Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 09

 
Ih! Mengapa berbau amis?" kata Tiangsun Pek.

Mendadak diluar terdengar suara tindakan, sehingga Lie It yang kuatir musuh datang lagi, lantas saja menghunus pedang.

Tapi yang datang adalah kedua kacungnya Heehouw Kian, yang satu mambawa anglo (perapian), sedang  yang lain memegang botol.

Di anglo itu dibakarlah sesuatu yang menyiarkan bau sangat harum.

Selang beberapa saat barulah Heehouw Kian membuka kedua matanya.

"Sungguh berbahaya....! Sungguh berbahaya...!" katanya.

Ia lalu mengeluarkan sebatang jarum emas yang lalu digunakan untuk menusuk jeriji tengah tangan kirinya dan dari lubang tusukan itu lantas saja mengalir keluar darah hitam yang lalu dimasukkan kedalam botol yang di bawa oleh si-kacung.

Sekarang Lie It baru tahu, bahwa ditembok terpeta warna hitam dalam bentuk punggung Heehouw Kian dan bau amis keluar dari hawa beracun itu.

Sesudah menaruh anglo dilantai, si-kacung lalu mengeluarkan pahat untuk mencopot batu-batu bata yang kena racun. "Pendam dalam-dalam batu-batu dan botol itu dibelakang gunung," kata Heehouw Kian kepada kacungnya.

"Kau harus menjaga supaya tidak dipendam didekat mata air!”

Lie It terkejut. "Apakah racun Thian-ok Tojin begitu hebat?" tanyanya.

"Jika tidak berjaga-jaga, hari ini jiwaku sudah melayang," jawabnya, sambil mengangguk.

"Bukankah Lopeh yang mendapat kemenangan?" tanya Tiangsun Pek.

"Tidak dapat dikatakan menang," jawabnya. "Aku hanya berhasil menakut-nakutinya."

"Aku agak kurang mengerti," kata pula si-nona. "Sesudah menerima pukulannya, Lopeh masih dapat

mempertahankan diri dalam tempo lebih dari satu jam.

Dia tidak bisa merubuhkan Lopeh dan menurut peraturan, Lopehlah yang memperoleh kemenangan."

"Andaikata benar menang, kemenangan itu didapat secara kebetulan sekali," kata Heehouw Kian.

Lie It dan si-nona yang masih belum dapat menangkap maksud si-kakek, lantas saja minta penjelasan.

"Begitu lantas aku tahu, bahwa yang datang adalah Thian-ok, aku segera menelan setengah peles Lengtan pemunah racun dan mengenakan Kim-sie Joan-ka (baju mustika yang terbuat daripada benang emas) dan sesudah itu, barulah aku keluar untuk menemuinya," menerangkan Heehouw Kian. "Tapi tak dinyana, pukulan Tok-ciang jauh lebih hebat daripada dugaanku sehingga hampir-hampir aku kena dirubuhkan. Belakangan, waktu ia menantang untuk bertanding pula, aku mendapat jalan untuk menipunya. Dia memiliki Lweekang yang sangat lihay dan jika aku meladeni tantangannya untuk bertempur, mungkin sekali aku tak akan dapat melayaninya dalam seratus jurus. Tapi aku mengerti, bahwa dalam pertandingan 'lembek', Lweekangku lebih unggul setingkat daripadanya. Maka itu, aku segera mengusulkan untuk menjajal tenaga dengan menggunakan tambang. Sebagai hasilnya, dengan meminjam Lweekangnya, aku dapat mengusir racun yang mengeram dalam tubuhku dan tanda hitam ditembok adalah racun yang keluar dari badanku. Sebagaimana dilihat kalian, aku mengeluarkan sisa racun yang masih ketinggalan dengan mendorongnya kejeriji yang lalu kulubangkan."

Sesudah berdiam sejenak, ia berkata pula sambil tersenyum : "Karena pertandingan tadi, bukan saja aku kehilangan Lweekang yang didapat dengan latihan tiga tahun, tapi kepalaku juga menjadi botak."

Seraya berkata begitu, ia membuka ikat kepalanya dan ternyata, semua rambutnya telah hancur.

Dengan rasa terharu, buru-buru Lie It berlutut dan berkata: "Untuk menolong jiwa siauwtit, Locianpwee telah berkorban begitu besar. Budi ini tak akan dilupakan siauwtit"

"Jangan kau mengatakan begitu," kata si-kakek sambil membangunkan pemuda itu. "Selama beberapa tahun aku berlatih dengan giat karena aku tahu, dia pasti akan menyatroni aku." Melihat sikap pemuda itu, ia sungkan memberitahukan, bahwa baju mustikanya pun telah menjadi rusak karena serangan Lweekang Thian-ok Tojin.

"Aku sungguh tak pernah mimpi, bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat manusia yang begitu lihay," kata Tiangsun Pek dengan suara kagum.

"Diluar langit masih ada langit, diatas manusia masih ada manusia," kata si-kakek.

"Dalam hal menggunakan racun, memang Thian-ok paling lihay didalam dunia. Tapi dalam ilmu silat, dia belum menduduki kursi pertama."

"Lain musuh masih tak apa," kata Tiangsun Pek.

"Yang paling harus ditakuti adalah kedua memedi murid Thian-ok, terutama Tok-sian-lie yang bisa membokong orang sambil tersenyum-senyum. Ayah dan Thianhee hampir-hampir binasa dalam tangan mereka."

"Benar," kata si-kakek.

"Sekarang kalian sudah bermusuh dengan murid- murid Thian-ok Tojin dan kalian haruslah berhati-hati."

"Tapi aku justeru tak tahu bagaimana harus berjaga- jaga, karena mereka sudah mengenal kami," kata nona Tiangsun.

"Begini saja," kata pula Heehouw Kian.

"Nanti, jika kalian mau berlalu dari sini, aku akan memberikan Ek-yong-tan (obat untuk mengubah paras muka) supaya kalian dapat mengubah wajah." "Bagus!" seru Tiangsun Pek dengan girang. "Tapi lebih baik diberikan sekarang, karena setiap hari aku harus pergi kewarung-warung teh untuk mendengar-dengar warta-berita."

"Kalau begitu, sebentar aku akan memerintahkan kacung untuk memberikannya kepada kau dan mengajarkan cara memakainya," kata Heehouw Kian.

Si-nona tertawa dan menghaturkan terima kasih. Sebelum berlalu, Heehouw Kian memegang nadi Lie It. "Besok kau akan sudah sembuh seluruhnya," katanya.

Ia berpaling kepada nona Tiangsun dan berkata pula : "Menurut perhitunganku, besok ayahmupun akan sudah tiba disini."

Sesudah orang tua itu berlalu, sambil mengawasi Lie It, Tiangsun Pek berkata: "Idam-idaman ayah yang paling besar adalah melihat bangunnya kembali kerajaan Tong. Besok, jika bertemu dengan Thianhee, ayah tentu akan merasa girang sekali."

Lie It menghela napas.

"Tapi aku kuatir, aku tak akan mampu memikul tanggungan yang sedemikian berat," katanya.

Untuk beberapa saat si-nona berdiri bengong.

"Jika ayah mendengar ceritera mengenai Wan Jie, ia tentu akan berduka sekali," katanya dengan suara perlahan.

Mendengar itu, pikiran Lie It jadi kusut.

Ia tidak menyahut, hanya paras mukanya berubah pucat. Tiangsun Pek merasa sangat menyesal dan berkata pula dengan suara berbisik: "Aku sabenarnya tidak boleh menyebut-nyebut lagi Wan Jie dihadapan Thianhee

............"

Ia tak dapat meneruskan perkataannya dan kedua matanya berubah merah.

Sesaat itu, kacung Heehouw Kian datang dengan membawa Ek-yong-tan, sehingga perhatian kedua orang muda itu dapat disalurkan kelain tempat.

Sesudah si-kacung mengajarkan cara memakai obat itu dan berlalu dari kamar tersebut, Tiangsun Pek berkata sambil tertawa: "Thianhee, kau harus menukar pakaian."

Ditegur begitu, barulah Lie It ingat, bahwa pakaiannya telah robek karena pukulan Thian-ok Tojin.

Mengingat pertolongan si-nona yang tadi sudah memeluknya, tanpa merasa mukanya berubah merah.

"Terima kasih," katanya dengan suara jengah.

Sesaat kemudian, nona Tiangsun minta permisi dan meninggalkan kamar itu.

Tapi baru berjalan, beberapa tindak, ia balik kembali sambil mengangsurkan sebuah kotak Ek-yong-tan.

"Aku tinggalkan satu kotak," katanya. "Mungkin sekali, kau juga akan memerlukannya."

Malam itu Lie It tak bisa pulas.

Kira-kira tengah malam, ia bangun dari pembaringan, menukar pakaian dan lalu menulis sepucuk surat untuk Tiangsun Pek. Sesudah me-nimbang2 setengah malam, ia telah mengambil ke-putusan untuk pergi ke Tiang-an guna menemui Siangkoan Wan Jie.

Sesudah mendengar, bahwa nona itu menakluk kepada Bu Cek Thian, dalam otaknya muncul dua rupa pikiran yang bertentangan.

Kalau benar, ia merasa putus harapan dan tidak ingin menemui nona itu lagi.

Ia akan menganggap saja, bahwa Wan Jie sudah meninggal dunia.

Dilain pihak, masih terdapat kemungkinan, bahwa apa yang didengarnya hanya desas-desus yang tidak berdasar.

Mengingat begitu, ia berkuatir sangat akan keselamatan Wan Jie.

Maka itu, disatu pihak ia takut menemui Wan Jie, dilain pihak, ia sangat ingin menemuinya.

Sesudah memikir bulak-balik, akhirnya ia mengambil keputusan untuk pergi ke Tiang-an dengan tidak memperdulikan bahaya yang sangat besar, guna menyelidiki dan menyaksikan dengan mata sendiri benar- tidaknya berita itu.

Disamping itu, ia juga mempunyai sebuah alasan lain untuk pergi dengan diam-diam. Ia kuatir, bahwa jika pergi ke Tiangan bersama-sama Tiangsun Pek, ia tak akan dapat mempertahankan diri dan sekali lagi terlibat dalam cinta

Pada hakekatnya, terhadap nona Tiangsun yang sudah membuang budi dengan merawatnya selama ia sakit, ia tidak mempunyai rasa cinta dalam arti cinta yang menuju kepintu perkawinan.

Rasa cintanya terhadap Tiangsun Pek adalah cinta dari seorang kakak terhadap adiknya.

Maka itulah, ia kuatir, jika bergaul terlalu rapat dengan nona itu, ia akan menimbulkan salah mengerti yang dapat berakibat jelek.

Dalam suratnya, ia menghaturkan terima kasih dan minta maaf, bahwa ia pergi tanpa berpamitan. Sebagai alasan, ia mengatakan, bahwa ia tak mau si-nona menempuh bahaya yang tidak mestinya.

Ia memohon supaya nona itu berdiam terus dirumah Heehouw Kian dan merawat ayahnya yang masih sakit.

Sesudah selesai menulis, ia melongok keluar jendela. Hawa sangat dingin dan rembulan berada ditengah-

tengah langit, sedang setiap kali angin meniup, beberapa

lembar daun yang sudah merah melayang-layang jatuh ditanah.

Melihat pemandangan malam itu, hatinya jadi lebih berduka.

Ia ingat, bahwa ia bertemu dengan Wan Jie dimusim semi yang riang-gembira dan pada waxtu itu, didalam hatinya terdapat sebuah angan-angan yang sangat besar. Tapi dalam sekejap, segala apa sudah berubah.

Nasib Wan Jie masih merupakan sebuah teka-teki, sedang hatinya sendiri seolah-olah daun layu yang rontok karena ditiup angin.

Sesudah menghela napas berulang-ulang, ia membuka kotaknya Ek-yong-tan. Ia mengambil serupa obat yang lalu dicairkan dengan air teh dan kemudian melaburnya diatas mukanya.

Tak lama kemudian, wajahnya sudah berubah.

Ia seperti lebih tua duapuluh tahun, kulit mukanya kelihatan berkerut, sedang sebagian rambutnya berubah putih.

Ia segera mengenakan jubah panjang warna biru yang agak tua dan lalu berjalan mundar-mandir dalam kamarnya dengan tindakan seorang tua.

Ia berkaca didepan sebuah kaca tembaga dan ia merasa sangat girang, karena ia sendiri tidak mengenali wajahnya.

Sesudah mengambil khim dan pedangnya, perlahan- lahan ia membuka pintu kamar dan keluar dengan tindakan indap-indap.

Ia pergi kekamar Tiangsun Pek yang terletak dipojok timur taman bunga dan melemparkan suratnya kedalam kamar dari celah jendela.

Sesudah berdiri bengong beberapa saat, ia segera meninggalkan rumah Heehouw Kian.

la turun gunung dengan menggunakan jalanan kecil yang telah digunakan Hian Song waktu  mengantarkannya kerumah Heehouw Kian.

---o^dewikz^0^TAH^o--- DENGAN perasaan tertindih, diantara tiupan angin, sayup-sayup ia seperti masih mendengar suara roda kereta.

Tak lama kemudian, disebelah timur terlihat sinar merah dan fajar mulai menyingsing.

Sesudah melewati gunung, dusun, kota-kota dan sungai-sungai, sambil melawan hawa dingin, hari itu Lie It tiba di Gok-koan dan tiga atau empat hari lagi, ia akan sampai pada tujuannya, yaitu kota Tiang-an.

Karena sudah mendekati kota raja, jalanan sudah agak ramai dan sepanjang jalan terdapat warung arak.

Kira-kira tengah hari, karena haus dan lapar, ia turun dari tunggangannya dan masuk kedalam sebuah warung arak untuk menangsal perut dengan arak dan daging kerbau.

Ia adalah tamu satu-satunya dan si pemilik warung arak menyambutnya dengan hormat dan ramah-tamah.

Mendengar Lie It ingin pergi kekota raja, si-pemilik warung arak tersenyum seraya bertanya : "Apakah Losianseng pergi ke Tiang-an untuk memegang pangkat?"

"Bukan," jawabnya. "Aku sudah tidak mempunyai kegembiraan lagi, karena setiap tahun gagal dalam ujian."

"Losianseng jangan berkata begitu," kata si-pemilik warung arak dengan suara membujuk. "Dulu, sesudah berusia delapanpuluh tahun, barulah Ciu Kong bertemu dengan Bun Ong. Orang tidak boleh merasa kecewa karena menghadapi kegagalan untuk sementara waktu."

Lie It tertawa.

"Pada jaman ini, didalam dunia tidak ada Bun Ong dan akupun bukannya Ciu Kong," katanya. "Disamping itu, jika bisa mendapat penghidupan yang sederhana, aku sudah merasa puas."

"Untuk itu kurasa Losianseng boleh tak usah kuatir," kata pula si-pemilik warung arak dengan paras sungguh- sungguh.

"Orang-orang terpelajar dalam kampung ini sering mengatakan, bahwa meskipun kaizar sekarang hanyalah seorang wanita, tapi beliau sangat bijaksana dan pandai sekali menggunakan orang-orang yang sungguh-sungguh berkepandaian. Hanya sayang, Losianseng tidak ingin menjadi pembesar negeri."

Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Sekarang Tiang-an lebih ramai daripada dulu dan rakyat mudah mencari makan."

Mendengar keterangan itu.

Lie it lantas saja ingat ejekan Hian Song yang mengatakan mau ke Tiang-an untuk melihat apakah ibukota itu sudah menjadi "kebun jagung" atau "tanah sawah".

Sesudah bengong beberapa lama, barulah ia bisa berkata: "Terima kasih atas keteranganmu.

Sehabis berkata begitu, dengan tangan mencekel cawan arak, ia mengawasi gunung-gunung yang berbaris disebelah kejauhan. Melihat tamunya mengawasi gunung, pemilik warung arak itu berkata lagi sambil tertawa: "Jika ingin, Losianseng boleh mendaki gunung itu untuk melihat-lihat peninggalan jaman dulu"

"Ada apa yang menarik hati?" tanya Lie It.

"Gunung ini adalah Siu-yang-san tang tersohor dan sampai beberapa tahun yang lalu, para pelancong sering sekali naik keatas untuk meilhat-lihat peninggalan Pek Ie dan Siok Cee," jawabnya. "Tapi selama satu-dua tahun ini, jarang ada yang naik keatas."

Menurut sejarah, Pek Ie dan Siok Cee adalah sasterawan ternama pada jaman permulaan kerajaan Ciu.

Waktu Ciu Bu Ong menggerakkan tentara untuk menyerang negara Siang, mereka pernah coba mencegah niatan kaizar Ciu itu.

"Gunung ini adalah Siu-yang-san tang tersohor dan sampai beberapa tahun yang lalu, para pelancong sering sekali naik keatas untuk meilhat-lihat peninggalan Pek Ie dan Siok Cee," jawabnya.

Belakangan, sesudah Siang dimusnakan oleh Ciu, mereka sungkan makan nasi kerajaan Ciu dan menyembunyikan diri di Siu-yang-san.

Mereka hanya makan daun-daun dan akhirnya mereka mati kelaparan.

Mendengar keterangan itu.

Lie It berkata dalam hatinya : "Pada jaman ini manusia yang seperti Pek Ie dan Siok Cee sudah tidak ada lagi dalam dunia. Tidak heran, bahwa makin lama makin jarang yang menengok peninggalannia. Tapi, meskipun didalam hati ia memikir begitu, terhadap si-nemilik warung arak ia berkata: "Sebenarnya aku ingin sekali naik keatas, tapi karena bekal sudah hampir habis dan perlu buru-buru tiba di Tiang-an, aku tak dapat mewjudkan niatan itu."

Selagi omong-omong, datang seorang tamu lain, seorang busu (ahli silat) yang, masih muda.

Lie it agak terkejut karena muka orang itu seperti juga tidak asing baginya.

"Dimana aku pernah bertemu dengannya ?" tanyanya didalam hati.

Dilain saat, ia tersenyum sebab baru mandusin, bahwa potongan badan dan roman orang itu agak mirip dengan dirinya sendiri. Orang itu mengenakan pakaian mewah dan menunggang seekor kuda iang sangat bagus, hanya badannya kurus dan parasnya pucat, seperti orang lagi sakit.

Begitu masuk, ia minta tiga kati arak putih dan dua kati daging kerbau.

Didengar dari suaranya yang nyaring dan penuh, ia bukan seorang sakit.

"Orang ini kelihatannya memiliki ilmu silat yang cukup baik," pikir Lie It. "Mungkin sekali, pucatnya adalah pucat yang wajar."

Sesudah pemuda itu menceguk satu-dua cawan arak, si-pemilik warung arak, yang ramah-tamah, mendekati dan bertanya : "Apakah Siangkong mau pergi ke Tiang- an?"

"Benar," jawabnya sambil mengangguk.

"Kebetulan sekali, Losianseng pun ingin pergi ke Tiang-an," katanya pula seraya menunjuk Lie It. "Kalian boleh jalan bersama-sama."

Pemuda itu berpaling kearah Lie It dan menyoja sambil bangun berdiri.

"Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama Losianseng yang mulia ?" tanyanya.

Lie It lantas saja memberikan nama samaran dan balas menanyakan nama pamuda itu.

"Siauwtee she Thio, bernama Cie Kie," jawabnya. "Aku kelahiran Sucoan barat, kampung Bie-san. Apakah Losianseng datang dikota raja atas panggilan kaizar ?" "Atas panggilan kaizar ?" menegas Lie It.

"Belum lama berselang, kaizar telah mengeluarkan firman dan memerintahkan pembesar-pembesar setempat mencari orang-orang pandai dan mengirim mereka kekota raja untuk diberi pangkat," menerangken Thio Cie Kie. "Apakah Losianseng masih belum tahu?"

Lie It tertawa.

"Aku seorang bodoh, mana bisa aku mendapat panggilan kaizar ?" katanya. "Aku datang di Tiang-an untuk mencari sesuap nasi. Apakah kedatangan Thio- heng atas panggilan kaizar?"

Cie Kie tertawa terbahak-bahak.

"Aku pergi ke Tiang-an untuk menjajal peruntungan," katanya.

"Cie Keng memberontak di Yang-ciu. Jika secara kebetulan aku dapat membuat pahala dimedan perang, anak-isteriku akan turut mujur."

"Kalau begitu, Thio-heng ingin bekerja dalam ketentaraan," kata Lie It. "Angan-angan Thioheng sangat besar dan aku merasa kagum."

Perkataan itu mengandung nada sindiran, tapi Cie Kie agaknya tidak merasakannya.

Lie It yang sangat ingin mendengar keadaan peperangan, lantas saja berkata "Aku dengar Gouw-kok- kong Cie Keng adalah seorang jenderal yang pandai menggunakan tentara. Sekarang kaizar mengumpulkan serdadu. Apakah keadaan dimedan perang sudah sangat genting ?"

Thio Cie Kie tertawa besar. "Tentara Cie Keng tidak seberapa besar jumlahnya dan iapun tak punya panglima pandai, mana bisa ia berhasil ?" katanya dengan suara menghina.

"Kudengar, Thianhouw Piehee telah mengangkat Lie Hauw It Ciangkun sebagai Toacongkoan dijalanan Yang- ciu dan dengan membawa tigapuluh laksa serdadu, Lie Ciangkun sudah bergerak kejurusan selatan. Disamping itu, beliau juga sudah mengangkat Yo Tayciangkun sebagai Toacongkoan dijalan ke Kanglam dan Yo Ciangkun sekarang sudah memusatkan balatentaranya didaerah Kang-hoay. Akhirnya Thianhouw Piehee sudah menarik pulang Thia Bu Teng Tayciangkun dari Sian-ie dan Thia Ciangkun sudah menerjang keselatan dengan sepuluh laksa tentara. Digencet oleh tiga pasukan yang berjumlah begitu besar, andai-kata Cie Keng mempunyai sayap, ia tak akan bisa terbang lagi. Sekarang kaizar mengumpulkan tentara untuk menghadapi lain kemungkinan dan sama-sekali bukan untuk melawan Cie Keng."

Mendengar keterangan itu, bukan main rasa duka dan kecewanya Lie It.

Lie Hauw It adalah buyut Tong-ko-couw (Lie Yan) dan saudara sepupunya sendiri.

Bahwa Lie Houw It rela menjadi panglima besar untuk menindas pemberontakan Cie Keng, adalah kejadian yang sungguh diluar dugaannya.

Karena mendongkol, paras muka Lie It lantas saja berubah dan sikapnya tawar.

Perubahan itu telah dilihat oleh Thio Cie Kie yang juga jadi merasa tidak enak untuk beromong-omong terus. Sesudah makan kenyang, ia lantas saja bangun berdiri dan berkata seraya menyoja : "Sebab ingin buru-buru, siauwtee mau jalan duluan. Jika ada jodoh, kita akan bertemu pula di Tiang-an."

Sesudah Cie Kie berlalu, barulah Lie It membayar uang arak dan daging dan lalu meneruskan perjalanannya.

Sesudah berjaIan beberapa lama, tiba-tiba ia dengar suara ”uuuh.... ! uuuh !" di sebelah kejauhan.

Ia lantas saja melompat turun dari tunggangannya dun memasang kuping.

Biarpun suara itu kedengarannya tidak jauh, tapi sebab jalan gunung itu berbelit-belit, ia tak dapat melihat apa yang terjadi.

Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia segera berlari-lari kearah suara itu suara panah pertandaan dan naik ketempat yang tinggi. Ia, memanjat sebuah batu raksasa dan lalu memandang ke bawah.

Dilain saat, it, lihat Thio Cie Kie sedang membelok disebuah lembah dan dari sebelah depan mendatangi beberapa belas orang yang mengaburkan tunggangan mereka dengan kecepatan luar biasa.

"Heran .....!" katanya didalam hati. "Siapa sebenarnya Thio Cie Kie, sehingga sahabat-sahabat ‘jalanan hitam’ (perampok) menggunakan begitu banyak orang untuk mencegatnya."

Sementara itu, Thio Cie Kie sudah menahan kudanya dan dilain saat, belasan orang itu sudah berhadapan dengannya. "Dalam dunia yang aman, berani sungguh kamu mencegat aku !" bentaknya dengan suara gusar.

Dua lelaki yang rupanya menjadi kepala, lantas saja melompat turun dari tunggangan mereka dan berkata dengan suara hormat : "Mohon Kongcu tidak menjadi gusar. Kami bukan perampok."

"Kalau bukan perampok, mengapa kamu mencegat aku?" tanya pula Cie Kie.

"Majikanku mengundang Kongcu," jawab satu diantaranya sambil membungkuk.

"Siapa majikanmu ?" tanya Cie Kie,

Kedua orang itu kelihatan heran dan untuk sejenak, mereka saling mengawasi. "Apakah Kongcu sudah lupa pertemuan dipuncak Kim-teng ?" tanya yang berdiri disebelah kiri.

"Aku Thia Thong !"

"Aku tak kenal kau !" bentak Cie Kie. "Kau salah mengenali orang."

Thia Thong kelihatan bingung.

"Dalam pertemuan di kim-teng terdapat banyak sekali orang, sehingga memang mungkin Kongcu tidak mengenali kami," kata yang berdiri disebelah kanan, "Sesudah bertemu dengan majikan kami, Kongcu tentu akan ingat segala apa."

"Pertemuan di Kim-teng ?" menegas Cie Kie "Ngaco kau....! Hayo minggir.....! Aku ingin buru-buru meneruskan perjalanan." "Apa ?" kata orang yang berdiri disebelah kanan. "Kau

! kau bukan Lie Kongtiyu ?"

Sehabis berkata begitu, ia mengawasi Cie Kie dengan mata membelalak.

Thia Thong tersenyum, "Yang tulen tidak memperkenalkan diri, yang memperkenalkan diri, bukan yang tulen," katanya.

"Baiklah, Kami menganggap saja Kongcu sebagai seorang she Thio.”

"Thio Toaya, majikan kami mengundang Toaya." "Gila kau. !" bentak Cie Kie dengan gusar.

"Menganggap aku sebagai orang she Thio ? Aku memang she Thio ! Kalau kau masih rewel, rasakan cambukku !"

Mendengar sampai disitu, Lie It mendusin.

Mereka ternyata menganggap Thio Cie Kie sebagai dirinya sendiri, sebab dandanan dan paras muka orang she Thio itu agak mirip dengan diri-nya.

Ia lantas saja ingat, bahwa memang benar ia pernah bertemu dengan Thia Thong dipuncak Kim-teng.

"Siapa majikan mereka ?" tanyanya didalam hati.

Dicaci begitu, sikap kedua orang itu lantas saja agak berubah, mereka tidak begitu hormat lagi seperti tadi.

"Lie Kongcu," kata yang berdiri disebelah kanan, "siauwjin rela dicambuk, tapi biar bagaimanapun juga, kami mesti mengajak Kongcu pergi menemui majikan kami. Majikan kami telah memesan, bahwa biar apapun jua yang terjadi, Kongcu harus diundang!" Thio Cie Kie meluap darahnya. "Kurang ajar!" teriaknya. "Siapa majikanmu? Apakah dia kaizar ?"

Tiba-tiba Thia Thong berteriak: "Cun-lui-tong-tee (Geledek musim semi menggetarkan bumi) !"

"Hui-liong-cay-thian (Naga terbang dilangit) !" menyambungi kawannya.

Cie Kie heran bukan main. "Benar-benar gila !" katanya. "Siapa perduli Cun-lui-tong-tee Hui-liong-cay- thianmu!"

Tapi Lie It kaget bukan main. Mengapa ? Karena delapan perkataan itu merupakan kata-kata rahasia (kode rahasia) yang digunakan oleh pihak pemberontak yang menentang Bu Cek Thian.

Siapa yang mengenal delapan perkataan itu, dianggap sebagai "orang sendiri."

"Siapa yang memerintahkan mereka untuk menyambut aku ?" tanya Lie It didalam hati. "Kok Sin Ong sedang pergi menyambut Tiangsun Kun Liang, guruku tidak bisa jadi, sedang Pwee Yam, sebagai seorang perdana menteri, tak mungkin mengetahui gerak-gerikku didalam kalangan Kang-ouw. Cie Keng berada di Yang-ciu dan Thia Bu Teng tengah memimpin tentara. Heran sungguh ! Siapa majikan mereka ?"

Thio Cie Kie yang tidak mengerti delapan perkataan itu jadi semakin gusar dan lalu mencaci mereka dengan berteriak-teriak.

"Dengan setulus hati menjikanku mengundang Kongcu untuk mampir dirumahnya, tapi maksud yang baik itu disambut Kongcu secara kurang pantas," kata Thia Thong dengan suara tawar.

"Kongcu, sekali lagi aku ingin menanya: Apakah benar kau tidak mau mengikut kami?"

"Tak ada waktu!" bentak Thio Cie Kie. "Aku perlu buru-buru ke Tiang-an."

Tiba-tiba orang yang berdiri disebelah kanan tertawa dingin.

"Kalau begitu, desas-desus yang tersiar merupakan suatu kenyataan," katanya. "Lie Kongcu, kau ternyata sudah melanggar sumpahmu dan mengkhianati perserikatan. Bukankah kau mau pergi ke Tiang-an untuk mengejar pangkat dan kemewahan?"

Sampai disitu, Thio Cie Kie tak dapat menahan sabar lagi. "Binatang! Kau sungguh kurang ajar!" teriaknya seraya menyabet dengan cambuknya. Untuk menyingkirkan diri dari sambaran cambuk, Thia Thong melompat kebelakang, tapi sebetum melompat, lebih dulu ia mendorong kuda Cie Kie, sehingga binatang itu terhuyung kebelakang beberapa tindak.

Sambil membentak keras, Cie Kie meloncat turun dan waktu kedua kakinya hinggap ditanah, tangan kanannya mencekel cambuk, sedang tangan kirinya sudah memegang sebatang pedang pendek.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia segera menyerang kedua lawannya.

Thia Thong segera melayani dengan Lohan Sinkun, sedang kawannya mengeluarkan ilmu silat Kin-na Chiu- hoat. Mereka itu lihay sekali dan tanpa bersenjata, mereka masih bisa mengirim serangan-serangan yang sangat hebat.

Thio Cie Kie juga memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi, karena harus melawan dua musuh, perlahan-lahan ia jatuh dibawah angin. Sesudah bertempur kurang-lebih tigapuluh jurus, sambil membentak, kawan Thia Thong menghantam pergelangan tangan Cie Kie dengan pukulan Keng- tektoh-pian (Keng Tek merampas pian).

Hampir berbareng, Thia Thong meninju dan tinjunya tepat menghajar lengan lawan, sehingga pedang pendek itu lantas saja jatuh ditanah.

Sesaat itu, kawan Thia Thong bukan saja sudah merebut cambuk Cie Kie, tapi juga sudah berhasil menotok jalan darah pemuda itu yang lantas saja tidak dapat bergerak lagi.

Sesudah tertawa terbahak-bahak, mereka membelenggu kedua tangan Cie Kie yang lalu diikat diatas punggung kudanya.

Sambil berteriak-teriak kegirangan, dengan kawan- kawan, mereka lalu membawa pemuda she Thio itu yang sudah menjadi orang tawanan.

Lie It terkejut.

"Mereka menganggap Thio Cie Kie sebagai aku, sehingga kekurang-ajaran mereka ditujukan terhadap aku," pikirnya dengan perasaan mendongkol. "Mengapa mereka mengatakan aku melanggar sumpah dan mengkhianati perserikatan?" Ia sebenarnya tidak menyukai pemuda itu, tapi sekarang, sesudah Thio Cie Kie dipersakiti dan ditawan sebagai penggantinya, ia jadi gusar dan segera mengambil keputusan untuk menyelidiki soal itu sampai seterang-terangnya.

---o^dewi.kz^0^TAH^o---

BURU-BURU ia turun kebawah, kejalan dimana tadi ia meninggalkan kudanya. Tapi tunggangan itu sudah menghilang.

Kuda itu, yang dibeli dijalanan, hanya seekor kuda biasa dan hilangnya tidak menjadi soal.

Maka itu, ia segera mengempos semangatnya dan mengubar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.

Biarpun memiliki ilmu ringan badan yang sangat  tinggi, Lie It tidak dapat menyandak larinya kuda-kuda pilihan itu.

Ketika ia tiba dimulut selat gunung, orang-orang yang dikejar sudah pergi jauh sekali. Apa yang masih bisa dilihat hanya beberapa titik hitam yang kemudian menghilang dari pemandangan.,

Ketika itu sudah senja dan sambil memanggul cangkul, para petani sudah mulai pulang dari sawah dan kebun mereka. Lie It mencegat seorang petani tua dan dengan berlagak seperti seorang pelancong-yang kesasar, ia menanyakan rumah penginapan.

"Jika Losianseng (tuan) berjalan kira-kira sepuluh li lagi, kau akan bertemu dengan sebuah kota kecil dan disitu kau bisa mencari rumah penginapan," menerangkan si-petani.

Dia berhati baik dan sesudah mengawasi Lie It beberapa saat, ia berkata pula: "Losianseng kelihatannya seperti seorang sasterawan dan mungkin sekali kau sudah capai dan lelah. Jika kau tidak mencela, kau boleh menginap digubukku."

Lie It menghaturkan terima kasih dan berkata: "Kalau hanya sepuluh li aku masih kuat. Tapi aku merasa sedikit takut.''

"Takut apa?" tanya si-petani.

"Takut bertemu dengan penjahat," jawabnya. Si-petani tersenyum.

"Pada waktu ini keadaan banyak lebih aman daripada dulu," katanya. "Apapula tempat ini berdekatan dengan ibukota dan kurasa Losianseng tak akan bertemu dengan penjahat."

"Benar," kata Lie It, "selama beberapa hari, aku memang tidak pernah bertemu degan penjahat. Tapi anehnya, makin mendekati Tiang-an, aku makin merasa tidak aman."

"Mengapa begitu?" "Barusan aku bertemu dengan serombongan penjahat yang telah menculik seorang pemuda yang ingin pergi ke Tiang-an untuk masuk dalam tentara,"

"Benarkah," menegas si-petani dengan suara heran. "Apakah kau tidak melihatnya?" Lie It balas menanya.

"Tadi, mereka malah lewat disini."

"Oh, sekarang aku mengerti," kata si-petani.

"Mereka itu adalah kaki-tangan keluarga Pwee. Sebab tunggangan mereka lari keras, aku tak melihat tawanan itu. Hm.........! Mereka memang sering menghina orang. Mungkin sekali pemuda itu bersalah terhadap keluarga Pwee. Losianseng, jika kau tidak bermusuhan dengan mereka, kau tak usah takut."

"Siapa itu keluarga Pwee?"

"Kampung kelahiran perdana menteri yang sekarang yalah kampung kami ini."

"Bukankah Pwee Yam sendiri berada di kota raja?" "Sinsiang sendiri memang berada dikota raja, tapi ia

mempunyai  seorang  adik  lelaki  yang  berdiam  disini,

menunggu rumah."

"Kudengar kaizar perempuan telah mengeluarkan firman yang melarang orang berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat," kata Lie It dengan suara mendongkol. "Dilihat begini, firman itu hanya selembar kertas belaka untuk menipu rakyat."

Si-petani menggeleng-gelengkan kepala.

"Kau salah, Losianseng, kau salah," katanya. "Dulu, jangankan saudara seorang perdana menteri, sedangkan seorang tiekoan pun bisa berbuat seperti kaizar-kaizaran. Keluarga Pwee memang kurang ajar, tapi baru kali ini, mereka berani menculik orang. Biasanya dalam urusan kecil, biarpun menderita, dimana masih bisa ditelan, kami selalu menelannya. Bukan sekali-kali karena kami takut pergi kekota raja untuk mengadu, tapi sebab kami tak mau memusingkan Thianhouw untuk segala urusan tektek-bengek."

Lie It kaget dan mendongkol.

Sebenarnya ia ingin menggunakan kesempatan itu untuk mencaci Bu Cek Thian, tapi diluar dugaan, si- petani sudah membela kaizar perempuan itu.

Sambil mengawasi langit, sipetani berkata pula: "Losianseng, sekarang sudah hampir malam. Jika kau tidak mencela, lebih baik menginap saja dirumahku.”

"Terima kasih," kata Lie It. "Jika aman, aku ingin meneruskan perjalanan dan menginap dikota kecil itu."

Melihat dia mau berjalan juga, si-petani pun tidak menahan lagi.

Lie It berjalan keluar kampung dan sesudah gelap, ia balik kembali.

Ia telah mengambil keputusan untuk menyelidiki penangkapan atas diri Thio Cie Kie.

Gedung keluarga Pwee terletak disebelah timur kampung dan berdiri dengan membelakangi sebuah tanjakan gunung.

Melihat gedung itu dijaga oleh sejumlah bu-su (pengawal), Lie It sengaja mengeluarkan suara aneh didalam hutan yang berdampingan dengan gedung tersebut dan kemudian menimpuk sebuah sarang burung dengan sebutir batu, sehingga beberapa ekor burung terbang keluar sambill berbunyi keras.

Beberapa bu-su memburu kepinggir hutan. "Fui! Gangguan burung malam!" kata seorang.

"Memang tak mungkin ada orang yang bernyali begitu besar, berani coba-coba mengganggu wan-gwee," menyambung kawannya. (Wan-gwee=Orang hartawan).

"Tapi kita tetap harus berwaspada," kata bu-su yang ketiga. "Kudengar Sinsiang telah dimarahi Thianhouw. Bukan tidak bisa jadi Thianhouw memerintahkan beberapa pengawal istana datang kemari."

Lie It tertawa geli didalam hatinya.

Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan Pat-po Kan-sian (Delapan tindak memburu tonggeret), ia melompat keluar dari dalam hutan dan pada waktu beberapa bu-su itu menengok, ia sudah melompati tembok gedung keluarga Pwee.

Sesudah menunggu beberapa lama disatu sudut, ia melihat seorang bu-su mendatangi dengan menenteng tengloleng. Dengan sekali melompat, ia sudah merobohkan pengawal itu. "Jangan bersuara!" bentaknya dengan suara perlahan sambil menempelkan ujung pedangnya ditenggorokan orang itu.

Melihat lihaynya Lie It, si-busu tidak berani bergerak. Sesudah memadamkan lilin tengloleng, Lie It berbisik:

"Dimana majikanmu? Antar aku kepadanya."

Si-bu-su tidak berani membantah. Sesudah melewati- dua buah pintu, ia menunjuk sebuah gedung didalam taman seraya berkata: "Wan-gwee berada disitu. Kau pergi saja sendiri!"

"Aku terpaksa harus membuat kau menderita sedikit," kata Lie It "Sesudah bertemu dengan Pwee Wan-gwee, aku akan memerdekakan kau."

Ia segera menotok jalanan darah Ma-ah-hiat orang itu, yang tidak dapat bergerak atau bersuara lagi.

Sesudah itu, ia melompat keatas genteng dan mengintip kebawah.

Dalam sebuah ruangan yang terang-benderang, ia melihat dua orang lelaki yang dandanannya seperti pembesar negeri dan dikiri-kanan mereka berdiri beberapa orang bu-su.

"Kalau begitu, warta tentang penangkapan atas diri kakakku bukan justa," kata salah seorang. "Ong Tayjin, apakah kau tahu, sebab apa kakakku ditangkap?"

Lie It segera mengetahui, bahwa orang yang bicara itu adalah adiknya Pwee Yam yang bernama Pwee Ciang. Orang yang dipanggil "Ong Tayjin" dan mengenakan pakaian kebesaran tingkat ketiga, menghela napas panjang.

"Pwee Tayjin secara mendadak telah ditangkap oleh Liong-kie Touw-wie dan dimasukkan kedalam penjara istana," katanya. "Begitu mendengar, buru-buru aku datang kemari, sehingga aku tidak keburu menyelidiki terlebih jelas "

"Selang berapa lama sesudah penangkapan itu baru Tayjin mendapat warta?" tanya Pwee Ciang.

---o^DewiKZ^0^TAH^o--- "Pwee Tayjin ditangkap tengah malam, besok paginya aku sudah tahu," jawabnya.

"Apakah sesudah musyawarah pagi?"

"Benar!, sesudah selesai musyawarah pagi, seorang thaykam memberitahukan hal ini kepadaku. Tapi iapun tak tahu sebab-musababnya."

"Apakah didalam musyawarah Bu Cek Thian tidak mengatakan sesuatu?"

"Thianhouw repot memilih jenderal dan mengatur tentara. Ia sama-sekali tidak menyebut-nyebut halnya Pwee Tayjin. Tidak hadirnya Pwee Tayjin didalam musyawarah malah dianggap karena beliau mendapat sakit."

Lie It kaget tercampur girang.

Sekarang baru ia tahu, bahwa Pwee Yam sudah dibekuk.

Sesudah berdiam sejenak, Pwee Ciang berkata pula: "Kakakku sangat disayang dan dipercaya oleh Thianhouw. Asal rahasia pemberontakan itu tidak bocor, kurasa jiwanya tidak berada dalam bahaya."

"Benar," kata si-pembesar she Ong. "Kedosaan Pwee Tayjin belum diumumkan. Kita masih punya harapan."

"Tapi kita tidak boleh berlaku lengah," kata Pwee Ciang. ”Mungkin Thian-houw akan bertindak untuk mencari bukti-bukti." "Itulah sebabnya mengapa aku cepat-cepat datang kemari. Aku kuatir kau menyimpan surat-surat. atau lain bukti mengenai pemberontakan."

"Terima kasih atas kebaikan Ong Tayjin," kata Pwee Ciang.

"Sekarang begini saja, jika ada utusan kaizar datang dan ternyata kakakku bukan tersangkut dalam soal pemberontakan, kita boleh menerima firman secara baik. Tapi kalau Toako ditangkap sebab tuduhan memberontak, maka aku dan keluargaku tak akan bisa terlolos dari hukuman mati. Daripada mati konyol lebih baik melarikan diri. Aku akan segera memerintahkan orang untuk membungkus semua barang-barang berharga dan kalau perlu kita bisa kabur dengan mengambil jalan ganung, dibelakang gedung ini"

Sesudah memberi pesan kepada beberapa orang kepercayaannya, Pwee Ciang berpaling kepada seorang bu-su dan berkata: "Sekarang bawalah sanak kaizar itu kemari." Ia menengok kepada "Ong Tayjin" dan berkata pula: "Sungguh mujur Lie It sudah terjatuh kedalam tanganku. Sekarang kita boleh tak usah kuatir, kalau2 dia mengadu kepada Thianhouw."

"Lie It?" menegas si-pembesar she Ong. “Apakah Lie It yang pada delapan tahun berselang katanya hilang?"

"Benar, dia turut serta dalam gerakan Eng-kok-kong," kata Pwee Ciang. "Tapi kakakku tidak percaya padanya dan memesan supaya aku mengamat-amati gerak- geriknya. Untung juga, untuk pergi ke Tiang-an orang harus melewati jalan ini. Setiap hari aku memerintahkan orang menjaga dan hari ini, benar saja aku berhasil." Beberapa saat kemudian, Thia Thong membawa masuk Thio Cie Kie.

Pwee Ciang berbangkit dan sambil tertawa tengil, ia berkata: "Apakah Thianhee masih mengenali aku? Aku telah memerintahkan mereka menyambut Thianhee dan untuk kekurang-ajaran mereka, aku mohon Thianhee sudi memaafkan."

"Siapa kenal pada kau?" bentak Cie Kie. "Eh......! Aku dan kau sama-sekali tidak mempunyai permusuhan, tapi mengapa kau sudah menculik aku?"

Pwee Ciang mengawasi pemuda itu.

Pada kira-kira sepuluh tahun berselang, waktu Lie It baru berusia sebelas atau duabelas tahun, ayahnya pernah mengajaknya datang di-gedung Pwee Yam.

Ketika itu Pwee Ciang mengintip dari belakang sekosol dan sampai sekarang, lapat-lapat ia masih ingat paras muka Lie It yang sangat tampan.

"Waktu masih kecil dia begitu tampan, mengapa sekarang mukanya kuning, seperti orang penyakitan?" tanyanya di dalam hati.

Thia Thong yang dapat menebak jalan pikiran majikannya, segera bicara bisik-bisik untuk memberitahukan, banwa pemuda itu kena senjata beracun dari Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie.

"Uh. , begitu?" katanya sambil manggut-manggut.

Sementara itu Thio Cie Kie terus mencaci dengan perkataan-perkataan keras. "Thianhee," kata Pwee Ciang sambil bersenyum, "apakah kau lupa perjanjian Cun-lui-tong-tee Hui-liong- cay-tian?"

"Omong kosong!" teriak Thio Cie Kie. "Siapa Thianhee- mu? Kau mau memberontak? Huh...huh.....! Aku tak sudi diseret-seret olehmu."

Paras muka Pwee Ciang lantas saja berubah gusar. "Dengan penuh kesetiaan kakakku ingin membangun

kembali  'kerajaan  Tong,"  katanya,  "Apakah  kau  mau

membalas budi dengan kejahatan dan membuka rahasia kepada Bu Cek Thian?"

Thio Cie Kie jadi bingung.

"Hei! Siapa sebenarnya kamu?" teriaknya dengan gusar.

"Thianhee, memang mungkin kau tidak mengenali aku," jawabnya. "Tapi Tiong-su-leng Pwee Yam adalah kakakku. Apakah kau juga tidak kenal padanya?"

Pemuda itu terkejut.

Sejenak kemudian, dengan mata terputar, ia berteriak: "Pwee Yam adalah seorang perdana menteri dan kalau benar kau adiknya, kau tentu mengerti akan undang- undang negara. Mana boleh kau sembarangan menculik orang? Terang-terang kau seorang penjahat yang sudah menggunakan nama baiknya Pwee Siangkok."

Mendengar begitu, Pwee Tiiang mulai bercuriga.

Apakah kaki-tangannya telah membuat penangkapan yang keliru? "Apakah pada bulan Shagwee tahun ini kau berada di Pa-ciu?" tanyanya.

"Mengapa kau tanya begitu?"

"Apakah kau tahu, bahwa bekas Thaytiu Lie Hian telah dibunuh orang?"

"Hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan aku," jawabnya.

Ia bingung karena tidak mengerti, mengapa Pwee Ciang sudah mengajukan pertanyaan tersebut.

Pwee Ciang menatap wajah Cie Kie, "Kudengar kau merasa penasaran sekali sebab bekas Thaycu itu dibunuh orang, apakah benar?" tanyanya pula.

"Kalau benar begitu, tentu saja aku merasa sangat penasaran. !" jawabnya.

Pwee Ciang tertawa dingin. "Tak heran jika kau  datang ke Tiang-an untuk mengadu kepada Thianhouw," katanya. "Apakah kau masih belum mau mengaku, bahwa kau adalah Lie It?"

Sekarang Thio Cie Kie mendapat kepastian, bahwa orang sudah kesalahan menangkap.

"Seorang laki-laki, duduk tidak mengubah nama, jalan tidak mengubah she," katanya dengan suara nyaring. "Dengarlah kau ! Aku bernama Thio Cie Kie, bergelar Peng-u-tie, orang kelahiran Bie-san."

Pwee Ciang terkesiap.

"Kau Thio Cie Kie?" ia menegas dengan mata membelalak. Kagetnya Thia Thong lebih hebat daripada majikannya.

Ia menatap wajah orang dan sekarang baru ia merasa, bahwa paras pemuda itu agak berlainan dengan Lie It.

Tapi sebab kuatir disalahkan, ia berkeras kepala dan berkata : "Mana bisa salah? Dipuncak Kim-teng, gunung Go-biesan, aku telah bertemu dengan dia dan aku pasti tidak salah mengenalinya. Paras mukanya yang seperti orang sakit adalah akibat jarum Touw-hiat Sin-ciam. Racun senjata rahasia itu sudah mengamuk hebat dan mengubah warna mukanya."

"Gila kau!" bentak Cie Kie. "Sedari dilahirkan, paras mukaku sudah seperti sekarang. Itulah sebabnya, mengapa orang-orang Kang-ouw memberi gelaran Pengu-tie (U-tie Kiong penyakitan) kepadaku. Dalam bulan Shagwee tahun ini aku tidak pernah pergi ke Pa- ciu. Dengarlah kau! Aku she Thio, bukan she Lie!. Jangan kau main gila!"

"Perlu apa kau datang di kotaraja?" tanya Pwee Ciang.

"Untuk turut-serta dalam pemilihan Wie-su dari pasukan Sin-bu-eng," jawabnya. "Pembesar kota Bie-san telah memberi sepucuk surat pujian kepadaku supaya aku bisa turut dalam ujian. Jika kau tidak percaya, kau boleh baca surat itu "

"Wan-gwee, jangan percaya. segala omong kosong," memutus Thia Thong. "Aku berani memastikan, dia bukan lain daripada Lie It tulen."

Baru saja Pwee Ciang mau membuka mulut, sekonyong-koniong seorang busu menerobos masuk. "Wan-gwee......!" katanya dengan suara bingung. "Sepasukan tentara telah menerjang masuk kedalam kampung kita.....! Kami belum tahu, pasukan itu dari mana datangnya."

Pembesar she Ong itu ketakutan setengah mati. "Me........... mengapa begitu ce...........pat?" katanya

dengan suara bergemetar. "Lekas......... !........ lekas cari tahu, dari mana mereka datang. Dari Tiang-an atau dari pembesar setempat. "

Pwee Ciang mendelik.

"Tidak perduli dia she Thio atau she Lie, dia tetap kaki-tangan Bu Cek Thian," katanya. "Kita tidak dapat memberi ampun kepadanya. Thia Thong, geledah badannya dan tunggu sampai aku kembali. Kau harus menjaga baik-baik, jangan sampai dia bisa kabur."

Sehabis berkata begitu, sambil menarik tangan "Ong Tayjin," ia menekan sebuah knop ditembok dan sebuah pintu lantas saja terbuka.

Semua orang, kecuali Thio Cie Kie, Thia Thong dan seorang bu-su lain, segera masuk kedalam pintu itu yang kemudian tertutup lagi.

---o^DewiKZ^0^TAH^o---

DALAM tempo sekejap, beberapa macam ingatan keluar-masuk dalam otak Lie It. Semula ia niat mengubar Pwee Ciang, tapi di lain detik, ia mengubah niatannya.

Biar bagaimanapun jua, Thio Cie Kie telah menjadi korban karena gara-garanya dan ia merasa sangat tidak tega.

Selagi ia menimbang-nimbang tindakan apa yang akan diambilnya, tiba2 terdengar teriakan menyayat hati.

Ternyata, Thia Thong sudah turunkan tangan jahat dan menghancurkan tulang pundak Thio Cie Kie.

Sesudah tertawa terbahak-bahak, Thia Thong berkata: "Sekarang dia tak akan bisa lari lagi. Samko, tolong geledah. "

Perkataan itu putus ditengah dialan, karena orang yang dipanggil "Samko" itu mendadak roboh terguling.

Sebagai seorang yang berkepandaian cukup tinggi, ia mengerti, bahwa telah terjadi sesuatu yang luar biasa.

Bagaikan kilat ia melompat kesamping "Prak!", sebuah genteng jatuh hancur dilantai, disusul dengan melompat turunnya sesosok tubuh manusia.

Thia Thong terkejut. "Siapa kau?" bentaknya.

Tangan Lie It berkelebat dan dengan sekali menjambret, ia sudah mencengkeram tulang pundak Thia Thong.

"Anjing buta!" teriaknya dengan gusar, "Buka  matamu! Aku Lie It. !"

Ia mengerahkan Lweekang dan memijit tulang pundak Thia Thong yang lantas menjadi hancur.

Dia berteriak keras dan roboh pingsan. Dalam keadaan kesusu Lie It tidak mau membuang- buang tempo untuk memeriksa luka Thio Cie Kie.

Tangan Lie It berkelebat, dan dengan sekall menjambret ia menghantiurkan tulang-selangka Thia Thong, yang segera roboh sambil berteriak keras.

Ia menotok jalanan darah Cie Kie untuk

mengurangkan mengalirnya darah, lalu

menggendongnya dan terus lari.

Sesaat itu, diluar gedung sudah ramai dengan suara berbengernya kuda dan teriakan tentara, sedang pengawal-pengawal keluarga Pwee sudah berkumpul didalam taman dan kemudian naik diatas tembok untuk melawan saja.

Lie It tiba ditaman, pintu sudah didobrak dan sejumlah tentara sudah menerobos masuk. "Pwee Ciang......! Lekas keluar untuk menyambut firman !" teriak seorang perwira.

Tapi Pwee Ciang tidak kelihatan mata-hidungnya dan para bu-su sudah mulai bertempur dengan tentara negeri.

"Pwee Yam berdosa besar, dia coba memberontak !" teriak pula perwira itu. "Apa kamu juga mau mampus?"

Mendengar ancaman itu, sebagian bu-su merasa jeri lalu menyingkirkan diri.

Tapi dalam usaha untuk menggulingkan Bu Cek Thian, Pwee Yam mempunyai banyak kaki-tangan yang benar setia kepadanya.

Mereka itu tidak menjadi keder dan terus melawan, sehingga didalam taman lantas saja terjadi pertempuran yang sangat hebat.

Dengan menggendong Cie Kie, Lie It bersembunyi dibelakang sebuah gunung-gunungan.

Makin lama pertempuran makin mendekati tempat bersembunyinya dan disekitarnya jadi makin terang- benderang karena sorotan obor-obor.

Ia mengeluh, ia mengerti, bahwa tak gampang- gampang ia bisa lari keluar.

Sekonyong-konyong sebatang anak panah menyambar dan ia berkelit.

Apa mau kata kelitan itu telah menggoncangkan tulang Thio Cie Kie yang remuk, sehingga ia berteriak kesakitan. Karena tempat sembunyinya sudah ketahuan, ia terpaksa melompat keluar dan terus kabur.

Koan-kee (pengurus rumah tangga) keluarga Pwee, yang memimpin perlawanan itu, kaget dan berteriak : "Cegat. ! Bunuh mereka!"

Ia menganggap Cie Kie sebagai Lie It dan Lie It sebagai orang yang dikirim oleh Bu Cek Thian.

Ia tahu, bahwa apa yang paling ditakuti oleh majikannya adalah kedatangan Lie It kekota raja untuk membuka rahasia dihadapan sang kaizar

Kalau sampai terjadi begitu, seantero keluarga Pwee tidak akan dapat pengampunan lagi.

Maka itu ia segera memerintahkan pembantu- pembantunya untuk membinasakan kedua pemuda itu.

Sementara itu Lie It segera terhalang oleh satu serangan mendadak.

Dibarengi suara menyambernya sebatang pedang menikam kearahnya.

Ia lantas berkelit sambil menundukkan kepalanya sedang tangannya lantas diulur untuk menyamber tangan si penyerang, hingga sejenak saja ia dapat merampas pedang orang, untuk dilemparkan!

Celaka seorang busu yang berada didekat mereka, pedang itu nancap didadanya.

Tanpa menghiraukan apa juga Lie It berlari terus. Segera ia mendengar pula suara angin di belakangnya. Ia kaget sekali. Hebat serangan itu.

Ia tidak menyangka dirumah keluarga Pwee ada orang demikian liehay.

Ia memang telah menghunus pedangnya, maka ia lantas menangkis kebelakang.

Ia menggunai tipu silat "Souw Cin pwee kiam," atau "Souw Cin menggendol pedang."

Satu suara nyaring terdengar karena tangkisan itu.

Kedua senjata bentrok, lelatu apinya meletik berhamburan.

Lie It pun kaget.

Karena ia menggendong orang, bokongan itu membikin gerakannya kurang gesit.

Hampir saja ia kena dibacok.

Justeru itu, datang serangan susulan, yang kedua kali. Sekarang ia sudah bersedia.

Maka ia menggeser tubuhnya.

Ini pun berarti, ia menghindarkan tubuh Thio Cie Kie dari ancaman bahaya.

Sambil berkelit, ia menangkis.

Kembali terdengar suara bentrokan, hanya tidak senyaring tadi.

Sekarang tajamnya pedang memapaki senjata lawan, maka senjata lawan itu, sebatang golok, kena dipapas sempoak !

Menyusul tangkisannya itu, dengan kesebatannya. Lie It membalas menyerang.

Ia menggunai jurus "Wan-tee-hoan-in," atau "Membalik mega di bawah lengan."

Serangan ini tidak mengenai sasarannya.

Sekarang barulah Lie It dapat melihat jelas pembokongn itu, yalah si koankee atau pengurus rumah keluarga Pwee itu.

Him Pek San adalah nama si koankee.

Dia asal penjahat besar dalam dunia Liok-lim atau Rimba Hijau, dan dalam kalangan Kang-ouw, atau Sungai Telaga, dialah orang kelas satu.

Maka itu tidak heran bahwa dia liehay sekali.

Dia pun terkejut mendapatkan Lie It, yang menggendong orang, demikian liehay.

Tapi dia tidak menjadi lengah karenanya.

Segera dia maju pula, menyerang dengan jurus dari Pat Kwa To, yalah ilmu golok Patkwa.

Biar bagaimana, dia menggunakan beban Lie It untuk mendesak, guna saban2 membacok Thio Cie Kie.

Jikalau Lie It menurunkan Cie Kie, ia akan segera dapat memberikan perlawanan dengan leluasa.

Ia justeru tidak sudi berbuat demikian.

Pikirnya: "Tidak, tidak dapat aku meninggalkan dia! Dia benar hendak pergi kepada Bu Cek Thian, hingga dia bisa dipandang sebagai musuhku, akan tetapi keadaannya begini rupa, dia sedang terluka, jikalau aku meninggalkan dia, perbuatanku bukan perbuatan seorang gagah."

Maka ia berkelahi dengan waspada, terutama untuk melindungi orang dipunggungnya itu.

Him Pek San liehay.

Satu kali dia menggunakan tipu, yalah mengancam kearah kedua kaki Thio Cie Kie.

Lie It melihat serangan itu, ia terpaksa menangkis dengan tipu pedangnya "Si nelayan tua memancing ikan."

Pedangnya menangkis kebawah.

Disaat itu, Pek San mengubah serangannya.

Sambil berseru, dia mengubah arah tujuan goloknya, yalah tidak lagi terus kebawah, hanya berbalik keatas, kepundak Lie It selagi pundak si pemuda turun mengikuti tangkisan pedangnya.

Kalau mulanya dia menggunakan jurus "Hee ciu to" atau "Golok turun," sekarang dia menggunakan ”Siang ciu to" atau "Golok naik.

Oleh karena dia memangnya telah bersedia, serangannya ini cepat dan sangat berbahaya.

"Ser...!" demikian terdengar satu suara mambarengi bacokan Him Pek San itu.

Itulah samberan sebatang piauw, yang tepat mengenai lengannya.

Karena ini, bacokannya menjadi meleset dari sasarannya. Lie It berlaku sebat dan lincah. Ia mengangkat sebelah kakinya, menendang.

Jitu tendangan ini.

---o^DewiKZ^0^TAH^o---

Pek San terdupak ulu hatinya, maka dia menjerit sambil memuntahkan darah hidup, tubuhnya roboh terguling.

Penyerang dengan piauw kepada Him Pek San itu yalah seorang tongnia atau komandan Gie-lim-kun, pasukan raja.

Dia menerima tugas untuk menggeledah rumah keluarga Pwee.

Heran dia melihat Lie It merobohkan koankee itu.

"Kau siapa, tuan?" ia menanya. "Apakah tuan pun diutus Thian Houw?"

"Thian Houw" yalah sebutan untuk Ratu Bu Cek Thian. Lie It tidak menjawab.

Justeru orang menanya, ia berlompat, untuk meninggalkan tongnia itu

Dia ini menjadi heran, dalam curiganya, dia lantas menyerang dengan piauwnya, tiga kali beruntun.

Tapi semua serangan itu dapat digagalkan Lie It, yang menangkis dengan pedangnya.

Didepan Lie It ada dua orang anggauta Gie-lim-kun. Mereka itu maju, untuk merintangi, niasing-masing mengancam dengan sam-ciat-kun dan golok besar. Sam- ciat-kun yalah ruyung berantai tiga batang ruyung disambung menjadi satu.

Lie It tidak perduli ada orang menghalang, dia maju terus.

"Kau mau mampus?" mereka menegur.

Mereka menjadi bingung, sebab mereka melihat tegas, bahwa Lie It merobohkan beberapa orang keluarga Pwee.

Lie It tetap membungkam.

Ketika ia dihalangi dengan sam-ciat-kun, ia menabas ruyung orang hingga kutung. Ketika ia dibacok, ia berlompat berkelit, hingga dengan begitu dapat ia melewati penghalangnya itu.

"Tidak perduli dia siapa, bekuk dulu!" akhirnya si tongnia berseru, memerintah.

Ia tidak mau terhalang oleh kesangsiannya.

Lie It lantas saja diserang dua orang, yang masing- masing bersenjatakan ruyung kong-pian dan tombak. la menjejak tanah dengan kedua kakinya, untuk berlompat.

Ia menggendong orang tapi ia masih dapat melompat tinggi.

Kedua penyerang itu, yang datangnya dari samping kiri dan kanan, tidak dapat menahan serangan mereka.

Ketika serangan mereka gagal, senjata mereka bentrok satu dengan lain, tubuh mereka pun terjerunuk.

Baru Lie It menaruh kakinya ditanah, atau datang serangan yang ketiga. Penyerang ini cetek ilmusilatnya, ketika Lie It menangkis, dia tidak berdaya, goloknya kena dibabat kutung, menyusul mana, dia pun ditotok jalaa darahnya!

Lie It lari terus.

Ia berlompatan kekiri dan kanan, guna menyingkir dari setiap rintangan.

Ia repot sebab musuh-musuhnya terdiri dari orang- orang keluarga Pwee dan Gie-lim-kun.

Ketika ia hampir tiba dipintu belakang, ia mendengar bentakan menggeledek: "Berhenti!" Itulah bentakan seorang, yang menghalang didepannya.

Orang itu menyerang dengan sebatang tombak, yang ujungnya bergoyang-goyang!

Lagi sekali Lie It kaget.

Ia tahu bahwa ia menghadapi seorang liehay lain. Dengan terpaksa ia menangkis.

Senjata mereka bentrok, memuncratkan lelatu api. Lalu keduanya sama-sama terkejut.

Karena bentroknya senjata mereka, keduanya mundur tiga tindak.

Itulah tidak heran.

Penyerang dengan tombak itu yalah Ciang Tay Siu, pemimpin Gie-limkun, yang berpangkat Liong Kie Touw- ut.

Tidak berani Lie It berlaku ayal.

Dengan lantas ia berlompat pula, untuk menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Lagi sekali ia dirintangi seorang kaki-tangan keluarga Pwee, maka dalam sengitnya, setelah berkelit, ia menjambak orang itu, ia angkat tubuhnya, lalu melemparkannya sambil berseru: "Sambutlah!"

Ia melemparkan tubuh orang kemuka Ciang Tay Siu. Kembali Tay Siu menjadi heran.

Yang dilemparkan itu kaki-tangan keluarga Pwee. Maka orang ini, musuhkah atau kawankah?

Untuk membebaskan diri dari bahaya, terpaksa ia menangkis tubuh orang keluarga Pwee itu.

Lie It menggunakan kesempatan ini untuk terus menyingkir.

Masih ada beberapa perintang tapi ia robohkan mereka semua. ketika ia tiba dipintu belakang dari taman itu, Tay Siu mengejar padanya.

Ia lantas berteriak: "Hai, perlu apa kamu mengejar aku? Pwee Ciang sudah lari dari belakang gunung! Kenapa kamu bukannya pergi menangkap pemberontak?"

Tay Siu terkejut.

Rumah keluarga Pwee itu benar sudah dikurung tetapi mereka yang menjaga dibelakang tidak besar jumlahnya, kalau musuh lari kebelakang, mungkin mereka dapat lolos.

Maka itu, lantas ia memerintahkan orangnya memburu kebelakang.

Ia memecah sejumlah serdadunya. Dalam pertempuran kacau itu, pihak Gie-lim-kun telah berhasil melabrak orang-orang keluarga Pwee, diantara siapa sebagian telah kabur, sebagian masih melawan saking terpaksa.

Justeru karena sibuk memecah orang-orangnya, Tay Siu telah mesti membagi perhatiannya.

Maka itu, Lie It kabur terus. Sampai diluar, ia merampas seekor kuda tunggangan. Ia lompat kepunggung kuda itu, untuk kabur dalam kegelapan.

Masih ada beberapa pengejarnya tetapi ia membikin mereka itu tidak berdaya.

Sesudah menyingkir serintasan, hingga ia tidak mendengar suara pengejarnya, Lie It turun dari kudanya, guna mendekam ditanah, untuk memasang kuping.

Benar-benar ia sudah tidak dikejar lebih jauh. Hatinya mendiadi lega.

Ia gendong tubuh Cie Kie.

Sinar bulan, ia mendapatkan muka orang pucat sekali dan kedua matanya pun dirapatkan.

Ia meraba nadinya.

Kesudahannya, hatinya menjadi lega.

Denyutan nadi itu meyakinkannya, bahwa Cie Kie tidak terluka didalam.

Ia lantas berpikir.

Ia bawa Cie Kie kedalam rimba, untuk diletakkan ditempat tak berpohon dilapangan berumput. Karena ia membekal obat-obat luka, ia lantas mengobati.

Hanya sebentar Lie It menantikan.

Begitu lekas darah berhenti keluar dan membeku, ia mulai menotok jalan darah Cie Kie, untuk membebaskannya dari pingsannya.

Cie Kie tersadar.

Perlahan-lahan ia membuka matanya.

Ia segera mengenali, penolongnya ialah si "sasterawan miskin" dari rumah makan.

Ia menjadi heran.

"Kiranya Tuan seorang yang berilmu-kepandaian tinggi," katanya. "Aku minta Tuan suka memaafkan aku! Budimu ini, Tuan, akan kuukir didalam hati. Aku pun mohon maaf, bahwa aku tidak dapat berbangkit untuk memberi hormat, dan menghaturkan terima kasihku seperti layaknya."

"Saudara Thio, jangan kuatir," kata Lie It. ”Lukamu itu luka diluar, setelah beristirahat beberapa hari, kau akan sembuh "

Thio Cie Kie sengit sendirinya.

"Aku menyesal, bahwa ilmu silatku telah musnah," katanya. "Hm.....! Aku tidak menyangka bahwa aku, Thio Cie Kie dari Bie-san, mesti menderita kecelakaan ini! Sakit hatiku ini sukar dibalaskan, maka itu, jikalau aku mati, mataku tidak dapat meram!"

"Saudara Thio, sakit hatimu telah terbalaskan," Lie It memberitahukan. "Apakah kau yang membinasakan dia, tuan Lie?" "Bukan, bukan! Tentera negeri telah datang

menyerbu. Mungkin si bangsat tua juga tidak akan lolos!" Cie Kie heran.

"Jadi benarlah mereka itu kawanan pemberontak?" "Kira-kira begitu."

"Terima kasih kepada Langit, terima kasih kepada Bumi!" Thio Cie Kie memuji. "Dasar Thian Houw maha bijaksana! Biarpun aku tidak dapat membantu lagi kepada Thian Houw, tetapi penasaranku ini telah terlampiaskan!"

Tidak puas Lie It mendengar orang menyebut-nyebut pemberontak sambil, sebaliknya memuji Thian Houw atau Bu Cek Thian tinggi2, jikalau bukannya orang sedang terluka, mungkin ia akan menggamparnya.

Ia lantas berpikir.

"Saudara Thio, untuk apa kau pergi kekota raja?" kemudian ia bertanya.

Ia lakukan itu dengan terpaksa, dengan menahan hati. Ia tahu maksud orang, tetapi ia menanya juga.

Cie Kie menghela napas.

"Kau menanyakan, inkong, tidak dapat aku tidak menjawab," dia menyahut.

Dia sekarang menyebut 'in-kong,' yalah tuan penolong.

"Thian Houw hendak mengadakan pemilihan anggauta wiesu atau perajurit barisan Sin Bu Eng, maka aku datang untuk turut dalam pemilihan itu. Aku telah dipujikan oleh tiehu dari Bie-san untuk turut dalam ujian. Sekarang tulang piepeeku telah terluka dan ilmusilatku pun musna, terpaksa aku mesti melepaskan segala harapanku untuk memanjat tangga kepangkatan”.

"Apakah saudara masih membawa surat pujian tiehu itu?" tanya Lie It.

"Ada! Hanya sekarang ini, apakah gunanya ?"

Dengan tangan bergemetaran, Cie Kie meraba-raba kedalam sakunya, untuk mengeluarkan surat pujian itu.

Ia memeriksanya didepan matanya.

Tiba-tiba ia mengertak gigi, lalu ia memegangnya dengan kedua tangan, akan dirobek hancur.

Lie It waspada, ia segera mendahului merampasnya. Cie Kie heran, ia menghela napas.

"Inkong, untuk apakah kau menyayangi kertasku ini?" tanyanya. "Seumur hidupku, tidak dapat aku menggunakannya pula, bahkan akan menyebabkan kedukaanku melulu.”

Lie It tertawa.

"Orang baik akan diberkahi Thian," katanya. "Siapa tahu jikalau kau dapat kesempatan untuk memperoleh kembali kepandaianmu itu, saudara Thio?"

"Itulah tak akan terjadi, kecuali Hoa To hidup pula atau Pian Ciak menjelma kembali," kata Cie Kie sangat sedih. Dua-dua, Pian Ciak dan Hoa To, yalah tabib-tabib pandai dijaman dahulu. "Orang berilmu, saudara, terdapat disegala jaman," Lie It menghibur. "Begitupun dijaman kita ini, siapa memastikan, bahwa kini tidak ada tabib sepandai Pian Ciak atau Hoa To?"

Cie Kie menyeringai.

Ia tertawa, tertawa sedih.

"Tabib pandai mungkin ada, tetapi sukar diminta pertolongannya," katanya pula. "Laginya, umpama kata aku berhasil menemui tabib pandai, tulang selangkaku sudah hancur, maka paling sedikitnya aku memerlukan waktu beberapa tahun lagi baru aku bisa meyakinkan pula ilmu-silatku, sedang sekarang ini yalah dalam bulan ini - Thian Houw akan mengadakan pemilihannya itu! Apa perlunya aku memiliki surat pujian ini?"

"Saudara Thio," kata Lie It, "jikalau tetap  saudara tidak menginginkan surat pujian ini, aku akan memberanikan diri untuk memintanya. Sudikah kau menyerahkannya kepadaku?"

Thio Cie Kie menjadi heran. "Untuk apakah itu?" ia tanya.

"Aku mempunyai seorang adik yang mirip denganmu, saudara Thio," jawab Lie It. "Adikku itu juga mengerti sedikit ilmu silat, hanya sayang dia tidak mempunyai orang yang dapat memujikan padanya, dari itu, justeru ada ketika ini, aku ingin memakai surat pujian ini agar dia dapat turut menempuh ujian itu. Jikalau dia bisa berhasil, adalah kau yang menghadiahkannya pangkat itu. Dengan begitu, aku pun turut bersyukur terhadapmu." "Aku telah kau tolong, inkong, jiwaku seperti dihidupkan pula olehmu," kata Cie Kie. "Budimu itu besar sekali, walaupun tubuhku hancur-lebur, tak dapat aku membalasnya, dari itu, mengapa aku menyayangi sarat pujian ini yang hanya barang sampiran, yang untukku sudah tidak ada gunanya? Hanyalah hendak aku memberitahukan, Thian Houw mempunyai aturan yang keras, aku kuatir, jikalau kemudian rahasia itu pecah, mungkin adikmu akan berada dalam bahaya "

"Tentang itu tidak usah saudara kuatir, sebab mengenai nasib manusia, dia beruntung atau bercelaka, semua sudah ada tulisannya. Mungkin dia ditakdirkan akan memperoleh kemuliaan. Jikalau sampai terjadi demikian, umpama rahasia ini pecah, mungkin Thian Houw suka, memaafkan kepadanya. Tapi, umpama kata benar seperti kekuatiran saudara, juga baiklah saudara jangan kuatir. Dapat saudara katakan, bahwa surat pujian itu telah dirampas orang dari tangan saudara. Saudaraku sendiri akan mempunyai jawabannya, hingga saudara tidak akan kerembet-rembet."

Cie Kie tertarik hatinya, ia menaruh kepercayaan. "Jikalau  begitu,  silahkan  saudara  ambil!"  katanya.

"Surat ini tidak ada perlunya lagi untukku, dengan ini aku

dapat membantu lain orang, kenapa aku tidak senang memberikannya ? Aku tidak hendak pulang lagi ke Bie- san, aku akan menyembunyikan diri di rumah salah seorang sahabatku. Umpama kata benar rahasia pecah, akan aku menerangkan bahwa benar aku telah diganggu orang jahat dan surat pujian itu kena dirampas. Aku rasa tulang selangkaku yang hancur ini dapat dipakai sebagai alasan untuk menguatkan keteranganku itu. Pasti sekali saudaramu itu, inkong, bisa mengaku ia mendapatinya dari tangan si perampas. Dan, seandai perkara mesti diperiksa di muka istana, akan aku memberikan keterangan yang serupa guna membantu saudaramu itu."

Sebenarnya Lie It jemu terhadap orang she Thio ini, jemu karena orang hendak membantu Bu Cek Thian, akan tetapi mendapatkan orang demikian jujur dan dapat mengambil keputusan demikian bijaksana, hatinya memikir : "Dia benar kepincuk kepangkatan dan mau pergi ke kota raja untuk menjadi budaknya Bu Cek Thian, tetapi dia tetap seorang yang hatinya baik, maka aku mesti merasa malu sendirid yang aku mesti mendusta mengakali surat pujiannya ini. ”

Maka ia lantas berkata: "Sekarang cuaca bakal menjadi terang, tidak dapat aku berdiam lebih lama pula bersama-sama kau, dari itu kebetulan saudara hanya mendapat luka diluar, darah pun sudah berhenti keluarnya, setelah beristirahat lagi sekian lama, kau akan dapat pulang kesegaranmu. Pula sebentar, setelah cuaca terang dan ada petani yang lewat disini, saudara boleh menteriakannya untuk minta pertolongannya. Apakah kau membutuhkan uang?"

"Uangku tidak kena dirampas, aku mempunyai cukup," kata Cie Kie "Inkong, terima kasih banyak untuk kebaikan kau ini.”

Sejenak itu, Cie Kie kurang puas yang Lie It hendak meninggalkan ia.

Bukankah ia tengah terluka?

Akan tetapi, setelah memikir sebaliknya, ia anggap perlu lekas-lekas Lie It menyingkir. Maka itu, ia lantas menganjurkan Lie It lekas pergi.

Lie It sendiri tidak tega meninggalkan orang luka itu, maka itu, sebelumnya pergi, ia menanyakan alamat sahabatnya Cie Kie itu.

Ia telah pikir, umpama kata ia bisa menemui tabib pandai, hendak ia menolong lebih jauh ini sahabat baru.

Hanya mengenai maksudnya ini, ia tidak mengutarakannya.

Begitu lekas mereka sudah berpisah, Lie It berlalu dengan berlari-lari, baru setelah pergi jauh, dan ketika cuaca mulai terang, ia berhenti untuk beristirahat di tepi sebuah kali kecil.

Di sini ia mencuci mukanya, untuk membuang kumis- jenggotnya, setelah mana, ia pulas mukanya dengan obat pelumas warna kuning, guna membikin kulit mukanya menjadi berubah.

Ketika kemudian ia berkaca di muka air, ia tertawa sendirinya.

"Ini dia yang dibilang, tulen yalah palsu, palsu yalah tulen," pikirnya. "Ini obat berwarna untuk menyalin rupa sungguh sempurna. Kemarin ini, orang menganggapnya Thio Cie Kie yalah aku, setelah ini selanjutnya, orang pasti akan menganggap akulah Thio Cie Kie !"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar