Kilas Balik Merah Salju Jilid 09

 
Pakaian, ikat pinggang, sepatu, tangan dan pedangnya, dia lolos pedang itu kemudian dimasukkan lagi, dicabut lagi dan dimasukkan kembali, sampai dia merasa segala sesuatunya telah siap dan sempurna, hingga dia puas dengan segala persiapannya, orang itu baru melesat masuk ke dalam lorong panjang batu kristal itu.

Gerakan tubuh orang ini pun kuat, bertenaga dan lincah, malah jauh lebih berpengalaman ketimbang si nomor lima, tapi sama seperti yang pertama, dia pun tak pernah balik lagi.

Kali ini Ong-losiansing menunggu lebih lama lagi, kemudian baru membasuh tangan ke dalam baskom, memasang hio bahkan menghela napas panj ang.

Ketika berhadapan dengan si nomor dua puluh lima, mimik mukanya terlihat jauh lebih serius, perintah yang disampaikan juga lebih singkat.

Karena dia tahu, berbicara dengan manusia macam si nomor dua puluh lima tak perlu berbasa-basi, dia hanya berkata singkat, "Kau pergilah!"

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si nomor dua puluh lima menerima perintah itu, menerima perintah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tentu saja dia tak mirip si nomor lima, begitu mendapat perintah, sepasang alisnya seakan mulai terbakar.

Dia pun tidak mirip si nomor lima belas, memeriksa semua perlengkapannya dengan teliti, memeriksa apakah pedangnya bisa dicabut dari sarungnya dengan lancar.

Sudah ada dua orang yang tak pernah kembali sesudah memasuki lorong panjang itu, padahal mereka berdua adalah pembunuh bayaran yang sangat ahli, semuanya terhitung jago ilmu pedang. Kedua orang itu merupakan rekannya, sudah cukup lama mereka hidup bersama, dia pun tahu kedua orang rekannya bukan jagoan yang gampang dihadapi, tapi setelah memasuki lorong panjang berdinding kristal, kedua orang itu seolah lenyap ditelan bumi, sama sekali tak ada kabar beritanya lagi.

Reaksi si nomor dua puluh lima setelah mendapat perintah itu jauh berbeda, dia seakan baru saja mendapat undangan makan dari orang lain.

Seakan sahabat karibnya yang mengundang dia makan bersama di rumahnya.

Lorong kristal itu masih nampak terang dengan aneka warna yang indah, tenang, tak terdengar suara apa pun, tak terlihat gerakan apa pun.

Tempat itu seperti seekor ular raksasa yang bersembunyi dalam bukit liar, dengan tenang menelan dua korbannya lalu menikmatinya tanpa menimbulkan suara.

Si manusia nomor dua puluh lima sudah siap masuk ke dalam, sikapnya masih begitu tenang, bukan saja paras mukanya tidak berubah, dia pun tidak melakukan gerakan persiapan.

Langkah kakinya tidak terlalu cepat, juga tidak lambat, sepintas langkahnya seperti sedang berjalan menuju rumah tetangganya, berjalan untuk memenuhi undangan makan. Sekarang dia sudah berjalan masuk ke dalam lorong itu, siapa pun pasti menyangka dia akan berjalan terus tanpa berpaling.

Siapa sangka tiba-tiba dia menghentikan langkahnya, perlahan membalikkan badan, mengangkat wajahnya dan menatap tajam Ong- losiansing.

Sorot matanya sama sekali tanpa emosi, dia pun tak menunjukkan perubahan sikap, hanya suara ucapannya begitu datar dan hambar.

"Aku belajar pedang mulai usia delapan tahun, pada usia tiga belas, belum lagi ilmu pedang kukuasai, aku telah belajar membunuh orang," katanya, "bahkan aku benar-benar membunuh satu orang."

"Aku tahu," Ong-losiansing memperlihatkan senyumannya yang ramah, "ketika berusia tiga belas tahun, kau berhasil membunuh si tukang jagal Liok yang merupakan orang paling jahat di dusunmu di tengah pasar yang ramai."

"Tapi selama hidup, tidak banyak orang yang kubunuh, karena aku paling tak suka membuat onar, tak suka mencari masalah dan tak pernah bermusuhan dengan siapa pun."

"Aku tahu."

"Yang lebih penting lagi, sebetulnya aku tidak suka membunuh orang. "

"Aku tahu. Kau membunuh karena ingin hidup terus." "Benar, aku membunuh demi sesuap nasi, setiap orang harus makan, begitu juga dengan diriku, karena aku pun manusia," kata si nomor dua puluh lima, "biarpun membunuh demi sesuap nasi bukan hal yang menyenangkan, tapi masih ada orang lain yang demi sesuap nasi justru telah melakukan perbuatan yang jauh lebih menderita, tahukah kau?"

Kali ini Ong-losiansing hanya manggut- manggut.

Si nomor dua puluh lima menatapnya tajam, kembali ujarnya, "Oleh karena aku membunuh demi sesuap nasi, maka setiap kali akan membunuh, aku harus memperoleh imbalan setimpal, tiada terkecuali kali ini."

"Aku tahu."

"Biarpun kau menampungku di saat identitasku terbongkar dan jiwaku di ujung tanduk, namun tak ada pengecualian bagimu. Kau seharusnya mengetahui bukan berapa imbalan yang harus kuterima untuk membunuh satu orang."

"Aku tahu dan sudah kusiapkan," Ong- losiansing tersenyum.

Dia berjalan mendekat dan menyusupkan sepuluh keping emas murni ke tangan si nomor dua puluh lima.

"Aku pun mengetahui peraturanmu, sebelum membunuh harus membayar separoh biaya, " kata Ong-losiansing, "aku rasa uang emas itu sudah lebih dari cukup bukan?" "Cukup, cukup sekali," si nomor dua puluh lima memasukkan emas itu ke dalam saku, tiba-tiba tambahnya, "Aku masih ada sebuah permintaan lagi."

"Katakan."

"Seandainya aku mati, tolong jangan kau basuh lagi tanganmu, apalagi memasang sebatang hio," ujar si nomor dua puluh lima hambar, "karena kau sudah membayar biayanya."

Begitu selesai mengucapkan itu, dia membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam lorong panjang.

Bayangan punggungnya terlihat jauh lebih tegak lurus daripada tubuh bagian depannya, dengan cepat ia sudah lenyap di ujung lorong.

Apakah kepergiannya pun tak akan kembali lagi?

Dengan termangu Kim-hi menyaksikan bayangan punggungnya, memandangnya hingga lenyap di ujung lorong, gumamnya setelah menghela napas, "Orang ini benar-benar aneh."

"Oya?"

"Tampaknya  dia  sudah  tahu  kepergiannya tak akan kembali lagi, bahkan dia pun tahu bila orang telah mati, maka biar emas itu lebih murni pun sama  sekali  tak ada gunanya, tapi mengapa dia memaksakan diri untuk menerima dulu uang muka  itu?  Apa  sebabnya  dia bersikap begitu?" "Karena hal ini merupakan prinsip hidupnya." "Prinsip?"

"Betul, prinsip adalah peraturan. Sekalipun dia tahu pekerjaan ini bisa mengakibatkan kematian, namun ia tetap melakukannya. Lantaran harus melakukan, maka dia harus menerima dulu emas itu, karena itulah peraturannya."

Kembali ia menatap Kim-hi, kemudian lanjutnya dengan nada yang sama sekali tak berbau sindiran, "Bagi seseorang yang memegang prinsip, peraturan tak boleh dilanggar, biar hidup atau mati, peraturan tetap peraturan."

Perkataan itu disampaikan dengan nada serius, bahkan disertai dengan sikap hormat.

"Menurutmu orang ini termasuk bodoh atau pintar?"

"Aku sendiri tak tahu. Yang kuketahui, manusia macam ini makin lama semakin sedikit."

"Jadi kau sangat mengagumi manusia macam ini?"

"Benar!"

"Kenapa kau tetap memintanya untuk pergi mati?"

"Darimana kau tahu kepergiannya untuk mengantar kematian?" Ong-losiansing balik bertanya sambil tertawa, "darimana kau tahu dia bisa bangkit kembali sesudah kematiannya?" Kim-hi tidak bicara lagi, tampaknya maksud Ong-losiansing mengajaknya datang kemari tak lain hanya ingin membuktikan bahwa bila orang telah terjatuh ke tangannya, maka biarpun dia sudah mati pun dapat dihidupkan kembali.

Kalau dilihat mimik mukanya sekarang, agaknya itulah yang ingin dia perlihatkan kepadanya, oleh sebab itu Kim-hi tidak berbicara lagi.

Dalam waktu yang berlangsung sesaat, ia mulai termenung dan membungkam.

Suasana di balik lorong betul-betul sepi, hening, tak terdengar sedikit suara pun, tak nampak sesuatu gerakan pun. Si manusia nomor dua puluh lima tidak juga kembali, walau sudah ditunggu sampai lama pun tetap belum kembali.

Mereka menunggu sampai lama, lama sekali. Akhirnya Ong-losiansing berujar, "Mungkin saat ini sudah menjelang tengah malam, kelihatannya kita harus mencari makan malam."

"Makan malam?" Kim-hi seperti terperanjat. "Kau ingin makan lagi di tengah malam begini?"

"Makan di saat tengah malam bukan kejadian aneh, setiap orang kan harus bersantap," kata Ong-losiansing, "di saat kita harus makan di tengah malam, makanlah dengan nikmat, terlepas kejadian apa pun yang bakal berlangsung,

makan tetap makan."

"Ini pun sebuah prinsip? Prinsip hidupmu?" "Tepat sekali."

Arak telah dituang ke dalam cawan kristal dan membiaskan cahaya kuning kecoklat-coklatan yang memukau, bahkan terendus pula bau harum yang segar dan wangi.

Benar-benar satu kenikmatan yang luar biasa.

Siapa bilang kaya dan terhormat bukan sebuah kenikmatan? Hidangan tersedia di piring kristal, alat makan, alat minum semuanya terbuat dari benda-benda berharga.

Mungkin tak cukup dibilang indah, lebih tepat sempurna.

Penampilan Ong-losiansing sewaktu bersantap dan minum arak pun nyaris mendekati sempurna, bisa menikmati hidangan malam bersama seorang macam dia seharusnya terhitung satu kejadian yang menggembirakan.

Sayang Kim-hi sama sekali tak ada napsu untuk bersantap, dia bukan sedang menguatirkan keselamatan si nomor dua puluh lima, tapi sedih atas perubahan bentuk tubuh Giok-seng.

Dalam anggapannya, bila seseorang masih bisa duduk sambil menikmati hidangan lezat dan arak wangi di kala orang lain pergi membunuh orang, hal itu betul-betul merupakan satu kenyataan yang sama sekali tak masuk akal.

Dari balik lorong panjang masih belum terdengar suara atau sesuatu gerakan. Akhirnya Ong-losiansing menyelesaikan santapannya, ia mulai membasuh tangan di sebuah baskom kristal.

Isi baskom kristal itu bukan air biasa, melainkah air teh yang kental dan wangi.

"Menu hidangan tengah malam kita kali ini adalah udang bago dan kepiting, kalau ingin benar-benar merasakan dan menikmati kelezatan daging udang dan kepiting, kau harus mengupasnya dengan tanganmu sendiri," Ong- losiansing menjelaskan, "untuk menghilangkan bau amis, kita harus cuci tangan dengan air teh kental dan harum."

"Bagaimana setelah membunuh orang?" tiba- tiba Kim-hi bertanya sambil menatapnya.

"Membunuh orang?" kelihatannya Ong- losiansing tidak mengerti maksud pertanyaan itu.

"Apakah membunuh orang pun sama seperti menikmati udang dan kepiting? Harus membunuh dengan tangan sendiri baru bisa menikmati keindahan dan kegembiraannya?"

Pertanyaan yang sangat telak, namun jawaban Ong-losiansing pun tak kalah hebatnya.

"Kalau itu tergantung," katanya. "Tergantung apa?"

"Tergantung siapa yang hendak kau bunuh, ada sementara orang yang cukup dibunuh orang suruhan, tapi ada pula sementara orang yang harus dibunuh dengan tangan sendiri." "Bagaimana setelah membunuh?" kembali Kim- hi bertanya, "bila kau telah membunuh dengan tanganmu sendiri, dengan air apa kau hendak membasuh tanganmu agar hilang semua bau anyir darah?"

Tak ada orang yang bisa menjawab pertanyaan ini, juga tak ada orang yang bersedia menjawab.

Ong-losiansing menyeka tangannya dengan kain berwarna putih, lalu perlahan-lahan berdiri, berjalan menuju ke lorong batu kristal itu.

Dia tidak mengajak Kim-hi, sebab dia tahu nona itu pasti akan mengikutinya dari belakang.

Sebenarnya apa yang telah terjadi di balik lorong itu? Tentu saja Kim-hi ingin tahu, maka dengan cepat dia mengintil di belakangnya.

Setelah masuk ke dalam lorong, apakah dia pun akan mengalami nasib yang sama dengan ketiga orang itu, pergi untuk tak kembali?

Pintu masuk lorong panjang itu dibangun mirip sebuah timbangan gantung, semakin mendekati dasar lorong, ruangan semakin kecil dan menyempit. Ketika mencapai ujung, luas gua itu tinggal dua jengkal saja.

Untuk orang seukuran Kim-hi, bukan pekerjaan gampang untuk menerobos masuk ke dalam gua sesempit itu, pada mulanya masih ada cahaya lentera yang menerangi seputar sana, namun setelah berjalan setengah, tak nampak lagi cahaya lentera. Begitu masuk ke dalam, segalanya gelap-gulita, tak ada yang bisa dilihat, bahkan melihat jari tangan sendiri pun susah.

Mengapa Ong-losiansing harus membangun lorong itu begitu misterius dan rahasia?

Sejak melangkah masuk ke dalam lorong kristal, langkah kaki Ong-losiansing tidak cepat juga tidak lambat. Dalam waktu singkat tubuhnya sudah hilang di balik kegelapan di tikungan depan.

Ong-losiansing berjalan masuk ke dalam lorong, Kim-hi segera mengintil di belakangnya, namun dengan cepat jarak mereka sudah selisih cukup jauh.

Memandang kegelapan yang mencekam sekeliling tempat itu, si nona mulai meraba-raba untuk melanjutkan langkahnya, pada saat itulah ia dengar Ong-losiansing berkata, "Lebih baik kau tak usah meneruskan perjalananmu."

"Kenapa?"

"Karena lorong ini tidak lurus," sahut Ong- losiansing dari balik kegelapan, "lorong ini terdiri dari tiga puluh tiga tikungan, bila kau berjalan lurus ke depan, tubuhmu pasti akan membentur dinding, bisa jadi akan membuat hidungmu jadi pesek."

Setelah berhenti sejenak, kembali ia melanjutkan dengan nada hambar, "Aku tahu, kau pasti tak percaya. Dilihat dari luar sana, lorong ini memang kelihatan lurus, jika tak percaya silakan saja dicoba."

Kim-hi tidak mencoba, sebab dia tahu berjalan dalam kegelapan memang paling mudah menimbulkan kesalahan, bisa membuat orang salah mengartikan lurus sebagai belokan dan sebaliknya, kalau lurus dan belokan saja susah dibedakan, bagaimana mungkin hidungmu tidak pesek?

Biarpun dia masih muda, namun dia pun tahu masih banyak hal di dunia ini seperti kegelapan, gampang menciptakan kesalahan bagi orang untuk menentukan arahnya, membuat mereka susah membedakan mana yang lurus dan yang belok.

Misalnya saja moral dan tingkah-laku seorang Kuncu, terkadang mereka bisa salah langkah.

Kim-hi tak pernah berpikir ke situ, dia pun tak ingin melakukan perbuatan seperti itu, dia tak ingin membiarkan hidungnya jadi pesek.

Maka dia pun mengambil satu pilihan yang paling cerdas. Dia menyalakan geretan api.

Saat cahaya api bersinar, seluruh lorong pun bermandikan cahaya.

Ternyata kedua dinding lorong panjang itu terbuat dari batu kristal yang sangat besar, tak jauh di depan sana benar-benar terdapat sebuah tikungan, Ong-losiansing sedang berdiri di sana, bersikap aneh sedang mengawasi Kim-hi. "Tidak kusangka dalam sakumu tersedia geretan api" serunya.

"Tentu saja kau takkan menyangka," sahut Kim-hi sambil tertawa, "biarpun kau  mengirim orang untuk menggeledah seluruh   badanku, orangmu tidak akan menyangka kalau aku bakal  menyimpan sebuah geretan api dalam tusuk kondeku."

Tusuk konde yang indah dengan sebuah geretan api yang luar biasa, nilai geretan api itu mungkin berkali lipat lebih mahal daripada tusuk kondenya.

"Apakah dalam tubuhmu masih tersimpan benda lain?" tanya Ong-losiansing sambil menghela napas, "apakah kau masih menyimpan barang-barang aneh lainnya?"

"Jika kau ingin tahu, lebih baik geledahlah seluruh tubuhku dengan teliti."

Kim-hi menatapnya sambil merentangkan tangan. Pakaian yang dia kenakan tidak terlalu banyak, potongan tubuhnya yang indah menampilkan lekukan badan yang menggairahkan. Apa yang sedang dilakukan gadis ini? Apakah dia sedang merangsang napsu birahi orang? Atau sebuah tantangan terbuka?

"Bagaimana pun juga aku berani menjamin bahwa barang aneh yang berada di tubuhku sekarang bukan hanya geretan api saja," ujar Kim-hi sambil tertawa.

Ong-losiansing tertawa, tertawa getir. "Aku percaya," sahutnya, "aku sangat percaya."

Tikungan yang terdapat dalam lorong itu benar- benar sangat banyak, kembali Ong-losiansing melanjutkan perjalanannya, kali ini Kim-hi mengintil ketat di belakangnya.

Menelusuri lorong ini, tiba-tiba Kim-hi merasakan tubuhnya tak nyaman bahkan makin lama semakin tak nyaman, dia tak habis mengerti mengapa tubuhnya bisa begitu tak nyaman?

Sebetulnya lorong itu gelap tanpa cahaya, namun anehnya, walau geretan api tidak dipadamkan, sirkulasi udara di tempat itu tetap lancar tanpa gangguan.

Agaknya di bagian yang rahasia telah dibangun lubang angin yang membantu sirkulasi udara di situ, sehingga aliran udara dalam lorong tetap terjaga kering bahkan sangat bersih.

Kalau dibilang sangat bersih, kenapa terendus bau aneh seperti bau pakaian yang sudah direndam air sabun selama lima hari, lalu digilas sebanyak dua puluh satu kali?

Tiba-tiba Kim-hi sadar darimana datangnya sumber bau yang tak sedap itu.

Kering dan bersih sebenarnya termasuk kejadian baik, kejadian yang bisa mendatangkan kegembiraan orang, tidak semestinya membuat orang merasa tak nyaman. Tapi lorong itu kelewat kering dan bersih, hakikatnya membuat orang tak tahan.

Ong-losiansing berpaling, tanyanya, "Apakah kau merasa agak aneh? Merasa badanmu mulai tak nyaman?"

"Benar."

"Tahukah kau mengapa bisa muncul perasaan seperti itu?"

"Tidak, aku tak habis mengerti."

Dia sangka Ong-losiansing akan menjelaskan persoalan itu, siapa tahu setelah bertanya dia seakan lupa dengan pertanyaan itu.

"Tahukah kau benda apa yang terhitung paling bersih di kolong langit?" tanya Ong-losiansing lagi.

"Emas murni."

"Bukan," kata Ong-losiansing sambil tertawa, "tak ada benda lain di dunia ini yang jauh lebih bersih daripada barang-barang yang terbuat dari batu kristal."

Lorong itu memang dibangun dengan batu kristal, mau tak mau Kim-hi harus mengakui bahwa tempat itu memang betul-betul sangat bersih.

Terdengar Ong-losiansing kembali bertanya, "Di dunia ini pun terdapat berbagai jenis manusia, tahukah kau jenis manusia mana yang tergolong paling bersih?" "Orang mati!" kali ini tidak menunggu jawaban Kim-hi, dia jawab sendiri pertanyaan itu.

Mau tak mau kembali Kim-hi harus mengakui, semua orang mati pasti akan dimandikan dulu sebelum dimasukkan ke dalam peti mati, sekalipun dia orang yang paling kotor dan busuk sekalipun.

Setelah dia mengakui kebenaran hal itu, maka masalah yang semula tidak dipahami pun kini jadi mengerti.

"Kau merasa tempat ini rada aneh karena tempat ini kelewat bersih," kembali Ong- losiansing menjelaskan, "karena di dalam lorong ini hanya terdapat batu kristal dan orang mati."

Harus diakui, batu kristal memang termasuk barang yang paling bersih, murni dan sedikit bahan campurannya, bahkan sebagian besar orang menganggap benda itu sangat menawan dan menarik.

Orang mati pun tetap manusia, betapa pun menakutkannya orang itu, setelah mati, tak mungkin dia bisa mencelakai orang lain lagi.

Sebuah lorong yang dibangun dari batu kristal, ditambah orang orang mati yang tak mungkin bisa mencelakai orang lagi, sebetulnya tempat ini memang tak perlu ditakuti.

Namun bagi Kim-hi, tempat semacam itu justru mendatangkan perasaan horor, seram dan ngeri yang tak terlukiskan. Sampai lama kemudian baru ia bertanya, "Jadi tempat ini adalah sebuah komplek kuburan?"

"Kuburan?" Ong-losiansing tertawa terbahak- bahak, "atas dasar apa kau mengatakan tempat ini kuburan? Mengapa kau bisa punya pikiran aku telah membangun tanah kuburan dengan batu kristal?"

Jarang sekali dia tertawa tergelak semacam ini.

Minta manusia semacam dia membangun sebuah kuburan dengan batu kristal? Pada hakikatnya pikiran ini betul-betul menggelikan.

Terlepas siapa pun orang yang telah membangun kuburan dengan batu kristal, yang pasti hal itu sangat muskil, tak masuk akal.

Anehnya, tempat ini bukan kuburan, kenapa ada begitu banyak orang mati di sini? Kim-hi tidak habis mengerti.

"Sebenarnya tempat apakah ini?"

"Sebuah gudang harta," sahut Ong-losiansing. "Kau bilang tempat ini adalah gudang

harta?" Kim-hi semakin terperanjat, "gudang

untuk menyimpan harta kekayaanmu?" "Betul."

Sambil tertawa Ong-losiansing mulai membelai dinding kristal dengan jari tangannya, belaian yang begitu halus dan mesra seakan belaian seorang ibu terhadap putra tunggalnya. Bahkan mimik mukanya menampilkan perasaan puas yang tak terlukiskan dengan kata.

"Aku berani jamin, simpanan batu kristal yang ada di sini paling tidak tiga kali lipat lebih banyak dari tempat mana pun di dunia ini," Ong- losiansing menjelaskan, "andaikata kulempar semua simpanan batu kristal ini ke pasar, dapat dipastikan cadangan uang setiap negara di dunia ini bakal menurun."

"Aku percaya," tak tahan Kim-hi ikut membelai dinding kristal itu, "selama hidup belum pernah kujumpai batu kristal sebanyak ini."

"Bukan hanya kau seorang yang belum pernah melihat, kujamin hanya beberapa orang di dunia ini yang pernah menyaksikan tumpukan batu kristal sebanyak ini."

"Apakah dikarenakan orang yang ada di sini hanya orang-orang mati?"

"Betul, kecuali kondisi yang luar biasa, biasanya hanya orang mati yang bisa masuk kemari."

"Bagaimana dengan orang hidup?" tanya Kim- hi, "apakah orang hidup yang masuk kemari tak pernah lagi bisa keluar dalam keadaan hidup dan sehat?"

Ong-losiansing tak menjawab pertanyaan itu, dia cuma tersenyum.

Watak Kim-hi sendiri pun tergolong aneh dan keras kepala, persoalan yang enggan dijawab orang lain tak bakal ditanyakan lagi untuk kedua kalinya, maka dia pun mengalihkan pembicaraan ke masalah lain.

"Apakah biasanya kau gunakan orang mati untuk menjaga batu kristalmu?"

Sekali lagi Ong-losiansing tertawa, dia merasa pertanyaan ini kelewat menggelikan, namun dia tetap menyahut.

"Sejak dulu hingga sekarang, hanya sejenis manusia di dunia ini yang menggunakan orang mati untuk menjaga batu kristalnya."

"Manusia seperti apa?"

"Orang mati. Hanya orang mati yang akan menggunakan orang mati untuk menjaga batu kristalnya, sebab dia sudah mati, jadi apakah semua kristalnya dicuri orang atau tidak, baginya hal itu sudah tidak terlalu penting lagi."

Jawaban ini tidak menggelikan, sebab contoh yang dikemukakan bukan saja pernah ada di masa lampau, seribu tahun kemudian pun bukan tak mungkin akan terjadi lagi.

Di masa lampau banyak bangsawan atau raja yang meninggal, biasanya semua harta kekayaannya ikut dikubur, bahkan seringkah para pengawal setianya ikut terkubur bersamanya, untuk menjaga arwah serta harta kekayaannya.

Tentu saja mereka tak bakal tahu cara seperti itu sebenarnya adalah sebuah cara yang sangat goblok. Karena dia sudah mati!

"Aku belum mati," kata Ong-losiansing, "paling tidak hingga sekarang aku belum mati, karena itu aku tak bakal menggunakan cara seperti itu."

Kim-hi tertawa, namun tak tahan tanyanya lagi, "Bukankah tempat ini adalah gudang hartamu?

Kalau memang gudang harta, kenapa terdapat orang mati?"

Pertanyaan ini bukan pertanyaan yang menggelikan, sebagian besar orang pun akan mengajukan pertanyaan yang sama.

Tapi jawaban yang diberikan Ong-losiansing justru tak bakal dimengerti oleh sebagian besar orang.

"Oleh karena tempat ini adalah sebuah gudang harta, maka di tempat ini sering muncul orang mati."

"Kenapa?" tanya Kim-hi tak habis mengerti. "Karena ada semacam orang mati yang nilainya

jauh lebih tinggi daripada intan permata, kebetulan orang yang mati di sini adalah jenis orang mati yang paling mahal."

Orang yang sudah mati pun masih mempunyai nilai tinggi? Apa gunanya orang mati?

Kelihatannya Ong-losiansing pun tahu kata- katanya susah dicerna orang lain, maka sebelum Kim-hi mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba dia berganti pokok pembicaraan, katanya, "Konon di negara yang letaknya di ujung barat terdapat juga kerajaan dengan kebudayaan tinggi, banyak orang pintar melakukan percobaan untuk menciptakan sesuatu yang lebih baru dan canggih."

"Aku tahu, aku pun pernah mendengar tentang hal ini."

"Suatu negeri sama seperti kita, punya hukum juga punya agama kepercayaan, dalam kumpulan keagamaan pun terdapat Tianglo yang punya reputasi tinggi, sama seperti Tianglo pelindung hukum dalam kuil Siau-lim bagi umat persilatan. Aku mengetahui salah satu di antaranya, ia bernama Hoat-tianglo, seorang tokoh yang memiliki kecerdasan tinggi dan sangat dihormati umatnya. Sama seperti Sim-bi Taysu, pelindung hukum Siau lim pay."

Walaupun Kim-hi belum pernah berjumpa Sim- bi Taysu, tapi ia pernah mendengar tentang kehebatan tokoh ini.

"Konon Suhunya tewas karena keracunan, oleh sebab itu selain tekun melatih ilmu silat dan agama Buddha, dia pun memperdalam ilmu tentang racun dan obat penawarnya. Bahkan kemampuannya sudah mencapai kebal segala macam bisa dan racun. Bahkan ada orang bilang, di masa tuanya dia berhasil melatih tubuhnya jadi kebal dan maha sakti." "Apakah kemampuan Hoat-tianglo sehebat Sim-bi Taysu?"

"Itulah sebabnya aku singgung orang ini." "Kenapa?"

"Karena ia pernah bercerita tentang sebuah kisah yang sangat menarik."

Tidak menunggu Kim-hi mengajukan pertanyaan, secara ringkas Ong-losiansing menceritakan, "Hoat-tianglo mempunyai sebuah kebun buah yang sangat indah, dalam kebunnya ditanam berbagai jenis buah dan sayuran. Dalam kebun buahnya ia pernah melakukan percobaan yang luar biasa."

Dari hasil kebunnya dia pilih sejenis sayuran yang paling umum, misal sayur kubis, kemudian ia menggunakan sejenis cairan racun yang sangat jahat untuk menyirami sayur itu, setelah disirami selama tiga hari, daun kol berubah jadi kuning lalu lambat-laun layu.

Diambilnya sayur layu itu untuk memberi makan seekor kelinci, tiga jam kemudian kelinci itu pun mati.

Dia pun perintahkan tukang kebunnya untuk mengeluarkan isi perut sang kelinci dan diberikan seekor ayam, hari kedua ayam itu pun mampus.

Di saat ayam itu masih sekarat, kebetulan lewat seekor burung elang, sang elang pun menyambar ayam itu dan dibawa ke atas batu tebing. Sehabis melahap ayam itu sang elang pun mulai merasa kondisi badannya tak segar, tiga hari kemudian sewaktu sedang terbang di udara, tiba-tiba burung itu jatuh dan mati.

Hoat-tianglo pun kembali memerintahkan tukang kebun untuk melempar bangkai elang ke dalam kolam ikan, dasar ikan Lehi dalam kolam sangat rakus, daging elang itu pun dilahap hingga habis.

Keesokan harinya ikan Lehi itu dikirim ke dapur untuk menjamu tamu, maka delapan sampai sepuluh hari kemudian tamu itu akan mampus dengan lambung dan usus membusuk. Sekalipun ada tabib kenamaan yang melakukan pemeriksaan pun jangan harap menemukan penyebab kematian nya. Terlebih tak bakal ada yang menyangka kalau dia mati diracun musuh besarnya.

"Selamanya rahasia ini tak pernah diketahui siapa pun," Ong-losiansing menambahkan sambil tertawa, "kecuali......

Bicara sampai di sini, mendadak ia menghentikan perkataannya dan tidak dilanjutkan lagi.

Tentu saja Kim-hi tak tahan untuk bertanya, "Kecuali apa?"

"Kecuali orang itu dikirim kemari." "Memangnya kau bisa menemukan penyebab

kematiannya?" "Bila aku dapat segera membedah jenazahnya dan menemukan sisa ikan yang masih berada dalam lambungnya, bukan saja aku dapat menemukan penyebab kematiannya, bahkan dapat ditemukan juga siapa yang telah meracuninya," ujar Ong-losiansing, "nah, bukankah nilai orang mati itu jadi lebih tinggi dan berharga daripada intan permata?"

Kim-hi kelihatan belum juga paham, kembali tanyanya, "Kenapa bisa begitu?"

"Sebab bukan saja dari tubuh mayat itu aku berhasil menemukan sebuah rahasia yang tak mungkin diketahui orang lain, bahkan dari situ aku pun tahu semacam cara jitu untuk meracuni dan membunuh seseorang tanpa diketahui siapa pun."

"Setelah rahasia orang yang meracuni lawannya itu kau ketahui, tentunya mau tak mau dia harus menuruti semua perkataanmu bukan?" tanya Kim-hi.

"Hahaha, tentu saja, akhir dari kisah itu tentu saja begitu."

Kemudian dengan riang ia menambahkan, "Ada banyak orang di dunia ini yang mati dengan cara begini, ada yang terkena racun rahasia, ada yang terkena senjata rahasia, ada pula yang dilukai dengan satu cara yang amat rahasia. Asalkan mayat mereka dikirim kemari, aku pasti dapat menemukan penyebab kematiannya." Setelah berhenti sejenak, terusnya, "Bagiku, cepat atau lambat setiap rahasia pasti ada gunanya, terkadang nilainya bahkan jauh lebih berharga daripada intan permata."

Kim-hi terperangah mendengar semua itu, peluh dingin telah membasahi telapak tangan dan kakinya, untuk sesaat dia hanya bisa mengawasi Ong-losiansing dengan mata terbelalak.

Sewaktu dia mengucapkan semua perkataan itu, sikap maupun caranya bertutur sangat halus, sopan dan anggun, seperti seorang penyair sedang membaca hasil karyanya yang paling hebat.

Namun dalam pandangan Kim-hi, tak ada manusia lain di dunia ini yang lebih menakutkan daripada orang itu.

Ong-losiansing sedang menatapnya, menatap sambil tersenyum ramah, tanyanya, "Bersediakah kau melihat gudang hartaku?"

Mendengar ajakan itu, berkilat mata Kim-hi, tiba-tiba ia tertawa lebar, sinar matanya persis macan betina yang menerima tantangan untuk bersenggama.

"Tentu aku bersedia," teriaknya, "memang kau kira aku takut?"

Betapa panjang lorong yang berliku-liku itu, tentu akan berakhir juga. Begitu juga dengan malam yang gelap, akhirnya akan muncul sinar fajar. Kini mereka telah tiba di penghujung jalan. Di ujung lorong terdapat sebuah pintu, pintu tanpa kunci, tanpa pegangan.

Begitu mereka mendekati pintu tadi, pintu itu pun terbuka dengan sendirinya.

Sekali lagi Kim-hi tertegun. Apa yang terlihat olehnya ternyata merupakan sebuah pemandangan yang luar biasa, pemandangan yang mimpi pun tak pernah dibayangkan.

Di belakang pintu merupakan gua yang sangat lebar, tiada yang tahu berapa luas sesungguhnya?

Seluruh dinding ruang gua berlapiskan batu kristal yang sangat indah, sementara di tengah ruangan bertumpuk pula peti-peti mati yang terbuat dari kristal.

Siapa pun takkan menyangka di tempat yang sama dapat melihat begitu banyak tumpukan peti mati, bahkan semua peti mati itu terbuat dari kristal.

Apakah di dalam setiap peti mati itu berbaring sesosok mayat? Sebuah rahasia dari mayat itu?

Dari lentera minyak yang terbuat juga dari kristal memercikkan jilatan api berwarna kuning, begitu pintu terbuka, Kim-hi pun memasuki sebuah dunia kristal yang begitu megah, begitu cemerlang dan terselip begitu banyak misteri dan rahasia yang tak di ketahuinya.

Dunia pusaka yang tak terpikirkan dengan akal sehat itu justru merupakan dunianya orang mati. Peti mati adalah benda yang paling dibenci orang, sebaliknya batu kristal justru paling disukai orang.

Lalu perasaan apa yang ditimbulkan sebuah peti mati yang terbuat dari kristal untuk seorang? Kim-hi seakan sama sekali tidak merasakan, dia seolah sudah bebal, kaku dan mati rasa.

Cahaya terang masih memancar dari wajah Ong-losiansing, entah karena pantulan cahaya kristal? Ataukah luapan rasa girang yang muncul dari dasar hatinya?

Dia menggeliat lalu menarik napas panjang, seakan di dunia ini hanya tempat itu yang menjadi kesukaannya dan hanya tempat itu yang membuatnya bahagia.

Dia mengajak Kim-hi menuju deretan peti mati terdepan dan berhenti di depan tiga buah peti mati yang berada di sudut kanan.

Peti mati itu pun terbuat dari batu kristal dan belum ditutup, tiga orang yang belum lama dikirim untuk membunuh orang, kini sudah berbaring dalam peti mati itu.

Anehnya mereka bertiga mati dalam keadaan tenang, wajahnya tidak memperlihatkan rasa kaget atau ngeri, di tubuhnya pun tidak terlihat luka dengan darah yang berceceran.

Bahkan pakaian yang mereka kenakan pun sama seperti waktu masuk ke dalam lorong tadi, bersih dan rapi. Seakan saat mati mereka tidak merasakan penderitaan maupun siksaan, seakan mereka belum mati walau kenyataan mereka telah mati.

Apa penyebab kematian mereka? Siapa yang membunuh mereka? Dimana sang pembunuh itu?

Selama ini Ong-losiansing berdiri terus di samping ketiga peti mati itu, memusatkan seluruh perhatiannya mengawasi ketiga sosok mayat yang berada dalam peti mati.

Selama ini mimik mukanya jarang menunjukkan perubahan, seorang tokoh yang mampu mengendalikan diri memang seharusnya menyimpan semua gejolak perasaan di dalam hati, bukan ditampilkan di wajahnya.

Tapi sekarang siapa pun dapat melihat mimik mukanya mulai menampilkan gejolak hatinya.

Anehnya, perasaannya bukan rasa sedih, bukan juga kaget atau gusar,  sebaliknya justru kelihatan sangat riang dan gembira.

Lama kemudian baru ia menghela napas panjang dan bergumam, "Kalian adalah jagoan yang belajar pedang, bisa mati di ujung pedang orang semacam ini seharusnya kalian bisa mati dengan mata meram."

Tampaknya dia pun tahu perubahan mimik mukanya sedikit tak cocok dengan ucapannya, maka segera dia berganti topik. Tiba-tiba tanyanya kepada Kim-hi, "Dapatkah kau lihat berada dimana mulut luka penyebab kematian mereka?" Tentu saja Kim-hi dapat melihatnya, luka penyebab kematian ketiga orang itu berada di bagian tubuhnya yang paling mematikan, luka akibat tusukan pedang.

Tusukan pedang yang mencabut nyawa mereka tepat mengenai bagian mematikan, tenaga yang digunakan pun tidak terlalu kuat, karena itu mulut luka yang ditimbulkan tidak terlalu besar, otomatis darah yang mengucur pun t idak banyak.

Tak bisa disangkal ilmu pedang yang dimiliki pembunuh itu telah mencapai puncak kesempurnaan, bukan saja tusukannya tepat mengenai bagian mematikan, penggunaan tenaga pun sangat tepat, sama sekali tidak menyia- nyiakan sedikit tenaganya.

Siapakah pembunuh itu? Ong-losiansing tidak menjelaskan, Kim-hi pun tidak bertanya, tiba-tiba dia mengajak nona itu menuju tiga peti mati yang berada di deretan lain.

Dalam peti mati itu pun berbaring tiga sosok mayat.

Seorang masih muda, seorang berusia sedang dan seorang lagi berusia pertengahan, bukan saja usia dan dandanan mereka hampir mirip dengan ketiga orang yang terdahulu, bahkan di tubuh mereka pun tidak dijumpai mulut luka yang dibasahi darah.

Hanya salah satu di antara mereka yang tulang hidungnya retak. Ketiga orang itu tak memperlihatkan penderitaan atau kesakitan, jelas mereka pun mati karena dibunuh, bahkan serangan yang langsung mencabut nyawa mereka.

Dari tiga sosok tubuh yang sepintas tak terlihat ada luka pedang itu, tenggorokan salah satu di antaranya seolah terdapat sebuah lubang kecil sekali.

Satu lagi perbedaan yang terlihat adalah ketiga orang itu sudah mati lebih lama, paling tidak sudah mati sehari berselang.

Belum pernah Kim-hi bertemu dengan ketiga orang itu, dia pun tak ingin tahu siapakah mereka?

Ong-losiansing menjelaskan, "Mereka adalah bawahanku, sewaktu masih hidup dulu masing- masing mempunyai kode angka nomor enam, enam belas dan dua puluh enam, waktu itu mereka pun terhitung jago pedang kelas satu."

"Karena itulah kau utus mereka membunuh Yap Kay?" sela Kim-hi, "dan akibatnya mereka mati di tangan Yap Kay?"

"Benar," sahut Ong-losiansing hambar, "ketika kuutus mereka membunuh Yap Kay, sama seperti waktu kuutus mereka bertiga kemari, sudah tahu dengan pasti mereka bakal mati."

Ucapan itu diutarakan dengan hambar, seolah sama sekali tak ada rasa menyesal. "Mereka adalah anak buahmu yang setia," seru Kim-hi tak tahan, "kenapa kau bersikeras menghendaki kematiannya? Apakah kau benar- benar bermaksud melihat mulut luka di tubuh mereka?"

Ong-losiansing tertawa hambar. "Bagaimana pun cepat atau lambat akhirnya

mereka akan mati demi aku. Mereka yang mati

saja tidak keberatan, buat apa aku mesti bersedih hati untuk mereka?"

Sejak zaman dulu, seorang pemimpin yang bengis memang tak pernah berbelas kasihan.

Kembali Ong-losiansing mengamati ketiga sosok mayat yang berada dalam peti mati, kemudian baru ia berkata, "Dapatkah kau temukan luka mematikan di tubuh ketiga orang ini?"

Luka yang mencabut nyawa mereka bertiga pun berada di bagian yang mematikan, hanya saja kematian mereka agaknya bukan ditusuk dengan pedang.

Yang satu hancur tulang hidungnya, jelas kematiannya lantaran tonjokan, seorang lagi tidak nampak bekas luka di luar tubuhnya, namun bila diperiksa lebih seksama, pasti akan tampak sebuah lubang yang cembung ke dalam, luka yang berada persis di jantungnya. Orang ini pun mampus karena jotosan maut.

Betulkah sodokan tinju Yap Kay begitu lihai? Kembali Kim-hi memperhatikan orang ketiga, luka mematikannya berada di tenggorokan, mulut lukanya sangat kecil, darah yang mengalir pun tidak banyak, senjata rahasia apa yang telah mencabut nyawanya?

"Dia terluka oleh pisau terbang," Ong-losiansing menjelaskan, "sambitan pisau terbang Siau-li tak pernah meleset."

Pisau terbang? Kembali Kim-hi mengamati mulut luka di tenggorokan orang ketiga dengan seksama.

"Aku tahu, kau tentu dapat melihat dimana letak luka mematikan di tubuh mereka bertiga, cuma aku tetap sarankan kepadamu, amatilah lebih lama dan perhatikan lebih seksama."

Kemudian setelah berhenti sejenak, imbuhnya, "Lebih baik lagi bila kau perhatikan luka mematikan di tubuh ketiga mayat yang ada di sana lalu bandingkan dengan luka ketiga mayat yang berada di sini, makin lama dilihat semakin baik, makin seksama dipandang makin bagus. "

Bagaimana pun juga Kim-hi adalah seorang gadis, sedikit banyak timbul juga rasa muak setelah lama mengamati orang mati, biar di hati dia tahu kata-katanya itu ada maksud tertentu, segera dia menggeleng kepala, katanya, "Tidak, aku tak mau melihat lagi, mereka kan sudah mati, apa bagusnya dilihat?"

"Orang mati yang berada di luar sana memang tak ada yang perlu dilihat, tapi orang mati di tempat ini sangat patut diperhatikan," kata Ong- losiansing, "tahukah kau, berapa banyak orang harus kecewa tak mendapat kesempatan menyaksikan mayat-mayat itu? Bila kau tetap menampik, satu kesempatan baik telah kau sia- siakan." "Aku tak percaya."

"Kau tak percaya?" Ong-losiansing tertawa, "kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada Yap Kay."

"Kenapa aku harus bertanya padanya?

Memangnya kau akan memberi kesempatan kepadaku untuk bertanya kepadanya?"

Kini Kim-hi sudah tahu begitu banyak rahasia, mungkinkah Ong-losiansing masih mengizinkan dia untuk keluar dari kebun monyet?

Persoalan inilah yang sangat dikuatirkan Kim-hi selama ini, dia ingin segera memperoleh jawaban.

Ong-losiansing hanya tertawa, cepat dia alihkan pembicaraan.

"Kau pernah mendengar orang yang bernama Hing Bu-bing?"

"Pernah, konon dia orang kepercayaan Siangkoan Kim-hong!"

"Hing Bu-bing adalah seorang aneh, selama hidup dia hanya kesemsem pada dua hal.

Pertama, dia kesemsem pada Siangkoan Kim- hong, bukan kesemsem karena hubungan perasaan laki perempuan, tapi karena menghormatinya, menyanjung dirinya. Dan kedua, dia kelewat kesemsem pada pedang."

Setelah merandek sejenak, kembali tambahnya, "Selain terhadap Siangkoan Kim- hong, peduli manusia macam apa dirimu, mempunyai hubungan seakrab apa pun, jangan harap dia bersedia melakukan pekerjaan apa pun untuk dirimu."

"Ya, aku pun pernah mendengar tabiatnya." "Tapi sekarang dia bekerja untukku, menjaga

orang mati di tempat ini," Ong-losiansing menerangkan, "kalau bukan manusia seperti dia, mana mungkin mau datang ke tempat seperti ini?"

"Aku tak percaya, apa bagusnya orang mati?

Kenapa dia mau datang ke sini hanya untuk melihat ketiga orang mati itu?"

Ong-losiansing menghela napas panjang. "Ai, padahal di hatimu pun sudah tahu

jawabannya, mengapa dia mau datang melihat kematian ketiga orang itu, kenapa mesti ngotot bilang tak percaya?"

Setelah tertawa getir, ujarnya, "Heran, kenapa kaum wanita selalu lain di bibir lain di hati?"

"Karena wanita tetap wanita, pasti terdapat perbedaan dengan kaum lelaki," sahut Kim-hi sambil tertawa getir pula, "apalagi lelaki yang lain di bibir lain di hati pun tidak lebih sedikit ketimbang perempuan." "Bagus, ucapan bagus," Ong-losiansing menarik tangan Kim-hi, "ayo, ikut aku, akan kuajak kau bertemu seseorang."

Orang yang hendak diperlihatkan Ong- losiansing kepada Kim-hi pun hanya sesosok mayat, peti mati orang ini berada di deretan tengah pada urutan ketiga dari belakang.

Orang itu berwajah ungu penuh cambang, perawakan tubuhnya kekar, meskipun sudah mati cukup lama, namun jenazahnya masih terawat bagus, lamat-lamat masih terlihat kegarangan dan keangkeran semasa masih hidupnya dulu.

Di sekeliling mayatnya bertebaran bubuk wangi anti pembusukan, sementara tangan kanannya tergeletak sebuah gada bergigi Long ya pang yang amat besar.

Cahaya yang berkilauan berasal dari gigi putih yang memenuhi kepala gada, tampaknya senjata andalannya semasa masih hidup.

Hanya memandang sekejap Kim-hi sudah tahu berat senjata itu paling tidak  tujuh-delapan puluh kati, bila lengannya tak memiliki kekuatan ribuan kati, jangan harap bisa menggunakan senjata macam itu dengan leluasa.

"Tahukah kau siapa orang ini?" tanya Ong- losiansing.

Kim-hi menggeleng.

"Tentu saja kau tak kenal, usiamu masih kelewat muda," ia menghela napas panjang, "tapi tiga puluh tahun berselang, Thian-long si serigala langit pernah malang melintang di kolong langit dengan mengandalkan gada Long ya pang, waktu itu siapa yang tak kenal nama besarnya? Apalagi jago pedang, begitu mendengar namanya pasti ketakutan setengah mati, begitu takutnya seperti bocah cilik yang takut harimau."

"Kenapa kau mengatakan khususnya para jago yang memakai pedang?"

"Karena orang tuanya tewas di ujung pedang orang lain, karena itu dia khusus menciptakan Long ya pang yang maha berat, bahkan mempelajari serangkai jurus istimewa khusus untuk menghancurkan ilmu pedang berbagai perguruan kenamaan. Karena pedang itu ringan, maka senjata ini merupakan lawan tandingnya."

Setelah mengatur napas, kembali terusnya, "Dari lima belas orang jago pedang kenamaan yang diakui umat persilatan saat itu, paling tidak ada sepuluh orang yang tewas oleh Long ya pang. Bahkan Cing Hong-cu, salah satu dari empat jago pedang Bu tong pay pun tak lolos dari bencana ini."

"Aku tak percaya kalau dia memang sangat lihai, kenapa akhirnya tewas di tangan orang lain?"

Ong-losiansing tidak langsung menjawab, sambil tertawa dia menghampiri sepuluh peti mati yang ada di dekatnya dan membuka penutupnya satu per satu, tertampak sepuluh sosok mayat. Biarpun semua mayat itu masih tersimpan baik namun dapat dilihat kematian mereka sangat tragis, kebanyakan tulang tengkoraknya hancur berantakan, ada pula yang tulang rusuknya patah dan hancur.

Karena itulah walaupun semua jenazah masih tersimpan rapi, namun justru terasa seram dan menakutkan.

"Mereka sepuluh jago pedang yang tewas di tangannya," Ong-losiansing menuding seorang Tojin berkopiah yang berada di antara mayat- mayat itu dan tambahnya, "Dialah Cing Hong-cu, jago pedang dari Bu tong pay yang serangannya paling ganas, tajam dan telengas."

Sambil berpaling ke arah Kim-hi, katanya kemudian, "Sekarang kau sudah percaya bukan?"

Kim-hi membungkam, tapi matanya terbelalak lebar, mengawasi mulut luka mematikan di tenggorokan Thian-long.

Mulut luka itu sangat kecil, jelas dia tewas karena tusukan pedang.

"Aku tetap tak percaya," tiba-tiba Kim-hi berseru sambil tertawa dingin.

"Apalagi yang membuatmu tak percaya?" "Kalau memang Long ya pang sanggup

menjebol pertahanan pedang para jago, kenapa akhirnya dia pun tewas karena tusukan pedang?" "Bagus, pertanyaan bagus, masuk akal." "Pertanyaanku memang masuk akal, kuatirnya jawabanmu yang tak masuk akal."

"Belum tentu."

"Belum tentu bagaimana?"

"Yang masuk akal pun belum tentu masuk akal, yang tak masuk akal pun belum tentu tak masuk akal," kata Ong-losiansing, "tak ada peristiwa yang tak akan berubah di kolong langit, oleh karena Thianlong khusus menghancurkan ilmu pedang orang, maka dia pun pasti akan tewas oleh tusukan pedang lawan."

"Bagaimana matinya?"

"Dia bisa mati di ujung pedang lawan karena ada seseorang yang kesemsem dengan pedang telah tiba di sini, dia menghabiskan waktu selama tiga tahun untuk mempelajari mayat kesepuluh jago pedang itu, dari luka mematikan di tubuh jenazah itu, dia berhasil mempelajari dan menganalisa setiap perubahan jurus dan setiap sasaran yang dipakai Thian-long untuk menghabisi lawannya. Kemudian dari perubahan ilmu silat mereka dia menciptakan ilmu pedang baru yang khusus digunakan untuk menghadapi serangan Thian-long."

Dia menarik napas, sesaat kemudian lanjutnya, "Oleh karena itulah tiga tahun kemudian si orang yang gila pedang keluar dari sini, mencari Thian- long dan menantangnya berduel. Tak sampai sepuluh gebrakan kemudian ia berhasil menghabisi nyawa Thian-long di uj ung pedangnya."

Kim-hi tidak bicara lagi, akhirnya dia paham kenapa Hing Bu-bing rela menjaga orang mati di tempat semacam itu. Karena dia hendak mempelajari aliran silat Yap Kay, yang paling penting lagi adalah cara menghadapi pisau terbang Siau-li.

Biarpun antara Yap Kay dan Hing Bu-bing tak punya dendam apa-apa, namun generasi mereka sebelumnya justru punya ikatan dendam kesumat yang sangat dalam.

Siangkoan Kim-hong tewas di ujung pisau terbang milik Li Sun-hoan, karena itu Hing Bu- bing ingin membalas dendam, dia harus menyelidiki dan mempelajari dulu rahasia Siau-li si pisau terbang. Itulah sebabnya dia datang ke sana.

Karena Yap Kay jarang membunuh orang, maka Ong-losiansing pun mengatur strategi agar Yap Kay mau tak mau harus membunuh lawannya.

Begitu memahami rahasia itu, perasaan Kim-hi semakin dingin dan bergidik.

Hing Bu-bing adalah seorang gila pedang, bila ia tahu di kolong langit terdapat seorang jagoan tangguh macam Thian-long, tentu saja dia tak segan untuk mengorbankan segalanya untuk mengalahkan orang itu, bahkan harus mengalahkan dia dengan mengandalkan ilmu pedang. Maka dia pun tak segan untuk melanggar prinsip hidupnya, mendatangi tempat tinggal Ong-losiansing dan bersedia menjadi penjaga gudang harta.

Tentu saja tujuannya bukan hanya ingin membunuh jagoan macam Thian-long, yang paling utama adalah ingin menelusuri dan mempelajari aliran ilmu silat lawan dari mulut luka yang di tinggalkan pada mayat-mayat korbannya.

Menanti ia berhasil membuktikan apa yang diharapkan bisa diperoleh dari tempat ini, tak heran dia semakin tak bisa meninggalkan Ong- losiansing, karena di sinilah dia bisa memperoleh bahan yang dibutuhkan orang-orang yang tewas di tangan Yap Kay.

Kini dia sudah mendapatkan tiga sosok mayat, apakah dari ketiga sosok mayat itu sudah cukup baginya untuk mengungkap rahasia ilmu silat Yap Kay?

Tak tahan Kim-hi berpaling ke arah ketiga sosok mayat itu, tiga korban yang tewas karena dibunuh Yap Kay.

Ong-losiansing mengawasi gerak-gerik Kim-hi, mulutnya masih tak hentinya memberi penjelasan kegunaan mayat-mayat itu, ujarnya lagi, "Bagi seorang yang berpengalaman, tidak sulit baginya untuk melihat gerak serangan ilmu silat lawan dari mulut luka mematikan di tubuh korbannya, bahkan perubahan jurus, letak sasaran serta arah datangnya tusukan, sampai berapa besar tenaga yang digunakan pun tak sulit untuk ditelusuri dan diketahui."

Dipandangnya Kim-hi sambil tertawa, lalu tanyanya, "Apakah kau percaya?"

"Aku tidak percaya." "Tidak percaya?"

Tiba-tiba Kim-hi tertawa.

"Bukankah kau pun tahu, biar di hatiku seribu kali percaya pun di mulut tetap akan mengatakan tak percaya, kenapa mesti ditanya lagi?"

"Berarti kau sudah percaya pada semua yang kukatakan?" Ong-losiansing ikut tertawa.

"Tidak percaya, sepatah pun tak percaya." Ong-losiansing sengaja menghela napas.

"Kalau begitu kau pun tak perlu mendengarkan penjelasanku lagi, tak usah melihat keenam mayat itu."

"Tentu aku tak bakal melihatnya lagi, sekejap pun jangan harap, sebab...." gadis itu tertawa cekikikan, "sebab aku sudah melihatnya dengan jelas."

"Oya? Sejak kapan kau melihatnya?" "Ketika mulutku mengatakan tak bakal

melihatnya lagi."

"Kenapa  aku tak tahu?" sengaja Ong- losiansing membelalakkan mata. "Memangnya jika cewek melirik cowok, dia akan membiarkan sang cowok mengetahuinya?"

"Tapi mereka kan sudah mati."

"Benar, mereka sudah mati, tapi yang mati kan lelaki," Kim-hi tertawa, "dalam pandangan kaum wanita, laki tetap laki, mau dia hidup atau sudah mati."

"Bagus, bagus sekali," Ong-losiansing tertawa terbahak-bahak, "ucapanmu sangat bagus."

Dia tertawa tergelak, tidak demikian dengan Kim-hi, tiba-tiba paras mukanya berubah amat serius, katanya, "Aku benar-benar telah meneliti keenam mayat itu dengan seksama, bahkan menemukan satu hal yang sangat aneh."

"Oya, keanehan apa?"

"Keenam orang itu terbunuh oleh dua orang yang berbeda, tapi letak luka yang mematikan justru persis sama, satu-satunya perbedaan hanya terletak pada senjata, agaknya senjata yang digunakan untuk membunuh tidak sama."

Ketika Kim-hi selesai mengungkap hasil analisanya, segera ia memberi koreksi lagi, "Bukan luka keenam orang itu sama, yang tepat nomor lima dan nomor enam sama, nomor lima belas dan nomor enam belas sama, sedang nomor dua puluh lima sama dengan nomor dua puluh enam."

Dengan perasaan kagum Ong-losiansing manggut-manggut. "Bukan hanya letak lukanya berada di tempat yang sama, bahkan jurus serangan serta tenaga yang digunakan untuk menghabisi nyawa mereka pun sama, seolah menggunakan cara dan gerakan yang sama."

"Satu-satunya perbedaan hanya terletak pada senjata yang dipakai untuk membunuh," imbuh Kim-hi.

"Betul, yang satu menggunakan kepalan dan pisau terbang sedang yang lain menggunakan pedang," Ong-losiansing manggut-manggut.

"Benar, karena itu aku pun mempunyai satu pertanyaan lagi."

"Katakan."

"Baik Hing Bu-bing maupun Yap Kay tak mungkin belajar ilmu silat dari guru yang sama bukan? Tapi kalau ditinjau dari bekas luka yang ada di tubuh mayat itu, Hing Bu-bing seolah-olah bisa juga menggunakan ilmu silat yang dimiliki Yap Kay. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Ong-losiansing tertawa, dia belum menjawab.

"Masa Hing Bu-bing telah berhasil mempelajari ilmu silat yang dimiliki Yap Kay?" kembali Kim-hi bertanya.

"Bukan berhasil mempelajarinya, Hing Bu-bing hanya menganalisa dari luka yang ditinggalkan di tubuh mayat itu, lalu disesuaikan dengan jurus pedang yang dimilikinya dan mengulang kembali gerakan itu untuk menyerang lawan." "Maksudmu, bila Hing Bu-bing bisa membunuh orang-orang itu dengan menggunakan gerakan jurus yang dipakai Yap Kay, berarti tidak sulit baginya untuk membunuh Yap Kay?"

Ong-losiansing tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia hanya menatap si nona lekat- lekat, memperhatikan rambutnya yang hitam, jidatnya yang lebar, kemudian mengawasi tubuhnya yang mulai berisi hingga sepasang sepatunya yang ada sulamannya, akhirnya dia menghela napas panjang.

"Ai, aku tak habis mengerti, kenapa Yap Kay bisa tidak menaruh perhatian pada gadis semacam kau," Ong-losiansing menggeleng kepala sambil menghela napas, "yang benar dia itu telur busuk? Atau seekor babi?"

"Sebenarnya aku sendiri pun tak tahu manusia macam apakah dia itu," kata Kim-hi, "tapi syukurlah, sekarang aku sudah paham." "Lalu siapakah dia?"

"Dia itu bukan benda, juga bukan hewan, dia adalah manusia, sayang manusia yang sudah mampus."

Sebuah bukit yang amat tinggi.

Awan dan kabut tebal menyelimuti seluruh tanah perbukitan, membungkus rapat sebuah rumah yang terbuat dari kayu. Pho Ang-soat mengajak Keliningan balik ke dalam rumah itu.

Biarpun luka yang diderita Keliningan tidak mengenai bagian yang berbahaya, namun cukup membuatnya terluka parah.

Pho Ang-soat memang seorang jagoan dalam hal pengobatan, khususnya mengobati luka bekas tusukan. Pada hari ketujuh semenjak ketibaan mereka di sana, si Keliningan sudah sanggup turun dari ranjang dan melakukan pekerjaan.

Ketika Hong-ling atau si Keliningan terbangun dari alam mimpi, deru angin malam yang dilihatnya semalam kini sudah lenyap, sebagai gantinya dari luar rumah terdengar suara orang sedang membelah kayu.

Hong-ling tahu Pho Ang-soat sedang membelah kayu bakar, maka dia pun turun dari ranjang, mengenakan mantel dan berjalan keluar, berdiri bersandar di pagar sambil mengawasi gerak-gerik Pho Ang-soat dengan seksama.

Dia sedang membelah kayu dengan cara yang aneh, bermanfaat dan indah, gerakannya tidak terlampau cepat, kapak yang digunakan pun tidak tajam, tapi setiap kali kapaknya membelah kayu bakar, terpercik api seperti ada serentetan mercon sedang meledak.

Hong-ling mengawasi pemuda itu, dia mulai kesemsem. Menunggu hingga dia berhenti menyeka keringat, Pho Ang-soat baru menyadari perempuan itu sudah berdiri di pinggir pintu.

"Kau dapat tidur nyenyak di tempat ini?" tanya Pho Ang-soat sambil mengumpulkan belahan kayu bakar.

"Menurut kau?"

Hong-ling tertawa, tiba-tiba tersungging sekulum senyuman yang manis di ujung bibirnya yang putih pucat, seakan munculnya sekuntum bunga sakura di tengah awan putih.

Kembali Pho Ang-soat berpaling, mengawasi senyuman wanita itu. Tiba-tiba ia bertanya pada diri sendiri, mengapa ia mengajak kemari perempuan itu? Apa sebabnya ia berbuat begitu?

Perempuan itu tampak kesepian. Meski sedang tertawa, namun tertawanya terasa begitu sepi, begitu kesepian.

Bukankah kesepian pun langgeng menemani kehidupan Pho Ang-soat?

Ketika secara tiba-tiba ia menjumpai seorang wanita kesepian yang mirip nasibnya, bukankah wajar mereka gampang cocok satu dengan lainnya dan tak segan untuk menampungnya?

Semenjak munculnya kehidupan manusia, bukankah lantaran kesepian kemudian timbul perasaan dan akhirnya muncul bibit-bibit cinta?

Kabut pagi masih menyelimuti perbukitan, Hong-ling berdiri di balik kabut, ia mengawasi Pho Ang-soat yang sedang membopong setumpuk kayu bakar.

Ia bertanya, "Hari ini kau ingin makan apa?"

Sebenarnya Pho Ang-soat sudah mulai melangkah pergi, tapi ia segera menghentikan kakinya begitu mendengar pertanyaan itu, dengan sorot mata ragu ditatapnya perempuan itu.

"Hari ini kau ingin makan apa?" kembali Hong- ling bertanya sambil tertawa, "biar aku yang turun ke dapur."

"Kau? Kau pandai memasak?" "Jangan lupa, aku seorang wanita."

"Aku tidak lupa, hanya sulit bagiku untuk menyatukan antara kau dengan urusan dapur."

"Oh, kau takut aku mencampuri hidangan dengan racun?" ia menatap pemuda itu dengan tajam.

"Kalau begitu masaklah!" Pho Ang-soat membalikkan badan dan menuju ke arah dapur.

Memandang bayangan punggungnya yang lenyap di balik pintu dapur, kembali Hong-ling tertawa.

"Di saat kau selesai bersantap nanti, akan kau sadari bahwa pandanganmu sebenarnya keliru besar."

Daging babi masak daun berambang, oseng- oseng ayam pedas, sepiring dadar telur ditambah semangkuk kuah kaldu ayam yang gurih membuat Pho Ang-soat sekaligus menghabiskan empat mangkuk nasi.

Mengawasi sisa hidangan di piring, terpancar perasaan kagum dari balik mata pemuda itu.

"Seorang temanku pernah mengucapkan sepatah kata kepadaku, sebenarnya aku kurang begitu percaya, tapi sekarang kusadari bahwa apa yang dia katakan memang masuk akal," kata Pho Ang-soat, "dia bilang, apakah seorang wanita pantas berdiam di samping seorang lelaki, hal ini tergantung mampukah dia menyiapkan hidangan lezat."

Hong-ling tertawa lebar.

"Oh, engkau sedang memujiku?" serunya, "atau ingin menarik keuntungan dari ucapan itu?"

Paras muka Pho Ang-soat tetap tampil dingin dan angkuh, kini sorot matanya telah dialihkan ke wajah Hong-ling, namun di balik biji matanya yang tajam muncul bayangan tubuh lain secara samar.

Sesosok bayangan yang tampak begitu jauh, tapi seolah makin mendekat. Sesosok bayangan tubuh yang langsing dan lembut.

Sesosok bayangan lembut bagai bintang fajar, sesosok tubuh yang memancarkan secercah cahaya, cahaya bintang.

Cui long! Sebuah nama yang begitu dikenal, tapi serasa juga begitu asing baginya.

Begitu teringat akan dirinya, sekilas perasaan sedih dan tersiksa kembali terpancar dari balik matanya, otot-otot hijau di tangan kirinya mulai menegang, giginya pun terkatup kencang di balik mulutnya yang merapat.

Dia menatap wajah Hong-ling, menunggu sampai otot hijau yang menegang di tangan kirinya mulai kendor, sepatah demi sepatah baru ia berkata, "Aku tak pernah mencari keuntungan dari orang lain, baik dari orang lelaki maupun perempuan."

Walaupun suaranya masih tenang, namun perasaan sedih dan tersiksa terpancar dari matanya semakin mengental, seakan tak ingin terlihat perempuan itu, maka begitu selesai berkata kembali ia berdiri, menggunakan cara berjalannya yang khas, selangkah demi selangkah meninggalkan dapur.

Hong-ling sama sekali tidak memandangnya, menanti pemuda itu lenyap di balik pintu, baru ia bangkit dan membenahi piring cawan di meja.

Saat itulah sinar matahari memancar masuk lewat jendela, mengusir kabut tebal dari sekeliling tempat itu, burung mulai berkicau, suasana terasa cerah kembali.

Sementara itu Yap Kay yang berada di luar kota Lhasa sudah bersiap melakukan penyelidikan ke dalam kebun monyet. Saat itu Be Khong-cun yang berada di Ban be tong telah mendapat laporan tentang hilangnya Pho Ang-soat.

Bantal masih berada dalam keadaan penuh, sedikit pun tak ada pertanda cembung ke dalam, seprei dan selimut pun masih tersusun rapi, sama sekali tak ada tanda pernah dipakai tidur.

"Sewaktu aku lewat di sini pagi tadi, pintu kamar masih dalam keadaan tertutup," lapor Kongsun Toan kepada Be Khong-cun, "aku mencoba berteriak dari luar, namun tiada jawaban. Akhirnya aku pun memaksa masuk, ternyata kamar sudah dalam keadaan kosong."

Be Khong-cun tidak memberi komentar, dia hanya termenung sambil berpikir.

"Aku rasa baru semalam Pho Ang-soat pergi dari sini," ujar Kongsun Toan lagi, "bila sekarang juga kita utus orang untuk melakukan pengejaran, aku yakin masih bisa tersusul."

"Kejar!" perintah Be Khong-cun dengan wajah dingin, "tak seorang pun boleh meninggalkan Ban be tong."

"Baik."

Kongsun Toan segera beranjak pergi, tinggal Be Khong-cun yang masih berdiri di depan kamar tidur Pho Ang-soat.

Walaupun sinar matahari pagi tak terlampau panas, tapi semakin meningginya sang surya, cahaya semakin menerangi ruangan kamar, menyinari wajah Be Khong-cun, membuat kerutan wajahnya nampak lebih jelas dan kentara.

Kerutan di wajah bukan hal yang memalukan, sebaliknya justru mencerminkan kebanggaan, karena setiap kerutan di wajahnya mewakili perjuangan hidupnya menentang bahaya dan maut. Seakan-akan dia hendak memberitahu kepada orang lain, jangan harap bisa merobohkan dia dengan gampang dalam hal apa pun.

Jangan mimpi bisa memaksanya membungkukkan pinggang.

Walau begitu, pancaran sinar matanya justru amat tenang dan penuh kedamaian, tak disertai sinar tajam yang menggidikkan.

Apakah penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selama ini telah mengikis keberingasannya?

Atau karena ia sudah pandai menyembunyikan ambisi dan napsunya?

Atau mungkin lantaran ia pernah mati satu kali?

Kini sepasang matanya sedang mengawasi pembaringan yang tak pernah dijamah itu. Dan pada saat itu pula tiba-tiba terdengar suara teguran berkumandang dari belakang tubuhnya.

"Selama ini kau baik baik saja bukan Be- lopan?"

Be Khong-cun segera berpaling, ia lihat seseorang telah duduk di depan pintu. Siau Piat-li muncul dengan kursi rodanya, saat itu dia sedang menatap Be Khong-cun dengan mimik muka aneh, agak tercengang dan sangsi.

"Sudah berapa lama kita tak bersua? Sepuluh tahun mungkin?" Be Khong-cun balik bertanya.

Siau Piat-li menghela napas panjang.

"Ya, sepuluh tahun sudah. Waktu berlalu begitu cepat, secepat awan putih di angkasa, dalam sekejap mata sudah sepuluh tahun kita tak bersua."

Ditatapnya wajah Be Khong-cun sesaat, kemudian ujarnya lagi, "Perjuangan hidup selama sepuluh tahun ternyata tidak meninggalkan bekas di wajahmu, penampilanmu saat ini tak jauh berbeda dengan sepuluh tahun berselang,  bahkan rambut pun tak nampak memutih."

"Manusia akan menjadi tua bila pikiran dan perasaannya berubah jadi tua."

"Oh, berarti pikiran dan perasaanmu sekarang sudah jauh lebih muda?"

"Nama besar Kwan tang ban be tong ibarat matahari di tengah hari, banyak orang menopangkan hidupnya di sini, mungkinkah bagiku untuk merasa tua? Dapatkah aku menjadi tua?" tiba-tiba Be Khong-cun menghela napas panjang.

"Tapi seingatku, Kwan tang ban be tong sudah dihancurkan sejak sepuluh tahun lalu," ujar Siau Piat-li menatapnya tajam, "bagaimana mungkin hari ini bisa muncul kembali?"

Mendadak mencorong sinar tajam dari balik mata Be Khong-cun, ditatapnya Siau Piat-li tanpa berkedip, kemudian tegurnya, "Siau-laute, baru berpisah selama sepuluh tahun, kenapa kau mulai termakan isu kosong dunia persilatan?"

"Isu dunia persilatan?" Siau Piat-li semakin tajam mengawasi rekannya.

"Betul, kabar bohong yang sengaja ditiupkan kaum Siaujin dari dunia persilatan."

"Oya? Berarti hanya kaum Siaujin yang percaya dengan kabar kosong itu?"

Siau Piat-li tertawa terbahak-bahak, sejenak kemudian tambahnya, "Wah, yang begini baru celaka, kalau seorang Kuncu mulai berbohong, biar membuat orang mampus pun rasanya tak perlu membayar ganti rugi."

"Terkadang berbuat begitu, rasanya juga tak akan merusak nama baik," sahut Be Khong-cun sambil tertawa, "bukankah begitu?"

"Boleh yang pertama jangan mengulang yang kedua, masa kau akan mengulang kembali perbuatan yang sama untuk kedua kalinya?"

"Untung  aku  cukup tahu diri, apalagi orang seperti aku paling enggan mengulang hal yang sama  untuk kedua kalinya," Be Khong-cun menunggu  gelak  tawa sendiri  mereda kemudian baru melanjutkan, "Tetangga desa bagai di ujung langit. Perumpamaan itu tak cocok kau gunakan untuk menggambarkan tentang hubungan kami."

"Oh, maksudmu?"

"Tempat tinggal kita begitu dekat, kita pun merupakan sahabat karib, tapi begitu tega hatimu, selama sepuluh tahun terakhir pernahkah kau datang menjengukku?"

Siau Piat-li tidak menanggapi, dia mendongakkan kepala dan menghela napas panjang.

Be Khong-cun tidak mengerti apa sebabnya ia menghela napas, segera tegurnya, "Siau-laute, persoalan apa yang membuatmu menghela napas panjang?"

"Walaupun sepuluh tahun tidak membuat kau bertambah tua, tapi sayang kau telah terjangkit satu penyakit."

"Penyakit? Penyakit apa?" "Penyakit pelupa" "Penyakit pelupa?" gumam Be Khong-cun

dengan wajah sangsi dan tidak mengerti.

Sambil menunjuk sepasang kaki sendiri, kembali Siau Piat-li berkata, "Masakah Be-lopan lupa bahwa kakiku cacad?"

Setelah menatap sekejap lawannya, ujarnya lebih lanjut, "Seandainya kakiku masih sehat dan mampu berlari cepat, sudah pasti akan kusambangi Be-lopan." Tentu saja Be Khong-cun memahami maksud perkataannya, air mukanya sedikit berubah, tapi cepat ia tertawa tergelak.

"Karena Siau-laute menegur kesalahanku, sudah sepantasnya aku mesti didenda... hari ini akan kubiarkan kau menghukumku sepuasnya."

"Menghukum aku tak berani," kata Siau Piat-li sambil tertawa, "sudah sepuluh tahun kita tak pernah minum arak, hari ini kita berdua minum sepuasnya."

Yap Kay melangkah di padang rumput berembun, mengenang kembali pembicaraannya pagi tadi dengan So Ming-ming, tanpa terasa ia tertawa.

"Kini langit sudah terang, apakah kita boleh segera berangkat?" tanya So Ming-ming.

"Tolong gunakan angka ganjil, jangan memakai angka genap," tiba-tiba Yap Kay mengucapkan kata yang aneh.

"Angka ganjil? Angka genap? Apa maksudmu?" tanya So Ming-ming tak habis mengerti.

"Maksudku, aku yang pergi, bukan kita berdua."

"Aku?" akhirnya mengerti juga So Ming-ming maksud ucapannya, "jadi kau ingin pergi seorang diri?"

"Bukan ingin, tapi pasti. Apalagi kepergianku ini bukan mau jalan-jalan di pasar, jadi tak perlu berdua." "Justru karena berbahaya maka aku ingin pergi berdua, paling tidak ada yang diajak bicara," seru So Ming-ming, "apalagi semalam Kim-hi bisa jadi sudah mendatangi kebun monyet, aku semakin punya kewajiban untuk pergi mencarinya."

"Kalau begitu kau lebih tak boleh ikut." "Kenapa?"

"Bila orang kebun monyet menggunakan Kim-hi sebagai sandera lalu mengancammu, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku "

"Kalau aku kan berbeda, hatiku terkadang seperti baja keras, di saat harus keras tak bakal hatiku melunak."

"Tapi... bagaimana kalau muncul bahaya yang mengancam?" tanya So Ming-ming penuh rasa kuatir, "masa kau pergi sendirian?"

"Tak mungkin ada bahaya, karena aku akan berkunjung secara terang-terangan."

"Berkunjung secara terang terangan?"

"Betul, bukan masuk dengan melompati pagar rumah, tapi masuk secara terang-terangan lewat pintu gerbang."

Biarpun air embun telah membasahi sepatu yang dikenakan Yap Kay, namun dia tak ambil peduli, sebab dari sini ia sudah dapat melihat pintu gerbang kebun monyet. Setelah berada di depan gerbang, Yap Kay baru merasa bahwa dinding pagar di situ amat tinggi, bahkan ketinggiannya mencapai lima atau enam orang ditumpuk menjadi satu.

Pintu yang semula tertutup rapat, kini dalam keadaan terbuka.

Tampak di tengah halaman yang luas terbentang sebuah jembatan berliku sembilan, di bawah jembatan mengalir air yang jernih dan bening.

Pada ujung jembatan berdiri sebuah gardu segi delapan, dalam gardu terlihat ada dua orang sedang bermain catur.

Biarpun dari kejauhan tak nampak jelas paras muka kedua orang itu, namun dari dandanannya Yap Kay berani memastikan kedua orang itu adalah Tui hong siu dan Gwe-popo.

Waktu itu Gwe-popo sedang bertopang dagu sambil memegang sebiji catur, namun sampai lama belum juga diletakkan, kelihatannya nenek itu sedang berpikir posisi yang lebih tepat.

Sementara Tui hong siu sedang menatapnya dengan wajah tersenyum, bukan saja bangga, bahkan terkesan dia sedang mengejek pasangannya, "Mau kau taruh kemana biji catur itu?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar