenti, katanya, "Hei, Kim-heng, mereka lari ke utara, kenapa kita mengejar ke selatan?"

Kim Put-hoan tertawa lebar, "Goblok, untuk apa mengejar mereka? Kita hanya cari alasan untuk membebaskan diri saja, kalau lama-lama di sana kan malu."

Tanpa kuasa Ji Yok-gi diseret lari lagi ke depan, tapi mulutnya masih juga berkata, "Sudah bilang mengejar, betapa pun kita harus mengejarnya."

Kim Put-hoan menjengek, "Apa Ji-heng tidak melihat Kungfu pemuda tadi, umpama kita berhasil mengudaknya, memangnya kau mampu mengalahkan dia?"

Ji Yok-gi menghela napas, katanya, "Pemuda itu memang pandai menyembunyikan diri, tak nyana Kungfunya begitu mengejutkan, pantas Jitkohnio tergila-gila padanya."

Kim Put-hoan memicingkan mata, katanya dengan tertawa, "Kedengarannya suara Ji-heng rada kecut?"

Merah muka Ji Yok-gi, katanya menyangkal, "Aku aku hanya heran akan asal usulnya."

Kim Put-hoan berkata, "Peduli betapa tinggi Kungfunya, peduli bagaimana asal usulnya, yang jelas hari ini dia telah menimbulkan kemarahan umum, Jin-gi-sam-lo, Thian-hoat Taysu dan lain-lain pasti tidak akan berpeluk tangan "

Belum habis dia bicara, di bawah bunga salju yang bertaburan, dari selatan tampak datang puluhan kuda yang dilarikan dengan kencang, penunggangnya semua mengenakan mantel kulit yang melambai tertiup angin.

Seketika terbeliak mata Kim Put-hoan, katanya tertawa, "Puluhan penunggang kuda ini gagah dan tangkas menempuh perjalanan di bawah hujan salju, pasti mereka ada urusan penting, agaknya aku bakal mendapat rezeki."

Dalam pada itu puluhan kuda itu sudah dibedal tiba, yang paling depan adalah seekor kuda hitam yang ditunggangi lelaki hitam kekar berewok, sambil mengayun cambuk dia membentak, "Ingin mampus yah? Lekas minggir!"
 
Kim Put-hoan berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang, katanya dengan tertawa, "Aku Kim Put-hoan memang ingin mampus, boleh kau terjang dan injak-injak aku sampai mati!"

"Tarr!" cambuk panjang laki-laki berewok itu menggelegar di udara, puluhan kuda di belakangnya segera berhenti. Laki-laki berewok itu melompat turun, katanya sambil tertawa lebar, "Kiranya engkau Kim-tayhiap, orang she Can terburu-buru menempuh perjalanan sehingga tidak melihat jelas Anda menunggu di sini, maaf, maaf akan kekasaran tadi." Lalu dia memberi hormat.

Kim Put-hoan sengaja mengawasinya dari atas ke bawah, katanya dengan tertawa, "Kukira siapa, rupanya Can Ing-siong, Congpiauthau dari Wi-bu-piaukiok. Congpiauthau buru-buru menempuh perjalanan, memangnya sedang menguber rampok?"

Can Ing-siong menghela napas, katanya, "Yang kami kejar meski bukan rampok, tapi lebih jahat daripada rampok. Terus terang saja, Kim-tayhiap, Wi-bu-piaukiok memang belum jaya, tapi berkat bantuan para sahabat Kangouw, selama beberapa tahun belum pernah usaha kami mengalami kegagalan. Tak nyana semalam tanpa sebab budak liar itu berani mencabut panji perusahaan kami, meski orang she Can tahu bukan tandingannya, betapa pun akan kususul dia, kalau tidak, apakah Wi-bu-piaukiok masih bisa berkecimpung di kalangan Kangouw?"

Bola mata Kim Put-hoan berputar, biji matanya yang buta itu pun seakan-akan bersinar, katanya dengan tersenyum, "Yang dimaksudkan Congpiauthau apakah si nona berpakaian putih dengan seorang budak kecil berpakaian serbamerah?"

Can Ing-siong terbeliak kaget, serunya girang, "Betul, apa Kim-tayhiap tahu di mana mereka sekarang?"

Kim Put-hoan tidak menghiraukan pertanyaan orang, matanya mengawasi mantel kulit rase hitam berbulu panjang yang membungkus tubuh Can Ing-siong, katanya sambil menghela napas, "Mantel kulit Congpiauthau ini entah beli di mana, kalau dipakai kelihatan gagah dan kereng, besok kalau pengemis rudin macamku ini memperoleh rezeki besar meski harus menahan kelaparan juga akan kuusahakan untuk beli satu."

Can Ing-siong melengak, segera dia membuka mantelnya, dengan kedua tangan diangsurkan kepada Kim Put-hoan, katanya, "Bila Kim-tayhiap tidak anggap barang lama, silakan ambil saja "

"Ah, mana boleh? Mana berani kuterima?" di mulut menolak tapi tangan Kim Put-hoan sudah terulur untuk menerima mantel itu.

Lalu Can Ing-siong berdehem, katanya, "Barang yang tak berharga. Asal Kim-tayhiap sudi memberi imbalan yang pantas "

Kim Put-hoan langsung mengenakan mantel itu, katanya sambil menuding ke utara, "Nona gede dan budak cilik itu lari ke sana, kalau mau mengejar, lekas susul ke sana!"

"Terima kasih!" ucap Can Ing-siong sambil mencemplak ke atas kudanya, di tengah aba- abanya puluhan kuda itu segera dibedal lagi ke utara.
 
Ji Yok-gi menyaksikan sambil berkerut kening, katanya sambil geleng kepala, "Kim-heng sudah punya mantel bulu si pemuda, kini ditambah lagi dengan mantel ini, apa tidak kebanyakan "

"Kebanyakan apa?" tukas Kim Put-hoan dengan gelak tertawa, "apa pun yang diinginkan Kim Put-hoan selalu terasa kurang dan tidak pernah kebanyakan Eh, aneh, ada orang
datang lagi."

Ji Yok-gi memandang ke sana, betul juga, dari jauh datang pula serombongan penunggang kuda. Dandanan rombongan bermacam regam, ada yang berjubah kulit, ada yang berpakaian ketat, sikap mereka kelihatan lebih gagah dan kereng daripada puluhan penunggang kuda tadi.

Tiba-tiba orang yang paling depan berteriak, "Yang berdiri di tengah jalan bukankah Kian- gi-yong-wi Kim-tayhiap?"

Baru beberapa patah kata itu diucapkan, rombongan penunggang kuda itu pun sudah dekat.

Diam-diam Ji Yok-gi kaget dan membatin, "Tajam benar pandangan orang ini."

Dilihatnya orang yang bersuara ini berperawakan pendek, rambut dan jenggotnya sudah putih, mengenakan jubah bersulam yang panjang, tampangnya jelek, sikapnya mirip guru sekolah di kampung, namun matanya mencorong tajam bagai mata kucing di tengah kegelapan.

Kim Put-hoan tertawa, katanya, "Belasan tombak jauhnya dan kuda masih berlari kencang, tapi dapat melihat jelas bentukku, dalam kalangan Bu-lim, kecuali Sin-gan-eng (elang mata sakti) Pui Jian-li, masa ada orang lain lagi?"

Orang tua pendek itu sudah melompat turun, katanya dengan tertawa sambil mengelus jenggot, "Beberapa tahun tidak bertemu, sekali bertemu Kim-heng sudah memujiku setinggi langit, kalau jatuh bisa gepeng aku ini."

Kim Put-hoan menyapu pandangan sekejap, katanya, "Wah kebetulan, kecuali Pui-heng ternyata masih ada Pok-thian-tiau Li Ting, Li-tayhiap, Joan-hun-yan Ih Ji-hong, Ih-tayhiap juga datang."

Yang berada di atas kuda sebelah kiri adalah seorang tua beruban, tubuhnya masih kelihatan kuat, yang di sebelah kanan mengenakan jubah sutera seorang tua yang memelihara lima jalur jenggot berperawakan tinggi.

Berbareng kedua orang ini melompat turun dari atas kuda, keduanya lantas menjura sambil menyapa, "Selamat bertemu Kim-heng!"

"Menurut berita, sejak peristiwa Heng-san dulu, Hong-lin-sam-niau (tiga burung dari hutan angin) katanya sudah hidup tenteram di rumah, hari ini sekaligus kalian keluar kandang, memangnya hendak menikmati sedapnya hujan salju?"
 
Laki-laki tua pendek Pui Jian-li menghela napas, katanya, "Kami tiga bersaudara memang ditakdirkan bernasib jelek, sekadar istirahat juga tidak boleh, hidup setua ini, kalau kantong kempis, mana bisa makan. Terpaksa kami membuka pintu dan membuat lapangan menerima beberapa murid sekadar untuk ongkos hidup. Eh, tanpa terasa beberapa tahun telah berlalu, murid tertua juga sudah lulus dan bantu mengajar, kami bertiga tua bangka ini jadi malas turun tangan, perguruan kami serahkan kepada mereka. Tak nyana, se ... semalam entah dari mana datangnya budak gila itu, tidak ada permusuhan tiada dendam, tanpa sebab tahu-tahu tempat kami diubrak-abrik, katanya Jitkohnio sebal melihat permainan kami yang menipu orang melulu."

Kim Put-hoan dan Ji Yok-gi saling pandang, dalam hati mereka maklum dan merasa geli pula, batinnya, "Ternyata Jitkohnio itu memang gadis binal yang suka membuat onar di mana-mana."

Setelah menghela napas, Pui Jian-li berkata pula, "Beberapa muridku itu memang tidak becus, dalam sekejap mereka dihajar hingga babak belur dan pontang-panting, mereka lari melapor kepada kami. Kami tiga tua bangka yang tak berguna ini telah mendidik murid yang tidak becus, betapa pun harus membela mereka, apa boleh buat terpaksa kami keluar kandang, meski jiwa lapuk harus kami pertaruhkan juga, budak gila itu akan kami bekuk, ingin kutanya kepadanya berdasarkan apa dia hendak menggulingkan periuk nasi kami."

Sebelum Kim Put-hoan buka mulut, Ji Yok-gi mendahului menuding ke utara, "Mereka lari ke sana, lekas kalian mengejarnya!"

Pui Jian-li melirik sekejap, katanya, "Saudara ini "

Kim Put-hoan tertawa dingin, katanya, "Biar kuperkenalkan, inilah Tang-jin-cay-loh (mencegat rezeki orang lain) Ji Yok-gi, apakah Pui-heng belum pernah melihatnya?"

Pui Jian-li melongo, katanya dengan tertawa, "Ji Yok-gi? Bukankah Giok-bin-yau-khim Sin- kiam-jiu Ji-tayhiap? " ia menjura dan berkata pula, "Banyak terima kasih atas petunjuk
Ji-heng, biar kami bersaudara segera mohon diri."

Tanpa bicara lagi langsung ia mencemplak ke atas kuda terus dibedal ke utara.

Kim Put-hoan melirik ke arah Ji Yok-gi sambil tertawa dingin. Ji Yok-gi menyengir, katanya rikuh, "Bukan sengaja kuhendak mencegat rezekimu, soalnya kulihat mereka berpakaian sederhana, tidak pakai mantel, kantongnya tentu juga kosong, lebih baik suruh mereka lekas pergi saja."

Mata satu Kim Put-hoan berkedip-kedip, mendadak dia tertawa, katanya, "Siapa berani mencegat berarti dia musuh besarku, tapi Ji-heng hahaha, sesama saudara sendiri,
kenapa harus ribut-ribut?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar