Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 07

 
Dengan semangat yang bergelora dan sinar mata yang berkilat-kilat, Bu Cek Thian mengangkat pisau itu seraya berkata :

"Bukankah kau sekarang berusia empatbelas tahun? Pada waktu berusia seperti kau, kami telah dipanggil masuk kedalam keraton oleh Thaycong Hongtee. Waktu itu, sebuah negeri diwilayah barat telah mengirim upeti yang berupa seekor kuda mustika dan diberi nama Saycu-cong. Sesuai dengan namanya, kuda itu menyerupai singa yang galak dan ganas, sehingga tak seorangpun dapat menunggangnya. Kami mengajukan diri untuk coba menunggangnya dengan syarat, bahwa untuk percobaan itu, kami minta tiga rupa barang. "Panglima kami yang paling gagah masih tak mampu,” kata Thaycong Hongtee.

"Tapi jika kau mau juga, baiklah. Barang apa yang diminta olehmu?” "Kami minta satu cambuk besi, satu martil besi dan sebatang pisau ! Jika kuda itu tidak menurut perintah, kami akan mencambuknya. Jika dia masih tetap melawan, kami akan menghantamnya dengan martil dan kalau dia masih juga tidak mau menurut, kami akan membinasakannya dengan pisau  itu

!” "Kuda itu adalah kuda mustika yang didalam satu hari bisa lari seribu lie jauhnya,” kata pula Thaycong Hongtee. "Kalau dibinasakan, apa kau tidak merasa sayang ?” Kami jawab : "Biarpun dia bisa lari seribu li didalam satu hari, tapi jika dia tidak menurut perintah, apa gunanya kemampuan itu ?” "Akhirnya, kuda itu ditaklukkan oleh kami tanpa menggunakan martil. Kami sudah berhasil dengan hanya menggunakan cambuk. Mulai dari waktu itu, Thaycong Hongtee sangat menyayang kami. Beliau mengatakan, bahwa sayang kami bukan seorang lelaki, sebab, kalau kami seorang lelaki, kami pasti akan mencambuk manusia-manusia jahat didalam dunia ! Thaycong Hongtee adalah lelaki yang paling dikagumi oleh kami, tapi beliaupun tentu tak pernah menduga, bahwa kami bisa menjadi kaizar."

"Demikianlah, Thaycong Hongtee segera menghadiahkan tiga rupa barang itu kepada kami. Cambuk besi diubah menjadi cambuk emas dan barusan kami sudah memberikannya kepada Tek Jin Kiat. Pisau ini masih tetap seperti dulu. Sekarang kami memberikan pisau ini kepadamu. Apa kau tahu apa artinya pemberian itu ?"

Wan Jie tetap belum dapat menjawab.

Ia hanya mengawasi pisau tersebut dengan mata membelalak.

Bu Cek Thian tersenyum dan kemudian berkata dengan suara lemah-lembut : "Kedatanganmu sangat kebetulan. Kami memang sedang mencari-cari orang untuk menilik tindakan-tindakan kami. Kau mengawani kami dan jika kami melakukan perbuatan yang tidak benar atau salah membunuh orang yang baik, kau boleh segera membinasakan ‘kami’ dengan pisau ini."

Bukan main bergoncangnya hati Siangkoan Wan Jie. Dengan mata membelalak, ia berkata : "Kau .........

kau ingin aku berdampingan denganmu ? Dan aku membawa pisau yang setajam itu ?"

"Benar," jawabnya. "Karena kau musuh, maka kau seorang yang paling tepat untuk menilik sepak-terjang kami."

Sampai disitu, runtuhlah nona Siangkoan. Badannya menggigil dan air matanya bercucuran.

Ia menyambuti pisau itu dengan kedua tangan seraya berkata : "Baiklah....!. Aku bersedia untuk merawat kau. Nanti, sesudah aku benar-benar takluk, barulah aku akan menggunakan pisau ini untuk bantu melawan musuh- musuhmu ! Aku tidak ingin mempedayai kau. Pada waktu ini, perasaan sakit hati dalam hatiku masih belum  hilang."

---o^dewikz^0^TAH^o---

TIBA-TIBA diluar ruangan itu terdengar suara tindakan kaki yang disusul dengan suaranya seorang : "Thianhouw Piehee, kamar tidur sudah dibereskan. Dengan siapa Thianhouw Piehee bicara ?"

"Panggil The Sip Sam Nio," memerintah sang Jungjungan.

Ia menengok kepada Wan Jie dan berkata pula : "Bukalah pintu." kata sang Jungjunan pada seseorang diluar itu. Si-nona segera menyelipkan pisau dipinggangnya dan sesaat kemudian, pintu terbuka dan dari luar bertindak masuk seorang wanita setengah tua yang mengenakan pakaian keraton.

Kalau halilintar menyambar ditengah hari bolong, mungkin Wan Jie tidak begitu kaget !

Ia mengawasi nyonya itu dengan mata membelalak.

Sesaat kemudian, dari luar bertindak masuk seorang wanita setengah tua yang mengenakan pakaian keraton. Kalau halilintar menyambar ditengah hari bolong , mungkin Wan Jie tidak begitu kaget ! Ia mengawasi nyonya itu dengan mata membelalak.

"Sip Sam Nio, coba kau lihat, siapa nona ini ?" tanya Bu Cek Thian.

Air mata si-nona sudah turun seperti hujan, sedang wanita itu melompat sambil berteriak :"Anakku !" Ia menubruk Wan Jie erat-erat.

"Sip Sam Nio, coba kau lihat, siapa nona ini ?" tanya Bu Cek Thian. Air mata si-nona sudah turun seperti hujan, sedang wanita itu melompat sambil berteriak : "Anakku !"

Ia menubruk dan memeluk Wan Jie erat-erat.

Wanita itu bukan lain daripada ibu kandung Wan Jie sendiri.

Ia seorang she The, anak yang ketigabelas dari kedua orang tuanya, dan sesudah masuk di-keraton, ia dikenal sebagai The Sip Sam Nio.

Melihat dua batang pisau dilantai, nyonya itu mengawasi  puterinya  seraya  berkata  :  "Wan  Jie,  kau

......., anak kau........ datang dengan membawa

pisau. "

"Kau?..........kau? "

Bu Cek Thian bersenyum dan memberi keterangan : "Dia datang untuk membunuh kami. Tapi sekarang, ia sudah bersedia untuk mengawani kami. Kau harus merasa girang. Kami justeru memerlukan seorang bersenjata untuk menilik kami !"

Sesudah semangatnya kembali, Sip Sam Nio menghela napas seraya berkata: "Kau benar gila dan syukur kau belum   melakukan   perbuatan   yang   gila-gila.   Ya.   ,

Thianhouw Piehee pernah membunuh mertuaku dan suamiku dan akupun pernah mempunyai pikiran seperti kau. Tapi sesudah lewat beberapa tahun, aku mulai mengerti. Thianhouw Piehee membunuh mereka bukan karena soal pribadi. Sesudah berdekatan dengan Thianhouw Piehee beberapa tahun, aku harus mengakui, bahwa beliau selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan menyampingkan kepentingan pribadi. Bagaimana aku bisa memandangnya sebagai seorang musuh? Aku sangat menyesal sudah kehilangan mertua dan suami. Tapi siapakah yang harus disesali ? Aku hanya bisa menyesali ayahmu yang berpemandangan suram dan menyesali diri sendiri yang sudah tidak coba mencegahnya. Anak, aku sekarang hanya mempunyai kau seorang. Aku harap kau jangan setolol ayahmu."

"Sudahlah, ibu," kata Wan Jie dengan suara perlahan. "Aku ingin minta tempo sementara waktu untuk

membuktikan dengan mata sendiri."

Sang Ibu menghela napas. "Kalau begitu hatiku lega," katanya.

"Sesudah ayahmu dihukum, menurut putusan pengadilan, aku dilempar masuk kedalam keraton sebagai budak. Tempo itu, bukan main aku membenci Thianhouw. Tak lama kemudian, Thianhouw mengubah hukuman tersebut dengan mengatakan, bahwa kedosaan seorang suami tidak boleh menyeret-nyeret isterinya.

Sesudah itu, Thianhouw menanya, apa aku suka bekerja didalam keraton sebagai guru dari para dayang.

Waktu itu, pikiranku bersamaan dengan pikiranmu sekarang.

Aku ingin menyaksikan dengan mata sendiri sepak- terjang Thianhouw dan oleh karenanya, aku segera mendrima baik tawaran itu.

Dan sekarang aku sudah membuktikan, bahwa Thianhouw sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan rakyat."

Bu Cek Thian tertawa. "Sudahlah, hal itu biarlah dilihat dan diputuskan olehnya sendiri," katanya.

"Jika kami sebagai kau, kami tentu akan menanyakan lebih dulu pengalamannya selama beberapa tahun ini. Kami lihat Wan Jie adalah seorang yang cerdas dan berbakat baik. Kami kuatir, karena mempelajari ilmu silat, ia menyia-nyiakan ilmu suratnya."

"Thianhouw Piehee, tak salah perkataan Pihee," kata The Sip Sam Nio.

"Selama beberapa tahun ini, belum pernah sedetik hamba tidak mengingatnya. Wan Jie, kuingat, diwaktu masih kecil kau sudah suka dengan syair dan dalam usia lima tahun, kau sudah dapat menggubah syair. Bagaimana sekarang ?"

"Anak belajar dibawah pimpinan Tiangsun Pehpeh," katanya.

"Diwaktu siang anak belajar ilmu silat dan diwaktu malam ilmu surat. Kadang-kadang anak masih suka menggubah syair."

"Aha.......! Gurumu Tiangsun Kun Liang ?" menegas sang Jungjungan.

"Dia seorang yang mahir dalam ilmu surat dan ilmu silat. Jika kau dipimpin olehnya, kami boleh tak usah merasa kuatir. Beberapa lama yang lalu, kami telah memerintahkan The Un untuk mengundangnya. Tapi kami rasa, ia tak akan gampang-gampang bisa berubah pikiran, karena otaknya sudah karatan."

Mengingat Tiangsun Kun Liang, paras si-nona berubah merah dan ia merasa jengah sekali. "Kalau Tiangsun Pehpeh tahu kejadian ini, bagaimana perasaannya. ?" tanyanya didalam hati.

Sesudah mereka beromong-omong lagi beberapa lama, dayang yang membereskan kamar tidur, kembali meminta supaya sang Jungjungan mengaso.

"Benar, sekarang sudah jauh malam dan kita mesti mengaso," kata Bu Cek Thian.

"Sip Sam Nio, kesehatanmu kurang baik, tapi mulai dari sekarang, kau bisa berkumpul terus dengan puterimu. Kami sebenarnya ingin bicara lebih banyak lagi, tapi sekarang kita harus mengaso dulu. Jie Ie ! Apa kau sudah menyediakan kamar untuk Wan Jie ?"

Budaknya Hian Song masuk seraya berkata : "Wan Jie Ciecie, marilah."

Sesudah mengantar nona Siangkoan kesebuah kamar yang sederhana dan bersih, Jie Ie tertawa seraya berkata

: "Aku tahu kau tak akan membunuh Thianhouw, sehingga hatiku lega. Melihat kau melompat turun, aku sudah berani memastikan, bahwa kau akan menakluk, sehingga aku tidak mengawasi kau lagi dan lalu membereskan kamar ini."

Wan Jie terkejut.

Baru sekarang ia tahu, bahwa ia terus diawasi oleh Jie le yang lihay.

Jie Ie bersenyum dan berkata pula : "Syair Siociaku yang diberikan kepadamu sekarang sudah terbukti kebenarannya. Siocia tahu, bahwa pada akhirnya, ia dan kau akan berkumpul bersama-sama." "Aku sangat ingin bertemu dengan Siociamu  lagi," kata Wan Jie.

"Siocia mengubar Lie It," kata Je Ie.

"Kulihat Lie It sangat menyayang kau. Apa kau tidak pikiri dia ?"

Sehabis berkata begitu, ia tertawa dan berjalan keluar sambil menyingkap tirai.

Dapat dimengerti, jika Wan Jie tak dapat pulas.

Ia bergelisah diatas pembaringan dan kedalam otaknya masuk rupa-rupa pikiran.

Ia ingat Bu Hian Song dan ingat pula Lie It. Bagaimana nasib pemuda itu yang sedang diubar-ubar

?

Apa dia tidak gusar karena ia sekarang dapat

dikatakan sudah menakluk kepada Bu Cek Thian ?

Dengan pikiran kusut, si-nona menghela napas berulang-ulang.

Seperti juga Siangkoan Wan Jie, pada ketika itu Lie It sedang terjepit diantara budi dan permusuhan, sehingga ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya.

---o^dewikz^0^TAH^o---

HARI ITU, sesudah mengalami pukulan hebat diatas puncak Kim-teng, dengan perasaan kecewa, ia melarikan diri dan mendaki gunung secepat-cepatnya. Pelahan-lahan keadaan diseputarnya berubah sunyi dan kesunyian itu hanya dipecahkan oleh suara angin, air dan nyanyian burung-burung kecil.

Dengan pikiran tertindih, ia berjalan terus diantara bukit-bukit.

Tiba-tiba disebelah timur terlihat sehelai sinar merah yang gilang-gemilang dan tak lama kemudian, matahari mulai muncul.

Fajar sudah menyingsing dan ia berjalan terus sambil melawan pukulan angin yang sangat dingin.

Ia menghela napas dan didepan matanya kembali terbayang pengalaman-pengalaman yang telah lampau.

Mendadak, dibawa oleh tiupan angin, dari sebelah kejauhan terdengar suara tertawa yang nyaring,  bagaikan kelenengan perak.

Ia terkejut. Tiba-tiba, dari belakang sebuah bukit muncul seorang wanita muda yang mengenakan pakaian warna putih.

Ia lebih kaget lagi, karena nona itu bukan lain daripada Bu Hian Song.

"Enghiong besar," kata Hian Song sambil tertawa geli. "Mengapa kau berlalu begitu cepat?"

Sambil mencekel gagang pedang, Lie It mengawasi si- nona dengan sorot mata gusar.

"Seorang gagah boleh dibunuh, tapi tak boleh dihina," katanya.

"Hunus ........ senjatamu dan binasakan aku, jika kau mampu." Hian Song kembali tertawa geli. "Siapa yang hinakan kau ?”tanyanya.

"Aku datang kesini untuk memulangkan serupa barangmu, tapi kau menduga yang tidak-tidak."

Lie It mengawasi dan ternyata, kedua tangan nona Bu mencekel khim tua yang telah ketinggalan diatas lapangan Kim-teng.

"Ambillah," kata pula Hian Song sambil tersenyum. "Tanpa khim, syairmu kurang-keindahannya." Paras muka Lie It berubah merah.

Ia melirik Hian Song dan ternyata pada muka nona itu tidak terdapat sinar permusuhan.

Karena si-nona bermaksud baik, ia tak dapat mengumbar napsu.

Tapi mengingat pengalamannya semalam dan sekarang ia harus menerima khim dari tangannya seorang wanita yang telah merobohkannya, ia jadi merasa jengah sekali.

"Sambutlah!" kata Hian Song sambil melemparkan tabuh-tabuhan itu.

"Jangan kau membawa lagak sebagai seorang Bengcu Enghiong Tayhwee yang semacam itu, Bengcu yang semacam itu, tiada harganya. Tapi khim ini berharga tinggi. Menurut pendapatku, kau lebih baik melemparkan kedudukan Bengcu itu daripada kehilangan khim ini!"

Dengan terpaksa Lie It menyambuti juga khimnya. Ia ingin mengucapkan terima kasih, tapi mulutnya terkancing dan dilain saat, Hian Song sudah berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, sehingga tak lama kemudian, ia sudah tak kelihatan bayang-bayangannya lagi.

Lie It menghela napas.

"Hai! Dunia benar-benar sudah berubah!" pikirnya. "Lelaki. merosot kebawah, perempuan naik keatas. Bu

Cek  Thian  menjadi  kaizar, apakah  Rimba Persilatanpun

bakal dikuasai oleh seorang wanita?" Hatinya merasa sangat penasaran.

Tapi dilain saat, ia harus mengakui, bahwa jika dibandingkan dengan wanita seperti Bu Hian Song, "orang gagah" yang semalam berkumpul diatas puncak Kim-teng adalah seperti mutiara direndengkan dengan batu-batu koral.

Mengingat begitu, ia kembali menghela napas panjang.

Mendadak didepan matanya terbayang wajah Wan Jie yang cantik-ayu.

Sesaat itu, Lie It seolah-olah seorang yang sedang kelelap menjambret sebatang rumput.

Ia menjambret bayangan Wan Jie.

Dilain detik, depan matanya terbayang dua wanita muda.

Yang satu sasterawan wanita yang lemah lembut, yang lain jago wanita yang gagah perkasa. Direndengkan secara begitu, ia tak tahu, siapa yang menang, siapa yang kalah. Jika disuruh memilih sungguh sukar untuk menjatuhkan pilihan.

Tapi sesaat kemudian, ia berkata dalam hatinya: "Dalam hidup didunia ini, jika seorang manusia bisa mempunyai seorang sahabat yang mengenal isi hatinya, ia sudah dapat dikatakan beruntung sekali. Dalam dunia ini, Wan Jie adalah manusia satu-satunya yang mengenal isi hatiku. Tapi Hian Song adalah seorang musuh!"

Dengan adanya pikiran begitu, bayangan nona Siangkoan akhirnya menindih bayangan nona Bu.

Sekali lagi ia menghela napas.

"Dimana adanya Wan Jie sekarang?" tanyanya didalam hati.

Ia lantas saja ingat pengalamannya yang semalam.

Hiong Kie Teng adalah seorang kasar yang dengan tulus hati ingin menolong dirinya.

Hiong Kie Teng tentu saja tak tahu asal-usul Wan Jie dan tak tahu pula hubungan antara si-nona dan dirinya sendiri.

Tapi apa yang sangat mengherankan adalah tindakan budaknya Hian Song.

Mengapa budak itu menolong Wan Jie ?

Apa Wan Jie dan Hian Song sudah mengenal satu sama lain? "Sambutlah !" kata Hian Song sambil melemparkan tabuh-tabuhan itu. "Jangan kau membawa lagak sebagai seorang Bengcu Enghiong Tayhwee semacam itu, Bengcu yang semacam itu tiada harganya. Tapi khim ini berharga tinggi. Menurut pendapatku, kau lebih baik melemparkan kedudukan Bengcu itu daripada Kehilangan khim ini !"

Bayangan Bu Hian Song sebenarnya sudah ditindih dengan bayangan Siangkoan Wan Jie.

Tapi dengan mengingat nona Siangkoan, bayangan nona Bu lantas saja muncul kembali didepan matanya.

Ia tidak mengenal siapa adanya Hian Song, tapi dilihat dengan sepak-terjangnya semalam, tak dapat tidak, ia adalah kaki-tangan Bu Cek Thian.

"Jika dia tahu, bahwa Wan Jie adalah cucu Siangkoan Gie, tindakan apa yang akan diambilnya?" tanyanya didalam hati. "Apakah ia akan menangkap Wan Jie dan menyerahkannya kepada Bu Cek "Thian?"

Bu Hian Song kelihatannya bukan orang jahat, tapi ia tetap berkuatir akan keselamatan Wan Jie karena dia berdiri dipihak musuh.

Dengan memikiri nasib Wan Jie, ia jadi lebih gusar terhadap Bu Cek Thian. yang dianngap telah menjadi gara-gara dari semua kejadian yang mengenaskan.

Semakin ia memikir, kepalanya semakin pusing dan badannya, yang tidak mengaso semalam suntuk,  semakin dirasakan letih. Ia segera berhenti dipinggir satu solokan dan duduk diatas batu.

Tanpa merasa, ia sudah mulai mengakurkan tali-tali khim dan lalu memetik sebuah lagu sambil menyanyi dengan suara perlahan.

Lagu itu adalah Siok-lam dari Sie-keng (Kitab Syair) dan nyanyiannya berbunyi seperti berikut:

"Pohon jagung berbaris, Pohon kaoliang menghijau, Kakiku bertindak pe-lahan2,

Jantungku ber-goyang2,

Yang mengenal aku mengatakan aku sedang berduka,

Yang tidak mengenal aku menanya, aku sedang mencari siapa, Oh......, Langit. ! Langit ! Kau diangkasa,

Mengapa kau membuat aku sampai begini rupa ?"

Syair itu adalah mengenai suatu peristiwa dijaman Kerajaan Ciu. Sesudah Kerajaan Ciu pindah ketimur, pada suatu hari, seorang yang berpangkat Tayhu telah lewat diibukota yang dulu.

Ia lihat, bahwa tempat dimana dulu berdiri keraton dan kuil keluarga kerajaan, sekarang sudah berubah menjadi kebun jagung dan sawah kaoliang.

Pembesar itu merasa duka bukan main dan oleh karenanya, ia menggubah syair diatas.

Dengan hati sedih karena memikiri nasib Kerajaan Tong, Lie It memetik khim dan menyanyi sambil mengucurkan air mata, sehingga suara tabuh-tabuhan dan suara nyanyian kedengarannya sangat menyayatkan hati.

Sesudah melampiaskan perasaan hatinya, barulah ia merasa agak lega.

Mendadak, selagi lagunya tiba pada bagian yang paling mendukakan, terdengar suara tertawa.

Ia terkesiap, jerijinya kalut dan sehelai tali khim menjadi putus.

Sambil mengangkat khimnya, ia bangun berdiri dan hampir berbareng, disebelah kejauhan berkelebat bayangan manusia. Matanya yang sangat tajam segera mengenali, bahwa bayangan itu bukan lain daripada si- nona Hian Song. "Hei! Mengapa kau tertawa?" teriaknya dengan gusar.

Hian Song menghampiri seraya berkata sambil bersenyum: "Ih, kau sungguh aneh! Kau menangis dan aku tertawa. Ada apa sangkut-pautnya antara kau dan aku?"

Darah pemuda itu lantas saja meluap dan dengan mata mendelik, ia meraba gagang pedang.

"Enghiong besar, kau jangan marah," kata si-nona. "Maaf, aku tak bisa menemani lama-lama."

"Siapa kesudian menahan kau lama-lama !" bentak Lie It. "Hm ! lebih cepat kau berlalu, lebih baik lagi!"

"Aku tak akan pergi jauh," kata si-nona. "Apa kau tahu aku. mau pergi kemana?"

"Bukan urusanku!" bentaknya.

"Aku ingin pergi ketempat yang dipikiri olehmu," kata Hian Song.

"Aku ingin menengok kota Tiang-an, untuk melihat dengan mata sendiri, apakah keraton di Tiang-an sudah menjadi kebun jagung dan tanah sawah?"

Perkataan itu bagaikan jarum yang menusuk Lie It.

Dibawah kekuasaan Bu Cek Thian, sebaliknya daripada runtuh, ibukota itu makin lama jadi makin makmur.

Disindir begitu, Lie It gusar tercampur malu.

Belum ia sempat membuka mulut untuk balas menyerang, si-nona sudah tertawa nyaring dan berlalu dengan cepat sekali. Sesudah Hian Song berlalu, dalam hati kecilnya ia mengakui, bahwa apa yang dikatakan si-nona memang merupakan suatu kenyataan.

Tiang-an makin mentereng dan penghidupan rakyat jelata mendapat perbaikan-perbaikan yang menyolok mata.

"Perempuan itu memang liehay sekali dan harus ditakuti," pikirnya.

Ia jadi makin berduka, karena kedatangannya di Sucoan telah berakhir dengan kegagalan, sedang gerakan Cie Keng pun belum tentu bisa berhasil.

"Sudahlah! Sebagai seorang menteri setia aku harus berusaha sedapat mungkin, gagal atau berhasil adalah soal kedua," katanya didalam hati.

"Sekarang paling baik aku pergi ke Yang-ciu untuk menemui Cie Keng."

---o^dewikz^0^TAH^o---

DENGAN hati kusut, ia terus turun dan pada waktu ia tiba dipuncak Cian-hud-teng, mendadak terdengar pula suara tertawa yang sangat nyaring.

"Perlu apa kau datang lagi?" teriaknya dengan gusar.

Kalau Hian Song seorang lelaki, ia tentu sudah mencaci habis-habisan. Tapi kali ini dugaannya meleset, karena yang mendatangi bukan nona Bu, tapi sepasang orang muda, satu lelaki dan satu perempuan.

Yang lelaki adalah seorang tauwto yang berambut panjang, sedang yang perempuan berparas cantik, tapi genit sekali kelihatannya.

Ia terkejut dan berkata dalam hatinya: "Apakah mereka bukan dua memedi yang terkenal dalam kalangan Kang-ouw Ok-heng-cia dan Tok sian-lie?"

Dugaan Lie It tidak salah.

Mereka memang bukah lain daripada Ok-heng-cia dan Toksian-lie yang juga ingin menghadiri Enghiong Tayhwee, tapi terlambat karena sebagai akibat serangan Hian Song, si-tauwto harus berobat kurang-lebih sepuluh hari lamanya.

Begitu berhadapan, Tok-sian-lie mengawasi Lie It dari kepala sampai dikaki.

Ia tertawa seraya bertanya: "Apakah kau bukan Lie Kongcu ?"

"Aku she Lie," jawabnya. "Ada apa?"

Ok-heng-cia kelihatan girang sekali. "Aha. !"

serunya.

"Kalau begitu, kau adalah Cian-sweeya (raja muda, keluarga kaizar) yang sering disebut-sebut oleh Kok Sin Ong Cian-swee-ya, terimalah hormat kami."

"Tahan," kata Lie It dengan suara mendongkol. "Apakah kamu bukan Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie?" Tok-sian-lie tertawa manis dan menjawab: "Ah. !

Itulah gelaran yang diberikan oleh musuh-musuh kami. Kami dengar, Cian-swee-ya akan mengepalakan Enghiong Tayhwee dan dengan terburu-buru kami datang kemari untuk turut menghadiri pertamuan itu. Apakah Enghiong Tayhwee sudah selesai dan bubar ? Kemana Kok Losianseng?"

Lie It tertawa dingin.

"Siapa sudi menganggap kamu sebagai kawan," katanya.

"Sekarang aku mau tanya : Bukankah pembunuhan terhadap Thay-cu di Paciu dilakukan oleh kamu berdua?"

Ok-heng-cia heran dan lalu menjawab dengan suara kasar: "Benar....! Kalau bukan begitu, kami tentu tidak menganggap kau sebagai orang sendiri."

"Binatang!" bentak Lie It.

"Kamu menjadi kaki-tangan dari Bu Cek Thian dan sudah membunuh kakakku, tapi kamu masih berani mengakui aku sebagai orang sendiri!"

Tok-sian-lie tertawa geli. "Cian-swee-ya, apakah Kok Sin Ong belum memberitahukan latar belakang kejadian ini kepadamu?" tanyanya.

Lie It kaget dan didalam hatinya lantas saja timbul perasaan curiga.

Ia segera mengubah sikap dan sambil menyoja, ia berkata: "Aku benar belum tahu, harap kalian suka menerangkan sejelas-jelasnya." "Itu semua adalah tipu yang sangat lihay dari Pwee Lotayjin," menerangkan Tok-sian-lie dengan suara bangga.

"Beliau memerintahkan perwira yang bekerja dibawah Khu Sin Sun mempersembahkan firman palsu kepada Thaycu untuk mendesak supaya putera kaizar itu membunuh dirinya sendiri. Tapi, diluar dugaan, Thaycu bercuriga dan ingin bertemu dengan ibunya. Maka itu, kami tidak dapat berbuat lain daripada turunkan tangan."

Tak kepalang kagetnya Lie It.

"Kalau begitu, mereka diperintah oleh Pwee Yam!" katanya dengan suara ditenggorokan.

"Kalau Thianhee (panggilan untuk seorang putera atau keluarga kaizar yang terdekat) sudah tahu, baguslah," kata Ok-heng-cia.

Tok-sian-lie kembali tertawa geli.

"Jika orang seperti Thianhee masih kena diabui, apalagi orang lain?" katanya.

"Aku merasa pasti, semua orang akan menumplek kedosaan diatas kepala Bu Cek Thian dan gelaranku ini boleh diberikan kepadanya!"

Lie It menunduk, kepalanya pusing Sungguh-sungguh, ia tak pernah mimpi, bahwa seorang seperti Pwee Yam yang dijuluki sebagai "menteri setia" dari Kerajaan Tong, dapat berbuat begitu.

Iapun tak pernah menduga, bahwa Kok Sin Ong, seorang Bengcu dari Rimba Persilatan, turut-serta dalam persekutuan itu dan tidak memberitahukannya terang- terangan. Memikir begitu, bukan main rasa kecewa didalam hatinya.

Sebegitu jauh, ia selalu menganggap dirinya sebagai seorang gagah yang bersih dan berserikat dengan lain- lain orang gagah yang bersih pula, untuk menghukum Bu Cek Thian yang kotor.

Tapi sekarang, sesudah mendengar keterangan kedua memedi itu, ia jadi bersangsi mengenai soal "bersih" dan "kotor"

Siapakah sebenarnya yang "bersih" dan siapa yang "kotor" ?

Melihat perubahan pada paras muka Lie It, Tok-sian- lie tertawa seraya berkata: "Thianhee, mengapa kau ? Kau sebenarnya harus bergirang. Anak Bu Cek Thian, yang satu sudah mampus, yang lain mampus karena racun. Masih ada satu Louw-leng-ong tapi Louw-leng-ong itu seorang tolol. Dihari kemudian, dalam bangunnya kembali Kerajaan Tong, Thianhee akan naik menjadi Banswee (kaizar). Pada waktu itu, Ciansweeya janganlah melupakan kami bardua!"

Lie It menggigit bibir, sedapat mungkin ia menahan napsu amarahnya.

"Apa Cie Keng tahu kejadian ini?" tanyanya dengan suara gametar.

Tok-sian-lie mengawasinya dengan mata tajam dan menjawab: "Ini semua adalah tipudayanya Pwee Tayjin. Hal ini tidak diketahui oleh Gouw-kok-kong. Untuk bicara terus-terang, Gouw-kok-kong ingin mengangkat Louw- leng-ong sebagai kaizar, sedang Pwee Tayjin ingin mengangkat Thianhee sendiri. Thianhee adalah seorang yang bijaksana dan kurasa Thianhee sudah mengerti maksud Pwee Tayjin."

"Tidak, aku belum mengerti dan harap kau suka menjelaskannya," kata Lie It.

"Louw-leng-ong dan Thaycu Lie Hian kedua-duanya adalah anak Bu Cek Thian," menerangkan Tok-sian-lie.

"Tak perduli siapa yang menjadi kaizar, kita seperti menanam bibit penyakit dihari kemudian. Disamping itu, merekapun belum tentu bersedia untuk membunuh ibu sendiri. Inilah keberatan yang pertama."

"Yang lain?"

"Jika Cie Keng berhasil dalam usahanya untuk mengangkat Louw-leng-ong, maka dihari kemudian, kekuasaan atas ketentaraan tentu jatuh kedalam tangannya. Dilain pihak, jika Thianhee bisa bekerja sama-sama Pwee Tayjin dan Thianhee berhasil menguasai orang-orang gagah diseluruh negara, maka kita akan bisa mengurangi kekuasaan Cie Keng. Coba Thianhee pikir : Dengan disokong oleh segenap orang gagah dan dibantu oleh Pwee Tayjin, mana bisa Louw- leng-ong melawan Thianhee? Dihari nanti, takhta kerajaan sudah pasti akan diduduki oleh Thianhee sendiri."

Mendengar sampai disitu, Lie It tak dapat menahan sabar lagi.

"Kalau begitu, kalian adalah orang-orang kepercayaan Pwee Tayjin," katanya dengan suara menyeramkan.

"Untuk kesetiaan kalian terhadapku, aku harus memberi hadiah yang bagus!" "Terima kasih atas kebaikan Thianhee," kata Ok-heng- cia dengan suara girang.

Tiba-tiba, Tok-sian-lie berteriak: "Suko, hati-hati!"

Ok-heng-cia terkesiap dan melompat mundur. Pada saat yang bersamaan, Lie It sudah menghunus pedang dan menikam tenggorokan Ok-heng-cia yang untung masih keburu menyingkirkan diri.

"Apa aku tidak dihadiahkan?" tanya si-memedi perempuan dengan suara menyindir.

Sesudah tikamannya yang pertama gagal, Lie It memutar badan dan menyabet Tok-sian-lie dengan pedangnya.

Tapi sebelum pedangnya menyambar, Tokysian-lie sudah mengayun tangan dan sejumlah jarum yang berkeredepan menyambar. Lie It kaget, karena ia tahu, bahwa jarum itu adalah Touw-hiat-sin-ciam yang sangat beracun.

Cepat bagaikan kilat, ia menggeser kaki dengan gerakan Poan-liong-jiauw-po (Naga-menggeser-kaki) dan memutar pedangnya dengan pukulan Giok-tay-wie-yauw (Ikatan-pinggang-diseputar-pinggang).

Pukulan itu adalah pukulan yang sangat istimewa untuk membela diri dari serangan rupa-rupa senjata, tapi karena jarak mereka terlalu dekat dan gerakan Lie It agak terlambat, maka sebatang jarum lolos dari kebasan pedang dan menancap dijalanan darah Kian-keng-hiat, dipundak kiri pemuda itu. Hampir berbareng, Lie It merasa pundaknya seperti digigit semut dan sesaat kemudian, lengan kirinya tidak dapat digunakan lagi.

Sementara itu, sesudah terlolos dari kebinasaan, Ok- hengcia gusar tak kepalang.

"Bocah goblok!" bentaknya.

"Kedudukan Hongtee kau tolak, sekarang aku antar kau untuk menyusul saudaramu .......!" Sambil mencaci, ia menimpuk dengan sejumlah Chie-piauw.

Karena pundak kirinya sakti dan gerakannya kaku, maka sebatang Swee-kut-chie-piauw kembali menancap dijalanan darak Tiong-cu-hiat, dibelakang leher.

Timpukan itu yang disertai dengan Lweekang yang sangat tinggi, sakit bukan main, sehingga mata Lie It berkunang-kunang.

Tapi sebagai seorang muda yang memiliki kepandaian tinggi, Lie It bertubuh kuat dan tidak gampang-gampang roboh.

Sambil mengertak gigi dan mengempos semangat, ia berteriak: "Bangsat! Hari ini aku akan lebih dulu mampuskan dua memedi jahat."

Tiba-tiba badannya melesat tinggi dan selagi  melayang turun, bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnya membabat kebawah.

Ok-heng-cia terkejut, sedikitpun ia tak menduga, bahwa sesudah kena dua senjata rahasia yang sangat lihay, pemuda itu masih dapat menyerang begitu hebat. Buru-buru ia menghunus golok dan menangkis "Trang.....!", latu-api muncrat dan golok Ok-heng-cia somplak sebagian.

Pedang Lie It ternyata adalah pedang mustika dari keraton Kerajaan Tong.

Sambil mengaum bagaikan harimau terluka, Ok-heng- cia membalik goloknya dan menghantam dengan belakang golok.

Sesaat itu Lie It sudah tidak memikir hidup dan ia menyerang secara nekat.

Tanpa menghiraukan pembelaan diri, ia memapaki golok Ok-heng-cia dan terus menikam muka musuh.

Tauwto jahat itu melompat mundur dengan di desak terus dengan pukulan-pukulan yang membinasakan, sehingga dia jadi repot bukan main.

Tiba-tiba Tok-sian-lie tertawa nyaring. "Suko, kau benar tolol!" teriaknya.

"Racun Touw-hiat-sin-ciam tak lama lagi akan mengamuk disekujur badannya. Piauw apa yang digunakan kau?"

"Swee-kut-chie-piauw yang racunnya bekerja paling cepat," jawabnya.

"Bagus!" kata si-memedi perempuan sambil tertawa. "Kalau begitu, mengapa kau tidak bisa menunggu

untuk beberapa saat. Perlu apa kau mengadu jiwa dengannya?" Ok-heng-cia tersadar dan sambil menangkis pedang Lie It, ia melompat keluar dari gelanggang dan terus kabur dengan berputaran.

Melihat kakaknya diubar, Tok-sian-lie lantas saja mengubar pemuda itu, sehingga mereka seperti juga kanak-kanak yang sedang main petak.

Bagaikan kalap Lie It memutar badan dan mengejar memedi perempuan itu.

Tapi ilmu mengentengkan badan Tok-sian-lie lebih tinggi daripadanya, sehingga ia tak dapat menyandaknya.

"Thianhee!" seru perempuan itu dengan nada mengejek. "Lebih banyak kau mengeluarkan tenaga, lebih cepat mengamuknya racun! Kalau tulang-tulangmu sudah rontok, biarpun dewa tak akan dapat menolong jiwamu. Aduh ........! Kau seorang turunan kaizar, tinggi ilmu surat dan ilmu silatnya, benar-benar sayang jika kau mesti binasa secara begitu mengenaskan!"

Diejek begitu, Lie It merasa dadanya seolah-olah mau meledak.

Ia memutar pedang dan menerjang dengan kalap, tapi si-memedi sudah kabur lebih dulu.

"Eh, kalau kita binasakan dia, apa Pwee Lotayjin tak jadi gusar?" tanya Ok-hengcia.

Tok-sian-lie tertawa. "Jika dengar kata, dia adalah orang kita," jawabnya.

"Kalau melawan, dia musuh kita. Sedangkan Thaycu masih boleh dibinasakan, apa lagi dia? Yang paling untung adalah Louw-leng-ong." "Baiklah, sesudah dia mampus, aku ambil mutiaranya, kau ambil pedangnya," kata Ok-heng cia. Demikianlah mereka saling sahut, seolah-oleh Lie It sudah pasti akan binasa dalam tangan mereka.

Sementara itu, mata Lie It sudah berkunang-kunang. "Celaka..... ! Tak dinyana hari ini aku mesti binasa

dalam tangan manusia rendah!" ia mengeluh.

Tiba-tiba dengan menggunakan sisa tenaganya, ia melompat dan menikam Tok-sian-lie.

Serangan mati-matian itu bukan main hebatnya. "Brt.....!", walaupun si-memedi perempuan berkelit

secepat mungkin, tak urung tangan bajunya ditobloskan ujung Pedang.

"Thianhee," ejeknya, "saat berkumpul dengan kakakmu sudah tidak lama lagi!"

Sampai disitu Lie It tak tahan lagi, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia roboh diatas tanah.

Sekonyong-konyong, pada saat yang sangat berbahaya, dalam keadaan lupa-ingat, kupingnya menangkap siulan yang nyaring luar biasa yang disusul dengan bentakan: "Bangsat.....! Kamu mau mencelakakan manusia lagi?"

Ia coba membuka kedua matanya, tapi tak dapat, hanya kupingnya mendengar bentrokan senjata dan sesudah itu, ia tak ingat suatu apa lagi.

---o~dewikz-0-TAH~o--- ENTAH sudah lewat berapa lama, Lie It perlahan-lahan tersadar.

Ia seperti baru tersadar dari impian yang menakuti.

Sebelum membuka mata, hidungnya mengendus bebauan yang sangat ha rum dan kupingnya mendengar suara "tek-tek-tek......", seperti sedang rebah didalam sebuah kereta.

Dilain saat, ia tahu, bahwa ia sedang rebah diatas kasur yang empuk.

Bukan main rasa herannya dan dengan sekuat tenaga, ia membuka kedua matanya.

Apa yang dilihatnya yalah satu muka yang cantik-ayu dan sepasang mata yang tengah mengawasinya.

Sejenak kemudian, sesudah mengumpulkan semangat, tiba-tiba ia berseru dengan suara perlahan: "Kau!.........

kau!. "

Wanita itu tertawa seraya berkata: "Jangan takut jiwamu sudah ketolongan!"

Ia coba bangun, tapi sekujur badannya sakit semua, kaki-tangannya kaku dan sedikitpun ia tak dapat bergerak.

"Apa kau masih belum mengenali aku?" tanya si-nona. "Orang kata, tidak berkelahi, tidak kenal. Aku bernama Bu Hian Song!"

Sekarang Lie It ingat segala pengalamannya ia ingat kejadian dipuncak Kim-teng dan ia ingat pertempurannya melawan Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie. "Kalau begitu, kaulah yang sudah menolong jiwaku," katanya dengan suara hampir tidak kedengaran.

Sebelum Hian Song keburu menjawab, seorang gadis cilik yang duduk disebelah depan kereta menengok dan berkata sambil tertawa: "Jika tidak ditolong Siocia, kau tentu sudah tidak bernyawa. Hm.......... kau sungguh menakut-nakuti kami. Kau sudah pingsan tiga hari dua malam lamanya!"

"Kau..........mengapa kau ................. kau menolong aku?" tanya Lie It dcngan suara terputus-putus.

"Kau sungguh luar biasa!" mendului si-cilik.

"Tanpa sebab, mengapa kau memandang kami sebagai musuh besar? Kau sama-sekali tak punya rasa berterima kasih. Ketahuilah, untuk menolong jiwamu, Siocia telah mengeluarkan bukan sedikit tenaga. Siocia bahkan tak segan mengisap keluar darah beracun yang mengeram dalam tubuhmu!"

"Beng Cu, jangan rewel. !" bentak Hian Song.

Sesaat itu, rupa-rupa perasan malu, berterima kasih, jengah mengamuk didalam pikiran Lie It.

Ia mengheIa napas seraya bertanya: "Sekarang. ,

sesudah aku jatuh kedalam tanganmu, hukuman apa yang kau hendak berikan kepadaku?"

"Aku ingin bawa kau ke Tiang-an untuk melihat-lihat kebun jagung dan sawah-sawah," jawab si-nona sambil tertawa.

Lie It membuka kedua matanya lebar-lebar, tapi sejenak kemudian ia kembali menghela napas dan parasnya berubah tenang. "Baiklah. ," katanya dengan suara tawar.

"Aku sebenarnya sudah mesti mati dan aku tidak takut mati untuk kedua kalinya. Mati dalam tangan Bu Cek Thian lebih berharga daripada mampus dalam tangan Ok-hengcia dan Tok-sian-lie."

Ia berkata begitu, karena menganggap bahwa nona itu mau menyerahkannya kepada Bu Cek Thian.

Dengan adanya anggapan itu, ia jadi terlebih tenang.

Tiba-tiba, karena banyak bicara dan perasaannya bergoncang keras, ia merasa dadanya sakit bukan main, sehingga ia merintih dengan perlahan.

Sambil bersenyum Hian Song mengangsurkan tangannya dan lalu mengurut dada pemuda itu.

Sesaat kemudian, Lie It merasakan naiknya semacam hawa panas dari bagian pusar keatas dan rasa sakitnya lantas saja berkurang banyak.

Ia mengerti, bahwa si-nona telah menggunakan Lweekang yang sangat tinggi untuk membantu padanya.

Ia mengerutkan alis dan berkata: "Perlu apa kau mengeluarkan tenaga. Bukankah lebih baik jika membiarkan aku mati?"

Hian Song tertawa. "Kutahu apa yang dipikir olehmu," katanya. "Didalam hati, kau tentu mencaci aku sebagai perempuan kejam, karena sesudah menolong, aku ingin menyerahkan kau kepada musuhmu, supaya kau binasa dengan terhina. Bukankah begitu yang diduga olehmu?"

Tanpa menjawab, Lie It meramkan kedua matanya. Ia mengakui, bahwa ia memang memikir begitu. Tapi dilain pihak, ia merasa, bahwa pertolongan yang diberikan Hian Song adalah pertolongan yang setulus hati, bukan berpura-pura atau mengandung maksud tertentu.

Perasaan ini, yang mendekati suatu kepercayaan, sangat melekat didalam hatinya. la benar-benar bingung.

Ia bingung, sebab tak dapat memastikan, apa sebenarnya maksud si-nona.

Sekonyong-konyong si-budak cilik tertawa kecil.

Ia menengok seraya berkata : "Dua hari tiga malam, Siocia kami belum pernah tidur sekejap. Ia telah mengerahkan seantero tenaganya untuk menolong jiwamu. Hai........! Kau sungguh manusia kurang penerima. Racun kedua memedi itu bukan main hebatnya. Kau harus tahu, bahwa sesudah  menghabiskan tenaganya, Siocia hanya dapat menolong jiwamu. Ilmu silatmu tak dapat ditolong lagi dan sudah musnah seanteronya."

"Beng Cu, jangan menakut-nakuti dia!" bentak sang Siocia dengan mata mendelik.

"Harap siocia jangan gusar," kata si-budak. "Jika aku tidak bicara terang-terangan, mungkin sekali selama tujuh hari ini, ia akan terus bersikap bermusuhan terhadap Siocia."

Lie It yang sudah tidak memikirkan hidup, tidak menghiraukan keterangan Beng Cu, bahwa ilmu silatnya sudah musnah sama-sekali.

Tapi ia merasa heran mendengar disebut-sebutnya jangka waktu tujuh hari. Mengapa tujuh hari? Bagaimana Beng Cu tahu, bahwa sesudah lewat tujuh hari, ia tak akan bermusuhan Iagi dengan Hian Song?

Sesudah berdiam sejenak, Beng Cu berkata pula dengan suara perlahan: "Siociaku sangat menyayang kau, kau tahu? Ia bukan saja sudah menolong jiwamu, tapi juga tengah berusaha supaya ilmu silatmu tidak sampai menjadi musnah. Ia menggunakan kereta yang paling baik dan menaruh kau diatas kasur empuk, supaya kau jangan terlalu menderita. Sekarang kita sedang membuat perjalanan dan didalam tujuh hari, kita akan tiba digunung Kiong-lay-san, dimana Siocia akan menyerahkan kau kepada seorang yang berilmu tinggi, agar kau dapat disembuhkan tanpa kehilangan ilmu silatmu. Apa kau kira Siocia benar-benar mau menyerahkan kau kepada Thianhouw Piehee?"

Ia tertawa dan berkata pula : "Andaikata Siocia menyerahkan kau kepada Thianhouw Piehee, aku tahu Thianhouw Piehee tak akan mencelakakan kau. Siocia hanya kuatir, bahwa tabib-tabib istana tak mampu mengobati lukamu yg sangat, hebat."

Mendengar keterangan itu, bukan main rasa berterima kasihnya Lie It.

Tapi dilain pihak, keterangan gadis kecil itu juga meyakinkannya, bahwa Bu Hian Song adalah kaki-tangan Bu Cek Thian.

la jadi serba-salah. Ia terjepit diantara budi dan permusuhan.

"Ma Toasiok, tolong hentikan kereta," sekonyong- konyong Hian Song berkata kepada kusir yang mencekel les. "Coba berikan poci somthung (godokan yosom) kepadaku."

Si-kusir mengangguk dan sambil menahan les, ia menengok ke arah Lie It.

Pemuda itu kaget, sebab ia merasa, bahwa muka orang itu tidak asing baginya.

Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia ingat, bahwa pada waktu ia dan Siangkoan Wan Jie sedang menuju ke Paciu, ditengah jalan mereka bertemu dengan seorang petani yang telah menolong Wan Jie dari tangkapan seorang perwira dan petani itu adalah si kusir. 

Lie It jadi heran dan berkata dalam hatinya: "Ilmu silat orang itu cukup tinggi, tapi mengapa dia rela menjadi kusir Bu Hian Song?"

Ia jadi bingung dan coba menebak-nebak siapa adanya nona gagah itu.

"Ih.....! Mengapa kau mengawasi Ma Toasiok dengan mata mendelong?" tanya si-budak cilik sambil tersenyum.

"Apakah aku boleh menanya she dan nama Toasiok yang mulia?" tanya Lie It.

"Aku Ma Goan Thong," jawabnya. "Terima kasih," kata Lie It.

"Mengapa kau menghaturkan terima kasih kepadaku?" tanya Ma Goan Thong.

"Kau seharusnya menghaturkan terima kasih kepada siocia." Hian Song tersenyum. "Toasiok, ia menghaturkan terima kasih untuk pertolonganmu atas dirinya Siangkoan Wan Jie," katanya.

"Lie Kongcu, kaupun sebetulnya harus mengucap terima kasih kepada Beng Cu. Jika tak ada dia, sahabatmu sudah celaka dalam tangan Hiong Kie Teng."

Mendengar nama Wan Jie, Lie It terkesiap.

"Wan Jie? Bagaimana dengan Wan Jie?" tanyanya. "Jangan kuatir," jawab Hian Song. "Kami tak

mengganggu selembar rambutnya. Apakah kau kira kami memedi-memedi yang biasa membunuh orang secara serampangan?"

"Bukan begitu," kata Lie It dengan suara jengah. "Aku

...... aku.      ”

"Kau ingin tahu dimana adanya Wan Duyie sekarang?" tanya nona Bu.

Lie It mengangguk.

"Ia tidak memberitahukan kepadaku, tapi rasanya aku bisa menebak," kata Hian Song. "Ia pergi untuk membunuh Thianhouw!"

Lie It terkesiap. "Bagaimana kau tahu?" tanyanya. "Waktu berada dirumahku, ia telah mengatakan begitu

kepadaku," jawabnya. "Ia malah minta bantuanku  dalam

hal itu."

Sehabis berkata begitu, ia tertawa sambil menutup mulut dengan tangannya.

Pemuda itu sangat berkuatir, tapi ia tidak berdaya, karena ia sendiri sedang terluka berat. "Biarpun baru bertemu satu kali, aku mengenal sifat- sifat Wan Jie," kata Hian Song dengan suara membujuk.

"Menurut pendapatku, jika bertemu dengan Thianhouw, ia akan seperti ikan yang bertemu air. Mungkin sekali, ialah yang akan berkuatir akan keselamatanmu!"

"Apa kau kata?" bentak Lie It dengan suara gusar. "Wan Jie mempunyai sakit hati yang sangat besar. Apakah kau mau mengatakan, bahwa ia akan menakluk kepada musuh?"

Karena darahnya meluap, ia merasa badannya sakit bukan main, sehingga ia mengertak gigi untuk menahan sakit.

"Sudahlah," kata Hian Song, kita tak usah menebak- nebak sesuatu yang masih belum tentu. Kau minumlah somthung ini."

Pemuda itu ingin menolak, tapi tubuhnya tak dapat bergerak.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Hian Song menekan dagu Lie It dan lalu menuang somthung kedalam mulut pemuda itu yang sudah terbuka lebar.

Sesudah minum sepoci penuh, Lie It lantas saja mengantuk dan beberapa saat kemudian, segera pulas nyenyak.

Ternyata, karena kuatir pemuda itu terlalu letih, nona Bu sudah menaruh obat tidur kedalam somthung.

Sampai keesokan paginya, barulah Lie It tersadar.

Hari itu Hian Song tidak menyebut-nyebut lagi Bu Cek Thian atau Siangkoan Wan Jie dan ia hanya menemani pemuda itu omong-omong perihal ilmu silat, seni memetik khim, main catur, bersyair dan seni lukis.

Mendengar perundingan-perundingan nona Bu, Lie it merasa sangat kagum dan ditambah dengan cara-cara si- nona yang lemah lembut, perlahan-lahan ia mengubah sikapnya yang kaku dan mulai bicara dengan gembira.

Dengan cepat, tiga hari sudah lewat.

Setiap hari, dengan menggunakan Lweekang yang sangat tinggi, Hian Song membantu pemuda itu dalam usaha mengeluarkan racun dan mengobati lukanya.

---o*dewikz*0*TAH*o---

PADA hari keempat, Lie It sudah bisa duduk.

Karena sudah lama tidak melihat sinar matahari, ia menyingkap tirai kereta dan melongok keluar untuk memandang pemandangan alam yang sangat indah.

Sekonyong-konyong, dari sebelah kejauhan kelihatan mendatangi dua penunggang kuda, dua orang muda, yang satu lelaki dan yang lain perempuan.

Yang lelaki, yang tiba lebih dulu, segera mencegat didepan kereta seraya membentak: "Berhenti! Siapa didalam kereta?"

"Tuan dari kantor mana?" tanya Ma Goan Thong. "Apa kau mempunyai surat perintah untuk mencegat atau menangkap orang?" "Fui! Apa matamu buta!" bentaknya. "Aku adalah rakyat Kerajaan Tong, bukan budak kaizar."

"Aha.........! Dua penolong calon kaizar sudah tiba," kata Hian Song kepada Lie It sambil tersenyum manis.

Lie It mengawasi kedua orang itu, tapi ia tak kenal siapa adanya mereka.

"Kalau kau rakyat biasa, mengapa kau mencegat kami?" tanya Ma Goan thong.

"Orang yang berada dalam keretamu bukan rakyat biasa," kata pemuda itu.

"Bukan urusanmu," kata Ma Goan Thong dengan suara ketus.

"Aku tidak melanggar undang-undang negara. Tak dapat kau mencampuri urusanku." Sambil berkata begitu, ia mencambuk keledainya.

"Aku justeru mau mencampuri!" bentak si-pemuda.

Ia melompat turun dari tunggangannya dan dengan sekali menekan, kedua keledai yang menarik kereta lantas saja berlutut.

Beng Cu tertawa nyaring.

"Tenaganya hebat juga," katanya. "Ma Toasiok, usirlah dia!"

Ma Goan Thong tertawa dingin. "Apa kau mau merampok ditengah hari bolong?" bentaknya seraya menyabet dengan cambuknya.

Pemuda itu ternyata bukan sembarang orang. Sambil berkelit, tangan kanannya sudah mencabut sebatang pedang, sedang tangan kirinya menyambar pergelangan tangan Ma Goan Thong yang memegang cambuk.

Ma Goan Thong jadi gusar, ia mengerahkan Lweekang dan mendorong keras, sehingga pemuda itu mundur beberapa tindak.

Hampir berbareng, ia melompat turun dari kereta seraya berteriak: "Bagus! Mari kita main-main beberapa jurus!"

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, pemuda itu segera menyerang dengan pukulan In-mo-sam-bu (Payung- awan-tiga-kali-menari) yang terdiri dari tiga gerakan, menikam lutut.

Melihat serangan yang hebat itu, buru-buru Ma Goan Thong mengerahkan Lweekang sehingga cambuknya, yang panjangnya setombak lebih, berubah lurus bagaikan toya dan dongan gerakan Poan-liong-jiauw-po (Naga-bertindak), ia memutar senjata itu bagaikan titiran untuk menangkis tikaman2 lawan.

Pemuda itu buru-buru menarik pulang pedangnya dan sambil menggeser kaki, ia coba membabat jari-jari tangan Ma Goan Thong yang mencekal cambuk.

Ma Goan Thong kaget, karena ia tak menduga lawannya dapat bergerak dan mengubah gerakannya sedemikian cepatnya.

Dengan sekali menotol tanah dengan kakinya, ia melompat kebelakang dan kemudian, dengan pukulan Hui-hong-sauw-liu (Angin-puyuh-menyapu-pohon-liu) ia balas menyerang. Karena senjatanya panjang dan scnjata lawan lebih pendek, ia bisa menarik keuntungan dalam hal persenjataan, tapi pemuda itu, yang ternyata bernyali sangat besar, sebaliknya daripada mundur malah melompat maju dan selagi cambuk lewat dibelakangnya, ia membarengi dengan satu tikaman dahsyat. Tapi Ma Goan Thongpun bukan anak kemarin dulu.

Sekali lagi ia melompat mundur, akan kemudian menyerang pula.

Demikianlah, mereka terus serang-menyerang dengan sengitnya.

Sambil menyender dikasur, Lie It mengawasi jalannya pertempuran dengan mata tidak berkesip.

Tiba-tiba ia terkejut, karena ia merasa, bahwa ilmu silat yang digunakan pemuda itu tidak asing lagi baginya. Ia merasa, bahwa ia pernah melihat ilmu pedang yang sangat lihay itu.

Selagi ia coba mengingat-ingat, mendadak Hian Song bicara pada budaknya : "Beng Cu, coba kau pisahkan mereka. Tanya dia, apa dia masih mempunyai sangkutan keluarga dengan Tiangsun Kun Liang."

Lie It tersadar.

Sekarang ia ingat, bahwa kiamhoat itu pernah diperlihatkan oleh Siangkoan Wan Jie.

Wan Jie adalah murid Tiangsun Kun Liang, sehingga pemuda itu memang mestinya mempunyai sangkut-paut dengan orang tua tersebut.

Saat itu Ma Goan Thong tengah menyerang dengan pukulan In-liong-jip-hay (Naga-masuk-kelaut) yang sangat lihay, tapi dengan berani pemuda itu menyerang terus.

Tiba-tiba, karena kurang berhati-hati, pergelangan tangannya terlibat ujung cambuk dan dengan girang, Ma Goan Thong coba membetotnya.

Tapi dia bertenaga besar, dengan sekali mengempos semangat, ia memasang kuda-kuda dan kedua kakinya seperti juga berakar ditanah.

Tapi biarpun badannya tidak bergeming, pergelangan tangannya sakit bukan main, sehingga ia mengertak gigi untuk menahan sakit.

Untuk sejenak kedua belah pihak mengerahkan seluruh Lweekang masing2 sambil saling membetot, dengan pemuda itu per-lahan2 turunkan pedangnya disepanjang badan cambuk untuk memapas jeriji tangan Ma Goan Thong.

Pada detik yang sangat genting, sambil tertawa nyaring Beng Cu melompat. Hampir berbareng, pemudi yang datang bersama-sama pemuda itupun melompat sambil mengayun pedang dan kedua wanita itu hinggap diatas bumi dengan berbareng.......Trang!", cambuk Ma Goan Thong terbabat putus, tapi pedang pemudi itu lalu dipapaki pedang Beng Cu, yang dengan menggunakan ilmu "meminjam tenaga, memukul tenaga", telah berhasil mendorong lawannya, sehingga nona itu sempoyongan.

Sesudah berdiri tetap, ia mengawasi Beng Cu dan berkata dengan suara dingin: "Suruh majikanmu keluar."

"Serdadu melawan serdadu, jenderal melawan jenderal," kata Beng, Cu sambil tertawa. "Jika kau bisa mengalahkan aku, barulah boleh berhadapan dengan Siociaku."

"Baiklah, kau majulah," kata pemudi itu. "Karena aku lebih tua daripadamu, aku mempersilahkan kau menyerang lobih dulu dalam tiga jurus."

"Tahan! Aku tidak pernah bertempur dengan manusia yang tidak ternama," kata budaknya Hian Song. "Pernah apakah kau dengan Tiangsun Kun Liang."

Pemudi itu meluap darahnya.

"Kurang ajar!" bentaknya sambil menuding dengan pedang Ceng-kong-kiam.

"Berani sungguh kau me-nyebut2 nama ayahku. Jika kau berani berlaku kurang ajar lagi, aku akan memberi hajaran keras."

Kedua orang muda itu memang bukan lain daripada Tiangsun Thay dan Tiangsun Pek, putera dan puteri Tiangsun Kun Liang.

Mendengar Kok Sin Ong ingin mengadakan Enghiong Tayhwee dipuncak Kimteng, orang tua itu - yang bersahabat dengan Kok Sin Ong, tapi tidak pernah berhubungan lagi sesudah ia menyingkir kedaerah Kiamkok, segera memerintahkan putera dan puterinya menghadiri pertemuan itu, sebab ia sendiri belum sembuh betul dari lukanya.

Apa mau, kakak-beradik itu datang terlambat dan Enghiong Tayhwee sudah keburu bubar.

Ditengah jalan mereka bertemu dengan beberapa orang yang kabur dan yang memberitahukan mereka, bahwa Enghiong Tayhwee telah diubrak-abrik oleh seorang wanita muda.

Mereka kaget dan heran.

Tapi sebagai anak kerbau yang tak takut harimau, mereka segera mengubar untuk menjajal tenaga dengan Bu Hian Song.

Waktu tiba di Song-liu-koan, dari pengurus sebuah penginapan, mereka mendapat tahu, bahwa dengan menggunakan kereta, Hian Song baru saja lewat dikota kecil itu.

Mereka memastikan, bahwa wanita itu Hian Song adanya karena wanita, yang dilukiskan oleh si-pengurus penginapan, sesuai dengan yang dilukiskan oleh orang- orang yang kabur dari puncak Kim-teng.

Disamping itu, dari ceritera si-pengurus penginapan, mereka juga menarik kesimpulan, bahwa pemuda yang rebah didalam kereta tidak lain daripada Lie It.

Oleh karena itu, mereka segera membedal kuda untuk mengubar.

Dengan semangat bergelora tujuan mereka adalah untuk bertempur dengan Hian Song, tapi diluar dugaan, sebelum nona Bu muncul, Tiangsun Thay sudah disambut oleh seorang yang mengenakan  pakaian petani, sedang Tiangsun Pek dilayani oleh seorang budak cilik yang lagaknya sombong.

Sambil menahan napsu amarahnya, nona Tiangsun berkata dengan suara dingin: "Majulah!"

"Baiklah," kata Beng Cu dan hampir berbareng sehelai sinar merah menyambar. Budaknya Hian Song menggunakan ikat pinggang yang terbuat daripada sutera merah sebagai senjatanya.

"Sungguh cepat!" memuji Tiangsun Pek sambil melompat kebelakang kurang-lebih tiga tombak jauhnya.

Beng Cu menotol tanah dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat kedepan, sedang satu tangannya yang mencekal pedang pendek membuat setengah lingkaran.

"Cres!" pedang itu membabat putus satu cabang pohon, sedang Tiangsun Pek, pada saat terakhir, berhasil menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa cepat itu.

Sesudah kedua serangannya dipunahkan, Beng Cu kaget dan kagum, dan dengan gembira, ia segera mengempos semangat untuk menyerang dengan pukulan simpanannya.

Pukulan itu, yang menggunakan ikat-pinggang dan pedang pendek, berisi dua macam tenaga, yaitu tenaga "lembek" dan tenaga "keras". Melihat serangan hebat itu, Tiangsun Pek mengelakkan sambaran ikat-pinggang lawan dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (Burung- hong-manggut) dan hampir berbareng, dengan kecepatan luar biasa, ia melompat kebelakang Beng Cu.

Tapi budak Hian Song ini rupanya sudah menaksir bahwa lawannya bakal bergerak begitu.

Bagaikan arus listerik cepatnya, ia menarik pulang pedangnya dan lalu menyabet kebelakang.

"Tring !", pantek konde Tiangsun Pek yang menyerupai burung Hong, terbabat putus!. Lie It mengeluarkan keringat dingin.

"Dengan memandang mukaku, kuharap kau jangan melukakan mereka," katanya dengan suara perlahan.

Dilain detik ia ingat, bahwa Hian Song adalah musuh dan mengingat begitu, mukanya lantas saja berubah merah.

Dilain pihak, nona Bu seperti juga tak dengar perkataan Lie lt. Ia terus memperhatikan jalan pertempuran itu tanpa berkesip.

Tiba-tiba ia tertawa nyaring.

"Beng Cu, sekarang kau bertemu dengan tandingan," katanya.

"Ilmu silat si-adik lebih tinggi daripada sang kakak." Bukan main gusarnya Tiangsun Pek.

Sambil membentak, ia menyerang dengan pukulan Tit- cie-thian-lam (Menuding-ke-selatan) dan pedang Ceng- kong-kiam menyambar bagaikan keredepan kilat.

Buru-buru Tiangsun Pek menangkis dengan Hun-ka- kimliang (Memasang-penglari-emas) seraya berkata: "Terima kasih, bahwa kau sudah mengalah dalam tiga jurus. Aku kagum akan ilmu pedangmu."

Perkataan Beng Cu yang keluar dari hati sejujurnya, dianggap sebagai ejekan oleh nona Tiangsun, yang, tanpa menjawab, segera mengirim serangan berantai yang saling susul.

Tiangsun Kun Liang, ayah si-nona, adalah salah seorang diantara tiga ahli pedang kenamaan pada jaman itu. Dua yang lain yalah Kok Sin Ong dan Utie Ciong.

Sebagai seorang yang sangat cerdas, kecuali kalah dalam tenaga, Tiangsun Pek lebih unggul dalam ilmu mengentengkan badan dan kiamhoat daripada kakaknya.

Serangan-serangannya berantai, yang dikirim dengan hati mendongkol, dahsyat luar biasa, sehingga Beng Cu terpaksa melompat mundur.

Tapi nona Tiangsun juga tidak berani memandang enteng lagi lawannya dan sambil memusatkan perhatian, ia menyerang gadis kecil itu.

Sesudah bertempur beberapa jurus, tiba-tiba Beng Cu mengedut ikat-pinggangnya yang lantas saja berubah lurus bagaikan pit dan menyambar seperti anak panah.

Tapi, sebelum ikat pinggang itu mengenai lawan, mendadak ia menyentaknya, sehingga senjata itu kembali berubah lemas dan digunakan seperti cambuk.

Buru-buru Tiangsun Pek melompat kesamping dengan gerakan Hui-niauw-touw-lim(Burung-terbang-masuk- kehutan) sambil mengebas dengan lengan bajunya, sehingga ikat-pinggang itu terpental dan hampir berbareng, dengan pukulan Gioklie-coan-ciam (Dewi- menusukkan-benang-kejarum), pedangnya menyambar jalanan darah Honghu-hiat dipundak Beng Cu.

Tapi budak kecil itu juga liehay sekali. Dengan sekali memutar badan, bagaikan bianglala, ikatpinggangnya bisa menyampok ujung pedang lawan dan dengan membalik tangan, ia menyabet dengan pedangnya, dengan pukulan Sian-jin-hoan-eng (Dewa-menukar- bayangan). Melihat serangan hebat itu, Tiangsun Thay terkesiap dan berseru "Moay-moay, hati-hati!"

Tapi peringatan itu sebenarnya kurang perlu, karena, dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, siadik sudah menyelamatkan diri dengan melompat mundur, akan kemudian maju menyerang pula dengan tidak kurang sengitnya.

Sementara itu, Lie It yang rebah didalam kereta sudah tidak dapat bersabar lagi, karena ia dengar suara bentrokan senjata yang makin lama jadi makin hebat.

Sambil menyingkap tirai, ia mengerahkan tenaga untuk coba bangun dan duduk.

Hian Song tersenyum dan seraya menekan dada pemuda itu, ia berkata: "Empat hari lagi kau sudah boleh berjalan. Perlu apa tergesa-gesa?"

Lie It mendongak dan melihat mata-hari berada ditengah-tengah langit. Tiga kali setiap hari yaitu pagi, tengah-hari dengan sore si-nona mengurutnya sambil mengerahkan Lweekang untuk bantu menyembuhkan lukanya.

Sekarang tiba temponya untuk pengobatan itu.

Begitu tirai kereta terbuka, Tiangsun Thay lantas saja berteriak: "Thianhee jangan kuatir! Tiangsun Thay sengaja datang untuk menolong."

Sambil berteriak, ia melompat dan menerjang kedepan kereta.

Dengan menyenderungkan separuh badannya, Bu Hian Song tersenyum seraya berkata: "Ajaklah adikmu maju bersama-sama. Beng Cu, kau bukan tandingan Tiangsun Siocia. Mundurlah!"

Tapi sebelum budak itu mundur, Tiangsun Pek sudah menyerang dengan pukulan Sin-liong-tiauw-wie (Naga- malaikat-menyabet-dengan-buntutnya), sehingga Beng Cu terpaksa mesti mundur beberapa tindak dan dengan menggunakan kesempatan itu, ia melompat menyusul kakaknya.

Bu Hian Song tertawa manis. "Ilmu pedang ayahmu tersohor dikolong langit," katanya. "Aku merasa girang sekali, bahwa hari ini aku bisa bertemu dengan kalian. Hianheng dan Hianmoay boleh mengeluarkan seantero kepandaian supaya aku bisa tambah pengalaman."

Setibanya didepan kereta, untuk sejenak Tiangsun Thay berdiri terpaku.

Sedikitpun ia tidak nyana, bahwa Bu Hian Song seorang gadis jelita yang masih begitu muda-belia.

Tapi dilain saat, melihat sikap nona Bu yang terang- terang sangat memandang enteng kepadanya, darahnya meluap.

"Turun kau!" bentaknya. "Mari kita jajal-jajal kepandaian!"

"Karena ingin melindungi orang, aku tidak bisa turun," jawabnya. "Hianheng dan Hianmoay boleh maju saja tanpa sungkan-sungkan."

Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Tiangsun Pek melompat dan menikam dengan pedangnya, sedang Tiangsun Thay coba menjambret lengan none Bu untuk diseret turun. Sambil tersenyum, Hian Song memapaki senjata none Tiangsun den begitu kedua senjata itu kebentrok, Tiangsun Pek terhuyung beberapa tindak Dilain pihak, sesudah menangkis senjata lawan, hampir berbareng dan dengan kecepatan kilat, dengan gagang pedang, Hian Song menutuk lengan Tiangsun Thay yang separuh badannya lantas saja kesemutan.

Kakak-beradik itu kaget dan gusar.

Sesudah menarik napas panjang untuk memulihkan aliran darahnya, Tiangsun Thay menyerang lagi sambil berteriak: "Sambutlah!" Dua batang pedang segera menyambar nona Bu seperti arus listerik cepatnya.

Dengan tenang Hian Song menyambut pedang Tiangsun Thay yang lalu didorong kesamping, sehingga pedang Tiangsun Pek yang tengah menyambar dengan dahsyatnya kebentrok dengan senjata kakaknya.

"Trang!" kakak dan adik itu sempoyongan beberapa tindak.

Tiangsun Pek mendeliki kakaknya dan berkata dengan suara perlahan: "Mengapa kau tidak menyerang dengan Kong-ciak-kay-peng (Burung-merak-membuka-tirai)?"

Suara itu yang sangat perlahan rupanya sudah didengar Hian Song yang lantas saya tertawa seraya berkata: "Hianheng dan Hianmoay belum mengeluarkan ilmu yang paling tinggi. Majulah lagi!"

Dengan paras muka merah karena malu, Tiangsun Thay segera mengangkat pula senjatanya dan menyerang dengan Kong-ciak-kay-peng, sedang si- adikpun Iantas saja menikam dengan pukulan Cay-hong- siok-ie (Burung-hong menyisir-bulu). Demikianlah, dalam gerakan burung merak dan burung hong yang sangat indah, kakak dan adik itu menerjang dari kiri dan kanan.

"Bagus!" memuji Hian Song seraya menangkis, sedang tangan kirinya tetap menekan jalanan darah Soan-kie- hiat didada lie It sambil mengerahkan Lweekangnya.

Melihat pertempuran yang hebat itu, Lie It menjadi bingung.

Hian Song tersenyum seraya berkata dengan suara halus: "Kau jangan kuatir. Aku pasti akan memandang mukamu."

Lie It mengerti, bahwa kata-kata itu merupakan janji, bahwa si-nona tidak akan mencelakakan lawannya.

Hatinya lega dan dadanya yang barusan agak menyesak, menjadi lapang kembali.

Dilain pihak, melihat sikap Hian Song terhadap Lie It, kedua saudara itu jadi heran bukan main.

"Apakah Thianhee sudah jatuh dibawah pengaruh kecantikan siluman itu ?" tanya mereka didalam hati.

Kecurigaan itu dan cara-cara nona Bu yang sangat tidak memandang mata kepada mereka, sudah membangkitkan rasa gusar tercampur malu dan mereka lantas saja menyerang dengan pukulan-pukulan yang membinasakan.

Tapi Hian Song tetap melayani dengan ketenangan luar biasa, sedang tangan kirinya terus menempel didada Lie It.

Melihat kecintaan Hian Song terhadap dirinya, mau tidak mau Lie It merasa sangat berterima kasih. Perlahan-lahan, sambil menikmati rasa hangat yang mengalir diseluruh tubuhnya sebagai akibat dari Lweekang si-nona, ia berada dalam keadaan setengah pulas dan tidak memperhatikan lagi pertempuran yang sedang berlangsung.

Kira-kira seminuman teh, ia tersadar dan merasa badannya nyaman.

Karena mendengar suara bentrokan senjata yang sangat hebat, ia membuka kedua matanya dan melihat Tiangsun Thay dan adiknya sedang menyerang bagaikan hujan dan angin.

Hian Song mengangkat tangannya dari dada Lie It dan berkata: "Pengobatan tengah-hari sudah selesai."

Ia berpaling kepada kedua lawannya dan berkata  pula: "Go-bie Kiamhoat benar-benar liehay dan siauwmoay sudah mendapat banyak pelajaran. Sekarang kalian boleh mengaso dan kalau nanti berjumpa dengan ayah kalian, tolong sampaikan hormatku kepada beliau. Kami hendak meneruskan perjalanan dan tak dapat meladeni terus."

Sehabis berkata begitu, sambil mengempos Lweekang, ia menyabet keatas dan "trang!", pedang Tiangsun Thay terbabat putus.

Paras muka pemuda itu lantas saja berubah pucat, sedang adiknya, tanpa mengeluarkan sepatah kata, segera melompat keatas punggung kudanya yang kemudian dikaburkan sekeras-kerasnya.

Tiangsun Thay tertegun sejenak, tapi lekas-lekas  iapun melompat keatas punggung tunggangannya dan lalu menyusul adiknya. ---o^dwkz^0^TAHo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar