Postingan

 
Dilain saat, ia lihat tangan lawannya sudah mencekal selendang sutera yang berwarna merah, sedang semua Touw-hiat-sin-ciam menancap di sutera itu !

"Suheng.....! Lari !" teriak Tok-sian-lie dengan suara

parau.

Hampir berbareng gadis itu menyentak selendangnya dan jarum2 beracun berbalik menyambar kepada kedua memedi itu.

Dengan hati mencelos, Tok-sian-lie melompat tiga tombak tingginya dan semua jarum lewat dibawah kakinya, tapi Ok-heng-cia yang ilmu mengentengkan badannya belum mencapai taraf yang tinggi, sudah coba menolong diri dengan memutar goloknya bagaikan titiran. 

Ia berhasil memukul jatuh hampir semua jarum itu, tapi sehatang Touw-hiat-sin-ciam tidak keburu ditangkis dan menancap dijalanan darah Kiok-jie-hiat, dilengannya.

Sementara itu selagi badannya melayang turun kebawah, Tok-sian-lie sudah menghunus pedang dan menyabet lawannya.

Sinar merah berkelebat, si-memedi bersiul nyaring dan pedang lewat diatasan kepala si-nona.

Wan Jie mengawasi dengan hati ber-debar2.

Ternyata, dalam tempo yang sangat pendek itu, kedua lawan sudah bertempur beberapa gebrakan. Dimata Wan Jie, pedang Tok-sian-lie seperti juga hampir berhasil memapas konde si-nona, tapi se- benar2nya adalah pergelangan tangan memedi itu yang hampir2 digulung selendang.

Diambil keseluruhannya, dalam gebrakan2 itu, si- nonalah yang berada diatas angin.

Ok-heng-cia tahu, bahwa pihaknya berada dalam bahaya.

Buru2 ia mengerahkan ilmu le-kiong Hoan-hiat untuk menahan jalannya jarum Touw-hiat-sin-ciam yang sedang naik keatas dari jalanan darah Kiok-jie-hiat.

Walaupun sangat hebat, selama satu-dua jam racun jarum itu belum mengamuk, sehingga menurut pikiran Ok-heng-cia, sesudah merobohkan si-nona dengan jalan mengerubuti, ia masih keburu minta obat pemunah.

Demikianlah, sambil membentak keras, ia segera menerjang dan membacok dengan goloknya.

"Bagus. !" seru si-jelita.

"Hari ini aku memegang peranan Hok-mo Cuncia untuk menakluki Sian-lie dan Heng-cia." Hampir berbareng selendangnya berkelebat untuk menangkis sambaran pedang Tok-sian-lie.

Melihat terbukanya lowongan, Ok-heng-cia melompat dan menyabet dengan goloknya.

Mendadak...., mendadak.... saja..... berkelebat sinar dingin, sehingga Ok-heng-cia terkesiap dan secepat mungkin menarik pulang goloknya.

"Trang.....!", lelatu api muncrat, lengannya kesemutan, sedang goloknya somplak ! Ternyata, dengan kecepatan luar biasa, sinona telah menghunus pedangnya dan memapaki bacokan golok.

Untung juga, pada waktu gadis itu mengirim tikaman susulan.

Tok-sian-lie keburu melompat dan menangkis, sehingga dia terlolos dari kebinasaan.

Ok-heng-cia jadi kalap bahna gusarnya.

"Hari ini, kita mesti mampuskan perempuan siluman ini !" teriaknya sambil menyerang secara nekat2an.

Ilmu silat Gwa-kee (ilmu silat luar) dari Ok-heng-cia dapat di katakan sudah mencapai puncak kesempurnaan, sehingga watu ia menyerang sambil mengempos semangat, goloknya mengeluarkan suara men-deru2.

Sementara itu, Tok-sian-lie menyerang dengan menggunakan tenaga Im-jiu (tenaga lembek) dan dalam sekejap, sinar golok dan pedang ber-kelebat2 bagaikan kilat diseputar tubuh si-nona.

Siangkoan Wan Jie menonton pertempuran itu sambil menahan napas.

Si-jelita lantas saja mengempos semangat, satu tangan memutar pedang yang turun-naik bagaikan selulup-timbulnya seekor naga ditengah lautan, sedang satu tangan lagi memutar selendang yang berputar-putar ditengah udara seakan-akan berterbangnya burung Hong.

Di serang dengan dua rupa senjata yang menyambar- nyambar dengan Lweekang yang dahsyat, ke dua iblis itu tidak berani datang terlalu dekat. Apa yang lebih luar biasa lagi yalah, si-nona juga menggunakan dua rupa tenaga, yaitu tenaga "keras" dan tenaga "lembek", yang dengan bersatu-padu sudah berhasil menahan majunya kedua iblis itu yang sangat disegani dalam dunia Kong ouw.

Sesudah bertempur beberapa lama, sambil tersenyum si-nona mengempos semangat dan kedua senjatanya lantas saja menyambar-nyambar semakin hebat.

Beberapa saat kemudian, napas Ok-heng-cia mulai tersengal-sengal sedang mukanya berubah pucat, suatu tanda bahwa racun jarum sudah mulai bekerja.

Dalam keadaan begitu, gerakannya jadi terlebih perlahan dan waktu selendang menyambar, ia tidak keburu menarik pulang senjatanya sehingga kena dibetot dan dilontarkan ketengah udara.

Bukan main kagetnya Tok-sianlie.

Dengan nekat ia mengirim serentetan serangan hebat dan tiba2 ia menepuk punggung Ok-heng-cia yang bagaikan layangan putus, terpental beberapa tombak jauhnya.

Siangkoan Wan Jie terkejut, karena ia tidak mengerti, mengapa si-iblis perempuan menghantam Suhengnya.

Dilain detik, Tok-sian-lie melompat dan lari ter-birit2, sesudah lebih dulu melepaskan sejumlah Touw-hiat-sin- ciam.

Sekarang barulah Wan Jie mengerti, bahwa si-iblis perempuan melemparkan Suhengnya supaya Ok-heng- cia bisa lari lebih dulu dan jarum2 beracun itu adalah untuk melindungi larinya mereka. Dengan sekali mengebas, semua Touw-hiat-sin-ciam sudah menancap diselendang merah dan sesudah memasukkan pedangnya kedalam sarung, si-nona dongak dan tertawa nyaring.

Hati Wan Jie meluap dengan kegirangan dan buru2 ia melompat keluar dari belakang pohon tho.

"Ciecie. !" serunya.

"Dalam dunia ini masih terdapat satu raja iblis yang laksaan kali lipat lebih jahat daripada kedua iblis tadi.

Mengapa Ciecie tak mau membunuh raja iblis itu yang mencelakakan dunia ?"

Paras muka nona itu mendadak berubah. "Siauw-moay-cu," katanya dengan suara kaku.

"Apakah kau mau suruh aku menjadi pembunuh gelap

?"

---o~dwkz^0^Tah~o---

IA BERDIAM sejenak dan kemudian berkata pula : "Goan Thong, kemari kau.”

Ma Goan Thong segera mendekati.

"Semalam bekas Thay-cu Lie Hian dibunuh orang !" katanya.

Tubuh gadis itu kelihatan bergemetar. "Apa benar ?" menegasnya. "Coba ceritakan se- terang2-nya.........

Tanpa menghiraukan Wan Jie, nona itu lalu jalan berendeng dengan Ma Goan Thong, sehingga dengan hati tak enak, nona Siangkoan terpaksa mengikuti dari belakang.

Dengan penuh perhatian si-jelita mendengari keterangan Ma Goan Thong yang menceritakan segala kejadian se-terang2nya, mulai dari waktu ia bertemu dengan Wan Jie dan Lie It ditengah jalan sampai diubar Tok-sian-lie dan Ok-heng-cia.

Tanpa merasa, mereka sudah berjalan keluar dari hutan pohon tho.

Siangkoan Wan Jie jadi semakin bingung.

la tak tahu, siapa adanya gadis itu dan mengapa paras mukanya berubah ketika ia menyebutkan soal membunuh Bu Cek Thian.

Tiba2 ia kaget karena ingat sesuatu.

"Ah......! Tiangsun Pehpeh telah memesan, bahwa dalam dunia Kang-ouw yang banyak bahayanya, orang harus ber-hati2 dengan perkataannya," pikirnya.

"Tapi barusan, sebelum tahu dia siapa, aku sudah menganjurkan supaya dia membunuh Bu Cek  Thian.  Ah. ! Aku terlalu semberono."

Tapi dilain saat, hatinya terhibur, karena mengingat, bahwa sesudah menolong jiwanya, nona itu pasti bukan orang jahat dan tidak mempunyai maksud yang kurang baik. Diluar hutan tho itu berdiri sebuah gedung indah yang diputari dengan tembok merah dan didalam pekarangannya yang luas, ditanami banyak pohon bunga.

Sampai disitu, barulah nona itu menengok dan berkata sambil tertawa : "Sesudah kau turut datang, ayolah masuk."

Dengan perlahan nona itu mendorong pintu dan begitu pintu terbuka, ia di sambut oleh seorang budak perempuan kecil yang menanya sambil tertawa : "Apakah Siocia tidak bawa pulang kembang ?"

"Jangan sebut2 lagi," jawabnya seraya tersenyum. "Aku diganggu oleh manusia yang bernama Tok-sian-

lie dan Ok-heng-cia. Kembang2 pada rontok. Apa Jie Ie

belum pulang ?"

"Mungkin tak lama lagi," jawabnya. Alis si-nona berkerut.

"Benar tolol. !" katanya.

"Semalaman suntuk belum cukup untuk ia mengurus pekerjaan yang begitu kecil."

Sehabis mengomel, da mengajak kedua tamunya masuk keruangan tamu dengan kursi-meja yang terbuat dari kayu garu yang sangat mahal harganya.

Disatu sudut ruangan itu terdapat beberapa pot bunga anggrek, sedang ditembok tergantung sebuah lukisan indah yang memperlihatkan seorang dewi cantik dengan pakaian dan ikatan pinggang ber-kibar2 karena ditiup angin. Dalam kesederhanaannya, ruangan itu yang diperlengkapi dengan perabotan dan hiasan mahal, kelihatannya meresapkan sekali.

"Pemilik rumah ini bukan sembarang orang," memuji Wan Jie dalam hatinya.

Sesudah masing2 mengambil tempat duduk, gadis itu berkata kepada Ma Goan Thong : "Kau membawa Siauw- moay-cu datang kemari, tapi apa kau tahu siapa adanya dia ?"

Ma Goan Thong dan Siangkoan Wan Jie saling mengawasi, tanpa menjawab.

Nona itu bersenyum.

"Kakek dan gurunya adalah orang2 yang ternama besar," katanya.

"Kakeknya bukan lain daripada penyair Siangkoan Gie yang tersohor, sedang gurunya adalah Tiangsun Kun Liang yang pernah menjadi Kian-tiam pada jaman Thay- cong Hong-tee."

Wan Jie terkesiap, bagaimana gadis itu bisa tahu asal- usulnya secara begitu jelas?

Ma Goan Thong pun tidak kurang kagetnya. "Ah.    !" dia mengeluarkan seruan tertahan.

"Aku tak tahu.     " Suaranya agak gemetar.

Sambil mengawasi Wan Jie, nona itu tertawa dan berkata lagi: "Sekarang ini, nama Siauw-moay-cu belum terkenal. Tapi dihari kemudian, ia pasti bakal mempunyai nama yang lebih besar daripada gurunya. Menurut pendapatku, pada jaman ini, ia merupakan Cay-lie (wanita pintar) nomor satu yang tiada tandingannya. Ma Goan Thong, hari ini kau telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus."

Siangkoan Wan Jie paling senang jika ilmu suratnya dipuji orang.

Maka itu, hatinya bunga dan lantas saja menganggap sinona sebagai sahabatnya.

Dilain pihak, Ma Goan Thong pun merasa lega. "Wan Jie," kata pula gadis itu.

"Keluargamu adalah keluarga yang termasyhur, sedang kau sendiri pun cerdas luar biasa. Aku merasa pasti kau paham dengan Khim-kie-Me-lwa (main khim, main tio-kie, bersyair dan melukis).”

"Aku hanya mengenal kulitnya pelajaran itu," jawabnya dengan merendahkan diri.

"Bagus," kata si-nona.

"Aku ingin sekali minta kau melukis sebuah gambar." Wan Jie heran.

"Ciecie, gambar apa yang harus dilukis ?" tanyanya.

"Aku ingin kau lukiskan gambarnya dua perwira yang telah membunuh bekas Thaycu Lie Hian," jawabnya.

Wan Jie sebenarnya merasa kurang senang, tapi ia meluluskan juga permintaan orang.

Sesudah mengawasi gambar itu beberapa saat, si- nona lalu menyerahkan kepada Ma Goan Thong. "Aku tak mengerti seni menggambar, tapi kedua bangsat itu dilukiskan secara mirip sekali," kata Ma Goan Thong.

Se-konyong2 diluar terdengar suara tindakan kaki.

"Jie Ie Cie-cie sudah pulang," kata si-budak kecil sambil tersenyum.

"Ia membawa enam orang."

Dari gurunya, Siangkoan Wan Jie pernah belajar ilmu Hok-tee-teng-seng (Sambil mendekam dibumi mendengari suara).

Tapi kalau diganggu dengan lain suara, ia masih belum mampu membedakan jumIah orang yang mendatangi, dengan mendengari suara tindakannya.

Diam2 ia merasa malu, karena kepandaiannya ternyata masih kalah dari seorang budak.

"Suruh Jie Ie saja yang masuk kemari," memerintah si-nona. Tengah menukar pakaian, tiba2 Wan Jie dengar suara orang berkata : "Kami tak tahu sudah berbuat kedosaan apa terhadap Lie-hiap, harap Lie-hiap memaafkan kami." Ia kaget sebab suara orang itu kedengarannya tidak asing lagi. Diam2 ia mengintip dari celah pintu, dan begitu melihat, ia terkejut karena enam orang itu yang sedang berlutut dalam dua baris, adalah tiga rombongan penjahat yang pernah bertemu dengannya ditengah jalan.

Beberapa saat kemudian, dari luar berjalan masuk seorang nona muda yang baru berusia kiras tujuh belas tahun dengan menggendong buntalan di punggungnya dan menyoren golok dipinggangnya, sedang pada  kunnya yang berwarna ungu, terdapat noda darah.

Dari cara memberi hormat dan sikapnya, ia ternyata seorang budak dari si-jelita.

"Apa kau membunuh orang ?" tanya sang majikan. "Tidak," jawabnya.

"Aku teIah menyateroni tiga Shoa-cee (sarang perampok) dan melukakan empat puluh delapan orang, tapi luka itu semua luka enteng. Enam orang, kepala dan wakil kepala dari ketiga Shoa-cee itu, telah ditakluki olehku dengan mempergunakan Tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalanan darah). Sekarang mereka sudah jinak dan mengikut aku datang kemari."

"Hm. ! Untuk pekerjaan yang begitu kecil, kau sudah

menggunakan tempo begitu lama," mengomel si-nona. Si-budak tersenyum dengan sikap ke-malu2an dan kemudian berkata pula : "Aku pun telah menyelidiki didalam kota. Pria dan wanita yang harus diselidiki tidak berada dalam penginapan. Barang2 lelaki itu tidak kedapatan dan aku lalu membawa pulang buntalan si wanita. ini dia !"

Bukan main kagetnya Wan Jie karena ia segera mengenali, bahwa buntalan itu adalah miliknya sendiri.

Sesudah menyambuti buntelan itu dari tangan budaknya, si-nona lalu menyerahkannya kepada Wan Jie.

"Siauw-moay-cu, coba periksa, kalau2 ada yang hilang," katanya.

"Hm. ! kau sudah perlu menukar pakaian.”

Wan Jie tahu, enam kepala penjahat itu akan segera dipanggil masuk.

"Apa ia sengaja mau menyingkirkan aku, supaya bisa bicara dengan leluasa ?" tanyanya didalam hati.

"Siauw-moay-cu, kau boleh menukar pakaian dalam kamar tidurku," kata pula nona itu seraya menuding sebuah pintu. "Disitu ada sisir dan lain2 alat berhias yang boleh digunakan olehmu."

Wan Jie tidak berlaku sungkan2 lagi, karena pakaiannya, memang sudah kotor sekali.

---o~dwkz^0^Tah~o--- "TERIMA KASIH," katanya seraya masuk kekamar itu sambal menenteng buntalannya.

Sesudah mengunci pintu, lapat2 ia dengar si-nona bicara dengan budaknya, disusul dengan suara tertawa.

Sambil membuka buntalan, Wan Jie memikiri sikap nona itu yang sangat aneh, sebentar dingin, sebentar sangat ramah-tamah.

Ia mengambil seperangkat pakaian warna ungu dan selagi menukar pakaian, tiba2 ia dengar suara orang berkata : "Kami tak tahu sudah berbuat kedosaan apa terhadap Lie-hiap. Harap Lie-hiap sudi memabritahukan, supaya kami bisa menghaturkan maaf."

la kaget sebab suara orang itu kedengarannya tidak asing lagi.

Diam2 ia mengintip dari celah pintu dan begitu melihat, ia terkejut karena enam orang itu yang sedang berlutut dalam dua baris, adalah tiga rombongan penjahat yang pernah bertemu dengannya ditengah jalan.

"Kau orang tidak berdosa terhadapku," kata si-nona dengan suara dingin.

"Tapi aku mau tanya, bendera apa yang dikibarkan olehmu ?"

Salah seorang tertawa jengah.

"Ah........! Itu hanyalah kata2 yang biasa

digunakan dalam kalangan Liok-lim (Rimba-hijau, kalangan penjahat)," jawabnya, Wan Jie kenali, bahwa orang itu adalah Lauw Sie yang pernah mencambuk mukanya ditengah jalan.

"Kata2 apa. ?" bentak si-nona.

"Ayo bicara !"

"Paras muka Lauw Sie lantas saja berubah pucat. "Mewakili ..... Langit ...... menjalankan........

menjalankan perbuatan mulia" jawabnya.

Si-nona tertawa nyaring.

Sesaat kemudian, ia berkata pula dengan suara tajam

: "Menindas yang jahat, mengangkat yang lemah, menolong sesama manusia yang perlu ditolong perbuatan2 itulah yang termasuk sebagai perbuatan mulia. Tapi kamu ....... ? Kamu mencelakakan orang baik2, merampok rakyat, membudak pada kaum hartawan jahat dan melakukan lain2 perbuatan terkutuk. Apa itu yang dinamakan mewakili Langit ?"

Keenam penjahat itu saling mengawasi dengan badan bergemetaran.

Beberapa saat kemudian, si-nona itu berpaling kepada budaknya seraya berkata : "Jie le, musnahkan ilmu silat mereka, supaya mereka tidak bisa mencelakakan orang lagi."

Diantara kawan2-nya, Lauw Sie lah yang bernyali paling besar.

Mendengar perkataan nona itu, ia lantas saja berteriak

: "Lie-hiap, aku ingin bicara dulu." "Jie le, tunggu dulu," kata si-nona. "Aku mau dengar apa yang dikatakan olehnya."

"Teguran Lie-hiap memang tepat sekali," kata penjahat itu.

"Tapi kami pun mempunyai kesengsaraan yang tak diketahui orang."

"Apa itu ?" tanya si-nona.

"Untuk bicara terus-terang, kami adalah orang2 yang bersetia kepada Cian-tiauw. Biarpun badan kami berada dalam kalangan Liok-lim, hati kami tetapi bersetia kepada kerajaan yang dulu. Untuk membangunkan kembali kerajaan Tong, kami terpaksa menjadi perampok guna mengumpulkan senjata dan ransum. Kaum hartawan atau pembesar negeri yang mempunyai hubungan dengan kami, juga ingin mengunjuk kesetiaannya kepada Cian-tiauw." (Cian-tiauw berarti Kerajaan yang dulu, yaitu kerajaan Tong yang berada dalam tangan orang she Lie. Waktu itu, banyak orang menganggap Tiongkok sudah dirampas oleh keluarga Bu - Bu Cek Thian).

Sehabis berkata begitu, diam2 Lauw Sie memperhatikan paras muka si-nona.

Pada jaman itu, pembesar2 negeri dan rakyat Tiongkok terbagi jadi dua golongan, yang satu menyokong Bu Cek Thian, yang lain hendak merobohkannya.

Dengan berkata begitu, Lauw Sie se-olah2 seorang penjudi yang telah melempar dadu dan dalam hatinya ia berdoa, agar si-nona berada pada pihaknya. "Mana buktinya ?" tanya nona itu dengan paras tidak berubah.

"Bukti kami tak punya, tapi pada beberapa hari yang lalu, seorang sanak kaizar telah datang disini dan kami telah menyambutnya," jawab Lauw Sie.

"Ia telah berjanji, bahwa pada haraan menggerakkan tentara, ia akan mengangkat kami menjadi Liong-kie touw-wie. Lain bulan, pada malam Bulan Bundar (Cap- go, tanggal limabelas penanggalan Imlek), Lie-hiap boleh pergi kepuncak Go-bie-san untuk menyaksikan sendiri."

"Menyaksikan apa ?" tanya sinona.

"Menyaksikan sanak kaizar itu memimpin Eng-hiong Tay-hwee (perhimpunan besar dari orang2 gagah)" jawabnya

"Sesudah menyaksikankan itu, Lie-hiap akan tahu, bahwa aku tidak berjusta".

"Bukankah sanak kaizar itu bernama Lie It?" tanya pula sinona.

"Benar...!" seru Lauw Sie dengan girang.

"Ternyata, Lie-hiap sendirl sudah tahu urusan ini. la adalah cucu tulen dari Thay-cong Hong-tee.”

Mendengar disebutnya nama Lie It, Siangkoan Wan Jie jadi semakin ketarik dan terus memasang kuping sambil menahan napas.

Tiba-tiba nona itu tertawa nyaring.

"Kudengar Lie It adalah pemuda paling jempolan diantara sanak keluarga kaizar," katanya. "Tapi aku tidak nyana, pemandangannya sama sempitnya seperti pemandangan kawanan manusia seperti kamu, yang menganggap, bahwa negara ini adalah serupa benda yang dimiliki oleh satu keluarga dan orang dari satu she."

Bukan main kagetnya Wan Jie dan semua penjahat itu.

Lauw Sie mengeluarkan seruan tertahan dan berkata dengan suara terputus-putus: "Kau..... kau..... apa... kau penyokong raja iblis yang mencelakakan dunia ?"

Mendadak nona itu tertawa geli.

la menengok kepada Jie Ie seraya berkata : "Sudah ribuan tahun orang lelaki menjadi kaizar dan tak pernah ada manusia yang banyak mulut. Tapi begitu lekas muncul kaizar wanita, mereka lantas saja rewel. Aku sungguh tak mengerti apa sebabnya."

"Kaum lelaki memang biasa memandang rendah pada kaum wanita," kata Jie Ie, "Tapi kenyataannya tidak begitu. Lihat saja mustika2 ini. Kita tidak memandang sebelah mata kepada mereka, biarpun mereka lelaki gagah."

Melihat kawannya membentur tembok, penjahat yang bernama Lie Cit lantas saja memutar haluan.

"Lie-hiap, apa yang sering dikatakan dalam dunia Kangouw memang tepat sekali," katanya.

"Orang sering kata, menjadi kaizar harus bergiliran. Tahun ini kau, lain tahun aku, siapa yang berkepandaian, dia boleh menjadi kaizar, lelaki atau perempuan tiada bedanya.  Aku  sendiri  tidak   menentang   Thian-   houw !”

Si-nona mengeluarkan suara di hidung.

Manusia semacam kau berani mengeluarkan kata2 itu

?" tanyanya dengan suara menghina.

"Mendengar perkataanmu, orang2 gagah dikolong langit bisa mati karena tertawa geli."

la berdiam sejenak dan berkata pula : "Sejumlah manusia merasa senang sekali jika bisa menuduh Thian- houw sebagai orang yang mencelakakan dunia. Tapi mengapa mereka tak mau menyelidiki diantara rakyat dielata ? Dimata rakyat, memang ada orang2 yang mencelakakan sesama manusia, tapi orang itu pasti bukannya Thian-houw !"

"Kami tidak berani berbuat begitu," kata beberapa kepala penjahat itu sambil manggut2-kan kepala.

"Untuk mencelakakan dunia, memang kamu belum mempunyai kemampuan," kata si-nona.

"Tapi tak dapat disangkal lagi, tak sedikit rakyat celaka dalam tanganmu."

Kata2 yang terakhir diucapkan dengan keras, sehingga enam penjahat itu ketakutan setengah mati.

"Mohon Lie-hiap ampuni jiwa kami," mereka meratap. "Aku bersedia untuk mengampuni jiwamu, tapi tak

dapat aku membiarkan kamu berbuat jahat lagi," kata nona itu dengan suara keren.

"Jie Ie. ! Musnahkan ilmu silat mereka !" Sesaat kemudian, dengan jantung memukul keras, Wan Jie mendengar serentetan teriakan menyayatkan hati, sebagai tanda, bahwa budak perempuan itu sedang melakukan perintah majikannya.

Sesudah teriakan2 berhenti, Wan Jie memandang keadaan kamar itu.

Mendadak ia terkesiap.

"Celaka. !" katanya dengan suara ditenggorokan.

"Tadi aku telah menyuruh dia membunuh Bu Cek Thian. !"

Apa yang dilihatnya ?

Sebuah lukisan yang tergantung ditembok dan lukisan itu adalah gambarnya Bu Cek Thian !

Diwaktu kecil, satu-dua kali ia pernah lihat wajah kaizar wanita itu.

Tapi pada masa itu, ia tidak mendapat kesan yang mendalam dan hanya merasa, bahwa Bu Cek Thian adalah seorang wanita "cantik".

Tapi sekarang, dalam gambar itu dia bukan saja melihat kecantikan, tapi juga keangkeran yang tidak dipunyai oleh manusia biasa.

Tanpa merasa ia menghela napas dan berkata dalam hatinya : "Sudahlah....! Dalam penitisan ini, sakit hatiku yang besar tak akan bisa dibalas."

Ditembok seberang juga tergantung sebuah gambar seorang wanita muda yang sedang bersilat dengaa pedang dalam taman bunga, dan pada gambar itu  tertulis syair yang berbunyi seperti berikut : "Sinar bulan gilang gemilang Sinar pedang berkeredepan, Tangan mencekal pedang, Melindungi bunga di taman. Asal sama-sama berbahagia, 'Ku takan menampik capai lelah, Dalam itu mempunyai arti, Negara dalam tangan wanita."

'Ku tak menampik capai lelah,

Dalam bait itu mempunyai arti, Negara dalam tangan wanita.

Dibawah syair itu terdapat pula huruf2 yang berbunyi seperti berikut :

"Keponakan Hian Song paling suka bersilat pedang diantara bunga2. Maka itu, kami memerintahkan Lam Tian melukis gambar ini dan menghadiahkan juga syair ini kepadanya.

Bu Ciauw."

"Ciauw" adalah nama lain dari Bu Cek Thian. Huruf "Ciauw" yang terdiri dari huruf2 "jit" (matahari), "goat" (bulan) dan "kong" (langit), adalah sebuah huruf baru gubahan kaizar itu sendiri.

Dengan demikian pula dengan huruf "Ciauw" diartikan sebagai "mata tahari dan rembulan yang memancarkan sinarnya dilangit."

Dari sini orang dappat me-raba2 sombongnya kaizar wanita itu.

Sesudah membaca syair tersebut, bukan main kagetnya Wan Jie.

Sekarang ia tahu, bahwa nona itu bernama Bu Hian Song, adalah keponakan perempuan Bu Cek Thian.

Dilihat dari syair itu, Lam Tian mungkin sekali seorang pelukis istana, sedang syair tersebut adalah gubahan kaizar wanita itu sendiri.

Dimata Wan Jie, syair itu bukan hasil sastera yang tinggi.

Namun tetapi, mau tak mau, si-nona merasa kagum akan keberanian Bu Cek Thian untuk menciptakan sesuatu yang baru. Wan Jie memandang keadaan kamar itu. Mendadak ia terkesiap, "Celaka... !" katanya dengan suara ditenggorokan"Tadi aku telah menyuruh dia membunuh Bu Cek Thian .......!" Apa yang dilihatnya ? Sebuah Lukisan yang tergantung ditembok dan lukisan itu adalah gambarnya Bu Cek Thian! "

Dalam syair itu ditulis: "Tangan mencekal pedang, melindungi bunga ditaman."

Kata2 "bunga" bukan bunga2 yang biasa, tapi "segala apa yang indah."

Menurut buah kalam penyair2 dulu, "orang yang melindungi bunga" selamanya orang lelaki.

Tapi dalam syairnya Bu Cek Thian, yang melindungi bunga adalah seorang wanita.

Bait "Mencekal pedang melindungi bunga" berarti "mencegah setiap percobaan pemberontakan."

Tak usah dikatakan lagi, nada syair itu adalah nada suara seorang yang berkuasa, sehingga biarpun hatinya sangat membenci.

Siangkoan Wan Jie terpaksa mengagumi kebesarannya kaizar wanita itu.

Dilain saat, nona Siangkoan bergidik dan bangun bulu romanya, karena ia mengerti, bahwa dirinya se-olah2 berada dimulut harimau. Ilmu silat Bu Hian Song, yang tahu asal-usulnya, beberapa ratus kali lipat lebih tinggi daripada dirinya dan ia sekarang sedang berada dalam kamar tidur gadis itu !

Tiba2 diluar kamar terdengar bentakan si-budak perempuan kecil : "Sudah! Ayo keluar !"

Buru2 Wan Jie mengintip lagi dan ia lihat keenam kepala penjahat itu berjalan keluar sambil merintih dengan perlahan.

"Jie Ie," kata Hian Song seraya tertawa. "Sesudah beberapa tahun kau mengikuti aku, hari ini kau telah mengerjakan pekerjaan yang paling menyenangkan hatiku."

Baru habis ia berkata begitu, datang lagi seorang tamu, yaitu seorang perwira, yang begitu bertemu dengan si-nona, lantas saja menekuk lututnya.

"Atas titah Thian-houw, aku datang untuk menengok Sio-cia." katanya dengan suara menghormat.

"Apakah kau orang sebawahan Khu Sin Sun ?" tanya Bu Hian Song.

"Benar," jawabnya.

"Mengapa Khu Sin Sun membunuh bekas Thaycu Lie Hian?" tanya pula si-nona.

"Bangun ! Beritahukan aku se-jelas2nya." Perwira itu terkejut.

"Apa benar ada kejadian begitu ?" ia menegas. "Sedikitpun aku tak tahu."

"Bagaimana keadaan didalam kota?" "Begitu masuk kedalam kota, Khu Tay-ciang-kun segera menutup pintu kota. Aku tak tahu, apa yang terjadi pada waktu itu."

"Selain menutup pintu kota, apa lagi yang dilakukan olehnya ?"

"Mengumpulkan semua perwira. Aku sendiri dipermisikan keluar kota karena mendapat titah Thian- houw untuk menengok Siocia."

"Apa ada perwira yang yang tidak melaporkan diri ?" "Ada dua orang, yaitu Co-kun Touw-wie Thia Bu Ka

dan Sian-heng-khoa Han Eng. Sio-cia, inilah surat  Thian-

houw untukmu."

Si-nona menyambut surat itu, tapi tidak membukanya.

"Bersama kedua budakku, sekarang juga kau harus kembali kedalam kota dan menemui Khu Ciangkun," katanya.

"Khu Ciangkun memang ingin mengundang Sio-cia," kata perwira itu.

"Beritahukanlah kepadanya, bahwa aku akan menemuinya, sesudah membekuk kedua orang itu," kata si-nona.

"Hari ini aku harus segera kembali kekota raja," menerangkan perwira itu.

"Apakah Sio-cia tidak mau menulis surat balasan untuk Thian-houw ? Thian-houw sangat memikiri kau."

"Tidak, aku tak sempat," jawabnya. "Tolong beritahukan Thian-houw, bahwa aku tak ingin datang di-Tiang-an. Baiklah, kau boleh berangkat sekarang."

Sesudah perwira itu dan kedua budak perempuannya berangkat, Bu Hian Song pun lantas turut berjalan keluar. Tapi baru beberapa tindak, ia balik kembali dan mengetuk pintu kamar tidurnya.

Wan Jie terkejut. Sambil mencekel gagang pedang, ia melompat kesamping pintu, siap-sedia untuk bertempur.

Tiba2 terdengar suara tertawa "Siauw-moay-cu," kata nona itu.

"Apa kau sudah menukar pakaian ? Aku mau keluar dulu untuk suatu urusan. Jika suka, kau boleh mengaso dalam kamarku dan tunggulah sampai aku kembali.”

Wan Jie tidak menyahut.

Sesaat kemudian terdengar pula suara nona Bu: "Ma Goan Thong, kau boleh ikut aku."

Kedua orang itu lantas saja berangkat dan sesudah mereka keluar dari pintu, hati Wan Jie baru lega.

Wan Jie membuang napas.

Mengingat kejadian2 yang baru dialaminya, ia se- olah2 baru tersadar dari impian yang menakutkan.

Dengan hati ber-debar2, beberapa pertanyaan berkelebat dalam otaknya.

Bu Hian Song terang2an tahu, bahwa ia bermaksud membunuh Bu Cek Thian.

Tapi mengapa nona itu membiarkan ia berdiam seorang diri didalam gedungnya? "Jika mau, dia bisa membunuh aku seperti orang membalik tangan," pikirnya.

"Apa maksudnya ? Apa ia bermaksud baik atau bermaksud jahat ?"

Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia segera menarik kesimpulan, bahwa biar bagai-manapun jua, jalan yang paling baik adalah meninggalkan gedung itu secepat mungkin.

Maka itu, sesudah berdandan beres, ia segera berjalan keluar dari rumah Bu Hian Song.

Waktu itu mata-hari baru saja muncul disebelah timur dan hawa pagi yang sejuk telah menyegarkan badan Wan Jie yang letih.

Tak lama kemudian, ia masuk kedalam hutan tho yang sedang berkembang, sehingga ia se-olah2 berjalan dibawah lautan bunga.

Sembari berjalan, otaknya bekerja terus. Kemana ia harus pergi ?

Balik ke-Kiam-kok dan hidup mengasingkan diri ?

Pergi kekota raja untuk coba membunuh Bu Cek Thian

?

Kemana ..............

---o^dwkz~0~Tah^o--- KIRA-KIRA sebulan kemudian, pada waktu bulan yang bundar memencarkan sinarnya yang gilang-gemilang, seorang gadis jelita kelihatan sedang mendaki puncak gunung Go-bie-san.

Gadis itu bukan lain daripada Siangkoan Wan Jie.

Sesudah memikir bulak-balik, ia akhirnya mengambil keputusan untuk mendaki Go-bie-san, karena menurut keterangan Lauw Sie, pada Cap-go malam, Lie It akan mengetuai Eng-hiong Tay-hwee (perhimpunan besar orang2 gagah) diatas puncak Kim-teng.

"Go-bie Thian-hee-siu" (Gunung Go-bie merupakan keindahan dikolong langit), demikian dikatakan orang.

Kata2 itu memang tepat sekali, karena gunung tersebut mempunyai pemandangan Alam yang sangat indah.

Dan keindahan Go-bie pada malam terang bulan, sungguh2 sukar dilukiskan.

Dibawah sinar rembulan yang putih bagaikan perak dengan diselimuti awan2 yang bercorak tak henti2-nya, puncak2 yang beraneka-ragam bentuknya seperti juga mengenakan selendang sutera tipis yang me-lambai2 menurut tiupan sang angin, dalam suatu suasana yang damai dan tenang.

Tapi si-nona tak bisa menikmati keindahan itu, karena pikirannya sangat terganggu.

Semenjak berpisahan dengan Lie It, ia selaIu mengingat dan memikiri keselamatan pemuda itu. Sembari berjalan, ia bertanya pada dirinya sendiri : "Apa benar ia datang pada malam ini ? Apa benar ia akan menerbitkan gelombang ?"

Sakit hatinya terhadap Bu Cek Thian mungkin Iebih hebat daripada pemuda itu.

Tapi ia menyangsikan, apakah tindakan Lie It, yang pasti akan meminta banyak korban dan mengucurkan banyak darah, adalah tindakan yang benar.

la tiba di-Go-bie-san kemarin pagi dan selama dua hari, ia berputar2 digunung itu untuk menyelidiki jalanan yang menuju kepuncak Kim-teng.

Dan sekarang, ia sedang naik kepuncak tersebut.

Bulan naik semakin tinggi dan kadang2 kesunyian malam dipecahkan oleh aum harimau atau bunyi kera, tapi sebegitu jauh, ia belum mendengar suara tindakan manusia.

"Apa dia akan datang ? Apa Lauw Sie berjusta ?" Pertanyaan2 itu terus mengganggu pikirannya.

Dalam hati kecilnya, ia sebenarnya lebih senang jika Enghiong Tay-hwee tidak jadi diadakan.

Sesudah melewati Houw-cu-po, Kim-teng, atau Puncak Emas, sudah berada didepan mata.

Pada saat itulah disebuah tanjakan mendadak terlihat berkelebatnya dua bayangan manusia, yang yika dilihat dari gerakannya, bukan Lie It adanya.

"Akhirnya mereka datang juga," kata si-nona dalam hatinya. Ilmu mengentengkan badan kedua orang itu tidak seberapa tinggi dan dengan mengambil jalan mutar, Wan Jie telah mendahului mereka dan tiba lebih dulu dipuncak Kim-teng.

Dengan memperhatikan kedudukan bumi, ia menduga, bahwa perhimpunan para orang gagah itu bakal  diadakan di Thian-lie-peng, sebidang tanah datar yang terletak diatas Kim-teng.

Go-bie-san terdiri dari beberapa gunung, seperti Toa- go, Jiego, Sam-go dan Su-go. Toa-go dan Jie-go ber- hadap2an dan kedudukannya seperti juga sepasang alis (bie).

Kedua gunung inilah yang menyebabkan kelompok gunung2 itu diberi nama Go-bie-san.

Diantara empat gunung itu.

Toago-lah yang paling tinggi dan mempunyai tiga buah puncak, yaitu Kim-teng, Cian-hud-teng dan Ban- hud-teng, sedang diantara tiga puncak itu, Kim-tenglah yang paling tersohor, karena pemandangannya yang indah dan buminya yang agak rata.

Pada puncak itu tumbuh banyak sekali pohon bambu kate dan tanahnya ditutup dengan rumput hijau.

Maka itulah, Thian-lie-peng yang datar-rata merupakan sebuah tempat yang cocok untuk mengadakan perhimpunan.

Begitu tiba disitu, secara kebetulan si-nona menemukan sebuah "rebung batu" (batu yang menjulang keatas seperti rebung) yang berlubang di-tengah2nya dan lubang itu cukup besar untuk menempatkan badannya.

Buru2 ia masuk kedalam lubang tersebut.

Sementara itu, sesudah duduk diatas rumput, kedua orang tadi segera menepuk tangan.

Dari beberapa penjuru segera terdengar balasan tepuk tangan dan tak lama kemudian, tujuh-delapan orang dengan beruntun tiba disitu.

"Gui Sam-ko," kata seorang lelaki berjenggot kepada orang yang datang paling dulu.

"Menurut rencana Eng-hiong-hwee dimulai pada tengah malam. Mengapa Sam-ko minta kami datang setengah jam lebih dulu ?"

"Kudengar dalam perhimpunan ini bakal diangkat seorang Bengcu (ketua perserikatan) baru," jawabnya.

"Hal ini mungkin sudah diketahui kalian."

Setelah tiba di Thian-li-peng, sebuah tempat datar rata yang cocok untuk mengadakan perhimpunan, secara kebetulan Wan Jie menemukan sebuah "rebung batu” (batu yang menjulang keatas seperti rebung) yang belubang di-tengah2nya dan Iubang itu cukup besar untuk menempatkan badannya. Buru2 ia masuk kelubang itu untuk mengumpat. Sementara itu, sesudah duduk diatas rumput, kedua orang tadi segera menepuk tangan. Dari beberapa penjuru segera terdengar balasan tepuk tagan dan tak lama kemudian, tujuh-delapan orang dengan beruntun tiba disitu, mereka duduk membentuk suatu bundaran.

"Menurut paraturan, seorang Beng-cu memangku jabatannya selama sepuluh tahun," kata seorang yang suaranya menyeramkan.

"Kok Sin Ong sudah cukup sepuluh tahun memangku jabatannya sehingga kita memang harus mengangkat Beng-coa baru. Bukankah Gui Sam-ko ingin merundingkan soal pengangkatan itu ? Huh-huh. !

Kurasa soal itu boleh tak usah dirundingkan lagi." "Mengapa ?'' tanya si-jenggot.

"Pada jaman ini, siapakah yang bisa menangkan Kok Sin Ong ?" orang itu balas menanya.

"Menurut pendapatku, biar dia saja yang menduduki lagi kursi Bengcu."

Gui Sam bersenyum.

"Duduknya lagi Kok Sin Ong dalam kursi Beng-cu, sudah pasti tidak akan ditentang oleh siapapun jua," katanya. "Tapi sekarang telah muncul seorang pemuda gagah.

Apakah kalian sudah pernah dengar namanya ?" "Siapa ?"' tanya seorang.

"Lie It !" jawabnya.

Tujuh-delapan orang itu lantas saja ramai bicara. "Siapa Lie It?"

"Aku belum pernah dengar nama begitu."

"Menurut katanya orang, dengan seorang diri ia pernah membereskan pertengkaran antara Giok-liong- san dan Hui-houw-cee."

"Bagaimanakah kejadiannya ? Cobalah ceritakan."

Seorang tua yang turut duduk diatas rumput bangun berdiri dan lalu berkata : "Pada tahun yang lalu, bulan Go-gwee (Bulan Lima), Cee-cu (kepala sarang perampok) Giok-liong-san dan Hui houw-cee telah merampas sejumlah piauw dan karena tak bisa mendapat  kecocokan dalam pembagiannya, mereka jadi bercekcok dan siap-sedia untuk bertempur. Untung juga Lie It keburu datang dan sesudah merobohkan Ciu Cee-cu dari Giok-liongsan serta Hoan Cee-cu dari Hui-houw-cee, ia berhasil mendamaikan pertengkaran itu dan membagi rata piauw rampasan tersebut."

Keterangan itu kelihatannya mengejutkan semua pendengar.

Rupanya kedua Cee-cu itu orang2 ternama dalam kalangan Liok-lim (Rimba Hijau = kalangan penjahat). Tapi sesaat kemudian, seorang berkata begini : "Ah

....! Dengan hanya sebuah contoh, belum tentu Kok Sin Ong dapat ditekan."

Beberapa orang lantas saja manggut2-kan kepalanya, sebagai tanda bahwa mereka menyetujui pendapat itu.

Gui Sam tertawa seraya berkata : "Menekan memang juga tidak bisa. Tapi ada sesuatu yang belum diketahui kalian. Lie It adalah orang yang dipenuju oleh Kok Sin Ong sendiri dan Kok Sin Ong merasa rela untuk membuntuti dari belakangnya."

"Apakah Kok Sin Ong memberitahukan sendiri kepadamu ?" tanya seorang seraya tertawa dingin.

Dalam Rimba Persilatan, Gui Sam tak punya kedudukan tinggi.

Paling banyak ia hanya menduduki tingkat kedua atau ketiga.

Maka itu, memang harus disangsikan, apa Kok Sin Ong, Beng-cu dari perserikatan Rimba Persilatan, sudi bicarakan dengannya soal yang penting itu.

Disamping itu, juga tak mungkin Kok Sin Ong bisa menghargai begitu tinggi seorang pemuda yang baru saja muncul dalam kalangan Kang-ouw.

Dengan demikian, sebagian besar orang2 itu tak percaya keterangan Gui Sam.

"Tentu saja ia tidak bacara sendiri denganku," kata  Gui Sam dengan suara perlahan.

"Yang diberitahukan olehnya adalah Liong Sam Sianseng, muridnya yang paling disayang. Tak lama lagi, Liong Sam Sianseng akan tiba disini dan kalian boleh tanya padanya."

Semua orang tahu, bahwa Gui Sam adalah orang sebawahan Liong Sam Sianseng, sehingga perkataannya itu telah menambah kepercayaan terhadap dirinya.

Selagi orang bersangsi, tiba2 ia berbisik : "Dalam urusan ini terdapat satu rahasia besar !"

Kata selanjutnya dibisiki dikuping orang2 itu.

Sesaat kemudian, paras muka semua orang ber-seri2 dan dengan serentak mereka me-nepuk2 tangan sambil bersorak kegirangan.

"Sesudah kita tahu, tak usah banyak bicara lagi," kata Yo Cee-cu, si-orang tua.

"Sebentar kita be-ramai2 memberi suara untuk Lie Kongcu.”

"Sam-ko," kata orang yang suaranya menyeramkan. "Terima kasih untuk petunjukmu itu. Lie Kongcu bagus

untungnya, ia memang cocok menjadi Beng-cu. Kita pun bernasib baik. Sudah ditakdirkan kita mesti.....ha....ha.   !

mesti naik kedudukan tinggi !" "Tentu saja," kata Gui Sam.

"Sesudah mempunyai Beng-cu seperti Lie Kongcu, kita boleh harapkan baju sulaman !"

Semua orang lantas saja beromong-omong sambil tertawa-tawa dengan hati bunga dan harapan muluk.

Sebagai orang yang cerdik, Wan Jne tahu, bahwa "rahasia" yang disebutkan Gui Sam adalah asal-usul Lie It sebagai sanaknya kaizar. "Jika Lie It Koko tahu, bahwa orang-orang itu menyokong dirinya sebab kedudukannya yang tinggi, belum tentu ia merasa senang.

Selang beberapa saat datang pula seromboagan orang yang dikepalai oleh seorang sasterawan setengah tua yang mengenakan jubah panjang dan mencekal kipas dalam tangannya.

Dari sikap dan gerak geriknya yang bebas, orang itu kelihatannya biasa hidup merdeka, tanpa ikatan.

Begitu melihat dia, semua orang segera bangun berdiri seraya berseru : "Aha......! Liong Sam Sianseng. !"

Gui: Sam sendiri lalu mendekati dan mengucapkan beberapa perkataan dengan perlahan.

Sasterawan itu mangg:ut-manggutkan kepala sambil menyapu semua orang dengan kedua matanya.

"E-eh. ! Mana Cee Sam dan Lie Cit ?" tanyanya.

"Mengapa mereka belum datang ?"

"Siang-siang aku sudah beritahukan mereka," jawab Gui Sam.

"Mungkin sekali ditengah jalan muncul halangan. Tapi jumlah orang yang berada disini sudah cukup banyak, sehingga tidak datangnya beberapa orang tak menjadi soal."

Tak lama kemudian, dengan beruntun-untun tiba pula lain2 rombongan.

Mereka itu rupanya bukan sekaum dengan orang2 yang datang lebih dulu, karena mereka hanya manggutkan kepala sedikit kepada Liong Sam Sianseng dan tidak memperlihatkan penghormatan luar biasa. Menjelang tengah malam, diatas tanah datar itu sudah penuh orang dan sambil menunggu kedatangan Kok Sin Ong, mereka bicara satu sama lain dengan suara perlahan.

Selang beberapa lama lagi, tibalah tengah malam dan sang rembulan berada diatasan kepala.

Tiba2 disebelah kejauhan terdengar siulan nyaring dan semua orang berdiri serentak.

Suara itu terdengar ditempat yang jauhnya beberapa li, tapi dilain saat, berbareng dengan berhentinya suara tersebut, diatas tanah lapang itu sudah, berdiri dua orang lain, satu tua dan satu muda.

Yang tua Kok Sin Ong, sedang yang muda bukan lain daripada Lie It.

"Beng-cu Ban-swee !" seru para hadiri sambil membuka sebuah jalanan.

Bersama Lie It, Kok Sin Ong lalu berjalan ketengahtengah lapang.

Wan Jie mengawasi dengan hati berdebar-debar.

Sesudah mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat, Kok Sin Ong berkata dengan suara nyaring : "Terlebih dulu aku ingin meminta maaf karena kalian harus menunggu lama sekali. Sekarang ijinkanlah aku memperkenalkan seorang eng-hiong muda."

Lie It lantas saja memberi hormat.

"Eng-hiong muda ini adalah murid Pat-pie Lo-cia (Lo Cia berlengan delapan) Utie Ciong. Ia she Lie bernama It. Belum cukup setahun ia ber-kelana dalam dunia Kang- ouw, namanya sudah menggetarkan Rimba Persilatan. Lo-hu sudah hidup sekian puluh tahun, tapi belum pernah bertemu dengan orang gagah yang seperti dia."

Perkataan Kok Sin Ong itu disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai.

Wan Jie yang bermata celi segera lihat, bahwa mereka yang bersorak-sorai adalan kawan2 Liong Sam Siangseng.

Diantara tepuk tangan dan sorakkan, terdapat banyak orang yang bicara dengan bisik2.

Orang2 yang hadir dalam pertemuan itu terdiri dari beberapa golongan.

Ada jago2 Liok-lim, ada pentolan2 Rimba Persilatan, pendekar2 berbagai partai persilatan, para perwira tentara kerajaan Tong yang telah berhenti karena tidak menyetujui duduknya Bu Cek Thian sebagai kaizar dan orang2 yang sengaja datang untuk merebut kedudukan Bengcu.

Diantara mereka itu ada beherapa orang yang tahu, bahwa Kok Sin Ong adalah saudara augkat U-tie Ciong.

Maka itulah, mereka menganggap, bahwa dengan mendorong Lie It, Kok Sin Ong sengaja ingin mengangkat keponakan muridnya.

---o^dwkz~0^tah~o--- SAMBIL mencekel tangan Lie It, Kok Sin Ong mengawasi para hadirin dan sesudah sorak-sorai mereda, ia berkata pula dengan suara perlahan : "Pada sepuluh tahun yang lalu, saudara2 telah mengangkat aku sebagai Beng-cu. Aku merasa sangat malu, bahwa selama sepuluh tahun ini, aku tidak mampu berbuat apa2 untuk kebaikannya perserikatan kita. Sekarang, sesudah masa jabatanku berakhir, memang sepantasnya saja, jika lo- hu, seorang tua yang tak punya guna lagi, menyerahkan kedudukan ini kepada orang yang lebih pandai. Pada masa ini, dikolong langit sedang muncul banyak sekali soal sulit, sehingga menurut hematku, kursi Beng cu , haruslah diduduki oleh seorang muda yang kuat dan bijaksana. Pada Bulan kelima tahun yang lalu, Saudara Lie It telah membereskan pertengkaran antara Giok- liong-san dan Hui-houw-cee, sedang dalam bulan Chia- gwee (Bulan Pertama) tahun ini, ia telah merubah dua jago dari istana kaizar dan berhasil menolong Bok Cee-cu dari Cek-cio-kong. Dua pekerjaan besar itu yang telah dilakukannya, mungkin sekali sudah didengar juga oleh Saudara2. Disamping itu, Saudara Lie juga mempunyai pengetahuan tinggi dalam ilmu surat, ia pernah memahami kitab-kitab ilmu perang dan didalam hatinya terdapat angan2 yang sangat besar. Aku berpendapat bahwa ia adalah seorang yang paling-cocok untuk memimpin orang2 gagah dalam kalangan Kang-ouw guna melakukan sebuah pekerjaan besar yang akan menggetarkan seluruh dunia. Orang sering kata, Seorang pandai tidak perlu berusia tua, seorang bodoh akan tetap tolol biarpun ia sudah mencapai usia seratus tahun. Lie Hian-tee adalah seorang pemuda Bun-bu-songcoan (pandai ilmu surat dan ilmu perang), pintar, cerdas, bijaksana dan mulia. Dengan memberanikan hati, lo-hu ingin mengusulkan supaya la menggantikan aku sebagai Beng-cu dalam perserikatan kita ini."

Keterangan Kok Sin Ong itu mendapat macam2 sambutan.

Liong Sam Sian-seng dan kawan-kawannya tentu saja segera menyetujui sambil bertepuk tangan, tapi hadirin lainnya lantas saja saling mengutarakan pendapat antara mereka sendiri, hanya untuk sementara, dengan memandang muka Kok Sin Ong, belum ada orang yang menentang secara terang-terangan.

Dapat dimengerti, jika jago2 itu merasa tidak rela untuk dipimpin oleh seorang muda yang baru saja menceburkan diri kedalam Rimba Persilatan.

"Saudara2 sekalian boleh ajukan pendapat secara bebas," kata Kok Sin Ong.

Undangan itu disambut oleh Beng Ciu Goan, seorang chungcu dari kota Wie-shia, dipropinsi Holam, yang lantas bangun berdiri dan berkata dengan suara nyaring : "Kedudukan Beng-cu adalah kedudukan yang sangat penting dan yang harus dirundingkan dengan saksama. Saudara Lie belum dikenal oleh banyak orang, antaranya lo-hu sendiri. Maka itu, bolehkah lo-hu minta supaya ia memperlihatkan salah satu kepandaiannya supaya kita semua bisa menambah pengetahuan ?"

Menurut kebiasaan, seseorang yang baru menghadiri Eng-hiong Tay-hwee, kecuali yang sudah punya nama besar dan disegani, memang sering dijajal dan dalam percobaan itu, siapapun boleh mengambil bagian.

Bahwa Beng Ciu Goan hanya meminta Lie It mengeluarkan kepandaiannya, sudah merupakan bukti, bahwa ia berlaku sungkan dan memandang muka Kok Sin Ong.

Liong Sam Sianseng merasa sangat mendongkol tapi ia tak dapat mengatakan apa2.

"Lau-tee coba-lah kau memperlihatkan sejurus dua jurus," kata Kok Sin Ong.

Lie It bersenyum seraya berkata : "Aku adalah seorang yang tidak mempunyai kemampuan apa2, sehingga aku merasa sangat jengah mendengar pujian begitu tinggi dari Kok-Lo-cian-pwe. Mengenai kedudukan Beng-cu, benar2 aku tidak bisa menerima. Dengan adanya perintah dari orang yang lebih tua, aku tidak dapat menampik dan biarlah, dengan menggunakan kesempatan ini, aku mempersembahkan kebodohanku dan meminta pelajaran dari para Cian-pwee serta saudara2. Hanya mungkin sekali, apa yang diperlihatkan olehku tidak ada harganya untuk dilihat."

Sehabis berkata begitu, ia membungkuk dan mencabut secekal rumput yang lalu digunting ujung pangkalnya dengan menggunakan dua jari tangan, sehingga apa yang dipegangnya yalah batang2 rumput yang panjangnya kira2 lima dim.

Para hadirin menyaksikan tanpa memberi sambutan.

Menggunting rumput dengan jari tangan memang merupakan kekuatan Lweekang yang tinggi, tapi tidak luar biasa. Lie It kemnali tersenyum dan mendongak mengawasi ketempat jauh.

Beberapa orang turut mendongak untuk mengetahui, apa yang sedang dipandang oleh pemuda itu.

"Apakah saudara kecil itu belum pernah melihat Hud- teng ?” tanya seorang seraya tertawa.

"Hud-teng" (Lampu Buddha) adalah sebuah pemandangan luar biasa digunung Go-bie-san.

Dalam gunung itu terdapat banyak sekak pospor yang mengeluarkan sinar terang diwaktu malam dan biasa dinamakan "Kwie-hwee" (Api-setan) dan dalam bahasa yang lebih halus, dikenal sebagai "Hud-teng".

Waktu baru muncul, Hud-teng itu merupakan binatang2 kecil yang dengan berkelip-kelip, masuk kedalam lembah2 yang tertutup kabut.

Hud-teng itu semakin lama jadi semakin banyak dan seluruh gunung seolah-olah ditaburi dengan binatang2.

Beberapa saat kemudian, beberapa puluh Hud-teng melayang mendatangi kearah tanah lapang dimana para orang gagah sedang berkumpul.

Api pospor itu mengandung racun dan biarpun tidak berbahaya, siapa yang kena jadi berabe.

Maka itulah, jika bertemu Hud-teng, orang selalu menyingkir jauh2 dan kebiasaan ini dinamakan "Keng Hud" atau menghormati Buddha.

Melihat kedatangannya puluhan Hud-teng, semua orang terkejut. Meskipun benar mereka bisa menyingkirkan diri, akan tetapi, karena pertemuan belum berakhir, dimana mereka bisa mencari tempat yang begitu bagus ?

Lie It tersenyum seraya berkata : "Pemandangan itu memang sangat luar biasa, tapi lebih baik kita mengantarkan mereka pulang."

Hampir berbareng dengan perkataannya, ia mengayun tangan dan bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya, batang-batang rumput menyambar Hud-teng yang lantas saja menjadi hancur dan buyar ditengah udara.

Sorak-sorai bergemuruh, kali ini bukan saja Liong Sam Sianseng dan kawan-kawannya, tapi juga orang-orang dari lain golongan.

Hud-teng yang berterbangan itu saja sudah merupakan sasaran yang tidak mudah.

Dengan menggunakaa batang-batang rumput yang enteng-lemas, tapi sudah berhasil menghancurkan api2 pospor itu, dapatlah orang membayangkan betapa hebat Lweekang yang digunakan Lie It.

"Bagus... !" memuji Kok Sin Ong.

"Sungguh indah pukulan Cek-yap Hui-hoa itu!, Lie Hiantit, biarlah lo-hu memberi sedikit bantuan kepadamu." Seraya berkata begitu, ia mengebas dengan tangan bajunya yang lantas saja mengeluarkan kesiuran angin dahsyat, sehingga sisa Hud-teng yang masih ketinggalan tertiup buyar sama-sekali.

Kok Sin Ong mendapat nama besar dalam Rimba Persllatan karena memiliki tiga rupa ilmu yang sangat lihay, yaitu ilmu silat Thong-pie-kun, pukulan Kim kong- ciang dan ilmu pedang Liap-in-kiam. Kebiasannya yang barusan dilakukan dengan menggunakan tenaga Kim- kong-ciang.

Sesudah mengebas, ia tertawa terbahak-bahak: "Saudara-saudara, sesudah Lie Hiantit memperlihatkan kepandaiannya, kurasa, usulku supaya dia menggantikan kedudukanku sebagai Beng-cu tidak bisa dikatakan memilih kasih," katanya dengan paras muka berseri-seri.

"Kok Beng-cu, pendapatmu memang tepat sekali," kata Beng Ciu Goan secara laki-laki.

"Apa yang diperlihatkan oleh Saudara Lie memang sangat mengagumkan."

Kata2 orang tua itu kembali mendapat sambutan tepuk tangan yang hangat.

Pada waktu itu, sebagian besar dari orang-orang yang hadir sudah menyetujui untuk mengangkat Lie It sebagai Beng-cu.

---o0o--

TAPI DILUAR DUGAAN, baru saja tepuk tangan mereda, seorang lelaki yang bertubuh tinggi-besar tiba- tiba melompat bangun. "Ilmu melepaskan senjata rahasia dari Saudara Lie, memang cukup tinggi'', katanya dengan suara nyaring seperti genta.

"Tapi maaf, aku belum merasa takluk sebelum menjajal ilmu silatnya.”

Orang yang menantang adalah Cee-cu dari Im-ma- coan, propinsi Shoa-tang yang bernama Hong Kie Teng.

Dengan tubuhnya yang tinggi-besar, ia beridiri ditengah-tengah lapangan bagaikan satu pagoda besi.

Mendadak terdengar suara tertawa yang membangunkan bulu roma.

"Benar," kata orang itu.

"Menjadi Beng-cu memang bukan gampang. Gembira juga bila kita bisa menyaksikan sedikit keramaian pada malam yang sunyi ini."

Didengar dari nada suaranya, ia bukan saja memandang enteng kepada Hiong Kie Teng. tapi juga tidak merasa takIuk terhadap Lie It.

Kok Sin Ong terkejut dan menyapu seluruh lapangan dengan matanya yang tajam, tapi ia tak bisa cari orang yang mengucapkan perkataan itu.

Ia memaksakan diri untuk tertawa seraya berkata : "Benar sekali perkataan sahabat itu. Dalam Eng-hiong Tay-hwee semua orang merdeka untuk menjajal kepandaian. Lie Hiantit, cobalah kau layani Hiong Cee-cu beberapa jurus. Hiong Cee-cu bergelar Say-goan-pa dan pentolan dalam ilmu silat Gwa-kee."

Dengan berkata begitu, ia ingin memperingatkan supaya Lie It berlaku lebih hati-hati. Sementara itu, Hiong Kie Teng sendiri sudah melompat keatas satu batu yang sangat besar.

"Saudara Lie, mari naik keatas batu ini," ia mengundang.

"Baiklah," jawabnya sambil menggerakkan kedua kakinya.

Gerakan kaki itu sangat luar biasa, karena, tanpa melompat seperti yang lazimnya diperbuat oleh ahli-ahli silat, tahu-tahu ia sudah berdiri diatas batu itu.

Hanya ada beberapa orang yang mengerti, hahwa ia "melompat" dengan menggunakan ilmu Leng-kong-po, semacam ilmu mengentengkan badan yang istimewa.

Lie It bukan seorang kate, tapi dibandingkan dengan Hiong Kie Teng, tingginya hanya sepundak raksasa itu.

"Mari kita menjajal tenaga diatas batu ini," kata si- raksasa sambil menundukkan kepalanya.

"Siapa yang jatuh kebawah, dialah yang kalah. Apa kau setuju ?"

Lie It tertawa geli.

"Manusia tolol ini ada juga pintarnya”, katanya didalam hati. Lebarnya batu itu hanya beberapa kaki persegi, sehingga biarpun Lie It memiliki ilmu silat dan ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, ia tak dapat mengeluarkan kepandaiannya ditempat yang sempit itu, sehingga orang yang bertenaga besarlah yang dapat mearik keuntungan.

Melihat lawannya tidak lantas menjawab, Hiong Kie Teng tertawa terbahak-bahak. "Mengapa kau tak menyahut ?" tanyanya.

"Jangan takut. Aku mempunyai obat mustajab untuk mengobati luka dan menyambung tulang."

Pemuda itu bersenyum. "Saling tumbuk secara kasar- biadab ada apa menariknya ?" tanyanya.

"Kau salah. !" teriak Hiong Kie Teng.

"Caraku ini barulah benar-benar mengadu tenaga." "Mengadu tenaga tak perlu saling pukul," kata pula Lie It.

Paras muka raksasa itu jadi merah-padam, karena gusarnya.

"Habis apa yang kau mau ?" bentaknya.

"Kau boleh pukul aku lebih dulu tiga kali dan aku tidak akan membalas," jawabnya.

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar