Tusuk Kundai Pusaka Jilid 02

 
Jilid 02

Waktu bergebrak lagi, Khik-ya keluarkan ilmu pedang Wan-kong-kiam-hoat ajaran suhunya. Ia bergerak dengan lincah dan gesit. Menyerang maju seperti seekor kera menerobos semak pohon, mundur laksana ular menyurut ke dalam lubang, melayang ke udara bagaikan garuda membubung ke langit dan loncat menerjang seolah-olah harimau menerkam. Maju menyerang mundur bertahan, berputar-putar seperti angin, setiap gerakannya serba cepat seperti kilat. Empat penjuru seolah-olah penuh dengan bayangannya.

Yo Bok-lo menang dalam tenaga, tapi kalah dalam ilmu ginkang. Ia dapat memukul serangan pedang menjadi mencong tapi tak mampu mengenakan tubuh si anak muda. Kekuatan mereka tampak berimbang. Karena Yo Bok-lo dengan pukulan sakti itu tak dapat mengapa-apakan lawan, maka dalam penilaian, Toan Khik-sialah yang berada di atas angin. Ialah yang memegang inisiatif penyerangan. Ini hanya penilaian saja karena kenyataannya anak muda itupun tak dapat membobolkan pertahanan diri dari si iblis yang kukuh bagaikan benteng baja itu.

Menyaksikan pertempuran itu, terbukalah hati Yak-bwe, pikirnya: ”Usianya sebaya dengan aku, tapi sudah sedemikian lihaynya, ah, sungguh membuat orang kagum sekali!”

Dan melayanglah pikirannya pada malam pertemuan dengan anak muda itu: ”Ah, kiranya

sewaktu bertempur dengan aku, ia masih mengalah. Paling-paling ia hanya mengeluarkan separuh kepandaiannya saja. Ah, sayang aku kelewat ceroboh dan hanya tahu memaki-makinya saja!” Berpikir sampai di sini, ia merasa girang dan menyesal. Girang karena calon suaminya ternyata seorang jago muda, menyesal sebab ia telah salah memperlakukannya. Karena terpengaruh oleh getaran perasaannya, tanpa terasa ia keraskan injakannya. Putera Tian Seng-su itu tertutuk jalan darahnya, jadi walaupun kesakitan sekali ia tak dapat menjerit, paling-paling mulutnya hanya ngos- ngosan seperti kerbau hendak disembelih.

Tiba-tiba di sebelah luar terdengar kawanan Bu-su berteriak-teriak: ”Go thong-leng datang, Go thong-leng datang!”

Segera kawanan Bu-su itu menyiah ke samping dan muncullah seorang lelaki tegar ke muka. Kepalanya bundar besar macam kepala harimau kumbang; tubuhnya besar dan langkahnya pun lebar. Kiranya orang itu ialah thong-leng (pemimpin) dari pasukan Gwe-thok-lam yang bernama

Go Beng-yang. Datangnya sang pemimpin itu telah disambut dengan penuh harapan oleh kawanan Bu-su. Malam itu mereka sakit hati karena dihajar Toan Khik-sia dan dipandang rendah oleh Yo Bok-lo. Maka begitu sang pemimpin datang, seorang Bu-su segera sengaja berseru: ”Go thong- leng, bangsat kecil itu lihay benar, Yo-losiansing mungkin tak mampu mengatasinya!”

Go Beng-yang mendengus, serunya: ”Seorang maling kecil yang bisanya cuma menggunakan obat bi-hiang, sampai dimana lihaynya. Menyingkirlah kalian, lihat caraku meringkusnya!” Dengan lagak macan lapar, ia tampil ke depan dan berseru nyaring” ”Yo-losiansing, jangan kuatirlah, aku datang membantumu!”

Memang apa yang dikatakan Thong-leng Gwe-tho-lam itu benar. Toan Khik-sia memang menggunakan dupa bi-hiang untuk membikin pulas kawanan penjaga di gedung Ciat-tok-su situ. Ia mempunyai dupa pembius itu karena diberi oleh suhengnya, Gong-gong-ji.

Gong-gong-ji adalah maling nomor satu di dunia persilatan.  Dupa bi-hiang yang dibuatnya sendiri, juga merajai seluruh dupa bius yang terdapat di dunia persilatan. Dibanding dengan dupa bius yang banyak digunakan oleh kaum persilatan yakni dupa Ke-bing-ngo-ko hoan-hun-hiang, dupa bi-hiang dari Gong-gong-ji itu jauh lebih hebat beberapa kali.

Kedudukan Yo Bok-lo beserta ke-7 orang muridnya itu adalah sebagai jago undangan dari Tian Seng-su, jadi mereka tak bertugas melakukan penjagaan malam. Itulah sebabnya maka mereka tak terkena dupa bius itu. Yang memergoki Toan Khik-sia dan Yak-bwe lebih dulu adalah murid-murid dari Yo Bok-lo, setelah itu baru anggota pasukan Gwe-thok-lam dan kawanan bujang. Jadi seluruh anggota Gwe-thok-lam yang bertugas jaga malam itu kecuali Go Beng-yang, semuanya telah tertidur pulas.

”Kau maki aku sebagai bangsat kecil yang melakukan perbuatan rendah? Hm, jika aku mau berbuat begitu masakan kau masih bernyawa? Apa kau tahu mengapa kugunakan bi-hiang? Hm, kusayangkan karena kalian makan gaji dari Tian Seng-su, lantas kalian akan jual jiwa padanya. Jika kalian tidak dibikin tidur, karena sungkan pada majikan, kalian tentu menempur aku. Pedangku ini tak bermata, salah-salah tentu melukai kalian. Tapi sayang seorang tolol sebagai kau ini, tak dapat mengerti kebaikan orang, bahkan masih membanggakan diri sebagai Hohan. Sebenarnya kau boleh berpura-pura tidur saja, mengapa cari sakit ingin menemani si iblis tua ke akhirat? Hm, sungguh goblok benar!”

Toan Khik-sia baru berumur 16-17 tahun, jadi sifat kekanak-kanakannya masih belum hilang. Hatinya ingin mengatakan apa, kontan sang mulut lantas menumpahkan. Sudah tentu Go Beng-yan yang berjingkrak-jingkrak seperti orang yang pantatnya tertusuk jarum.

”Ha, ha, bocah yang bermulut besar, berani benar kau menghina orang-orang. Apa yang kau andalkan untuk melawan aku? Baiklah, akupun tak mau buru-buru mencabut jiwamu, tetapi akan kuberikan 300 kali gebukan dulu!”

Habis berkata ia lantas maju dan menyerang dengan ilmu silat Hun-kin-jo-kut-chiu. Sebagai ahli silat ternama, bukan ia tak tahu bahwa permainan pedang Toan Khik-sia itu luar biasa indahnya, tapi dikarenakan ia terlalu yakin akan ilmunya Hun-kin-jo-hut-chiu yang tiada

tandingannya di dunia dan ilmu Iwekang Khun-goan-it-bu-kang yang sudah dilatih sempurna, maka iapun tak gentar. Memang selama ini, ia belum pernah kalah dalam setiap pertandingan.

Di samping itu, iapun mempunyai alasan lain mengapa hendak mengunjuk kegagahan di hadapan Yo Bok-lo itu. Ia merasa iri hati akan nama Yo Bok-lo yang lebih tenar dari ia sendiri dan merasa tak puas karena Tian Seng-su lebih menghargai orang she Yo itu. Diam-diam ia kuatir kedudukannya akan direbut oleh Yo Bok-lo.

Justru Yo Bok-lo pun mengandung pikiran yang sama dengan Go Beng-yang. Ia mendongkol sekali mendengar ucapan besar dari orang she Go tadi. ”Hm, orang macam apa kau ini Go Beng- yang, berani memandang rendah padaku? Baik, biar kumenyingkir ke samping untuk melihat bagaimana ia hendak unjuk aksi.”

Memang beginilah mentalitetnya kaum budak. Coba mereka berdua bersatu padu untuk mengerubut Toan Khik-sia, sekalipun tak dapat menangkap hidup-hidup anak muda itu, sekurang- kurangna dapat juga memenangkan pertandingan itu.

Oleh karena akan melihat kepandaian Go Beng-yang, maka Yo Bok-lo pun tak mau menyerang sungguh-sungguh. Ini berarti memberi kemurahan pada Toan Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia juga panas mendengar kecongkakan orang.

”Bagus!” serunya demi Beng-yang mulai menyerang. Ia tabaskan pedang dan tinju kirinya menyusul menghantam.

Ternyata Beng-yang juga tak bernama kosong. Miringkan tubuh ke samping, ia segera mencengkeram bahu si anak muda. Sebenarnya tulang pi-peh di bahu orang itu adalah bagian yang paling sukar untuk dilatih.  Sekali bagian bahu dicengkeram, tentu orang menjadi lumpuh tak berdaya lagi. Tapi kepandaian yang dimiliki Toan Khik-sia itu berasal dari partai Ciang-leng-cu.

Ilmu silat dari Ciang-leng-cu itu berbeda sama sekali dengan aliran silat di Tiong-goan. Lwekang dari Ciang-leng-cu itu dapat dilatih sampai ke bagian bahu, sehingga bahu berubah menjadi keras seperti baja. Itulah sebabnya mengapa waktu jari Beng-yang menyentuk bahu Toan Khik-sia, ia seperti membentur dinding baja. Jari terpental dan sakitnya bukan buatan.

Baik Beng-yang maupun Khik-sia sama-sama bergerak dengan cepatnya. Bersamaan waktnya ketika jari Beng-yang membentur bahu Toan Khik-sia, pun tinju kiri Khik-sia sudah membentur tangan lawan juga. Bluk, masih Beng-yang coba menyelamatkan diri dengan sebuah gerak jungkir balik, tapi bagaikan bayangan yang selalu mengikuti orang, pedang Khik-sia sudah merangsangnya. ”Kena!” berbareng mulut pemuda itu berseru. Ujung pedangnya pun sudah memakan paha lawan. Masih untung anak muda itu merasa kasihan, jadi ia hanya mengguratnya saja. Coba ia mau berlaku kejam, Beng-yang pasti sudah kehilangan sebelah pahanya. Sekalipun begitu, diam-diam Khik-sia juga terperanjat. Ia dapatkan orang she Go itu juga lihay sekali. Jika bertempur satu sama satu, walaupun berkat gin-kangnya kemungkinan besar ia dapat menang, tapi kemenangan itupun tak dapat mudah diperolehnya.

Mengapa dalam sekali gebrak saja Toan Khik-sia sudah dapat melukai lawan adalah karena: kesatu, Go Beng-yang memandang rendah lawan, kedua, Yo Bok-lo sengaja berpangku tangan; ketiga, termakan tipu si anak muda yang sengaja membiarkan bahunya dicengkeram; keempat, karena pemusatan tenaga Beng-yang dipencar dalam Hun-kin-jo-kut-chiu dan Khun-goan-it-bu- kang. Karena pemencaran tenaga itu, maka sekali pukul dapatlah Toan Khikya menghantam dan menusuknya.

Musuh yang sebenarnya dari Toan Khik-sia ialah Yo Bok-lo. Maka demi Beng-yang roboh, ia segera alihkan serangannya pada orang she Yo itu. Baru Yo Bok-lo girang melihat si temberang Beng-yang mendapat hajaran, tahu-tahu pedang si anak muda sudah merangsangnya.

”Entah bagaimana luka Go Beng-yang itu, biar bagaimana juga ia adalah orangku sendiri. Karena menuruti kemendongkolan hati, bangsat cilik ini mendapat kemurahan besar,” diam-diam Bok-lo menyesal telah membiarkan kepala Gwe-thok-lam itu roboh.

Go Beng-yang adalah pemimpin dari pasukan istimewa Gwe-thok-lam. Di hadapan Yo Bok-lo sekali gebrak ia dibikin jungkir balik oleh Toan Khik-sia, walaupun ia tahu bahwa anak muda itu cukup bermurah hati, namun ia tetap marah sekali. Menggerung seperti harimau terluka, ia jungkir balik dengan gerak le-hi-ta-ting (ikan lele berjumpalitan), lalu menyerang si anak muda lagi.

Kali ini ia tak berani gegabah merapat si anak muda. Ia menyerang dengan ruyung Ca-liong- piannya. Itulah senjata yang paling diandalkan. Ruyung itu lebih dari satu tombak panjangnya, ujungnya penuh dipasangi duri-duri kecil macam rambut, gunanya untuk menggaruk kulit orang. Itulah maka diberi nama Ca-liong-pian atau pian berewok naga.

Karena gemas, ia serentak menyerang dengan 3 jurus hwe-hong-soh-liu atau angin puyuh menyapu pohon liu. Ruyung itu menderu hebat seperti angin puyuh. Tapi Khik-sia tetap andalkan gin-kangnya yang lihay untuk melayani. Laksana kupu-kupu ia menari-nari di antara taburan hujan ruyung. Tampaklah seperti kena, padahal masih terpisah satu dim.

Tapi ini kali Yo Bok-lo tak mau tinggal diam lagi. Pada waktu Toan Khik-sia menghindari

ruyung, cepat laksana kilat ia menerkam kedua siku lengan Toan Khik-sia dengan gerakan jong-ing- tian-ki (garuda pentang sayap). Untung Khik-sia waspada. Tak kalah cepatnya ia berputar dan mainkan tinju serta pukulannya dalam gerak hiat-koa-tan-pian. Tinju kirinya dibuat menghantam tangan Yo Bok-lo sedang pedangnya dipakai menangkis pian Go Beng-yang.

Tapi bagaimanapun juga, Yo Bok-lo dan Go Beng-yang itu adalah jago-jago kelas satu. Mereka masing-masing memiliki kepandaian istimewa. Dengan mengandalkan keunggulan gin-kang, memang Khik-sia dapat melayani, tapi hanya untuk dua-tiga puluh jurus saja. Selewatnya itu, tenaganyapun mulai berkurang, gerakannya mulai kendur, daya tahannya mulai berkurang.

Sekaligus Yo Bok-lo telah mendapat kemenangan moral yaitu dapat mengembalikan serangan pada Toan Khik-sia dan dapat menghancurkan kecongkakan Go Beng-yang. Itulah sebabnya walaupun masih ada ganjalan dengan orang she Go, tapi saat itu ia ”ngepiah” betul-betul untuk menyerang Toan khik-sia. Beberapa kali Toan Khik-sia hendak mematahkan bagian penyerangan musuh yang lemah, yaitu Go Beng-yang, tapi selalu dihadang oleh Yo Bok-lo.

”Bagus, Go-heng, teruskan siasatmu itu, kita tak usah terlalu peras tenaga. Kita boleh bergantian maju merapat, bangsat kecil itu tentu tak dapat lolos!” seru Yo Bok-lo.

Pada saat itu barulah Go Beng-yang melek bahwa kepandaian Yo Bok-lo itu memang lebih unggul setingkat dari dirinya. Ia pun tak mau membawa maunya sendiri, tak ingin pula untuk

merebut jasa. Serta-merta ia turuti perintah Yo Bok-lo, ia mainkan piannya menyerang dari jarak 2 tombak. Benar ia lebih lemah dari Yo Bok-lo, tapi ilmu permainan Ca-liong-pian-hoatnya yang terdiri dari 81 jurus itu juga bukan main hebatnya.  Cepatnya seperti angin, kerasnya seperti baja dan gencarnya bagai hujan lebat. Tubuh Toan Khik-sia seolah-olah diselubungi oleh bayangan pian.

Yo Bok-lo pun juga lantas keluarkan ilmu pukulannya Chit-poh-tui-hun-ciang-hoat (pukulan

maut dari 7 langkah). Bagaikan bayangan, pukulannya selalu membayangi si anak muda dan yang diarah selalu bagian-bagian yang berbahaya.

Melihat jalannya pertempuran itu, Yak-bwe menjadi gelisah. Tiba-tiba terdengar orang berseru: ”Bagus, Sip-ciangkun datang! Biarpun bangsat kecil itu mempunyai 3 kepala dan 6 tangan masakah ia bisa lolos!”

Segera seseorang yang mengenakan pakaian pembesar militer, lengkap dengan pedang di pinggang, tampak muncul ke muka.   Melihat Ciang-kun itu, Yak-bwe berubah girang.  Kiranya jenderal itu bukan lain ialah Sip Hong. Sip Hong adalah adik misan dari Sik Ko. Ia menjabat Tin- siu-su dari kota Pok-ong yang terletak di tengah perbatasan Gui-pok dengan Lo-ciu. Untuk mengambil hati Tian Seng-su, Sik Ko rela menyerahkan kota Pok-ong itu ke dalam kekuasaan Tian Seng-su. Di samping itu dapatlah Sik Ko menggunakan adik misannya itu untuk memata-matai gerak-gerik Tian Seng-su. Dengan begitu dapatlah Sik Ko memasang sebuah pion dalam pemerintahan Tian Seng-su.

Kali ini karena urusan perkawinan keluarga Tian dan Sik, Tian Seng-su telah memanggil Sip Hong. Mengingat Sip Hong masih ada ikatan famili dengan pihak mempelai perempuan, maka Tian Seng-su hendak minta ia mengantar puteranya ke Lo-ciu menjemput mempelai perempuan. Sebelum menjadi Ciat-tok-su, dulu Sik Ko itu bertetangga dengan Sip Hong. Anak perempuan Sip Hong yang bernama Sip In-nio, akrab sekali dengan Yak-bwe seolah-olah seperti saudara sekandung. Sejak kecil sama-sama memain dan sama-sama belajar ilmu silat.

”Ilmu pedang Sip piau-siok itu lihay sekali, jika ia turun tangan, ah, jiwanya (Toan Khik-sia)

pasti terancam!” pikir Yak-bwe. Kemudian ia menimbang pula: ”Apakah enci In-nio ikut juga? Sip piau-siok seorang baik, enci In-nio lebih baik lagi terhadap aku. Jika kutemui dan minta mereka dengan memandang mukaku supaya melepaskan dia, rasanya mereka tentu meluluskan tapi

bagaimana aku hendak membuka mulut? Di hadapan sekian banyak orang, bagaimana aku akan mengakuinya sebagai bakal suami?”

Selagi Yak-bwe masih terbenam dalam keraguan, Sip Hong sudah tiba di ”gelanggang” pertempuran. Melihat Toan Khik-sia yang baru berumur 16-17 tahun dapat melayani Yo Bok-lo dan Go Beng-yang, heranlah Sip Hong dibuatnya. Ia hentikan langkah dan bertanya: ”Hai, siapa kau dan siapa ayahmu? Mengapa menyelundup ke gedung Tian-tayjin sini?”

Dari bibi He, Khik-sia sudah mendapat keterangan tentang pribadi Sip Hong.  Dahulu Sip Hong itu bersahabat baik dengan ayahnya. Segera ia menjawab: ”Ayahku bernama Toan Kui-ciang dan aku Toan Khik-sia. Karena Tian Seng-su suka memeras rakyat dan menggunakan uang negara untuk mas kawin, maka lantas kurampasnya. Dan malam ini sengaja kudatang untuk ”mengirim golok meninggalkan surat”. Konon kabarnya sebagai pembesar kau berkelakuan baik, masakan kau hendak membantu padanya?”

Sip Hong terbeliak kaget, pikirnya: ”Ai, kiranya putera dari Toan Kui-ciang. Toan tayhiap

adalah seorang yang membaktikan hidupnya untuk rakyat dan negara, bagaimana aku tega untuk mencelakai puteranya? Tapi jika aku diam berpeluk tangan, apakah tidak akan dituduh membelakangi Tian Seng-su? Ya, bagaimanakah dayaku untuk diam-diam membantu anak muda ini?” Dalam batin Ciangkun itu timbul pertentangan sendiri antara budi dan kewajiban. Karena itu untuk beberapa saat ia tampak kebingungan.

Saat itu Yak-bwe sudah berniat hendak loncat keluar, tapi lagi-lagi ada orang berteriak: “Masih ada seorang penjahat lainnya yang berada di dalam taman! Tayswe memberi perintah jangan sampai mereka dapat lolos!”

Yang dimaksud dengan Tayswe itu, bukan lain ialah Tian Seng-su.  Ternyata ia sudah ditolong

oleh orang sebawahannya. Setelah tersadar, pertama-tama yang dilihatnya ialah surat yang ditaruh Yak-bwe di atas bantalnya. Kemudian didapatnya peti emaspun lenyap sudah tentu ia terkejut sekali. Karena surat itu memakai stempel Sik Ko, jadi ia menduga kalau Sik Ko telah mengirim

Ko-chiu (jago lihay) untuk menyampaikan. Sedikitpun ia tak mengira bahwa yang membawa surat itu ialah Yak-bwe.

Sesaat kemudian orang sebawahannya telah melihat surat Toan Khik-sia yang dipaku dengan belati pada meja. Surat berikut belati itu segera dibacakan pada Tian Seng-su. Lagi-lagi Ciat-to-su itu tersirap kaget. Ia tahu kalau putera Toan Kui-ciang itu bernama Toan Khik-sia karena Yo Bok-lo pernah menceritakannya.

”Tulisan dalam kedua surat ini berbeda gayanya, entah apakah dibuatnya oleh seorang saja? menurut keterangan Yo Bok-lo, Toan Khik-sia itu memiliki kepandaian silat tinggi. Jika ia merampas barang-barang kirimanku itu dalam kedudukan sebagai kepala penyamun kemudian datang kemari hendak memberi ancaman padaku, itu masih dapat dimengerti. Tapi apabila ia menjadi kaki-tangan Sik Ko, ini tak boleh dibuat main-main.”

Mengapa Tian Seng-su mempunyai dugaan begitu, bukan tidak ada sebabnya. Ia sendiri merancang rencana begitu, jadi ia kuatir orang lain pun begitu terhadap dirinya.  Dan kalau dugaannya itu benar, terang kalau Sik Ko itu sudah mulai mengumpulkan tenaga-tenaga kosen dan bersiap-siap hendak menyerangnya (Tian Seng-su).

Pada lain saat datanglah Bu-su melaporkan bahwa penjahat sudah kepergok di taman dan tengah dihantam Yo Bok-lo dan Go Beng-yang. Menurut gelagatnya, penjahat itu tentu dapat tertangkap. Mendengar itu Tian Seng-su agak lega. Tadi karena ia menduga Sik Ko tentu mengirim bukan melainkan seorang Ko-chiu saja, maka ia segera perintahkan orang-orangnya mencari lagi kalau- kalau penjahat itu masih ada kawannya yang lain.

Tian Seng-su telah menetapkan keputusan: jika kawanan penjahat dari Sik Ko itu dapat dikalahkan oleh orang-orangnya, ia segera menuntut pertanggungan jawab dari Sik Ko. Namun kalau orang-orang yang dikirim Sik Ko itu ternyata lebih kuat dari jago-jagonya, terpaksa ia akan minta damai dengan Sik Ko.

Kembali pada Yak-bwe yang masih bimbang mengambil putusan baik keluar atau tidak,

sekonyong-konyong didengarnya derap kaki yang riuh ke dalam halaman. Sesaat kemudian di luar pintu kamar tempat sembunyi Yak-bwe itu terdengar orang berseru: ”Toa kongcu, kita kemasukan pembunuh gelap, kau jangan keluar, kami akan menjaga di luar kamarmu!”

Karena Toa-kongcu mereka tak berkutik di bawah injakan kaki Yak-bwem jadi tak dapat menyahut. Ini menimbulkan keheranan kawanan serdadu itu. ”Di luar begitu gaduhnya, tapi aneh, mengapa Toa-kongcu masih enak-enak tidur?” demikian mereka itu ramai memperbincangkan.

Tiba-tiba pintu diketuk dan Yak-bwe pun segera bertindak. Diangkatnya putera Tian Seng-su itu dan serentak dibukanyalah pintu kamar: “Siapa yang berani menghampiri maju, Kongcumu ini tentu kubunuh!” teriaknya sambil acungkan ujung pedang ke punggung putera Tian Seng-su.

Diantara serdadu pengawal itu, ada seorang yang sudah bertahun-tahun ikut pada Tian Seng-su. Sewaktu masih sama menjadi orang sebawahan An Lok-san, Tian Seng-su dan Sik ko itu sering kunjung-mengunjungi. Itulah sebabnya maka serdadu tua itu segera mengenali Yak-bwe. ”kau ... apakah kau ini bukan toa-siocia keluarga Sik?” serunya dengan nada gemetar kaget. ”Benar, lekas bilang pada Tian Seng-su supaya perintahkan Go Beng-yang dan Yo Bok-lo mundur, jika tidak puteranya tentu akan kubunuh!” kata Yak-bwe.

”Hai, nona Sik, mengapa kau berbuat begitu? Bukankah bulan muka ini kau bakal menjadi menantu keluarga Tian sini?” seru serdadu tua itu.

Dengan gusar Yak-bwe membentaknya: ”Jika kau masih tetap mengoceh tak karuan, jiwamu segera akan kucabut juga!”

Semangat orang itu serasa terbang. Ia lari terbirit-birit untuk melapor kepada Tian Seng-su. ”Toh aku sudah terlanjur kepergok, takut apa!” selekas menetapkan keputusan begitu, Yak-bwe lantas berseru: ”Ayo, menyingkir!” Habis itu ia lantas menggusur putera Tian Seng-su keluar.

Di gelanggang sana setelah tertegun beberapa saat, tiba-tiba Sip Hong lantas mencabut

pedangnya dan berseru: “Bocah she Toan, jangan coba-coba mengadu domba! Aku Sip Hong hanya taat pada orang atasanku. Jika kau unjuk kegarangan di lain tempat, aku tidak peduli. Tapi karena kau berani mengaduk di gedung Tian tayjin sini, aku tak dapat tinggal diam!”

”Hm, beginilah mentaliteitnya manusianya. Jika sudah menjadi pembesar, orang baik-baik pun menjadi jahat!” demikian Khik-sia berkesan di dalam hati.

Melihat Sip Hong menghampiri dengan menghunus pedang, Toan Khik-sia tak dapat mengendalikan marahnya lagi: ”hm, mendiang ayahku sudah keliru menilai orang!” katanya dengan dingin. Dengan gerak poan-liong-sian-poh ia menghindari pukulan Yo Bok-lo, lalu menusuk Sip Hong. Melihat kesempatan itu, Go Geng-yang ayunkan piannya menyerang dari sebelah kiri.

Dengan begitu terkepunglah Toan Khik-sia dari tiga jurusan. Di sebelah muka ada Sip Hong, sebelah kanan ada Yo Bok-lo dan dari sebelah kiri diserang Go Beng-yang. Betapapun lihaynya, tetap sukar bagi Toan Khik-sia untuk melayani ketiga lawannya yang lihay itu.

Meskipun serangan Toan Khik-sia tadi cukup keras, sebenarnya Sip Hong masih dapat menangkis. Tapi entah bagaimana, orang she Sip itu sudah lantas menjerit kaget dan buru-buru menyurut mundur. Dan seperti disengaja, gerakannya mundur itu tepat seperti menyongsong pian yang dilayangkan Go Beng-yang. Sudah tentu pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu terperanjat sekali.   Kuatir akan melukai Sip Hong, Go Beng-yang buru-buru menarik pulang piannya. Dan memang dalam ilmu permainan pian, orang she Go itu sudah dapat menguasai gerakan pian menurut sesuka hatinya.

Dalam pertempuran antara jago-jago yang disebut Ko-chiu, segala gerak-terjang selalu

dilakukan dengan serba cepat. Menang atau kalah hanya tergntung dalam sekejapan mata saja. Sedikit ragu-ragu atau berayal, itu berarti kehilangan kesempatan untuk menang. Demikianlah yang terjadi pada saat itu. Go Beng-yang menarik kembali piannya itu sebenarnya hanya berlangsung dalam sekejap mata saja, namun kejadian itu sudah cukup besar artinya bagi Toan Khik-sia untuk merebut kemenangan. Berbareng orang menarik piannya, Khik-sia pun sudah enjot tubuhnya melompati kepala Sip Hong. Sebelum Go Beng-yang sempat memainkan piannya lagi, tahu-tahu matanya sudah disilaukan oleh taburan sinar gemerlap. Dan sebelum ia tahu apa yang harus dilakukan, ujung pedang Toan Khik-sia sudah membuat tujuh liang luka pada tubuhnya.

Keruan Yo Bok-lo terbeliak kaget dan buru-buru melancarkan tiga kali pukulan berturut-turut ke  arah Toan Khik-sia. Pertolongan itu berhasil menahan serangan si anak muda dan tertolonglah jiwa Go Beng-yang. Pemimpin pasukan Gwe-thok-lam itu buang dirinya bergelundungan di tanah sampai beberapa tombak jauhnya. Anak buahnya segera cepat-cepat mengangkatnya. Walaupun bukan pada bagian yang mematikan, namun tujuh liang luka itu cukup membuat Go Beng-yang merintih-rintih kesakitan. Sampai Yo Bok-lo yang mendengarnya, turut tersirap kaget.

Sip Hong telah melakukan peranannya dengan bagus sekali. Sampai seorang benggolan kawakan macam Yo Bok-lo yang kenyang dengan segala macam tipu muslihat, tak dapat mengetahui perbuatan Sip Hong. Paling-paling orang she Yo itu hanya dapat memaki-maki dalam hati pada Sip Hong yang dianggap bernyali kecil sehingga bukan saja telah menghilangkan suatu kesempatan bagus, pun sebaliknya malah membikin celaka kawan sendiri.

Tapi Toan Khik-sia yang cerdas, cukup mengerti akan kebaikan Sip Hong tadi. Diam-diam ia menyesal mengapa tadi sudah memakinya. ”Karena terikat oleh kewajiban, jadi ia harus pura-pura bersikap memusuhi aku. Karena kurang pikir, maka aku telah memakinya, ah, sungguh tolol!” pikir Khik-sia.

Setelah tahu maksud Sip Hong, Toan Khik-sia segera bertindak.   Ia segera keluarkan ilmu pedang simpanannya. Ia serang Yo Bok-lo dan Sip Hong dengan gencar sekali. Tampaknya memang tiada perbedaan, tapi ternyata yang dilancarkan ke arah Sip Hong itu hanya serangan kosong, sedang yang ditaburkan kepada Yo Bok-lo itu serangan sungguh-sungguh. Karena serangan itu dilakukan serba cepat, kecuali pihak yang diserang itu sendiri yang dapat merasakan, orang-orang yang melihatnya tak tahu sama sekali. Dan karena Yo Bok-lo pontang-panting membela diri, jadi ia tak sempat lagi untuk meninjau sandiwara yang dimainkan anak muda itu.

Karena beberapa kali hampir kena, mau tak mau bergetarlah hati Yo Bok-lo. Pikirnya: ”Ai, sungguh tak nyana kalau bocah ini sedemikian lihaynya. Rasanya malam ini aku sukar mendapat kemenangan!”

Tapi dalam pada itu, diam-diam ia merasa heran juga. Tadi sewaktu bertempur satu lawan satu, anak muda itu tak dapat merangsek. Kini setelah Sip Hong turut membantu, musuh malah dapat mendesaknya. Tapi ia tak dapat mengetahui ”rahasia” permainan Toan Khik-sia, paling-paling ia hanya dapat menarik kesimpulan bahwa tadi si anak muda belum mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan masih bersikap simpan tenaga. Karena mempunyai kesimpulan begitu, rasa takut Yo Bok-lo makin besar.

Selagi Khik-sia gembira dengan permainannya itu, tiba-tiba dari ruangan sebelah muka, berbondong-bondong keluar beberapa orang. Jumlah mereka ternyata banyak juga. Menyusul dengan itu, kawanan Bu-su yang sedang menyaksikan pertempuran itu sama menyiah minggir. Mereka sama berbisik-bisik seraya menuding-nuding. Suasana menjadi berisik sekali. Samar- samar Toan Khik-sia mendengar salah seorang dari Bu-su itu berseru: ”Hai, bukankah itu puteri dari Sik Ciat-to-su?”

”Ia belum menikah, mengapa berada bersama Kongcu?”

”Amboi, bilakah ia datang dari Lo-ciu. Mengapa kita tak mengetahui?”

Demikian kasak-kusuk kawanan Bu-su itu. Sebenarnya Yak-bwe menggusur putera Tian Seng-

su itu dengan mengancam pedang di punggung orang. Tapi karena didahului kawanan penjaga dan obor-obor yang dibawa kawanan Bu-su itu tak cukup terang, jadi sepintas pandang Yak-bwe itu dikira jalan bergandengan tandan dengan Kongcu mereka. Mereka tak melihat ujung pedang yang diancamkan oleh Yak-bwe.

Sebenarnya mata Toan Khik-sia lebih tajam dari orang biasa. Tapi karena ia tengah sibuk melayani Yo Bok-lo, jadi ia tak sempat memperhatikan dengan seksama. Bagaimana mimik wajah putera Tian Seng-su yang digusur seperti orang tawanan itu, iapun tak dapat melihat jelas.

Reaksi pertama yang terbit dalam hati Toan Khik-sia ialah gusar dan sedih. ”Padang belantara tumbuh rumput busuk, di dalam tanah emas tentu bercampur pasir”. Demikian ia teringat akan sebuah pepatah dan diam-diam mengakui kebenarannya. Ia pikir tunangannya itu dibesarkan dalam keluarga Ciat-to-su, sudah tentu tetap menjadi orang mereka. Apakah aku masih dapat mengharapnya?

”Sebelum dijemput oleh bakal suaminya ia sudah datang sendiri, tentulah karena kuatir jangan- jangan perkawinan itu akan rewel setelah bingkisan perkawinannya kurampas. Ya, tentulah begitu. Tanpa malu-malu lagi, ia lantas datang kemari untuk memberitahukan peristiwa itu. Kalau tidak, masakan setelah mempunyai pasukan Gwe-thok-lam, Tian Seng-su masih perlu mengundang seorang Ko-chiu macam Yo Bok-lo lagi?” demikian pikir Khik-sia.

Sebenarnya Toan Khik-sia itu seorang pemuda cerdas, tapi dikarenakan ia sudah mempunyai purbasangka terhadap Yak-bwe, jadi pandangannya selalu menjurus kesalah paham. Dan jeleknya ia tak mau meninjau lagi anggapannya itu. Karena terpengaruh oleh kejadian itu, hati Khik-sia pun tergetar.

Pantangan dalam pertempuran ialah bercabang hati. Kepandaian Toan Khik-sia itu berimbang dengan Yo Bok-lo, malah dalam hal tenaga dalam orang she Yo itu lebih unggul setingkat dari dirinya. Sedikit keayalan dari pemuda itu sudah lantas dipergunakan sebaik-baiknya oleh Yo Bok- lo untuk merubah posisi pertempuran. Dari diserang kini jagoan itu berganti melakukan tekanan. Sedikit Toan Khik-sia kurang cepat bergerak, bahunya kena dicengkeram lawan. Untung ia dapat cepat-cepat menghindar. Sekalipun begitu, tak urung bahunya kena dicengkeram robek juga.

Melihat si anak muda hampir celaka, tanpa disadari menjeritlah Yak-bwe. Tapi bersamaan waktunya juga, murid-murid Yo Bok-lo itupun sama bersorak memuji suhunya. Dengan begitu suara Yak-bwe pun terbenam. Betul nada seorang gadis itu berbeda dengan nada kaum lelaki, tapi karena teriakan Yak-bwe itu bernada kaget, jadi sepintas lalu hampir menyerupai dengan orang bersorak.

Kembali hal itu menambah salah paham Toan Khik-sia. Mendengar dalam sorakan itu terdapat suara Yak-bwe, makin besarlah kedukaan dan kemarahan pemuda itu.

Karena ia begitu senang, maka ia bersorak kegirangan Yo Bok-lo dapat memukul aku!” ia menggeram.

Kasihan Yak-bwe! Begitu mesra ia tumpahkan perhatiannya kepada Toan Khik-sia, tapi oleh si anak muda malah diterima salah ....

Tiba-tiba pada saat itu di udara tampak meluncur sejalur sinar api dan menyusul pada lain saat terdengarlah ledakan. Benda bersinar itu meletus di udara. Kawanan Bu-su segera menjerit kaget: ”Celaka, kawanan perampok datang dengan jumlah besar!”

Memang apa yang dikatakan mereka itu benar. Yang datang itu memang To Peh-ing dan kawan- kawan. Sebelum berpisah, Toh Peh-ing tahu kalau Toan Khik-sia hendak menuju ke gedung Tian Seng-su untuk ’mengirim golok meninggalkan surat’. Kuatir kalau anak muda itu terancam bahaya, diam-diam Peh-ing membawa belasan anak buahnya masuk ke dalam Gui-pok. Ia bersembunyi di rumah seorang penduduk yang tinggal di dekat gedung Ciat-to-hu. Siang malam ia memperhatikan gerak-gerik gedung Ciat-to-hu itu.

Pada malam itu, benar juga ia telah mendengar suara ramai-ramai yang bertempur di gedung Ciat-to-hu itu. Ia yakin Toan Khik-sia tentu sudah datang mengaduk. Ia terus akan bertindak

membantu, tapi jumlah anak buahnya hanya belasan saja, padahal pasukan Gwe-thok-lam itu terdiri dari 3000-an orang. Untuk melawan mereka, terang sebagai telur hendak beradu dengan tanduk.

Tapi Peh-ing pantang mundur. Ia sudah siap dengan sebuah siasat yang bagus. Siang-siang ia sudah menyiapkan banyak sekali anak panah berapi. Demikian ia segera memimpin anak buahnya menerjang ke gedung Ciat-to-hu. Sembari loncat turun mereka lepaskan anak panah berapi. Siasat itu berhasil. Kawanan Bu-su itu melihat ada beberapa bayangan berloncatan turun dari tembok, mereka lantas menduga kalau kedatangan perampok dalam jumlah banyak sekali.

Laksana kembang api, panah api itu bertaburan kemana-mana. Sini padam sana berkobar lagi, sana reda sini timbul pula. Dua buah istal kuda yang terbuat dari papan kayu, tertimpa api dan terbakar. Di dalam taman yang menjadi gelanggang pertempuran itu, segera menjadi panik suasananya.

”Urusanku sudah selesai, perlu apa aku terus bertempur? Ai, lebih baik aku lekas-lekas tinggalkan tempat ini supaya tidak bertemu dengan dia, nanti hatiku panas lagi!” demikian pikir khik-sia.

Setelah mengambil keputusan, Khik-sia lalu bertindak. Karena Sip Hong hanya ’main-main’ saja, mudahlah baginya untuk meninggalkan Yo Bok-lo. Laksana burung elang, ia melayang

melampaui kepala kawanan Bu-su itu. Gerakannya indah dan cepat sekali. Oleh karena di mana- mana terdapat orang, maka Bu-su regu pemanah tak berani membidikkan panah. Mereka kuatir akan melukai kawannya sendiri.

Dalam beberapa kejap saja Toan Khik-sia sudah loncat melampaui tembok. Saat itu barulah kawanan Bu-su berteriak-teriak melepaskan anak panah. Sekalipun tahu kalau bakal tak mengenai, namun mereka hamburkan juga anak panahnya untuk menghidupkan kembali semangat pasukannya.

Melihat si anak muda sudah berhasil meloloskan diri, Yak-bwe girang sekali. Tiba-tiba ia teringat: ”Astaga, ia sudah pergi, akupun harus lekas-lekas menyingkir dari sini!”

Sebenarnya mudah sekali baginya untuk lolos. Dengan mempunyai sandera berupa puteranya Tian Seng-su, ia dapat menggertak kawanan Bu-su itu untuk memberi jalan padanya. Tapi karena kurang pengalaman, jadi ia sudah tak dapat memikirkan siasat itu. Tanpa berpikir panjang lagi, puteranya Tian Seng-su segera dibanting ke tanah, lalu ia menerjang keluar. Untung karena tahu kalau Yak-bwe itu puteri Sik Ciat-to-su yang bakal menjadi calon menantu majikan mereka (Tian Seng-su), maka kawanan Bu-su itupun tak berani merintanginya.

”Tak perduli siapa dia itu, tangkaplah!” demikianlah perintah dari Tian Seng-su sementara itu. Kala itu setelah mendapat laporan dari si serdadu tua bahwa puteranya telah diringkus oleh puterinya Sik Ko, kemudian nona itu minta supaya ia lepaskan Toan Khik-sia dan kalau tidak

puteranya bakal dibunuh, Tian Seng-su segera bergegas-gegas menuju keluar. Dilihatnya suasana dalam taman situ kacau balau, ada yang sibuk memadamkan api, ada yang berteriak-teriak menangkap penjahat dan ada pula yang pontang-panting lari kian kemari. Salah seorang dari Bu-su itu menghadap Tian Seng-su dan memberi laporan bahwa si penjahat sudah lolos. Sedang puteri Sik Ciat-to-su entah bagaimana telah melukai kongcu dan kini tengah berusaha meloloskan diri.

Mendengar itu Tian Seng-su serentak memberi perintah tadi.

“Bagus, karena kau tak mau memandang persahabatan, akupun takkan berlaku sungkan lagi terhadap anak buahmu,” demikian pikir Yak-bwe. Sebenarnya tiada maksudnya sama sekali hendak melukai orang, tapi karena gusarnya ia mainkan edangnya dengan gencar. Barangsiapa yang berani mendekati, tentu diberinya sekali tusukan. Ia mewarisi ilmu pedang dari Biau Hui Sin-ni,

gerakannya cepat dan tepat. Setiap tusukannya tentu mengarah jalan darah yang berbahaya. Sudah tentu anggota pasukan Gwe-thok-lam itu bukan tandingannya. Dalam beberapa kejap saja, sudah ada beberapa belas orang yang roboh dan mengerang-erang kesakitan.

”Nona Sik, jika kau tak kembali, maaf kalau aku terpaksa berlaku kurang hormat,” teriak Yo Bok-lo. Sekali melesat ia mengejar Yak-bwe dan terus ulurkan tangan untuk mencengkeram. Tiba-tiba pada saat tangannya hendak menyentuh tubuh si nona, entah dari mana datangnya,

tahu-tahu dua batang jarum Bwe-hoa-ciam menyambar dari samping. Sebenarnya kalau tak lengah, tak nanti Yo Bok-lo sampai kena dibokong. Pertama, karena Toan Khik-sia sudah lolos dan kedua, ia pikir hanya berhadapan dengan Yak-bwe, jika nona itu hnedak menaburkan senjata rahasia ia tentu dapat mengetahuinya. Oleh karena itu ia tak mau menjaga kemungkinan lainnya lagi.

Sungguh di luar dugaan kalau ada seorang musuh gelap yang menyembunyikan diri di dalam orang banyak. Dalam kekacauan, orang itu diam-diam telah menimpukkan jarum Bwe-hoa-ciam yang tak mengeluarkan suara. Sekali lututnya kesemutan, jagoan itu hampir saja terkulai roboh!

Berbareng dengan Yo Bok-lo terkena jarum, Yak-bwe balikkan pedang menghantam sekuat- kuatnya. Nona itu insyaf kalau bukan tandingan si orang she Yo, jadi ia gunakan serangan yang paling dahsyat, suatu serangan yang disertai tekad: mati atau terluka bersama.

Sambaran pedangnya itu justru berbareng pada waktu Yo Bok-lo terhuyung mau roboh.  Cret, ujung pedang memakan pahanya dan menghiasnya dengan sebuah luka sepanjang belasan senti. Dari mengerang terkena jarum, Yo Bok-lo menggerung keras karena sakitnya. Masih ia mencoba untuk membalas si nona dengan sekali sapukan kaki kiri, tetapi luput. Sudah tentu dengan sebelah kaki ia sukar menahan tubuhnya lagi. Bluk, robohlah jago kawakan itu.

Tapi Yak-bwe tak berani menabasnya lagi. Dengan mata kepala ia saksikan walaupun sudah terkena jarum Bwe-hoa-ciam, jago she Yo itu masih dapat balas menyerang. Ini menandakan tangguhnya orang itu. Takut kalau dikejar orang she Yo itu lagi, Yak-bwe segera melarikan diri. Begitu roboh, Yo Bok-lo segera bergelundungan di tanah. Kuatir kalau Yak-bw menyerangnya lagi, ia berusaha untuk menggelundung sejauh mungkin. Memang tindakannya itu benar, tapi itupun berarti suatu keuntungan bagi Yak-bwe untuk lolos.

Melihat orang undangannya juga terluka, walaupun marah tapi tak urung Tian Seng-su jeri juga. Pikirnya: ”Ai, sudah, sudah, aku terpaksa harus mengubur rencanaku untuk menelan Lo-ciu dan menerima perdamaian dengan Sik Ko. Perkawinan itupun terpaksa batal.” 

Kawanan Gwe-thok-lam yang dengan ”gagah berani” mengejar penjahat tadi pun balik kembali ke dalam taman. Mereka melapor: ”Di tembok kota sebelah depan itu, terdapat segerombolan penjahat. Dari atas tembok kota itu mereka melepaskan panah-panah api tadi. Sewaktu kami

mengejar keluar, mereka sudah menggabungkan diri dengan si bangsat kecil she Toan itu. Tampak kami datang, mereka lalu loncat turun ke sebelah sana. Karena kuatir mereka mengadakan bay-hok (barisan pendam), kami tak berani mengejar terus. Mohon Tayswe memberi petunjuk, apakah perlu mengirim pasukan berkuda untuk mengejarnya?”

Sebenarnya kawanan Gwe-thok-lam itu hanya menghias diri saja. Mereka jeri sekali kepada

Toan Khik-sia. Yang dimaksud dengan mengejar itu hanyalah keluar dari pintu taman, melihat-lihat sebentar lalu masuk kembali.

”Kamu sekalian ini hanya bangsa kantong nasi semua.  Masakah sekian banyak orang tak mampu menangkap dua orang penjahat kecil saja. Lekas enyah!” Tian Seng-su marah-marah. Habis menumpahkan kemarahannya, Tian Seng-su teringat pada puteranya. Ia segera bertanya: ”Bagaimana toa-kongcu?”

Karena ditutuk jalan darahnya oleh Yak-bwe, putera Ciat-to-su itu tak dapat berkutik dan bicara. Kawanan bu-su itu hanya mengerti beberapa jurus ilmu silat saja, sudah tentu mereka tak dapat menolong. Malah karena tak mengerti kalau toa-kongcunya tertutuk jalan darahnya, mereka menjadi sibuk tak keruan sendiri.

Akhirnya adalah Tian Seng-su sendiri yang mengetahui hal itu. Ia dahulu berasal dari kalangan Lok-lim, jadi tahulah kalau puteranya itu kena ditutuk orang. Namun ilmu tutukan Yak-bwe itu adalah ilmu tutukan istimewa dari Biau Hui Sin-ni. Walaupun tahu tapi Tian Seng-su juga tak berdaya menolongnya.

”Coba kau lihat bagaimana dengan keadaan Yo-siansing. Jika lukanya tak berat, undang ia kemari untuk menolong toa-kongcu,” ia segera perintahkan orangnya mengundang Yo Bok-lo dan mengangkut puteranya ke dalam kamar.

Yo Bok-lo memiliki lwekang tinggi. Begitu kena jarum Bwe-hoa-ciam ia segera menutup

seluruh jalan darahnya, agar jarum itu jangan sampai menembus ke jantung. Kemudian ia berusaha mengeluarkan jarum itu, lalu dilumuri obat. Karena lukanya itu tak berat, setelah diberi obat, iapun sudah dapat berjalan pula. Waktu mendapat panggilan dari Tian Seng-su ia segera bergegas-gegas mendatangi.

Waktu berhadapan dengan Tian Seng-su, ia merasa malu. Tapi mengingat luka Go Beng-yang itu lebih berat lagi, ia merasa tak kelewat malu. Dan berkat kepandaiannya yang tinggi, walaupun tak mengerti ilmu tutukan yang dipergunakan Yak-bwem, namun ia dapat juga membukanya.

Selagi Tian Seng-su kegirangan karena puteranya tertolong, tiba-tiba terdengar orang berteriak: ”Hei, di bawah kolong ranjang seperti ada orangnya!”

Tian Seng-su mendengar juga ada suara berkeresekan: ”Siapa itu, lekas seret keluar!” perintahnya.

Si serdadu tua membungkuk ke bawah. Matanya segera tertumbuk pada sepasang betis putih. “Astaga! Seorang penjahat perempuan!” serunya seraya menyeretnya keluar. Tapi wkatu melihat wajah orang itu, seperti terkena stroom, ia segera lepaskan tangannya dan menjublek seperti patung.

Kiranya yang diseret keluar itu bukan lain ialah gundik kesayangan dari Tian Seng-su. Gundik yang main pat-pat-gulipat dengan puteranya sendiri. Pada saat itu di kamar situ penuh dengan kawanan Bu-su, sudah tentu mereka saling berpandangan satu sama lain. Hanya saja mereka tak berani buka suara.

Rahasianya terbongkar, pucatlah wajah putera yang manis itu. Serunya dengan meratap: ”Yah, ampunilah jiwaku!”

Melihat kejadian yang memalukan itu, Tian Seng-su rasakan kepalanya seperti berputar-putar. Saking tak tahannya, ia menampar puteranya: ”Binatang, binatang!  Kau, kau bagus sekali

perbuatanmu ini!”

Saking gusarnya dadanya serasa sesak dan pingsanlah Ciat-to-su itu!

Sekarang marilah kita tinggalkan Tian Seng-su yang tak ingat orang itu untuk mengikuti perjalanan Yak-bwe. Setelah berhasil melompati pagar tembok gedung Ciat-to-hu, Yak-bwe dapatkan di luar sana hanya ada sebuah jalan besar. Pikirnya: ”Mungkin ’dia’ belum jauh!” Memikir sampai di situ, ia jengah sendiri dan girang juga. Namun sesudah berjalan sampai 10-

an li, ia tetap tak dapat melihat bayangan Toan Khik-sia. Sesaat ia menjadi putus asa. ”Apakah tadi ia tak melihat diriku? Apakah ia tak tahu kalau diam-diam aku membantunya? Tapi mengapa ia tak mau menunggu aku?”

Selagi ia berbicara dalam hatinya sendiri, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki orang memburu. Ia buru-buru berpaling ke belakang, ah, itulah seorang pemuda, tapi bukan Toan Khik-sia pemuda pujaannya itu.

Tapi Yak-bwe merasa seperti sudah pernah mengenal pemuda itu. Ia tertegun. Sembari meraba tangkai pedangnya ia menegur: ”Siapa kau ini? Mengapa mengejar aku?”

Pemuda itu tertawa mengikiki, serunya: ”Adik Hong-sian, masakan kau lupa padaku?” Mendengar suara orang itu, girang Yak-bwe bukan kepalang, teriaknya: ”Cici In-nio, kiranya kaulah. Mengapa kau menyaru menjadi seorang pemuda?” Kiranya ”pemuda” itu adalah Sip In- nio, puterinya Sip Hong.

Sejak kecil ia dengan Sip In-nio selalu berkumpul bersama. Bahkan keduanya bersama-sama belajar silat pada Biau Hui Sin-ni, hubungan mereka sudah seperti saudara putusan perut saja.

Adalah karena ayah mereka sama-sama mendapat jabatan sebagai panglima perbatasan, terpaksalah mereka berpisah. Bahwa di tempat dan saat seperti itu dapat berjumpa kembali, girang mereka tak terperikan lagi.

”Ha, jangan menghujani diriku dengan pertanyaan dulu. Biar aku yang harus memeriksa kau dulu!” demikian In-nio tertawa.

”Aku melakukan ’kejahatan’ apa maka cici hendak memeriksa diriku?” sahut Yak-bwe.

Kata In-nio pula: ”Bukankah kau sudah dijodohkan dengan putera Tian Seng-su? Mengapa sebelum dijemput kau sudah pergi ke rumahnya?”

”Ai, enci In, jangan menghina padaku. Tadi kau tentunya berada di dalam taman, masakan kau tak melihat bagaimana aku telah memperlakukan si katak buduk itu?” sahut Yak-bwe dengan tertawa.

”Ha, kukira sebelum keluar pintu dengan resmi, kau sudah mengunjunginya,” In-nio menggoda pula.

Mendengar cemooh itu Yak-bwe terus maju akan menampar mulut orang, tapi In-nio cepat mencegahnya: ”Ai, jangan ribut, jangan ribut. Ya, anggaplah aku salah omong, biar kuhaturkan maaf padamu. Ia seorang katak buduk dan kau seekor angsa cantik. Bukankah katak buduk itu gemar makan daging angsa? Oi, makanya kau suka padanya?”

”Jangan membikin keseleo kata-kata orang, ya? Bukan aku hendak menaikkan harga diriku,

tapi putera Tian Seng-su itu memang benar bukan manusia,” kata Yak-bwe yang lalu menceritakan tentang pengalamannya di gedung Ciat-to-hu di mana karena menghindari kejaran Yo Bok-lo ia sudah keliru masuk ke dalam kamar orang yang lagi berbuat mesum.

Waktu mendengar cerita tentang perbuatan putera Tian Seng-su itu, wajah In-nio merah kemalu- maluan. Tapi ia pun tak kuat lagi menahan gelinya.

”Ya, ya, aku mengertilah. Kau tak suka pada si katak buduk karena kau sudah jatuh hati pada pemuda she Toan, bukan?”

In-nio biasa berkelakar, tapi kali ini kelakar itu telah membuat Yak-bwe merah padam dan tundukkan kepala.

”Ci In, apakah kau melihat jejaknya? Apa yang kulakukan malam ini, adalah untuk kepentingannya,” kata Yak-bwe.

In-nio terkesiap, ujarnya dengan nada bersungguh: ”Ai, kiranya kau benar-benar suka padanya!” Kata Yak-bwe: ”Cici, meskipun kita ini tidak seibu tapi rasanya kita sudah seperti saudara sekandung. Segala urusanku, takkan kurahasiakan. Dia, ya, dia itu sebenarnya calon suamiku!” In-nio terbelalak kaget, serunya: “Bilakah kau bertunangan dengan dia? Jika sudah ditunangkan padanya, mengapa ayah-bundamu hendak menikahkan kau pada keluarga Tian?”

Atas pertanyaan In-nio yang bertubi-tubi itu, tenang-tenang Yak-bwe menerangkan: ”Yang menjodohkan aku sejak lahir dengan dia adalah orang tuaku yang asli. Ayah ibuku yang sekarang ini bukan ayah bundaku kandung. Namaku sebenarnya Su Yak-bwe. Nama Sik Hong-sian itu sejak saat ini tak kupakai lagi!”

Demikianlah Yak-bwe menuturkan riwayat hidupnya dari awal sampai akhir. Berbagai perasaan timbul dalam hati In-nio di kala mendengar kisah itu, rasa sedih, girang, simpatik dan gairah. ”Oh, makanya ayahku sering memuji Toan Kui-ciang tayhiap sebagai seorang pendekar yang

gagah perwira serta berbudi luhur. Ayah mengatakan bahw Toan-tayhiap itu mempunyai beberapa putra, tapi entah kemana beradanya. Beberapa kali ayah bermaksud hendak menyuruh orang mencari jejak dari putera-putera Toan tayhiap itu. Dan setiap kali membicarakan tentang hal itu, ayah seperti memberi kisikan padaku supaya menanyakan asal-usul dirimu. Kali ini setelah mendengar kau bakal dinikahkan dengan keluarga Tian, untuk beberapa hari ayah tampak uring- uringan belaka. Kiranya disitu terselip sesuatu hal.”

”Ai, jadi ayahmu juga memuji-muji Toan-tayhiap,” seru Yak-bwe.

”Kalau memang baik, habis mau dikatakan bagaimana? Toan-tayhiap adalah orang yang paling dikagumi oleh ayahku,” In-nio menandaskan.

Mendengar itu diam-diam Yak-bwe mengutuk Sik Ko: ”Kalau begitu, terang ayah angkatku itu bukan orang baik-baik. Ah, bertahun-tahun ia mengelabuhi aku.”

”Kami ayah dan anak merasa beruntung sekali malam ini dapat membantu kalian berdua lolos dari bahaya,” kata In-nio.

Kini barulah Yak-bwe tahu persoalannya, katanya: ”Oh, jadi ayahmu tadi memang sengaja mengalah padanya. Tentunya kaulah juga yang secara diam-diam membantu hingga aku dapat melukai Yo Bok-lo.”

”Benar, dalam kekacauan tadi diam-diam aku telah menimpuknya dengan Bwe-hoa-ciam,” In- nio mengiyakan. Setelah itu ia menuturkan pengalamannya.

In-nio dapatkan ayahnya tak senang waktu mendengar pernikahan Yak-bwe. ”Mengapa ayah tak senang? Apakah putera Tian Seng-su itu tak sembabat dijodohkan pada adik Sian? Ah, biar kuikut ayah ke gedung Ciat-to-hu, hendak kulihat bagaimana macamnya putera Tian Seng-su itu dulu. Jika memang buruk, aku akan memberitahukan pada adik Sian supaya minggat saja,” demikian ia ambil keputusan ketika ayahnya diminta Tian Seng-su untuk turut menjemput mempelai perempuan. Sudah tentu ia tak mau kasih tahu pada ayahnya tentang rencananya itu,

melainakan mengatakan hendak melihat-lihat bagaimana gedung Ciat-to-hu tempat kediaman Tian Seng-su itu. Ayahnya, Sip Hong, juga setuju karena sebetulnya ia jeri juga datang seorang diri ke tempat Ciat-to-su itu. Ia kenal siapa Tian Seng-su itu. Maka ia segera suruh puterinya mengenakan pakaian lelaki menjadi seorang pengikutnya.

”Sudah dua hari aku tinggal di gedung Ciat-to-hu, tapi tetap belum pernah melihat bagaimana tampang muka putera Tian Seng-su itu. Tak terduga kau sendiri juga sudah datang, jadi aku tak perlu capek-capek lagi,” kata In-nio dengan tertawa.

Yak-bwe menghaturkan terima kasih, namun tampaknya ia masih bermuram durja. ”Eh, mengapa lagi kau ini?” tegur In-nio.

Yak-bwe tak menyahut dan hanya mengutik ikat pinggangnya.

”Ha, biar kutebaknya. Kau tentu sedang memikirkan si Toan kecil itu. Ya, ia memang keterlaluan mengapa tak menunggumu,” In-nio menggodanya. Ia merenung sejenak, tiba-tiba berkata pula: ”Adik Sian, eh tidak, seharusnya kupanggil kau adik Bwe. Ya, adik Bwe, apakah kau kepingin menjumpainya, aku mempunyai akal.”

Tanpa malu-malu lagi Yak-bwe segera minta petunjuk. ”Baik, sekarang ikutlah padaku,” kata In-nio.

Yak-bwe keheran-heranan, serunya: ”Apa kau tahu tempatnya?” ”Akan kubawa kau ke suatu tempat untuk menjumpai seseorang!” ”Siapa?”

”Tak usah kau tanya, pokoknya aku tak nanti menipumu,” sahut In-nio.

Dalam berkata-kata itu wajahnya berseri-seri, bibirnya mengulum senyum dan pipinya pun kemerah-merahan. Sikapnya sungguh aneh.

Yak-bwe penasaran: ”Segala apa kuberitahu padamu, sebaliknya kau main gelap-gelapan tak mau mengatakan terus terang.”

”Tak usah terburu-buru, nanti tentu kuberitahu. Ayo, ikutlah!” sahut In-nio.

Terpaksa Yak-bwe mengikutinya lari. Ternyata In-nio menuju ke sebuah gunung. Lagi-lagi

Yak-bwe menegurnya: ”Ai, tengah malam begini mengapa kau bawa aku ke atas gunung? Apakah orang itu berada di sini? Apakah kau sudah berjanji padanya?”

In-nio hanya tertawa saja: ”Bagaimana penyamaranku sebagai ini, mirip tidak?” Mendapat jawaban yang bukan ditanyakan itu, Yak-bwe makin heran.

Tanpa banyak pikir lagi ia segera menyahut: ”Mirip sekali. Tadi hampir saja aku tak dapat mengenalmu.”

”Mungkin memang kau tak mengetahui, bahwa sejak kita berpisah, dalam beberapa tahun ini

aku sering menyaru jadi lelaki untuk pesiar kemana-mana. Ayah tak begitu mengurusi diriku. Kau bilang peniruanku itu persis sekali tapi pada suatu kali aku telah diketahui orang. Ai, sungguh berbahaya, mereka adalah orang-orang jahat dari Kim-hong-pang,” kata In-nio.

”Eh, rupanya kau ini sedang menyembunyikan udang di balik batu. Pertanyaan yang kuajukan, sepatahpun tak kau jawab, sebaliknya kau merangkai cerita lain. Memang aku senang sekali mendengar ceritamu itu, tapi rasanya lebih baik pada lain hari saja. Hhu, kau jahat benar karena sengaja membikin tegang urat syarafku.”

Tertawalah In-nio menjawab: ”Pohon mempunyai akar dan urusan juga ada ikhwalnya. Bagaimana jadinya kalau aku tak menceritakan dari permulaan? Baik, karena rupanya kau begitu bernafsu, kita menjumpai orang itu dulu baru nanti kuceritakan lagi.”

Lalu ia mendongak ke atas puncak gunung.

“Ai, rembulan sudah berada di tengah langit, ia tentunya sudah datang,” katanya kemudian. ”dia, dia, sekali lagi dia! Siapakah sebenarnya dia itu?” seru Yak-bwe.

Sekonyong-konyong In-nio bersuit panjang. Sesaat kemudian dari arah puncak gunung

terdengar suitan balasan. Kalau suitan In-nio bernada kecil bening, adalah suitan orang dari puncak gunung itu bernada nyaring kuat, mirip dengan ringkikan naga atau aum harimau.

”Hai, lwekang orang itu hebat sekali, tak kalah dengan Toan Khik-sia. Orang yang hendak kau pertemukan padaku apakah itu orangnya?” tanya Yak-bwe.

”Benar, memang itulah orangnya,” sahut In-nio. Habis itu, ia mendekam dan tempelkan telinganya pada tanah.

”Cici, mengapa kau berbuat begitu?” tanya Yak-bwe.

”Musuh-musuhnya sudah banyak yang datang, jadi ia tak dapat menyambut kita,” sahut In-nio. Apa-apaan artinya ini?” Yak-bwe makin keberatan.

”Malam ini ia telah mengundang beberapa musuh untuk bertemu di gunung Pak-bong-san sini. Sekarang mumpung mereka masih belum bertempur, kita lekas-lekas kesana untuk melihat ramai- ramai,” kata In-nio.

Sip In-nio ternyata sering berkelanan di dunia persilatan, jadi pengalamannyapun lebih banyak

dari Yak-bwe yang selalu dikungkung dalam gedung ciat-toa-hu. Nona itu sudah dapat mempelajari ilmu ’menempel tanah mendengarkan suara”. Didengarnya di atas puncak gunung sana ada 7-8 orang tengah bertengkar.

Kini Yak-bwe agak mengerti, ujarnya: ”Ha, orang itu tentu sahabat baikmu dan kau hendak mengajak aku membantu padanya, bukan?”

In-nio tertawa: ”Tidak, selamanya ia tak mau dibantu orang. Sekalipun lawan berjumlah seratus atau seribu orang, ia tetap menghadapinya seorang diri!”

Malam itu cuaca terang. Setelah berlari beberapa saat, jauh-jauh kedua nona itu sudah dapat melihat keadaan di atas puncak gunung itu. Dilihatnya ada seorang pemuda yang berperawakan tinggi tengah berdiri menghadap rembulan. Di sekelilingnya dikerumuni oleh sekelompok orang. Waktu menghitung, Yak-bwe dapatkan orang-orang itu berjumlah delapan.

In-nio loncat ke atas sebuah batu karang yang besar bundar, ujarnya: ”Tempat ini sesuai sekali, dari sini kita dapat melihat jelas pertempuran mereka.”

”Apakah yang membalas suitanmu tadi pemuda itu?” tanya Yak-bwe.

”Benar! Sudah kalu lihat bukan orang-orang yang mengepungnya itu?” In-nio menyahut dan bertanya. Dari nada ucapannya ia seperti membanggakan pemuda itu.

Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran Yak-bwe. Diam-diam ia tertawa: “Kali ini dugaanku tentu tak salah. Ci In-nio tentu suka pada pemuda itu. Ha, jadi ia juga sudah punya pilihan.” Tapi serta dilihatnya In-nio tengah mencurahkan perhatian pada pertempuran itu, terpaksa Yak- bwe tak jadi menggodanya.

Tiba-tiba di gelanggang pertempuran sana terdengar seorang berseru: ”Hai, orang she Bo, berapa banyak orangkah yang kau undang membantumu? Tunggu setelah mereka datang semua, baru kita mulai bertempur, agar kau tak menuduh aku sebagai orang yang menindas si lemah dengan main keroyok.”

Kata-kata itu menyatakan kalau suitan In-nio tadi, telah didengar mereka.

”Yang bicara itu ialah Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Dialah yang mengetahui penyamaranku kala itu. Karena mereka berjumlah banyak, jadi aku tak mampu melawannya, syukur ada pemuda she Bo itu yang menolongku,” demikian In-nio memberi keterangan pada Yak-bwe.

Dalam pada itu terdengar pemuda she Bo itu sedang menyahut dengan dingin: ”Sebaliknya akulah yang hendak menanyakan padamu, apakah orang-orangmu sudah lengkap semua?” ”Apa maksudmu?” Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu balas bertanya.

”Aku tak mengundang barang seorang pembantupun, melainkan ada seorang sahabatku yang mungkin kepingin melihat pertempuran ini. Kalian tak usah kuatir.”

Mendengar keterangan si pemuda, kawanan Kim-liong-pang itu serempak tertawa mengejek: ”Apa yang kami kuatirkan? Kuatir kau dapat melarikan dirikah? Ha, jangan ngimpi kau!

Sekalipun kau tumbuh sayap juga tak nanti kau dapat lolos!”

Tapi pemuda itu tak mengacuh dan hanya menegas lagi: ”Sekali lagi aku akan bertanya, apakah orang-orangmu itu sudah lengkap?”

”Kalau sudah lalu bagaimana?” tanya si Hu-pangcu balas bertanya.

”Kalau sudah, barulah aku enak turun tangan agar tidak repot-repot harus mengejar satu persatu. Ha, jika memang belum lengkap, aku bersedia menunggu beberapa saat lagi,” kata si pemuda.

Mendengar kata-kata itu, kawanan Kim-liong-pang itu sama berjingkrak-jingkrak marah. Berserulah salah seorang yang bertubuh tinggi besar: ”Kau ini benar-benar seorang bocah yang congkak. Baik, biar kuajar adat padamu dan akupun tak mau dibantu siapapun juga.”

Tapi sebelum si tinggi besar itu tampil kemuka, dua orang yang baik perawakannya maupun pakaiannya serupa coraknya, sudah melangkah maju, seru mereka dengan lantanga: “Nyo-toako, sukalah kiranya kau tunggu dulu. Kami kaum Thay-ou-pang mempunyai dendam permusuhan sedalam lautan dengan bocah itu.”

Habis berkata mereka berdua lalu mencabut senjatanya yang berupa sebatang poan-koan-pit dan berseru: “Sekalian saudara yang hadir di sini rasanya maklum akan peraturan dari persaudaraan Cin. Baik lawan kami itu seorang atau seratus orang, kami berdua saudara ini tentu selalu maju berbareng.   Ini perlu kami kemukakan terlebih dulu, agar  kau jangan menuduh kami main keroyokan terlebih dulu, agar kau jangan menuduh kami main keroyokan. Hai, dengarlah bocah

she Bo! Asal kau dapat bertahan menghadapi 50 jurus permainan pit kami, maka kami berdua bersedia untuk menyembah padamu!”

Pemuda she Bo itu hanya miringkan kepala, melihat dengan melirik hina. Ia tak tampak mencabut pedang pun tak menyambut tantangan kedua saudara itu.

Hu-pangcu dari Kim-liong-pang mencegahnya: ”Harap saudara berdua jangan berebut dulu. Bagaimana bocah itu dapat bertahan sampai 50 jurus? Paling banyak 30 jurus saja ia tentu sudah mampus. Kalau ia belum-belum sudah mati, habis apa dayaku untuk melampiaskan kemendongkolan hatiku? Ah, lebih baik saudara berdua mengalah dulu, biar aku yang maju.”

Tiba-tiba ada seorang yang berpakaian seperti opsir tentara melangkah kemuka dan berseru dengan nyaring: ”Hai, kalian tak boleh berebutan! Bocah itu telah merampas pesakitan penting, aku hendak meringkusnya dan membawanya ke kota raja. Ayo, kalian mundur semua, biar aku seorang diri yang menangkapnya!”

Yak-bwe berbisik pada In-nio: ”Aku kenal opsir itu. Ialah Hou-ya-to-wi Ut-ti Lam, menjabat sebagai thong-leng (pemimpin) dari pasukan Kim-wi-kun di istana. Liong-ki-to-wi Ut-ti Pak adalah kakaknya. Mereka berdua memiliki kepandaian silat tinggi, namanya tersohor di dalam dan luar negeri. Perangai kedua saudara itu hampir sama.”

In-nio menertawakan: ”Pemimpin pasukan istana bersekutu dengan pemimpin partai persilatan, sama-sama maukan diri seorang pemuda, ai, sungguh mengherankan. Tapi dari ucapan opsir itu, rupanya ia tak ada janji sama sekali dengan kawanan orang Kim-liong-pang. Mereka hanya kebetulan berjumpa di sini saja.” ”Ah, sayang!” tiba-tiba Yak-bwe menyelutuk.

”Sayang apa?” tanya In-nio dengan heran.

”Ut-ti Lam adalah seorang lelaki gagah. Dipandang dari kedudukannya, walaupun hanya kebetulan berjumpa dengan orang-orang Kim-liong-pang, namun tetap merosotkan harga dirinya,” kata Yak-bwe.

Dan bagaimana reaksi orang-orang yang dihardik Ut-ti Lam itu ternyata mereka terkesiap kaget. Tapi si tinggi besar itu juga berwatak berangasan. Iapun tak peduli bahwa opsir yang mengenakan seragam hitam itu ialah Ut-ti Lam. Serentak ia pun balas mendamprat: ”Orang macam pantat kuali seperti kau ini juga berani berlagak pembesar? Berada di sini, kau harus menurut peraturan dunia persilatan, jangan sok aksi seperti dalam kantormu, tahu. Jika sampai membangkitkan amarahku, awas, nanti tentu kuberi makan bogem mentahku!” dengan gusarnya. Wut, ia lantas menyabat dengan piannya.

Hu-pangcu dari Kim-liong-pang rupanya kenal akan Ut-ti Lam. Sudah tentu ia menjadi terkejut dan tergopoh-gopoh memburu maju dan mendorong si tinggi besar ke samping. Kemudian ia haturkan maaf: ”Ut-ti ciangkun, harap jangan marah. Malam ini kita sama-sama menemukan seorang musuh, segala apa dapat kita bicarakan. Saudara Nyo ini tidak pandai bicara, harap Ciangkun bersabar sedikit!”

Untung Hu-pangcu itu cepat-cepat mendorong si tinggi besar sehingga terluput dari pian Ut-ti Lam, maka pian itu telah menghantam sebuah batu besar hingga hancur berantakan. Melihat itu, bagaimanapun berangasannya, si tinggi besar tak berani bercuit lagi.

”Harap kalian jangan ribut-ribut, sudilah dengarkan kata-kataku,” tiba-tiba anak muda tadi berkata.

Dari sikapnya pemuda itu seperti tak mengandung permusuhan kepada mereka dan bahkan hendak melerai.

Ut-ti Lam juga merasa heran, sahutnya: ”Baik, cobalah kau akan berkata apa?”

”Ut-ti ciangkun, kunasihatkan lebih baik biarkan mereka bertempur dulu dengan aku. Kau nanti jatuh pada giliran yang terakhir saja,” kata anak muda itu.

”Apa-apaan itu, kau bocah ini malah akan mengeloni mereka,” demikian Ut-ti Lam berteriak dengan marah-marah.

Tertawalah pemuda itu: ”Biarlah kuterangkan alasannya, Ut-ti ciangkun, dengarkan dulu!”

Ia menunjuk pada kedua saudara yang bergelar Cin-keh-siang-pit, lalu katanya: ”Kalian tadi mengatakan mempunyai dendam sedalam laut padaku, tapi aku sendiri bingung, permusuhan apakah yang kita ikat itu?”

Kedua saudara Cin itu mendengus, sahutnya: ”Ha, kau budak kecil ini pandai berpura-pura. Baiklah, biar kuterangkan. Keterangan ini bukan untukmu, melainkan supaya dapat diketahui oleh saudara-saudara yang hadir di sini. Selesai mendengari keteranganku, kalian tentu tahu apa sebabnya kami berkeras hendak melabrak bocah ini lebih dulu.”

Si Cin yang tua merandek sejenak, lalu melanjutkan berkata: ”Bulan yang lalu kami bercekcok rebutan bandar (pangkalan perahu) dengan orang Hay-yang-pang. Bocah itu sebenarnya orang luar, tapi suka usil. Ia membantu pihak Hay-yang-pang hingga mengalahkan orang-orangku dan menghancurkan 17 buah perahu kami yang berada di perairan telaga Thay-ou. Tidakkah hal ini berarti dendam sedalam lautan?”

Lalu adiknya menambahkan: ”Kala itu kami berdua saudara tak ada di situ, hingga pihak kami menderita kerugian. Sebenarnya kami harus menuntut balas pada pihak Hay-yang-pang, tapi setelah kami selidiki, 8-9 bagian dari orang-orang kami itu dilukai oleh bocah ini. Maka kami kesampingkan urusan terhadap Hay-yang-pang dan membikin perhitungan pada bocah ini lebih dulu.”

Anak muda itu tiba-tiba menyahut: ”Memang sebagian besar hal itu benar, hanya saja masih kelewatan sedikit mengenai sebab-sebabnya kalian bercekcok dengan pihak Hay-yang-pang. Biarlah aku yang memberi tambahan keterangan. Hay-yang-pang adalah sebuah organisasi nelayan di sepanjang pantai Thay-ou. Kalian dari Thay-ou-pang itu lantas mau memungut pajak pada mereka. Para nelayan itu sudah berat membayar pajak pada pembesar negeri setempat, apakah mereka dapat memikul lagi beban yang makin memberatkan itu? Untuk membela kepentingannya maka Hay-yang-pang terpaksa melawan kalian. Salahkah jika aku berdiri di pihak Hay-yang-pang? Atau apakah seharusnya aku membantu pada pihakmu untuk menindas kaum nelayan itu?” Berkata pula anak muda itu: ”Walaupun jadi perampok atau bajak, pun seyogyanya jangan menanggalkan sifat-sifat keperwiraan. Di tempat di mana kaum nelayan sudah menderita, kalian masih hendak merebut nasi mereka, apakah kalian tidak malu! Itulah sebabnya maka aku memberi sedikit hajaran pada orang-orang Thay-ou-pang itu, pertama untuk meringankan kemengkalan hati kaum nelayan dan kedua supaya mereka ingat betul-betul bahwa aku sudah bermurah hati tidak membunuh barang seorangpun dari kawan mereka. Mengapa kalian masih menuduh aku berbuat salah?”

Malu dan geram bercampur aduk dalam perasaan kedua saudara Cin itu. Belum mereka menyatakan apa-apa, Ut-ti Lam sudah berseru memuji: ”Benar, ucapanmu itu cukup ceng-li dan perbuatanmu itu tepat sekali!”

Sebenarnya kedua saudara Cin sudah mau menumpahkan kemarahannya, tapi demi Ut-ti Lam mengatakan begitu, mereka agak kurang enak untuk turun tangan.

Kemudian si pemuda itu menuding pada si tinggi besar, katanya: ”Dan kau? Apakah kita juga mempunyai permusuhan sedalam lautan?”

”Meskipun dendam itu tak menyamai membunuh ayah atau merampas isteri, tapi rasanya juga

tak jauh dari itu. Barang-barang antaran piau yang hendak kami rampas, ibarat kue bak-pau sudah berada di mulut, tapi mengapa kau mengadu biru dan membantu mereka dan menggagalkan usaha kami?” demikian seru si tinggi besar.

Si pemuda menyahut: ”Mungkin saudara tak mengetahui bahwa barang-barang itu adalah uang perak untuk Li Yang-ceng yang menjabat sebagai Ti-ho congkoan (pembesar urusan irigasi).

Kantor pengangkutan Tiang-an-piau-kiok telah diserahi untuk mengantarkannya. Barang antaran itu tak boleh dirampas.”

”Mengapa?” tanya si tinggi besar.

”Karena uang itu diperuntukkan membelanjai pekerja-pekerja. Tentang pembesar she Li itu, aku pun sudah menyelidikinya, dapat dikata seorang pembesar yang baik,” tutur si anak muda. ”Persetan ia pembesar baik atau jahat dan bagaimana ia akan menggunakan uang itu! Pendek kata, yang kuketahui hanyalah uang perak yang bergemerlapan saja, bagi kami yang menuntut

penghidupan sebagai orang Hek-to, jika tak merampas uang masakan disuruh makan angin saja?” sahut si tinggi besar dengan gusar.

Tertawalah anak muda itu: ”Ucapan saudara itu tidak tepat. Jika kau mengganyang uang kaum pembesar korup, aku tentu tak berani unjuk diri. Tapi dengan merampas uang tadi, bukan saja rakyat pekerja akan kelaparan pun proyek bendungan sungai Hong-ho akan terbengkalai, akibatnya ribuan jiwa rakyat akan menderita mala petaka, rumah tangga tercerai berai. Karena tak dapat merampas uang itu paling-paling kau hanya makan angin, tapi apakah kau tahu bahwa ribuan rakyat itu kini benar-benar sudah makan angin? Kutahu kalau saudara itu juga dari keturunan keluarga miskin, mengapa saudara hanya mementingkan diri sendiri saja?”

Si tinggi besar itu ternyata seorang jujur juga. Ia garuk-garuk kepalanya, katanya: ”Eh, ucapanmu itu rada ceng-li juga. Tapi hal itu rasanya tak sesuai dengan peraturan yang sudah mendarah daging di kalangan Lok-lim. Coba beri aku tempo untuk memikirkannya.”

”Baiklah, kau boleh merenungkan dulu,” kata si pemuda.

Mendengar anak muda itu telah menyelamatkan uang antaran untuk Ti-ho-congkoan, Ut-ti Lam menjadi terkesiap.

Tidak demikian dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang yang lantas membentaknya: ”Kedatangan

kita di sini ini untuk bertempur atau akan mendengarkan ceramah tentang ceng-li? Perlu apa ribut- ribut begitu? Mari, ayo, marilah, kami bertiga Hiangcu dari Kim-liong-pang akan minta pelajaran ilmu pedang lagi padamu!”

Ia menjabat sebagai Hu-pangcu (wakil pemimpin) merangkap Seng-tong-hiangcu (ketua bagian hukum) dari Kim-liong-pang. Ia membawa serta dua orang Hiangcu lagi kesitu. Dari bicaranya, ia seperti hendak mengajak kawannya maju mengeroyok. Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: ”Kalau dengar pembicaraan bocah itu, rasanya berarti sekali, apa halangannya untuk mendengarkan terus!”

Anak muda itu sekonyong-konyong tertawa memanjang lalu menuding pada Hu-pangcu Kim- liong-pang: ”Makinkau takut kubuka borokmu, makin aku bernafsu mengatakannya!

Dengarkanlah, sewaktu di jalan Lo-pok kau hendak merampas seorang gadis tapi karena kau dikalahkan, kau lantas panggil kambrat-kambratmu untuk merampasnya di samping secara diam- diam kau gunakan dupa bi-hiang. Perbuatanmu itu bahkan lebih memalukan daripada perbuatan- perbuatan rendah kaum Lok-lim. Jika hanya kuiris sebelah daun telingamu, itu sudah kelewat murah karena kuharap kau dapat merubah kesalahanmu. Tetapi mengapa kau masih tak tahu diri dan berani mencari balas padaku?”

Mendengar itu bukan main gusar Ut-ti Lam kepada orang Kim-liong-pang itu, serunya: ”Ha, bagus, bangsat terkutuk, rasakanlah lebih dulu pianku ini!”

Si anak muda buru-buru kebutkan lengan bajunya untuk menyingkirkan pian Ciangkun yang hendak diserangkan pada Hu-pangcu dari Kim-liong-pang itu.

”Ut-ti ciangkun, harap jangan mencampuri urusanku. Kalau mereka hendak menantang berkelahi, aku sanggup melayani sendiri. Dan lagi Ciangkun toh masih terhitung lawan dengan aku.”

Sahut Ut-ti Lam: ”Benar, aku memang hendak bertempur padamu nanti!”

”Baik, sekarang rasanya kau tentu sudah mengetahui mengapa kutaruhkan dirimu pada urutan yang terakhir,” kata si anak muda.

Ut-ti Lam juga seorang yang lurus. Apa yang dipikirnya tentu lantas diucapkan. Tanpa banyak berpikir lagi, ia lantas menyahut: ”Ha, aku sudah tahu sekarang, tentu kau takut kalau kutangkapmu lebih dulu hingga kau tak sempat untuk menghajar mereka.  Tidak apalah, aku, aku ”

Sebenarnya ia ingin mengatakan: ”Orang-orang itu kutu busuk semua, aku akan mewakilkanmu menghajar mereka.” Tapi tiba-tiba pikirannya berubah: ”Tidak, tidak, jika aku mengatakan begitu, tentu kawanan kutu busuk dan perampok itu akan lari sipat kuping nanti.”

Maka tertawalah si anak muda, serunya: ”Tak usah kau katakan juga aku sudah mengerti maksudmu itu. Tapi Ut-ti ciangkun, apakah kau sudah memperhitungkan kalau dapat memenangkan aku?”

Ut-ti Lam tertegun. Ia melihat jelas bagaimana dengan kebutan lengan baju tadi, si anak muda telah dapat mengisar serangan piannya ke samping. Tanpa bimbang lagi ia segera menyahut: ”Hal itu baru dapat diketahui kalau sudah bertempur.”

”Tepat! Kau belum yakin dapat mengalahkan aku, akupun tak pasti dapat menundukkan kau. Andaikan salah satu akan menang juga nanti sudah kehabisan tenaga. Itu waktu mungkin kita sudah loyo untuk menghadapi pertempuran lagi!” kata si anak muda.

Dipikir-pikir omongan itu memang benar. ”Ya, ya, benar juga dia. Jika aku dan dia sama-sama terluka, kawanan penjahat itu yang mendapat keuntungan nanti,” diam-diam opsir itu membatin. Kata pula si anak muda: ”Ut-ti ciangkun, jika kau ingin menangkan aku, ada sebuah cara, ialah kau boleh ikut maju bersama mereka untuk mengeroyok aku. Ini mungkin ada harapan.”

”Hah, kau menilai diriku ini orang macam apa? Aku, Ut-ti Lam, masakah sudi menggabung dengan kaum perampok dan kawanan telur busuk itu!” teriak Ut-ti Lam dengan murka.

Karena mendongkol, ia sudah menghamburkan kata-kata ”kawanan telur busuk” dan

”perampok”. Sudah tentu orang-orang yang dimaki itu melotot gusar.

”Ut-ti ciangkun, begitu selesai memberesi budak itu, kami nanti pasti akan minta pengajaran padamu,” seru kedua saudara Cin.

Tanpa menghiraukan kedua jagoan itu, si anak muda berkata pula kepada Ut-ti Lam: ”Bagus,

Ut-ti ciangkun, karena kau sudah tahu manusia macam apa mereka itu dan karenanya kau tak sudi mendekati mereka, maka sekarang silakan minggir dulu sajalah.”

Ciangkun yang ketolol-tololan tapi jujur itu garuk-garuk kepalanya. Tiba-tiba ia berseru: ”Ai, masih sedikit enggan aku!”

”Harap ciangkun jangan mengkuatirkan diriku. Orang itu, sekalipun ditambah lagi jumlahnya, masih belum kupandang sebelah mata. Setelah menghajar mereka, aku masih ada tenaga cukup untuk menemani kau berkelahi. Tapi kalau bertempur dulu padamu kemudian baru menghajar mereka, meskipun masih dapat menang tapi agak makan tenaga pula,” kata si anak muda.

Dijunjung begitu, kemarahan Ut-ti Lam berganti menjadi kegirangan. Serunya: ”Benar, omonganmu itu memang beralasan. Baik, biar aku jatuh pada giliran terakhir!”

Mendengar dirinya dijadikan bulan-bulanan percakapan itu, marahlah orang-orang itu. Memang kecuali Hu-pangcu dari Kim-liong-pang yang sudah pernah merasakan tangan si anak muda, lain- lainnya belum kenal siapa anak muda itu. Sekalipun mereka itu kebanyakan adalah tokoh-tokoh persilatan yang ada nama, tapi karena ditantang supaya maju semua oleh si anak muda, mereka sebaliknya malah bersangsi.

Tiba-tiba kedua Hiang-cu dari Kim-liong-pang itu membuka suara: ”Ada orang bersembunyi di sana, mungkin komplotan budak kecil itu. Biar kugeropyoknya dulu mereka itu.”

Kiranya mereka sudah mengetahui kalau In-nio dan Yak-bwe berada di atas batu tempat persembunyiannya. Kedua Hiang-cu itu licin benar. Dengan alasan mau menggeropyok, mereka hendak menyingkir dulu dari si anak muda yang telah diketahui kelihayannya. Biar kedua saudara Cin dan kawan-kawan bertempur dulu dengan si anak muda, baru nanti mereka hendak melihat perkembangannya.

Tapi mereka licin, si anak muda lebih cerdik lagi. Baru saja kaki mereka melangkah beberapa tindak atau tahu-tahu kaki mereka terasa lemas dan ”bluk-bluk”, jatuhlah keduanya terkulai di tanah.

”He, jangan lari kemana-mana, kembalilah! Apakah kalian tak mendengar permintaanku tadi supaya kalian maju berbareng semua?” seru si pemuda.

Ternyata anak muda itu sudah gunakan Kek-gong-tiam-hiat atau menutuk jalan darah dari kejauhan untuk merubuhkan kedua Hiang-cu Kim-liong-pang itu. Tapi sungguh lacur, kedua saudara Cin itu sudah tak kenal akan ilmu tutukan yang sakti itu. Mereka kira si anak muda itu sudah mulai turun tangan, maka tanpa berpikir panjang lagi kedua saudara Cin itu sudah maju menyerang dengan Poan-koan-pit mereka. Yang satu dari sebelah kanan, yang lain dari kiri.

Tiba-tiba si tinggi besar menggerung: ”Keparat! Tuanmu belum bergerak, kau sudah mendahului turun tangan, ya?”

Si tinggi besar yang berangasan inipun tak mengerti ilmu apa yang digunakan si anak muda

untuk menjatuhkan kedua Hiang-cu tadi. Ia mengira anak muda itu sudah gunakan senjata rahasia, maka habis mendamprat ia lantas maju menjotos.

Dengan kedua buah jarinya, si anak muda pentalkan senjata pit dari kedua saudara Cin, kemudian balikkan telapak tangannya untuk tangkis tinju si tinggi besar, serunya dengan tertawa: ”Mengapa kau begitu terburu-buru? Tunggu sampai kawan-kawanmu sudah datang semua,

bukankah masih belum terlambat? Sekali ini aku memang mengalah, supaya kau jangan menuduh aku tak pegang janji. Ingat, jika sebelum kawan-kawanmu lengkap kau sudah bergebrak, kau tentu akan menderita kerugian besar!”

Di sana kedua Hiang-cu Kim-liong-pang tadi tampak sedang merangkak bangun. Dengan mata gusar, mereka terpaksa kembali dan mempersatukan diri dengan sekalian orang. Dalam pada itu si anak muda sedang ulur tangannya untuk mendorong si tinggi besar, serunya: ”Bagus, kalau kawan- kawanmu sudah lengkap, baru boleh maju lagi, ya!”

Melihat kepandaian anak muda itu begitu sakti, tanpa malu-malu lagi, kawanan penjahat itu

segera menyerbu berbareng. Mendadak anak muda itu berputar tubuh, tahu-tahu tangannya sudah mencekal pedang dan dalam sabetan pertama ia sudah dapat membabat putus Lian-cu-chui (bandul besi berantai) dari salah seorang penyerangnya. Sabetan kedua, sebuah golok musuh terpental ke udara. Kemudian begitu sang tubuh bergerak, ia sudah tiba di sisi si tinggi besar.

”Celaka!” mulut si tinggi besar berteriak, tapi ia tak berdaya untuk menyingkir dari pedang si

anak muda yang sudah melayang datang. Mau tak mau menjadi nekat juga. ”Aku akan mengadu jiwa dengan kau!” teriaknya sambil mengangkat sepasang pedangnya ke atas, mirip dengan sepasang tanduk kerbau. Ia hendak menerjang maju, tapi ternyata si anak muda itu hanya tepuk pundaknya: ”Kau sudah memikir jelas, belum? Tadi kau sudah berjanji padaku untuk memikir masak-masak-masak!” Ketika si tinggi besar membuka matanya, ternyata si anak muda itu telah melesat lewat di sisinya dan sudah menempur Hu-pangcu dari Kim-liong-pang. Si tinggi besar tampak melongo, lalu berteriak: ”He, kau ini rada-rada cengli juga, aku tunduk padamu dan tak mau berkelahi lagi dengan kau!”

Habis berkata ia lantas berputar tubuh dan lari pergi menuruni gunung. Melihat itu tertawalah si anak muda: ”Baik, Nyo-toako, aku suka bersahabat padamu. Kita nanti berjumpa pula di Kim-ke- nia!”

Waktu Hu-pangcu Kim-liong-pang menyerang dengan tongkatnya, si anak muda berhenti tertawa dan berseru: ”Terhadap dirimu seorang penjahat pengrusak wanita ini, aku tak dapat memberi ampun. Jiwamu kutinggalkan tapi kepandaian silatmu kuambil!”

Cret, berbareng dengan selesai kata-katanya, ujung pedangnya pun sudah menyusup ke tulang pi-peh-kut, di pundak orang. Suatu hal yang membikin kejut keawanan perampok, lebih-lebih kedua Hiangcu dari Kim-liong-pang tadi, mereka serasa terbang semangatnya.

Hu-pangcu itu bukan tokoh silat sembarangan. Adanya dia dapat menjabat sebagai wakil ketua, karena kepandaiannya  itu termasuk yang nomor tiga dalam hirarki (urutan) Kim-liong-pang. Ia hanya di sebelah bawah dari Jui-tianglo dan Su-pangcu. Permainan ilmu tongkat dari Hu-pangcu itu juga termasyhur. Tapi anehnya belum lagi ia sempat memainkan jurus yang ketiga, tulang pundaknya sudah kena terpanggang pedang si anak muda.

”Kiranya ia benar-benar masih berlaku murah dengan hanya memotong sebelah telinga Hu- pangcu tempo hari. Kalau Hu-pangcu saja sudah keok, apa daya kita?” demikian barulah timbul rasa gentar dalam hati kedua Hiangcu itu.

Serta merta mereka lempar senjatanya dan terus hendak menurutkan peraturan kaum persilatan untuk meminta ampun. Tiba-tiba anak muda itu tertawa: ”Mengingat walaupun kalian berdosa tapi mau bertobat, maka akan kuberi hukuman ringan saja!”

”Sret, sret,” pedang si anak muda tampak berkelebat, dan tahu-tahu telinga kedua Hiang-cu itu masing-masing sudah hilang satu. Yang seorang telinga kiri dan yang seorang telinga kanan. ”Nah, biarlah kalian juga merasakan sedikit kesakitan agar dikemudian harinya dapat mengingat baik-baik. Nah, enyahlah!” seru si anak muda.

Karena tidak sampai dibikin lenyap kepandaiannya seperti Hu-pangcu mereka, girang kedua Hiangcu itu bukan kepalang. Tanpa banyak bicara lagi mereka segera memanggul Hu-pangcunya dan dibawa lari ke bawah gunung.

Kini yang masih segar bugar ialah kedua saudara Cin itu. Memang kepandaian mereka lebih unggul setingkat dari Hu-pangcu Kim-liong-pang. Biasanya merekapun congkak. Walaupun

menyaksikan kejadian itu dengan rasa terkejut, namun mereka tak mau mencontoh perbuatan kedua Hiangcu untuk meminta belas kasihan orang. Mereka bulatkan tekad untuk mengadu jiwa, apabila perlu mereka siap untuk sama-sama binasa dengan si anak muda. Dengan ketekadan itu mereka menyerang rapat-rapat kepada anak muda itu. Setiap serangan mereka selalu mengarah bagian- bagian yang mematikan.

Karena sejak kecil kedua saudara itu sama-sama belajar silat, jadi mereka dapat mengadakan

kerja sama permainan yang rapat. Sepasang senjata poan-koan-pit mereka dapat bergerak dengan indah laksana burung hong dan naga menari. Kanan-kiri, muka-belakang anak muda itu selalu dibayangi dengan pagutan poan-koan-pit. Sedikit saja si anak muda berayal atau salah jalan, pasti tubuhnya kena tertutuk.

Di atas batu besar sana, Yak-bwe menyaksikan pertempuran dengan tegangnya. Iabertanya dengan bisik-bisik kepada sahabatnya: ”Mengapa kawanmu itu hanya bertahan dan tak mau menyerang? Padahal ia mampu untuk menyerang lawan.”

In-nio tertawa: ”Memang setiap gerak-geriknya sukar diraba orang. Entahlah, aku sendiri tak mengerti apa maksudnya karena hanya ia sendiri yang mengetahui alasannya.”

Tiba-tiba kedengaran anak muda itu berseru lantang: ”Kalian menindas rakyat nelayan, suatu dosa yang sebenarnya tidak kecil. Tapi kulihat kepandaian kalian agaknya masih kalah setingkat

dengan Hu-pangcu Kim-liong-pang tadi, jadi kalau dipanggang tulang pi-peh-kutmu, rasanya masih kelewat berat. Hm, biar kupikirkan dulu, hukuman apakah yang sekiranya cocok untuk kalian ini?” Ia omong sendiri seperti berunding seorang diri. Serangan maut dari kedua saudara Cin itu seolah-olah tak dihiraukan sama sekali.

Kedua saudara Cin itu marah sekali, tapi apa daya. Seumur hidup mereka belum pernah ketemu dengan musuh setangguh anak muda itu. Mereka tak berani tumpahkan kemarahan, karena kuatir sedikit saja perhatian terpencar, tentu tubuh mereka akan tertutuk oleh lawan.

”Hai, ada, sudah ada. Ya, kuingat tadi kalian mengatakan kalau aku dapat melayani serangan kalian sampai 30 jurus, kalian lantas mau menjura kepadaku. Kiranya sekarang sudah ada 30-an jurus, bukan?” tiba-tiba anak muda itu berseru pula.

”Tiga puluh jurus sudah lebih sejak tadi-tadi!” tiba-tiba Ut-ti Lam turut berseru.

”Hai, jadi sudah lebih 30 jurus? Wah, kalian mau pegang janji tidak? Mau memberi hormat padaku tidak?” kata si anak muda.

Sudah tentu kedua saudara Cin itu tak mau menurut. Mereka malah memperhebat serangannya. ”Menjadi bangsa penjahat itu selain harus mengingat tentang ’keluhuran’ pun harus memegang ’kepercayaan’. Apakah kalian tidak tahu?” si anak muda tertawa dingin.

”Aha, jadi bangsa penjahat itu juga harus memiliki kesopanan? Tapi terhadap mereka, rasanya

sia-sia saja kau katakan begitu. Kulihat, kecuali dihajar mereka sampai bertekuk lutut, mereka tentu tak mau menganggukkan kepala kepadamu,” ujar Ut-ti Lam.

”Benar, karena kalian berdua ini penjahat-penjahat rendah yang tak pegang janji, aku terpaksa gunakan kekerasan,” kata si anak muda.

Tiba-tiba ia jungkirkan Ceng-hong-kiamnya, begitu membentur senjata lawan, tahu-tahu si Lo  Toa (kakak) dari saudara Cin menjerit, terus bertekuk lutut. Si Lo Ji (nomor dua) dari saudara Cin

terkejut, tapi belum lagi ia keburu menyingkir, lututnya sudah kena ditendang si anak muda. Tanpa dikehendakinya, iapun bertekuk lutut ke tanah. Karena jatuh ke tanah, tubuhnya bergoncang dan kepala mereka pun turut melentuk hampir mencium tanah. Dan karena mereka buru-buru mengangkat lagi kepalanya, sepintas lalu menjadi benar-benar seperti orang yang memberi hormat dengan menganggukkan kepala.

Tertawalah si anak muda gelak-gelak: ”Karena kalian sudah mengangguk, nah, kubebaskan kalian dari hukuman. Tapi ingat, jika lain kali masih berani menindas rakyat lemah, apabila jatuh ke dalam tanganku lagi, maka bukan saja kusuruh kalian mengangguk lagi, pun tulang Pi-peh-kut kalian akan kuremukkan. Nah, ingat baik-baik dan enyahlah sekarang!”

Cepat kedua saudara Cin itu merangkak bangun. Wajah mereka merah padam. Diam-diam mereka menyesal tidak punya sayap agar dapat lekas-lekas terbang pergi. Karena sang kepala ngacir, kawanan keroconya pun segera kabur semua. Dalam sekejap saja merka sudah tak kelihatan lagi. Kini yang tinggal di gelanggang situ, hanya Ut-ti Lam dan si anak muda.

”Bagus, bagus! Orang she Bo, nyata kau juga seorang jantan!” Ut-ti Lam acungkan jempolnya memuji.

”Maaf, sebenarnya aku tak layak menerima pujian begitu dari Ciangkun,” sahut si anak muda dengan tertawa.

Tiba-tiba Ut-ti Lam deliki kedua matanya dan berseru: ”Tapi sayang, sungguh sayang!” ”Sayang apa?” tanya si anak muda.

”Sayang karena seorang pemuda jantan seperti kau ini, aku terpaksa harus menangkap kau untuk kubawa ke kota raja!” kata Ut-ti Lam.

”Sayang, sayang, sungguh sayang!” tiba-tiba anak muda itu juga menirukan ucapan Ut-ti Lam. ”Sayang apa?” kini Ciangkun itu yang berbalik tanya.

”Dengan menempatkan kau pada giliran terakhir, sebenarnya aku bermaksud kita tak usah bertempur lagi. Tapi karena kau ternyata tetap berkeras akan menangkap diriku, tiada lain jalan bagiku kecuali harus bertempur lagi. Hati dengan kemauan saling bertentangan, apakah itu tidak sayang?”

Ut-ti Lam kerutkan keningnya. Katanya: ”Dalam masalah permusuhan antara kau dengan

kawanan penjahat tadi, rupanya kaulah yang berada di pihak yang benar dan merekalah yang salah

....”

”Setiap tindakan yang kulakukan tentu berdasar alasan-alasan yang benar!” si anak muda memutus omongan orang.

”Baik, kalau begitu ingin juga aku mendengarkan apa alasanmu merampas 300 ekor kuda kepunyaan baginda. Kuda-kuda itu adalah barang upeti dari negeri Gong-ki-kok. Baginda akan menghadiahkan kuda-kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun. Apakah kau tahu akan hal itu?” kata Ut-ti Lam.

”Cukup tahu, karena sebelumnya aku juga sudah menyelidiki dengan jelas,” sahut si anak muda. Maka marahlah Ut-ti Lam, bentaknya: ”Kalau sudah tahu mengapa masih merampas? Coba terangkan apa alasanmu!”

”Bukankah Thong-leng dari pasukan Gi-lim-kun sekarang itu adalah Liong-ki-to-wi Cing Siang?” tanya si pemuda.

”Benar, memang Cin Siang toako.  Apa perlunya kau tanyakan itu? Kiranya kau kenal juga padanya? Kalau begitu lebih-lebih tak semestinya kau merampas kuda itu!”

”Konon kabarnya Cin-ciangkun itu ahli dalam hal menilai kuda. Kuda tunggangannya sendiri juga seekor kuda Cian-li-ma.”

”Hai, kuminta kau terangkan alasanmu merampas barang antaran, masakan mau ajak aku mengobrol yang bukan-bukan?” teriak Ut-ti Lam dengan tak seranti.

Si anak muda tertawa geli: ”Harap Ciangkun suka bersabar sebentar. Sekarang sudah menginjak acara pokoknya. Nah, karena Cin ciangkun itu ahli memilih kuda, pasukan Gi-lim-kun itu tentulah terdiri dari perwira gagah dengan kuda yang tegar-tegar, bukan?”

”Sudah tentu! Anggota pasukan Gi-lim-kun itu terdiri dari perwira pilihan semua.  Orangnya orang pilihan, kudanya kuda pilihan. Gi-lim-kun memang bukan sembarang pasukan!” sahut Ut-ti Lam.

”Jumlah anggota Gi-lim-kun hanya 3000 orang, sedang persediaan kudanya berjumlah 4000 ekor, benarkah ini?” tanya si anak muda pula.

’Eh, mengapa kau tahu begitu jelas?” seru Ut-ti Lam.

Si anak muda ganda tertawa dan melanjutkan kata-katanya: ”Jika begitu, artinya tepat

dugaanku. Baiklah, sekarang akan kuberikan alasanku. Tadi kaukatakan bahwa baginda hendak menghadiahkan kuda itu kepada pasukan Gi-lim-kun, tetapi kenyataannya pasukan Gi-lim-kun itu tak kekurangan kuda! Bahkan mereka itu masih ada kelebihannya! Dengan kuambil 300 ekor kuda itu, rasanya mereka takkan menderita apa-apa!”

Marahlah Ut-ti Lam, serunya: ”Alasanmu itu terlalu dibuat-buat! Banyak atau sedikit jumlah kuda yang dimiliki oleh pasukan Gi-lim-kun itu bukan soal. Pokok, kuda itu adalah barang upeti yang dipersembahkan kepada baginda, kau seharusnya tak boleh mengganggu!”

Si anak muda tertawa gelak-gelak: ”karena kau bekeja pada raja, jadi sudah selayaknya kau mengatakan begitu. Tapi kedudukanku berlainan dengan kau, jadi caranya berpikirpun tidak sama. Yang kutanyakan padamu hanyalah layak tidaknya kelebihan itu kuambil? Tentang siapa pemiliknya, rajakah atau rakyatkah, itu bukan soal.”

”Ya, baik, kita boleh kesampingkan tentang pemiliknya itu. Tapi bukankah kau telah merampas barang orang, mengapa kau masih hendak membela kebenaran?”

”Kuda dari pasukan Gi-lim-kun sudah berlebih-lebihan. Hadiah 300 ekor kuda itu, tidak banyak berguna bagi mereka. Malah kemungkinan mereka akan menelantarkan kuda-kuda bagus itu. Tapi bagi pihakku, kuda itu besar sekali artinya. Kami hanya punay anak buah gagah, tapi kekurangan kuda-kuda tegar!”

”Ah, jelas aku sekarang. Kiranya kau ini juga benggolan perampok, bukan?” seru Ut-ti Lam. ”Sekarang aku masih belum resmi mendirikan markas, jadi tak boleh dianggap sebagai pemimpin begal.   Tapi aku sudah siap menceburkan diri menjadi penyamun. Terus terang saja kuberitahukan padamu, tak lama kemudian bakal ada Lok-lim-tay-hwe (musyawarah besar kaum

penyamun). Sekalian orang gagah dari segala aliran siap akan mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Bengcu. Tiga ratus ekor kuda itu kurampas hendak kusumbangkan pada Thiat-mo-lek selaku bingkisan perkenalan. Ut-ti ciangkun, kau tak dapat meminta kembali barang itu!”

Selapang-lapangnya hati Ut-ti Lam, namun ia tetap seorang pembesar kerajaan. Mendengar kata-kata si anak muda itu, sudah tentu panaslah hatinya. Serunya: ”Hai, kiranya kalian ini adalah penjahat-penjahat yang hendak memusuhi kerajaan. Sudah tentu aku tak dapat melepaskan kau!”

Masih si anak muda tertawa: ”Ciangkun, ucapanmu itu lagi-lagi hanya benar separuh bagian saja.”

”Ai, mengapa hanya separuh bagian saja?” Ut-ti Lam keheranan.

”Kami benar menjadi penyamun, tapi belum tentu memusuhi kerajaan. Yang nyata sekarang ini, kami tidak bersikap begitu. Dengan kurampas kuda itu, bahkan ada segi-segi kebaikannya kepada kerajaan, sekali-kali tidak ada keburukannya!”

Ut-ti Lam makin heran: ”Ai, ai, ucapanmu benar-benar hebat sekali.”

Maka berkatalah si anak muda: ”Tolong tanya, di dalam daerah Gui-pok sini, siapakah yang mempunyai pengaruh paling besar?”

”Mengapa bertanya pula? Sudah tentu Ciat-to-su Tiang Seng-su!” jawab Ut-ti Lam. “Dan di daerah Lo-ciu?”

“Ciat-to-su Sik Ko!” sahut Ut-ti Lam.

”Jika begitu, Tiang Seng-su di Gui-pok, Sik-ko di Lo-ciu, mereka itulah raja-raja daerah tersebut!” kata si anak muda.

”Bolehlah dikata begitu, mereka berdua ialah raja daerahnya,” Ut-ti Lam mengiyakan. Tertawalah si anak muda: ”Menurut pendapatku, di dalam daerah kekuasaannya, hak mereka itu lebih besar dari raja. Rakyat hanya takut pada Ciat-to-su tapi tidak kepada raja!”

Ut-ti Lam terdiam tak menyahut.

Sia anak muda tertawa dan berkata lagi: ”Pasukan Gi-lim-kun dalam keraton hanya berjumlah 3000 orang, sedang Tian Seng-su pun membentuk apa yang dinamakan pasukan Gwe-thok-lam yang terdiri dari 3000 orang juga. Pasukan itu merupakan pasukan tandingan bagi Gi-lim-kun. Ini sebenarnya menyalahi undang-undang, tapi mengapa pihak kerajaan tinggal diam saja?” ”Tentang ini .... ini, ai, mengapa kau mengurus? Kau toh bukan perdana menteri,” karena kehabisan jawaban, Ut-ti Lam balas bertanya.

”Kata-katamu itu salah lagi, kalau raja saja tak mau mengurus apalagi seorang perdana menteri? Kerajaan mempunyai undang-undang, tentara memiliki peraturan. Tetapi siapakah diantara Ciat-to- su itu yang memerintah dengan menurut undang-undang? Siapakah mereka itu yang tidak korup, tidak menindas rakyat? Pajak yang dipungut oleh Tiang Seng-su, lipat tiga kali dari apa yang ditetapkan oleh pihak kerajaan. Paling akhir ini untuk mengawinkan anak lelakinya, Tian Seng-su telah menggunakan uang negara membeli bingkisan kawin. Apakah kau tahu akan hal itu? Baik, aku tak seharusnya mengurusi, tapi apakah raja sudah mengurusnya?”

Ut-ti Lam menghela nafas, ujarnya: ”Hatikupun berontak-rontak seperti perasaanmu, tapi apa daya.  Mereka mempunyai tentara, karena itu, karena itu ”

”Karena itu maka pihak kerajaan tak dapat bertindak. Yang dapat ditindak hanya kawanan begal kuda macam aku ini, bukan?”

”Ha, jangan berputar terlalu jauh, kita kembali pada persoalan semula saja. Kau tadi hendak menjelaskan alasanmu merampas antaran kuda, mengapa lantas membelok memaki-maki pada Coat-to-su?” akhirnya Ut-ti Lam memberi peringatan.

Kata si anak muda: ”Rupanya kau masih tak mengerti. Apa yang kukatakan tadi, adalah merupakan alasanku. Coba renungkan, dalam suasana dimana para Ciat-to-su berebutan minta daerah otonom agar mereka dapat merajai daerahnya, terus terang saja, perintah-perintah dari rajamu itu tak laku lagi di luaran. Kami adalah kawanan penyamun yang menjalankan amanat penderitaan rakyat, apakah hal itu merugikan pada rajamu? Jika ada yang merasa dirugikan karena tindakan kami itu, paling-paling hanya para Ciat-to-su setempat dan anak buah mereka saja.

Bukankah hal itu malah menguntungkan bagi kerajaan? Pasukan Gi-lim-kunnya tidak berani menempur mereka, tetapi kami berani. Tiga ratus ekor kudamu yang kurampas itu, sekarang sudah kugunakan untuk menempur 'pasukan' Gui-pok dan Lo-ciu. Secara tak langsung, kami membantu rajamu untuk mematahkan kekuatan Tian Seng-su dan Sik Ko. Jika rajamu mengetahui, seharusnya berterima kasih kepada kami, bukan?”

Ut-ti Lam terlongong-longong sejenak.  Katanya: ”Meskipun keteranganmu itu agak berbelit- belit dan mendekati kebenaran, maka akupun takkan menyampaikan pada baginda. Aku hanya menerima perintah dari Cin-toako untuk menangkapmu!”

”Bagus, asal kau sudah mengakui kalau aku benar, itu sudah cukup. Tentang kita harus bertempur, itu lain perkara lagi,” kata si anak muda.

Tiba-tiba Ut-ti Lam berseru: ”Hai, aku mempunyai sebuah cara. Kita tak usah berkelahi, entah apa kau suka mendengarkannya?”

”Dengan segala senang hati aku bersedia mendengar perintah Ciang-kun,” sahut si anak muda dengan cekatnya.

”Lebih baik kau bawa anak buahmu menakluk pada kerajaan, itu lebih tepat. Aku sedia

memberi bantuan agar Cin-toako dapat memasukkan kalian semua ke dalam pasukan Gi-lim-kun. Dengan begitu 300 ekor kuda itu anggap saja sebagai dihadiahkan padamu, takkan diusut lagi.

Kelak apabila kerajaan hendak bertindak pada kawanan panglima daerah itu, kalianpun harus maju,” kata Ut-ti Lam.

Anak muda itu menengadah ke atas dan tertawa nyaring: ”Apakah kau pandang aku ini pantas menjadi pembesar negeri? Dahulu Thiat-mo-lek pun pernah juga menjabat sebagai San-ki-to-wi. Tapi akhirnya karena tak kuat menahan hinaan para menteri dorna, ia lantas melarikan diri. Aku ini seorang yang biasa menikmati kebebasan, mungkin lebih tak kuat menahan hati daripada Thiat-mo- lek. Ciang-kun, aku hendak menghaturkan banyak terima kasih atas maksud baikmu itu!”

Ut-ti Lam tertegun beberapa jenak. Ia pun tahu juga akan riwayat Thiat-mo-lek.   Jadi ia tak berani membujuk anak muda itu lagi. Pada lain saat ia menghela nafas, ujarnya: ”Sebenarnya aku ingin sekali mengikat persahabatan dengan kau, tapi karena aku diperintahkan untuk menangkapmu, apa boleh buat, marilah kita mulai. Silahkan mencabut pedangmu!”

Sebaliknya si anak muda malah menyarungkan pedangnya. Lalu tertawa: ”Terhadap musuh atau orang yang kubenci, aku baru menggunakan pedang. Karena kau berniat mengikat persahabatan dengan aku, mana aku tega melawanmu dengan pedang? Aku hendak bertangan kosong saja untuk menemani kau main-main barang dua tiga jurus!”

”Hai, ini bukan main-main!” seru Ut-ti Lam kebingungan.

”Ya, iya, aku tahu. Kau boleh menyerang sesukanya untuk melukai aku. Kalau sampai ketangkap, akupun takkan menyesali kau,” tenang-tenang si anak muda menyahut.

Ut-ti Lam menjadi agak dongkol, pikirnya: ”Tahu bahwa aku hendak menyerangmu dengan pian, kau masih mau melawan dengan tangan kosong. Bukankah itu berarti kau hendak memandang rendah padaku?”

”Baik, baik, kusaksikan sampai dimana kepandaianmu dalam ilmu tangan kosong 'Gong-thin- jip-peh-jim' itu,” katanya kemudian.

Wutt, ia lantas menyabat. Tapi dikarenakan ia 'sayang' pada anak muda itu jadi serangannyapun tak dengan tenaga penuh.

Anak muda itu menggerakkan tubuh, punggung telapak tangannya menangkis pada batang pian, kemudian kedua jarinya menarik, katanya: ”Telah lama kudengar ilmu pian Ciangkun itu ternasyhur sekali, mengapa tak dikeluarkan?”

Tarikan jari itu telah membuat tubuh Ut-ti Lam terseret dua langkah. Sudah tentu bukan

kepalang kejut Ciangkun itu, pikirnya: ”Bocah ini benar-benar berisi. Jika aku menyerang setengah hati, mungkin akan merugikan kemasyhuran ilmu pian dari keluarga Ut-ti.”

Segera Ut-ti Lam menyentakkan piannya dan anak muda itu pun tak kuat menyanggahnya lagi. Dengan To-jay-chit-seng-poh, ia menghindari sabetan pian. Diam-diam ia mengagumi: ”Ilmu pian warisan dari Ut-ti Kiong, benar-benar tak bernama kosong!”

Ut-ti Lam adalah keturunan dari Ut-ti Kiong, itu pahlawan yang termasyhur dari kerajaan Tong- tiau. Dahulu sewaktu membantu baginda Li Si Bin untuk menaklukan daerah selatan dan utara, entah berapa banyak pahlawan-pahlawan musuh yang jatuh di bawah pian Ut-ti Kiong itu. Ilmu pian dari Ut-ti Lam itu berasal dari warisan pusaka keluarganya. Ilmu permainan pian Cui-mo- pian-hoat itu terdiri dari 64 jurus, semuanya bergaya dahsyat dan sebat.

Di tempat sembunyinya In-nio mengikuti dengan penuh perhatian akan pertempuran itu. Walaupun ia percaya akan kepandaian dari pemuda tambatan hatinya itu tentu dapat mengatasi lawan, tapi tak urung hatinya turut kebat-kebit juga. Ut-ti Lam juga terperanjat. Berulang-ulang mulut anak muda itu memuji ”ilmu pian hebat”, namun sampai sebegitu jauh piannya itu belum berhasil menyentuh ujung baju si anak muda. Dari kakeknya (Ut-ti Kiong), Ut-ti Lam telah mewarisi dua macam ilmu kepandaian, Ilmu Cui- mo-pian-hoat dan ilmu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Dahulu kakeknya itu, ketika di Thing-ma-kau dengan ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim telah berhasil merebut senjata Thiat-sok milik

Tan Hiong Sin, itu pahlawan Hwa-kang-cat. Dengan begitu ia telah menyelamatkan jiwa baginda Li Si Bin sehingga namanya tersohor harum di seluruh negeri.

Karena Ut-ti Lam agak lamban (tidak cerdas), maka ia balum dapat menyakinkan dengan sempurna ilmu warisan keluarganya itu. Ia kalah dengan kakaknya, Ut-ti Pak. Tapi itu bukan berarti ia tak lihay, karena bagaimanapun ia juga tergolong jago yang kosen.

Bermula ia menertawakan si anak muda yang dianggap congkak sekali karena berani melawan ilmu pian dengan tangan kosong. Tapi setelah 10 jurus berlangsung, barulah Ut-ti Lam terbuka matanya bahwa ternyata 'di atas langit itu masih ada langit lagi' atau orang yang pandai masih ada yang lebih pandai lagi. Bukan saja dengan tangkas dan gesit si anak muda menghindar dari

serangan pian, pun masih dalam kesempatan-kesempatan ternteutu ia dapat balas menyerang. Ilmu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim dari si anak muda itu, ada beberapa bagian yang ia (Ut-ti

Lam) belumpernah mempelajarinya. Diam-diam ia menilai kepandaian anak muda itu tak di sebelah bawah dari engkohnya, Ut-ti Pak.

Tiba-tiba terlintas dalam ingatanya: ”Tiap-tiap kali engkoh gunakan Gong-chiu-jip-peh-jim

untuk berlatih dengan aku, kira-kira pada jurus yang ke-50 ia tentu dapat merampas pianku. Tapi ia pernah memberi petunjuk padaku, begini: dalam keadaan terdesak bolehlah memikat lawan supaya mendesak maju dari tengah. Kemudian kita harus gunakan jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu untuk menghajar musuh. Bagaimana saktinya ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim musuh, asal ia bukan keturunan keluarga Ut-ti, pasti tak dapat menangkis serangan itu!”

Tapi pada lain kilas, ia berpikir lagi: ”Tapi jika kugunakan jurus yang ganas itu, anak muda itu pasti celaka, kalau tidak mati tentu terluka berat. Ah, sayang, bagaimanapun ia adalah seorang pemuda jantan!”

Karena rasa suka kepada si anak muda, untuk sekian saat sampai ia tak dapat mengambil keputusan. Tapi anak muda itu makin lama makin mendesak dan sekejap pula permainan sudah berlangsung sampai jurus yang ke-30-an lebih. Diam-diam Ut-ti Lam menjadi sibuk, pikirnya: ”Celaka, akan segera meningkat jurus yang ke-50. Kepandaian anak itu nyata lebih tinggi dari engkohku. Jika tak gunakan jurus itu, pianku pasti kena direbutnya nanti. Wah, runyam ini!” Melihat sampai jurus ke-40 serangan pian lawan tetap tak terdapat lubang kelemahannya, anak muda itu makin kagum. Sekonyong-konyong dilihatnya Ut-ti Lam terhuyung-huyung dan di bagian tengah terbukalah suatu lubang. Terlintaslah pikiran si anak muda. Kalau terhadap orang lain, mungkin ia tak berani. Tapi ia cukup tahu Ut-ti Lam itu seorang gagah yang ketolol-tololan, ia mengambil keputusan hendak merebut pian tanpa melukai orangnya.

Baru ia berpikir begitu, tiba-tiba Ut-ti lam berteriak: ”Awas!” -- Pian disapukan dengan cepat sehingga seketika itu berubah menjadi ribuan sinar yang mengurung tubuh si anak muda. Sebatang Cui-mo-kong-pian yang beratnya tak kurang dari 64 kati, pada saat itu telah berubah menjadi sebatang pian lemas yang bergeliatan laksana seekor ular. Di dalam kelemahan mengandung kekerasan, di dalam kekerasan mengandung kelemasan. Sungguh sebuah permainan yang sukar diduga perubahannya.

Itulah jurus Pat-hong-hong-i-hwe-tiong-ciu yang sakti!

Jurus itu diciptakan Ut-ti Kiong semasa ia sudah berusia tua. Permainan itu khusus diciptakan untuk menghancurkan ilmu bertangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim. Tidak termasuk dalam 64 jurus ilmu pian Cui-mo-pian-hoat. Mengenai hal itu ada sebuah kisahnya sebagai berikut.

Setelah dengan tangan kosong Ut-ti Kiong dapat merampas senjata Thiat-sok dari panglima Wa- kong-cat yang bernama Tan Hiong-sin, kemudian berhasil juga menangkap hidup-hidup panglima itu maka termasyhurlah nama Ut-ti Kiong. Pada suatu hari ketika diadakan perjamuan besar di istana, Cin Siok-po bertanya padanya: ”Meskipun ilmu pianmu itu deras seperti air hujan, tapi masakan orang dengan tangan kosong tak dapat merampasnya?” ”Sudah tentu tak mungkin!” sahut Ut-ti Kiong.

”Dan ilmumu tangan kosong Gong-chiu-jip-peh-jim, konon juga tiada yang menandingi di seluruh dunia. Apakah ilmu bertangan kosong itu benar-benar sakti dan dapat kaugunakan merampas senjata apa saja dari musuh?” tanya Cin Siok-po pula.

”Kau adalah Toako-ku, sudah tentu aku tak berani membohongimu. Ilmu itu memang tiada

orang yang dapat menandingi. Tapi aku sendiri sayang belum menyakinkan sampai sempurna. Jika bertemu dengan musuh yang sakti, belum tentu aku dapat merebut senjatanya. Misalnya sepasang Siang-kan toako itu, jika digunakan terhadap diriku, akupun tak berani menghadapi dengan tangan kosong saja,” kata Ut-ti Kiong dengan terus terang.

”Ya, tapi bagaimana setelah kaudapat menyakinkan dengan sempurna?” tanya Cin Siok-po.

”Ilmu itu sudah berabad usianya dan tiada habis sumber keindahannya. Jika memang sungguh- sungguh sudah dapat mempelajari sampai sempurna, betapa lihaynya lawan, tetap akan terebut juga senjatanya.” sahut Ut-ti Kiong dengan pasti.

Maka tertawalah Cin Siok-po: ”Bagus, sekarang kalau umpamanya ada seorang yang paham akan ilmu permainan Cui-mo-kang-pian dan seorang lagi mahir akan ilmu Gong-jiu-jip-peh-jim itu, lalu siapakah yang akan menang apabila saling bertempur?”

Ut-ti Kiong garuk-garuk kepala dan menyahut: ”Aku sendiripun tak tahu!”

Sejak itu Ut-ti Kiong mengasah otak untuk menjawab pertanyaan Cin Siok-po yang sebenarnya hanya untuk mengolok-oloknya saja. Akhirnya ia berhasil menciptakan jurus Pat-hong-hong-i-hwe- tiong-ciu itu. Dan karena ia sendiri ahli dalam ilmu Gong-chiu-jip-peh-jim, jadi ia dapat mengisi ciptaan baru itu dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat digunakan oleh Gong-chiu-jip-peh- jim itu.

Oleh karena bila jurus itu dikeluarkan musuh tentu terluka atau binasa, maka tadi Ut-ti Lam agak bersangsi. Dan setelah terpaksa mengeluarkan, si anak muda menjadi terperanjat juga. ”Ilmu permainan pian yang hebat!” ia berseru memuji.

Iapun mengeluarkan juga ilmu Gin-kangnya. Wut, ia enjot tubuhnya melambung ke udara, tapi sudah kasip. Pian telah menggubat paha kanannya dan oleh pemiliknya terus ditarik ke bawah. ”Ayo, jatuh, jatuhlah!” teriak Ut-ti Lam.

”Ai, mungkin tidak!” sahut si anak muda dengan tertawa. Sekonyong-kkonyong ia gunakan

kaki kiri untuk mendepak lengan Ut-ti Lam. Suatu hal yang tak terduga sama sekali oleh Ut-ti Lam. Kaki sudah tergubat pian, mengapa masih dapat mendepak pula?

Karena tak bersiaga, ujung kaki si anak muda tepat mengenai sasarannya. Seketika Ut-ti Lam rasakan tangannya kesemutan dan terlepaslah pian dari tangannya.

Dengan paha masih tergubat pian, anak muda itu berjumpalitan di udara dan dengan indahnya melayang turun ke tanah. Dengan berseri-seri tawa ia melepaskan ikatannya lalu menyerahkan pian itu kepada Ut-ti Lam.

Merah padam wajah Ciangkun itu ketika menerima piannya. Sampai beberapa saat ia terlongong-longong.

”Orang she Bo, kali ini aku menyerah padamu!” tiba-tiba ia berseru.

”Terima kasih atas kemurahan hati Ciangkun. Jika tidak, pahaku pasti sudah pincang. Pertandingan ini kita anggap seri saja,” kata si anak muda.

Tapi dengan sportif sekali Ut-ti Lam mengakui kekalahannya: ”Tidak, kaulah yang menang.

Tadi aku tak menggunakan tenaga penuh untuk menarik pian, tapi kau pun dapat mendepak lenganku. Jika kau mendepak sungguh-sungguh, aku tentu terluka berat. Ya, aku cukup tahu akan hal itu, maka aku sungguh tunduk padamu dan mengaku kalah!”

”Siapa kalah atau menang, tak usah kiranya kita perbincangkan. Yang penting dan menggirangkan ialah jika kita tak bertempur kita tentu tak saling kenal,” sahut si anak muda.

Seru Ut-ti Lam: ”Benar, mengikat persahabatan dengan seseorang seperti kau, aku merasa girang sekali. Walaupun karena itu harus kehilangan pangkat sampai tiga tingkat, tapi biarlah, tak apa!”

Si anak muda tertawa: ”Oh, jadi ketika menitahkan kau keluar kota Cin-ut telah mengatakan begitu padamu?  Tapi rasanya tak perlu kau kuatir ” ”Mengapa kuatir? Saudara Bo, rupanya kau menilai diriku kelewat rendah. Jadi pembesar negeri atau tidak, bukan halangan bagiku. Hanya saja karena keluargaku itu keturunan menteri

yang banyak menerima budi kerajaan, jadi aku pun terpaksa tak dapat ikut kau menjadi penyamun,” kata Ut-ti Lam.

”Ai, bukan begitu yang kumaksudkan. Aku tahu kau ini bukan orang yang kemaruk harta dan

gila pangkat. Tapi pada hematku, tak nanti Cin to-ut benar-benar akan mengajukan laporan pada pihak kerajaan untuk menurunkan pangkatmu,” menerangkan si anak muda.

”Mengapa tidak? Ketahuilah bahwa Cin-toako itu seorang yang berhati besi. Jika kali ini aku pulang dengan hampa tangan, mana bisa ia tak menghukumku?”

”Oh, mungkin kau tak mengetahui bahwa engkohmu dan Cin toako-mu itu mempunyai seorang sahabat karib yang bernama Thiat-mo-lek. Nanti jika pulang, bilang terus terang saja pada Cin to-ut bahwa kuda yang kurampas itu hendak kupersembahkan pada Thiat-mo-lek. Coba saja masakan dia berani mengirim laporan kepada kerajaan,” kata si anak muda.

”Maksudmu dia lebih memberatkan persahabatannya dengan Thiat-mo-lek?” tanya Ut-ti Lam.

”Bukan hanya itu saja. Jika ia berani mengirim laporan, pihak kerajaan tentu akan menitahkan

ia untuk menumpas Thiat-mo-lek. Pihak kerajaan sudah tahu kalau ia bersahabat dengan Thiat-mo- lek. Kalau ia melapor apakah ia tak takut rahasianya diketahui? Jika sampai terjadi hal itu, berarti

ia akan terjepit dalam dua kesulitan, maju salah mundur keliru. Maka asal kau bilang terus terang, dia pasti takkan menghukummu, bahkan akan berusaha untuk melindungi kesalahanmu itu. Dalam kalangan pembesar, kenal akan istilah 'mengulur'. Sekarang kawanan berandal tumbuh dimana- mana laksana cendawan di musim hujan. Asal ia mengatakan tak dapat menyelidiki golongan

penjahat mana yang merampas kuda itu, masakan pihak kerajaan bisa berbuat apa-apa. Dan dengan berlalunya sang waktu, lama kelamaan peristiwa itu tentu sudah terlupakan.”

Ut-ti Lam seperti orang yang disadarkan dari mimpinya. Serta merta ia menyatakan terima kasih: ”Terima kasih atas advismu itu, sekarang aku hendak kembali. Kelak bila datang ke Tiang- an, silahkan mampir ke rumahku, nanti kita minum arak sampai puas!”

Tapi tiba-tiba perwira itu teringat sesuatu, serunya: ”Tapi bagaimana kau dapat datang ke Tiang- an? Ah, ya, hampir saja kulupa bahwa kau ini seorang penyamun.”

Si anak muda tertawa: ”Urusan di dunia ini sukar diduga lebih dulu. Siapa tahu pada suatu hari aku akan pesiar ke Tiang-an. Asal ciangkun tak kuatir menerima tetamu seorang penyamun, aku tentu akan berkunjung ke rumah Ciangkun!”

Ut-ti Lam tak menyahut melainkan terus berlalu. In-nio segera ajak Yak-bwe turun dari atas batu. Si anak muda buru-buru menyongsong mereka.

”Terima kasih kau datang kemari. Kukira ayahmu melarangmu karena tadi sampai sekian lama kutunggu kau tak datang,” kata si anak muda dengan tertawa. Demi melihat Yak-bwe, ia lantas tanyakan diri nona itu.

”Ayahku tak pernah melarang aku. Adanya aku sampai datang terlambat itu karena di gedung Tian Seng-su telah terbit peristiwa besar,” sahut In-nio.

”Peristiwa apa?” tanya si anak muda.

”Nanti kuceritakan, sekarang lebih dulu akan kuperkenalkan kalian satu sama lain,” jawab In-

nio. Kemudian ia perkenalkan Yak-bwe pada si anak muda. Setelah itu baru ia kenalkan si anak muda dengan Yak-bwe.

”Engkoh ini orang she Bo, namanya Se-kiat. Dia adalah anak murid angkatan keempat dari

Kiu-si-khek. Pamannya yang bernama Bo Jong Long, sembilan tahun yang lalu pernah datang ke tionggoan, pernah punya sedikit hubungan dengan Toan Khik-sia. Kini pamannya adalah To-cu (pemimpin pulau) dari pulau Hu-siang-to.”

Kedua anak muda itu tersipu-sipu saling memberi salam perkenalan. Kata Se-kiat: ”Apakah nona Su kenal pada Toan Khik-sia?”

Tertawalah In-nio: ”Tidak hanya terbatas dalam kenalan saja, bahkan dia ”

Merah padam selebar muka Yak-bwe. Diam-diam ia mencubit In-nio. Nona ini segera berganti nada: ”Bukan hanya kenal saja, mereka berdua itu sahabat karib.  Terus terang saja ”

Mendengar In-nio berkata begitu, Yak-bwe menjadi sibuk lagi. Untuk mencegahnya sudah tak keburu. Tapi untung In-nio lain tujuannya: ”Terus terang saja, kedatanganku kemari ini bukan karena hendak membantu semangatmu pada pertempuran tadi, melainkan karena hendak minta bantuanmu untuk urusan adik Yak-bwe ini.”

”Silahkan berkata, asal aku dapat mengerjakan, tentu aku merasa senang sekali membantu,” Se- kiat menyahut dengan serempak.

”Urusan ini tidak memerlukan sedikit tenagamupun,” kata In-nio, ”Dia hanya akan menanyakan keterangan tentang seseorang padamu.”

”Siapa? Apakah Toan Khik-sia?” tanya Se-kiat.

Mendengar itu tertawalah In-nio: ”Tepat sekali! Memang Toan Khik-sia.”

Se-kiat agak heran, pikirnya: ”Kalau sudah kenal pada Toan Khik-sia, mengapa masih bertanya padaku pula?”

Rupanya In-nio sudah dapat membaca isi hati si anak muda, ujarnya: ”Kau pintar tapi keblinger. Adik yak-bwe kan seorang anak perempuan, meskipun kenal pada Toan Khik-sia, tapi juga tetap tak leluasa untuk bertanya pada sembarang orang.”

”Ha, jadi kalian ini tak tahu akan alamat Toan siauhiap itu lalu minta tolong aku supaya bantu mencarikan! Tapi dengan sejujurnya saja, walaupun sudah lama kenal akan namanya, namun aku juga belum pernah bertemu muka dengan Toan siauhiap itu,” kata Se-kiat.

Yak-bwe agak kecewa oleh keterangan itu.

”Tapi urusan itu mudah saja dikerjakan. Kira-kira sepuluh hari lagi, para orang gagah dari dunia lok-lim bakal mengadakan pertemuan besar di puncak Kim-ke-nia. Di situ mereka hendak

mengangkat Thiat-mo-lek sebagai Beng-cu. Dengan Thiat-mo-lek, sudah sejak dua turunan Toan siauhiap mengikat persahabatan. Konon kabarnya masih ada sedikit hubungan famili. Sudah tentu pada waktu itu dia akan hadir. Nah, asal kalian ke sana kan bakal berjumpa dengan Toan-siauhiap,” kata Se-kiat pula.

”Tapi kami tak leluasa untuk datang ke pertemuan besar itu,” ujar In-nio.

”Ah, mudah saja. Asal kalian suka menyaru jadi pria dan pura-pura menjadi pengikutku, mengapa tak dapat masuk ke sana?” kata Se-kiat.

”Tapi, jika sampai ketahuan orang, bagaimana?” tanya In-nio.

”Banyaklah larangan-larangan yang digaris oleh kaum Hek-to, antaranya ialah terhadap bangsa hamba negeri yang coba menyelundup masuk ke dalam kalangan mereka. Tapi bukankah kau ini sahabatku dan nona Su itu kawan Toan Khik-sia? Taruh kata sampai ketahuan, Thiat-mo-lek pun pasti takkan menghalau kalian pergi. Malah siapa tahu dia bakal kegirangan sekali karena sudah kedatangan dua orang nona yang kosen. Rasanya tiada halangan untuk kalian datang kesana,” menerangkan Se-kiat.

In-nio menanyakan bagaimana pendapat Yak-bwe atas usul Se-kiat itu.

Yak-bwe yang sudah sejak tadi tak buka suara, kini terpaksa bicara: ”Siasat itu memang bagus, tapi terpaksa memerlukan bantuan Bo-toako.”

”Ah, jangan sungkan-sungkan. Apa yang perlu, bilanglah padaku,” sahut Se-kiat. ”Kuterima usul Bo-toako tadi, tapi harap pegang teguh rahasia,” akhirnya Yak-bwe mau menerimanya.

”Apakah Toan Khik-sia juga tak perlu diberitahukan rahasia itu,” In-nio kembali menggodanya. ”Paling baik jangan memberitahukan padanya. Nanti saja bila aku ada kesempatan berjumpa padanya, aku, aku, ”

”Ya, urusan kalian berdua itu memang sebaiknya kau sendiri yang menjelaskan padanya,” kata In-nio.

Se-kiat tampak melongo, rupanya kini ia sudah paham sedikit akan hubungan Yak-bwe dengan Toan Khik-sia.

”Harap nona jangan kuatir.  Aku ini orang yang paling tak suka sembarang omong.   Nah, baiklah, aku yang bertugas untuk memasukkan kalian ke sana. Urusan-urusan lainnya, terserah pada nona berdua,” kata Se-kiat. Lalu sambungnya pula: ”Pamanku amat mengagumi Toan

siauhiap. Setelah menginjak di bumi Tiong-goan sini, sebenarnya ingin sekali kumencarinya. Tapi karena tak tahu alamatnya, maka kutunda sampai sekarang. Kelak dalam gelanggang pertemuan besar itu, kuharap nona Su suka memperkenalkan aku dengan Toan-siauhiap!”

”Sayang malam ini kau tak pergi ke gedung Tiang Seng-su. Jika ke sana tentu dapat memberi bantuan pada Toan-siauhiap,” kata In-nio.

”Oh, jadi peristiwa yang kaukatakan terjadi dalam gedung Tian Seng-su itu adalah perbuatan Toan-siauhiap?” tanya Se-kiat.

”Ya, ia hendak memberi ancaman dan terpaksa berhantam dengan Yo Bok-lo,” sahut In-nio. Kemudian ia menuturkan jalannya peristiwa itu.

Se-kiat amat terpikat, serunya: ”Memang telah kudengar bahwa antaran mas-kawin Tian Seng- su ke Lo-ciu itu dibegal orang.   Kiranya  Toan-siauhiaplah yang melakukannya. Ha, sungguh hebat!”

In-nio tertawa: ”Eh, rupanya kau belum mengetahui bahwa nona yang akan dipinang Tian Seng- su untuk puteranya itu adalah adikku ini!”

Lalu In-nio menceritakan lagi tentang riwayat Yak-bwe dan lagi-lagi Se-kiat amat kagum. ”Sungguh jarang terdapat seorang nona yang berpambek luhur seperti nona Su ini. Ia tak kemaruk harta dan tak silau dengan kedudukan tinggi!” pemuda itu memuji.

Yak-bwe mengucapkan kata-kata merendah. Ia menerangkan harus kembali ke Lo-ciu dulu untuk menyerahkan kotak emas kepada ayah angkatnya (Sik Ko). Setelah itu baru ia dapat mengikut kedua anak muda itu ke gunung Kim-ke-san.

”Kalau begitu nanti sehari sebelum pertemuan itu berlangsung, kutunggu kalian di dusun Hu-li- ki di kaki gunung Kim-ke-nia sana. Dalam beberapa hari ini akupun masih akan mengerjakan sedikit urusan,” kata Se-kiat.

Demikian setelah saling berjanji, mereka lalu berpisah. In-nio mengawani Yak-bwe berjalan beberapa li. Dalam perjalanan itu, In-nio menuturkan tentang perkenalannya dengan pemuda Se- kiat. Kini barulah Yak-bwe mengetahui bahwa kepergian sang sahabat ke Gui-pok itu selain menemani ayahnya (Sip Hong) pun memang hendak menemui Se-kiat. Pemuda itu telah memberitahukan kepada In-nio akan tantangan pertempurannya dengan beberapa orang tadi di gunung Pak-bong-san. Akhirnya dengan tak malu-malu lagi, In-nio mengatakan bahwa ia dengan Se-kiat itu sudah saling jatuh hati.

Mendengar itu teringat Yak-bwe akan sesuatu, ujarnya: ”Tadi Bo-toako bermaksud hendak mengajak kita ke Kim-ke-nia, tapi bagaimana nanti kalau sampai kepergok?”

”Ai, kau ini bagaimana? Tadi kan Bo-toako sudah mengatakan kalau sampai ketahuan, dia akan menerangkan pada Thiat-mo-lek bahwa aku ini seorang sahabatnya dan kau adalah kawan dari Toan Khik-sia. Jangan kuatir, tentu tak ada urusannya!” sahut In-nio.

Yak-bwe tertawa kecut: ”Ya, bo-toako tentu suka mengaku kau sebagai sahabatnya, tapi mana Toan Khik-sia suka mengakui aku sebagai kawannya?”

”Sudah tentu ia tak suka mengaku kau sebagai kawan, karena kau adalah calon isterinya yang sudah dipancangkan sejak dalam kandungan! Ah, adik Bwe, sudahlah jangan berbanyak hati lagi. Pemuda idam-idamanmu itu adalah ibarat itik panggang, tak nanti ia dapat terban kemana-mana lagi!” In-nio menggodanya.

”Huh, apa kau tahu dia telah salah paham padaku?” bantah Yak-bwe dalam hati. Namun ia seorang nona yang keras kepala, jadi ia tak mau menceritakan peristiwa salah paham yang terjadi antara ia dengan anak muda itu.

Setelah berjalan sementara li, In-nio terpaksa ambil selamat berpisah. Lebih dulu ia minta Yak- bwe, setelah menyelesaikan urusannya, supaya terus datang ke rumahnya (In-nio) untuk bersama- sama menuju ke dusun Hu-li-ki. Demikianlah Yak-bwe segera meneruskan perjalanan pulang seorang diri.

Setibanya di gedung ayah angkatnya, Yak-bwe segera menyerahkan kotak-mas itu kepada sang ayah. Girang Sik Ko bukan kepalang. Tentang kepergian puteri angkatnya itu lagi, tak begitu dihiraukan.   Hanya Sik hujin yang masih berat hati untuk berpisah dengan puterinya itu. Dikala hendak berpisah, nyonya yang baik itu bercucuran air matanya. Setelah susah payah membujuk dan berjanji kelak akan datang menjenguk lagi, barulah Yak-bwe dapat meredakan kesedihan ibu angkatnya itu. Setelah periksa isinya, Sik Ko lalu menutup kotak-mas itu rapat-rapat, kemudian suruh juru

tulisnya menulis sepucuk surat kepada Tian Seng-su. Surat itu dibubuhi stempel namanya (Sik Ko) dan berbunyi ringkas saja: ”Kemarin ada tetamu datang dari Gui, mendapatkan sebuah kotak-mas di dekat bantal Goan-swe. Kami tak berani menyimpannya lama-lama dan dengan ini kami haturkan kembali.”

Sik Ko suruh seorang kurir (pesuruh) untuk mengantarkan surat dan kotak-mas itu kepada Tian Seng-su. Menerima kiriman itu, pecahlah nyali Tian Seng-su. Sejak itu ia tak berani merencanakan untuk mencaplok daerah Lo-ciu. Bahkan, ia malah mempererat hubungannya dengan Sik Ko.

Setelah tinggalkan gedung Ciat-to-su dan Lo-ciu, Yak-bwe terus menuju ke tempat kediaman

In-nio. Kala itu ayah In-nio (Sip Hong) pun sudah pulang dari Gui-pok. In-nio telah menceritakan kepada sang ayah apa yang telah terjadi. Sip Hong girang sekali dengan kejadian itu. Biasanya orang yang paling dipujanya ialah Toan Kui-ciang. Bahwa Yak-bwe telah tinggalkan ayah angkatnya karena hendak mencari tunangannya yang ternyata adalah putera dari Toan Kui-ciang, sudah tetnu hal ini membuat Sip Hong amat gembira sekali.

Ia ijinkan puterinya pergi ke Kim-ke-nia bersama Yak-bwe. Malah disamping itu ia menyampaikan juga sebuah berita kepada Yak-bwe, bahwa Yo Bok-lo sudah sembuh dari lukanya

dan dengan beberapa anak buahnya sedang siap-siap mencari jejak Toan Khik-sia. Hal itu ia minta Yak-bwe sampaikan pada Khik-sia nanti. Kedua, Tian Seng-su sudah membatalkan urusan pernikahan puteranya dengan keluarga Sik Ko dan lap-jay (bingkisan kawin) yang dirampas orang itu tak diusutnya lebih jauh.

Yak-bwe girang mendengar berita itu. Kemudian kedua gadis itu mulai berkemas. Karena tak berpengalaman, jadi In-nio yang mengajarkan Yak-bwe bagaimana caranya berdandan dan membawa sikap sebagai seorang pria. Sebentar saja Yak-bwe sudah dapat memahami. Waktu menghadap Sip Hong, ia menjadi terkejut dan tertawa gelak-gelak demi melihat kedua gadis itu berubah menjadi pemuda-pemuda yang bagus.

Malam itu Yak-bwe tidur di rumah In-nio. Keesokan harinya mereka berangkat. Karena telah diperhitungkan, maka tepat pada waktunya, ialah sehari sebelum pertemuan di gunung Kim-ke-nia itu dilangsungkan, tibalah kedua pemudi itu di dusun Hu-li-ki.

Di situ Se-kiat sudah menunggunya. Ia membawa banyak pengikut. Begitulah mereka segera mendaki ke atas gunung. Ce-cu atau pemimpin markas, Shin Thian-hiong, menyambut rombongan Se-kiat itu dengan istimewa. Dia sendiri yang perlukan menyongsong keluar dan memperlakukan mereka dengan hormat serta ramah sekali.

Dari rombongan pengikut Se-kiat itu, In-nio memperoleh keterangan kalau mereka itu

kebanyakan adalah tokoh-tokoh dari kalangan Hek-to. Malah ada beberapa orang yang mempunyai kedudukan sebagai Ce-cu. Diam-diam In-nio merasa girang.

”Baru setahun menginjak bumi Tionggoan, ia sudah berhasil menundukkan sekian banyak orang-orang gagah, sungguh hebat sekali!” demikian diam-diam ia memuji Se-kiat.

”Maafkan kalau mataku sudah lamur, tapi rasanya kedua saudara ini belum pernah kukenal,” kata Thian-hiong waktu menyambut rombongan Se-kiat. Yang dimaksudkan itu ialah In-nio dan Yak-bwe.

Dengan tangkasnya Se-kiat memberi keterangan: ”kedua saudara ini adalah sahabat-sahabatku yang baru. Malah saudara Su ini juga menjadi kenalan Toan-siauhiap. Memang keduanya belum pernah mengembara keluar dan baru pertama kali ini ikut serta menghadiri rapat orang gagah dari dunia Lok-lim.”

”Ai, sungguh beruntung sekali. Kita kaum Lok-lim adalah sekeluarga. Meskipun saudara

berdua ini baru pertama kali datang, tapi kita anggap sebagai sahabat lama. Harap jangan sungkan,” demikian Thian-hiong mengunjukkan keramah-tamahannya sebagai tuan rumah.

Namun sekalipun mulutnya mengucap begitu, hati Ce-cu itu berpendapat lain. Pikirnya: ”Dalam dunia Lok-lim, jarang sekali terdapat tokoh-tokoh semacam mereka. Dari sikap dan wajahnya mereka berdua itu lebih pantas menjadi pelajar daripada kaum persilatan!” 

Hanya saja karena Se-kiat yang membawanya, jadi Thian-hiong pun tak menaruh curiga apa- apa. Sebaliknya bagi Yak-bwe, ia bermula mengira Thian-hiong tentu akan mengatakan apa-apa tentang Khik-sia, tapi ternyata tidak. Karena tetamu-tetamu yang datang kelewat banyak jadi tuan rumah itu sibuk menyambut mereka dan tak membicarakan lagi perihal Khik-sia. Diam-diam Yak- bwe merasa kecewa.

Beberapa saat kemudian penuh sesaklah ruangan situ dengan orang-orang gagah dari segala aliran.   Diantaranya  tak sedikit yang sudah termasyhur namanya. Suasana pada saat itu tampak meriah sekali, sekalian orang sama bercakap-cakap dengan gembira. Hanya In-nio dan Yak-bwe sendiri yang merasa rikuh dalam penyamarannya itu. Mereka berdua duduk berdiam diri di sudut. Sampai sekian saat Yak-bwe memperhatikan setiap tetamu yang datang, namun belum juga kelihatan Toan Khik-sia muncul.

Tiba-tiba ada seorang tetamu membicarakan diri Toan Khik-sia: ”Kabarnya Toan Khik-sia telah membuat geger di gedung Ciat-to-su Gui-pok. Benar-benar dia itu seorang jago muda yang jempol. Tapi heran, mengapa ia belum kelihatan datang?”

Mendengar itu buru-buru Yak-bwe alihkan perhatiannya untuk memasang telinga.

Saat itu ada seorang tetamu lain yang berkata: ”Kabarnya ia seorang diri hendak menempur Hong-ho-ngo-pah, entah apakah ia keburu datang kemari atau tidak?”

”Jangan kuatir saudara!” kata seorang tetamu pula, ”Toan siauhiap telah bilang padaku, kalau tidak hari ini tentu besok pagi ia akan datang.”

Yang bicara paling akhir itu ternyata adalah tokoh persilatan yang termasyhur, Kim-kiam-ceng- long To Peh-ing.

”Hong-ho-ngo-pah juga lihay. Apakah dengan maju seorang diri itu Toan-siauhiap tidak terlalu memandang rendah mereka?” kata seorang lain.

To Peh-ing tertawa: ”Kepandaian dari Hiantit-ku itu jarang sekali dicari keduanya. Turut pendapatku, ia lebih tangguh dari orang-orang yang lebih tua. Jangan lagi hanya lima benggolan Hong-ho (Hong-ho-ngo-pah), sekalipun ada sepuluh benggolan, rasanya ia masih dapat menanggulangi. Kalau ia bilang akan datang kemari, tentu datang!”

Ada beberapa tetamu yang tak kenal siapa Toan Khik-sia itu sama menanyakan pada To Peh- ing. Waktu mendengar bahwa Khik-sia itu putera dari almarhum pendekar termasyhur Toan Kui- ciang, semua orang sama menyanjung puji. Kemudian waktu To Peh-ing menceritakan tentang

peristiwa perampasan antaran mas-kawin dari Tian Seng-su, semua orang gagah yang berada di situ tak habis-habis memuji dan mengagumi. Ingin benar mereka melihat wajah jago muda itu.

Yak-bwe girang sekali melihat bakal suaminya disanjung puji sedemikian hebatnya. Tapi dalam pada itu, ia pun memperhatikan juga bahwa ada sementara orang gagah yang tak puas dan iri hati pada Toan Khik-sia.

Tiba-tiba terdengar orang berseru keras: ”Thiat ce-cu datang!”

Seorang lelaki yang bertubuh kekar gagah, bermata besar dan alis tebal, tampak melangkah masuk.   Begitu melangkah pintu, ia segera berseru nyaring: ”Yang manakah Bo-tayhiap? Harap maafkan aku Thiat-mo-lek telah datang terlambat.”

In-nio dan Yak-bwe terkejut melihat Thiat-mo-lek itu. Kiranya dahulu Thiat-mo-lek itu pernah berkunjung ke rumah Sip Hong untuk mengobati lukanya. Pada waktu itu ia memakai nama Ong Siau-hek dan atas perantaraan Sip Hong telah mengaku sebagai orang sedesa dengan Sik Ko. Sik Ko percaya saja pada Sip Hong, tanpa menyelidiki lebih lanjut, ia terima Thiat-mo-lek menjadi wi- su (pengawal).

Pada masa itu Yak-bwe baru berumur 10 tahun. Boleh dikata setiap hari ia bersama In-nio mendapat pelajaran silat dari Thiat-mo-lek. Bahwa hari ini dapat berjumpa kembali dengan Thiat- mo-lek, sudah tentu mereka menjadi girang.

”Ah, kiranya Thiat-mo-lek itu Ong Siau-hek dahulu. Jika siang-siang tahu akan dianya, tak perlu orang perantara lagi juga kita dapat datang kemari,” pikir mereka.

Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat itu sudah lama saling mengagumi kemasyhuran nama masing- masing, tapi baru pertama kali itu mereka bertemu muka. Maka berbangkitlah Bo Se-kiat dengan serentak: ”Siaute adalah Bo Se-kiat itu. Untuk pujian 'tayhiap' tadi, siaute sungguh tak berani menerimanya!”

Thiat-mo-lek tertawa: ”Apakah menjadi penyamun itu tak dapat berbareng menjadi Tayhiap juga? Bo-heng, dalam kalangan Lok-lim namamu sudah amat menonjol. Setiap sepak terjangmu, telah membangkitkan rasa kagum pada sekalian orang. Meskipun Bo-heng dianggap sebagai penyamun, tapi rasanya pantas disanjung sebagai pendekar yang menjalankan budi kebaikan. Tak terhingga rasa kagumku kepada Bo-heng!”

Peristiwa Se-kiat merampas iring-iringan kuda, telah menggemparkan dunia Lok-lim. Kini

barulah semua orang mengetahui bahwa Se-kiat telah mempersembahkan kuda rampasan itu kepada Thiat-mo-lek selaku perkenalan. Sudah tentu semua hadirin sama memberi selamat kepada kedua pendekar itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar