Kilas Balik Merah Salju Jilid 10

 
Melihat sikap kedua orang itu, sekulum senyuman segera menghiasi wajah Yap Kay, dengan langkah lebar dia melalui pintu gerbang, menelusuri jembatan berliku sembilan dan menghampiri gardu segi delapan.

Angin berhembus sepoi, menimbulkan riak di air dan menyiarkan bau harum bunga yang semerbak, dunia serasa begitu tenang penuh kedamaian.

Biarpun sikap Tui hong siu dan Gwe-popo begitu santai penuh keriangan, namun ketika Yap Kay menghampiri kedua orang itu, tiba-tiba ia merasakan hawa tajam yang kuat seakan menghimpit dadanya, dia seperti sedang berjalan menghampiri dua bilah pedang yang tajam.

Senjata mestika selalu menimbulkan aora yang berbeda, begitu juga dengan jago persilatan yang memiliki ilmu silat tinggi, mereka pun memancarkan aora yang gampang membuat napas orang jadi sesak.

Gwe-popo dengan memegang biji caturnya masih saja termenung, sedang Tui hong siu mengawasi bininya sambil perlahan menikmati arak dalam cawan, jelas kemampuannya bermain catur jauh lebih tangguh ketimbang si nenek.

Sampai secawan arak telah habis diteguk, Gwe- popo belum juga menurunkan biji caturnya, tiba- tiba Tui hong siu mendongakkan kepala memandang Yap Kay sekejap, lalu sambil menyodorkan cawan araknya dia menuding teko aneh yang terletak di meja.

Siapa pun pasti akan memahami maksudnya, dia minta Yap Kay menuang arak baginya. "Kenapa aku mesti menuang arak untukmu?" Jika orang lain, mereka pasti akan mencaci-

maki, bahkan bisa jadi tanpa banyak bicara akan

berlalu dari situ.

Berbeda dengan Yap Kay, bukan saja dia tidak marah, bahkan benar-benar menghampiri meja dan mengambil poci itu.

Meski poci telah diambil, namun arak belum juga dituang.

Perlahan-lahan Yap Kay menggeser poci itu ke arah cawan, asal dia sedikit miringkan poci itu, arak niscaya akan mengalir keluar. Siapa sangka pemuda itu justru sama sekali tak bergerak.

Tui hong siu sendiri pun tetap mengangkat cawannya di tengah udara, menanti dengan sabar.

Selama Yap Kay tidak bergerak, dia pun tak berkutik.

Tangan Gwe-popo yang memegang biji catur pun mendadak ikut tak bergerak.

Ketiga orang itu seakan-akan tersihir oleh kekuatan iblis yang maha dahsyat, kekuatan sihir yang mampu mencabut nyawa mereka, mengubah mereka seakan orang mati.

Dalam sekejap langit dan bumi seakan ikut membeku, semuanya berubah jadi mati.

Teko sudah dimiringkan, namun arak belum juga mengalir. Cawan telah di tangan, namun berhenti di tengah udara. Biji catur di tangan, namun tak pernah diletakkan pada posisinya.

Kebun itu sangat luas, bukan saja terdapat pohon bambu, nampak pula aneka bunga, jembatan kecil, air mengalir, gunung-gunungan dan gardu indah, bahkan dihuni pula kelinci, burung bangau maupun kijang jinak.

Sayangnya semua kijang jinak maupun kelinci hanya terukir dari batu, ukiran itu begitu hidup.

Pepohonan yang hijau tumbuh begitu subur, aneka bunga memancarkan bau harum. Siapa pun tak menyangka bahwa suasana dalam kebun monyet nampak begitu indah dan artistik.

Anehnya, tak terlihat seekor monyet pun berkeliaran di sana.

Baik yang besar kecil, muda tua, monyet jantan betina, monyet seperti apa pun tak nampak, Yap Kay benar-benar gagal menemukan seekor monyet pun.

Sesaat sebelum melangkah masuk ke dalam pintu, ia sudah menyadari hal ini, bukan saja tak nampak monyet, suara mencicit yang ramai dari kera-kera pun tak terdengar.

Dalam kebun monyet tak nampak monyet, apa sebenarnya yang telah terjadi? Bayangan gardu segi delapan yang terpampang di tanah kian lama kian menyusut pendek,  tengah hari telah tiba.

Sudah hampir tiga jam berlalu, namun Yap Kay bertiga belum juga bergerak, jangankan tubuhnya, ujung jari pun tak ada yang bergerak, semua orang terpantek dalam posisinya semula, bagaikan tiga buah arca marmer.

Bayangan yang membias di tanah kembali berubah, kini matahari sudah condong ke langit barat.

Sedikit saja tangan Yap Kay gemetar, arak bakal tertuang keluar, tapi tiga jam sudah berlalu begitu saja, tangannya masih tak bergerak, tetap terpantek bagaikan batu.

Mimik muka Tui hong siu yang semula tenteram, sinar matanya yang semula terselip nada ejekan, lambat-laun mulai terjadi perubahan, kini dia berubah jadi terperangah, kaget dan sedikit tak sabar.

Tentu saja dia tak tahu kegetiran yang sedang diderita Yap Kay saat itu.

Pemuda itu merasakan poci dalam genggamannya makin lama terasa makin berat, seolah-olah bobotnya telah berubah jadi ribuan kati, lengannya dari linu berubah jadi kaku, dari kaku berubah jadi sakit, sedemikian sakit bagaikan ada jutaan jarum yang sedang menusuk kulit lengannya. Kulit kepalanya pun ikut sakit, sakit seperti ditusuk jarum tajam, peluh membasahi seluruh pakaiannya, tapi dia masih mengertak gigi, bersabar, bertahan, sekuat tenaga berusaha membuang jauh semua pikiran itu.

Karena dia tahu, situasi saat ini bertambah kritis, bagaimana pun juga dia tak boleh bergerak.

Walaupun tubuh mereka tak terlihat melakukan gerakan, namun serunya pertarungan yang sedang berlangsung justru berlipat kali lebih dahsyat daripada pertarungan menggunakan golok dan pedang.

Inilah pertarungan tenaga dalam, daya tahan, kekuatan tubuh serta kesabaran.

Pertarungan ini benar-benar duel yang berlangsung tenang, pertempuran berdarah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sewaktu berada di luar gedung penerima tamu Ban be tong, Yap Kay memang pernah melakukan pertarungan tanpa wujud melawan Tui hong siu, namun pertarungan waktu itu jauh berbeda bila dibanding pertempuran kali ini.

Pertarungan sudah berlangsung sejak pagi hingga senja, enam jam sudah terlewatkan begitu saja, namun tak ada yang datang ke sana, bahkan tak seorang pun yang menengok jalannya pertarungan. Masa di dalam kebun monyet yang begitu luas, hanya berdiam Tui hong -siu dan Gwe-popo berdua?

Atau pemilik tempat itu hanya memperhatikan diri sendiri, egois, sehingga apa pun yang dilakukan orang lain, biar mati maupun hidup, semuanya tak ada sangkut-paut dengannya, sama sekali tak perlu diperhatikan?

Kegelapan senja sudah menyelimuti seluruh jagad.

Entah sejak kapan dalam ruang tengah gardu segi delapan telah disulut cahaya lentera, lampion yang tergantung sepanjang beranda pun entah oleh siapa telah disulut semua.

Sinar lentera memancar dari kejauhan, menerangi wajah Tui hong siu. Wajahnya nampak pucat-pasi, kulit mata mulai berdenyut keras tapi tangannya masih kaku bagai batu karang.

Yap Kay sendiri pun sudah kehabisan tenaga, nyaris roboh dan ambruk, rasa percaya dirinya mulai goyah, tangannya pun mulai goyang, dia tahu sulit baginya untuk bertahan lebih jauh.

Pada saat yang kritis itulah, mendadak Sret!", terdengar suara desingan angin tajam, ternyata Gwe-popo telah menyambitkan biji caturnya dengan sekuat tenaga.

"Prang!", biji catur itu langsung membelah mulut teko itu hingga hancur berantakan. Dengan pecahnya mulut teko, maka arak pun mengalir keluar memenuhi cawan.

Ketika arak telah memenuhi cawan, Tui hong siu menarik kembali tangannya, perlahan-lahan menghirup isinya hingga habis, dia sama sekali tidak memandang lagi ke arah Yap Kay, walau hanya sekejap pun.

Yap Kay sendiri pun segera meletakkan kembali poci itu ke atas meja, perlahan berjalan keluar dari gardu segi delapan, menelusuri jembatan dan berhenti di ujung jalan.

Memandang kegelapan malam yang mencekam, melihat cahaya lentera yang bergantungan sepanjang serambi, tiba-tiba ia merasa semua begitu lembut, hangat dan penuh kedamaian.

Ternyata bisa lolos dari kematian memang sebuah kejadian yang sangat menggembirakan.

Hanya orang yang pernah terancam jiwanya, pernah lolos dari lubang jarum yang dapat menghargai nyawa sendiri.

Ketika Yap Kay berpaling lagi ke arah gardu sudut delapan, Tui hong siu serta Gwe-popo yang semula berada di sana, kini sudah pergi entah kemana, yang tersisa hanya permainan catur yang belum selesai.

Kini, di dalam halaman yang begitu luas tinggal Yap Kay seorang, kalau ada yang menemani, paling hanya suara air yang mengalir, mengalir abadi. Malam ini langit ada rembulan, terlihat pula bintang yang bertaburan di angkasa.

Cahaya rembulan membiaskan bayangan tubuh Yap Kay di atas permukaan air, sambil termenung ia menundukkan kepala, mengawasi bayangan sendiri di atas percikan air, memandang dengan termangu.

Pada saat itulah tiba-tiba ia merasa ada seseorang berjalan naik di atas jembatan, ketika berpaling, terlihatlah seseorang sedang berjalan menghampirinya.

Orang itu amat sopan, gerak-geriknya lembut dan penuh aturan, pakaiannya rapi, mimik wajahnya lugu, ketika melakukan pekerjaan apa pun selalu meninggalkan kesan sopan, rendah hati dan hormat.

Seorang pengurus rumah tangga keluarga kenamaan memang jauh berbeda bila dibanding seorang kasir di rumah makan atau losmen.

Dengan lemah lembut dan sopan-santun orang menghampiri Yap Kay, kemudian setelah memberi hormat, ujarnya sambil tersenyum, "Hamba Tio Kong memberi salam untuk tuan."

Biarpun senyuman Tio Kong sopan dan penuh rasa hormat, namun terkesan agak menjilat.

Kembali katanya, "Ong-loya khusus mengutus hamba untuk menyambut kedatangan tuan."

"Ong-loya? Ong-losiansing?" "Benar." "Kau tahu aku bakal kemari? Tahu siapakah aku?" kembali Yap Kay bertanya.

"Hamba tahu, Toaya adalah Yap Kay Yap- tayhiap."

Setelah melempar sekulum senyuman, ia menyingkir ke samping sambil ujarnya lagi, "Silakan, Ong-loya sedang menunggu di gedung utama."

Gedung utama terletak di bagian belakang kebun, gedung yang paling terang di antara sekian banyak bangunan.

Sambil tersenyum Yap Kay melangkah maju, setelah melewati Tio Kong, ia berjalan menuju ke arah gedung yang bermandikan cahaya, berjalan menuju ke masa depan yang tak diketahui bagaimana akhirnya.

Hari belum lagi gelap, Hong-ling sudah mulai sibuk di dalam dapur, menyiapkan makan malam.

Asap putih yang mengepul dari cerobong asap menimbulkan kabut putih menghiasi langit kelabu, menambah suasana kehangatan di rumah kayu itu.

Pho Ang-soat sedang duduk di bangku persis tengah halaman, dengan sepasang matanya yang kesepian ia sedang mengawasi Hong-ling di dalam dapur.

Kehidupan yang tenang, istri yang cantik nan saleh, keluarga yang harmonis, itulah kehidupan yang selalu didambakan seorang perantau, seorang petualang.

Pagi meninggalkan rumah, senja baru kembali. Setiap petani pasti sudah berangkat ke sawah di saat fajar menyingsing, kemudian baru balik menjelang senja, dengan membawa tubuh penuh lumpur dan keletihan.

Sang istri yang saleh telah menyiapkan bermacam hidangan serta sepoci arak hangat, menemaninya bersantap, bahkan menemaninya meneguk barang satu dua cawan.

Sebuah kehidupan yang hangat dan mesra.

Sayang sekali kehidupan semacam ini ibarat menggapai bintang di langit, begitu jauh, begitu muskil untuk seorang pengembara, apalagi seorang petualang.

Sedemikian jauh dan remangnya kehidupan macam itu, membuat para pengembara seolah sudah lupa bahwa di dunia ini masih terdapat kehidupan seperti itu.

Andaikata perempuan yang sedang menyiapkan makan malam saat ini adalah kekasih hati Pho Ang-soat, bila rumah mungil di bukit ini adalah sarang mereka berdua yang hangat dan mesra, mungkinkah Pho Ang-soat rela melepaskan hidup mengembaranya dan melewatkan hari-hari dengan penuh keriangan?

Tiada seorang pun dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan Pho Ang-soat sendiri pun tak mampu, bukan tak mampu, tapi enggan memikirkan persoalan itu, tak berani membayangkannya.

Karena itulah dengan cepat dia menarik kembali sinar matanya dan beralih memperhatikan keliningan di bawah emper rumah yang bunyi berdenting karena hembusan angin.

Keliningan itu memang sengaja dipasang Hong- ling di tempat itu.

Mengikuti hembusan angin bukit yang lembut, di tengah dentingan keliningan yang merdu, terendus bau hidangan yang harum dari balik ruang dapur.

Saat bersantap malam telah tiba, kembali satu hari lewat dengan cepatnya, dan sebentar lagi hari esok pun akan tiba. Besok entah akan seperti apa?

Pertanyaan seperti ini pun termasuk hal yang tabu dipikirkan seorang pengembara.

Biarlah hari berlalu begitu saja, makanan yang bisa dinikmati secukupnya, minuman yang bisa diteguk hari ini, teguklah sepuasnya. Sedang besok? Biarlah menjadi urusan esok.

Hari ini masih bisa makan minum dengan puas di sebuah rumah makan mewah, bisa jadi besok sudah mampus dalam selokan, hari ini masih menjadi seorang lelaki yang paling romantis, siapa tahu besok menjadi pemabuk yang ditendang keluar dari rumah? Hari ini masih seorang tuan besar yang kaya raya, siapa bisa menduga besok menjadi gelandangan yang mengenaskan di sudut jalan desa.

Dunia penuh perubahan, manusia mana yang bisa meramalkan hari esok? Siapa yang bisa membayangkan bagaimana kehidupannya di hari esok?

Oleh karena itu sebagai manusia, belajarlah menikmati hari ini, baik-baik menggenggam saat ini, karena saat inilah merupakan kejadian yang paling nyata.

Jangan biarkan menyesal setelah kehilangan, menyesal mengapa tidak baik-baik menikmati masa lampau.

Bulan dan bintang masih tergantung di awang- awang, malam semakin larut.

Selesai menyiapkan piring dan mangkuk untuk makan, Hong-ling meninggalkan dapur menuju halaman depan, ia bermaksud memanggil Pho Ang-soat untuk bersantap malam.

Saat itulah tiba-tiba ia saksikan ada seorang nenek berambut putih, dengan tangan kiri memegang tongkat, tangan kanan menjinjing sebuah bungkusan kain hijau berjalan tertatih- tatih mendekati rumah mereka, punggung nenek itu bongkok.

Melihat munculnya si nenek, dengan kening berkerut Hong-ling segera bertanya, "Apakah sekitar tempat ini masih ada keluarga lain?" "Tidak ada," sahut Pho Ang-soat hambar, "kalau ada pun yang terdekat tujuh-delapan li di bawah bukit sana."

Hong-ling tidak bertanya lagi. Sementara itu si nenek sudah tiba di halaman luar, dengan napas yang masih tersengal dan tertawa paksa, katanya, "Tuan nyonya berdua, apakah mau membeli telur ayam?"

"Telur ayammu masih segar?" tiba-tiba Hong- ling bertanya sambil tertawa.

"Tentu saja masih segar," jawab nenek itu sambil tertawa, "kalau tak percaya coba rabalah, masih hangat malah."

Nenek itu masuk ke halaman dalam, berjongkok dan membuka bungkusan kain hijaunya, benar saja isi bungkusan itu adalah telur ayam yang besar dan bulat.

Sambil memungut sebutir telur ayam, kembali ujarnya sambil tertawa, "Telur ayam yang masih segar paling enak langsung ditelan isinya atau direbus "

Tiba-tiba paras muka nenek itu mengejang keras, tangannya diangkat secara mendadak seolah akan melemparkan telur itu, tapi belum sempat dilakukan, tubuhnya sudah roboh terjungkal.

Begitu nenek itu roboh terkapar, tampak sesosok bayangan hitam meloncat keluar dari balik semak belukar, dengan tiga kali lompatan sudah masuk ke tengah halaman, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun bayangan tadi menyambar bungkusan milik si nenek yang berisi telur ayam dan dibuang jauh-jauh ke balik kegelapan.

"Blam!", ledakan keras bergema memecah keheningan, semburan cahaya api bercampur pasir dan ranting pohon berhamburan ke tengah udara.

Menanti cahaya api mulai surup dan pasir rontok ke tanah, orang berbaju hitam itu menghembuskan napas panjang seraya bergumam, "Sungguh berbahaya."

Berubah hebat paras muka Hong-ling, saking kagetnya dia sampai tak mampu berkata-kata, hanya matanya masih menatap si nenek yang terkapar di tanah tanpa berkedip.

Pho Ang-soat sama sekali tidak bereaksi, dia masih berdiri di sana dengan wajah dingin, sepasang matanya yang hambar masih mengawasi suatu tempat di balik kegelapan.

Dalam pada itu orang berbaju hitam itu telah membalikkan badan, berhadapan dengan Pho Ang-soat, tegurnya, "Masa kau masih belum tahu siapakah nenek itu?"

Pho Ang-soat menggeleng.

Mendadak orang berbaju hitam itu merendahkan suaranya dan berbisik, "Dia adalah pembunuh gelap yang diutus Ban be tong untuk membunuhmu." "Ban be tong?" "Benar, aku "

Belum selesai orang berbaju hitam itu bicara, mendadak tubuhnya mengejang keras, paras mukanya berubah hebat dan darah segar menyembut keluar dari ujung bibirnya, begitu darah mengucur, dalam waktu singkat telah berubah menjadi hitam pekat.

Menyaksikan peristiwa itu, berubah hebat paras muka Hong-ling.

Orang berbaju hitam itu telah roboh ke tanah, sepasang tangannya menekan perutnya, sambil meronta dengan sepenuh tenaga, serunya, "Cepat... cepat... dalam sakuku terdapat obat penawar racun... cepat cepat

Baru saja Hong-ling hendak mendekat, tiba-tiba Pho Ang-soat menarik tangannya dan mencegah perempuan itu.

Paras muka orang berbaju hitam itu berubah makin menderita, jeritnya, "Tolong tolonglah

aku... kumohon... cepat... cepat... sebentar lagi bakal terlambat "

Pho Ang-soat sama sekali tidak bergeming, ditatapnya orang itu dengan pandangan dingin, jengeknya ketus, "Kalau memang obat penawar berada dalam sakumu, mengapa tidak kau ambil sendiri?"

"Masakah tidak kau lihat, dia sudah tak sanggup bergerak," seru Hong-ling panik, "apakah kita hanya berpeluk tangan saja melihat orang itu sekarat?"

"Benarkah begitu?" tiba-tiba Pho Ang-soat tertawa dingin, "dia tak bakal mampus."

Mendengar perkataan itu, sekali lagi paras muka orang berbaju hitam itu mengejang keras, mendadak secepat anak panah yang terlepas dari busur dia melompat bangun dari atas tanah lalu mengayunkan tangan berulang kali, tujuh titik cahaya bintang segera melesat ke depan dengan cepat.

Si nenek yang semula sudah mati terkapar pun tiba-tiba ikut melompat bangun, tangannya diayun ke depan, dua butir telur ayam telah disambitkan ke arah mereka.

Perubahan yang terjadi sangat mendadak dan di luar dugaan ini seketika membuat Hong-ling terperangah.

Sementara itu Pho Ang-soat kembali tertawa dingin, bukan saja dia tak menghindar, sebaliknya malah maju menyongsong, tak jelas bagaimana dia bergerak, tahu-tahu kedua butir telur ayam itu sudah jatuh ke tangannya dan masuk ke dalam saku.

Sedang  ketujuh  cahaya bintang yang disambitkan orang   berbaju hitam telah ditangkis tangan kiri Pho  Ang-soat,

"Trang, trang, trang!", ketujuh senjata rahasia itu menancap semua di atas sarung golok. Gagal dengan serangan pertamanya, si nenek melejit dan bersalto beberapa kali di udara kemudian merangsek ke depan.

Tapi sebelum tubuhnya melayang turun ke tanah, mendadak ia temukan Pho Ang-soat telah menanti tepat di hadapannya.

Biarpun kaget, nenek itu tak sampai kalut, sepasang kepalannya disodokkan ke muka berbarengan, satu mengancam jalan darah Thay- yang-hiat di sisi kiri kening Pho Ang-soat sedang yang lain menghantam kening sebelah kanan.

Biarpun serangannya cukup cepat, namun sebelum kepalannya menyentuh sasaran, telapak tangan Pho Ang-soat telah menerobos melalui sela kedua kepalannya, lalu menghantam ke dadanya.

"Plok!", hanya satu tepukan ringan.

Biar tampaknya ringan, namun tubuh nenek itu seakan sudah terpantek di atas tanah, sepasang lengannya terkulai lemas, tubuh pun tak mampu bergerak, kemudian dia pun mendengar suara tulang-belulang yang terhajar remuk.

Kini baru dia dapat melihat Pho Ang-soat yang semula masih berdiri di hadapannya, tiba-tiba sudah muncul di hadapan orang berbaju hitam itu dan menggunakan lengan sebelah sedang menjepit tubuh rekannya itu.

Begitu dijepit kemudian dilepas, sekujur badan orang berbaju hitam itu pun seolah berubah jadi segumpal lumpur lunak, bersamaan dengan hancurnya tulang, darah segar berhamburan kemana-mana.

Bukan hanya hancuran tulangnya yang menembus pakaian, darah pun bagai pancuran air membasahi sekujur badannya, perlahan-lahan ia roboh tak berkutik.

Dengan pandangan dingin Pho Ang-soat mengawasi lawannya, dia bediri seakan sedang melamun, seolah sepanjang hidup baru pertama kali ini menyaksikan ceceran darah.

Dalam pada itu si nenek masih berdiri dengan tubuh gemetar keras.

Entah dikarenakan pengaruh pukulan Pho Ang- soat yang aneh atau karena dinginnya hembusan angin malam, atau mungkin juga lantaran suara tulang belulang yang hancur berantakan, tiba-tiba nenek itu berubah bagaikan seorang anak yang baru terjaga dari mimpi seram.

Pho Ang-soat berpaling, memandang dengan sorot mata dingin.

Tak kuasa lagi nenek itu merinding sekujur badannya, setengah menggigil serunya terbata- bata, "Aku... aku adalah nenek yang sudah berusia delapan puluh tahun... masa... masa kau tega membunuhku?"

Pho Ang-soat sama sekali tidak bicara, mendadak dia jambak rambut si nenek yang telah beruban itu dan membetotnya, rambut berikut kulit wajah pun segera terbetot lepas hingga kini muncul seraut wajah lain di muka si nenek. Dia adalah seorang pemuda berwajah kurus kecil, berwarna agak kuning dan masih sangat muda, kini berdiri dengan muka ketakutan.

Perubahan yang sangat mendadak itu kembali membuat Hong ling tertegun, dia tak habis mengerti, darimana Pho Ang-soat bisa tahu nenek itu adalah hasil penyamaran.

Dalam pada itu Pho Ang-soat telah menatap dingin pemuda yang sedang ketakutan itu, tegurnya kemudian, "Tahukah kau siapa aku?"

"Aku... aku tahu," jawab pemuda itu dengan bibir menggigil.

"Kalau begitu seharusnya kau pun tahu, paling tidak aku memiliki tiga puluh macam cara untuk membuat kau menyesal karena pernah dilahirkan di dunia ini."

Setengah memaksakan diri pemuda itu manggut-manggut, kini paras mukanya telah berubah jadi pucat tak berdarah. "Kalau begitu aku ingin bertanya."

"Akan... akan kujawab...." buru-buru pemuda itu memberikan j anj inya.

"Kau anak buah Hoa Boan-thian atau Hun Cay- thian?" "Dari kelompok Hoa-tongcu."

"Kali ini berapa orang yang diutus kemari?" kembali Pho Ang-soat bertanya.

"Termasuk Hoa-tongcu dan Hun-tongcu, semua berjumlah tujuh orang." "Lantas dimanakah kelima orang rekanmu itu sekarang?" "Aku tidak tahu," pemuda itu menggeleng, "aku benar-benar tidak tahu."

"Berada dimana mereka sekarang?"

"Ada di kaki bukit... mereka sedang menunggu kami "

Belum sempat pemuda itu menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba terdengar lagi suara remuknya tulang belulang.

Ia mendengar suara remuknya tulang di tubuh sendiri.

Selesai membasuh tangan, sikap Pho Ang-soat telah kembali dalam kehambaran, dengan tenang ia duduk sambil bersantap, seolah tak pernah terjadi apa-apa di situ.

Hong-ling menyuap nasi, lalu meletakkan sumpitnya, tegurnya sambil menatap pemuda itu, "Kau tega untuk melanjutkan bersantap?"

"Tentu saja," jawab Pho Ang-soat tenang, "kalau kau pernah merasakan bagaimana orang yang sedang kelaparan, pasti dapat kau habiskan nasi itu."

"Kau tidak kuafir orang-orang Ban be tong akan menyerbu kemari lagi?" kembali Hong-ling bertanya.

"Tidak mungkin, sekarang tak mungkin terjadi, sebelum mereka berhasil melacak keadaan kita yang sebenarnya, tak nanti mereka berani bertindak secara gegabah, tenangkan saja hatimu."

Kembali Pho Ang-soat menyumpit sepotong daging, menanti ia selesai mengunyah dan menelannya baru ujarnya lagi, "Sebelum hari menjadi terang, tak mungkin mereka menyerang kita lagi."

Begitu melangkah masuk ke ruang tengah, Yap Kay segera dapat merasakan Ong-losiansing dari kebun monyet pasti bukan seorang tokoh yang sederhana.

Dari perabot, tata letak serta ornamen yang terdapat dalam ruangan, dapat terlihat bagaimanakah watak serta perangai pemiliknya.

Ruang itu tidak terlampau lebar, perabot maupun ornamen di situ pun bukan termasuk model yang kelewat mewah, tapi hampir semuanya artistik dan indah.

Hampir semua perabot mendatangkan kesan nyaman bagi yang melihatnya, bahkan cara penggunaannya gampang dan sederhana, tidak memberikan kesan ketersediaan benda itu mubazir atau berlebihan.

Begitu pula dengan manusianya.

Kesan yang ditimbulkan Ong-losiansing pun bukan semacam kesan yang menyebalkan, memberi perasaan tercengang.

Bertemu dengan orang ini, kau seakan merasa sedang berada dalam sebuah kota kecil yang tenang, melihat seorang kakek yang penuh kasih dan lembut sedang bermain dengan cucunya.

Biarpun usianya sudah sedikit lebih lanjut, tapi dia masih dapat membantumu momong anak, bahkan terkadang di waktu senggang dia pun masih bisa membantumu melakukan pekerjaan ringan.

Terhadap orang semacam ini, apakah kau akan menganggap dia adalah orang yang muzabir?

Begitulah kesan pertama Yap Kay ketika pertama kali berjumpa Ong-losiansing.

Biarpun sekarang ia duduk di kursi utama, namun tak akan kau jumpai sikap jumawa atau kesan takabur dari mimik mukanya.

Melihat Yap Kay berjalan masuk ke dalam ruangan, segera Ong-losiansing menampilkan senyuman ramahnya, lalu dengan suara bagai seorang kakek sedang memanggil cucunya dia berkata, "Duduklah anak muda!"

Di tengah ruangan tersedia sebuah meja bundar yang besar, di meja hanya tersedia dua pasang mangkuk dan sumpit, tak ada hidangan, tak ada nasi. Kelihatannya santap malam kali ini hanya disediakan untuk Yap Kay dan Ong- losiansing berdua.

Karena tuan rumah telah memperlihatkan senyuman ramahnya, tentu saja Yap Kay tak dapat bersikap acuh. Maka dia pun ikut tertawa, sambil tertawa duduk berhadapan dengan orang tua itu. Hidangan belum juga tersaji, mungkin harus menunggu hingga kedatangan sang tamu. Dan kini Yap Kay telah menempati posisinya, apakah hidangan boleh mulai disajikan?

Ketika Ong-losiansing menggapai sambil bertepuk tangan tiga kali, Yap Kay pun mendengar suara langkah manusia bergema sambil menyajikan hidangan.

Tapi begitu hidangan disajikan, Yap Kay langsung terperanjat. Bukan terkejut karena hidangan yang disajikan tapi kaget lantaran tangan yang sedang menyajikan hidangan itu.

Benarkah itu sebuah tangan?

Tegasnya tangan itu bukan tangan manusia, tapi sepasang tangan berbulu yang memiliki bentuk seperti tangan manusia.

Begitu Yap Kay berpaling, dia pun dapat melihat dengan jelas wajah pemilik sepasang tangan berbulu itu.

Monyet! Ternyata seekor monyet.

Rupanya yang menyajikan hidangan adalah seekor monyet.

Akhirnya ia berhasil juga melihat seekor monyet, namun Yap Kay tidak mengira monyet yang ada di kebun monyet ternyata telah terlatih hingga begitu hebat.

Setiap monyet menyajikan sepiring hidangan, mengaturnya jadi sederet dengan sangat teratur, begitu selesai meletakkan sayur, mereka pun tersenyum lebih dulu kepada Ong-losiansing sambil manggut-manggut, kemudian baru mengundurkan diri dari situ.

Sebagaimana diketahui, monyet terhitung binatang yang paling ribut dan ramai, tapi walaupun ada begitu banyak monyet di situ, ternyata tak terdengar sedikit suara pun, mereka begitu tenang dan teratur, setiap selesai menyajikan hidangan segera mundur kembali dengan teratur.

Bukan saja disiplin mereka bagaikan satu pasukan pembantu yang sudah terlatih, malahan cara kerja mereka jauh lebih rapi dan baik ketimbang pembantu biasa.

Menyaksikan kejadian itu, mau tak mau Yap Kay tertawa getir.

"Kalau dibilang monyet adalah nenek moyang manusia, sekarang aku mulai agak percaya," katanya kemudian.

"Monyet memang jenis binatang paling pintar di antara sekian banyak jenis hewan, bukan saja mereka pandai meniru gerak-gerik manusia, cara berpikir serta tingkah-laku mereka pun mirip manusia," Ong-losiansing menjelaskan, "coba kau kumpulkan satu kelompok monyet di satu tempat yang sama, maka perbuatan mereka yang paling pertama adalah perebutan kekuasaan."

"Berebut menjadi raja monyet?" "Benar, bukankah sejak dilahirkan manusia pun sudah mulai melakukan perebutan dan pertikaian?"

"Ah, itu hanya terjadi pada segelintir orang," protes Yap Kay tidak s epaham.

"Bukan hanya segelintir, tapi hampir semua manusia itu begitu. Hanya saja tujuan pertikaian mereka berbeda."

Setelah menuang secawan arak, Ong-losiansing melanjutkan, "Ada yang bertikai untuk berebut kekuasaan, harta kekayaan, wanita, usaha dagang, kedudukan bahkan ada pula yang berebut hak hidup."

"Ada satu lagi, ada juga yang berebut karena emosi dan gengsi", Yap Kay menambahkan sambil tertawa.

"Betul. Oleh sebab itu tak ada manusia yang tidak mulai berebut sejak dilahirkan. Begitu dilahirkan, bukankah mereka mulai berjuang mempertahankan hidup? Kaum pedagang mati- matian bekerja, banting tulang, memeras keringat, bukankah tujuannya untuk memperebutkan uang dan harta? Para penjudi mati-matian bertaruh, bukankah tujuan nya untuk meraih kemenangan? Seorang pelajar banting tulang bersekolah hampir sepuluh tahun, bukankah tujuannya pun untuk meraih kedudukan dan posisi."

Ia meneguk secawan arak, kemudian melanjutkan, "Dan hari ini, kau khusus mendatangi tempat ini, bukankah tujuannya pun hanya untuk memperoleh pembuktian?"

"Pembuktian?"

"Pembuktian tentang dongeng yang mengatakan dalam kebun monyet terdapat ratusan jenis kera. Masakah kedatanganmu hanya bermaksud makan malam bersamaku?"

"Bagus, kau memang orang yang suka terus terang, kita wajib menghabiskan secawan arak."

Selembar kertas jendela, walaupun dapat menahan hembusan angin malam yang dingin, namun tak dapat membendung rasa dingin yang merasuk tulang.

Satu-satunya cara untuk mengusir rasa dingin hanyalah meneguk arak, oleh sebab itu arak sebotol besar sudah setengah di antaranya berpindah ke perut Yap Kay.

Ketika dia menghabiskan secawan lagi, Ong- losiansing baru berkata, "Apakah kedatanganmu hari ini dikarenakan cerita tentang makhluk berkepala manusia bertubuh monyet yang terdapat dalam kebun monyet ini?"

"Hal itu hanya salah satu di antaranya," Yap Kay manggut-manggut. Kemudian sambil menatap tajam Ong-losiansing, lanjutnya, "Ada seorang sahabat kecil yang agak bengal dan nakal, bernama Giok-seng. Apakah dia telah memasuki wilayah kekuasaanmu?"

Ong-losiansing tidak langsung menjawab pertanyaan itu, perlahan dia penuhi dulu cawannya dengan arak, perlahan mengangkat cawan dan meneguknya dengan sangat lamban, kelihatan ia sedang putar otak memikirkan pertanyaan itu.

Ketika isi cawan habis diteguk, baru ia berpaling ke arah Yap Kay sambil menyahut, "Percayakah kau pada kata-kataku perkataanku?"

"Percaya."

"Baiklah," kata Ong-losiansing sambil meletakkan cawannya, "aku tidak tahu."

"Tidak tahu?"

"Benar. Sebab selama beberapa hari belakangan ini aku tidak berada di kebun monyet,"

"Kau tidak berada di sini?"

"Walaupun aku menyukai monyet, bukan berarti monyet bisa datang sendiri kemari," kata Ong-losiansing sambil tertawa, "oleh karena itu setiap jangka waktu tertentu, aku pasti akan keluar rumah, pergi ke berbagai tempat untuk mengumpulkan monyet."

"Kapan terakhir kali kau pergi meninggalkan rumah?" "Sejak tiga bulan lalu, sampai di rumah baru lima hari lamanya," kata Ong-losiansing sambil tertawa, "oleh sebab itu apakah sahabat kecilmu itu pernah kemari atau tidak, aku sama sekali tidak tahu."

"Mungkinkah di saat kau tak ada di tempat "

"Tidak mungkin," tukas Ong-losiansing, "andai terjadi peristiwa semacam itu, aku pasti tahu.

Pembantuku pasti akan memberi laporan kepadaku."

Karena tuan rumah telah menyangkal, tentu saja Yap Kay tak dapat berbuat lain kecuali tertawa.

"Hahaha, berarti si setan nakal itu bersembunyi di tempat lain?"

Ong-losiansing ikut tertawa, sejenak kemudian baru ia berkata, "Apakah kau pun ingin tahu si makhluk berkepala manusia bertubuh monyet itu sebetulnya asli atau palsu?"

"Bagaimana pun toh aku sudah tiba di sini, untuk memenuhi rasa ingin tahuku, tentu saja paling baik kalau bisa membuktikan."

"Setiap orang tentu memiliki perasaan ingin tahu, hanya saja tidak semua rasa ingin tahunya bisa terpenuhi."

Sambil tertawa orang tua itu bertepuk tangan sebanyak tiga kali.

Dalam sangkaan Yap Kay, sebentar lagi akan muncul kembali sekawanan monyet, maka dia membelalakkan matanya lebar-lebar dan menengok ke arah pintu dimana monyet yang menyajikan hidangan berlalu tadi.

Oleh karena Ong-losiansing sudah setuju untuk memenuhi rasa ingin tahunya, dia sangka orang tua itu pasti akan mengundang keluar lagi kawanan monyet itu dan mempersilakan dia membuktikan apa benar makhluk itu berkepala manusia bertubuh monyet.

Belum sempat dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara alat musik bergema memecah keheningan.

Irama musik apakah itu? Apakah musik dari dewa-dewi?

Pernahkah manusia mendengar suara irama musik seperti ini?

Bila ada semacam irama musik yang dapat melumerkan perasaan hati manusia, bahkan dapat membuat tubuh seseorang terlebur menjadi satu dengan suara musik, seharusnya irama musik semacam ini pantas disebut irama dewa.

Biarpun munculnya suara musik di saat dan situasi seperti ini sempat membuat Yap Kay terperangah, namun dengan cepat ia sudah terbuai ke dalam alunan irama itu.

Biarpun Yap Kay tidak pandai memetik alat musik, bahkan tujuh nada dasar pun tidak dikenal, akan tetapi dia bisa menikmati, bagus atau buruk pun masih mampu dibedakan. Irama musik yang bergema secara tiba-tiba itu mungkin belum terhitung sebagai irama dewa, tubuh Yap Kay pun belum terlebur jadi satu, tapi dia merasa hampir mabuk, ia dapat merasakan nada yang memabukkan.

Bukan mabuk karena arak tapi nalurinya yang mabuk, irama musik itu jauh lebih memabukkan daripada arak yang keras.

Walaupun Yap Kay telah berada dalam buaian irama musik, tapi otaknya berputar terus, bukankah Ong-losiansing ingin memuaskan rasa ingin tahunya? Mengapa tidak ia undang keluar monyet berkepala manusia itu, sebaliknya malah memperdengarkan irama musik yang merdu?

Apakah menjelang munculnya monyet berkepala manusia itu harus diiringi dulu dengan irama musik?

Berpikir sampai di situ, tak tahan lagi Yap Kay tertawa getir, siapa tahu makhluk berkepala manusia bertubuh monyet ini memang agak istimewa, harus diiringi musik dulu baru tampil....

Memutus permainan musik di tengah jalan bukan sebuah tindakan yang sopan, selama hidup Yap Kay tak pernah melakukan perbuatan yang tak sopan.

Untung saja selama apa pun permainan sebuah musik, pasti ada pula saatnya untuk berhenti.

Akhirnya permainan musik itu berakhir, namun suaranya masih menggema di ruangan. "Walaupun belum terhitung irama surga, paling tidak masih termasuk musik merdu bukan?" kata Ong-losiansing tiba-tiba.

"Bukan sekedar irama musik merdu saja," sahut Yap Kay sambil tertawa pula.

"Ingin menyaksikan orang yang memetik alat musik itu?" "Ingin sekali."

Biarpun di mulut mengatakan ingin sekali, padahal hati kecilnya panik setengah mati.

"Bukankah kau ingin memperlihatkan monyet berkepala manusia? Kenapa malah dialihkan ke soal orang yang memainkan alat musik itu?"

Melihat kesungguhan hati tuan rumah, sudah barang tentu sebagai tamu dia tidak ingin menampik kebaikan orang, lagi pula apa ruginya menonton sebentar pemain alat musik itu?

Kali ini Ong-losiansing tidak bertepuk tangan, dengan tangan kirinya ia tepuk tiga kali sandaran bangkunya, kemudian Yap Kay pun mendengar suara gigi roda yang bergesek.

Mengikuti suara gesekan itu, Yap Kay melihat dinding arah asal suara musik tiba-tiba bergerak turun ke bawah.

Ketika seluruh dinding telah bergeser ke bawah, kesan pertama yang terlihat di balik dinding adalah ada sekelompok anak-anak sedang bermain alat musik.

Namun ketika dilihat lebih seksama, kembali Yap Kay berpikir, "Ah, tidak benar. Ternyata sekelompok monyet yang sedang bermain alat musik."

Menanti ia dapat melihat lebih jelas lagi, Yap Kay nyaris menjerit tertahan saking terperangahnya.

"Monyet apa? Ternyata sekawanan monyet berkepala manusia." Benar-benar sekawanan makhluk berkepala manusia bertubuh monyet!

Akhirnya ia saksikan sendiri apa yang selama ini hanya terdengar lewat dongeng.

Lantas kelompok itu sepantasnya disebut monyet? Atau kelompok manusia?"

"Apakah mereka adalah... adalah monyet?" tanya Yap Kay setelah termangu sesaat.

"Mereka memang monyet," senyuman Ong- losiansing kelihatan sangat ramah.

"Lantas kenapa mereka memiliki kepala manusia?"

"Kepala manusia? Coba kau perhatikan lebih seksama."

Yap Kay tidak mengerti maksud perkataan Ong-losiansing, maka kembali ia amati kawanan makhluk itu.

"Coba perhatikan lebih seksama," Ong- losiansing mengulangi perkataannya sekali lagi.

"Apa yang kau perhatikan?" "Kepala mereka." Yap Kay bukannya tak  pernah  melihat bentuk  kepala manusia, mengapa berulang kali Ong-losiansing minta padanya memperhatikan lebih seksama? Apakah pada bagian kepala manusia makhluk makhluk itu masih tersimpan rahasia lain?

Biarpun kepala manusia yang berada di tengkuk kawanan monyet itu nampak jauh lebih kecil, tapi sudah jelas merupakan kepala manusia, dilihat dan diperhatikan berulang kali pun tetap kepala manusia, tak salah lagi!

"Coba dekati mereka," tiba-tiba Ong-losiansing menyarankan.

Tak usah disuruh pun Yap Kay sudah melangkah maju dan mendekati kawanan makhluk itu, tapi begitu tiba di dekat mereka, rasa bingung dan ragu semakin tebal memancar dari matanya, mukanya juga penuh diliputi perasaan sangsi.

Pertama, karena baru pertama kali melihat, kedua, jaraknya pun terlalu jauh, Yap Kay selalu menganggap kepala monyet itu termasuk jenis kepala manusia.

Tapi kini, setelah ia semakin dekat, Yap Kay baru menemukan bahwa kepala kawanan monyet itu ternyata hanya bentuknya yang mirip kepala manusia.

Kepala mereka tetap kepala monyet, cuma bulunya telah dicukur hingga bersih sehingga kalau dipandang dari kejauhan, kepala mereka mirip kepala manusia.

Setelah mengetahui kejadian yang sebenarnya, tak kuasa lagi Yap Kay tertawa terbahak-bahak.

"Sekarang aku baru paham, ternyata semua isu memang belum tentu bisa dipercaya, karena terpengaruh oleh opini yang salah, maka kita selalu menganggap sesuatu yang mirip menjadi hal yang benar."

Lalu katanya lagi, "Coba kalau aku tidak mendengar dulu tentang dongeng kepala manusia bertubuh monyet, ditambah lagi sikap dan gerak- gerikmu selama ini sangat rahasia, mungkin aku tak bakal tertipu oleh kawanan monyetmu itu."

"Monyet memang nenek moyang manusia, jadi bila wajah seorang dipenuhi bulu, bukankah dia pun akan kau sebut seekor monyet?" sahut Ong- losiansing sambil memenuhi kembali cawannya dengan arak.

"Biar bukan pun paling tidak wajahnya mirip monyet."

"Karena itulah kawanan monyet yang kau saksikan sekarang sesungguhnya adalah monyet berkepala manusia. Selama ini banyak dongeng yang tersiar tentang tempat ini, hal ini disebabkan jarak antara masyarakat dengan kami kelewat jauh."

Setelah berhenti sejenak dan meneguk secawan arak, kembali katanya, "Seandainya aku sering berkunjung dan bertandang ke rumah penduduk, bila aku pun tidak kelewat menutup diri dari pergaulan, aku percaya isu yang beredar di luaran pun tak bakal banyak."

Menyebar Isu memang watak asli setiap manusia, watak yang dibawa sejak lahir.

Menyusul dinaikkannya dinding pemisah, kawanan monyet itu pun terasing kembali dari keramaian duniawi.

Sementara itu Yap Kay telah kembali ke tempat duduknya, duduk sambil meneguk arak dan tertawa.

"Mungkin hanya manusia kreatip macam Ong- losiansing yang punya pikiran untuk mencukur kelimis rambut di wajah kawanan monyet itu," katanya.

"Aku hanya berpikir, jika memang mereka ingin belajar bertingkah sebagai manusia, sepantasnya bila wajah mereka pun dibikin sedikit lebih mirip manusia."

Tiba-tiba Yap Kay mengalihkan topik pembicaraan, tanyanya, "Ong-losiansing, bagaimana pendapatmu tentang kelompok manusia seperti Be Khong-cun?"

"Be Khong-cun?" tanya Ong-losiansing melengak, "maksudmu Be Khong-cun dari Ban be tong?"

"Benar."

Ong-losiansing tidak menanggapi, dia termenung sejenak baru perlahan-lahan menyahut, "Walaupun aku sangat memahami tentang monyet, sayang tidak mengerti tentang manusia."

Sekali lagi ditatapnya wajah Yap Kay, kemudian ujarnya lebih jauh, "Walaupun aku sempat bertemu Be Khong-cun dua-tiga kali, namun sayang aku tak terlalu memahami tabiat serta sepak terjangnya."

"Lantas kenapa kau bersedia merawat putrinya?" tanya Yap Kay sambil menatap tajam wajahnya.

"Putrinya?" perasaan sangsi sempat melintas di wajah Ong-losiansing, "sejak kapan aku merawat putrinya?"

"Aku mendengar pengakuannya dengan mata kepala sendiri, dia bilang pernah sepuluh tahun berdiam di sini."

"Ah, dia bukan putri Be Khong-cun," sanggah Ong-losiansing, "gadis itu bernama Pek Ih-ling, putri Pek Thian-ih."

"Oya? Aku masih mengira dia adalah Be Hong- ling, putri Be Khong-cun. "

Sinar mata Yap Kay tak pernah beralih dari wajah Ong-losiansing, desaknya lagi, "Sungguh aneh, kenapa paras muka mereka berdua begitu mirip?  Pada hakikatnya kedua orang itu mirip sekali seperti satu orang yang sama."

"Aku belum pernah bertemu dengan putri Be Khong-cun, karena itu tidak tahu seberapa mirip wajah mereka berdua. Aku hanya tahu satu hal, Pek Ih-ling adalah seorang gadis yang baik."

Kemudian sambil balas menatap Yap Kay, katanya lebih jauh, "Oleh karena itu calon suami yang dipenujui harus kuperiksa dulu identitas serta sepak-terjangnya dengan seksama."

"Tentu saja harus begitu," sekali lagi Yap Kay tertawa tergelak, "untung saja bukan aku yang terpilih, kalau tidak, Ong-losiansing pasti akan sangat kecewa."

"Kenapa?"

"Sebab aku pasti tak lulus dari seleksimu, bukan saja aku kelewat miskin, bahkan tak punya prinsip hidup, lelaki jelek macam aku mana pantas mempersunting seorang gadis baik macam dia?"

"Oya? Benarkah kau adalah manusia semacam itu?"

"Tanggung tak bakal salah. Satu-satunya kelebihan yang kumiliki adalah aku sangat pandai melihat diriku sendiri, oleh karena itu aku tak pernah ingin menjadi seekor katak buduk yang merindukan rembulan."

"Mana mungkin terdapat katak buduk macam kau?"

Mendengar perkataan itu, kembali Yap Kay tertawa. Dia memang selalu percaya diri, khususnya terhadap kelebihan sendiri. Sekalipun belum terhitung sebagai lelaki paling tampan di kolong langit, namun ia tak bisa lari dari predikat sebagai lelaki paling memiliki daya tarik.

Baru saja Yap Kay meneguk araknya, mendadak ia tangkap suara guduh, belum sempat ia melacak sumber kegaduhan, tiba-tiba dilihatnya ada seekor monyet sedang melompat naik ke atas meja, lalu berlarian di atas meja itu.

"Ada apa dengan monyet itu?" tanya Yap Kay segera dengan keheranan.

"Mungkin saja sifat binatangnya kambuh."

Kembali Yap Kay berpaling mengawasi monyet yang berada di atas meja itu, siapa tahu baru saja ia berpaling, tiba-tiba terlihat monyet itu sudah menerkam Yap Kay dengan garang.

Cepat dia mengegos ke samping, biarpun wajahnya berhasil lolos dari cakaran monyet itu, namun tak urung cawan yang berada dalam genggamannya kena diterjang kaki monyet tadi hingga terlepas jatuh dan hancur berantakan.

Cepat Yap Kay menarik kembali tangannya, ketika berpaling lagi ke arah monyet itu, tampak hewan tadi sudah menerobos lewat daun jendela dan melarikan diri.

"Apakah kau terluka?" tanya Ong-losiansing penuh rasa kuatir.

"Ah, tidak apa-apa," sahut Yap Kay setelah memeriksa tangan sendiri, "hanya ujung jariku tersayat sedikit kena pecahan cawan."

"Parahkah mulut lukamu?" "Mulut luka tidak masalah, hanya sekarang malam semakin larut, sudah kelewat lama aku mengganggumu."

Yap Kay bangkit berdiri lalu menambahkan, "Aku berharap lain waktu masih ada kesempatan untuk berbincang lagi denganmu."

"Aku akan selalu menanti."

Sepeninggal Yap Kay, Ong-losiansing masih tetap duduk di tempat semula, sama sekali tak bergerak. Senyuman ramahnya ikut lenyap tak berbekas, sebagai gantinya mimik muka itu diliputi pikiran yang serius.

Lewat lama kemudian baru ia berseru, "Masuk."

"Baik," dari luar pintu terdengar seseorang menyahut.

Go Thian mendorong pintu, melangkah masuk, langsung menuju ke samping Ong-losiansing dan dengan tenang menanti perintahnya.

Dengan sangat hati-hati Ong-losiansing mengumpulkan pecahan cawan itu, lalu dengan serius mengawasi bekas darah yang tercecer, bekas darah yang ditinggalkan Yap Kay sewaktu tersayat pecahan cawan tadi.

"Cepat ambil contohnya dan lakukan pemeriksaan," kata Ong-losiansing sambil menyodorkan pecahan cawan yang berlepotan darah itu ke tangan Go Thian, "coba periksa darahnya termasuk golongan darah yang mana." "Baik!"

"Beritahu kelompok darah, suruh mereka menambah stok darah dari golongan yang sama," titah Ong-losiansing lagi.

"Baik!"

Ong-losiansing berpikir sejenak, lalu tanyanya lagi, "Sekarang bagaimana keadaan monyet nomor tujuh?"

"Sedikit lebih normal, dia sudah tidak berusaha menghindari pertemuannya dengan nona Kim-hi."

Tampaknya Ong-losiansing merasa sangat puas, dia mengangguk berulang kali.

Fajar kembali menyingsing.

Di tengah sorotan cahaya fajar, warna hijau gelap perbukitan di kejauhan sana tampak mulai berubah jadi hijau muda, air segar mengalir hingga ke sana, mengalir sangat lambat.

Biarpun hembusan angin masih terasa dingin, namun membawa bau harum bunga yang semerbak, aneka bunga yang tumbuh di seputar perbukitan sudah mulai mekar, bunga yang berwarna-warni seolah mengelilingi dan memeluk kencang rumah kayu itu.

Pagi sekali Pho Ang-soat sudah bangun, ia sudah memotong kayu bakar di tengah halaman. Walaupun tangannya sudah terbiasa menggenggam golok, namun ketika membelah kayu bakar, gerakannya tetap lincah, cekatan dan sangat indah.

Dengan ujung kaki ia mengijak kayu itu lalu tangan diayun, kapak pun jatuh persis di atas kayu, "Kraak!", batang kayu yang besar pun terbelah jadi dua bagian.

Di tengah keremangan fajar, matanya seperti warna perbukitan nun di depan sana, hijau kelabu, terasa begitu jauh, begitu dingin.

Mengapa matanya selalu tampak begitu jauh?

Begitu dingin? Dlihat pada saat dan keadaan seperti apa pun? Mungkinkah hanya orang yang pernah berulang kali mengalami perjuangan mati hidup atau mengalami permainan perasaan antara cinta dan dendam, pandangan matanya baru nampak begitu jauh, begitu dingin?

Mayat jagoan yang tewas semalam telah diangkut pergi, darah pun telah berbaur dengan tanah, membeku jadi satu. Langit dan bumi masih terasa begitu tenteram, begitu damai. Tapi Pho Ang-soat sadar, sejak hari ini jangan harap mereka akan merasakan lagi kehidupan yang aman damai seperti itu.

Dia bukan termasuk orang yang takut mati, namun menghadapi ancaman bahaya yang berada di depan mata, sedikit pun dia tak punya pegangan ataupun gambaran, yang lebih penting lagi adalah ia mulai merasa dirinya mulai merindukan lagi kehidupan penuh kedamaian seperti yang baru dialaminya selama dua hari terakhir.

Sebuah kehidupan normal dari sebuah keluarga.

Hidup sebagai seorang pengembara sering terjerumus dalam situasi bahaya, kancah pertarungan dan ancaman nyawa, kehidupan normal boleh dibilang merupakan sesuatu yang langka, mewah dan susah diraih.

Walaupun terkadang di saat mendusin dari tidur di tengah malam buta, mereka pun membayangkan suatu kehidupan yang normal, tapi biasanya mereka tak akan berani melakukannya di dalam kenyataan.

Biarpun kehidupan normal dapat mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan, namun akan melumat dan menghancurkan kemampuan alam mereka yang luar biasa.

Banyak manusia di dunia ini mirip binatang buas, memiliki kemampuan luar biasa, memiliki naluri membunuh yang tinggi, memiliki insting yang tajam, seakan setiap saat dapat mengendus datangnya mara-bahaya.

Biarpun kenyataan mereka tak melihat apa- apa, tidak mendengar apa-apa, tapi di saat ancaman bahaya tiba, mereka selalu dapat berkelit secara ajaib, menghindar sesaat sebelum datangnya ancaman itu. Bila orang semacam ini memangku jabatan, mereka pasti akan menjadi seorang pembesar luar biasa, bila berperang pasti akan menjadi panglima yang sering meraih kemenangan, bila terjun ke dalam dunia persilatan, mereka pun tentu akan menjadi Enghiong yang malang melintang di kolong langit.

Cukat Liang, Koan Tiong. Mereka semua adalah jenis manusia semacam ini, karena itulah mereka mampu memikirkan keselamatan negara dan menjamin kesejahteraan seluruh rakyat.

Han Sin, Gak Hui, Li Jing, mereka pun termasuk jenis manusia seperti ini, karena itulah kemampuan perang mereka luar biasa, selalu meraih kemenangan dan serangannya susah dibendung.

Li Sun-hoan, Coh Liu-hiang, Thiat Tiong-tong, Sim Long, Nyo Cing, Siau Cap-it-long. Mereka pun tergolong manusia seperti ini, karena itulah mereka dapat malang melintang dalam Kangouw, meninggalkan nama harum dimana-mana, walau sudah lewat lama pun nama besar mereka tetap dikenang sebagai jagoan yang hebat.

Kemampuan yang luar biasa itu dinamakan indra keenam.

Kehidupan berkeluarga justru merupakan pembunuh paling hebat untuk mematikan indra keenam, itulah sebabnya kebanyakan pengelana enggan atau tak berani mencicipi kehidupan sebuah keluarga, sebab mereka harus tetap hidup dalam dunia persilatan.

Tatkala Pho Ang-soat menyadari dalam hati kecilnya telah muncul ingatan seperti itu, dia pun sadar nyawanya setiap saat kemungkinan dapat musnah, namun dia tak menyangkal kalau kehidupannya selama beberapa hari ini adalah saat yang paling tenang dan menggembirakan sepanj ang hidupnya.

Daripada hidup menderita sepanjang masa, mengapa tidak menikmati kehidupan yang layak selama beberapa hari?

Kehidupan layak? Kehidupan harmonis? Selama beberapa hari?

Bila dalam perjalanan hidup orang bisa menikmati kehidupan harmonis selama beberapa hari, sesungguhnya hal itu sudah lebih dari cukup.

Itulah sebabnya walaupun Pho Ang-soat tahu hari ini bakal bertemu mara-bahaya, bahkan bisa jadi akan merenggut nyawanya, namun ia sama sekali tidak merasa ngeri ataupun takut.

Seperti hari-hari yang lalu, dia tetap bangun pagi, membelah kayu bakar dan menunggu sarapan lezat yang disiapkan Hong-Iing.

Sarapan? Mungkinkah sarapan ini merupakan sarapan terakhir?

Cahaya matahari masih tetap cerah, secerah ribuan tahun yang lalu, aneka bunga tetap mekar, semekar ribuan tahun berselang, manusia pun tetap hidup, seperti kehidupan ribuan tahun yang lewat.

Hanya satu yang berbeda, perasaan hati.

Angin berhembus, dedaunan kering pun berguguran, meski masih musim panas, tetap ada daun yang gugur, seperti ada pula daun yang tumbuh di musim dingin.

Daun masih berguguran, selembar, dua lembar, tiga lembar... semuanya berguguran ke tanah.

Lambat-laun sinar matahari makin tinggi, keliningan yang tergantung di emper rumah berdenting mengikuti hembusan angin. Hong-ling yang terlelap tidur dalam kamar pun telah turun dari pembaringan, berjalan keluar rumah, menuju ke bawah keliningan di emperan bangunan.

"Pagi," sapa Hong-ling lembut.

"Hari ini kau terlambat bangun," sahut Pho Ang-soat hambar.

"Cahaya matahari sungguh indah," gumam Hong-ling lagi setelah melihat sekelilingnya, "hembusan angin pun sangat lembut."

"Hari ini pun merupakan hari yang cocok untuk membunuh orang," tiba-tiba Pho Ang-soat mengucapkan perkataan itu.

Hong-ling sama sekali tak terkejut, dia hanya tertawa manis.

"Aku percaya." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Siapa pun yang bakal datang kemari hari ini, aku tetap percaya kau pasti mampu mengalahkan mereka."

Mendadak Pho Ang-soat berhenti membelah kayu bakar, perlahan bangkit, mendongakkan kepala dan menatap Hong-ling dengan matanya yang hitam tapi sayu. Kemudian dengan nada sedingin hembusan angin salju katanya, "Bila aku mati, bukankah keinginanmu terkabul?"

"Benar," jawab Hong-ling tanpa berubah muka, senyumannya masih amat mesra, "tapi bila aku sendiri yang menghabisi nyawamu."

Kemudian setelah tertawa lagi, lanjutnya, "Masa kau lupa, aku datang kemari mengikutimu tak lain karena aku ingin membunuhmu dengan tanganku sendiri."

"Aku tidak lupa."

"Nah, bagaimana mungkin aku bisa gembira jika kau mati di tangan orang lain?"

"Benarkah begitu?"

"Maka dari itu aku percaya, siapa pun yang bakal datang hari ini, kau pasti mampu mengalahkan mereka, sebab aku pun tahu, kau tak bakal melakukan perbuatan yang bisa menimbulkan ketidak senangan hatiku."

"Benar, tak mungkin," Pho Ang-soat mengakuinya. "Aku tahu," senyuman Hong-ling semakin manis, "maka sarapan pun telah kusiapkan."

"Nanti saja aku baru bersantap." "Kenapa?"

"Karena aku takut ada orang yang bakal berebut denganku." Biarpun ucapan itu ditujukan kepada Hong-ling, namun sinar mata Pho Ang- soat telah dialihkan ke pintu di belakang tubuhnya.

Cepat Hong-ling mengalihkan sinar matanya mengikuti arah yang dipandang pemuda itu, terlihatlah ada tujuh orang sedang berjalan masuk ke dalam halaman dengan langkah perlahan.

Sinar matahari bertambah cerah, aneka bunga semakin mekar dan menyiarkan bau harum, angin masih berhembus, daun pun masih bergoyang, semua hawa dingin yang mencekam semalam lambat-laun bertambah larut bersama meningginya sang surya.

Tapi Pho Ang-soat merasa suhu di sekelilingnya telah merosot turun hingga ke titik beku, sebab ia telah melihat wajah orang pertama yang berjalan paling depan.

Orang itu mempunyai bentuk muka panjang, seperti muka kuda, wajahnya dipenuhi bisul sebesar kacang kedelai, matanya juga dipenuhi garis merah darah. Ada orang yang sejak dilahirnya sudah bertampang bengis dan jahat, dia adalah salah satu di antaranya.

Sesudah memasuki halaman rumah dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, gumamnya, "Sebuah tempat yang indah, sungguh indah."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar