Tusuk Kundai Pusaka Jilid 06

 
Jilid 06

Yak-bwe terkejut, buru-buru ia berkata: ”Ah, jangan sampai merepot! Tok-ko-heng, aku

memang mempunyai adat aneh, yakni tak suka tidur sekamar dengan orang, melainkan senang tidur seorang diri di sebuah kamar yang sunyi.”

”Ah, benar-benar ia seorang yang terus terang. Biasanya seorang tetamu itu tentu menurut peraturan tuan rumah, sebaliknya ia tak sungkan mengajukan permintaan. Ah, rupanya ia tak mau membikin repot tuan rumah,” pikir Tok-ko Ing.

”Aku mempunyai sebuah kamar buku yang lumayan bersihnya. Entah mencocoki tidak selera Su toako?” katanya sembari memapah Yak-bwe menuju ke sebuah kamar buku.

Ternyata kamar buku itu indah dan rajin. Di atas dinding dari rak buku digantungi lukisan. Sementara pada tepi jendela di mana sebuah meja tulis, pun dijajar vaas-vaas bunga. Dupa wangi di perapian masih mengepulkan hawa yang harum. Berhadapan dengan lemari buku, terdapat sebuah dipan yang tak berkasur, melainkan sebuah bantal saja. Rupanya dipan itu dibuat tempat Tok-ko

Ing berbaring di kala ia membaca.

”Su toako, jika kau senang dengan kamar ini, biarlah kusiapkan kasur,” kata dara itu.

”Ya, ya, bagus benar! Sungguh tak kira nona ini juga seorang penggemar buku. Di kamar sini terdapat sekian banyak buku. Huruf pada lukisan itu, sungguh kuat sekali ekspresinya. Aha, kiranya syair gubahan Tu Fu!” demikian Yak-bwe memuji.

Tu Fu dan Li Pai adalah dua dewa penyair yang disanjung pada jaman itu. Setiap buah karya mereka keluar, tentu segera menjadi buah deklamasi pada setiap mulut orang. Tetapi buah sajak yang ditulis oleh tangan kedua penyair termasyhur itu, jarang sekali dapat diperoleh.

Syair yang tergantung di dinding kamar buku Tok-ko Ing itu ternyata buah tulisan dari penyair

Tu Fu. Yak-bwe pernah melihatnya dan seketika timbullah gelora hatinya untuk mendeklamasikan sajak itu. Kiranya sajak itu digubah oleh Tu Fu ketika ia di kota Lim-pin melihat anak murid dari Kong-sun toa-nio yang bernama Li Sip-ji-nio memainkan pedang. Tertarik oleh permainan pedang si nona yang sedemikian indahnya, penyair itu telah menarikan pit, mempersembahkan sebuah sajak pujian.....

”Syair indah, syair indah!   Datangnya bagaikan halilintar mengumbar kemarahan, gemuruh laksana ombak laut memancar sinar mengkilap. Ah, ilmu pedang yang telah mencapai tingkatan semacam itu, sungguh tak dapat dibayangkan oleh pikiran,” Yak-bwe memuji. Tapi dalam pada itu ia merasa heran juga dan bertanya: ”Syair ini digubah oleh Tu Fu untuk dipersembahkan kepada Li Sip-ji Nio. Mengapa bisa berada di tempat nona sini?”

Tok-ko U tertawa menyahut: ”Adikku itu adalah sumoay dari Li Sip-ji Nio. Kami kakak beradik berlainan suhu.”

Yak-bwe terbeliak kaget, tegasnya: ”Apakah Kong-sun toanio masih hidup? Bukankah beliau sudah hampir berusia ratusan tahun?”

”Beberapa tahun yang lalu suhuku sudah menutup mata. Benar Li Sip-ji Nio itu toa-suciku, tapi kepandaianku itu adalah toa-suci yang mengajarkannya. Toa-suci amat memanjakan sekali kepadaku. Ketika tahun yang lalu toa-suci lewat di sini, karena tahu aku gemar akan syair Tu Fu, maka serangkai syair gubahan Tu Fu itu diberikan kepadaku,” kata Tok-ko Ing.

Sebaliknya kini Tok-ko U yang balas bertanya dengan heran: ”Menilik Su-heng begitu gemar akan syair, rasanya tentu seorang keturunan sasterawan. Tetapi mengapa ceburkan diri dalam kalangan loklim?”

Sahut Yak-bwe: ”Ya, begitulah kalau mau dikata, memang aku pernah membaca sedikit sajak. Tok-ko-heng tanya kepadaku mengapa terjerumus dalam kalangan loklim, ah, hal itu lebih baik tak kukatakan saja.”

Sebenarnya Yak-bwe hendak merangkai suatu cerita, tapi dikarenakan ia tak biasa berbohong, dalam saat-saat yang mendesak ia sudah tak dapat mengatur ceritanya. Sebaliknya Tok-ko U mengira kalau tetamu itu mempunyai hal-hal yang sukar dikatakan. Ia pun tak mau mendesak lebih jauh. Buru-buru ia alihkan pembicaraan:

”Su-heng seorang yang pandai ilmu sastera dan mahir ilmu silat, sungguh patut dikagumi. Di dalam negeri yang kacau ini, pahlawan-pahlawan bermunculan dari kalangan loklim. Mengapa Su- heng mengatakan terjerumus?”

Habis berkata kembali Tok-ko U membatin: ”Ah, kiranya ia seorang pendatang baru di dunia loklim, makanya ia begitu hijau sekali. Sedikitpun tak menyerupai seorang penjahat, tetapi lebih mirip dengan seorang sasterawan.”

Dalam pada itu, datanglah seorang pelayan membawa kasur.

Setelah mengatur tempat tidur bagi sang tamu, lalu berkatalah Tok-ko Ing: ”Sudahlah, jangan tarik lidah lebih lanjut. Ayo, kira rawat luka Su toako.” -- Setelah itu ia minta Yak-bwe supaya berbaring di atas pembaringan darurat itu.

”Dalam hal kerjaan, seorang anak perempuan itu tentu lebih teliti. Ing-moay, untuk mengobati luka Su-toako, aku terpaksa harus minta bantuanmu,” kata Tok-ko U.

Hati Tok-ko Ing tergetar. Ia tundukkan kepala tapi tiba-tiba mulutnya pecah tertawa: ”Huh, koko, rupanya kau cerdik juga karena tahu diri.   Akupun tak mau mempersalahkanmu. Tuh, lihatlah, apa-apaan caramu membalut luka orang begitu macam? Malang melintang tak keruan, sampai lengan Su toako menjadi seperti buah semangka saja!”

Merahlah wajah Yak-bwe mendengar itu, katanya: ”Aku sendirilah yang membalutnya.” Tok-ko Ing sudah terlanjur mengata-ngatai, walaupun likat tapi terpaksa ia tertawa juga.

”Memang anak lelaki itu kebanyakan tak dapat mengurus diri sendiri. Su toako, tidurlah, biar kulumuri obat pada lukamu.”

Darah dari luka Yak-bwe itu sudah mengental dan melekat pada pakaiannya. Tok-ko Ing menanyakan kalau-kalau Yak-bwe membawa ganti pakaian.

”Dalam buntalanku itu terdapat dua stel pakaian yang baru kemarin kubeli, entah cocok tidak ukurannya,” kata Yak-bwe.

”Kau tak tahu bahwa Su-toako itu royal sekali. Kedua stel pakaiannya itu dibelinya dengan memakai biji emas.” Tok-ko U tertawa. Ia menuturkan peristiwa semalam yang terjadi di rumah penginapan.

”Su toako, kau balikkan tubuhmulah, biar kulepas bajumu. Koko, tolong ambilkan semangkuk

air hangat,” kata Tok-ko Ing. Nyata dara itu hendak mencuci luka Yak-bwe dengan air hangat, baru kemudian dilumur obat dan dibalut.

Sebaliknya wajah Yak-bwe menjadi merah. Katanya dengan berbisik: ”Ah, tak usah begitu repot-repot. Apakah kau punya gunting?”

”Gunting? Mau buat apa?” sudah tentu Tok-ko Ing menjadi heran.

”Cukup gunting saja lengan baju di dekat luka itu, kan dengan begitu boleh lantas dicuci dan dilumuri obat,” jawab Yak-bwe.

Diam-diam Tok-ko Ing menggerutu dalam hati: ”Katanya seorang hohan dari loklim, tapi

ternyata lebih pemaluan dari seorang gadis pingitan. Aku bersikap bebas, sebaliknya ia sungkan akan pergaulan wanita dan pria.”

Tapi ia pun terpaksa mengambilkan gunting dan melakukan permintaan Yak-bwe tadi. Setelah mencuci bersih, barulah ia melumuri luka itu dengan obat lagi.

Tok-ko U datang dengan membawa poci teh-som, katanya: ”Kau sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, tentu merasa haus. Poci yang berisi teh-som ini, akan dapat menghentikan hausmu. Besok pagi jika lapar, barulah kau makan hidangan ini.” Yak-bwe tergerak hatinya dengan kebaikan tuan rumah. Ia menghaturkan terima kasih dan mempersilahkan supaya kedua saudara Tok-ko itu juga beristirahat.

”Aku tidur di sebelah depan sana. Jika tengah malam memerlukan apa-apa, panggil saja, jangan sungkan-sungkan,” kata Tok-ko U.

Kembali Yak-bwe menghaturkan terima kasihnya. Setelah kedua saudara itu tinggalkan kamar situ, timbullah kekuatiran pada hati Yak-bwe jangan-jangan nanti tengah malam Tok-ko U benar- benar berkunjung ke situ lagi. Ia menggeliat bangun untuk menutup jendela. Setelah itu barulah ia leluasa ganti pakaian lalu masuk tidur.

Bermula hatinya memang masih kebat-kebit, tapi karena letihnya, tak lama kemudian ia sudah jatuh pulas. Entah sudah berapa lama ia kelelap dalam impiannya di pulau kapuk itu, hanya ketika ia sadar segera ia dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Buru-buru ia bangun.

”Tok-ko-heng, aku tak memerlukan apa-apa, silakan tidur kembali,” buru-buru ia berseru. Di luar kamar terdengar suara ketawa mengikik: ”Akulah, Su toako. Hari sudah terang, ini kubawakan santapan pagi untukmu.”

Kiranya yang mengetuk pintu itu ialah Tok-ko Ing. Waktu Yak-bwe membukakan pintu, dara

itu tertawa: ”Mengapa jendelanya juga kau tutup rapat-rapat? Apakah tidak kepanasan hawanya?” -

- Dara itu segera buka jendela agar dapat hawa dan sinar matahari pagi.

”Di waktu kecil aku takut pada setan, maka sudah menjadi kebiasaanku untuk menutup jendela kamar rapat-rapat. Harap kau jangan menertawakannya,” dengan pintarnya Yak-bwe mencari jawaban.

Sebetulnya Tok-ko Ing tak tertawa, tapi demi mendengar penjelasan itu ia menjadi geli juga, ujarnya: ”Kurasa hanya anak perempuan yang takut pada setan, siapa tahu kalian kaum gagah dari loklim juga jeri. Baiklah, sekarang sudah terang hari, tak usah takut setan lagi dan lekaslah makan santapan pagi.”

Tok-ko Ing menghidangkan makanan yang dibawanya itu di atas meja. Isinya terdiri dari empat macam masakan lezat dan semangkuk besar bubur.

Nikmat sekali tampaknya Yak-bwe makan.

”Masakan ini kumasak sendiri, kukuatir jangan-jangan kau tidak doyan,” kata Tok-ko Ing.

Yak-bwe tertawa dan berkata: ”Nona Tok-ko benar-benar serba pandai. Pandai sastera, mahir ilmu silat dan ahli masak.  Entah siapakah di kemudian hari yang beruntung ”

Wajah Tok-ko Ing merah jengah lalu cepat-cepat menyelanya: ”Su toako, apa katamu?!” Kini barulah Yak-bwe gelagapan dan sadar bahwa dirinya sedang menjalankan rol sebagai seorang pemuda. Buru-buru ia telan kembali separuh ucapannya yang sedianya berbunyi

menyunting dara jelita yang cerdik cendekia itu. Cepat ia tertawa meringis dan mengalihkan haluannya.

”Mungkin usiamu tak terpaut banyak dari aku, tapi segala apa kau dapat mengerjakan, sebaliknya aku tak mengerti apa-apa. Terus terang kukatakan, aku sungguh ingin seperti dirimu!” katanya.

Yak-bwe katakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sebagai seorang gadis. Sebaliknya Tok-ko Ing telah menerimanya lain. Wajah dara itu menjadi lebih merah lagi.

”Celaka! Aku salah omong lagi,” Yak-bwe mengeluh dalam hati, ”menyaru jadi anak lelaki, kiranya bukan hal yang mudah.”

Buru-buru ia tundukkan kepala dan menghirupi bubur untuk menutupi perubahan kerut

wajahnya. Selama beberapa saat kemudian, barulah ia mendongak lagi. Demi melihat sorot mata Tok-ko Ing yang ditujukan kepadanya itu tak mengandung kemarahan, legalah perasaan Yak-bwe. ”Su toako, kau masih terlalu merendah diri.  Kaulah yang pantas disebut seorang bun-bu-coan- cay (pandai sastera dan ilmu silat),” tiba-tiba Tok-ko Ing berkata dengan tersenyum.

Kesempatan itu telah digunakan Yak-bwe untuk mengalihkan persoalan, katanya: ”Dulu hanyalah Li Pai itu saja yang kuketahui suka bergaul dengan kaum hiap-su (orang gagah) dan mengerti ilmu pedang. Kini setelah melihat Tu Fu mempersembahkan syairnya kepada suci-mu, barulah terbuka mataku bahwa beliau (Tu Fu) itu seorang ahli pedang juga yang jempol.” ”Bagaimana kau ketahui ia seorang ahli?” tanya Tok-ko Ing. ”Kalau tidak masakan ia dapat melukiskan permainan pedang suci-mu itu sedemikian indahnya?” balas Yak-bwe.

Tok-ko Ing tertawa: ”Menurut pendapatku, Tu Fu tak mengerti ilmu pedang tapi tahu menikmatinya. Ya, memang begitulah.”

”Tahu menikmati, itulah juga seorang ahli,” sahut Yak-bwe.

”Su-toako, kenal baik aku dengan Toan Khik-sia?” tiba-tiba Tok-ko Ing mengajukan pertanyaan. Jantung Yak-bwe berdetak keras dan tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Sahutnya: ”Tak begitu akrab. Mengapa kau tanyakan hal itu?”

”Tadi ketika kau katakan bahwa Li Pai itu gemar bergaul dengan kaum hiap-su, teringatlah aku.

Li Pai dengan Toan Kui-ciang tayhiap itu mempunyai hubungan yang karib sekali. Rasanya kau tentu sudah mengetahui hal itu. Sayang Toan tayhiap itu siang-siang sudah menutup mata hingga kita dari angkatan muda ini tak sempat lagi untuk menjumpainya. Entah sampai dimanakah kesaktian ilmu pedang dari tokoh yang pernah disanjung oleh penyair Li Pai itu?”

Belum Yak-bwe menyahut, Tok-ko Ing sudah melanjutkan kata-katanya pula: ”Kabarnya ilmu pedang dari Toan Khik-sia itu lebih lihay lagi dari ayahnya. Pernahkah kau menyaksikannya?” Mendengar Toan Khik-sia dipuji-puji, diam-diam Yak-bwe girang dalam hatinya. Tapi pura- pura ia bersikap dingin dalam memberi jawaban. ”Mungkin begitulah, tapi aku belum pernah menyaksikannya.”

Diam-diam heran Tok-ko Ing dibuatnya, pikirnya: ”Menilik gelagatnya, mungkin pergaulannya dengan Toan Khik-sia itu hanya biasa saja. Ini aneh juga, biasanya peribahasa mengatakan 'warna itu tentu mencari warna'. Tapi rupanya hal itu tak berlaku baginya. Ia tinggal di satu markas dengan Toan Khik-sia, tapi mengapa tak mau mencari kesempatan untuk bergaul rapat?”

Dalam menimang begitu, dilihatnya pintu kamar dari engkohnya (Tok-ko U) yang berada di sebelah muka sudah terbuka. Dan masuklah Tok-ko U dengan tertawa-tawa: ”Moaymoay, kiranya kau sudah lebih pagi datang kemari.”

”Siapa yang mau meniru kemalasanmu? Hari sudah begini siang kau masih dekam di pembaringan. Sikap begitu berarti tak mempedulikan tetamu,” Tok-ko Ing jebikan bibirnya. ”Mempunyai seorang adik rajin seperti kau, masakan aku masih perlu membanting tulang?” Tok-ko U membantah disertai tertawa.

Mendengar dalam nada ketawa engkohnya itu mengandung sesuatu yang dalam artinya, tanpa terasa berdebarlah hati Tok-ko Ing.

”Bagaimana Su toako, apa sudah baikan?” tanya Tok-ko U.

Yak-bwe mengiakan: ”Ya, sudah banyak baik. Lihat, aku sudah makan begini banyak.”

”Ya, sekarang bolehlah anak panah itu dicabut. Ing-moay, kau cermat dan tangkas. Mencabut panah di lengan Su toako nanti lagi-lagi mesti minta tolong padamu,” kata Tok-ko U.

Tok-ko Ing tahu bahwa sang engkoh memang sengaja supaya ia bergaul rapat dengan 'pemuda cakap' itu. Iapun sungkan menolaknya: ”Koko, kau memang cari enak saja, segala apa suruh aku yang mengerjakan. Baiklah, tapi kaupun harus bekerja sedikit. Harap kau sediakan obat-obat yang akan dipakai.”

”Siang-siang aku sudah menyediakannya,” sahut Tok-ko U.

Yak-bwe merasa tak enak hatinya: ”Nona Tok-ko, aku sungguh banyak merepoti kau saja.” Tok-ko Ing tertawa: ”Su toako, aku hanya bergurau dengan koko, harap kau jangan menaruh di hati. Kau adalah sahabat baik dari koko, kau terluka dan sudah seharusnya aku merawati.” ”Ing-moay, kau seharusnya berterima kasih juga kepadaku,” Tok-ko U menggoda.

”Terima kasih? Jangan ngaco!” teriak Tok-ko Ing.

”Ya, terima kasih karena kubawa Su toako kemari. Kau belajar pedang pada suci-mu, tetapi selama ini tak ada lain orang yang mengujimu. Su-toako adalah seorang ahli pedang yang jempol, nanti kau boleh banyak belajar padanya,” kata Tok-ko U.

Bermula Tok-ko Ing kuatir kalau sang koko akan menggodanya lebih lanjut, tapi mendengar keterangan itu, ia bergirang hati. Dengan hal itu dapatlah ia lebih banyak mendekati Yak-bwe. ”Ya, benar, memang akupun mempunyai hasrat begitu. Mudah-mudahan Su-toako lekas sembuh,” sahut Tok-ko Ing. ”Kau adalah murid kesayangan Kong-sun toanio, akulah yang selayaknya mengangkat guru padamu. Mengapa kau begitu sungkan padaku?” kata Yak-bwe.

”Ai, janganlah kalian berdua saling sungkan. Begitu nanti Su-toako sudah sembuh, kalian boleh saling uji kepandaian, agar aku pun dapat menikmati,” Tok-ko U menengahi.

Walaupun kurang pengalaman, namun Yak-bwe tahu juga akan gelagat, sikap dan ucapan orang. Diam-diam ia geli dalam hati: ”Agaknya nona ini ada maksud kepadaku. Engkohnyapun setuju, malah mendorong. Tapi sayang, mereka salah alamat.”

Yak-bwe kuatir kalau sampai rahasianya ketahuan oleh kedua kakak beradik itu. Tapi setelah mendengar pembicaraan kedua saudara itu, ia merasa lega. Walaupun geli, tapi ia merasa terhibur juga.

Begitulah dengan hati-hati sekali Tok-ko Ing mulai mencabut panah yang mengeram di lengan

Yak-bwe. Karena kepalanya menunduk, rambut si dara pun terurai jatuh ke muka Yak-bwe. Begitu dekat sehingga keduanya sama mendengarkan denyut napas masing-masing. Pipi si dara makin merah dan berbisiklah ia: ”Sakitkah, Su-toako?”

”Tidak, terima kasih,” sahut Yak-bwe.

Tok-ko Ing merasa bahagia. Ia mempunyai perasaan yang sukar dilukiskan. Padahal pujian Yak-bwe itu bukan karena sungkan, melainkan benar-benar Tok-ko Ing itu seorang dara yang cekatan.   Setelah mencabut panah lantas melumuri obat. Yak-bwe tak merasa sakit dan amat berterima kasih kepada dara itu.

Sejak itu, berhari-hari boleh dikata Tok-ko Ing tak pernah berpisah dengan Yak-bwe.

Sebaliknya Tok-ko U jarang kelihatan. Hubungan Yak-bwe dengan Tok-ko Ing makin akrab. Luka Yak-bwe itu sebenarnya memang tak berat. Mendapat perawatan istimewa dari Tok-ko Ing, sembuhnya amat cepat.

Pada suatu hari ketika bangun, Yak-bwe coba gerak-gerakan lengannya. Ternyata sudah pulih seperti sediakala. Tok-ko Ing merasa girang, serunya: ”Su toako, dalam beberapa hari ini tentu kau merasa kegerahan.   Mari, kuantar jalan-jalan ke kebun bunga. Ya, Su-toako, nanti kau boleh memberi petunjuk tentang ilmu pedang padaku.”

Kala itu adalah pada permulaan musim semi. Ketika Yak-bwe ikut Tok-ko Ing ke dalam kebun bunga, dilihatnya bunga-bunga sama mekar. Taman di situ tak seberapa besar, tapi diatur indah sekali. Di sana sini tampak batu-batu berjajar, pagoda tempat peristirahatan dan jalanan-jalanan yang melingkar-lingkar. Setiap kuntum bunga, setiap batang pohon dan setiap gunduk baru diatur dengan sangat serasi. Pabila orang berjalan-jalan di dalam taman tampaknya mirip dengan orang di dalam lukisan.

Sudah beberapa hari Yak-bwe terkurung di dalam kamar. Berada di dalam taman yang seindah

itu, seketika longgarlah perasaannya, semangatnya nyaman segar. Dasar Yak-bwe itu seorang nona rupawan, dalam keadaan riang gembira, ia kelihatan makin cantik lagi. Ketika keduanya lewat di empang teratai, permukaan empang itu muncul sepasang muda mudi yang cakap. Tok-ko Ing mengawasi 'lukisan' yang terpantul dalam permukaan air itu, lalu berpaling memandang 'pemuda' cakap yang berada di dampingnya itu. Pikirannya melayang-layang: ”Ia benar-benar seorang pemuda yang serba cakap. Tak nyana bahwa dalam dunia loklim terdapat seorang tokoh semacam dia. Poa An yang disanjung orang sebagai tokoh Arjuna, rasanya belum tentu lebih tampan seperti dia.”

”Nona Tok-ko, apakah yang sedang kaupikirkan?” tiba-tiba Yak-bwe menegur sambil tertawa. Tok-ko Ing tersentak kaget dan buru-buru menyahut: ”Aku menimbang-nimbang akan minta kau mengajarkan ilmu pedang, entah maukah kau?”

”Mana aku berani unjuk kepandaian jelek. Lebih baik nona yang bermain dulu,” kata Yak-bwe. ”Baiklah, karena kau baru sembuh, bolehlah beristirahat dulu, biar aku yang memulai,” Tok-ko Ing mengiakan.

Setelah mencabut pedang, nona itu memutar tubuh. Sinar pedangnya tampak mengembang seperti untaian tali. Selanjutnya waktu pedang tergentak, mirip dengan gerak burung kuntul yang tersentak kaget, lincahnya seperti naga bermain. Gerakannya menimbulkan angin dingin yang menderu-deru hingga bunga-bunga sama bertaburan jatuh terbawanya. Benar-benar hebat, indah dan mempesonakan.

Yak-bwe bertepuk tangan memujinya dan mulutnya segera mendeklamasikan syair Tu Fu yang menyanjung puji keindahan ilmu pedang Li Sip-ji Nio itu ....

Tok-ko Ing menghentikan permainannya. Dengan setengah girang setengah aleman, ia berseru: ”Ilmu pedang suci-ku mungkin dapat disejajarkan dengan syair pujian itu. Tetapi aku, mana bisa memadai!”

”Aku belum pernah melihat permainan pedang suci-mu. Tapi menyaksikan permainanmu tadi saja, mataku sudah berkunang-kunang dan semangatku serasa terbang!” Yak-bwe tertawa. ”Mulutmu itu hanya pandai merangkai kata-kata untuk menyenangkan hati orang saja. Koko mengatakan, permainan pedangmu itulah baru tepat disebut sakti. Aku sudah mengunjuk permainan jelek, masakah kau masih tak mau memberi pelajaran?” Tok-ko Ing mengomel.

Yak-bwe juga terpikat semangatnya. Sebenarnya iapun ingin mengunjukkan kepandaiannya. Katanya: ”Sebenarnya tak ingin aku mengunjukkan diri, tapi kuatir mulutmu yang lancip itu akan berhamburan, maka terpaksa aku akan menuruti juga. Nona Tok-ko, biar kuberi jurus umpan padamu, tapi harap kau menaruh kasihan.”

”Aku mempunyai cara bermain yang baru. Kita masing-masing berdiri tiga tombak jauhnya, kemudian saling melontarkan serangan. Dengan begitu kita dapat menghindari salah melukai. Kita boleh keluarkan seluruh kepandaian masing-masing. Nah, bagaimana?” kata Tok-ko Ing.

Yak-bwe tahu kalau nona itu masih menguatirkan dirinya yang baru saja sembuh. Diam-diam Yak-bwe berterima kasih akan nona yang bijaksana itu.

”Ya, silahkan memulai lebih dulu,” katanya.

Sebagai tuan rumah, Tok-ko Ing tak mau sungkan lagi. Segera ia lancarkan jurus giok-li-tho- soh atau bidadari lemparkan tali. Untuk itu Yak-bwe menyambut dengan jurus tho-thau-po-li atau lemparkan buah tho membalas buah peer.

”Ah, Su-toako, kau terlalu banyak peradatan. Jangan sungkan-sungkanlah,” seru Tok-ko Ing tertawa.

Memang jurus tho-thau-po-li itu, mengandung maksud menghaturkan terima kasih atas kebaikan tuan rumah dan menyatakan hendak membalas budi.

Kini Tok-ko Ing kisarkan langkah dan menderu-derulah pedangnya. Sikapnya itu mirip seperti orang yang bertempur secara merapat dan jurus yang dilancarkan itu adalah jurus serangan yang lihay untuk melukai musuh.

”Ganas betul!” seru Yak-bwe dengan tertawa. Ia pun mengisar ke samping dan bolang- balingkan pedangnya. Sekali sang ujung kaki berputar, ia kembali ke tempatnya yang semula. ”Bagus, indah benar tangkisanmu itu!” Tok-ko Ing berteriak memuji.

Keduanya dengan tetap terpisah pada jarak tiga tombak, saling menyerang. Keduanya sama mengeluarkan jurus-jurus permainan pedang yang istimewa. Sekalipun terpisah jauh, tapi mereka sama bermain dengan sungguh-sungguh, seperti orang yang bertempur mati-matian. Dan justeru karena terpisah itu, keindahan gerak permainan mereka dapat kelihatan dengan jelas.

Dalam sekejap saja mereka sudah bertempur sampai 30-an jurus. Yak-bwe merasa heran demi melihat wajah Tok-ko Ing seperti orang melamun. Pikirnya: ”Saat ini sudah menginjak detik-detik yang meruncing. Mengapa ia tak pusatkan perhatian dan seperti orang melamun?”

”Awas serangan ini!” cepat ia membentak. Pedang ceng-kong-kiam diguratkan ke udara.

Begitu ujungnya tergetar, sinar pedang segera berubah menjadi berkuntum-kuntum rangkaian bunga.   Jurus itu disebut hud-kong-boh-ciau (sinar Budha memancar luas). Jurus ini merupakan jurus yang paling lihay dari ajaran ilmu pedang Bian Hui sin-ni.

Tok-ko Ing tersentak kaget. Ia mundur sampai tiga langkah. Tiba-tiba ia berseru: ”Hati-hati, serangan ini!”

Tubuhnya melambung ke udara, pedangnya berkembang menjadi sebuah lingkaran untuk mengurung tubuh Yak-bwe.

”Ilmu pedang yang indah!” mulut Yak-bwe meluncur pujian, tubuhnya pun berdiri tegak. Ia

ganti permainannya dengan jurus ciau-thian-it-cut-hiang atau menghadap ke langit dengan sebatang dupa. Untuk itu tubuhnyapun turut berputar-putar. Tok-ko Ing melayang ke tanah lagi. Kini keduanya tegak berhadapan. Pedang masing-masing saling ditudingkan tapi tidak melanjutkan serangannya lagi. Kiranya sampai pada babak itu, apabila dalam pertempuran sesungguhnya, pedang mereka tentu saling menempel dan di situlah pertandingan adu lwekang dimulai. Barang siapa yang lwekangnya lebih unggul, dialah yang menang. Sebaliknya barang siapa yang coba berusaha merubah gerakannya, ia tentu akan menderita.

”Ilmu pedang Kong-sun toanio, benar-benar tak bernama kosong. Aku sungguh kagum dan rela menyerah kalah,” kata Yak-bwe.

”Mana bisa.   Kau seorang lelaki, dalam hal tenaga tentu lebih kuat dari aku. Jika dalam pertempuran sesungguhnya, kalau sudah mencapai babak seperti ini, akulah yang seharusnya kalah,” sahut Tok-ko Ing.

Keduanya segera sama menyimpan pedangnya. Tiba-tiba Tok-ko Ing bertanya: ”Su toako, siapakah suhumu itu?”

Yak-bwe terkesiap, sahutnya: ”Pelajaranku tak becus, malu aku untuk mengatakan nama suhuku.”

”Su toako, ada sesuatu hal yang menjadi keherananku,” kata Tok-ko Ing. ”Dalam hal apa?” tanya Yak-bwe.

”Konon kabarnya Biau Hui sin-ni itu tak mau menerima murid lelaki, mengapa beliau mau melanggar pantangan itu?” kata Tok-ko Ing.

Diam-diam Yak-bwe terperanjat sekali. Kini baru ia insyaf bahwa Tok-ko Ing telah mengetahui aliran sumber perguruannya. Diam-diam ia menyesali dirinya sendiri: ”Ah, benera-benar limbung aku ini. Ia adalah anak murid Kong-sun toanio, sudah tentu ahli dalam ilmu pedang. Mengapa tadi aku sampai terlepas menggunakan permainan pedang sehingga ia dapat mengetahui?”

Setelah memutar otak sebentar, dengan tertawa meringis, ia berkata: ”Nona Tok-ko, matamu itu sungguh jeli sekali. Kalau begitu, mungkin sekali permainan pedangku tadi adalah berasal dari ajaran Biau Hui sin-ni.”

Keheranan Tok-ko Ing makin menjadi-jadi. Tanyanya: ”Aneh sekali ucapanmu itu. Masakan kau tak tahu sendiri ilmu pedang apa yang kau mainkan tadi?”

Yak-bwe tetap tertawa: ”Ya, terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa ilmu pedangku itu kuperoleh dari seorang wanita, tetapi bukan Biau Hui sin-ni.”

”Siapakah wanita itu?” desak si dara.

”Taci misanku yang bernama Sip In-nio,” jawab Yak-bwe. Dalam hal ini ia memang tak

berdusta seratus persen. In-nio lebih tua dua tahun darinya dan lebih dahulu yang belajar pada Biau Hui sin-ni. Ilmu pedang Yak-bwe sebagian besar memang In-nio yang mengajarkan.

Karena In-nio sering berkelana di dunia kangouw maka meskipun belum pernah berjumpa tapi Tok-ko Ing mendengar juga akan namanya. Tahu ia pula bahwa In-nio itu adalah anak murid Biau Hui sin-ni.

”Oh, kiranya kau ini adik misan dari Sip In-nio. Ah, tak heran kiranya,” kata dara itu dengan tiba-tiba nadanya berubah rawan, hatinya kecewa dan sikapnya berubah tak wajar.

”Aku adik misannya yang jauh urut-urutannya. Sejak masih kecil ayah bundaku meninggal, maka aku lantas tinggal pada keluarganya belajar ilmu surat. Setempo piau-ci (taci misan) itu mengajak aku berlatih ilmu pedang. Aku menyaksikan dari samping saja, tapi lama kelamaan

akupun bisa juga. Pernah piauci mengatakan bahwa pelajarannya ilmu pedang itu didapatnya dari seorang rahib tua. Tetapi aku tak tahu kalau rahib tua itu ternyata Biau Hui sin-ni adanya,” Yak- bwe memberi penjelasan.

Dingin-dingin si dara berkata: ”Baik benar piauci-mu itu kepadamu.   Ia sampai berani mengajarkan ilmu pedang padamu di luar tahu suhunya. Kabarnya piauci-mu itu adalah puteri dari seorang ciangkun. Tentunya kau enak tinggal di tempat kediamannya, mengapa tega meninggalkannya?”

”Aku tak ingin selama hidupku menjadi benalu (mengandalkan orang). Itulah makanya aku

pergi dari rumah keluarga Sip dan berkelana. Tak berapa lama aku berkenalan dengan thaubak dari Kim-ke-nia. Kutahu bahwa pemimpin Kim-ke-nia ialah Thiat-mo-lek itu bukan penyamun biasa. Lalu aku masuk ke dalam perserikatan mereka,” kata Yak-bwe.

Masih dengan nada tawar, Tok-ko Ing mengoloknya: ”Kau mempunyai cita-cita tinggi, tapi tidakkah dengan berbuat begitu berarti kau telah mengabaikan kebaikan piauci-mu?”

Sebenarnya Yak-bwe hendak menggodanya lebih lanjut yaitu akan mengatakan sekali bahwa ia sudah bertunangan dengan In-nio tapi demi melihat mata si dara mulai mengembeng air mata, ya, tinggal tunggu saatnya saja tentu akan ”hujan” (menangis), ia merasa tak sampai hati. Pikirnya: ”Biarlah nanti kalau diam-diam kupergi dari sini, kutinggalkan surat untuk menjelaskan diriku yang asli. Tapi kalau sekarang keuberitahukan siapa diriku ini, rasanya tak leluasa bagiku.”

”Ah, harap nona jangan memperolok diriku. Aku dengan piauci adalah ibarat loyang dengan mas. Aku hanya seorang kacung, ia seorang puteri ciangkun. Mana aku layak dituduh 'mengabaikan kebaikannya'?” katanya.

Dengan bantahan itu, hati si dara agak longgar, katanya: ”Sewaktu masih hidup, suhuku itu baik sekali hubungannya dengan Biau Hui sin-ni. Dua jurus paling akhir yang kau mainkan tadi, adalah jurus-jurus yang dikeluarkan ketika mereka berdua saling menguji kepandaian. Hal itu kudengar dari cerita suci-ku. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan Biau Hui sin-ni.”

”Oh, makanya tadi ia tampak melamun, kiranya aku dengan suhunya masih ada sedikit ikatan,” demikian pikir Yak-bwe.

Tok-ko Ing berkata pula: ”Su toako, jika kelak ada kesempatan, ingin benar aku berkenalan dengan piauci-mu itu. Ah, betapakah senangnya melihat seorang jelita yang memiliki ilmu pedang sakti!”

Dalam berkata-kata itu nada si dara terdengar risau, beberapa butir air mata menetes turun. Yak- bwe tahu bahwa dara itu mengandung hati cemburu. Diam-diam ia merasa geli sendiri.

Tiba-tiba seorang bujang perempuan datang. Setelah memberi hormat kepada Tok-ko Ing dan Yak-bwe, lalu melapor: ”Ada seorang tetamu datang. Kongcu minta siocia dan Su siangkong suka keluar menyambutnya.”

Diam-diam Yak-bwe merasa heran. Dan Tok-ko Ing lantas menanyakan siapakah tetamu itu. ”Seorang lelaki yang bertubuh tegar.  Kongcu memanggilnya Lu tayhiap,” sahut si bujang. ”Ai, tak peduli siapa, asal orang Kangouw tentu disebut tayhiap atau siauhiap,” Tok-ko Ing tertawa, ”Su-toako, mari kita melihat-lihat 'tayhiap' itu bagaimana orangnya.”

”Kalau ia (Tok-ko U) suruh adiknya turut menyambut tetamunya, itu sih tak mengapa. Tapi mengapa juga minta aku ikut menyambutnya. Rasanya aku tak kenal dengan orang she Lu itu,” pikir Yak-bwe.

Rupanya Tok-ko Ing tahu apa yang dipikirkan Yak-bwe. Ujarnya: ”Koko itu seorang yang cermat. Kalau ia minta kau keluar menemui tetamu itu, rasanya tentu tak apa-apa.”

Bermula Yak-bwe enggan pergi, tapi mendengar penjelasan si dara itu, ia merasa kalau tak ikut tentu bisa menimbulkan kecurigaan tuan rumah. Apa boleh buat terpaksa diapun segera ikut.

Di ruangan tetamu tampak Tok-ko U sedang menemani seorang lelaki pertengahan umur. Begitu tampak Tok-ko Ing dan Yak-bwe datang, buru-buru ia berbangkit.

”Ini adalah tokoh termasyhur di dunia kangouw, Sin-cian-chiu Lu Hong-jan tayhiap. Dan ini adalah Su Ceng-to toako dan adikku Tok-ko Ing,” kata Tok-ko U memperkenalkan mereka satu sama lain.

”Ing-moay, pendekar wanita Lu Hong-chiu yang kau kagumi itu, ialah adik perempuan dari Lu tayhiap ini,” kata Tok-ko U lebih lanjut.

”Ah, aku sungguh tak berani menerima pujian setinggi itu. Kalau berdua kakak beradik barulah pantas disebut sepasang pendekar yang dikagumi orang,” buru-buru Lu Hong-jun merendah. ”Oh, kiranya Sin-cian-chiu Lu Hong-jun, pantaslah kalau mendapat kehormatan disebut ”hiap” (pendekar). Hanya saja sorot matanya itu sungguh memuakkan orang,” diam-diam Tok-ko Ing membatin.

Ya, memang tak salah si dara mengatakan sang tetamu tidak sopan.  Tapi siapakah orangnya yang tak terkesiap melihat kecantikan dara itu? Pun tak terkecuali dengan Sin-cian-chiu Lu Hong- jun. Sampai dua kali ia memandang lekat-lekat pada Tok-ko Ing. Waktu si dara melirik kepadanya, buru-buru ia membetulkan tempat duduk lagi. Lain Tok-ko Ing, lain penerimaan Yak-bwe. Kalau si dara tak senang dengan sikap si tetamu, adalah Yak-bwe terperanjat melihat siapa yang datang itu. Pikirnya: ”Ah, kiranya dia itu engkoh dari Lu Hong-chiu. Celaka, aku pernah berkelahi dengan adiknya, entah apakah engkohnya ini sudah mengetahui jejakku, lalu suruh Tok-ko U minta aku supaya keluar menemuinya?” ”Mengapa leng-moay (adikmu) tak ikut serta?” tanya Tok-ko Ing pada tetamunya.

Memang biasanya kakak beradik she Lu itu selalu bersama barang kemana perginya. Itulah sebabnya maka Tok-ko Ing menanyakannya.

”Justeru kepergianku kali ini ialah karena hendak mencari adikku itu,” jawab Lu Hong-jun. Mendengar jawaban itu, legalah hati Yak-bwe. Nyata Hong-jun itu belum bertemu dengan adiknya.

”Sayang, tak bisa berjumpa dengan cici Hong-chiu,” kata Tok-ko Ing.

”Bulan yang lalu ia hadir dalam pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Kabarnya pada waktu itu tentara negeri mengadakan serangan besar-besaran. Itulah sebabnya aku menjadi kuatir,” menerangkan Hong-jun.

”Ha, kebenaran sekali Su-toako ini seorang hohan dari Kim-ke-nia juga,” seru Tok-ko U. ”Oh, kiranya ia ingin mencari keterangan tentang adiknya kepadaku,” pikir Yak-bwe. Buru-

buru ia berkata: ”Aku hanya seorang keroco Kim-ke-nia. Lu-lihiap seorang tetamu terhormat, mana aku berharga untuk melayaninya. Yang dapat kusaksikan hanyalah nona Lu itu sering bersama- sama dengan Toan Khik-sia.”

”Ya, benar.   Ia berjumpa dengan Toan-siauhiap di kota Tong-Kwan. Karena ia membantu sedikit kerepotan Toan siauhiap, maka Toan siauhiap telah mengajaknya pergi ke Kim-ke-nia,” sahut Hong-jun.

”Turut keterangan Su toako tadi, Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, Toan Khik-sia dan beberapa pemimpin Kim-ke-nia telah berhasil meloloskan diri. Menilik hal itu rasanya enci Hong-chiu tentu juga sudah lolos,” kata Tok-ko Ing. Tapi kesimpulan dara itu telah disambut dengan buah tertawa dari sang engkoh.

”Salahkah omonganku tadi?” sudah tentu Tok-ko Ing heran dan bertanya.

”Ha, ha, Lu toako bukan hendak mencari keterangan, sebaliknya ia malah hendak memberi kabar pada kita,” kata Tok-ko U.

”Ai, kabar apa?” tanya Tok-ko Ing.

”Dia telah bertemu dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat,” sahut Tok-ko U.

Kejut Yak-bwe bukan kepalang. ”Kalau ia sudah bertemu dengan mereka, berarti tentu sudah mengetahui rahasiaku. Apakah kedua orang itu minta tolong padanya untuk mencari aku?” pikirnya.

Tapi ia sekarang sudah terlanjur menyaru jadi anak buah Kim-ke-nia. Maka terpaksa ia kuatkan urat syarafnya dan berkata: ”Oh, bagus. Aku yang tertinggal dari barisan ini, ingin sekali mengetahui tempat tinggal Thiat cecu, agar lekas-lekas dapat menggabungkan diri. Apakah Thiat cecu memberitahukan pada Lu tayhiap?”

”Benar aku bersahabat baik dengan Thiat-mo-lek, tapi aku ini bukan orang loklim. Kemana pergi mereka, tak leluasa bagiku menanyakannya,” katanya. Dalam pada itu itu timbul kecurigaannya terhadap Yak-bwe: ”Aneh, dia seorang thau-bak dari Kim-ke-nia, mengapa tak mengerti sama sekali akan pantangan kaum loklim?”

Tapi segera ia melanjutkan ceritanya:

”Setelah berjumpa dengan mereka, barulah kuketahui, bahwa adikku tak kurang suatu apa. Itu sudah cukup melegakan hatiku. Tentang lain-lain urusan, aku tak punya banyak waktu untuk menanyakan. Tetapi ada sebuah berita yang boleh kusampaikan pada Su toako, bahwa sekalipun markas Kim-ke-nia pecah, namun kerugian jiwa anak buahnya tak seberapa besar.”

”Pernahkah Lu toako bertemu dengan Khik-sia,” tiba-tiba Tok-ko U mengajukan pertanyaan. Memang walaupun belum lama muncul di dunia kangouw, tapi nama Toan Khik-sia itu sudah cukup tenar, ya, boleh dikata menjadi buah bibir tiap orang lok-lim. Dalam hubungan itulah maka Tok-ko U mengajukan pertanyaannya.

”Belum pernah. Konon kabarnya ia sedang mencari bakal isterinya,” sahut Hong-jun. ”Siapakah calon isterinya itu?” tanya Tok-ko Ing.

”Memang rasanya kalian tentu tak bakal menduga bahwa bakal isterinyaitu adalah puteri dari Sik-ko, ciat-to-su dari Lo-cu,” jawab Hong-jun dengan tertawa.

”Ya, memang di luar dugaan. Toan Khik-sia adalah seorang lok-lim, mengapa bisa tersangkut dalam perkawinan semacam itu?” kata Tok-ko Ing dengan heran.

Kabarnya nona itu bukan anak sesungguhnya dari Sik-ko. Dahulu ayah bunda nona itu bersahabat baik dengan orang tua Toan Khik-sia, maka mereka lalu menetapkan perjodohan anak- anak mereka. Nona itu sekarang sudah tinggalkan rumah Sik Ko dan berkelana di dunia kangouw. Turut cerita Thiat-mo-lek, tali perjodohan kedua anak muda itu mengalami kejadian-kejadian yang mengherankan. Ya, jika hendak diceritakan satu hari satu malam rasanya takkan habis. Karena waktu itu kita tak mempunyai banyak waktu, jadi akupun tak mendengarkan dengan jelas,” menerangkan Hong-jun.

Sejak awal, Yak-bwe menjublek saja dengan perasaan kebat-kebit. Demi Hong-jun sudah mengakhiri keterangannya, barulah ia longgar napasnya. Pikirnya: ”Ya, ketika aku ribut-ribut dengan Khik-sia, telah merembet adiknya (Lu Hong-chiu).  Rupanya Thiat-toako dan Se-kiat sungkan menceritakan padanya.”

”Khik-sia mencari aku? Hm, apakah hal itu bukan alasan kosong agar ia dapat meninggalkan rombongan supaya dapat menemani Lu Hong-chiu? Hm, bukan sekali dua Khik-sia selalu menghina aku. Taruh kata ia sadar dan menyesali kekhilafannya, akupun tak sudi menghiraukannya lagi,” demikian pikirnya pula. Namun dalam hati kecilnya sebenarnya ia mengharap agar benar- benar Toan Khik-sia itu sedang mencarinya.

Kedua saudara Tok-ko dan kedua saudara Lu merupakan dua pasang kakak-beradik yang

terkenal di dunia kangouw. Satu sama lain saling mengagumi. Sebenarnya pertemuan dua pasang pendekar kakak beradik itu akan menggembirakan sekali, tetapi sayang Lu Hong-chiu tak ikut serta. Namun hal itu tak mengurangi kegembiraan mereka. Rupanya Tok-ko U cocok sekali dengan Hong-jun. Mereka berbicara dengan asyik sekali.

”Masih ada sebuah soal lain yang bagus sekali untuk kalian bertiga dengarkan. Soal itu timbul dari soal perkawinan Toan Khik-sia,” kata Hong-jun.

Kembali Yak-bwe terkesiap kaget dan buru-buru menanyakan hal itu.

”Bukankah tadi telah kukatakan tentang cerita Thiat-mo-lek mengenai pernikahan Toan Khik- sia itu? Pada waktu itu tiba-tiba Thiat-mo-lek berhenti bercerita. Ini bukan melainkan karena

panjangnya cerita yang dibawakan itu, pun karena ia sedang memikirkan suatu hal lain. Hal itu ia minta tolong akan bantuanku. Dengan mereka aku hanya berbicara selama dua jam. Kuatir waktunya tak cukup, maka Thiat-mo-lek terpaksa menunda cerita tentang Toan Khik-sia dan mengganti dengan lain cerita yaitu tentang pernikahan dari seorang lain lagi.”

Ternyata Tok-ko Ing itu gemar sekali mengetahui tentang urusan pernikahan orang. Maka

cepat-cepat ia menanya: ”Urusan pernikahan siapakah yang hendak dimintakan bantuan pada Lu- tayhiap itu?”

”Bo Se-kiat,” sahut Hong-jun.   ”Hal itu juga tak kurang menariknya. Ya, entah bagaimana secara kebetulan terdapat persamaan dengan pernikahan Toan Khik-sia. Gadis yang menjadi

idaman Se-kiat itu juga puteri dari seorang Ciangkun kerajaan. Walaupun kedudukan ciangkun itu tak setinggi Sik ciat-to-su, tetapi juga tak seberapa terpautnya.”

”Ha, Lu toako, jangan main teka-teki, terangkanlah siapakah gadis itu?” Tok-ko Ing mendesak. ”Ialah puteri dari Sip Hong, berpangkat Tin-siu-su dari Pok-ong-seng. Dalam dunia Kangouw nama nona itu sudah tak asing lagi, yaitu Sip In-nio.”

”Meskipun Sip In-nio itu puteri seorang Ciangkun, tapi ia lebih banyak berkelana di luaran, jadi juga termasuk golongan puteri Kangouw, sepadan dengan diri Bo Se-kiat,” kata Tok-ko U. ”Tetapi bagaimanapun kenyataannya ia itu puteri seorang ciangkun dan Se-kiat kuatir kalau

ciangkun itu tak menyetujui pernikahan puterinya. Mendiang ayahku bersahabat baik dengan Sip- ciangkun, malah pernah berbuat suatu kebaikan kepada ciangkun itu. Thiat-mo-lek tahu akan hal itu, maka ia lantas mendapat akal minta tolong aku supaya menjadi orang perantaranya. Coba kalian pikir, bukankah hal itu cukup menarik?” tanya Hong-jun. ”Hebat, sungguh menarik sekali!” entah apa sebabnya Tok-ko Ing serentak berseru girang.

”Hai, mengapa kau begitu kegirangan atas pernikahan orang lain?” Tok-ko U menjadi

keheranan melihat sikap adiknya yang kurang layak itu. Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa di dalam taman bunga tadi adiknya itu telah 'minum cuka' alias cemburu kepada Sip In-nio.

Ya, memang dara itu tak mengetahui bahwa dirinya dibohongi oleh Yak-bwe yang begitu pandai merangkai cerita. Ia cemburu pada In-nio yang diduganya tentu ada hubungan dengan Yak-bwe. Bahwa ternyata kekasih In-nio itu adalah Se-kiat, sudah tentu membuat Tok-ko Ing girang setengah mati. Harapannya untuk merebut kasih si pemuda cakap Yak-bwe, menjadi besar.

”Menarik sih cukup menarik.   Tetapi akulah yang runyam. Pertama, aku tak mempunyai pengalaman menjadi comblang. Kedua kali, sejak mendiang ayah menutup mata aku berdua dengan adikku berkelana di dunia kangouw. Setitikpun tak ada minat menginjak lantai gedung kaum pembesar lagi. Dengan begitu hubungan kami dengan keluarga Sip sebenarnya sudah lama terputus,” kata Hong-jun.

Tok-ko Ing buru-buru menganjurkan: ”Ah, Lu toako, itu adalah suatu perbuatan mulia. Sekalipun menghadapi rintangan kiranya tak seharusnya kau mundur.”

”Ah, memangnya tidak sukar. Paling banyak hanya gagal sebagai comblang saja,” sahut Hong- jun.

Tok-ko U tertawa: ”Ing-moay, dalam urusan pernikahan ini rupanya kau begitu ngotot seperti Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat sendiri!”

Tiba-tiba Tok-ko Ing teringat sesuatu, serunya: ”Hai, Su toako, kau adalah adik misan Sip In- nio. Agar Lu toako mendapat sukses dalam tugasnya nanti, lebih baik kau ceritakan tentang kegemaran nona Sip itu.”

Lu Hong-jun tertegun, ujarnya: ”Kiranya Su toako itu adik misan dari Sip In-nio? Kalau begitu kuserahkan saja tugasku kepada Su toako. Bukankah itu lebih leluasa?”

”Jangan begitu ah! Su-toako justeru diam-diam tinggalkan rumah keluarga Sip, kalau pulang tentu kurang enak. Dan lagi ia pernah muda, jadi tak leluasa terhadap Sip-ciangkun,” cepat-cepat Tok-ko Ing menyanggapi. Ia lalu menuturkan cerita yang dirangkai oleh Yak-bwe di dalam taman bunga tadi.

Kiranya dara itu mempunyai maksud tertentu. Sebelum pernikahan Sip In-nio berlangsung dengan Se-kiat, ia tak menghendaki 'pemuda' Yak-bwe itu bertemu muka dengan In-nio.

Habis mendengar penuturan Tok-ko Ing, timbullah rasa curiga dalam hati Hong-jun. Tetapi ia

tak mau mengatakan.   Hanya saja matanya selalu memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe. Karena kuatir rahasianya akan ketahuan, buru-buru Yak-bwe memutuskan ocehan Tok-ko Ing, ujarnya: ”Sip paiupeh-ku itu seorang yang lapang dada, perangainya pun penurut. Jika berhadapan padanya, lebih baik jangan mengajukan tentang urusan pernikahan itu lebih dulu. Tetapi banyak-banyaklah menceritakan tentang perbuatan mulia dari Bo Se-kiat selama ini. Setelah Sip piaupeh mempunyai kesan baik, barulah kau bicarakan urusan selanjutnya.”

”Ai, Thiat-mo-lek juga menasihati aku begitu. Malah ia menambahkan bahwa Sip Hong itu seorang yang setia akan budi dan perbuatan mulia. Mendiang ayahku pernah melepas budi padanya, dirasa ia tentu suka mendengarkan kata-kataku,” kata Hong-jun.

”Bagus, kalau begitu lekaslah laksanakan tugas itu,” seru Tok-ko Ing.

”Ai, mengapa kau mendesak orang begitu rupa? Untung Lu toako itu bukan orang yang sempit dada, kalau tidak ia tentu mengira kau seperti hendak mengusirnya,” Tok-ko U menegur sang adik. ”Ah, memang sudah lama mengobrol di sini, sudah seharusnya aku pergi,” kata Hong-jun.

Mendapat teguran sang koko, Tok-ko Ing merasa tak enak. Buru-buru ia mencegahnya: ”Lu toako, mendengar kata-kataku tadi kau lantas mau pergi. Bukankah itu menandakan kau sempit dada? Duduklah sebentar lagi dan ceritakanlah kepada kami tentang beberapa peristiwa yang menarik di dunia kangouw.”

Semula Tok-ko Ing tak menyukai Hong-jun, malah ia merasa jemu melihat sikap anak muda yang plintat-plintut suka melirik muka orang itu. Tapi setelah mengetahui kalau Hong-jun hendak

menjadi orang perantara dalam pernikahan Se-kiat – In-nio, sikapnya lantas berubah seratus delapan puluh derajat. Dari tak suka menjadi suka. Sebaliknya melihat sikap yang manis dari dara itu, entah bagaimana, nyamanlah rasanya perasaan Hong-jun. Sungkan juga ia untuk pergi dan terpaksa duduk lagi.

”Masih ada lagi sebuah berita. Kabarnya setelah pulang ke Tiang-an, Cin Siang, itu panglima dari pasukan Gi-lim-kun juga berniat hendak mengadakan Eng-hiong-hwe. Katanya, niatnya itu

timbul setelah ia mengetahui tentang pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Rencananya itu mengandung maksud untuk menampung sekalian orang gagah dalam dunia kangouw agar jangan sampai terjerumus dalam kalangan lok-lim,” kata Hong-jun.

”Sekarang ini kekuasaan berada di dalam tangan para panglima daerah. Kerajaan dalam keadaan gelap. Bagi kaum kangouw yang menjunjung cita-cita luhur, sukar rasanya mau bekerja untuk kerajaan,” demikian Tok-ko U memberi pandangannya.

”Mungkin tidak demikian kenyataannya. Turut pendapatku, kini kaum persilatan dapat digolongkan dalam empat kategori (golongan). Pertama, golongan Ceng-pay yang bercita-cita luhur. Golongan inipun masih dapat dibagi menjadi tiga kelas. Kesatu, yang tak mau bekerja untuk kerajaan dan benci kepada sepak terjang kaum panglima daerah. Karena hal itu mereka terpaksa masuk ke dalam loklim menjadi penyamun. Dalam hal itu. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat adalah contohnya. Kedua, ialah kaum yu-hiap (pendekar kelana) dalam dunia kangouw. Misalnya, kalau dulu ialah mendiang Toan Kui-cing tayhiap dan kalau sekarang ialah pengemis sakti Wi Gwat, Gong-gong-ji yang termasyhur itu, dapat juga dimasukkan dalam kelas ini ”

”Bukankah Gong-gong-ji itu sudah berganti haluan dari jahat menuju ke jalan yang lurus?” Tok- ko Ing menyeletuk.

”Gong-gong-ji adalah suheng dari Toan Khik-sia. Perangai orang itu memang aneh sekali. Juga sepak terjangnya dahulu itu bukan termasuk jahat, melainkan di tengah-tengah antara jahat dan baik. Kabarnya dalam beberapa tahun terakhir ini, kejahatannya itu sudah banyak berkurang. Dia sudah dapat digolongkan dalam kelas sebagai yu-hiap,” Hong-jun menerangkan.

Ia menghirup cawan tehnya lalu menyambung lagi: ”Dalam kalangan tokoh-tokoh aliran Ceng- pay itu masih terdapat lagi golongan yang kedua yaitu yang suka bekerja pada kerajaan. Tujuan mereka bukan karena hendak merebut kedudukan menjadi pembesar negeri, melainkan dengan mendapat kepercayaan dari pemerintah itu, nantinya mereka hendak mengembangkan cita-cita mereka. Mungkin juga mereka itu hendak membantu pihak kerajaan untuk melucuti kekuasaan kaum panglima daerah. Turut yang kuketahui, dalam pasukan Gi-lim-kun, tak sedikit jumlahnya tokoh-tokoh seperti itu. Misalnya, opsir yang pernah bertempur dengan Su toako, yaitu An Ting- wan, adalah juga dari golongan itu.”

Tok-ko U tertawa: ”Ya, memang kutahu sebelum masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, An

Ting-wan itu seorang tokoh hiap-gi. Itulah sebabnya ketika menolong Su toako dalam kesulitan tempo hari, aku hanya melukainya ringan-ringan saja.”

kiranya sebelum Tok-ko Ing dan Yak-bwe keluar, Tok-ko U telah menceritakan hal pertempuran Yak-bwe dengan pasukan Gi-lim-kun pada Hong-jun.

”Golongan kedua dari kaum bulim itu walaupun takmempunyai cita-cita suatu apa, tapipun termasuk golongan Ceng-pay. Mereka itu kebanyakan berasal dari perguruan atau keluarga bulim, mungkin ada juga yang mengandalakan belajar ilmu silat untuk mengangkat nama. Golongan itu

termasuk apa yang dinamakan 'belajar silat untuk dijual pada kerajaan'. Tapi apakah pihak kerajaan mau memakai, mereka pun tak terlalu memusingkan. Tokoh-tokoh yang mewakili golongan ini antara lain ialah seperti Cin Siang dan Ut-ti Pak,” kata Hong-jun melanjutkan analisanya.

”Tapi katanya kedua orang itu amat menjunjung cita-cita luhur, tidak seperti kaum pembesar

pada umumnya. Kabarnya banyak kaum loklim yang menghargai sikap kedua orang itu,” kata Tok- ko U.

”Benar, boleh dikata bahwa kedua jenderal itu benar-benar tokoh yang cemerlang. Jika mereka bukan keturunan panglima-panglima kerajaan yang termasyhur, mungkin mereka sudah menjadi kaum yu-hiap,” kata Hong-jun. ”Karena kini mereka menjadi pembesar tinggi, jadi sudah selayaknya setia menjalankan tuga-tugas negara. Selain kedua orang itu, ayah Sip In-nio, yaitu Sip Hong, juga termasuk golongan tokoh-tokoh semacam itu.”

Tok-ko U mengangguk: ”Kiranya jumlah tokoh-tokoh dari golongan seperti itu, tak sedikit jumlahnya.”

”Golongan ketiga, ialah tokoh-tokoh bulim jahat yang mengandalkan kepandaian silat untuk melakukan kejahatan. Pada golongan ini juga dapat dibagi menjadi dua: pertama, bangsa pencoleng loklim yang tahunya hanya merampok dan membunuh. Dalam hal ini tak perlu kusebutkan contoh- contohnya. Kelompok kedua ialah yang berhamba menjadi kaki tangan dari kaum panglima daerah. Misalnya Goh Beng-yang, itu pemimpin dari pasukan Gwe-tho-lam yang dibentuk Tian Seng-su.” ”Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo si iblis tua itu, juga termasuk kelompok tersebut. Bermula ia

menjadi begal tunggal, sekarang kabarnya menjadi tetamu undangan dari Tian Seng-su,” menyeletuk Tok-ko U.

”Di samping itu masih ada segolongan lain, yakni kaum Bu-lim-in-su (tokoh-tokoh bulim yang mengasingkan diri). Karena putus asa melihat keadaan negara, mereka lari dari masyarakat ramai. Mo Kia lojin dan Se-gak-sin-liong Hong-hu Ko locianpwe, adalah contohnya,” kata Hong-jun.

Diam-diam Tok-ko U kagum akan analisa yang dibuat oleh tetamunya itu, ujarnya:

”Pengetahuan Lu toako ternyata amat luas. Berdasarkan hal itu, maka Eng-hiong-hwe (rapat para orang gagah) yang akan diselenggarakan Cin Siang itu, juga pentingkah?”

Hong-jun mengucap kata merendah hati lalu menyahut: ”Pada hematku, menilik kedudukan dan kewibawaan Cin Siang, rapat yang akan diselenggarakan itu, kecuali golongan Bu-lim-in-ih, ketiga golongan kaum bulim yang lain itu, tentu akan banyak yang datang. Malah dikuatirkan akan lebih mendapat sambutan hebat dari Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan di gunung Kim-ke-nia itu.” ”Apakah rapat itu sudah ditetapkan harinya?” tanya Tok-ko U.

”Kabarnya akan diadakan pada hari Tiong-ciu tahun ini di istana Li-san-hing-kiong,” kata Hong-jun.

”Kalau begitu hanya kurang tiga bulan lagi. Sayang aku seorang gadis jadi tak leluasa datang kesana. Apakah Lu toako bermaksud kesana juga?” tiba-tiba Tok-Ko ing menyeletuk.

Hong-jun tertawa: ”Aku hendak ke Poh-ong dulu menemui Sip Hong untuk menyelesaikan urusan Bo Se-kiat. Setelah itu pulang. Jika masih keburu, ingin juga aku melihat-lihat keramaian

itu. Dalam rapat itu, rasanya Su toako tak leluasa datang, tetapi jika kalian engkoh adik mempunyai minat, besok kita boleh sama-sama pergi.”

Dalam Eng-hiong-hwe itu, yang penting ialah mengadu kepandaian silat. Tentang yang boleh menghadiri itu siapa, baik wanitakah atau priakah, semua diperbolehkan.

”Aku pernah bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun. Walaupun pada waktu itu aku memakai kerudung muka, tapi rasanya tentu diketahui juga,” kata Tok-ko U.

Jawab Hong-jun: ”Cin Siang mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat kangouw. Sudah tentu

ia mengetahui juga tentang pantangan-pantangan orang kangouw. Kabarnya untuk Eng-hiong-hwe itu ia telah membuat pengumuman. Barang siapa yang hadir, takkan diselidiki tentang perbuatan- perbuatannya yang sudah-sudah, sekalipun andaikata pernah memusuhi kerajaan. Syaratnya hanyalah mereka itu jangan sekali-kali membuat onar di kota Tiang-an. Dalam pertandingan silat, tak ada paksaan bahwa yang menang nanti akan diharuskan bekerja pada kerajaan. Untuk

pemenang pertama sampai dengan pemenang kelima, akan diberi hadiah sebatang golok pusaka dan seekor kuda pilihan. Aku sih tak menginginkan hadiah itu, melainkan hanya ingin menambah pengalaman saja.”

”Ya, nanti apabila sudah tiba waktunya, kita putuskan lagi,” sahut Tok-ko U.

Mendengar itu tampaknya Hong-jun agak kecewa. Ia mendongak ke langit dan tertawa: ”Ai, tanpa terasa sudah terlalu lama mengobrol, kini aku betul-betul hendak pergi.”

Karena tahu orang mempunyai urusan penting, maka Tok-ko U pun tak mau mencegahnya lagi. ”Koko, apakah kau benar-benar berhasrat hadir dalam Eng-hiong-hwe di Tiang-an itu?” tanya Tok-ko Ing kepada kokonya setelah Hong-jun pergi.

”Dan kau bagaimana?” balas bertanya Tok-ko U.

”Aku kepingin sekali menambah penglihatan, ai, sayang ”

”Sayang apa?” tukas Tok-ko U.

”Sayang Su toako tak leluasa ikut pergi. Dan akupun tak ingin pergi juga. Menghadiri semacam pertemuan begitu, baru menggembirakan kalau banyak kawan,” kata si dara. Yak-bwe tertawa: ”Bukankah tadi Lu Hong-jun mengajak kalian?”

”Aku tak begitu kenal dengan dia,” sahut Tok-ko Ing.

Tok-ko U mengolok tertawa: ”Oh, jadi kalau Su toako tak pergi, kaupun tak mau pergi? Kalau begitu, karena kau tak pergi akupun juga tak pergi.”

Begitulah setelah bercakap-cakap beberapa waktu lagi, mereka lalu sama masuk tidur. Ketika berada di kamarnya, hati Yak-bwe menjadi gelisah. Bukan disebabkan karena tak dapat menghadiri pertemuan di Tiang-an itu, melainkan karena memikirkan Toan Khik-sia. 

Teringat dalam perjumpaannya beberapa kali dengan Toan Khik-sia itu selalu terjadi salah

paham, diam-diam Yak-bwe menghela napas, keluhnya: ”Kalau aku memang tak berjodoh padanya mengapa aku ditakdirkan lahir sehari dengan dia. Dan begitu lahir lantas dijodohkan? Tapi jika berjodoh, mengapa setiap kali berjumpa selalu bertengkar? Ataukah hanya karena ia tak berani melanggar pesan mendiang orang tuanya saja? Kalau dikata ia tak menaruh hati padaku, mengapa ia marah-marah ketika mendengar aku dipasangkan pada putera Tian Seng-su? Namun bila ia benar-benar menaruh hati, tak selayaknya ia bersikap dingin padaku, walaupun ia sudah mengetahui bahwa aku sudah tinggalkan keluarga Sik! Keterangan Lu Hong-jun tadi bahwa kini ia sedang

mencari aku, apakah boleh dipercaya? Bagaimanakah hubungannya dengan Lu Hong-chiu? Sudah menginjak perjanjian kasih ataukah hanya sebagai kawan semata-mata Hm, Yak-bwe, Yak-bwe!

Jangan kau pikirkan dia lagilah. Tidakkah ia sudah cukup banyak menghina padamu? Persetan dengan pemuda gagah atau perwira. Dia memperlakukan kau begitu macam, masakan kau sudi tunduk padanya?”

Makin sang pikiran melayang, makin bergolak amarah Yak-bwe. Tapi makin ia berusaha untuk menghapus bayangan Toan Khik-sia dalam hatinya, makin bayangan anak muda itu tergores jelas. Dan tahu-tahu kala itu sudah lewat tengah malam, namun ia tak merasa ngantuk sama sekali.

Jendela kamarnya yang sebelah belakang itu, kebetulan menghadap ke arah taman. Dari jendela itu melongok keluar, dilihatnya sang dewi malam memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang.

Taman bunga seolah-olah bermandikan cahaya rembulan. Permukaan empang bening laksana kaca, pohon-pohon, batu-batu dan bunga-bunga bersemarak bagaikan terbungkus dalam kabut perak.

Sungguh suatu pemandangan yang permai.

Di ruang sebelah depan sana, ternyata masih tampak penerangannya. Itulah kamar yang ditempati Tok-ko Ing. ”Kiranya ia masih belum tidur,” kata Yak-bwe seorang diri.

Menyebut nama Tok-ko Ing, teringatlah Yak-bwe akan diri dara itu.  Ya, teringat akan sikap dara itu kepadanya. Diam-diam ia merasa geli sendiri: ”Baik rupa, perangai dan ilmu silat nona Tok-ko itu, bukan sembarangan nona dapat menandingi.   Sayang aku ini sekaum dengannya Mereka

berdua kakak-adik amat baik sekali kepadaku, tapi bagaimanapun aku terpaksa tak dapat lama-lama tinggal di sini. Hm, kini lukaku sudah sembuh. Seharusnya kutinggalkan tempat ini.”

Sebenarnya Yak-bwe merencanakan untuk pergi dengan diam-diam. Ia akan tinggalkan

sepucuk surat menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya. Tapi demi teringat akan budi kebaikan Tok-ko Ing, ia merasa sungkan untuk berbuat begitu. Setelah beberapa hari bergaul, timbullah rasa sukanya kepada dara itu.

Ia putar otak untuk mencari jalan yang lebih sempurna. Tiba-tiba ia mendapat akal. Hanya saja akal itu sedikit bersifat nakal. ”Lebih baik sekarang aku menjenguk ke kamarnya. Melihat kedatanganku pada tengah malam begini, ia tentu terkejut. Pada saat ia murka, aku segera menerangkan diriku. Ha, entah bagaimana reaksinya nanti, kecewa atau girangkah ia?” demikian akal yang direkanya itu.

Membayangkan akan reaksi si dara nanti, ia merasa gembira sekali.

Ia melangkah keluar menuju ke kamar cat merah itu. Tapi waktu hampir dekat, tiba-tiba dari

kain jendela kamar itu tampak dua buah bayangan orang, seorang wanita dan seorang pria. Yang pria adalah Tok-ko U.

”Kiranya mereka berdua masih belum tidur. Karena Tok-ko U berada di dalam, aku tak leluasa masuk,” pikirnya.

Waktu Yak-bwe hendak angkat kaki, tiba-tiba kedengaran Tok-ko U berkata: ”Ing-moay, hal ini menyangkut nasibmu seumur hidup. Harap kau pikir semasak-masaknya.” Geli Yak-bwe dibuatnya. Karena ingin mencuri dengar apa yang dipercakapkan kedua saudara itu, ia batalkan maksudnya pergi.

Tok-ko Ing diam saja. Beberapa saat kemudian kedengaran Tok-ko U berkata pula: ”Kiranya sudah lebih dari layak apabila kau berjodoh dengan Hong-jun. Seperti kau ketahui, ilmu silat

Lu Hong-jun itu amat tinggi dan orangnya pun baik.”

Yak-bwe terkesiap mendengar ucapan itu. ”Kiranya bukan memperbincangkan diriku.

Kokonya hendak menjodohkan dia pada Lu Hong-jun. Bagus, aku terlepas dari kesulitan. Hanya sayang sekalipun Lu Hong-jun itu orangnya baik, tapi adiknya itu seorang gadik yang katak. Kalau Tok-ko Ing jadi menikah dengan keluarga Lu, jangan-jangan ia bakal setori dengan iparnya itu,” pikirnya.

”Apa? Jadi kedatangan Lu Hong-jun kemari tadi, akan meminang sendiri?” tiba-tiba Tok-ko Ing berseru.

”Bukan meminang melainkan berkenalan,” Tok-ko U tertawa.

Dengan nada agak marah, Tok-ko Ing berseru: ”Kau mulanya tak mengatakan apa-apa, masakan datang-datang lantas mau nontoni orang. Aturan macam apa itu? Jika tahu, sudah tentu aku tak sudi keluar!”

”Ai, memang sebelumnya ia sudah mengatakan, tetapi aku tak memberitahukan padamu.

Ketika aku bepergian baru-baru ini, aku telah berjumpa dengan Hong-git Wi Gwat. Locianpwe ini seorang yang suka mengurusi perkara orang. Ia mengobrol panjang lebar dan menanyakan juga tentang dirimu. Ia mengatakan, kita berdua adalah sepasang saudara pendekar. Keluarga Lu pun sepasang saudara pendekar. Jika dapat terangkap dalam perjodohan, tentulah bakal menjadi buah pujian dunia, bu-lim.”

”Lu Hong-jun kan mempunyai seorang adik, pinang sajalah!” Tok-ko Ing menyeletuk.

Wajah Tok-ko U berubah merah. Memang pada waktu itu Hong-git Wi Gwat juga mengatakan hal itu, yaitu agar sepasang saudara itu saling mengikat jodoh.

”Yang kubicarakan sekarang ini ialah tentang urusan pernikahanmu, perlu apa menyangkut- nyangkut diriku?” Tok-ko U cepat membantah.

Kata Tok-ko U lebih jauh: ”Locianpwe itu mengatakan, apabila kita setuju, ia segera akan mencari Lu Hong-jun, suruh ia datang ke rumah kita untuk berkenalan dengan kau. Biasanya lo- cianpwe itu suka ugal-ugalan, jadi aku tak berani pastikan sungguh tidaknya omongannya itu.

Jawabanku pada itu waktu ialah akan menyerahkan hal itu padamu sendiri. Maksud kunjungan Hong-jun, kita sambut dengan senang hati, tetapi soal pernikahan itu urusan yang tak boleh dipaksakan, biar kau sendiri yang memutuskan.”

Tok-ko Ing menghela napas, ujarnya: ”Benarlah, kau telah memberi jawaban yang tepat.”

”Oleh karena tak terlalu kumasukkan dalam hati kata-kata lo-cianpwe itu, maka waktu pulang

aku pun tak mau buru-buru mengatakan padamu. Apalagi karena kita sibuk merawat Su toako, jadi tak keburu memberitahukan.  Sungguh tak terduga bahwa Lu tayhiap itu benar-benar datang kemari. Sebelum kau keluar, ia sudah beberapa kali menanyakan tentang dirimu. Sebenarnya ia itu seorang yang berwatak terus terang, tapi ketika menanyakan dirimu ia sudah berlaku likat-likat.

Sudah tentu kuketahui maksudnya. Rupanya Hong-gi Wi Gwat telah menyuruhnya datang kemari. Ing-moay, apakah kau tak mengetahui bagaimana beberapa kali ia melirik padamu?”

”Ya, justeru sinar matanya itulah yang kubenci!” sahut Tok-ko Ing.

Tok-ko U tertawa: ”Ya, aku tahu ada seorang yang tak kau benci. Dan diapun suka bergaul dengan kau!”

”Su toako sedang dalam sakit. Ia adalah tetamu yang kau undang kemari. Bahwa jerih payahku mewakili kau untuk merawatnya bukan mendapat terima kasihmu, sebaliknya kau malah mengejek padaku,” demikian Tok-ko Ing mengomel.

”Kaulah yang harus berterima kasih padaku, moaymoay, jangan kira aku tak tahu isi hatimu, ya? Memang aneh ini. Aku yang lebih dulu dan lebih kenal lama dengan Su toako tak dapat bergaul dengan rapat, sebaliknya begitu bertemu padamu ia lantas jatuh hati. Ai, mungkin sudah menjadi kehendak nasib.  Hanya saja, hanya saja ”

Sebenarnya Tok-ko Ing tengah tundukkan kepala. Tapi begitu mendengar ucapan sang engkoh itu, serentak ia dongakkan kepala” ”Hanya apa?!” ia tanya dengan cepat.

Tenang-tenang saja Tok-ko U menyahut: ”Meskipun Su toako itu tiada tercela, tetapi asal-

usulnya tak ketahuan. Bagaimana keturunan keluarga Lu, rasanya kita sudah cukup mengetahui.” ”Apanya yang tak jelas. Ia sudah menuturkan asal-usul dirinya kepadaku,” cepat-cepat Tok-ko

Ing menukas.

”Tapi aku tetap bercuriga,’ sahut Tok-ko U.

”Ah, memang kau ini banyak curiga. Tapi aku menaruh kepercayaan penuh padanya!” bantah Tok-ko Ing.

Dengan nada bersungguh Tok-ko U berkata: ”Moaymoay, urusan pernikahan itu suatu hal yang serius. Coba kau bilang terus terang tentang keputusanmu, biar kudapat memberi keterangan pada orang.”

”Baik, berilah jawaban pada orang itu dengan membilang .... dengan membilang ”

”Membilang bagaimana?” tukas Tok-ko U.

Selebar wajah Tok-ko Ing bertebar warna merah. Tiba-tiba berhamburanlah kata-kata dari mulutnya: ”Bilang sajalah padanya, bahwa aku sudah dijodohkan pada lain orang. Pemuda she Lu itu terlambat datangnya. Dan habis perkara!”

Tok-ko U terbeliak, tanyanya dengan suara berbisik: ”Apakah kau sudah mengikat janji dengan Su-toako?”

”Ha, koko, kau sungguh pintar. Kalau satu waktu kukatakan kau tolol, itu hanya karena keserentakan dari pikiranku saja. Silahkan kau kembali untuk memberi jawaban pada pemuda she Lu itu,” ujar Tok-ko Ing.

”Moaymoay, kau lebih suka menikah dengan Su-toako. Sayang tiada comblang yang memperantarakan. Turut katamu, rupanya kau sudah mengambil keputusan yang masak. Kau tentu bermaksud mengatakan bahwa Su toako itu dapat diandalkan daripada Lu Hong Jun,” kata Tok-ko U.

Tok-ko Ing berkobar semangatnya: ”Ilmu sastera dan ilmu silat dari Su-toako amat menonjol, belum tentu kalah daripada Lu Hong-jun. Sekalipun taruh kata, ia tak nempil dengan Lu Hong-jun, tapi aku sudah kenal pribadinya dan cocok dengan perangainya. Biarpun Lu Hong-jun sepuluh kali lebih lihay dari dia, aku .... aku ”

”Kau tetap akan memilih Su-toako bukan?” Tok-ko U menukas dengan tertawa.

Tok-ko Ing tundukkan kepala. Ia tak menyahut dan sikap begitu berarti ia diam-diam menerimanya.

”Bagaimana kau mengetahui kalau ilmu silat Su-toako itu lihay? Ah, mungkin ketika kalian

berdua keluar untuk menyambut kedatangan Lu Hong-jun, kalian sama-sama menyelipkan pedang. Apakah kalian sebelumnya sudah menguji kepandaian di dalam taman?” tanya Tok-ko U.

”Benar, kau tentunya hanya mengetahui bahwa ilmu pedangnya lihay, tapi tentu belum mengerti siapa suhunya. Dengarlah, ilmu pedangnya lihay, ajaran dari Biau Hui sin-ni!” sahut Tok-ko Ing. Dengan bersemangat dara itu menceritakan tentang permainan pedang Yak-bwe. Setiap gerak dan setiap jurus dari ilmu pedang ’Su-toako’nya, ia lukiskan dengan gairah sekali.

”O, o, hm, hm,” selama mendengarkan cerita sang adik, mulut Tok-ko U selalu menghamburkan nada heran dan kagum.

”Mengapa ilmu pedang Biau Hui sin-ni dapat diturunkan kepada seorang lelaki, itu sungguh mengherankan sekali!” akhirnya Tok-ko U menyatakan keheranannya.

”Piaucinya yang bernama Sip In-nio yang mengajarkannya, Tok-ko Ing memberi keterangan. Ia lantas menceritakan keterangan yang dirangkai oleh Yak-bwe.

Anehnya kesangsian Tok-ko U makin jelas menampil pada wajahnya.

”Ai, kau ini bagaimana, koko? Apakah kau curiga Su toako mencintai piauci-nya?” tanya Tok- ko Ing.

Tok-ko U tertawa: “Omitohud, berdosa, berdosa! Tidakkah kau mendengar ucapan Lu Hong- jun? Sip In-nio sudah tertambat hatinya dengan Bo Se-kiat. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan mengetahui hal itu. Dan untuk urusan itulah, maka Thiat-mo-lek sudah minta tolong Lu Hong-jun menjadi comblangnya. Sip In-nio seorang jelita perkasa, seorang pendekar wanita. Masakan ia bermoral tipis?”

”Ya, habis mengapa wajahmu lain? Terus terang aku sendiripun bermula juga menaruh kecurigaan. Tapi setelah mendengar keterangan Lu Hong-jun, hilanglah segala prasangkaku,” kata Tok-ko Ing.

Tok-ko U merenung beberapa saat, kemudian berkata tenang-tenang: “Moay-moay, percayakah kau akan omongannya?”

Tok-ko Ing membeliakkan matanya lebar-lebar dan menyentak: “Apa?” ”Kulihat di dalam situ terdapat sesuatu yang mencurigakan,” kata Tok-ko U. ”Apanya yang mencurigakan?” cepat-cepat Tok-ko Ing mendesak.

”Bahwa ilmu pedang dari Biau Hui sin-ni itu hanya diajarkan pda kaum wanita dan tidak boleh kepada kaum pria, itu sudah menjadi peraturan dari perguruannya. Sekalipun Sip In-nio mempunyai ikatan keluarga dengan Su-toako, tapi tak mungkin nona itu berani melanggar pantangan suhunya secara diam-diam mengajarkannya pada Su-toako,” kata Tok-ko U. Mendengar itu, timbul juga keheranan Tok-ko Ing. Dengan ragu-ragu ia berkata: ”Mungkin, ya mungkin karena Sip In-nio itu masih kecil maka ia tak menyadari perbuatannya. Terdorong rasa kegembiraannya bermain-main dengan Su-toako, sesaat ia sampai lupa akan pantangan itu.” Tok-ko U gelengkan kepala: ”Meskipun aku belum pernah bertemu pada Sip In-nio, tapi kabarnya ia itu seorang nona yang bijaksana, kalau tidak masakan Bo Se-kiat penuju padanya.

Pantangan suhunya, merupakan suatu hal yang penting. Meskipun usianya masih muda, pun tak nanti ia naif akal itu.”

”Ha, aku sampai lupa. Su-toako mengatakan, pada setiap hari Sip In-nio berlatih pedang, ia tentu melihat di samping,” kata Tok-ko Ing.

”Ilmu pedang ajaran Biau Hui Sin-ni itu bukan olah-olah sukar dan anehnya.  Tanpa ada guru yang memberi petunjuk, bagaimanapun cerdasnya, rasanya tetap tak mungkin mampu ’mencuri belajar’. Apakah ia mengatakan padamu kalau ilmu pedangnya itu bolehnya mencuri?” tanya Tok- ko U.

Tok-ko Ing sendiri juga seorang ahli ilmu pedang. Ia cukup mengetahui bagaimana sukarnya orang belajar ilmu pedang itu. Tapi anehnya karena terpengaruh oleh rasa pancaran kalbunya, ia main ’telan’ saja akan obrolan Su Yak-bwe tadi. Ketika saat itu engkohnya mengingatkan hal itu, barulah ia timbul rasa kecurigaannya.

Tiba-tiba dengan suara menggumam Tok-ko U berkata: ”Jangan-jangan, hm, jangan-jangan ”

”Jangan-jangan apa?” cepat Tok-ko Ing menyeletuk.

”Jangan-jangan ia itu seorang gadis,” sahut Tok-ko U.

Tok-ko Ing tercengang. Sesaat kemudian ia membentak sang engkoh: ”Ngaco saja kau ini! Mana bisa ia seorang gadis?!”

”Ah, aku kan hanya meraba-raba dalam dugaan saja. Jangan kesusu marah dulu,” sahut Tok-ko U.

Kedua saudara itu amat baik sekali hubungannya. Tok-ko Ing merasa menyesal juga tadi sudah membentak sang enkoh dengan kata-kata kasar. Buru-buru ia tertawa: ”Jika ia memang benar seorang gadis, itu malah kebenaran sekali. Bisalah ia menjadi ensoh-ku nanti. Maukah kau kujodohkan padanya?”

Sebenarnya olok-olok Tok-ko Ing itu hanya sekedar untuk memperbaiki kesalahannya tadi.

Siapa tahu, waktu mendengarnya Tok-ko U juga tercengang. Beberapa saat kemudian baru ia dapat berkata: ”Kalau ia benar seorang gadis, itulah seorang gadis istimewa yang jarang terdapat di dalam dunia. Mana aku layak menjadi pasangannya?”

”Ai, kalau begitu, kau anggap dirimu itu lebih rendah dari aku?” tanya si dara.

Kembali setelah termenung beberapa saat, barulah Tok-ko U dapat berkata: ”Ah, sudah tentu ia

itu bukan seorang gadis. Ya, tak mungkin, tak mungkin! Akulah yang mengadakan dugaan secara serampangan.”

Walaupun mulutnya mengatakan begitu, namun tahu juga Su Yak-bwe di tempat

persembunyian, seolah-olah mendapat kesan bahwa pemuda itu merasa getun karena ’Su-toako’ itu seorang lelaki. Yak-bwe berpikir: ”Tok-ko U sudah menaruh kecurigaan. Kalau aku sampai menceritakan kepadanya bahwa aku ini seorang nona, jangan-jangan bisa menimbulkan kerunyaman. Jika Tok-ko U sampai mengajukan pinangannya, apakah aku dapat menolaknya?” Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik dari Tok-ko Ing, lalu katanya:

”Ah, memang sungguh sayang bahwa Su-toako bukan seorang nona. Kalau pembicaraan kita saat ini didengar Su-toako, wah, tentu runyam sekali.”

”Apakah kau sungguh tak mengetahui kalau ia itu seorang gadis yang menyaru jadi lelaki?” tanya Tok-ko U.

Sahut Tok-ko Ing, ”Sudah tentu aku mengetahui. Ia .... ia ...”

Tok-ko U terbeliak kaget, serunya: ”Moaymoay, moaymoay, kau, kau, kau dengan dia ”

”Koko, jangan menduga sembarangan.  Ia hanya menyatakan padaku, menyatakan ”

”Oh, ia tentu menyatakan isi hatinya kepadamu, bukan?” tanya Tok-ko U.

Kedua belah pipi si dara bersemu merah. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala kemalu-maluan sambil memainkan ikat pinggangnya.

Yak-bwe juga terkesiap, pikirnya: ”Bilakah aku menyatakan isi hatiku kepadanya?” -- Tiba-tiba ia teringat ketika si dara menjenguk sakitnya, ia telah memuji dara itu berilmu tinggi dan pintar

kerja. Ya, ya, ia pernah mengatakan kepada Tok-ko Ing: ”Siapakah hai, gerangan yang berbahagia mempersuntingkan nona?”

”Ah, apakah ia kira aku menaruh hati padanya?” Demikian pikir Yak-bwe lebih lanjut.

Di dalam ruangan kedengaran Tok-ko U tertawa: ”Su-toako bukan seorang wanita, ah, itulah memang rezekimu. Baiklah, biarlah kujadikan kehendakmu itu. Besok akan kuselidiki lagi sikapnya kepadamu. Biar kujadikan perjodohanmu itu, agar dirimu mendapat tempat. Nah, tidurlah baik-baik, aku hendak pergi.”

”Mengapa aku gelisah? Asal kau tak menggerecoki aku dengan urusan Lu Hong-jun, aku pun tak punya keresahan apa-apa lagi,” sahut Tok-ko Ing.

Karena Tok-ko U hendak tinggalkan ruangan itu, Yak-bwe pun segera mendahului pergi. Tapi baru ia melangkah sampai di rumpun pohon bunga, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam loncat melampaui tembok dan melayang tepat di atas batu gunung-gunungan yang berada di

sebelahnya. Ketika mengawasi, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Saking kagetnya, tubuhnya sampai gemetar dan bunga-bunga yang tersentuhnya menjadi berhamburan jatuh.

Orang yang tiba-tiba datang itu bukan lain ialah manusia yang dibencinya tapipun yang paling dirindukannya. Toan Khik-sia!

Kiranya Khik-sia telah menempuh jarak 700 li menyusur jalan raya Tiang-an, tapi tetap tak

dapat menemukan Yak-bwe. Ia terpaksa kembali dan hendak membalik haluan ke arah selatan. Kebetulan ia berjumpa dengan Lu Hong-jun.

Sebenarnya Lu Hong-jun sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yak-bwe. Dalam pembicaraan selanjutnya, ia pun menceritakan juga diri Yak-bwe itu kepada Khik-sia. Demi mendengar bahwa ’pemuda’ itu orang she Su dan mengaku masih adik misan dari Sip In-nio, girang Khik-sia bukan kepalang. Ya, siapa lagi pemuda gadungan itu kalau bukan Yak-bwe! Cepat-cepat Khik-sia minta alamat tempat tinggal Tok-ko U dan malam itu juga ia segera berangkat.

Ketika tiba di pintu gedung keluarga Tok-ko, haripun sudah lewat tengah malam. Menurut peraturan, jika hendak mertamu itu seharusnya pada siang hari. Tapi Khik-sia sudah tak tahan lagi. Apalagi Lu Hong-jun juga menyinggung-nyinggung tentang hubungan rapat antara pemuda she Su itu dengan adik perempuan Tok-ko U. Maka tanpa dapat mengendalikan diri lagi, Khik-sia segera mengambil keputusan. Lebih dulu masuk menyelundup ke dalam gedung untuk mencari Yak-bwe sesudah itu baru ia menghaturkan maaf kepada tuan rumah.

Dan sungguh kebetulan sekali, ketika ia melayang masuk ke atas batu gunung-gunungan, ia kesamplokan dengan orang yang dicari-carinya. Karena ”tertangkap muka”, Yak-bwe menjadi gelagapan, sebaliknya Khik-sia pun terkejut dan girang sekali!

”Adik Yak-bwe !” tanpa ragu-ragu lagi Khik-sia meluncurkan tegur salam yang manis.

Tapi wajah Yak-bwe sedingin es. Tanpa memandangnya lagi, ia terus kebutkan lengan bajunya dan pergi. Khik-sia memburunya, dan terus menjambret lengan baju Yak-bwe, bisiknya dengan lirih: ”Adik Bwe, kau dengarkanlah perkataanku ” Yak-bwe kebas lengannya dan membentak dengan dingin: ”Tahulah sopan sedikit! Siapa adikmu itu?”

Rasa cinta Khik-sia itu hangat membara, tapi kulit mukanya tipis. Dibentak sedingin begitu, merahlah telinganya, ribuan kata-kata yang hendak dirangkainya, menjadi kacau balau lagi. Dengan gerak hun-hoa-hud-liu atau bunga tersiak mengebut pohon liu, Yak-bwe lanjutkan langkahnya. Khik-sia makin bingung. Dengan besarkan nyali ia tekan ujung tumitnya. Dengan gerak ginkang istimewa teng-hun-jong, ia melambung melampaui kepala Yak-bwe dan melayang jatuh di hadapan si nona untuk menghadangnya.

”Minggir!” bentak Yak-bwe. Dan tanpa hentikan langkah, ia terus maju menerjang.

Tapi Khik-sia lantas mengadangkan kedua tangannya. Bagaimanapun Yak-bwe hendak coba menerobos, tetap kena terhadang.

”Toan Khik-sia, kau terlalu menghina orang!” akhirnya meluncurlah kata-kata kemarahan dari mulut Yak-bwe.

”Yak-bwe, kau marah padaku, aku tak sesalkan padamu. Harap kau mengingat akan hubungan antara keluarga kita dahulu,” demikian buru-buru Khik-sia berkata.

”Bagaimana?” Yak-bwe menegas.

”Sejak dilahirkan, kita lantas, lantas ah, sudahlah jika kita sampai tak rukun, arwah ayah

bunda kita di alam baka tentu tak dapat tenteram,” Khik-sia melanjutkan kata-katanya.

Sebenarnya betapa ingin Yak-bwe ”rujuk” dengan pemuda yang dikenangkan itu.  Tapi ia sudah biasa dibesarkan sebagai seorang siocia yang beradat tinggi. Teringat beberapa kali Khik-sia pernah menghinanya, api amarah Yak-bwe masih belum reda. Jika sedatangnya tadi Khik-sia lantas meminta maaf, mungkin Yak-bwe dapat diredakan kemarahannya. Adalah karena Khik-sia itu memang tak pandai merangkai kata-kata, walaupun sudah merancangkan lama, tapi hasilnya tetap tak seperti yang diharapkan.  Ia kira dengan mengingatkan Yak-bwe akan hubungan keluarga mereka dahulu, dapatlah ia mendinginkan hati si nona. Siapa tahu sebaliknya Yak-bwe malah lain penerimaannya. Pikirnya: ”Ha, kiranya kau hanya karena takut dicap tak berbakti kepada orang tua, maka terpaksa mencari aku. Jadi sekali-kali bukan karena kau suka kepadaku.”

”Thiat-toako juga amat perhatikan terhadap urusan kita. Ia pesan wanti-wanti kepadaku harus mengajakmu pulang. Adik Bwe, sukalah kiranya kau perkenalkan aku kepada tuan rumah agar dapat kujelaskan duduk perkaranya. Dan besok pagi kita lantas berangkat pulang,” demikian kata Khik-sia pula.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar