Jangan banyak bacot!" Lie It membentak. "Meski benar aku telah terjatuh kedalam tangan kamu tetapi aku lebih suka terbinasa daripada terhina!"
"Seri Baginda mau mengangkat kau!" kata Khalpa pula, tertawa. "Kau dihormati kecuali kau membuatnya dirimu terhina sendiri! Kau mau bicara apa, pergi kau bicara dengan Seri Baginda!"
Khalpa lantas menekan ketembok, maka disatu pojok terpentanglah sebuah pintu rahasia, yang mempunyai tangga untuk naik. Terus ia mengiringi orang tawanannya bertindak ditangga itu, untuk balik kekamar pengantin tadi. Sekarang Khan Turki ada bersama Maican.
Puas raja itu, dia tertawa gembira.
"Kemarin ini kau pergi dengan kesusu, mungkin kau belum sempat menenangi hati untuk memikirnya," ia berkata. "Sungguh bagus hari ini kau datang pula, maka marilah sekarang kita bicara!"
"Kau menangkap aku dengan akal, ada apa lagi yang hendak dibicarakan?" Lie It menegur.
"Kau aneh!" kata Khan. "Selagi aku tidak bergusar karena kau berombongan menyatroni istanaku ini, kau sebaliknya tidak senang karena kau terjebak dalam perangkap! Bukankah kau ketahui, diwaktu perang orang tak segan menggunai segala macam akal-muslihat? Bukankah pepatah itu pun pepatah kamu bangsa Tionghoa?"
Habis berkata begitu, Khan bersenyum. "Bagaimana dengan kekacauan diluar itu?" ia berpaling, menanya Maican. "Apakah beberapa orang tua itu telah dapat dibekuk semua?"
"Mereka dapat diusir dari istana”, menjawab Maican dengan hormat, "sekarang Guru Negara tengah mengajak sekalian pengawal mengejarnya. Mereka sudah terluka parah, mestinya mereka tak dapat lari jauh!"
Lie It terkejut, tetapi cuma sedetik. Ia tidak percaya Hu Put Gie semua dapat dibekuk. Ia pun tidak percaya mereka bisa terluka parah. Ia bahkan merasa lega mereka itu dapat lolos.
Khan tertawa puas, ia kata pada orang tawanannya itu: "Aku mempunyai angkatan perang yang kuat dan banyak rangsum, pengawal-pengawalku semua gagah, maka setelah dua kali kau menempur mereka, pasti kau telah merasai liehaynya mereka itul Benar bukan?"
"Akan tetapi nabiku membilangi, siapa yang bijaksana dialah yang tak tandingannya dikolong langit ini!"
Lie It menjawab. "Siapa mengandalkan kekuatan, mana bisa dia dapat membuat orang tunduk dan menyukainya?"
"Hm!" Khan mengejek. "Itulah ocehannya kutu buku kamu!" Lantas dia mengasi lihat roman bengis dan berkata: "Kau berarti mengejek aku! Kau tunjuklah cacadku!"
"Kau mempunyai angkatan perang dari sepuluh laksa jiwa, kau mempunyai seribu pengawal, tetapi kau tidak berdaya menangkap aku, lantas kau menghina anak dan isteriku! Perbuatan itu bukanlah mentertawakan dan busuk?" "Juga ini aku menyontoh dari kamu bangsa Tionghoa!" kata Khan tertawa. "Bukankah kamu juga biasa menahan anah-anak orang yang kamu tidak percaya untuk mereka itu dijadikan manusia manusia tanggungan?"
"Bagus sikapmu!" Lie It menegur. Lebih dulu ia tertawa dingin. "Tiongkok mempunyai banyak contoh yang baik, kau tidak turut itu, kau sebaliknya menelad yang buruk! Tidakkah itu menertawakan? Tiongkok masih mempunyai satu pepatah lain! ialah, pasukan perang boleh dirampas benderanya, tapi seorang laki-laki tak dapat direbut semangatnya! Kenalkah kau itu ? Tidak perduli kau gunai akal busuk apa, tidak nanti aku turut padamu!"
Khan menjadi mendongkol sekali. Ia kalah bicara.
Dengan mendelik ia mengawasi.
"Baiklah, kau satu laki-laki!" katanya kemudian. "Tapi, apakah isterimu pun kau tidak menghendakinya?"
"Kami suami-isteri ada bagaikan satu tubuh, justeru untuknya maka aku datang kemari tanpa menghiraukan jiwaku!" menjawab Lie It. "Dengan isteriku itu aku ingin hidup bersama dan mad bersama juga! Aku tahu sikap isteriku sama dengan sikapku ini! Apakah kau memikir menggunai isteriku untuk mempengaruhi aku? Atau kau hendak menggunai aku untuk mempengaruhi isteriku itu, supaya aku menyerah dan menakluk kepadamu? Hm! Itulah pengharapan yang tidak-tidak!"
"Hm" Khan bersuara pula. Lantas dia tertawa dingin dan memerintahkan: "Bawa isterinya datang kemari! Hendak aku menyaksikan apakah dia benar-benar berhati batu seperti kau, sudah tidak menyayangi diri sendiri juga tidak menyayangi isteri!" Tak lama, benarlah Tiangsun Pek digiring datang.
"Kau lihat biar tegas!" berkata Khan pada nyonya itu. "Itulah suamimu berdiri didepanmu! Jiwamu berada didalam tangan suamimu! Jikalau dia menurut padaku, maka aku akan mengangkat kau menjadi permaisuri dari Tiongkok! Jikalau tidak, jiwa kamu berdua tak akan mati baik! Nah, baik-baiklah kau bicara dengan suamimu itu!"
Tiangsun Pek berdiri bengong mengawasi suaminya. Kata-katanya Khan seperti ia tidak dengar sama sekali. la tengah berpikir: "Benar-benar dia datang kemari! Dia datang untukku! Ah, dia begini menyintai aku, aku sebaliknya mencurigai dia! ..."
Karena memikir demikian, berduka isteri ini. Tetap ia mengawasi suaminya. Kali ini airmatanya turun meleleh dikedua belah pipinya. Didalam hatinya bercampur menjadi satu rasa girang, berduka, malu dan berkuatir. Hatinya menjadi kusut. Maka ia cuma menangis sesegukan, tak dapat ia mengatakan sesuatu.
Lie It memandang tajam. Sekarang ia melihat tegas isterinya itu, bukan orang lain. Ia bertindak menghampirkan, perlahan tindakannya. Ia berhenti didepan sang isteri.
"Adik Pek, aku menyusul kau," katanya, perlahan. "Aku telah membikin susah padamu, aku menyesal."
Tiangsun Pek membuka lebar kedua matanya, airmatanya terus mengalir, tetapi sekarang dia tertawa.
"Kau datang, bagus!" bilangnya. "Dengan dapat mati bersama kau, aku tidak menyesal! Eh, mana anak Bin?" "Si Bin telah ditolongi, dia telah dibawa pergi!" menjawab suami itu.
"Bagus, tetaplah hatiku!" kata smg isteri. "Engko It, jangan kau bilang bahwa kau telah membikin aku susah! Seumurku belum pernah aku merasakan riang gembira seperti ini"
Memang, selama delapan, tahun hati Tiangsun Pek senantiasa tak tenang benar-benar. la selalu ingat: "Engko It menikah denganku saking terpaksa. Bagaimana kalau Bu Hian Song atau Siangkoan Wan Jie datang padanya?" Sekarang Bu Hian Song sudah datang, toh Lie it tetap ingat padanya, ia tidak dilupakan, bahkan Lie It mau berkurban untuk menolongi ia. Maka sekarang ini tentulah Bu Hian Song tidak dapat merampas pula engko It nya itu dari tangannyal
Khan berulangkali memandang Tiangsun Pek. la mengharap-harap si nyonya cantik nanti membujuki suaminya. Tiangsun Pek sebaliknya tidak mau memandang kesana kemari, ia juga tidak memikir lainnya kecuali memikirkan suaminya itu. la seperti tidak melihat dan mendengar lainnya! Maka raja itu menjadi gusar.
"Aku bukan mengundang kamu datang kemari untuk berbicara tentang asmara!" katanya sengit. "Baiklah, kamu tidak dapat memisahkan diri, aku justeru hendak mencerai-beraikannya! Aku mau membikin otak kamu menjadi tenang, supaya kamu dapat berpikir!" Maka ia berikan titahnya kepada Maican dan Kakdu untuk memisahkan suami-isteri itu. Masih dia kata sengit: ”Celaka atau beruntung, terserah kepada kamu sendiri! Satu hari kamu tidak suka menakluk, satu hari juga aku tak merdekakan kamu! Aku akan membiarkan kamu saling mendengar tetapi seumurmu tak dapat kamu saling melihat!"
Benarlah mereka masing-masing dikurung dalam dua kamar berendeng, yang terhalang sebuah tembok tebal. Benar mereka dapat saling mendengar tetapi tidak dapat melihat satu dengan lain. Benar-benar itulah siksaan bathin untuk mereka sepasang suami-isteri yang saling menyinta. Tapi Tiangsun Pek tidak menangis. Didalam hatinya, dia tertawa. Dia merasa bahwa Lie It benar- benar miliknya. Karerra ini, dia merasa berkasihan terhadap Bu Hian Song. Pikirnya: "Dia datang dari laksaan lie tetapi sia-sia belaka kedatangannya itu. Dimana adanya dia sekarang? Sayang dia tidak dapat melihat keadaanku dengan suamiku tadi ... Sungguh, ingin aku memperlihatkan dia bagaimana cintanya engko It terhadapku!"
Demikian rupa Tiangsun Pek berpikir, ia tidak tahu bahwa Hian Song telah ingin sangat datang ke istana untuk menemui ia, bahwa nona itu tengah merawat dan melindungi si Bin, anaknya yang ia sangat sayang itu !
Bu Hian Song dan Heehouw Kian diam menantikan didalam rumah batu. Heehouw Kian
---oo^^dwkz^0^Tah^^oo---
Menggunai waktu yang luang itu untuk melatih tenaga-dalamnya, guna mengusir bersih sisa racunnya Thian Ok yang mengeram dalam tubuhnya. Dan Hian Song dengan telaten merawat Hie Bin, seorang anak yang cerdik, yang senantiasa menanya ini dan itu kepada bibinya itu. Karena sang bibi tengah berduka dan berkuatir, ada kalanya dia menjawab apa yang tidak ditanyakan. Diwaktu terjadi begitu, karena tidak bergembira, bocah itu lantas tidur pulas.
Hian Song tahu baik sekali orang tidak bakal lekas kembali, tidak urung sering ia muncul dimulut rumah batu untuk memandang keluar. la mengharapi Tiangsun Pek dapat lolos dan pulang. Cuma, kalau Tiangsun Pek sampai pulang, ia bersangsi untuk menemuinya, ia likat sendirinya. Maka itu, untuk menenteramkan diri, ia merabah mukanya Hie Bin, ia menghela napas.
Dalam kesunyian itu, terdengarlah helahan napas Heehouw Kian.
"Lopee, kau kenapa ?” si nona menanya. "Apakah kau telah berhasil mengusir keluar semua sisa racun dari dalam tubuhmu ?"
"Lukaku ini, biar bagaimana berbahaya juga, akan dapat aku sembuhkan," sahut tabib yang gagah itu.
"Tidak salah, lopee ialah tabib terpandai dikolong langit ini," kata si nona. "Untukmu tidak ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan !"
"Hanya sakit dihati sukar untuk diobatinya" kata Heehouw Kian seorang diri. "Dan aku tidak dapat menyembuhkan luka dihatiku sendiri!"
Nona Bu melengak.
"Hian Song, ingatkah kau ketika pertama kali kau menemukan aku?" orang tua itu tanya.
"Ingat, aku ingat baik-baik," menjawab si nona. "Ketika itu, aku sangat tidak berdaya," berkata Heehouw Kian. "Anak, tahukah kau itu?"
"Aku tahu, lopee."
Heehouw Kian menghela napas.
"Ketika itu kau mengantarkan Lie It untuk dia berobat. Ketika itu aku telah lantas pikir, sakitnya Lie It itu ada aku yang dapat mengobati hingga sembuh, tetapi sakitmu sendiri sangat sukar untuk diobatinya. Maka diuga aku membiarkan Lie It berdiam bersama aku, sedang mengenai penyakit kau, menanya pun aku tidak berani "
Hati Hian Song berdenyut. Mengertilah ia kata-kata tabib ini. Tanpa merasa, pipinya menjadi bersemu dadu.
"Hian Song, sekarang kau lagi bersusah hati, bukankah?" Heehouw Kian tanya, perlahan.
Nona itu jengah, tetapi ia menguatkan hati, ia kata: "Sebelum berhasil Tiangsun Pek ditolongi, memang hatiku susah."
Heehouw Kian mengawasi muka orang, ia seperti ada maksud hatinya.
"Jikalau luka dihatimu itu belum disembuhkan," katanya, "biar dia dapat ditolong, kau tetap bakal bersusah hati. Ah, akulah contoh .."
Hian Song berdiam. la tidak dapat menyangkal lagi. Maka sekarang ia merasa seperti Heehouw Kian merasa itu.
Orang tua itu mengangkat kepalanya, matanya bersinar. "Ya, hatiku telah terluka," ia kata. "Telah lewat beberapa puluh tahun. Sekarang ini barulah aku sembuh. Tahukah kau siapa yang mengobatinya hingga sembuh?"
la tidak menanti jawaban si nona, ia menjawab sendiri. "Itulah gurumu!" katanya. "Setelah gurumu meninggal dunia, baru dia menyembuhkan luka dihatiku. Aku telah membaca bulak-balik buku syair warisan gurumu itu, aku telah menerima obat mujarab pemberiannya itu. Obat itu bukan melulu obat mujarab untuk tubuh tetapi juga untuk luka dihati. Aku mengerti sekarang aku mengerti apa artinya sahabat. Nyata persahabatan tak kalah dengan kecintaan suami-isteri."
Mendengar kata-kata ini, Hian Song merasa ia seperti ditusuk-tusuk jarum emas. Sakit tusukan itu, tapi sakitnya rasa sakit yang menyamankan hati. Ia insaf, Heehouw Kian menyontohkan dirinya untuk menghibur ia. Maka terbayanglah didepan matanya lelakon asmara diantara Heehouw Kian dan gurunya, diantara ia dan Lie It, keduanya mirip satu dengan lain, yang beda ialah sebelum gurunya kenal Heehcuw Kian, guru itu sudah mengenal Ut-tie-Ciong. Sebaliknya, ketika Lie It mengenal ia, mungkin Lie It memikir pun belum terhadap Tiangsun Pek.
Beras sudah menjadi bubur, untuk apakah dipikirkan pula?
Selang sekian lama, Hian Song mengangkat kepalanya.
"Jangan kuatir, lopee," ia kata, "lukaku pun sudah mulai rapat dengan perlahan-perlahan."
Heehouw Kian mengangguk. "Tahun dan bulan itu tak mempunyai perasaan," kata dia. "Dan apa yang manusia harus lakukan banyak, banyak sekali. Maka itu sudah selayaknya saja orang harus mengobati dirinya sendiri."
Untuk mengobati hatinya Hian Song, tabib itu mengatakan demikian. Sampai disitu, ia lantas mengubah persoalan. la membicarakan pelbagai peristiwa dalam Rimba Persilatan. Sebagai orang tua, ia banyak pengetahuannya. la pun menutur bagaimana ia telah menyembuhkan pelbagai macam penyakit yang aneh- aneh.
Setelah itu Heehouw Kian menceritakan bagaimana ia berhasil membuat macam-macam obatnya.
Saking ketarik, Hian Song sampai mengajukan beberapa pertanyaan.
Tanpa merasa, matahari sudah selam kebarat. Sang sore mulai tiba.
Heehouw Kian mengumpulkan cabang-cabang kering, untuk menyalakan tabunan, guna membuat unggun.
Hati Hian Song tidak tenang.
"Mereka pergi semalam keistana raja Turki, pagi tadi semestinya mereka telah meninggalkan kota raja," pikirnya. "Turut pantas, mereka sudah mesti pulang. Kenapa mereka masih belum muncul ?"
Heehouw Kian tidak membilang apa-apa. Berselang sekian lama, baru ia tertawa.
"Aku dapat mendengar tindakan kaki mereka," katanya. Terus ia bersiul panjang. halus tetapi terdengar tegas. Mendengar itu, hati Hian Song lega. ltulah bukti tenaga-dalam tabib pandai dan gagah ini sudah pulih tujuh sampai delapan bagian. la menjadi kagum. Bukankah racunnya Thian Ok sangat jahat ? Toh dia sembuh dalam semalam dan sehari. la juga mengagumi telinga orang.
Tidak ayal lagi, Nona Bu lari keluar, untuk memapak. la melihat berlari datangnya tiga orang. la pun lantas mendengar pertanyaannya Kok Sin Ong dari jauh : "Lie It sudah pulang atau belum ?" Tiba-tiba saja ia merasai hatinya dingin, lalu berdebaran.
Lekas juga tibalah ketiga orang itu, ialah Hu Put Gie, Kok Sin Ong dan Pwe Siok Touw.
"Bukan Lie It ada bersama kamu ?" tanya si nona, hatinya mencelos.
"Oleh karena kita menantikan dia, kita jadi pulang terlambat," sahut Siok Tow. "Kita menyangka dia sudah pulang lebih dulu."
"Habis bagaimana ?" si nona tanya.
"Mari masuk, kita bicara didalam," berkata Hu Put Gie.
Didalam, Heehouw Kian menyambut. Mereka lantas berduduk dibatu.
"Lie It tiba ditaman lantas kepergok Yang Thay Hoa, keduanya lantas bertempur," Put Gie mengasi penuturan. "Aku membantu dia dengan diam-diam, aku hajar roboh perintangnya itu. Setelah itu muncul Pek Yu Siangjin. Maka terjadilah pertempuran kacau. Selama satu jam, aku tidak melihat pula pada Lie It. Thian Ok telah terbinasa, tetapi pihak sana dibantu Guru Budi dan Biat Touw SinKun. Budi lebih gagah daripada Thian Ok tetapi Biat Touw SinKun terlebih lemah. Siok Tow dapat melayani dia dengan seimbang. Biar bagaimana, jumlah musuh terlebih besar, akhirnya terpaksa kita mengangkat kaki. Berbahaya untuk bertempur lama lama. Terpaksa kita tidak menanti Lie It karena kita duga mungkin dia sudah pulang lebih dulu."
Sebenarnya Hu Put Gie berkuatir melayani terus pada Pek Yu disebabkan pertama kali ia sudah digempur tenaga-dalamnya oleh pendeta yang liehay itu.
Lie It tidak kedapatan, orang menjadi berkuatir, lebih- leblh Hian Song.
Pwe Siok Tow memperhatikan nona itu, melihat kedukaan si nona, ia masgul.
"Locianpwe," kemudian Siok Touw bertanya, "locianpwe kesohor ilmu pedangmu Thay Ceng Kiam- hoat, kenapa locianpwe melepaskan dan tidak mau menggunakan lagi ?"
Put Gie menyeringai.
"Apakah gurumu belum pernah memberi keterangan kepada kau ?" ia balik menanya. ta tertawa merdeka. ”Gurumu itu masih hidup, mana berani aku menggunai pedang ?"
Pada tigapuluh tahun dulu, bersama-sama Ut-tie Ciong, Kok Sin Ong dan Tiangsun Kun Liang, Hu Put Gie terkenal sebagai ahli-ahli silat pedang. Kaum Rimba Persilatan menyebut mereka sebagai Empat Ahli. Diantaranya, Hu Put Gie yang nomor satu. Kemudian Uttie Ciong hidup menyendiri di Thian San Utara dan Hu Put Gie di Thian San Selatan. Pada suatu hari Ut-tie Ciong mengunjungi Hu Put Gie, untuk mencoba beberapa jurus ilmu pedang yang ia baru dapat ciptakan. Dalam percobaan itu, Hu Put Gie menang serintasan. Ut-tie Ciong dapat melihat, meskipun Put Gie menang, ilmu pedangnya belum sempurna. Maka ia menjanjikan lagi sepuluh tahun mereka akan mencoba-coba pula. Tidak disangka-sangka, belum sepuluh tahun, Ut-tie Ciong sudah meninggal dunia. Ketika Hu Put Gie berbela sungkawa, ia bertemu Yu Tan Sin-Nie. Pendeta wanita ini ketahui Uttie Ciong berat pada kekalahannya itu, maka itu untuk membikin arwah sahabat itu lega, ia menentang Put Gie untuk mengadu pedang secara persahabatan. Kesudahannya, Yu Tan yang menang. Atas itu Hu Put Gie melemparkan pedangnya dan sambil menghela napas berjanji untuk tidak menggunai pedang lagi, sebagaimana dijaman dahulu kala Pek Gee bersumpah tidak akan menabuh khim pula.
Mendengar keterangan itu, Kok Sin Ong menggelengkan kepala. Ia tertawa.
"Lao Hu, kau terlalu berkukuh !" katanya. "Kau berjanji untuk tidak menggunai pedang karena kedukaan pribadi. Tapi sekarang lain. Guna menolongi muridnya Ut-tie Ciong, tidak dapatkah kau mengubah sikapmu, untuk kau menggunai pula pedangmu ? Apakah halangannya ? Laginya sekarang ini Yu Tan Sin Nie pun sudah berpulang ke Tanah Barat.”
"Aku merasa ilmu pedangku belum sempurna," sahut Put Gie, "aku malu menggunai pedang pula. Taruh kata aku menggunai pedang, belum tentu aku dapat mengalahkan Pek Yu Siangjin." "Dimasa hidupnya guru, ketika ia merundingkan ilmu silat pedang, kaulah yang paling dibuat kagum, locianpwe," berkata Pwe Siok Touw. "Ketika ia dapat kemenangan itu, ia kata itulah kebetulan, ia merasa sangat beruntung "
"Benarkah gurumu mengatakan demikian ?" tanya Put Gie, alisnya dikerutkan. "Gurumu itu memberi muka saja padaku. Sebenarnya ia telah menggunai kepandaiannya memenangkan aku. Mana bisa jadi itulah disebabkan kebetulan"
Dimulut Put Gie berkata begitu, dihati ia terhibur. "Pula guruku masih ada pesannya yang terakhir," Pwe
Siok Touw berkata pula. "Guruku telah mewariskan ilmu pedang Bu Siang Kiam-hoat, setelah itu ia memesan, dimana yang aku tidak mengerti, aku mesti minta petunjukmu, locianpwe. Tidak lama setelah berhasil menciptakan ilmu pedangnya itu, sebelum meninggal dunia. Ilmu pedang itu sulit sekali, sudah banyak tahun aku meyakinkannya, masih aku tak menyelami semuanya. Locianpwe, meskipun locianpwe tidak mau menggunai pedang lagi, untuk memberi petunjuk padaku toh boleh, bukan ?"
Ketarik hatinya Put Gie. la memang satu ahli pedang dan sangat ketarik dengan itu. Lantaran janji, ia tidak menggunainya lagi. Tapi sekarang ia tak dapat menahan hati lagi. Ia kata : "ilmu pedang gurumu sangat liehay, aku tak tahu kau mengarti itu atau tidak. Coba kau jelaskan bagian-bagian yang kau kurang mengerti itu, mari kita meyakinkan bersama."
Siok Touw menyuruh Hian Song mengeluarkan kitab ilmu pedang guru mereka Bu Slang Klam Pouw, ia membalik-balik lembaran, terus ia berkata : "Ini dia bagian yang aku tak dapat mengartikan. Ini ialah ilmu pedang berlatih berdua bersama."
Hu Put Gie membaca bagian yang ditunjuk itu, tanpa merasa, ia memuji.
"Lao Kok, mari, kau pun melihat !" ia memanggil kawannya. "Jikalau ilmu ini dapat dilatih, aku percaya, ahli pedang nomor satu juga tidak akan dapat memecahkannya !"
Kok Sin Ong menghampirkan, untuk turut membaca.
Mengenai ilmu pedang itu, Hian Song juga tidak mengerti. ltulah ilmu yang diciptakan Yu Tan Sin-Nie, untuk dia berlatih dan bekerja sama Ut-tie Ciong. Pokoknya itu diambil dari Ngo Bie Kiam-hoat dari Ut-tie Ciong digabung dengan Bu Siang Kiamhoat pendapatnya sendiri, sayang sebelum mereka berhasil bergabung, mereka telah menutup mata. Mengenai ini, Hian Song pernah minta penjelasannya Siok Touw. Maka ia heran mengapa sekarang suheng itu mengaku tidak mengerti dan minta petunjuknya Hu Put Gie. la tanya, dalam hatinya : "Suheng mengerti, kenapa dia minta bantuannya Hu Put Gie ? Baru setelah mendengar suaranya Put Gie itu, dapat ia menerka maksud kakak seperguruan itu. Pikirnya pula.: "Tidak salah lagi ! Tentu suheng ingin Hu Put Gie mempelajarkan itu untuk menempur Pek Yu Siangjin !" Hu Put Gie ahli pedang kenamaan, jikalau dia tidak diminta petunjuknya, mana dia berani mempelajari ilmu pedang Yu Tan Sin-Nie ? Maka itu, cerdik Siok Tow, yang mendapat akalnya itu.
"Siok Touw," kata Put Gie kemudian, "ilmu pedang ini kacau sekali, pantas kau kurang mengerti. Untuk melatih ini dibutuhkan sedikitnya tiga hari waktu. Lao Kok, ilmu ini ada untuk dua orang berlatih bersama-sama, dari itu, mari kau menemani aku."
Mendengar keterangan itu, Hian Song masgul. Waktu tiga hari yang dibutuhkan itu berarti kelambatan. Mana dapat ia menanti sampai lewat tiga hari untuk pergi menolongi Tiangsun Pek dan Lie It ? la sendiri bersama Pwe Siok Touw, karena kurang mahir tenaga-dalamnya, tidak dapat melatih sampurna ilmu pedang bersatupadu im Hu Put Gie dan Kok Sin Ong barulah tepat.
Malam itu Nona Bu tidak dapat tidur. Ia gulak-gulik saja. Keras ia memikirkan Lie It dan caranya untuk menolonginya.
Hu Put Gie bersama Kok Sin Ong sebaliknya. Mereka membaca kitab ilmu pedang itu, mereka meyakinkan bersama, mereka berlatih bersama juga. Sampai jauh malam, setelah mengerti, baru mereka masuk tidur.
Besoknya pagi, waktu orang mendusin, Hian Song tidak kedapatan. Heehouw Kian terkejut, ia lantas periksa kantung obatnya. Lantas ia mengeluh, tetapi mengeluh sambil tertawa : "Sungguh besar nyalinya Hian Song. Dia telah pergi dengan mencuri obat Toan Hun San"
"Apakah khasiatnya obat bubuk itu ?" tanya Kok Sin Ong. Toan Hun San berarti puder "Memutuskan Arwah."
"Siapa makan obat bubuk itu, dia lantas mati," Heehouw Kian menjawab. "Tapi itu bukan berarti mati betul-betul. Didalam tujuh hari, dia mesti makan obat Hoan Hun Tan, dia bakal hidup pula. Kemarin aku membicarakan tentang dua macam obatku itu kepada Hian Song, dia rupanya ingat itu dan sekarang dia curi buat dibawa pergi menolongi Lie It."
Tabib ini merogo lebih jauh kantung obatnya. Kali ini ia mendapatkan sehelai kertas, yang ada suratnya. Ketika ia baca, itulah suratnya Hian Song. Nyata nona itu, habis mencuri obat, keluar dari belakang guha dimana ada suatu lorong yang menuju keluar.
Ketika itu, Khan Turki girang sekali. Ia telah dapat menangkap Lie It dan Tiangsun Pek. Ia ingin mendapatkan Nyonya Lie It itu. Untuk itu ia mau menyuruh orang membujuk dan melagui si nyonya. Baru ia hendak memberikan titahnya, atau seorang dayang datang padanya dengan lari tergesa-gesa, romannya gelisah.
"Ada apa?" dia tanya. Dia Sugar. Dayang itu berlutut.
"Per..permaisuri pulang!" katanya. "Dia kata dia ingin menghadap Seri Baginda tetapi Kakdu mencegah, ia tidak berani lancang memberi ijin masuk, dari itu ia mohon keputusan Seri Baginda"
Dayang itu cuma tahu selir buron tetapi tak ketahui halnya selir palsu, maka itu, ia tetap menyebutnya permaisuri.
Khan melengak. la heran sekali.
"Apa?" tanyanya. "Dia dia berani datang pula?"
"Ya. Sekarang permaisuri lagi menantikan panggilan Seri Baginda "
Khan mencoba menenangkan diri. "Lekas undang Guru Negara!" ia memberi perintah.
Memang benar Hian Song datang keistana. Ia berdandan sebagai selir. la membawa kimpay. Tidak ada orang yang berani mencegah ia, kecuali Kakdu si pemimpin pasukan pengawal. Dia ini pun bersangsi, terpaksa dia menyuruh Hian Song menanti selagi dia menitahkan dayang pergi melaporkan kepada junjungannya.
Tidak lama, Pek Yu Siangjin datang.
Setelah Khan mendapat keterangan Hian Song datang sendirian, ia menitahkan dayangnya memberitahukan Kakdu agar "selir" itu diijinkan masuk.
Selagi menunggu, raja ini berkata: "Wanita she Bu ini telah menyamar menjadi selir, dia membawa Lie It buron, selagi aku hendak menangkap dia, dia justeru kembali. Besar nyaiinya dia berani menyerahkan diri! Entah ada huhungan apa diantara dia dan Lie It? Kalau benar dia utusan Bu Cek Thian, kenapa sekarang dia berani memperbahayakan pula dirinya unruK mcnolongi lagi kepada Lie It?"
”Turut keterangannya Thian Ok baru ini, perhubungan diantara dia dan Lie It bukan perhubungan biasa saja," berkata Pek Yu. "Baru-baru ini, sebelum dia menyamar jadi selir, murid wanita dari Thian Ok pernah menemui dia dirumahnya Lie It diatas gunung Thian San. Aku rasa, sekarang dia datang untuk menolongi Lie It."
"Dia datang sendiri. 'Dia mau menolongi Lie It.' Haha!" Khan tertawa. "Bukankah itu berarti masuk sendiri kedalam perangkap?" "Sekarang Seri Baginda menghendaki apa?" Pek Yu tanya. "Seri Baginda menginginkan ia yang mati atau yang hidup?"
"Biar dia pernah bersalah; aku masih menyayangi jiwanya," sahut Khan. "Dia cantik sekali, apabila dia dapat ditakluki, alangkah baiknya! Sekarang ini kita Iihat dulu, dia datang dengan maksud apa, umpama benar dia hendak membunuh aku, masih ada waktu untuk Guru turun tangan."
Khan tahu Pek Yu menang daripada Hian Song, maka itu ia memanggil guru negara ini untuk melindungi padanya.
Tak lama maka terlihatlah masuknya Hian Song diiring Kakdu.
"Sungguh nyalimu besar?" Khan menyambut sambil tertawa. "Kau sudah buron, kenapa sekarans kau datang puha.? Apakah kau berat meninggalkan kemewahan istanaku?"
Sepasang alis Nona Bu berdiri.
"Terang kau ketahui maksud kedatanganku ini, apa perlunya kau menanya pula?" ia kata dingin.
"Kau memikir untuk menolongi Lie It?" Khan tanya. "Itulah tak dapat! Kecuali kau sendiri berdiam disini!"
"Apakah benar perkataanmu ini?" "Mana pernah aku bicara main-main?"
"Baik! Aku akan berdiam disini! Kau mesti merdekakan mereka berdua!" Khan heran. Inilah ia tidak sangka. Ia sampai mengerutkan alisnya. Ia lantas berpikir. Setolah itu, ia tertawa lebar. Sebagai seorang cerdik, ia dapat menerka hatinya Hian Song. Katanya dalam hatinya: "Kau pintar tetapi aku pun tidak tolol! Siapa percaya kau sudi menjadi selirku? tentulah kau hendak memperdayakan aku, supaya Lie It dapat lolos! Atau mungkin, kau hendak menggunai ketika ini untuk membunuh aku "
Memikir ini, hati Khan gentar. Bukankah Hian Song gagah? Sebagai selir, bukankah Hian Song dapat terus mendampingi ia? Kalau Hian Song mau, bukankah gampang untuknya meramnas jiwanya? Tapi ia berduka sejenak saja. Lantas ia dapat akal. Maka ia tertawa puIa.
"Kau sangat cantik, jarang ada orang secantik kau!" katanya, riang, "maka itu, jikalau kau benar suka melayani aku, jangan kata baru itu dua orang, biar aku mesti meletaki takhta, aku rela. Mari, mari duduk disini didampingkul Hari ini kita berkurnpul pula, mesti kita berjamu hingga puas! Mana orang? Lekas menyuguhkan arak kepada permaisuri!" Didalam hatinya, ia kata: "Asal kau minum arakku ini, dapat aku lakukan apa yang aku suka atas dirimu"
Khan mempunyai obat mabuk yang bila dicampur dalam arak tidak ada rasanya yang dapat membikin orang bercuriga, bila Hian Song sudah minum itu, ia mau minta Pet Yu menotok si nona, guna meludaskan ilmu silatnya habis mana, nona itu pasti akan tunduk terhadapnya.
"Tunggu sampai mereka berdua sudah merdeka, baru Aku minum arakmu," kata Hian Song tawar. "Sekarang aku mau bertemu dulu dengan mereka dan mengantarkan mereka sampai keluar dari istana."
Khan tertawa.
"Kiranya kau masih tidak percaya aku!" ia bilang. "Bukan aku tidak percaya," berkata si nona. "Aku mau
melihat mereka keluar dari istana dengan masih hidup,
baru hatiku tenang,"
"Bagus!" Khan tertawa pula. "Memang kamu bangsa Tionghoa mempunyai kata2 yang berarti, lebih baik hilang kepercaya,an kepada dunia, jangan terhadap wanita! Baik! Aku telah berjanji; pasti aku tidak akan menghilangkan kepercayaanmu! Aku suka terima baik permintaanmu ini. Yang mana kau ingin menemui lebih dulu, sang suami atau sang isteri?" Didalam hatinya, raja ini pikir: "Aku merdekakan mereka sampai diluar istana. Berapa jauh mereka dapat berlalu? Satu Guru Budi saja sudah dapat melayani mereka!" ia memang telah mengatur untuk Guru Budi menyembunyikan diri diluar istana, kalau nanti Hian Song mengantar Lie It dan Tiangsun Pek keluar, mereka harus disusul, untuk ditangkap pula Hian Song sendiri mau diminta lekas kembali kedalam, umpama dia melawan, Pek Yu diminta menyerangnya sekalian menotok ludas ilmu silatnya. Sebenarnya Khan tidak sudi menggunai kekerasan, ia kuatir si nona membunuh diri, maka ia lebih suka memakai araknya itu supaya dengan begitu "beras telah menjadi nasi." la mau menduga juga, karena Lie it dan isterinya sudah "merdeka,' mungkin si nona menjadi terpaku dan suka menyerahkan dirinya "Terima kasih, Baginda!" berkata Hian Song sambil ia menjura, sepasang alisnya terbangun. "Bukankah mereka itu ditahan disatu. tempat?"
Khan tertawa.
"Aku membuatnya mereka bertetangga," sahutnya. "Mereka dapat mendengar satu pada lain tetapi tidak bisa saling melihat."
"Kenapakah mereka disiksa sampai begitu? Sekarang aku lebih dulu minta mereka dikasi bertemu satu dengan lain, baru aku mau menemukan mereka."
Hian Song tahu baik Tiaagsun Pek cemburu padanya, kalau ia lebih dulu menemui nyonya itu, tidak nanti Ciangsen Pek percaya ia dan suka menjalankanakalnya, sebaliknya kalau ia meLemui Lie It lebih dulu, cemburuannya Tiangsun Pek bisa merusak usahanya. Maka itu, ia ingin menemui mereka selagi mereka itu berkumpul bersama.
Khan berpikir, lantas ia menyahuti : "Apa juga kau bilang, suka aku turut" Ia merasa pasti bahwa ia telah mengatur perangkapnya sampurna, hingga tidak ada halangannya untuk mempertemukan Lie It dan isterinya untuk sedikit waktu.
Lantas perintah dikeluarkan untuk membawa Lie It kedalam kamarnya Tiangsun Pek, setelah mana Pek Yu ditugaskan mengantar Nona Bu menemui suami-isteri itu.
Tiangsun Pek sudah dikurung tiga hari. Selama itu ia lega hatinya berbareng menderita. la lega hati karena Lie It ada didekatnya. Nyata Lie It menyintai ia dan suka berkurban untuknya. Dengan begitu didalam dunia ini tidak ada orang lain yang dapat merampas Lie It atau membikin mereka bercerai-berai, tidak Siangkoan Wan Jie atau Hian Song, tidak juga Khan. Sekarang Lie It kepunyaannya benar. la menderita sebab Lie It ada disampingnya, tetapi mereka cuma dapat saling mendengar, tidak dapat saling melihat. la cuma bisa mendengar suami itu menghela napas saja. Bagaiman ia ingin melihat suaminya itu! la tidak mengharap hidup pula, asal ia dapat mati didalam rangkulan sang suamil
Tiangsun Pek lagi memikirkan suaminya ketika ia mendengar suara kunci berkelotak diluar pintu, disusul daun pintu kamar tahanannya itu terpentang, lalu satu orang didorong masuk, hampir orang itu, yang terhuyung-huyung, menubruk padanya. Lantas ia merasakan dirinya seperti lagi bermimpi! la sepetti tidak mempercayai matanya sendiri? Orang yang dijoroki masuk itu bukan lain daripada Lie It, suaminya.
Ketika nyonya ini menjatuhkan diri dalam rangkulan sang suami, ia mendengar suara halus ditelinganya: "Adik Pek, inilah aku! Kau kaget, ya?" la girang berbareng sedih, airmata nya lantas mengucur deras.
"Engko It, benar2kah kau?" ia masih tanya. "Oh, dengan kau ada bersama-sama, aku tidak takut sedikit juga! Ya, kenapakah mereka mengijinkan kau datang kemari?”
"Aku pun tidak ketahui maksudnya Khan," sahut suami itu. "Mungkin dia hendak membinasakan kita, lalu sebelum kita mati, dia berbuat baik, dia mempertemuican kita, sekalipun untuk satu kali saja "
"Jikalau itu benar, meski aku benci dia, untuk ini aku mau menghaturkan terima kasih terhadapnya," kata sang isteri. "Adik Pek, aku membuatnya kau sengsara," kata Lie It kemudian. "Ayahmu menyerahkan kau padaku, bukan saja aku tidak sanggup melindungi kau; kau justeru mesti hilang jiwa ..."
Tiangsun Pek menutup mulut suaminya.
"Jangan mengucap begini, engko," ia kata perlahan. "Aku dapat mati bersama kau, aku puas. Aku cuma merasa bersusah hati"
Lie It heran.
"Apa?" tanyanya. Ia melepaskan rangkulan mereka, urtuk menatap.
"Aku aku aku.... sudah...” si isteri yang mukanya menjadi merah.
Sejenak kemudian, Lie It dapat menduga. "Kau lagi berisi?" tanya dia tertawa.
Tiangsun Pek mengangguk.
"Ya, kira2 sudah tiga bulan," sahutnya. "Oh, aku mengharapi anak perempuan"
Tiba2 suami-isteri itu kaget sendirinya. Mereka sadar bahwa mereka lagi terancam bahaya. Jiwa mereka bergantung pada sang waktu, hitung detik, hingga anak mereka itu mungkin bakal tak dapat melihat matahari atau langit
Tiangsun Pek berdiam, ia tunduk. Ia merasa bahwa ia salah omong. Percuma ia mengharap wanita atau priya Ia sangat berduka dan menyesal.
"Jangan terlalu berduka," Lie It menghibur. "Kau tahu, anak Bin telah ketolongan. Sekarang ini, selagi waktunya tinggal sedikit, baik kita bicara dari hal-hal yang menggembirakan"
"Bagaimana jalannya si Bin ketolongan?" Tiangsun Pek tanya "Coba kau tuturkan biar terang, supaya aku girang mendengarnya,"
Lie It berdiam sejena,k, agaknya nya ia ragu-ragu. "Dia telah ditolongi oleh orang yang tentunya tidak
dapat disangka-sangka kau," sahutnya.
Hati si isteri bercekat. Ia lantas dapat menduga. "Dialah Bu Hian Song," Lie It menjelaskan. "Dia
menempuh bahaya dengan menyaru jadi selir yang baru
dari Khan. Dia mela'kukan percobaan berbahaya itu cuma untuk menolongi anak kita."
Sang isteri mendengari dengan berdiam saja, suaminya menuturkan jelas sepakterjangnya Hian Song itu. Akhirnya ia menghela napas. la kata: "Kalau begitu aku berbuat salah terhadapnya. Engko It, pantas walaupun dialah musuhmu, kau memandang dia sebagai sahabat. Sudah, engko, jangan kau membantah, aku ketahui samua. Sekarang kau harus lebih bersyukur terhadapnya!"
"Si Bin ialah jiwa kita, sudah tentu aku bersyukur terhadapnya," kata Lie It. "Apakah kau tidak merasa bersyukur?"
"Aku juga bersyukur kepadanya, tetapi aku lebih bersyukur kepadamu!" kata isteri itu. "Kau telah tidak mensiasiakan aku! Terima kasih kepada Thian! Didalam sini kita cuma berdua, Hian Song sebaliknya berada diluar Ah, aku jadi merasa kasihan terhadapnya " Meski begitu, isteri ini tertawa. Nyata kacau pikirannya itu. la mengasihani Hian Song, ia mengasihani suaminya, ia pun mengasihani dirinya sendiri. Ia bersusah hati, ia pun puas. La lantas menatap mata suaminya, hatinya berdebaran.
Lie it melihat tertawanya isteri itu, tertawa yang tak nanti ia dapat lupakan.
Tiangsun Pek bingung. la bersyukur kepada Hian Song, ia mengasihaninya, tetapi, ia berkuatir. la takut Hian Song nanti merampas hati suaminya. Nyata ia tetap bercemburu, kejelusan menguasai dirinya. Hanya sekejab, lantas hatinya jadi lega pula. Bukankah sekarang sang suami ada bersamanya? Sekarang ini, dengan cara Apa juga, tidak nanti Hian Song dapat merebutnya
Ketika itu Hian Song dengan diantar Pek Yu Siangjin bertindak kekamar tahanan Tiangsun Pek. la pun goncang keras hatinya. la bergelisah tak kalah dengar. gelisahnya Tiangsun Pek. Ia cuma bukan dikuasai cemburu atau jelus. Dengan sekuat hatinya, ia coba mempertahankan diri. la tidak mau memberi kentara sesuatu apa juga didepan Pek Yu Siangjin, yang senantiasa waspada terhadapnya.
Selagi mendekati kamar tahanan, mendadak si pendeta tanya: "Sungguh aku tidak mengerti, mengapa kau mengurbankan dirimu untuk menolongi Lie It?"
"Oh, kau tidak tahu?" Hian Song jawab. "Lie It ialah muridnya Ut-tie Ciong!"
"Oh, begitu!" kata Pek Yu heran. "Aku mengerti sekarang." Pek Yu dan Ut-tie Ciong dan Yu Tan Sin-Nie ada orang-orang dari satu tingkatan. Pek Yu mengetahui lelakon asmara diantara Ut-tie Ciong dan Yu Tan. Yu Tan ialah tunangannya Ut-tie Ciong. la pikir. "Untuk gurunya, sekarang Hian Song hendak melindungi muridnya Ut-tie Ciong. Yu Tan demikian menyintai Ut-tie. Ciong dan Hian Song begini setia kepada gurunya, dia harus dihargai. ”Sayang aku tidak mempunyai murid seperti dia "
Hanya Pek Yu tidak tahu Hian Song bekerja bukan melulu untu'k gurunya itu.
"Aku mau bertemu sendiri dengan mereka itu,” kata Hian Song sesampainya didepan kamar.
Pek Yu tertawa dan berkata: ”Seri Baginda sudah menjanjikan kemerdekaan mereka, aku pun tidak danat mempersulit kau. Ini dia kunci untuk membukai borgolan mereka, kau dapat merdekakan sendiri pada mereka itu, untuk kau sendiri juga yang mengantarkan sampai diluar istana. Kau jangan kuatir."
Hian Song menyambuti anak kunci. Dengan perlahan ia menola'k pintu, untuk masuk kedalam, buat terus menutup pula pintu itu hingga Pek Yu ditinggalkan diluar kamar:
Lie It -berjingkrak. saking heran dan kedua matanya dipentang lebar ketika ia melihat siapa yang masuk kedalam kamarnya. Tiangsun Pek pun terkejut, hanya hati dia ini menjadi dingin.
"Hian Song, kau!" katanya tanpa merasa, tubuhnya terus menggigil, hingga rantai borgolannya beradu dan berbunyi. Sungguh diluar terkaannya, Hian Song; memperbahayakan diri datang pada mereka. Dia pun bingung, tidak dapat dia menyingkir dari ini nona siapa dia ingin menjauhkan diri untuk selama-lamanya. Segera dia mernsa bahwa Hian Song kembali muncul diantara dia dan Lie It!
"Jangan berisik, aku datang untuk menolongi kamu!" kata Hian Song perlahan, tangannya diulapkan.
”Tidak, aku ingin mati disini!" kata Tiangsun Pek, matanya menatap si nona. Kacau pikirannya hingga ia seperti tidak tahu apa yang ia ucapkan itu.
Hian Song membukai borgolan mereka.
Tiangsun Pek lantas ingat anaknya itu. Ia tunduk. "Tidak bisa!" kata Lie It setelah ia mencoba
menenteramkan hatinya.
"Aku berani masuk kemari, itu artinya aku mempunyai daya ku," kata Hian Song. "Mana dapat kau membilang tidak bisa?"
"Dapat aku menerka bukankah kau memperdayakan Khan ? Bukankah kau mengatakan kau sudi menjadi selir asal kami hendak dimerdekakan ? Lain kemudian kau memikir jalan untuk membunuhnya ? Tidak bisa ! Khan bukannya satu manusia bodoh ! Dia dapat menerima syaratmu dia tentu telah memikir cara lain untuk menghadapi itu ! Jangan kau anggap urusan demikian enteng !"
Lie It pandai befikir, dia dapat membade rencana Hian Song, seperti Khan membadenya
Hian Song bersenyum. Sekarang ini ia tidak dapat main likat-likat lama. Ia dekati Lie It untuk berbisik di telinganya : "Aku tidak sedemikian dungu. Dayaku ini memang tidak dapat mengabui Khan tetapi aku mempunyai daya lainnya lagi. Dia boleh sangat pintar tetapi tidak nanti dia dapat membadenya!"
"Apakah itu?" tanya Lie It ragu-ragu. "Kau bicaralah!" "Kau takut mati atau tidak?" si nona balik menanya. "Aku justeru memikir untuk tak hidup lebih lama pula
!"
"Bagus! Ini sebungkus obat bubuk, kau makan ini,
lantas kau mati!"
Tiangsun Pek kaget, dia menjadi gusar. "Apa?" bentaknya. "Apa macam akalmu ini?"
"St!" kata Hian Song ditelinga nyonya itu. "Adik Pek, kau percaya aku! Dapatkah aku membunuh suamimu? Inilah obat aneh dari Heehouw Kian! Dengan makan ini, selama tujuh hari orang dapat hidup!”
”Jikalau engko It sudah mati buat apakah Khan dengan mayatnya? Maka itu kau dapat bawa pergi jauh."
........ tak terbaca......
"Habis kau?" ia tanya. "Bagaimana kau nanti meloloskan dirimu?"
"Aku mempunyai dayaku sendiri. Tak lama lagi kau akan mengetahuinya."
"Jikalau aku bakal membikin kau celaka, lebih baik aku tidak keluar dari sini," kata Lie It. "Jikalau kau tidak pergi, kau bakal membikin susah lebih banyak orang!" Hian Song memberi ingat. "Kok Sin Ong beramai pasti bakal mencoba manolongimu. Didalam istana Khan ada banyak orang liehay, apa itu bukan berarti mereka mengantarkan jiwa mereka? Kau jangan kuatir, aku bilang aku mempunyai daya, pasti ada dayaku!"
"Baik, ku percaya kau!" kata Lie It. Ia menyambuti obat, lantas ia makan.
Tiangsun Pek memegangi tubuh suaminya, dengan perlahan-perlahan ia merebahkannya. Ia sekarang beranggapan lain terhadap Hian Song. Maka ia kata
:"Kau berikan juga sebungkus padaku:' Hian Song tertawa.
"Adik Pek, kau masih harus mengurus perkabungan," katanya. "Buat apakah kau obat ini?"
"Aku berada sendirian didalam istana ini, aku kuatir," sahut Tiangsun Pak. "Encie yang baik, kau bagilah aku sebungkus. Tidak ada halangannya untuk aku menyimpannya, bukan?"
Hian Song pikir benar juga, maka ia memberikan satu bungkus.
Lama, mereica berdiam didalam kamar, Pek Yu Siangjin menjadi tidak sabaran.
"Yang mulia, Seri Baginda menantikan kau !" ia berkata pada Hian Song. "Lekasan kau antar mereka pergi! lnilah perpisahan hidup, bukannya perceraian mati, buat apa kamu bicara terlalu banyak?" "Silakan kau undang Seri Baginda datang kemari, aku hendak bicara dengannya!" Hian Song menjawab, keras.
Pek Yu menjadi heran.
"Buat apa kau menghendaki Seri Baginda datang kekamar tahanan?" tanyanya. "Kalau ada bicara, tidak dapatkah kau bicara didalam keraton?"
"Jangan kau banyak rewel!" Hian Song membentak. "Pergilah kau persilakan Seri Baginda datang kemari! Buat apa kau tanyak banyak2?"
Pek Yu menjadi guru negara, diperlakukan demikian kasar oleh Hian Song, ia jadi panas hatinya.
"Sang waktu bukannya siang lagi!" katanya, mendongkol. "Kenapa kau main mengulur waktu ? Baiklah, jikalau kau hendak bicara dengan Seri Baginda, mari aku wakilkan kau mengantarkan mereka berdua keluar dari istanal"
Pendeta ini pikir baiklah ia menunaikan tugasnya, supaya sepasang suami-isteri itu lekas berpisah dari si nona. Tapi baru ia habis berkata begitu, ia lantas mendengar suaranya Hian Song, dingin : "Apakah kau sangka Lie It dapat hidup lebih lama pula ? Jangan kau bermimpil"
Pek Yu tercengang.
"Mungkinkah dia telah dapat membade muslihatnya Seri Baginda?" pikirnya. Lantas ia menjawab: "Kenapa tidak?.. Seri Baginda toh sudah mengasikan kata2nya? Apakah kau masih tidak percaya janji Seri Baginda?” "Khan berjanji, aku tidak" kata si nona. la tertawa dingin. Berbareng dengan tertawanya si nona, disana terdengar tangisannya Tiangsun Pak.
Pek Yu Siangjin kaget sekali. la jadi sangat heran. "Lekas undang Seri Baginda!" ia memberi perintah: la
sendiri lantas mendorong pintu penjara, yang terbuat
dari besi, untuk bertindak masuk. Kembali ia menjadi kaget. la dapatkan Lie It rebah dilantai, mukanya pucat, tak miripnya orang yang masih hidup. Tiangsun Pek memegangi tembok, dia menangis sedu-sedan.
Hian Song sebaliknya berdiri angkuh, dia tertawa dingin.
"Hai, kau main gila apa ini?" tanya Pek Yu, heran dan bingung. la lantas membungkuk, akan mengangkat tubuh Lie It, buat memeriksa nadinya. Tiba-tiba saja ia mengeluh. Lie It telah berhenti bernapas !
Bukan main bingungnya pendeta itu. Lie It ialah orang yang dibutuhkan Khan Turki. Dia benar membelai tetapi orang belum putus asa membujuknya. Khan pun masih belum ingin membinasakannya. Sekarang?."
"Bagus ya, kau meracuni dia!" akhirnya Pek Yu berse'ru."
"Taruhkata benar, habis kau mau apa?" Hian Song tertawa menantang. "Dapatkah kau mencampurtahu urusanku?"
Matanya pendeta ini mendelik. Biar bagaimana, si nona pun ada orang yang dikehendaki Khan, maka itu, tanpa titah dari Khan, apa ia bisa bikin? la tidak berani mengambil sesuatu tindakan. Cepat sekali, Khan tiba bersama Kakdu dan Makan. Begitu ia masuk kedalam kamar tahanan, ia pun berdiri menjublak.
"Bagaimana ini? Bagaimana ini?" tanyanya kemudian berulang ulang.
Bu Hian Song tertawa berkakak.
"Khan yang agung, kau telah melupakan satu hal!" berkata ia, nyaring. "Aku ialah keponakan dari Ratu dari Tiongkok!"
Tetapi Tiangsun Pek mendamprat: "Kau siluman jahat!
Kau meracuni suamiku"
"Suamimu toh bertuliskan mati?" kata Hian Song. "Daripada dia mati ditangan musuh, lebih baik dia mati ditanganku! Buat apa kau memaki?"
Khan bingung bukan main.
"Lekas panggil tabib!" ia memerintahkan. "Lekas tolongi dia !"
"Jangan banyak capai hati lagi!" kata. Hian Song, yang masih saja tertawa menghina. "Dia sudah mati sekian lama! Tabib paling pandai dikolong dunia juga tidak akan mampu menghidupkan dia pula!"
---o^TAH~0~DewiKZ^o--- Pek Yu Siangjin masih memeluki tubuhnya Lie It. la berdiam saja. "Bagaimana, dia masih bernapas atau tidak?" khan tanya Guru Negara itu.
Pek Yu menggeleng kepala. Baru sekarang ia meletaki tubuh si pangeran.
"Entah racun apa yang digunai yang Mulia Permaisuri," ia kata, "racun itu bekerja cepat luar biasa. Dia ini sudah putus jiwal"
Khan membanting kaki. "Kau kau " katanya.
"Yang Mulia Permaisuri yang menghendaki bicara sendiri dengan Lie It," berkata Pek Yu lekas, "Seri Baginda telah menerima baik permintaannya, aku tidak berani turut masuk kedalam sini. Mana aku tahu dia mau menggunai racun?"
Mata khan mendelik.
"Aku maksudkan kau!" ia kata pada Hian Song. "Kenapa kau menurunkan tangan jahat itu?"
Nona Bu tertawa terbahak.
"Apakah Khan masih belum melihat jelas?" ia menjawab. "Aku toh keponakannya Ratu dari Tiongkok, Lie It ini musuhnya Ratu yang menjadi bibiku itu, dia terjatuh didalam tangan kau, apakah itu bukan berarti bahaya yang mengeram didalam tubuh? Mana dapat aku membiarkannya? Hahal Ada ketika yang begini baik, pasti aku menggunainya, untuk menyingkirkan dial"
Khan gusar bukan main. la, yang menganggap dirinya pintar, kena dijual seorang wanita. "Bagus ya I" bentaknya. "Kau juga jangan harap hidup pula" Ia lantas melirik pada Pek Yu Siangjin, memberi isyarat untuk Guru Negara itu menotok habis ilmu silat si nona.
Ketika itu Hian Song tertawa bergelak pula dan berkata nyaring: "Aku telah melakukan tugasku, aku juga tidak mau hidup lebih lama!"
Tatkala Pek Yu mengangkat kakinya, bertindak, tubuh si nona terhuyurig, terus roboh!
Hian Song sudah menyiapkan obatnya selagi ia bicara, habis itu ia menelannya, maka tak dapat si pendeta berbuat apa-apa.
Ini pula hal diluar dugaanl Maka khan kembali menjublak. Ketika ia sadar, ia membantingbanting kaki.
"Ah, wanita she Bce ini sungguh liehay" ia kata, masguk la mengawasi tubuh si nona, ia merasa menyesal
Tubuh Hian Song roboh disisi tubuh Lie It. Melihat itu, Tiangsun Pek kata dalam hatinya: "Ah, kiranya dia menggunai daya semacam ini" la menjadi bersangsi, hingga ia berpikir pula: "Entah perkataannya benar atau dusta belaka Ah, kalau dia tidak dapat hidup pula, dia dan engko Lie It benar-benar menjadi suami-isteri didunia baka ... Diwaktu hidupnya dia tidak dapat merampas engko It dari tanganku, maka itu, bukankah itu sebabnya maka sekarang dia menggunai akal- muslihatnya ini, supaya mereka mati dan dikubur bersama dalam sebuah liang kubur?"
Selagi nyonya ini bersangsi, matanya khan tergeser kepadanya. Raja itu pun tengah waswas. Tiangsun Pek lantas mengambil keputusan.
"Tidak perduli dia bicara benar atau dusta, baiklah aku mencobal" katanya dalam hati. Maka sembari menangis, ia kata kepada khan: "Suamiku telah mati diracuni dan si tukang meracuni telah membunuh diri, untuk itu aku tidak mau minta Seri Baginda menolongi aku membalas sakit hati, cukup asal Seri Baginda mengijinkan aku membawa pergi mayat mereka."
"Kau hendak membawa pergi mayat suamimu?" tanya khan tawar.
"Benar," Tiangsun Pek mengangguk. "Dia sudah mati, untukmu dia sudah tidak ada gunanya lagi. Dialah pangeran Kerajaan Tong, aku hendak membawa dia pulang untuk dikubur di Tiongkok. Aku harap Seri Baginda menerima baik permintaanku ini, seumurku nanti aku ingat budi Seri Baginda."
Khan mengawasi. la mengasi dengar suara perlahan.
"Kau hendak membawa juga jenazah dia?" ia tanya.
Nyonya Lie It terperanjat. Ia melihat mata khan bersinar tajam. Dengan tangannya, raja itu menunjuk mayatnya Hian Song.
"Ya," ia menyahut. Ia ingat apa-apa. "Aku pun minta Seri Baginda mengijinkan aku membawa mayatnya pulang."
”Untuk apakah?" khan tanya. "Bukankah dia musuhmu?"
"Benar, dialah musuhku," sahut si nyonya. "Tapi dialah keponakannya Bu Cek Thian. Jikalau aku cuma membawa pulang jenazah suamiku, Bu Cek Thian pasti akan mendapat tahu duduknya hal. Dia mempunyai banyak kaki-tangan. Mana dia dapat membiarkan aku mengubur baikbaik jenazah suamiku ini? Dia kejam, apa saja dapat dia lakukan! Aku sendiri tidak takut, tetapi- kalau dia merusak jenazah, suamiku, oh, itulah hebat! Jikalau aku membawa pulang mayat keponakannya, itu artinya aku membawa pulang dua buah petimati. Dia tidak bakal ketahui peti yang mana yang muat mayat Lie It dan mana yang muat Bu Hian Song. Adalah aturan di Tiongkok, setelah orang mati dan dimasuki dalam peti serta petinya dipaku, peti itu tidak dapat dibongkar lagi. Mengganggu mayat dalam peti mati terpaku berarti mengganggu arwahnya. Dengan membawa pulang dua buah petimati, disana aku akan menguburnya bersama, maka andaikata benar dia memerintahkan orang merusak petimati suamiku, pasti dia ragu-ragu untuk merusak yang mana."
Mendengar itu, khan nampak kagum. .
"Aku tidak sangka kau dapat memikir begini teliti," katanya.
"Kau benar wanita cantik yang pintar!"
Tiangsun Pek mengawasi raja itu. Ia mau melihat crang mengangguk atau tidak. Ia mengeluarkan peluh dingin. Inilah saatnya, suaminya dan Hian Song bakal ketolongan atau tidak. Asal raja itu mengangguk atau menyahut "Ya!" Karena ia mengawasi, ia melihat khan pun mengawasi ia tajam.
Mendadak raja itu tertawa.
"Kenapa mesti banyak berabeh begitu?" katanya. "Kalau orang sudah mati, bukankah sama saja dimana juga dia dikuburnya? Nanti aku urus mayat suamimu sebagai jenazahnya keluarga raja, nanti aku membuatnya dia kuburan yang besar dan agung, supaya kau dapat menenteramkan dirimu, supaya kau dapat berlega had berdiam didalam istanaku, dengan begitu tak usahlah kau pulang kenegerimu."
Bukan kepalang kagetnya Tiangsun Pek. "Ini... ini " serunnya. .
Khan mengibaskan tangan, dia memotong: "Ada apa yang tidak bagus? Kau berdiam terus disini menemami aku, untuk selamanya kau bakal mengicipi kebesaran dan kebahagiaan! Bukankah ini terlebih baik daripada kau pulang dengan menempuh bahaya? Kenapa kau mesti kasi dirimu dipaksa Bu Cek Thian? - Sudah, jangan banyak omong, aku telah memikir sempurna untuk kebaikan dirimu! - Dayang, lekas kamu memimpin permaisuri yang baru pergi kekeraton untuk mandi dan berdandan!"
Kagetnya Tiangsun Pek tidak kepalang. la tidak sangka, setelah demikian banyak kesulitan, beginilah hasilnya. Tentu saja, is tidak diberi kesempatan untuk banyak pikir lagi. Dua orang dara yang sudah bertindak menghampirkan padanya. Pek Yu Siangjin pun memasang mata. Asal ia melawan, tentulah peadeta itu bakal turun tangan. Mana bisa ia melakukan perlawanan? Maka ia lantas mengertak gigi.
"Tunggu sebentar!" katanla+ keren. "Aku hendak melihat muka suamiku lagi sekali!"
Khan tertawa. "Aku tidak menduga kau sangat menyintai suamimu!" katar nya. "Baiklah, aku suka membiarkan kau mendapati kepuasanmu Kau boleh meminta diri dari suamimu itu!"
Selagi khan berkata-kata, Tiangsun Pek sudah membungkuk didepan tubuh suaminya, selagi mengawasi mukanya Lie It, diamdiam, tetapi pun dengan sebat, ia makan obat dari Hian Song, terus ia meratap: "Engko It, kau jalanlah perlahan-perlahan, kau tunggui aku!" Didalam hatinya, ia berkata: "Tidak perduli mati benar atau mati bohong, aku toh mad dalam pelukanmu!" Lalu dalam keadaan samar-samar, ia memeluk tubuh suaminya itu. Maka dengan hati puas, meramlah matanya, berhentilah napasnya yang terakhir
Kedua dayang terkejut melihat si nyonya roboh, mereka menubruk untuk menahan, tetapi sudah kasip. Ketika mereka hendak mengangkat, untuk memisahkan suami-isteri itu, keras sekali rangkulan si nyonya, yang khan mengatakannya selirnya yang baru ...
Khan kaget, dia menghela napas.
"Aku tidak sangka sama sekali wanita Tionghoa demikian keras dan suci hatinya!" ia kata. "Seorang juga aku tidak berhasil mendapatkannya Mereka membikin aku putusn harapan dan juga kagum. Lie It pun seorang gagah sejati! - Aku telah berjanji, aku mesti penuhkan janjiku. Kamu rawatlah baik-baik jenazah merekal"
Dengan masgul, raja ini meninggalkan kamar tahanan itu.
Dikaki gunung -Tienko-er dibaratnya kota-raja, disebuah tanah. belukar yang luas, disana terdapat sebuah kuburan baru. Pada malam jam tiga, dirimba lebat ,didekat situ, muncul empat bayangan orang yang bergerak dengan gesit. Mereka menghampirkan kuburan itu. Merekalah Hea houw Kian, Hu Put Gie, Pwe Siok Touw dan Kok Sin Ong. Karena kuburan itu ialah kuburannya tiga orang, yang semasa hidupnya membawa lelakon asmara Segi tiga.
Itulah hari ke-enam dari "matinya" Lie It bertiga makan racun istimewa. Hati Pwe Siok Tow tidak tenang. Dia bergelisah se orang diri. Maka separuh berbisik dia tanya: "Benarkah mereka bakal hidup pula?"
"Jikalau kita terlambat lagi Satu hari, mereka tidak dapat dijamin pula," sahut Heehouw 3Cian tertawa. "Sekarang kita datang disaatnya yang tepat. Nah, marl kita bekerja!"
Dengan lantas empat buah setop dikasi bekerja, untuk membongkar tanah yang bergunduk besar dan tinggi itu. Tak usah menggunai terlalu banyak waktu, mereka telah menggali sebuah liang.. Tatkala Pwe Siok Touw membungkuk, untuk melihat tegas-tegas, ia terkejut.
"Cuma dua buah petimatinyal" katanya.
Heehouw Kian maju, untuk memeriksa, atau dirumpun rumput tak jauh dari kuburan itu terdengar suara berkeresekan. Ia. tertawa.
"Kiranya disini ada ditaruh orang-orang bersembunyi!" katanya. "Nyata kita terlalu sembrono!"
Hu Put Gie tidak menyahuti, ia hanya meraup batu- batu hancur, terus tangannya diayun kearah rumput itu, dimana segera terdengar jeritan yang disusuli suara robohnya beberapa tubuh demikianpun teguran: "Siapa yang bernyali demikian besar berani membongkar kuburan permaisuri?"
Menyusuli teguran itu, dari arah selatan dan utara lantas terlihat munculnya belasan bayangan, antaranya ada yang terus menyerang dengan senjata-senjata rahasia.
Hu Put Gie dan Heehouw Kian segera bekerja. Mereka menyerang dengan pukulan-pukulan Pek Khong Ciang, "Menyerang Udara Kosong," maka juga semua senjata rahasia itu dapat dipukul jatuh sebelumnya ada yang sampai kepada mereka berempat.
"Jumlah mereka tigabelas orang," berkata Hu Put Gic yang liehay. "Diantaranys ada empat yang tenaga- dalamya lebih tangguh daripada yang lainlainnya. Lao Kok, Siok Tow, kamu berdua sudah cukup untuk melayani merekal"
Kok Sin Ong dan Pwe Siok Touw melepaskan sekop, untuk diganti dengan pedang mereka, lantas mereka lari maju, guna menghadang musuh-musuh itu. Maka segera juga terdengar suara beradunya pelbagai macam senjata tajam.
Hu Put Gie bersama Heehouw Kian bekerja terus menggali kuburan, sampai Kok Sin Ong dan Pwe Siok Tow, selang sekian lama, kembali pada mercka, dan Siok Tow kata: "Sayang, ada tiga kuku garuda yang dapat lolos "
"Tidak apa," kata. Hu Put Gie. "Kalau sebentar datang bala-bantuan mereka, kita sudah bekerja selesai."
"Cuma sayang," kata Kok Sin Ong tertawa, "dengan begitu ilmu pedang bersatupadu yang kita baru yakinkan tak dapat ketika untuk dicoba terhadap Pek Yu si tuabangka kepala gundul!"
Tatkala itu Hu Put Gie mongeluarkan dua helai rantai bed yang panjang, yang ujungnya ada gaetannya, bersama Kok Sin Ong ia menurunkan rantai itu guna masing-masing menggaet naik sebuah petimati.
Kok Sin Ong, yang matanya celi, tertawa dan berkata: "Siok Tow, kau boleh tenangkan hatimu. Dari kedua peti ini, yang pertama lebih berat banyak Aaripada yang kedua, maka itu pasti didalamoya ada dua mayat!"
"Kereta. kita belum datang," kata Siok Tow, yang mengangguk kepada jago tua itu. "Mungkinkah tukang keretanya takut?"
Kok Sin Ong dongak, melihat langit. Cuaca akan mulai terang
"Belum sampai tempo yang dijanjikan," katanya tertawa. "Jikalau kau kurang sabar, baiklah buka dulu kedua petimati ini, untuk menyaksikan sumoay kau ada didalamnya atau tidak:'.
"Eh, ada orang datang!" kata Put Gie tiba-tiba. "Ah, itulah bukannya kereta hanya orangorang yang menunggang kuda yang larinya pesat! Oh, mungkin mereka Pek Yu si tua-bangka kepala gundul!"
Belum habis suaranya jago ini, satu penunggang kuda sudah lantas sampai didepan mereka, dijarak belasan tombak, lantas penunggang itu lompat dari atas kudanya, untuk berdiri dimuka kuburan. Dengan segera dia tertawa berkakak.
Dia memang Pek Yu Siangjin. Pendeta itu menduga mesti ada kawannya Lie It yang akan membongkar kuburan, ia lantas mengatur orang untuk menjaga. Tentu sekali ada bertentangan sama derajatnya untuk ia sendiri yang setiap malam menjaga, memasang mata dikuburan, dari itu ia minta khan menug4skan tigabelas pengawal, ia sendiri bersama yang lainnya menanti disebuah pos pengawal yang terpisahnya dari kuburan tujuh atau delapan lie, supaya setiap waktu ia dapat pergi kekuburan itu. Inilah sebabnya kenapa ia dapat datang demikian cepat, diluar dugaannya Hu Put Gie beramai.
Hebat Pek Yu. Dia bergerak terus, tangannya. menjambak kearah Kok Sin Ong.
Dengan memperlihatkan kegesitannya, Sin Ong berkelit dari sambaran itu. Dilain pihak, Hu Put Gie maju untuk menyerang. Ia sekarang menggunai pedang yang pertama tail semenjak ia mengubah kebiasaannya.
Pek Yu tidak takut, dia tertawa.
"Dua kali sudah kita bertempur, belum ada keputusannya siapa menang dan siapa kalah!" dia kata. ”Maka itu malam ini marllah kita bertarung sepuas- puasnyal"
Hu Put Gie ialah si terpandai diantara empat Ahli Pedang, hebat serangannya itu, maka dengan Pek Yu memandang enteng kepada mereka, pendeta ini menjadi kurban, tidak perduli dia sangat sebat, selagi berkelit, ujung jubahnya toh kena tersontek ujung pedang !
Baru sekarang Pek Yu terkejut. Pula, sebelum ia bisa berbuat apa-apa, ia mesti memutar tubuh dengan cepat. Karena dibelakang ia, Kok Sin Ong menikam kepunggungnya! Terpaksa ia lompat mencelat, untuk memisahkan diri cukup jauh, sembari mengangkat tongkatnya, ia tertawa dan berkata: "Pelajar rudin, ilmu pedangmu tidak ada kecelaannya! Baiklah, malam ini kau boleh belajar kenal dengan ilmu tongkat Hok Mo ThungHoat dari aku si pendeta tua!"
Pek Yu tahu Put Gie yang terliehay diantara empat orang itu, maka ia menantang si orang she Hu, akan tetapi ia mesti men4ngkis pedangnya Kok Sin Ong. la menang tenaga-dalam, ia membuatnya orang she Kok itu merasakan tangannya sakit, hingga hampir saja senjatanya itu terlepas. Karena ini, Kok Sin Ong menjadi waspada.
"Sambut!" berseru Hu Put Gie. Ia tidak mau main bokong, sengaja ia berseru, untuk memberi tanda.
"Mari!" Pek Yu meayambut, tertawa. "Mari kita main- main dengan menggunai senjata!"
Pek Yu menyerang. la membikin Put Gie seperti terkurung tongkatnya. Ia benar-benar menggunai tipu- tipu dari Hok Mo Thung-hoat, ilmu silat tongkat "Menakluki Harimau:' Akan tetapi Hu Put Gie meloloskan diri dengan jurusnya "Menuding kelangit selatan," dengan berani dia menangkis.
Bentrokan itu mendatangtcan suara nyaring dan berisik. Ketika Put Gie memeriksa pedangnya, pedang itu terusak ditiga tempat. Itulah bukti kemahirannya tenaga. dalam si pendeta.
"Haha-haha!" Pek Yu tertawa. "Kau tunduk atau tidak?
Jikalau tidak, mari maju pula!" Tepat pendeta ini membuka mulut besar itu, tibalah kawankawannya, ialah Biat Touw SinKun bersama Maican dan Guru Budi.
Melihat itu, Hu Put Gie laatas berpikir, terus ia tertawa bergelak.
"Kami berempat," katanya gagah, "kamu pun berempat! Bagus, dengan begitu dapat kita mengadu kepandaian kita tanpa siapa pun mengandalkan jumlah yang terlebih banyak'
"Hm!" bersuara Pek Yu, yang tetap memandang enteng. Bukankah barusan ia telah mengajar kenal tenaganya terhadap Kok Sin Oag dan orang she Hu ini ? "Sekarang dapat kau menunjuki aku, bagaimana kau hendak mengatur pertarungan ini! Kita maju berbareng atau satu lawan satu. Jumlah kita sama banyaknya, malam ini kita mesti mengambil keputusan, jangan seperti dua kali yang sudah-sudah, belum apa-apanya kamu sudah mengangkat langkah panjangl
Put Gie tertawa.
"Siangjin, kata-katamu cocok dengan pikirankul". ia bilang. "Sesudah dua kali, kita jangan melewatkan yang ke-tiga ini, maka malaan ini pasti kita mesti menetapkan, siapa menang dan siapa kalah! Kamu Hek Gwa Sam Hiong, kamu bertiga merupakan sebagai satu tubuh, demikian aku dengan Lao Kok, kami ada sahabat-sahabat bersatu jiwa! Baiklah, aku bersama Lao Kok, suka aku melayani kamu Hek Gwa Sam Hiong. Sayang Thian Ok sudah mati, hingga Sam Hiong jadi harus disebut Siang Hiong !" Pek Yu gusar. la merasa tefhina. Ia bertiga disebut Hek Gwa Sam Hiong, Tiga Jago dari Perbatasan. Sam Hiong ialah Tiga Jago. Tapi sekarang Put Gie mengejeknya Siang Hiong, Dua Jago. Maka ia sengit sekali, sambil mengangkat tongkatnya, ,ia kata pada kawannya: "Biat Touw Laotee, malam ini kita membalas sakit hatinya Thian Ok! - Pelajar rudin, aku terima baik caramu ini, maka majulah kamu berdua!"
Dipihak lain, Guru Budi telah menantang Heehouw Kian, musuh lawasnya itu. la jeri untuk jarum emas dari si tabib, dari itu dengan licik ia mengusulkan untuk mengadu tenaga-dalam.
Heehouw Kian menjawab dengan sabar: "Telah lama aku mendengar kabar kaulah orang gagah nomor satu dari bangsa
Turici, maka itu aku si tua, yang bertubuh lemah, ada bagaikan cengcorang membentur kereta, tak nanti aku sanggup bertahan akan benturan itu. Meski demikian, karena kau memerintahkan, tak dapat tidak, aku si tua bersedia mengurbankan diriku menyambutnya. Silahkan kau menyebutkan caramu!" ,
Budi girang yang usulnya diterima baik. Lantas ia menunjuk sebuah batu besar didepannya.
"Janganlah kau terlalu merendah, Heehouw Sianseng," katanya. "Aku telah mendengar hebatnya ilmu silat Tionghoa apapula bagian pelajaran tenagar dalamnya, maka itu aku anggap inilah hari yang tepat untuk mencobanya. Aku pikir baiklah kita bertanding diatas batu besar itu, siapa yang jatuh dari atasnya dialah yang kalah. Setujukah ?" "Baik!" Heehouw Kian menerima tanda bersangsi. "Mari kita lantas mulail"
Keduanya lantas berlompat naik keatas batu besar itu, diatas itu mereka duduk bersila berhadapan, kedua tangan mereka ditempelkan satu dengan lain. Secara demikian mereka mengadu tenaga-dalam mereka.
Dipihak sana tinggal Maican seorang, maka Siok Tow menghadapi orang yang bakal menjadi tandingannya itu. Ia lantas ketarik dengan pedang ditangannya pahlawan Turki itu. Itulah pedangnya Lie It. Maican ini ahli pedang bangsa Tayuhiin, setelah "matinya" Lie It, ia minta khan menghadiahkan pedangnya Lie It itu kepadanya. Dan khan memberikannya. Tentu sekali Siok Touw ingin dapat merampas pulang pedang itu, untuk dikemba likan pada pemiliknya yang sah.
Maka tanpa banyak upacara lagi, ia kata: "Kau membekal pedang, kau pasti pandai ilmu menggunanya! Mari, mari, ingin aku belajar kenal dengan ilmu pedangmu!"
Maican memang hendak mencoba pedang mustika itu, ditantang secara demikian, ia girang menerimanya.
Demikian empat pasang jago bertempur dalam tiga rombongan.
Pek Yu Siangjin memandang enteng kepada lawannya, mulai bergerak, ia lantas menghajar Hu Put Gie dengan tipusilatnya "Sin liong cut hay" - "Naga sakti keluar dari laut."
Hu Put Gie tertawa dan berkata: "Lao Kok, hari ini ada ketikanya yang baik!" Suara itu disambut Kok Sin Ong, maka mendadak saja dua batang pedang berkekbat berbareng, menyambar kearah tongkat -si pendeta, untuk dijepit. Bukan main kagetnya Pek Yu. Inilah ia tidak pernah sangka. Dengan sebat ia menarik pulang tongkatnya, ia pun berkelit. Kembali ia menjadi kaget. la merasa hawa dingin lewat dikulit kepalanya. Lantaran kedua pedang menyambar terus. Maka ia bersyukur yang ia berkelit dengan sebat sekali. yikalau tidak, batok kepalanya tentulah akan kena dipapas.
Biat Touw mencoba menolongi kawannya itu tetapi tidak dapat berbuat banyak disebabkan sebatnya bergeraknya kedua pedang lawan itu.
Segera setelah itu, keduanya bergerak pula. Saking liehaynya mereka, jurus-jurus dikasi lewat dengan cepat. Setelah mereka. menyampaikan jumlah beberapa puluh jurus, si pendeta menjadi heran, tanpa merasa, hatinya mulai gentar.
Pek Yu - tidak melihat mata kepada musuh-musuhnya. la memang unggul dari Hu Put Gie. Benar Biat Touw rada lemah, tetapi dengan dibantu ia, mesti ia menang. Atau sedikitnya, kedua pihak berimbang. Siapa nyana, ilmu pedang bergabung dari dua lawan itu liehay sekali.
Hu Put Gie dan Kok Sin Ong sama-sama ahli silat. Benar, mula-mula, kerja sama mereka kurang - licin, disebabkan peryakinan mereka terlalu pendek - waktunya, akan tetapi setelah bertempur banyak jurus, mereka lantas jadi biasa. Mereka pun dapat melatih baik sekali )iu Siang Kiam-hoat dari kitab peninggalannya Yu Tan Sin Nie. Begitulah, sesudah dapat berkelahi dengan sempurna, Pek Yu yang berkepala besar itu menjadi keteter, dari galak merangsak, dia menjadi repot menangkis, sampai tak ada ketikanya untuk dia menyerang pula.
Mendapatkan ia menang angin, Hu Put Gie girang bukan main. la bagaikan tambah tenaganya. la bersyukur. Pikirnya: "Jikalau Pek Yu Siangjin menantang aku bertempur satu lawan satu, celaka aku! " Inilah sebab, ia tentu tidak dapat membiarkan Kok Sin Ong membantu ia andaikata ia terdesak, derajatnya menentangnya. Sekaranglah lain.
Heehouw Kian dan Guru Budi bertempur dengan tidak bergerak, dengan tidak berisik, tetapi. hebatnya mereka tak kalah dengan dahsyatnya pertarungan Pek Yu Siangjin dan Biat Touw Sin Kun melawan Hu Put Gie dan Kok Sin Ong itu. Setelah bertarung sekian lama, si tabib kosen mulai merasakan seluruh tuhuhnya panas. Tangannya lawan itu agaknya panas bagaikan api bara dan tenaganya pun bertambah. Sebaliknya Guru Budi merasakan tangan lawannya lunak sckali, tak perduli ia menyerang hebat, ia seperti menyerang kapas yang lembek, ia tidak merasakan tenaga menentang. Dengan demikian, jadilah keras lawan lemah.
Lewat lagi sekian waktu, dari kepalanya Heehouw Kian terlihat keluarnya uap putih, uap yang seperti dikeduskan hawa panas sekali. Guru Budi pun mengeluarkan peluh dari seluruh tubuhnya.
Luar biasa kepandaiannya Guru iiudi. Dia dapat membikin hawa hangat ditubuhnya menjadi panas dan tcrsalurkan, kepihak lawan, jikalau pihak lawan gagal menentang, zat air dari tubuh lawan dapat dib:kin "kering," hingga lawan itu bakal rusak dan ludaslah tenaga-dalamnya, ia bakal jadi bercacad.
Heehouw Kian mcmpunyai lalihan tenaga-dalam puluhan tahun, karena ia dari pihak lunak, ia melayani kekerasan dengan kelunakannya. Dengan begitu, kedua pitiak nampak sama unggulnya. Tapi tabib ini tidak terlalu tenang hatinya. la memikirkan Hu Put Gie, si sahabat akrab. Karena ia ketahui baik sekali, lawan sahabat itu - Pek Yu Siangjin -- lawan yang kesohor sebagai jago nomor satu. Pikirannya itu menjadi terpecah. Ia ketahui ini, ia mencegah sebisa-bisanya.
Lewat lagi sekian saat, mendadak tcrdengar jeritannya Biat Tauw Sin Kun, disusul dengan caciannya Pek Yu Siangjin, yang mendongkol sekali. Rupa rupaja yang satu telah terluka dan yang lain mendapatkan kerugian. .
Selagi ia bertahan untuk serangan hawa panas yang dahsyat itu, Heehouw Kian bercekat hati. la menduga dan dugaannya itu tepat.
Pek Yu dan Biat Touw telah melayani Hu Put Gie dan Kok Sin Ong sampai tigaratus jurus, mereka repot bukan main. Ilmu pedang Yu Tan Sin Nie terdiri cuma tigapuluh-enam jurus, disamping itu, banyak sekali perubahannya. Semua ini dapat dipahamkan Put Gie dan Sin Ong. Inilah yang membikin pendeta itu dan kawannya kewalahan. Lantas datang saatnya ujung pedang Sin Ong menegur Biat Touw, hingga dia ini kaget dan kesakitan. Syukur luka itu tidak tembus ketulang, maka masih dapat dipertahankan.
Budi dapat menduga Biat Touw telah terluka. Hal ini membuatnya menyesal. Ia ingin melihatnya tetapi tidak dapat. la repot sama usahanya sendiri untuk menjatuhkan lawannya. Tak bisa ia melihat lukanya sahabat itu. Karena ia memikirkan Biat Touw, pemtisatannya jadi terganggu. kheehouw Man dapat merasa desakan lawan tak keras sebagai semula, ia lantas menggantikan merangsak. Maka lekaslah, dari berimbang, ia jadi menang unggul.
Selagi Heehouw Man dan Guru Budi ini berkutat itu, dipihak sana Pwe Siok Touw dan Maican telah menyampaikan puncaknya kehebatan.
Maican ialah ahli pedang sukubangsa Tuyiihun, ilmu pedangnya itu gabungan ilmu silat pedang pelbagai partai di See Hek, Wilayah Barat. Sudah begitu, dia bertabiat keras. Dia memandaag enteng kepada Pwe Siok Tow, yang usianya ditaksir lebih-kurang baru tigapuluh tahun, dari itu, begitu'bergerak, dia lantas menyerang dengan bengis, dia terus mendesak. Tentu sekali dia tidak pernah menerka, walaupun usianya masih muda, Siok Touw sudah mewariskan ilmu pedang Yu Tan Sin Nie, guru pendeta wanita yang liehay itu. Kecuali mengenai tenaga-dalam dan pengalaman, dalam ilmu pedang, Siok Touw tak ada dibawah Hu Put Gie dan Kok Sin Ong. Maka juga, tidak perduli ia didesak demikian hebat, Siok Tow dapat membela diri, dapat ia memecahkan setiap serangan dahsyat.
Masib Maican menyerang seruh. la telah mengandalkan sangat pedang mustikanya itu. Ia menikam, ia menabas pergi pulang. Ingin ia dapat membabat kutung senjata lawannya. Tapi Siok Tow, yang memainkan Bu Siang Kiam-hoat, terus berlaku tenang tetapi sebat, hingga dia dapat mundur atau berkelit dengan lincah. Akhirnya Maican menyedot hawa dingin. Baru sekarang ia tidak berani memandang enteng lagi kepada musuhnya ini. Selama itu, seratus jurus telah dilewatkan. Siok Touw merasakan desakan lawan berkurang, ia lantas menggunai ketikanya yang baik. Sambil bersiul panjang dengan tiba-tiba, ia mulai dengan serangan pembalasannya. Saban-saban ia main mengancam. Setiap kali pedangnya ditangkis dengan dibabat, ia mengelit itu. Untuk merangsak, ia menggunai kegesitan- nya. Ia main berlompatan, kekiri dan kanan, atau kebelakang lawannya itu. Kesudahannya, Maican seperti melihat musuh dide7apan penjuru. Dia terkurung hingga dia menjadi repot.
Lantas tiba satu saat yang hebat. Ujung pedang Siok Tom dapat menusuk lengan lawannya. Tapi Maican masih dapat bertindak cepat, meski kena ketusuk, pedangnya toh dapat memapas kutung pedang lawan. Hanya celaka untuknya, saking sakit luka-nya itu, pedangnya tidak dapat dicekal terus, pedang itu terlepas jatuh. Sebaliknya Siok Touw, begitu melihat pedang jatuh, dia berlompat sambil membuang pedang buntungnya, guna menjemput pedang mustika itu.
Demikian, cepat luar biasa, sekarang pedang berganti tangan.
Maican kaget, gusar dan berkuatir karena terampasnya pedangnya itu.
"Aku suka mengasi ampun jiwamu! Apakah kau masih tidak mau pergi?" Pwe Siok Tow kata keras pada lawannya. Ia tidak melanjuti serangannya.
Menuruti adat, Maican masih hendak bertarung terus, akan totapi disamping itu, ia merasakan tangannya sakit sekali, tangannya lemas. Ia terluka dinadi kanan, ia mengerti tangannya itu pasti bercacad. Tegurannya Siok Touw membuatnya sangat mendongkol berbareng putus asa. Mana dapat ia melawan terus? Adakah muka untuknya mencuri hidup dengan bercacad? Maka akhirnya ia jadi sangat masgul. Ia lompat kepada pedang buntung musuhnya, ia pungut itu. Dengan tiba-tiba saja ia menikam dadanya sendiri!
Menyaksikan kenekatan lawannya itu, Pwe Siok Tow menghela napas.
"Maican benar-benar satu lakilaki sejati," katanya didalam bati. "Kalau tahu begini, tentu aku suka berbuat murah hati..."
Terpaksa ia menghampirkan mayat lawan itu, untuk melolos sarung pedang dari Pinggangnya, untuk ia soren sendiri, pedangnya dikasi masuk kedalam sarung itu. Kemudian ia menonton pertarungan didua gelanggang lainnya.
Pertempuran Pek Yu melawan Put Gie sudah mendekati jurus yang ke-limaratus. Pek Yu menjadi masgul dan mendong-kol. Ia yang jumawa, sekarang kena dibikin jatuh dibawah angin oleh musuh-musuh yang ia mulanya pandang ringan. Beberapa kali ia mencoba memecahkan kurungan, senantiasa ia gagal. akhirnya, hatinya menjadi gentar. Maka itu, ketika ia mengetahui robohnya Maican, hatinya itu mendapat gempuran hebat, tanpa ia merasa, gerakan tongkatnya menjadi rada ayal.
"Awas!" tiba-tiba Put Gie berseru nyaring. Seruan itu dibarengi dengan serangan pedang yang bersinar seperti bianglala. Kelihatannya pedang menyerang kepada si pendeta, tidak tahunya, sasarannya ialah Biat Touw Sin Kun
Pek Yu terkejut, cepat-cepat ia membela dirinya. Nyatanya ia membela diri belaka, tak ada serangan untuknya. Sebaliknya repotlah Biat Touw. Pedang Put Gie bagaikan pedang nyasar untuknya. Celaka untuknya, ketika ia mencoba menangkis pedang si orang she Hu, pedang Sin Ong menyambar padanya. Habislah dayanya. Tak bisa ia berkelit, tak dapat ia menangkis. Maka tertabaslah ia dari dua arah, hingga tubuhnya terbabat kutung menjadi empat potong!
Pek Yu Siangjin kaget bukan alang-kepalang. Sungguh hebat kejadian itu. Nekad dan gusar dia berseru keras sekali, bagaikan binatang liar mogok, dia menyerang dengan sekuat tenaganya.
Atas kenekatan musuh, Put Gie dan Sin Ong tidak melayani keras lawan keras, sebaliknya, me_ reka bersikap lunak dan gesit. Mereka senantiasa menjauhkan diri dari ujung tongkat. Setiap ada lowongan, baru mereka membalas mengancam.
Menonton cara bertarung itu, Siok Touw bagaikan kabur matanya. Baru sekarang ia menyaksikan tubuh orang demikian gestit.
Tidak lama Pek Yu mengamuk, lantas terdengar bentrokan keras dari tiga senjata. Suara itu menulikan telinga. Menyusuli itu, ketiga orang yang mengadu jiwa itu pada memisahkan diri. Siok Touw melihat dua potong pedang menggeletak ditanah. Sebaliknya Pek Yu berdiri dengan jubahnya berlepotan darah. Itulah bukti si imam telah terlukakan tujuh lubang, tetapi dia masih menghajar patah pedang lawannya. Siok Touw heran dan kagum. Tapi ia kuatir pendeta itu men jadi kalap dan akan mengamuk, lekas-lekas ia menghunus pedang Lie It yang berada dipinggirannya, terus -ia melemparkan itu kepada Kok Sin Ong sambil ia berkata: "Kok Locianpwe, sambut! Silakan tukar pedangl"
Kok Sin Ong melihat dan mendengar, dengan lantas ia menyambuti pedang itu, setelah itu bersama-sama Hu Put Gie, ia memandang tajam kepada Pek Yu Siangjin, untuk bersiapsedia andaikata pertarunaan dilanjuti. Mereka waspada untuk setiap gerak dari pendeta itu. Sebaliknya, untuk menyerang lebih dulu, mereka sungkan.
Sunyi-senyap suasana diitu waktu. Melihat romannya si pendeta, orang dapat perasaan menakut kan.
"Sudah, sudah!" tiba-tiba terdengar keluhan Pek Yu. "Seumurku tak pernah aku bertemu lawan, maka itu, tak dapat orang lain membunuhku!" Lantas ia melemparkan sian-thung, tongkat sucinya itu.
Hu Put Gie lantas berkata nyaring: "Kami berdua menggunai ilmu pedang warisannya Yu Tan Sin Nie! Kau bukannya kalah dari kami berdua!"
Akan tetapi belum berhenti kata-kata itu, Pek Yu sudah menepuk batok kepalanya sendiri, hingga batok kepala itu pecah, lantaran mana tubuhnya roboh, jiwanya melayang pergi ke Dunia Barat
Hebat pelemparan tongkat si pendeta, tongkatnya nancap di lereng gunung.
Hu Put Gie dan Kok Sin Ong mengawasi sekian lama, lantas mereka saling mengawasi. Lantas mereka menghela napas. Mereka tidak menduga demikianlah akhirnya bhikku yang liehay itu.
Guru Budi lagi melayani Heehouw Kian, hatinya sudah menjadi kecil, maka itu, tatkala telinganya mendengar keluhun Pek Yu Siangjin, yang suaranya keras, ia menjadi sangat kaget. Justeru itu, ia merasakan desakan keras sekali dari pihak lawannya. Mendadak hatinya jadi dingin, maka ia meramkan matanya untuk menantikan kematiannya
Beda dari pertarungan menggunai senjata tajam, pertarungan mengadu bathin tak ada tandanya, maka itu, Guru Budi dan Heehouw Kian tidak pernah mengasi dengar suara apa juga: Mulut mereka bungkam, bentrokan senjata tidak ada. Sebab mereka bertangan kosong.
Disaat ia menerima nasib itu, mendadak Guru Budi merasai dirinya lega. Tak lagi ia terdesak. Ia lantas membuka kedua matanya. Maka ia melihat Heehouw Kian telah menarik pulang tangannya seraya berkata dengan tawar: "Kita tak usah bertanding terlebih jauh!" Baru sekarang ia insyaf bahwa lawannya tak ingin mengambil jiwanya. Ia berhati lega tetapi ia malu sendirinya.
"Terima kasib, kiesu!" ia berkata perlahan, terus ia lompat turun dad batu besar itu, untuk ngeloyor pergi
Maka sunyi benar-benar sang malam disekitar situ, cuma sang Puteri Malam tcrus memperlihatkan sinarnya yang permai. Ketika itu sudah jam empat.
Heehouw Kian yang memecahkan kesunyian, ia bersiul panjang. Hanya sejenak, terlihatlah munculnya sebuah kereta, yang dikandarkan bukan oleh orang lain daripada Tiangsun Tay, kakaknya Tiangsun Pek, yang ditemani oleh seorang yang duduk mematung disisinya. Orang itu dandan sebagai pemburu.
"Heehouw Cianpwe," kata Tiangsun Tay ketika ia menghentikan keretanya, "kau lihat saudara ini. Dia kaget bukan main!"
Tiangsun Tay itu, ketika itu malam bersama-sama Pek Goan 1{oa menempur Thia Tat Souw dipadang rumput, telah kena ditangkap lawan selekasnya Pek Goan Hoa dirobohkan dengan totokan, syukur untuk mereka, mereka dapat ditolong oleh. Heehouw Kian. Mereka tiba dikotaraja khan sebelum sampainya Lie It, mereka berdiam menyembunyikan did dirumahnya si pemhuru dikaki gunung Tienko-er. Baru kemarin dulunya mereka bertemu dengan Heehouw Kian, untuk bekerja sama. Heehouw Kian memesan kereta untuk malam itu. Tiangsun Tay yang mesti membawanya, sebab Pek Goan lioa mesti berdiam dirumah mend yagai Hie Bin. Pada jam tiga, Tiangsun Tay berangkat bersama si pemburu. Ketika mereka tiba, mereka menyaksikan pertarungan mati-hidup diantara Hu Put Gie dan Kok Sin Ong melawan Pek Yu Siangjin dan Mat Tow Sin Kun. Mereka lantas menunda kereta mereka untuk menonton. Si pemburu seorang yang besar nyalinya, dia biasa menghadapi binatang-binatang liar, tetapi menyaksikan pertempuran itu, hatinya guncang, akhirnya dia jadi ketakutan hingga dia duduk menjublak diatas keretanya.
Heehouw Man naik keataa kereta. "Tidak apa' !" katanya tertawa. Dengan salju ia mengaduki obatnya, untuk dicekoki pada si pemburu, maka sebentar kemudian, sadarlah dia.
"Sungguh menakuti"
la. masih lemah, maka ,-pulangnya nanti, perlu ia beristirahat beberapa hari dan makan pula obatnya si tabib
Ketika itu, Hu Put Gie bersama Pwe Siok Touw sudah menggotong naik kedua petimati keatas kereta. Maka lekas juga, kendaraan itu dapat dikasi jalan pergi.
Tiangsun Tay dan Pwe Siok Touw berkuatir, had mereka tak tenang. Mereka berkuatir obatnya Heehouw. Kian nanti tidak menolong.
Mendekati fajar sampailah mereka dirumah si pemburu. Disana Pek Goan Hoa dan Hie Bin sudah menantikan didepan pintu. Kata Goan Hoa : "Tadi malam si Bin tidak dapat tidur. Dia tidak mau tidur, dia kata hendak menantikan ibunya ..."
"Mana ibuku !" anak itu lantas menanya. "Mana ayahku dan bibiku ?"
Heehouw Kian kuatir anak itu kaget melihat petimati. "Ibu dan ayahmu lagi tidur nyenyak !" ia menjawab
sambil tertawa. "Kau jangan mengganggu. Bukankah
ibumu pernah membilangi kau, Anak yang baik harus tidur siang-siang, tidak boleh berisik hingga mengganggu tidurnya orang tua ?' Maka sekarang pergilah kau tidur, kalau sebentar kau mendusin, ibumu pasti akan berada didampingmu." "Baik, aku turut perkataam kong-kong I" kata bocah itu. "Bukankah ibu dan ayah telah bertempur pula dengan pahlawan-pahlawan Khan ? . Ah, tentulah mereka letih sekali ! Jangan, jangan banguni ibu dan ayah !"
Girang anak ini. Maka itu ia menurut ketika Pek Goan Hoa memondong dia, dibawa masuk kekamar tidur dimana dia direbahkan. Tidak lama, pulaslah dia.
Sebuah ruang telah dikosongkan. Didalam situ ada pembaringan yang besar dikolong mana api dinyalakan, arangnya ialah arang batu. Seluruh ruangan menjadi hangat hawanya. Disitu pun ada dibakar kayu cendana, membikin orang bernapas lega karena haunya yang harum. Semua itu persiapannya Pek Goan Hoa. Untuk menolongi Lie It, Tiangsun Pek dan Bu Hian Song, kamar hangat d;butuhkan. Sebab tak dapat petimati mereka dibuka ditegalan dimana hawa udara dingin.
Dari tangan Kok Sin Ong, Heehouw Kian mengambil pedangnya Lie it.
"Pedang ini tepat !" katanya tertawa.
Dengan sekali menggores, tutup peti dapat dibela, untuk dibuka. Dengan begitu tidak usah ada guncangan andaikata petimati itu dibongkar dengan golok sembarangan atau kapak.
Begitu lekas peti yang satu dibuka, legalah hatinya Siok Tow. Disitu rebah tenang tubuhnya Hian Song, kulit mukanya mirip kulit muka orang hidup yang tengah tidur nyenyak. Heehouw Kian pondong tubuh si nona, untuk diangkat dan diletaki diatas pembaringan. Kemudian ia membuka petimati yang ke-dua.
Tiangsun Tay menghela napas lega. Ia melihat didalam peti itu tubuhnya Lie It dan adiknya,
Tiangsun Pek, hanya Tiangsun Pek merangkul keras tubuh Lie It, sampai sukar untuk dilepaskan. Semua orang berduka dan kagum.
Tubuh Lie It dan Tiangsun Pek itu tak dipaksa dipisahkan, dua-duanya diangkat, diletaki juga diatas pembaringan. Setelah itu Heehouw Kian mengawasi mereka, untuk melakukan pemeriksaan. Ia mendapatkan roman Lie It tidak berubah, sebaliknya pada alis Tiangsun Pek terlihat beberapa titik hitam.
"Ah !" terdengar suaranya, suara kaget.
"Bagaimana ?" Tiangsun Tay lantas menanya. "Dapatkah is ditolong ?"
"Obat. Hoan Hun Tan dari aku pasti akan menyembuhkannya selama waktu tujuh hari," sahut tabib itu, "kecuali ada sesuatu perubahan yang tidak disangka-sangka, kalau itu sampai terjadi terserahlah kepada Thian " '
Kata-kata ini membuatnya hati orang sedikit lega.
Tidak antara lama, hawa panas api itu telah meresap kedalam pembaringan, tersalur keketiga tubuh yang terletak diatasnya. Dengan perlahan, tangan dan kaki mereka itu pun terasa mulai hangat.
Heehouw Man menuang tip cawan arak, untuk dipakai sebagai air minum untuk tip butir obat, yang terus dimasuki kedalam mulut mereka itu. Lantas orang semua berdiam, menantikan bekerjanya obat itu.. Hoan Hun Tan, atau pel "Mengembalikan Arwah."
Pwe Siok Touw daa Tiang ,ocn Tay bergelisah sendirinya, hati mereka tegang. .
Lewat kira-kira sepasangan hio, tubuh Hian Song bergerak, lehernya pun mengasi dengar suara, yang mana disusul sama teriakannya "Aduh !"
"Bagus, bagus !" kata Heehouw Kian. "Nona Bu mendusin paling dulu ! Siok Tow, kau uruti dia, supaya jalan darahnya pulih, agar dia sadar seluruhnya."
Pwe Siok Tow menurut.
Belum lama, Lie It pun mendusin seperti Hian Song itu, maka Heehouw Man lantas memegangnya, untuk dengan perlahan-perlahan meloloskan dia dari rangkulan Tiangsun Pek, sedang Kok Sin Ong terus maju untuk menguruti.
Tiangsun Tay menghampirkan, akan melihat adiknya dari dekat. Adik itu masih berdiam saja bagaikan mayat. Ia menjadi bingung.
Bahkan Heehouw Kian pun heran. Lewat sesaaat Hian Song dapat bicara.
"Mana adik Pek ?" ia tanya. Itulah kata-katanya yang pertama. Ia membuatnya orang girang.
Heehouw Kian memegang pula tangannya Lie It.
Bagaikan - orang baru sadar dari tidurnya, Lie It membuka matanya. . "Oh, kau, Hian Song!" katanya, ketika pertama kali ia menampak Nona Bu.
Hian Song tertawa, mmannya masgul.
"Terima kasih, Heehouw Cian= pwe," ia kata. "Kembali kita telah melewatkan kota kematian.
”Eh, adik Pek, kenapa kau berdiam saja ? la lantas mengangkat tubuhnya, untuk berduduk. Sekarang ia melihat Tiangsun Pek rebah dengan kedua mata tertutup rapat. Ia heran.
"Kiranya dia pun makan obat itu," kata Lie It. "Kita sudah mendusin, dia juga bakal sadar. Encie Hian Song, jangan kuatir."
Sembari berkata begitu, suami ini merabah tangan dan kaki isterinya. Tiba-tiba ia terkejut. Tangan dan kaki itu dingin.
Heehouw Kian menarik Lie It kepinggiran.
"Isterimu sedang hamil, bukankah ?" ia tanya dengan suara perlahan.
"Ya, baru tiga bulan," Lie It menjawab. "Aku alpa, aku mengetahuinya baru kemarin ini, waktu khan mengijinkan kami bertemu dan adik Pek memberitahukannya. Tidak lama dari itu, datanglah Hian Song. Cianpwe, mengapa dia belum juga mendusin ? Apakah hamilnya itu membuatnya sadar lebih ayal ?"
Heehouw Kian tidak lantas menjawab. Sebaliknya mukanya menjadi pucat. Menampak itu, Lie It kaget, ia lantas bergelisah sendirinya. '
Obat Toan Hun Tan dari Heehouw Kian dapat dimakan oleh orang laki-laki atau wanita, tanpa pandang umur, pantangnya cuma wanita hamil. Ketika itu hari ia membicarakan itu dengan Hian Song, ia tidak menyangka si nona bakal mengambil obatnya itu, ia tidak menyebut- nyebut tentang pantangan itu. Maka itu, sekarang ia kaget sekali, hingga ia berdiam saja.
---o^TAH~0~DewiKZ^o---