Pendekar Aneh (Lie Tee Kie Eng) Jilid 01

 
"Kiam-kok-kay-thian-hiam awas pedang !" 
"Toan-pek-ciap-ceng-thian sungguh luar biasa !"
"Hui-niauw-hui-lan-kwee bagus ! Bagus tindakan itu !" 
"Tee-tauw-bong-san-kok ~ Pek-in-kak-bee-hian
"Ha-ha-ha ! Sambut pedangku !" 
"Hi-hi-hi ! Jagalah !"

Teriakan2 itu adalah teriakan dua orang kakak- beradik. Sang kakak lelaki bernama Tiangsun Thay, si- adik perempuan Tiangsun Pek, Mereka sedang berlatih ilmu silat pedang.

Jika anda berada disitu dan menyaksikan latihan mereka, anda pasti akan ter-heran2 dan menahan napas.

Mengapa ?

Karena mereka berlatih diatas "Can-to" yang terkenal berbahaya di wilayah Siok (propinsi Sucoan). Orang kata: Siok-to-lan, Lan-ie-siang-ceng-thian, Jalanan diwilayah Siok sangat sukar, sukarnya bagaikan naik kelangit.

Dan "Can-to" di-Kiamkok adalah jalanan yang paling sukar dan paling berbahaya.

Apa itu "Can-to" ?

"Can-to" adalah jalanan kecil yang ber-liku2 seperti usus kambing, yang dibuat disepanjang pinggiran gunung yang curam. Di-tempat2 dimana tak dapat di- buat lagi jalanan biasa, orang lalu memahat batu2 karang yang terjal dan memasang pagar diatas tihang2 kayu untuk membuat semacam jembatan yang tergantung ditengah udara.

Kadang2 jalanan itu merupakan tangga batu dengan ribuan undakan.

Itulah "Can-to", jalanan yang tersohor karena berbahayanya, didaerah Su-coan.

Dulu, pada jaman perebutan kekuasaan antara negeri Couw dan negeri Han, Lauw Pang (pendiri kerajaan Han) telah menggunakan tipunya Han Sin untuk memperbaiki "Can-to" dan diam2 menyeberang Tinchong, Couwpa- ong yang tidak percaya, bahwa "Can-to" dapat diperbaiki oleh Lauw Pang, kena diselomot.

la sama-sekali tidak menduga, bahwa musuhnya sudah menyeberang dari Tinchong. Pada akhirnya, Couw-pa-ong yang terkenal gagah-perkasa binasa dengan menggorok lehernya sendiri di-Ouwkiang. Dan contoh ini dapat dilihat, bahwa "Can-to" adalah jalanan yang benar2 berbahaya.

Kedua saudara itu berlatih diatas "Can-to" sambil ber- sendagurau.

Dengan kelincahan kera, mereka melompat kian- kemari sambil menyerang atau menangkis dengan senjata mereka. Salah setindak saja, mereka pasti akan tergelincir dan binasa dijurang yang sangat dalam.

Latihan pedang serupa itu sungguh jarang terlihat dalam Rimba Persilatan. Akan tetapi, didekat mereka terdapat seorang gadis kecil yang duduk diatas batu besar sambil membaca sejilid buku syair. la membaca dengan penuh perhatian dan tak pernah menengok kearah pemuda-pemudi itu yang tengah mengadu pedang.

Nona itu yang baru berusia kira2 empat-belas atau lima-belas tahun, bertubuh langsing dan berparas cantik. la terus membaca sambil menunduk dan hanya kadang2, kapan kedua kakak-beradik berteriak terlalu keras, barulah ia berhenti dan mengawasinya.

Sesudah bertanding kurang-lebih limapuluh jurus, sang kakak perlahan berada diatas angin dan si-adik mulai repot melayaninya.

"Wan Jie !" teriak Tiangsun Pek. "Mengapa kau tak mau membantu ?"

"Awas !" seru Tiangsun Thay.

”Inilah Pek-hong-koan-jit (Bianglala putih menembus mata-hari). Hati2 ! Kau bisa luka."

Dalam suatu gerakan indah, sambil mengegos si-nona menangkis dengan pukulan Hui-hong-bu-liu (Angin meniup pohon liu).

"Wan Jie !" teriaknya pula.

"Kalau kau tidak membantu, hari ini aku roboh ditangan Koko ( kakak)."

Si-gadis cilik hanya tersenyum, ia terus membaca. Tiangsun Pek tertawa nyaring.

"Setan kecil ! Tak kena diakali" katanya.

Gadis kecil itu adalah seorang she Siangkoan bernama Wan Jie. Mendengar perkataan Tiangsun Pek, ia pun tertawa seraya berkata : "Ciecie, aku sedang mempelajari syair. Maaf, hari ini ku tak bisa menemani kau."

la sudah dapat menebak, bahwa Tiangsun Pek sengaja berlagak kalah, supaya ia turun tangan.

Hui-hong-bu-liu yang barusan, di digunakannya secara begitu indah, merupakan bukti, bahwa kepandaian Tiangsun Pek tidak berada disebelah bawah kakaknya.

Beberapa saat kemudian, sambil tertawa kakak- beradik ini menghentikan latihan dan lalu melompat turun dari atas "Can-to".

"Moay-moay, kau sungguh rajin, setiap hari tak henti2-nya mempelajari syair," kata Tiangsun Pek sambil tertawa.

"Beberapa tahun lagi. Ong, Yo, Louw, Lok, empat penyair besar, akan menunduk dihadapanmu." Yang dimaksudkan si-nona adalah Ong Poh, Yo Ciong, Louw Tiauw Lin dan Lok Pin Ong, yaitu empat penyair tersohor dijaman kerajaan Tong dan mereka dijuluki sebagai "Su- kiat" (Empat orang gagah).

Wan Jie tersenyum.

"Menurut pendapatku, diantara Su-kiat, hanya Ong Po seorang yang benar2 pandai. Tiga yang lain tidak seberapa, apa lagi Lok Pin Ong yang sangat rewel. Aku lebih menyukai tajuk rencananya daripada syair atau sajaknya."

Tiangsun Pek tertawa nyaring. "Aduh, sombongnya !" ia mengejek. "Aku dengar kaizar wanita yang sekarang duduk ditakhta, akan mengadakan ujian untuk kaum wanita. Dilihat gelagatnya, gelar Cong-goan wanita pertama tak akan terlolos dari tanganmu."

Siangkoan Wan Jie tak menjawab, ia hanya tersenyum.

"Pek-moay," menyeletuk Tiangsun Thay.

"Kau salah. Dengan berkata begitu, kau se-olah2 memandang rendah Wan Jie."

Si-nona kelihatan kaget dan di-lain saat, ia kembali tertawa nyaring.

"Benar," katanya. "Dalam dunia ini, siapa yang mempunyai kepandaian cukup tinggi untuk menjadi penguji Wan Jie kita ?”

”Hm ....!? jika benar diadakan ujian untuk kaum wanita, paling sedikitnya Wan Jie harus duduk dikursi penguji.”

"Benar !"

"Mana boleh ia menundukkan kepala sebagai seorang yang diuji ?"

"Menurut pendengaranku, pada waktu Siangkoan Pehbo melahirkanmu, ia mimpi bertemu dengan Thian- sin (Malaikat dari langit) yang menghadiahkannya sebatang penggaris batu giok dan satu timbangan besar," kata Tiangsun Thay.

"Dengan demikian, tangan kirimu mencekal penggaris dan tangan kanan memegang timbangan. Lihatlah ! Bukankah Langit sudah menetapkan, bahwa dikemudian hari, kau bakal jadi penguji dari para cerdik pandai dalam dunia !"

Paras si-nona kecil lantas saja berubah. "Sudahlah ! Kau jangan mengejek," bentaknya.

"Andai-kata aku mempunyai keinginan untuk menjadi penguji para cerdik pandai!, kutak kesudian menjadi Ko- khoa (pembesar yang mengepalai ujian) dari Bu Cek Thian!"

Tiangsun Thay jadi jengah, "Benar," katanya.

”Hm.....! Bu Cek Thian mengaku sebagai Cinbeng Thian-cu (Anak Allah, atau kaizar, yang memerintah atas firman Allah), tapi se-benarnya, ada satu iblis perempuan yang telah merampas takhta kerajaan.”

”Baiklah. Kita jangan me-nyebut2 lagi.”

"Wan Jie, bolehkah aku mendengar syair yang paling belakang digubah olehmu ?"

Si-nona lalu menaruh bungkusannya diatas batu dan menghafal sebuah syair dengan suara perlahan :

Ditelaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, Kuingat ia yang terpisah jauh berlaksa Ii,

Kabut tebal, memakai selimut masih terasa dingin,

Bulan doyong, di belakang sekosol tiada bayangannya lagi.

Kuingin menabuh lagu dari Kanglam, Kuingin membaca syair Hopak utara.

Kitab syair bebas dari maksud lain yang mendalam, Ku hanya bersedih karena sudah lama berpisah Ia menghafal syair itu dengan suara terharu, karena syair tersebut adalah syair percintaan yang diliputi kedukaan se-olah2 seseorang sedang memikiri kekasihnya yang berada ditempat jauh.

Tiangsun Thay agak terkejut.

"Ketika datang, ia baru berusia tujuh tahun," katanya didalam hati.

"Tahu apa, anak tujuh-tahun? Sekarang ia berusia empat-belas tahun, tapi gadis empat-belas tahun tak mungkin mempunyai rahasia hati seperti yang barusan diucapkannya."

"Bagus..... ! Sungguh bagus syair itu ......!'' memuji Tiangsun Pek: "Tapi ada satu hal yang kakakmu kurang begitu mengerti dan ingin meminta sedikit penjelasan."

"Apa itu ?" tanya si-nona.

"Ditelaga Tong-teng daun2 baru rontok ditiup angin, kuingat ia yang terpisah jauh berlaksa Ii," mengulangi Tiangsun Pek.

"Entah pemuda mana yang sudah beruntung sehingga dibuat ingatan oleh adikku yang cantik-manis !"

Siangkoan Wan Jie, tertawa ter-pingkal2.

"Ciecie, lidahmu sungguh tajam !" katanya sambil ber- jingkrak2.

"Pandai sungguh kau mengejek orang.”

”Aku hanya memetik riwayat Siangkun Siang Hujin (nyonya Siang) yang diliputi kedukaan karena memikiri Kaizar Sun.” Kaizar Sun adalah seorang Kaizar dijaman purba (2255-2207 sebelum Masehi) yang terkenal arif bijaksana. Satu waktu ketika membuat perjalanan kedaerah selatan, ia wafat di Chong-go, sebuah gunung yang terletak dalam propinsi Ouw-lam.

Wafatnya itu mendukakan sangat seorang selirnya, yaitu Siangkun Siang Hujin yang telah menangis sehingga mengeluarkan air mata darah dan air mata itu telah menodai pohon bambu, yang kemudian diberi  nama Siang-huitiok (Bambu Siang-hui, Hui berarti selir kaizar).

Sebagaimana telah dinyatakannya, Siangkoan Wan Jie menggubah syairnya berdasarkan sejarah itu.

Akan tetapi, Tiangsun Thay masih juga tidak merasa puas.

"Siapa yang dipikiri Wan Jie ?" tanyanya didalam hati berulang."

Nona Tiangsun tertawa geli.

"Ku tak nyana syairmu begitu berbelit, lebih berbelit daripada kiamhoat (ilmu silat pedang)”.

”Sudahlah.......! Otakku tumpul, ku tak berani lagi omong2 tentang syair denganmu. Mari !”

"Hari ini kau harus berlatih."

Tiangsun Thay heran mendengar syair itu, tapi Siangkoan Wan Jie pun tak kurang herannya karena selalu didesak untuk belajar silat.

---odw*kz0Tah*o--- "Mereka bukan tidak tahu, bahwa aku senang dengan sastera dan tidak suka belajar silat," katanya didalam hati.

"Tapi mengapa mereka selalu mendesak supaya aku belajar ilmu silat ?"

Dengan munculnya perasaan heran itu, ia lantas saja ingat kejadian selama tujuh tahun yang lampau dan rasa curiganya jadi semakin bertambah.

Kakek dan ayah Siangkoan Wan Jie pernah menjabat pangkat tinggi dalam kerajaan Tong. Pada suatu hari, waktu ia berusia tujuh tahun, seorang bujang tua yang bernama Ong An dan babu teteknya telah membawanya keluar kota raja kerumah keluarga Tiangsun. Setibanya disitu, baru mereka memberitahukan, bahwa kakek, ayah dan ibu-nya sudah meninggal dunia dan bahwa mulai dari sekarang, ia harus berdiam dirumah Tiangsun Pehpeh (paman Tiangsun).

Semasa hidup, kakeknya, Siangkoan Gie, menjabat pangkat Thay-cu Thay-po (pembesar agung yang jadi penilik dari putera mahkota), sedang ayahnya, Siangkoan Teng Cie, seorang pembesar tinggi dalam jawatan kesusasteraan. Untuk menunaikan tugas, sang ayah sering menginap didalam keraton dan jarang pulang kerumah. Karena apa mereka meninggal dunia, si-nona belum tahu terang. Tapi ia ingat, bahwa pada pagi hari itu, sebelum ia dibawa menyingkir, ibunya masih segar- bugar dan ber-kemas2 untuk menengok ayahnya dikeraton. Mengapa, tanpa menunggu pulangnya sang ibu, Ong An sudah membawanya kelain tempat ? Mengapa ibunya sendiri mendadak mati ?

Menurut keterangan Ong An, pada waktu itu, dikeraton berjangkit penyakit menular yang sangat hebat, sehingga kakek dan ayahnya mati sebab ketularan. Ibunya yang masuk kekeraton juga ketularan dan mati ber-sama2. Untuk menyelamatkannya dari penyakit itu, maka ia sudah dibawa lari kelain tempat.

Demikian keterangan Ong An, seorang bujang tua yang sangat setia dan sudah bekerja pada keluarga Siangkoan selama puluhan tahun.

Waktu itu, karena masih sangat kecil, ia percaya saja segala keterangan si-tua.

Tetapi sesudah ia bisa berpikir, dalam hatinya lantas saja timbul kecurigaan yang semakin hari jadi semakin bertambah.

la ingat, waktu mau membawanya keluar kota raja, Ong An dan si-babu tetek kelihatannya bingung sekali dan sudah berangkat dengan ter-gesa2 tanpa membawa bekal yang semestinya.

Andaikata benar berjangkit penyakit menular, perlu apa begitu ter-gesa2 dengan sikap yang begitu ketakutan?

Disamping itu, mengapa selama tujuh tahun, paman Tiangsun, sahabat karib ayahnya, belum pernah mempermisikannya pulang kekampung sendiri untuk menengok kuburan kedua orang tuanya ?

Banyak sekali pertanyaan muncul dalam hatinya. Hanya sayang, sekarang Ong An dan si-babu tetek sudah meninggal dunia.

Disamping Itu semua, masih terdapat lain kejadian yang memperhebat rasa curiganya.

Paman Tiangsun yang bernama Kun Liang adalah seorang bun-bu-coan-cay (mahir dalam ilmu surat dan ilmu perang.)

Pada jaman Kaizar Lie Sie Bin, ia pernah memangku jabatan Kian tiam (penilik).

Sesudah Kaizar Kho-cong dan belakangan Bu Cek Thian menduduki takhta kerajaan, ia segera minta berhenti dan menyembunyikan diri di-Kiamkok.

Semenjak Wan Jie menumpang dirumah keluarga Tiangsun, sang paman memperlakukannya dengan penuh cinta kasih, sedikitpun tak berbeda seperti orang tua sendiri. Ia bergaul dan belajar ber-sama2 Tiangsun Thay dan Tiangsun Pek. Diwaktu siang mereka belajar ilmu silat, malamnya belajar ilmu surat. Apa yang agak aneh yalah sang paman luar biasa giat dan teliti dalam mengajar ilmu silat kepadanya, lebih giat dan lebih teliti daripada mengajar putera dan puterinya sendiri.

Hanya sayang sedari kecil Siangkoan Wan Jie lebih suka belajar ilmu surat daripada ilmu silat,. sehingga sering2 sang paman jadi jengkel dan memperlihatkan paras seperti orang putus harapan.

Wan Jie ingat, pada suatu malam, sesudah menggubah tiga buah syair, ia memperlihatkannya kepada Kun Liang. Sang paman menepuk meja dan ber- ulang2 memberi pujian. Tapi mendadak, selagi ter- girang2, paras mukanya berubah sedih dan ia menghela napas panjang.

"Jika kau terus mempelajara sastera, kau bisa menjadi Cay-lie (wanita pintar) nomor satu dikolong langit," katanya.

"Hai ! Tapi........ tapi........ aku sungguh lebih suka otakmu tidak secerdas sekarang. Bahwa kau dapat menggubah syair yang begini indah, hatiku girang tercampur duka."

Si-nona jadi bingung bukan main dan ia mengawasi wajah sang paman dengan perasaan tak mengerti.

Berapa saat kemudian, barulah ia bisa berkata dengan suara jengah: "Kakak Thay dan Pek mewarisi ilmu silat paman, sedang aku mewarisi ilmu suratmu. Dengan demikian, baik dalam ilmu silat maupun ilmu surat, Pehpeh mempunyai ahliwaris yang dapat dilihat orang. Bukankah hal ini hal yang menggirangkan ?"

Tiangseen Kun Liang termenung beberapa saat dan kemudian berkata dengan suara perlahan : "Kecerdasan otakmu, kepandaian dan pelajaranmu sekarang sudah banyak lebih unggul dari pada aku sendiri. Apa yang kini dimiliki olehmu adalah lebih tinggi daripada ahliwarisku. Hanya sayang, bagimu sendiri, syair dan ilmu surat tak banyak gunanya. Dalam mempelajari ilmu silat, orang sukar bisa berhasil dalam tempo pendek. Mulai besok, kau juga harus belajar menggunakan senjata rahasia."

Sehabis berkata begitu, ia meninggalkan si-nona sambil menghela napas.

Lapat2, Wan Jie ingat, bahwa selagi berjalan pergi, air mata sang Pehpeh ber-linang2 dikedua matanya. Beberapa tahun kembali lewat dan Wan Jie masih juga belum dapat memecahkan teka-teki itu yang selalu mengganggu pikirannya.

Bahwa sang paman menghendaki supaya ia menjadi seorang wanita yang ”bun - bu - song - coan", adalah suatu kehendak yang sangat mulia.

Tapi perlu apa ia begitu berduka ? Untuk menyenangkan hati sang Pehpeh, setiap hari ia mengikut Tiangsun Thay dan Tiangsun Pek berlatih silat.

Akan tetapi, saban ada kesempatan, ia selalu menyingkirkan diri untuk membaca kitab. Kakak dan adik itu sering2 kewalahan, tapi se-bisa2 mereka berusaha untuk membangkitkan kegembiraan si-nona cilik akan ilmu silat.

Sesudah ia sendiri selesai berlatih, Tiangsun Pek segera mendesak si-adik untuk mempelajari serupa pukulan Kiamhoat yang dapat membinasakan musuh.

Tapi Wan Jie meng-geleng2-kan kepalanya.

"Aku belajar silat untuk memperkuat badan, bukan untuk jadi jagoan dan membinasakan orang," katanya sambil tertawa.

Si-nona tersenyum dan seraya meng-usap2 rambut adiknya, ia berkata : "Moay-moay, kau rupanya lupa, bahwa hari ini adalah hari ujian yang biasa dilakukan ayah setahun sekali. Mari....., mari......! Paling sedikitnya kau harus mahir dalam ilmu Lian-cu Samkiam (tiga tikaman berantai) untuk menikam jalanan darah musuh."

Wan Jie terkesiap. la ingat bahwa hari itu bukan saja hari ujian, tapi juga hari meninggalnya kedua orang tuanya.

Mengapa Tiangsun Pehpeh telah memilih hari ini untuk mengadakan ujian?

Apakah dipilihnya hari ini mempunyai maksud yang lebih mendalam ?

Tiba2 dari sebelah kejauhan terbang mendatangi dua ekor elang yang lebar sayapnya hampir setombak.

Wan Jie mengawasi dan ternyata mereka sedang mengubar seekor kelinci.

"Bagus ! Sekarang aku memperoleh bulan2-an untuk melatih senjata rahasia dan menolong kelinci itu," katanya sambil tertawa.

"Timpuk mata kirinya !" teriak Tiangsun Thay.

Sebilah pisau belati melesat dan seekor elang terguling kebumi.

Tiangsun Pek memburu dan menjemput bangkai burung itu dan benar saja, pisau Wan Jie menancap tepat dimata kirinya.

"Sungguh mahir kau menggunakan ilmu Pek-po Coan- yang (Menimpuk tepat dalam jarak seratus kaki)," memuji Tiangsun Thay sambil me-nepuk2 tangan.

"Sekarang hajarlah mata kanan dari elang yang satunya lagi."

Elang itu seperti juga mengerti sedang menghadapi musuh yang tangguh.

la terbang rendah, hampir menempel dengan tanah, dan melindungi diri diantara batu2 karang. ia menyambar dan menerkam kelinci yang sedang di- ubar2.

Dilain saat, ia mengipas dengan kedua sayapnya untuk terbang turun kedalam lembah.

Melihat keganasan burung alas itu, Wan Jie jadi mendongkol dan menimpuk pula dengan pisaunya.

Se-konyong2, berbareng dengan suara berkresek, satu bayangan hitam berkelabat dari batu karang dan menangkap pisau si nona.

Dengan menggunakan kesempatan itu, si-elang lalu kabur kedalam lembah.

Wan Jie mengawasi dengan terkejut dan orang yang berdiri didepannya adalah seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar dan berjenggot tebal. Caranya menyambut pisau sudah mengagumkan, tapi apa yang lebih mengherankan yalah kepandaiannya melompat2 diatas "Can-to" sambil menggendong seorang tua yang berpakaian indah.

"Apa Tiangsun Kun Liang bertempat tinggal disini ?" tanya orang itu dengan suara nyaring.

Tiangsun Thay maju setindak dan menanya dengan suara gugup: "Apa....apa..... yang digendong olehmu, adakah The Un Pehpeh ?"

The Un adalah seorang yang berpangkat Gie-su Tayhu dan kawan sejabat kakek Siangkoan Wan Jie.

Wan Jie mengawasi muka orang tua itu yang pucat bagaikan kertas. Lapat2 ia ingat, bahwa waktu ia masih kecil, orang tua itu sering datang berkunjung kerumahnya untuk ber- omong2 dengan kakeknya sendiri.

la segera ingat, bahwa kakek itu benar bernama The Un.

Baru habis Tiangsun Thay bicara, dari sebelah kejauhan se-konyong2 terdengar suara orang: "Apa? The Toako datang berkunjung?"

Orangnya belum kelihatan, suaranya sudah terdengar tegas sekali.

Si-jenggot buru2 menaruh orang tua itu diatas tanah dan dia sendiri lalu menekuk kedua lututnya.

"Thong-ciu Lie Goan memberi hormat kepada Tiangsun Tayjin," katanya.

"Aku memohon Tayjin sudi menolong jiwa The Tayjin."

la sebenarnya belum pernah bertemu dengan Tiangsun Kun Liang, akan tetapi begitu mendengar suara yang dikirim dengan ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim suara dari tempat jauh), yaitu serupa ilmu yang harus menggunakan Lweekang yang sangat tinggi, ia sudah bisa menebak, bahwa orang yang bicara tentulah juga Tiangsun Kun Liang adanya.

Dilain saat, berbareng dengan berkelebatnya satu bayangan, Tiangsun Kun Liang sudah berdiri dihadapan mereka.

Orang tua itu sudah berusia enampuluh tahun lebih dan berjenggot putih, tapi gerakannya masih sangat gesit dan kedua matanya bersinar terang.

"Bangunlah, Lie-heng," katanya. "The Tayjin adalah sahabatku selama beberapa puluh tahun, mana bisa aku tidak menolongnya ? Coba aku periksa lukanya."

Mendadak paras muka Kun. Liang berubah.

la menyengkeram dada Lie Goan dan lalu menggoresnya dengan dua jeriji.

"Brt. !", baju Lie Goan lantas saja robek.

Semua orang terkejut, lebih2 Lie Goan sendiri.

"Aku seorang piauwsu yang melindungi The Tayjin masuk kewilayah Siok," katanya. "Kuharap Losianseng tidak salah mengerti."

Orang tua itu menghela napas.

"Aku bukan mencurigaimu," katanya dengan suara perlahan.

"Aku menyurigai iblis itu ! The Tayjin bekerja sebagai pembesar negeri dan aku merasa pasti ia tak punya permusuhan dengan iblis itu. Sungguh ku tak mengerti mengapa dia begitu kejam !"

Sehabis berkata begitu, ia menyingkap rambut The Un dan pada jalanan darah Tay-yanghiat, dikiri-kanan kepala, terlihat luka sebesar jarum.

"Coba lihat dadamu," katanya sambil berpaling kepada Lie Goan.

Lie Goan segera mengawasi dadanya dan ternyata, dibawah kedua teteknya terdapat tanda merah sebesar uang emas.

Paras mukanya lantas saja berubah pucat dan ia roboh diatas tanah. Tiangsun Thay bersama adiknya dan Wan Jie lantas saja mengerumuninya.

Sesaat kemudian, sambil mengawasi Kun Liang, ia berkata dengan suara gemetar: "Apakah kami kena senjata rahasia Tok-sian-lie (si-Dewi-beracun) dan Ok- heng-cia (si-Pendeta-jahat), Touw-hiat-sin-ciam dan Swee - kut - chie - piauw ?"

(Touw-hiat-sin-ciam berarti Jarum malaikat yang bisa menembus jalanan darah, sedang Swee-kut-chie-piauw berarti Piauw uang emas yang bisa menghancurkan tulang).

Tiangsun Kun Liang mengangguk dan menjawab dengan suara serak: "Karena sudah kejadian begini, Lohu (aku si tua) terpaksa bicara terus-terang. The Tayjin kena Touw-hiat-sinciam, sedang Lie-heng sendiri menjadi korban Swee-kut-chie-piauw. Lohu akan berdaya sedapat mungkin tapi aku sendiri tak tahu, apa aku bisa menolong."

Se-konyong2 Lie Goan melompat bangun dan tertawa getir: "Kutahu, racun senjata rahasia kedua iblis itu tak dapat dipunahkan dengan obat apapun jua. Losianseng tak usah coba menghibur hatiku. Aku hanya menyesal, bahwa dalam melindungi The Tayjin masuk kedaerah Siok, aku belum menunaikan tugasku dan oleh karenanya, aku mati dengan mata melek. Aku hanya mengharap agar Losianseng sudi menyelesaikan urusan yang belum selesai."

---o^dw-kz^0^tah^o--- Sedari belasan tahun yang lalu, dalam dunia Kang-ouw muncul sepasang iblis lelaki dan perempuan. yang lelaki adalah seorang pendeta. Dia pandai menggunakan Thian-kong To-hoat (ilmu golok Thian kong) dan senjata rahasia Swee-kut-chie-piauw. Diluarnya, senjata rahasia itu tidak berbeda dengan piauw uang emas biasa.

Perbedaannya yalah, piauw tersebut lebih dulu direndam didalam racun dan dilepaskan dengan menggunakan Lweekang yang sangat tinggi, sehingga siapa saja yang kena, tulangnya akan hancur. Yang paling luar biasa. pada waktu baru kena, si-korban sama- sekali tidak merasa apa2. Tapi begitu lekas racun bekerja, daging dan urat2 menjadi "lodoh", sampai akhirnya tulang2 hancur-luluh. Kalau sudah jadi begitu, biarpun obat dewa tak akan dapat menolongnya.

Si-iblis perempuan lebih lihay lagi. Dia bukan saja mempunyai ilmu pedang yang sangat tinggi, tapi juga bisa menimpuk jalanan darah orang dengan Bwee-hoa- ciam (jarum yang menyerupai bunga bwee). Jarum itu pun diolah didalam racun, sehingga siapa yang kena, begitu lekas racun sudah menyerang jantung, tidak akan bisa ditolong lag!.

Karena mereka kejam luar biasa, maka dalam kalangan Kang-ouw, orang menjulukinya sebagai Ok- heng-cia dan Tok-sian-lie.

Pada sepuluh tahun yang lalu, berbagai partai Rimba Persilatan telah mengumpulkan beberapa puluh orang yang berkepandaian tinggi untuk mengepung kedua iblis itu, yang akhirnya dapat diusir sampai digurun pasir se- belah utara Tiongkok.

Selama sepuluh tahun, mereka belum pernah muncul didaerah Tiong-goan.

Diluar dugaan, sekarang mereka menerjun pula kedunia Kang-ouw dan melukakkan seorang pembesar tinggi serta seorang piauwsu.

Tiangsun Kun Liang adalah seorang yang pada sepuluh tahun berselang telah turut menghajar kedua iblis itu.

la berdiam lama dengan perasaan heran.

Sesudah memeriksa lagi luka Lie Goan, ia berkata : "Lie-heng, lukamu lebih enteng dan mungkin masih dapat ditolong. Kejadian, ini agak mencurigakan. Bagaimana kalian bisa bertemu dengan kedua iblis itu ?''

Jawab Lie Goan : "The Tayjin telah menerima perintah untuk  menengok  Thaycu  (putera  mahkota)   di-Pa-  ciu "

"Apa ?" memutus Kun Liang. "Thaycu di-Pa-ciu ?"

"Ciang Hoay Thaycu telah dipecat dan dihukum buang ke Pa-ciu," jawabnya

"Sudah hampir setengah tahun."

"Perempuan celaka !" kata Kun Liang dengan suara gusar.

"Thaycu yang dulu mati makan racun, Thaycu sekarang dibuang ke-Pa-ciu. Orang kata : Harimau tak makan anaknya. Tapi Bu Cek Thian lebih buas daripada binatang buas."

Harus diketahui, bahwa Thaycu almarhum, yang bernama Lie Hong, adalah putera sulung Bu Cek Thian. Pada suatu hari, ia mendadak meninggal dunia dengan mengeluarkan darah dari mulut, kuping, mata dan lain2. Kebinasaan itu sangat mengenaskan. Dalam keraton lantas saja tersiar desas-desus, bahwa putera mahkota telah diracuni oleh ibunya sendiri.

Thaycu yang menggantikannya bernama Lie Hian.  Tapi ia segera dipecat dari kedudukannya karena menentang cara pemerintahan Bu Cek Thian dan pemecatan ini sudah diumumkan diseluruh negeri.

Kejadian itu tidak diketahui Kun Liang yang hidup terpencil di-Kiamkok yang sepih.

Siangkoan Wan Jie bergidik. "Tak salah jika Tiangsun Pehpeh menamakan Bu "Cek Thian sebagai raja iblis, pikirnya. "Dia lebih kejam daripada Ok-heng-cia dan Tok- sian-lie."

"Aku adalah seorang piauwsu yang membuka perusahaan piauw di Lok-yang," menerangkan Lie Goan.

”Pada waktu yang lampau, setiap kali mendapat tugas keliling, The Tayjin selalu minta bantuanku untuk melindunginya. Oleh karena itu, kita mempunyai hubungan yang sangat baik.

Mendengar The Tayjin mendapat tugas untuk pergi ke Pa-ciu guna menyambangi Thaycu dan karena tahu, bahwa didaerah Siok telah muncul beberapa penjahat besar, maka aku segera menawarkan diri untuk mengantarkannya. Disepanjang jalan kami tidak bertemu dengan gangguan apapun juga, sehingga hati kami menjadi lega.

Kemarin kami tiba didaerah pegunungan yang terpisah tigapuluh li lebih dari kota Kiam-bun-kwan. Sebab jalan ber-belit2 dan sangat berbahaya, aku berjalan lebih dulu.

"Mendadak aku mendengar siulan diatas gunung dan begitu menengok, aku melihat The Tayjin sudah roboh dari tunggangannya.

Aku kaget bukan main, buru2 memutar kuda untuk menolongnya.

Pada detik itu, tungganganku tiba2 berbunyi keras dan berjingkrak, sehingga badanku terlempar.

Hampir berbareng, dari dalam hutan menyambar dua piauw.

Waktu itu tubuhku sedang berada diteudara dan keruan saja, aku tidak bisa berkelit lagi.

Dengan mengandalkan ilmu Tiat-po-san (semacam ilmu weduk), aku menerjang senjata rahasia itu.

Waktu memeriksa keadaan The Tayjin, ia ternyata sudah pingsan.

Kedua kuda kami juga sudah rebah ditanah tanpa bisa bergerak lagi.

Aku tahu sedang menghadapi lawan berat dan mesti bertempur, mati2-an.

Tapi heran sungguh, penjahat tak muncul dan aku hanya mendengar suara tertawa menyeramkan yang semakin lama jadi semakin jauh.

Tentu saja aku tak berani mengubar. Keadaan The Tayjin sangat mengherankan, sebab badannya tidak terluka, tapi waktu aku memegang nadinya, ketukan nadi mengunjuk tanda2 luka berat.

Aku jadi bingung. Kemana harus mencari obat ? Untung   juga,   mendadak  aku  ingat  perkataan  The

Tayjin,  bahwa  Tiangsun  Tayjin  bertempat  di-Kiamkok.

Karena tiada lain jalan, aku terpaksa datang kesini. Ah !

Siapa nyana penjahat yang melukakan kami adalah Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie.

Dan akupun tak pernah menduga, bahwa aku sendiri terluka berat."

Tiangsun Kun Liang mendengari penuturan itu sambil mengerutkan alis, seperti sedang berpikir keras.

Sesaat kemudian, Lie Goan berkata pula : "Aku sendiri sudah tak mengharap hidup lagi. Tapi The Tayjin mempunyai suatu tugas yang belum diselesaikan dan aku memohon supaya Tayjin suka membantunya."

"Tugas apa ?" tanyanya.

"Surat Thian-houw (Permaisuri-langit, Bu Cek Thian) untuk Thaycu yang dibawa The Tayjin belum disampaikan," jawabnya.

"Menurut katanya The Tayjin, Thian-houw sangat memikiri Thaycu yang sudah dipecat dan bahwa pembuangannya ke-Pa-ciu adalah satu tindakan yang sangat terpaksa. The Tayjin ingin sekali Thaycu bisa membaca surat, itu secepat mungkin, supaya ia terhibur."

"Hm !" Kun Liang mengeluarkan suara dihidung. "Kucing pura2 tangisi tikus ............! Kau tahu. !

Kalau bisa, Bu Cek Thian kepingin sekali membasmi semua orang she Lie yang masih tersangkut-paut dengan keluarga kaizar. Anak kandungnya sendiri tak terluput ! Sedikitpun aku tidak percaya, bahwa didalam  hatinya raja iblis itu terdapat rasa cinta terhadap puteranya."

Lie Goan mengangguk sedikit, ia tak berani menjawab.

"Eh, sekarang aku ingin tanya," katanya lagi tiba2. "Apa  hal  menyambangi  Thaycu  keinginan  Bu  Cek

Thian sendiri, atau, permintaan The Tayjin yang kemudian diluluskan oleh raja iblis itu ?"

"Tak tahu," jawabnya.

"Menurut dugaanku, sepuluh-sembilan The Tayjin sendiri-lah yang mengajukan permohonan untuk menengok Thaycu," kata Kun Liang.

la berdiam sejenak dan mendadak berteriak : "Tak salah......I Tak bisa salah.........! Dua memedi itu tentu diperintah si-raja iblis untuk membunuh The Tayjin !"

Lie Goan, Wan Jie dan putera-puterinya merasa heran akan dugaan yang luar biasa itu, tapi mereka tak berani mengajukan pertanyaan karena melihat paras muka orang tua itu yang menyeramkan.

Se-konyong2 muka Kun Liang berubah pucat dan ia berkata dengan suara gemetar : "Thay-jie, Pek-jie, Wan Jie, lekas pulang ! Mungkin kedua iblis itu akan segera menyateroni !"

"Thia-thia, bagaimana kau tahu ?" tanya puteranya. Sang ayah melirik Lie Goan, seperti mau bicara apa2,

tapi agak berat untuk mengatakannya. Lie Goan tertawa getir.

"Biarlah aku yang mewakili Lopeh," katanya.

"Kedua iblis itu mempunyai kepandaian yang sangat tinggi dan jika mereka mau mengambil jiwa kami, jiwa The Tayjin dan jiwaku sendiri, mereka dapat melakukannya dengan mudah sekali. Mengapa mereka sengaja melepaskan kami ?”

"Karena ........... karena apa .....?" tanya Tiangscen Pek.

"Karena mereka ingin Lie Toako lari kerumah kita," Kun Liang menyambungi.

"Benar. " kata Lie Goan dengan suara menyesal dan

jengah.

"Hanya sayang, pada waktu terluka, aku tidak memikir sampai disitu. Jika tidak, aku pasti tak akan datang kesini dan me-nyeret2 Lopeh. Sekarang baru kutahu, bahwa aku sebenarnya sudah dijadikan semacam pengunjuk jalan."

"Lie-heng tak usah menyesal," kata Kun Liang sambil tersenyum.

"Aku sendiri sudah lama ingin menjajal kepandaian kedua iblis itu. Dilihat gejalanya, hampir boleh dipastikan, mereka adalah suruhan Bu Cek Thian."

"Mengapa begitu ?" tanya Wan Jie.

"Bu Cek Thian merampas takhta kerajaan, kejadian itu, bahwa seorang perempuan menjadi kaizar, belum pernah terjadi semenjak jaman purba," katanya. ”Keluarga kaizar dan menteri2 kebanyakan merasa penasaran.

Dia juga tahu, bahwa golongan kami diam2 menentangnya.

Maka itu, per-lahan2, dengan menggunakan cara2 apapun juga, dia menyingkirkan orang2 yang sekiranya menentang dia.

Coba pikir: Sedangkan puteranya sendiri ia masih tak segan2 untuk membinasakan-nya, apa lagi orang lain?

Menurut dugaanku, The Tayjin-lah yang lebih dulu mengajukan permohonan untuk pergi ke-Pa-ciu guna menyambangi Thaycu.

Dia mengerti, bahwa The Tayjin adalah menter! setia kepada keluarga Lie.

Maka itu, dengan menggunakan kesempatan baik, dia turun tangan.”

"Kalau dia benar2 mau jiwa The Tayjin, perlu apa begitu berabe ?" tanya Wan Jie.

"Inilah lihaynya si raja iblis," jawab sang paman.

"Ia pura2 jadi orang mulia untuk menarik hati menteri2nya.

Aku dulu menjabat pangkat tinggi, tapi begitu lekas dia merampas takhta, aku mengundurkan diri dan bersembunyi ditempat ini.

Dia tentu membenciku.

Hmmm...........! Itulah sebabnya, aku hampir berani memastikan, bahwa kedua iblis itu adalah orang suruhannya." Ia berhenti sejenak dan sambil mengawasi putera- puterinya, ia berkata pula: "Thay-jie, Pek-jie, jiwa ayahmu mungkin tak sampai besok pagi. Aku sekarang sudah memberitahukanmu, siapa musuh kita. Baiklah ! Sekarang kau orang pulang dan apapun yang terjadi, kau orang tak boleh keluar. Wan Jie, kau mengerti ilmu pengobatan. Angkutlah The Tayjin kerumah kita, balut lukanya dengan obat pemunah racun dan berilah Giok- louw-wan kepadanya. Lie-heng, kau "

"Sesudah kena racun, aku tak bisa hidup lebih dari  tiga hari," Lie Goan memutus perkataan orang tua itu.

"Dari pada mati cuma2, biarlah aku berdiam disini untuk menemani Tayjin."

Sementara itu, Tiangsun Thay bersama adiknya dan nona Siangkoan telah pulang dengan membawa The Un.

---o^dwka^~^Tah^o---

Baru saja The Un diberi pel Giok-louw-wan, Tiangsun Pek sudah berseru : "Datang.....! Dua iblis itu sudah datang ! "

Siangkoan Wan Jie teurus mengintip dari celah jendela.

Tiba2 disebelah kejauhan terdengar dua kali teriakan aneh yang nyaring luar biasa, disusul dengan munculnya dua orang ditanjakan gunung, satu lelaki dan satu perempuan, yang lelaki adalah seorang tauw-to (pendeta) rambut panjang, jembrosnya kaku, sedang mukanya jelek seperti memedi dan yang perempuan memakai ikatan kepala, alisnya panjang, mukanya cantik dan gerak-geriknya genit. Tak  usah dikatakan lagi, mereka adalah Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie.

Begitu berhadapan dengan Tiangsun Kun Liang, Ok- heng-cia membentak: "Bangsat tua ! Kau belum mampus

? Kami sengaja datang untuk menagih hutang belasan tahun."

Tok-sian-lie tidak sekasar itu.

"Tiangsun Sianseng," katanya dengan suara merdu. "Belasan tahun kita tak bertemu, kau ternyata masih

sehat seperti biasa. Untung sungguh kau masih hidup, jika tidak, kami akan sangat berduka. Dulu, sebab dikeroyok, aku masih belum bisa meminta pengajaran dari Go-bie Kiam-hoatmu. Aku merasa girang, hari ini aku mendapat kesempatan yang seluas2-nya.”

"Majulah, jika kau mau," kata Kun Liang.

"Tak perlu banyak rewel. Lohu pun sudah menunggu belasan tahun."

Tok-sian-ke tertawa geli.

"Aha.....! Sekarang baru kutahu, kau bukan seorang diri," katanya.

"Kukira siapa ? Tak tahunya Lie Toapiauwsu ! Kau kena Swee-kut-chie-piauw dari Suhengku. Apa kau tahu

? Jika kau beristirahat, usiamu dapat diperpanjang sampai hari lusa. Rebahlah diranjang dan kau akan mati tanpa merasa sakit. Tapi jika kau bergusar dan menggunakan banyak tenaga, maka tulang2-mu akan hancur dan kau akan mampus dengan banyak penderitaan. lnilah nasehatku yang keluar dari hati tulus." "Iblis jahat.     !" bentak Lie Goan bagaikan kalap. "The Tayjin salah apa ? Mengapa kau begitu kejam ?

Hari ini, biar apapun yang akan terjadi, aku akan mengadu jiwa denganmu."

Tok-sian-lie tertawa nyaring. "Gagah benar kau !" ia mengejek.

"Mengapa aku membunuh The Tayjin ? Karena kebaikan hati Thian-houw dan aku sendiri. Thian-houw mengatakan, bahwa The Tayjin sudah tua dan ia tentu tak kuat menahan kesengsaraan dalam perjalanan kedaerah Siok. Maka itu, aku menghadiahkannya dua batang Touw-hiat-sin-ciam."

Mendengar pengakuan si-iblis, Siangkoan Wan Jie yang memasang kuping, kaget bukan main.

Tapi dilain saat, dalam hatinya timbul kecurigaan.

Apa benar kedua iblis itu diperintah oleh Bu Cek Thian.

Soal membunuh menteri besar, adalah rahasia besar.

Tapi mengapa Tok-sian-lie seperti sengaja membuka rahasia itu ?

Tiangsun Kun Liang berjingkrak karena gusarnya. "Perempuan celaka. !" teriaknya.

"Bu Cek Thian iblis besar, kau berdua iblis kecil. Hari ini aku lebih dulu mengadu jiwa dengan iblis kecil.”

”Majulah ! Satu2 boleh, dua2 juga tidak halangan !" Tok-sian-lie kembali tertawa nyaring. "Dulu aku dikroyok, tapi sekarang, melihat usiamu yang sudah tua, biarlah Suhengku dulu yang main2 dengan kau," katanya.

Sambil membentak, Ok-heng-cia menerjang dan membacok dengan goloknya.

Dengan gerakan Poan-liong-yauw-po (Naga- bertindak), Tiangsun Kun Liang mengegos sambil balas menikam dengan pedangnya.

Pukulan itu, yang membela diri dan menyerang dengan berbareng, adalah salah satu pukulan yang paling lihay dari Tiangsun Kun Liang.

Menurut perhitungan, Ok-heng-cia mesti tertikam.

Tapi diluar dugaan, pada detik yaug sangat berbahaya, lengan Si-Jahat berkerotokan dan mulur beberapa dim panjangnya, sehingga goloknya terus menyambar kedada Kun Liang.

Itulah kejadian diluar dugaan.

Untung juga, dalam bahaya Kun Liang tak jadi bingung.

Cepat bagaikan kilat, pedangnya berubah arah dan menangkis golok musuh. "Trang.....!", lelatu api berhamburan. Kun Liang merasa tangannya sakit, sedangkan Ok-heng-cia terhuyung beberapa tindak.

Begitu lekas memperbaiki kedudukannya, si-Pendeta- jahat mengaum bagaikan harimau terluka dan lalu menyerang dengan Thian-kong To-hoat dan dalam sekejap, Kun Liang sudah terkurung dalam sinar golok.

Wan Jie yang mengintip dari celah pintu lantas saja mengeluarkan keringat dingin. Tiangsun Thay dan adiknya juga mengawasi jalannya pertempuran dengan hati ber-debar2, tapi mereka tidak jadi ketakutan seperti Wan Jie.

"Ok-heng-cia belum tahu kelihayan ayah," bisik Tiangsun Pek.

"Kiam-hoat Thia-thia bisa merobohkan keganasan dengan ketenangan, membela diri untuk menunggu lelahnya musuh."

Sementara itu, sambil ber-teriak2, Ok-heng-cia menyerang semakin hebat.

Goloknya ber-kelebat2 dan men-deru2 bagaikan angin dan hujan.

Benar saja, Kun Liang tetap melayani dengan tenang dan dibawah sinar golok, ia berdiri tegak bagaikan gunung. Ceng-hong-kiam me-nyambar2 se-akan2 seekor naga yang ber-main2 ditengah lautan dan memunahkan setiap serangan musuh.

Sesudah pertempuran berlangsung kurang-lebih setengah jam, keadaan masih tetap belum berubah.

Se-konyong2' Tiangsun Kun Liang tertawa nyaring, disusul dengan berkredepnya sehelai sinar pedang yang menerobos keluar dari kurungan sinar golok.

Dilain saat, terdengar bentakan Ok-heng-cia dan suara "cring. !"

Ternyata si-Jahat sudah menyerang dengan Swee-kut- chie-piauw.

Bagaikan kilat Kun Liang memutar badan dan dua batang piauw lewat dibawah ketiaknya. Hampir berbareng, ia mengebas dengan pedangnya dan sebatang piauw lain, yang menyambar kejalanan darah hay-yang-hiat, terpukul jatuh.

Pada detik yang bersamaan, ia menjejek kedua kakinya dan tubuhnya lantas saja melesat keatas dalam gerakan it-ho-ciong-thian (Burung-ho-menembus-langit) yang sangat indah dan selagi badannya berada ditengah udara, tiga batang Swee-kut-chie-piauw lewat dibawah kakinya.

"Tiangsun Sianseng, kau sungguh lihay !" memuji Tok- sian-lie.

Kun Liang hanya mengeluarkan suara dihidung, kedua matanya tetap mengincar lengan Ok-heng-cia. Benar saja, sambil membentak keras, si-Jahat kembali melepaskan tiga batang piauw.

Ternyata, pujian si-Beracun hanya untuk menyimpangkan perhatian, tapi untung juga, Kun Liang tidak kena diselomoti.

Dengan sekali mengegos, ia menyelamatkan diri dari piauw pertama, sedang piauw kedua dipukul jatuh dengan kebasan pedang.

Mendadak terdengar suara "cring........!", piauw ketiga yang dilepaskan belakangan, membentur piauw pertama. Begitu terbentur, piauw itu berubah arah dan menyambar jalanan darah Tiong-cu-hiat, dibelakang leher !

Dengan gerakan Hong-hong-tiam-tauw (Burung-hong- manggut), Kun Liang manggutkan kepalanya dan hampir berbareng, ia merasakan kesiuran angin dingin yang lewat diatasan kepalanya. Tiba2 Tok-sian-lie tertawa mengejek dan baru ia mendusin, bahwa sebagian rambutnya telah terpapas piauw.

Darahnya lantas saja meluap.

Sambil merogo kantong senjata rahasia, ia membentak : "Kunjungan harus dibalas dengan kunjungan !" Sekali mengayun tangan kirinya, tiga pisau belati menyambar dan dengan berbareng, ia menikam dengan pedangnya, sehingga melesatnya pisau dan menyambarnya pedang terjadi pada detik yang bersamaan.

Ok-heng-cia terkesiap, ia tak duga musuhnya bisa bergerak begitu cepat.

Baru saja ia memukul jatuh tiga batang pisau dengan pukulan Pat-hong-hong-ie (Delapan-penjuru-angin-dan- hujan), ujung pedang musuh sudah menyambar dadanya.

"Trang.....!", golok Ok-heng-cia terpukul miring dan ujung pedang dengan beruntun menikam tiga jalanan darah. Sambil bergulingan diatas tanah, Ok-heng-cia mengaum dan kemudian, dengan gerakan Lee-hie-tah- teng (Ikan-gabus-meletik), ia melompat bangun seraya mengayun tangannya ber-ulang2 dan puluhan piauw beracun segera me-nyambar2 bagaikan hujan gerimis.

Harus diketahui, bahwa Ok-heng-cia dan Tok-sian-lie mempunyai serupa ilmu yang dinamakan le-kiong-hoan- hiat (Memindahkan jalanan darah), sehingga, biarpun jalanan darahnya terluka, luka itu hanya luka diluar dan tidak membinasakan. Melihat sambaran puluhan senjata rahasia, Kun Liang terkejut.

Masih untung, ia memiliki Lweekang, Ginkang (ilmu mengentengkan badan) dan kiamsut yang sangat tinggi, sehingga dengan mengeluarkan seanter2.

Per-lahan2 ia merasa lelah dan napasnya mulai ter- sengal2.

Pada saat itulah, mendadak Tok-sian-lie tertawa cekikikan.

"Tiangsun Sian-seng," katanya.

"Kau sungguh lihay. Sekarang aku ingin meminta pengajaranmu. Touw-hi-at-sin-ciamku berlainan dengan Swee-kut-chie-piauw. Jarumku halus seperti bulu kerbau dan menyambarnya tidak mengeluarkan suara, sehingga sukar sekali dapat ditangkis. Tiangsun Sianseng, kau harus sangat ber-hati2 !"

Mendengar perkataan yang kejam dan beracun itu, Siangkoan Wan Jie bangun bulu romanya.

Hampir berbareng dengan perkataan, "ber-hati2", dengan gerakan Liong-lie-coan-ciam (Liong Lie menusuk jarum), Tok-sianlie sudah menikam jalanan darah Kian- keng-hiat, dipundak Kun Liang. Serangan itu, yang dildrim separuh membokong, adalah ilmu simpanan si- Beracun. Untung juga, Kun Liang sudah mengenal kelicikannya, sehingga ia selalu berwaspada dan begitu melihat gerakan lengan musuh ia buru2 mengegos dan pedang itu menikam tempat kosong, hanya kira2 tiga dim dari atasan pundaknya Dengan gergetan, ia me- ngirim serangan membalas, bagaikan kilat pedangnya memapas kebawah dalam pukulan yang membinasakan. Tiangsun Pek yang mengintip dicelah pintu, jadi girang bukan main.

"Sekali ini, lengan iblis perempuan itu mesti terbabat putus." katanya didalam hati.

Tapi Tok-sian-lie pun bukan sembarang orang.

Baru saja sinona bergirang, ia sudah mencelat kesamping dan berhasil menyelamatkan diri dari babatan pedang yang berbahaya itu.

Sesudah lewat gebrakan pertama dengan masing2 mengeluarkan pukulan2 istimewa, untuk sejenak si- Beracun berdiri tegak. sambil mencekel pedangnya.

Tok-sian-lie kembali tertawa cekikikan.

"Tiangsun Sianseng, sekarang ini benar2 kau harus ber-hati2" katanya.

Kun Liang tak menyahut, kedua matanya mengawasi perempuan beracun itu dengan sorot berapi. Tiba2, sambil membentak keras, ia melompat dan mengirim dua serangan dengan beruntun, yaitu Kim-kee-tok-siak (Ayam-emas-mematuk-gabah) dan Locia-lo-hay (Lo Cia mengacau dilautan), ujung pedang lebih dulu menikam kedua mata musuh dan kemudian menyambar dada. Tok-sian-lie mengegos dan memutar senjatanya untuk menangkis dan balas menyerang.

"Kena!" bentaknya dan diantara sinar pedang, terlihat beberapa batang jarum Touw-hiat-sin-ciam.

Kun Liang memang sudah menduga bakal diserang cara begitu.

Dua serangannya yang barusan, biarpun hebat, mengandung unsur pembelaan. Sehabis menikam, pedangnya membuat lingkaran bagaikan bianglala dan melindungi seluruh tubuhnya.

Beberapa suara "tring.....!" terdengar dan semua jarum kena terpukul balik.

"Hanya sebegitu saja lihaynya Touw-hiat-sin-ciam ?" mengejek Kun Liang sambil tertawa.

Tok-sian-lie jadi gusar tak kepalang. "Manusia tak mengenal budi !" bentaknya. "Sekarang aku tak mau sungkan2 lagi. !"

Ia segera memutar senjatanya bagaikan titiran dan menyerang dengan dahsyat, sedang diantara sinar pedang, saban2 terlihat menyambarnya jarum2 beracun yang dilepaskan dengan tangan kirinya.

Sambil mengempos semangat dan memasang kuping untuk mendengar sambaran2 senjata rahasia, Kun Liang melawan dengan sepenuh tenaga. Tapi karena Touw- hiat-sin-ciam adalah senjata rahasia yang sangat kecil dan menyambarnya sering2 tak kedengaran, semakin lama ia jadi semakin bingung.

Waktu bertempur melawan Ok-heng-cia, ia sudah mulai merasa Ielah.

Sekarang, untuk menjaga sambaran Touw-hiat-sin- ciam, jalan satu2-nya yalah mengurung dirinya didalam sinar pedang dan pembelaan diri ini meminta banyak tenaga Lweekang. Disamping itu, Tok-sian-lie pun memiliki ilmu pedang yang sangat tinggi dan ia terus mendesak dengan hebatnya.

Maka itu, sesudah bertempur kurang-lebih lima-puluh jurus, per-lahan2 ia jatuh dibawah angin. la terpaksa berkelahi sambil mundur setindak demi setindak, dengan terus didesak oleh musuhnya.

"Tua Bangka......!" mengejek si Beracun. "Hari ini tibalah ajalmu !"

Sehabis mengejek, ia tertawa nyaring.

Selagi mereka bertempur, Ok-heng-cia duduk mengaso sambil menjalankan pernapasannya dan mengobati lukanya.

Waktu Toksian-lie tertawa nyaring, ang sebenarnya merupakan satu pertandaan ia sudah siap-sedia untuk turun tangan lagi.

Bagaikan kilat, ia melompat kebelakang Kun Liang dan menimpuk dengan tiga batang Swee-kut-chie-piauw, disusul dengan bacokan goloknya.

Pada saat yang bersamaan, Tok-sian-lie mengayun tangannya dan puluhan Touw-hiat-sin-ciam menyambar dengan serentak !

Diserang dari belakang dan dari depan, biarpun Kun Liang mempunyai kepandaian yang lebih tinggi lagi, ia tidak berdaya pula.

Pada detik yang sangat berbahaya, mendadak terdengar suara tertawa menyeramkan, disusul dengan berkelebatnya bayangan hitam dan teriakan menyayatkan hati.

Semua jarum beracun yang tengah menyambar telah menancap di-bayangan itu, yang, dengan sekali menendang, sudah berhasil merobohkan Ok-heng-cia.

Orang yang memberi pertolongan bukan lain daripada Lie Goan. Melihat pengorbanan yang luar biasa itu, kedua iblis jadi kaget bukan main dan paras mereka lantas saja berubah pucat.

Tiangsun Thay dan adiknya serta Siangkoan Wan Jie mencelos hatinya.

Tanpa menghiraukan lagi pesanan sang ayah, Tiangsun Thay membuka pintu dan melompat keluar.

Tapi musuh tidak menyerang lagi.

Seraya tertawa nyaring, Toksian-lie mencekel tangan Ok-heng-cia dan mereka lalu melompat naik keatas  Canto dan dalam sekejap, mereka tak kelihatan bayangan2nya lagi.

Lie Goan sendiri terus rebah diatas tanah dengan badan penuh jarum, sedang paras muka Kun Liang pucat bagaikan kertas.

Kun Liang menggapai dan tiga orang muda itu lantas saja mendekati.

"Kuburlah Gie-su ini," katanya kepada dua anaknya. "Setiap tahun, pada hari ini, kau harus kembali untuk

bersembahyang dikuburan-nya."

---o^dwka^~^Tah^o---

Ia berpaling kepada Wan Jie dan berkata pula: "Wan Jie, aku ingin bicara denganmu dirumah." Dari parasnya yang menyeramkan, dapat diduga, bahwa urusan yang mau dibicarakan adalah urusan penting.

Begitu masuk kedalam rumah, Kun Liang lebih dulu menengok The Un yang masih rebah diranjang dan belum tersadar.

"Sahabat, aku tak dapat merawat kau lebih lama lagi," katanya dengan suara duka dan lalu mengunci pintu.

"Wan Jie," kata orang tua itu.

"Sebenarnya aku ingin menunggu dua tahun lagi, sesudah kau menjadi dewasa, baru aku ingin memberitahukan urusan ini kepadamu.

Tapi sekarang kutak dapat menunggu lagi."

Jantung si-nona memukul keras. "Ada apa. ?"

tanyanya dengan suara gemetar.

"Aku sudah kena dua batang Touw-hiat-sin-ciam sehingga, biarpun tak sampai menjadi mati, aku sekarang sudah jadi orang bercacad," menerangkan sang paman.

"Untuk mendapat kembali ilmu silatku, paling sedikit aku harus menggunakan tempo sepuluh tahun. Jika tidak ditolong oleh Gie-su Lie Goan, jiwaku tentu sudah melayang. Untuk menyingkirkan diri dari kedua iblis itu, besok aku akan pindah kelain tempat. Maka itu, hari ini adalah hari berkumpulnya kita yang paling penghabisan."

Air mata Wan Jie lantas saja mengalir dikedua pipinya. "Kemana juga Pehpeh pergi, aku mau mengikut,"

katanya dengan suara parau. "Tidak...., tidak bisa. Bukan aku tidak mau mengajak, tapi karena kau sendiri mempunyai tugas yang lebih penting, yang harus diurus olehmu," jawabnya.

Jantung si-nona me-lonjak2.

la menduga, bahwa apa yang akan dijelaskan oleh sang paman, adalah soal kematian kakek dan kedua orang tuanya yang sangat luar biasa.

Dan dugaan itu ternyata benar.

"Wan Jie, apa kau tahu, sebab-apa kakek dan kedua orang tuamu meninggal dunia ?" tanya Kun Liang.

"Menurut katanya Ong An, karena penyakit menular," jawabnya.

Sang paman menghela napas.

"Benar..., benar. penyakit menular," katanya.

"Dan Bu Cek Thian adalah penyebar penyakit itu. Penyahat itu telah membinasakan banyak anggauta keluarga kaizar, banyak menteri2 setia. Kakek dan kedua orang tuamu telah dibinasakan oleh Bu Cek Thian !"

Kata2 itu bagaikan halilintar ditengah hari bolong! Tiangsun Kun Liang sedang menjelaskan tentang kematian Kakek dan ke-dua Orang Tua-nya Siangkoan Wan Jie yang sangat luar biasa kepada Wan Jie

Teka-teki yang selalu menganggu pikiran sinona selama tujuh tahun, sekarang sudah menjadi terang.

la berdiri dengan mulut ternganga dan mata membelalak, tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.

Sambil meng-usap2 rambut si nona, Kun Liang berkata pula:

”Pada tujuh tahun berselang, kakekmu menjabat pangkat Sie-long, sedang ayahmu menjadi penasehat Thaycu (putera mahkota yang sedang bersekolah.

Melihat cara2 Bu Cek Thian yang sangat menghina Hu- hongnya (ayahanda kaizar) dan juga karena kuatir Bu- houw (ibu) merampas takhta kerajaan, maka dengan tidak menghiraukan kemungkinan dicap sebagai anak tidak berbakti, Thaycu telah membujuk ayahnya untuk memecat sang ibu dari kedudukan Buhouw.

Disamping itu, ia juga teIah mengadakan perdamaian dengan sejumlah menteri besar untuk menumpas kaki- tangan Buhouw.

Kaizar Khocong kena dibujuk dan lalu memerintahkan kakekmu membuat rencana firman pemecatan peimaisurinya.

Tapi apa lacur, karena tidak ber-hati2, rahasia itu telah diketahui Bu Cek Thian.

Ditengah malam buta, kaki-tangan iblis perempuan itu telah menggeledah seluruh keraton dan dihadapan kaizar, mereka telah merampas rencana firman dari badan kakekmu.

Pada ke-esokan harinya, kakek dan ayahmu telah dibinasakan.

Ibumu sendiri telah ditangkap dan dimasukkan kedalam keraton sebagai budak.

Kau sendiri pun sebenarnya mau dibekuk, tapi sudah keburu dibawa lari oleh Ong An yang setia."

(Menurut sejarah kerajaan Tong, sesudah Siangkoan Gie dan Siangkoan Teng Cie dibinasakan, Siangkoan Wan Jie telah dijadikan budak keraton. Waktu ia berusia empat-belas tahun, secara kebetulan kepintarannya telah diketahui Bu Cek Thian yang lalu mengangkatnya sebagai semacam sekretaris dan belakangan memberikannya tugas2 yang penting. Tapi catatan sejarah ini belakangan banyak disangsikan orang).

Mendengar keterangan itu, hati si-nona seperti di-iris2. Tiba2 ia berlutut dihadapan Tiangsun Kun Liang dan berkata dengan suara serak: "Pehpeh, aku tahu, bahwa dalam penitisan ini, tak dapat aku membalas budimu yang begitu besar. Aku hanya mengharap, bahwa dengan tangan sendiri aku akan dapat membinasakan iblis perempuan yang telah mencelakakan begitu banyak manusia " la tak bisa meneruskan perkataannya dan air mata mengalir deras dikedua pipinya yang pucat-pias.

Sang paman tersenyum duka dan sambil meng-usap2 pundak sinona, ia berkata dengan suara perlahan: "Jika kau dapat mewujudkan cita2-mu itu, aku dan segenap menteri setia akan merasa berterima kasih tak habisnya. Dengan demikian, capai-lelahku selama beberapa tahun tidak terbuang dengan cuma2."

"Sekarang baru kumengerti maksud Pehpeh yang sangat mulia," kata si-nona. "Hanya sungguh menyesal, aku sudah tidak mendengar segala nasehatmu. dan

sungkan belajar ilmu silat dengan sungguh2."

"Untuk menjalankan tugas yang sangat berat itu, orang dapat hanya mengandal kepada ilmu silat," kata sang paman.

"Yang paling penting yalah ber-hati2 dan kemampuan untuk bertindak dengan mengimbangi salatan.

Kiamsut Pek-jie dan Thay-jie banyak lebih unggul daripadamu.

Akan tetapi, jika mereka diserahkan pekerjaan yang seberat itu, mereka pasti tak akan mampu mengerjakan.

Nah, Wan Jie, sekarang kau boleh berangkat dan aku berdoa biarlah kau selalu dipayungi Tuhan Yang Maha Kuasa dan semoga cita2-mu lekas berhasil. Aku tak mempunyai apa2 untuk dihadiahkan kepadamu, tapi ambillah pedang ini yang sudah mengikuti aku dalam tempo lama." Sehabis berkata begitu, ia meloloskan pedang, Ceng-hong-kiam dari pinggangnya dan tiba2 sepucuk surat jatuh dari sakunya.

Surat itu adalah surat Bu Cek Thian untuk Thaycu Lie Hian yang dibawa oleh The Un. Sesudah The Un terluka, surat tersebut diserahkan kepada Tiangsun Kun Liang oleh piauwsu Lie Goan.

Dengan perasaan mendongkol Kun Liang menjemput surat itu dan tangannya bergerak untuk merobeknya.

"Pehpeh, tahan dulu !" kata si nona yang didorong oleh perasaan kepingin tahu. "Aku rasa tak halangan jika kita coba membacanya."

"Baiklah," kata sang paman sesudah berpikir sejenak. "Memang ada baiknya, jika kau mengenali tulisan si-

iblis perempuan. Barangkali saja ada gunanya dikemudian hari."

Wan Jie segera membeset amplop dan membaca isinya

Dipersembahkan kepada anak Hian,

Semenjak kecil kau adalah seorang yang sangat suka membaca buku dan kesukaan itu sebenarnya harus dipuji.

Tapi sayang, kau membaca buku2 kuno bukan untuk mendapatkan apa2 yang baru. Sebaliknya dari itu, kau jadi kukuh kepada segala kekolotan.

Kau harus mengetahui, bahwa cara2 Sian-hong (mendiang kaizar) dijaman lampau, belum tentu cocok dengan jaman sekarang.

Jika kau menjadi kaizar, sudah pasti kau akan memerintah secara kolot dan kecelakaan yang diderita oleh ummat manusia didalam dunia, bakal terlebih hebat daripada jika mereka diperintah oleh seorang kaizar yang sama-sekali tidak pernah membaca buku.

Inilah suatu hal yang aku ingin minta kau suka merenungkan dengan seksama.

Membaca sampai disitu, si nona menjebi dalam hatinya yang sangat mendongkol.

"Dia sendiri yang menyelakakan manusia dan masih ada muka untuk menggunakan kata2 itu guna menasehati anaknya," katanya didalam hati. Tapi dilain saat, serupa pikiran lain berkelebat dalam otaknya Wan Jie.

"Tapi ........... jika mau berterus-terang, apa yang ditulis olehnya, sebenarnya merupakan suatu pendapat dari seorang yang berpemandangan luas pikirnya.

Ia membaca pula

Sedari bayi, kau hidup didalam keraton dengan segala kemewahannya, sehingga kau sama-sekali tidak mengenal kesusahan dan penderitaan rakyat jelata. Semenjak kecil, kau selalu dikurung oleh manusia2 rendah yang mempunyai kebiasaan men-jilat2 dan dalam alam pikiranmu, kau hanya ingat kekuasaan dan kemewahan dunia.

Karena tak mempunyai banyak tempo, aku tak sempat menilik dan mengajar kau.

Melihat laga lagumu yang sekarang, dengan sesungguhnya aku merasa sangat malu dan berkuatir.

Rakyat Pasiok (propinsi Sucoan) rajin dan sederhana.

Gunungnya indah dan airnya bening-jernih, sehingga apa yang terdapat di Pa-siok sukar dicari tandingannya didalam dunia.

Maksud mengirim kau ke Pa-siok, yalah supaya kau bisa merawat diri dan memperoleh pikiran sadar,

Supaya kau mengenal rakyat, supaya kau mencuci, sifat2-mu yang kolot.

Dengan adanya gunung yang indah dan air yang bening-bersih, kau bisa melapangkan dada dan memperluas pemandanganmu yang sempit.

Apa yang dikatakanku barusan, kau harus merenungkannya ditengah malam yang sunyi, supaya per-lahan2 kau bisa tersadar."

Membaca sampai disitu, Siangkoan Wan Jie terkejut. "Jika apa yang ditulis Bu Cek Thian keluar dari hati

yang, tulus, ia sungguh seorang kaizar yang, bijaksana," pikirnya. "Tidak.....! tidak...... dia seorang jahat yang coba menedeng kejahatannya dengan kata2 indah. Tak dapat aku melupakan sakit hati kedua orang tuaku, dengan hanya membaca sepucuk surat."

Tapi, dilain saat, ia ingat, bahwa waktu menulis itu, Bu Cek Thian tak pernah mimpi, bahwa suratnya bakal dibaca oleh orang lain.

Perlu apa ia ber-pura2 terhadap anaknya yang berada dalam pembuangan ?

Sebagai seorang ahli ilmu surat, ia pun dapat melihat, bahwa setiap huruf ditulis dengan penuh perasaan.

Wan Jie jadi bingung dan sesudah berdiam sejenak, ia lalu membaca lanjutan surat itu:

Aku sekarang sudah berusia lanjut, sedang anak yang tercinta berada ditempat jauh.

Bagaimana hatiku tak menjadi duka ?

Tapi karena ingin kau menjadi orang, tak dapat tak aku harus bertindak seperti apa yang diambil.

Aku berdoa, supaya kau cepat2 tersadar dan menjadi manusia yang mulia, supaya dihari tuaku, aku mempunyai senderan yang boleh dibuat andalan.

Seseorang yang menikmati kebahagiaan yang diberikan Tuhan, barulah mendapat kebahagiaan sejati.

Hian-jie, ingatlah nasehatku ini !

Bagaimana dengan matamu yang sering sakit ? Setiap hari kau tidak boleh lalai mencuci mata.  Huruf2 yang terlalu kecil tidak boleh dibaca olehmu. Ingatlah ! Ingatlah segala perkataan ibumu.

Siangkoan Wan Jie bengong.

Kecintaan antara ibu dan anak telah tertulis secara mengharukan hati diatas sehelai kertas itu.

Jika ia tak pernah mendengar, bahwa Bu Cek Thian adalah manusia iblis yang telah meracuni anaknya sendiri, ia tentu akan memastikan, bahwa si-penulis surat itu adalah seorang ibu yang bijaksana dan mulia.

Tapi, biarpun sudah mendengar itu, untuk beberapa saat ia mencekel surat itu seperti orang linglung.

---o~Dewikz^0^Tah~o---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar