Naga dari Selatan BAGIAN 56 : HABIS GELAP TERBITLAH TERANG (TAMAT)

 
BAGIAN 56 : HABIS GELAP TERBITLAH TERANG (TAMAT)

Kembali pada partai Kiau To lawan Hwat Siau, rupanya jalannya pertandingan makin berat sebelah. Kiau To hanya dapat membungkus dirinya dengan lingkaran sinar jwan- pian sembari loncat kesana menghindar kemari. Benar2 dia hanya dapat bertahan tak mampu balas menyerang lagi. Selendang sutera Hwat Siau makin bergelora hidup, dan makin gencar serangannya. Selendang itu se-olah2 membungkus lingkaran sinar jwan-pian.

Kedua seteru itu sama mainkan senjata yang  bersifat lemas. Jwan-pian atau ruyung lemas Kiau To itu ada kira2 tiga meter panjangnya. Sewaktu diputar, dapat menjadi sebuah lingkaran yang membungkus dirinya. Tapi oleh karena selendang si Hwat Siau lebih panjang lagi, jadi dapatlah dibuat melingkungi lingkaran jwan-pian itu. Pemandangan yang disuguhkan dari kedua permainan itu, memang sangat menarik sekali.

Tenaga himpitan yang dibawa oleh gelombang selendang Hwat Siau itu makin lama makin terasa hebat. Malah tidak cukup disitu saja kehebatan itu. Sambaran selendang yang mengeluarkan bunyi men-deru2 itu, disertai pula dengan hawa panas yang merangsang tubuh Kiau To. Diserang secara begitu luar biasa, betul2 telah membuat Kiau To mati kutu didalam terperanjatnya. Melirik kesebelah sana didapatinya Tio Jiangpun pontang-panting tak keruan keadaannya. Sedang Ciok ji-soh mendumprah ditanah tak dapat berdaya suatu apa.

"Ciok ji-soh, apakah kau terluka berat?" tiba2  dia tergerak pikirannya untuk menegur wanita keras hati itu.

Dalam sepeminum teh lamanya itu, setelah beristirahat dan menyalurkan hawa dalam, Ciok ji-soh merasa agak baikan. Maka serunya menyahut: "Tak jadi halangan apa2!"

"Mengapa tak memanggil bantuan?" seru Kiau To.

Seruan itu telah menyadarkan Ciok ji-soh. Bukantah tokoh silat gereja yang sukar dicari tandingannya,  Tay Siang siansu, itu berada disini? Ai, mengapa ia setolol Itu tak mau mengundangnya kemari, tapi berkeras mau melawan sendiri musuh yang terang bukan lawannya itu?

Plak, ia menampar mukanya sendiri selaku menghukum diri atas ketololannya itu. Serentak loncat bangun, ia terus hendak lari, tapi bluk....., tahu2 ia terjatuh lagi. Mengapa? Kiranya Hwat Siau dan Swat Moay cukup tahu apa artinya kalau Ciok ji-soh berhasil mengundang Tay Siang siansu kesitu. Sudah tentu mereka tak mau membiarkan nyonya gagah itu untuk masuk kedalam gereja. Begitu nyonya itu mengayun tubuh, Hwat Siau segera sentakkan selendang yang dengan cepatnya segera melegat-legut menyerang. Karena Ciok ji-soh tak bersiaga, maka ia dipaksa mencium tanah lagi.

Tapi wanita yang keras kepala itu, dengan cepatnya merangkak bangun lagi, lalu memberosot lari kemuka. Hwat Siau menggerung. Selendangnya berobah menjadi sebuah lingkaran yang meluncur keatas kepala Ciok ji-soh.

Kiau To mengeluh kaget. Ketika Ceng Bo bertanding dengan kepala, jagoan Ceng itu, diapun menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatannya selendang itu. Dia insyaf, sekali Ciok ji-soh sampai kena terlibat selendang itu, jiwa nyonya itu tentu terancam dan dia sendiripun pasti tak mampu menolonginya.

Bagi seorang ksatrya macam Kiau To, menolong kawan adalah suatu kewajiban mulia sekalipun andai kata jiwanya sendiri sampai berkorban untuk itu. Loncat keatas, dia balingkan jwan-pian untuk menghantam selendang. Hantamannya itu dilancarkan dengan seluruh tenaganya. Oleh karena Hwat Siau tak mengira kalau Kiau To berani berbuat senekad itu, maka selendangnyapun kena kehantam dengan tepatnya. Ujung selendang yang selingkar tadi, telah terpental keatas dan Ciok ji-sohpun dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap 3 tombak jauhnya.

Diganggu secara begitu, Hwat Siau timpahkan kemarahannya kepada Kiau To. Lingkaran ujung selendangnya tadi kini berbalik melibat jwan-pian Wau To. Dan sekali menyentak, berserulah Hwat Siau dengan bengianya: "Lepas!"

Watak Kiau Topun keras seperti baja. Dia bertekad tak mau lepaskan jwan-piannya. Bahkan senjata itu dicekalnya erat2. Tapi sesaat itu dia rasakan tangannya sakit bukan alang kepalang. Kulit telapak tangannya sampai terbeset, namun dia berkeras hendak mempertahankan. Tapi bagaimanapun juga, tokh akhirnya jwan-pian itu kena terkait oleh tarikan selendang Hwat Siau.

Kesemuanya itu hanya berlangsung dalam waktu beberapa kejab saja. Dengan tertawa menghina, Hwat Siau alihkan selendangnya mengejar Ciok ji-soh lagi. Ciok jisoh berputar kebelakang untuk menangkis dengan sepasang kim-kong-lunnya. Tapi tangkisannya itu bukan saja menghantam angin, bahkan sebaliknya malah kena terlibat lingkaran selendang. Hendak ia mencoba melepaskan diri, namun sia2 jua. Adalah pada saat yang genting meruncing itu, se-konyong2 dari atas tembok sana terdengar orang berseru dengan menggeledek: "Keparat, macam berkelahi apa itu? Hai, mana si kui-ah-thau (budak perempuan nakal)

?"

Dalam suasana sehening malam itu, auara seruan itu se- olah2 memecah bumi kedengarannya. Memang diluar dugaan Hwat Siau dan Swat Moay bahwa pertempuran itu akan berjalan sampai sekian lama. Perhitungannya, dalam dua tiga gebrak saja mereka tentu dapat membereskan Kiau To bertiga. Dan ini memang harus begitu, karena mereka harus lekas2 masuk kedalam perigi agar jangan sampai kedahuluan orang. Dua puluh jurus lebih telah berlangsung, tapi berkat perlawanan yang nekad dari ketiga orang itu, Hwat Sisu dan Swat Moay terpaksa menggigit jari.

Seruan yang mengguntur tadi, telah membuat Hwat Siau terperanjat. Namun sebagal jago kawakan, dia tak menjadi gugup dengan gangguan itu. Selanjutnya tetap dilingkarkan kearah kim-kong-lun. Dengan gunakan tenaga lemas dia menarik dan itu saja sudah cukup menyeret Ciok ji-soh sampai setombak jauhnya. Setelah itu barulah dia mendongak keatas. Sesosok tubuh macam sebuah menara tampak berdiri diatas wuwungan rumah. Tinggi orang itu tak kurang dari 2 meter lebih dan perawakannya begitu gagah perkasanya. Pada lain saat, tampak ada dua sosok bayangan lagi, tiba disamping orang tinggi besar  tadi. Hanya cara kedua orang itu naik keatas wuwungan, adalah aneh juga. Kedua sosok bayangan hitam itu naik dengan menggunakan tangan, kemudian baru tegak berdiri.

Astagafirullah! .......... Begitu berdiri kedua sosok tubuh itu kira2 hampir 3 meter tingginya. Orang pertama yang boleh dikatakan sudah jangkung tadi, begitu berjajar dengan kedua bayangan hitam itu telah berobah menjadi semacam anak kecil saja. Betapa kejutnya Hwat Siau dapat dibayangkan.

"Niocu, dari 36 jalan!" tiba2 dia menyerukan isterinya. Seruan itu rupanya sebuah tanda rahasia yang lengkapnya adalah begini: 'dari 36 jalan, lari adalah yang paling selamat'. Jadi maksudnya dia hendak mengajak sang isteri kabur saja.

Tapi baru saja ucapannya itu diserukan, atau dari kejauhan sudah tampak mendatangi ber-puluh2 batang obor. Kiranya sewaktu mendengar seruan mengguntur dari sijangkung tadi, para hweshio gereja situ sama terperanjat. Dengan membawa obor, mereka ber-bondong2 menghampiri keluar. Dalam sekejab saja suasana disitu menjadi terang benderang laksana siang hari.

Dari cahaya obor, dapat Swat Moay melihat jelas siapa2 yang berdiri diatas wuwungan itu. Si jangkung  pertama tadi, adalah seorang laki2 yang gagah perawakannya. Sedangkan kedua sosok tubuh yang hampir 3 meter tingginya itu, kiranya bukan manusia melainkan dua ekor orang-utan!

Juga Kiau To, Tio Jiang dan Ciok ji-soh sudah dapat mengetahui siapa2 yang datang itu. "Nyo cecu, kiranya kaulah!" serempak Kiau To dan Tio Jiang berseru dengan berbareng.

Benar, memang sijangkung itu bukan lain adalah Nyo Kong-lim itu toa-cecu (pemimpin pertama) dari ke 72 markas Hoasan.

"Memang akulah!" Nyo Kong-lim menyeringai tertawa. Dan bluk....., loncatlah dia turun. Kedua orang-utan itupun ikut turun. Taringnya yang menonjol dimulut, menampilkan kebuasan yang mengerikan orang.

Sebagai orang persilatan yang banyak makan asam garam, Hwat Siau dan isterinya cukup menginsyafi sampai dimana kelihayan bangsa binatang begitu itu. Setelah saling bertukar isyarat mata, mereka berdua loncat keatas rumah.

"Keparat, belum apa2 sudah mau ngacir!" seru Nyo Kong-lim nikasar au.

Memang sekalipun memiliki kepandaian yang hebat, kedua suami Isteri itu adalah bangsa manusia licik. Bukannya berhenti menyambuti tantangan Nyo Kong-lim sebaliknya mereka malah enjot pula kakinya untuk loncat keatas wuwungan rumah yang kedua. Tapi adalah  pada saat itu, dari sebelah luar tembok gereja, loncat masuk beberapa orang. Dua dari mereka tampak menghunus dua batang pedang yang bergemerlapan cahayanya. Melihat jalanan dipegat, Hwat Siau dan Swat Moay loncat balik lalu tegak saling membelakangi bahu.

Wut, Nyo Kong-lim mencabut sam-cat-kun (toya yang mempunyai 3 buku), terus loncat keatas. Kiau To, Tio Jiang dan Ciok ji-soh pun mengikuti dari belakang. Kedua binatang itupun tak mau ketinggalan, turut melompat keatas. Sewaktu melihat Tio Jiang agaknya kedua orang utan itu seperti bertemu dengan sahabat lama. Mereka menyeringai tertawa, tapi sebaliknya Tio Jiang malah ber- jingkrak kaget dibuatnya.

Saat Itu ada ratusan hweshio dengan mencekal obor, menyuluhi wuwungan. Tampak diantara rombongan orang2 yang datang itu tadi, yang berada disebelah depan dandanannya seperti seorang pertapaan (imam), berwajah agung dan mencekal sebatang pedang pusaka. Memang dia bukan lain Ceng Bo siangjin adanya. Yang berada disisinya adalah Kang Siang Yan In Hong. Sebelah kanan dan kiri di- apit2 Kui-ing-cu dan Thaysan sin-tho Ih Liok. Dibelakangnya terdapat Ki Ce-tiong yang menghunus sepasang song-kian, serta Sin-eng Ko Thay. Kini belasan orang itu sama mengepung Hwat Siau dan Swat Moay.

Setelah yakin bahwa kedua kepala benggolan  kaki tangan pemerintah Ceng itu tak dapat lolos, bertanyalah Ceng Bo kepada Kiau To: "Kiau-heng, bagaimana Yan- chiu? Dan lain2 saudara?"

Kiau To sebenarnya masih belum hilang keheranannya mengapa sekalian tokoh2 kawan seperjoangannya itu dapat tiba digereja Kong Hau Si pada saat yang begitu tepat. Setelah merenung sejenak barulah dia sadar, bahwa kedatangan kawan2 itu adalah hasil dari undangan yang disebarkan dengan merpati posnya. .

"Ah, terlalu panjang untuk diceritakan. Lebih baik bereskan dahulu kedua manusia busuk itu!" sahutnya dengan girang.

Kulit tangannya yang terbeset karena ditarik Hwat Siau tadi masih berlumuran darah. Sewaktu dia menuding kepada Hwat Siau dan Swat Moay, tangannya yang merah berdarah itu tampak memberi pemandangan yang mengerikan sekali sewaktu ditimpa cahaya penerangan obor. Hwat Siau dan isterinya tampak gelisah sekali. Rombongan Ceng Bo adalah jago2 keras semua. Apalagi masih ada Tay Siang siansu. Jadi dapatkah mereka menyelamatkan jiwa kali ini, adalah suatu  pertanyaan besar. Maka betapapun lihaynya kepandaian kedua suami isteri itu, tak urung tercekat juga hatinya.

"Apakah saudara baik2 saja?" tanya Ceng Bo kepada sepasang suami isteri itu. Demikian toleransi (kesabaran) siangjin itu, sampaipun kepada musuh besar, dia tetap memberi tegur salam pergerejaan yang ramah.

"Bek-heng mengapa suka membuang waktu saja, labrak sajalah........." seru si kasar Nyo Kong-lim sembari kibar2kan sam-ciat-kunnya. Tertumbuk akan hadirnya Kang Siang Yan, berserulah dia sembari menuding: "Hai, kiranya kaupun berada disini."

Kang Siang Yan tak mau hiraukan si kasar itu. Melangkah maju bersama suaminya, mereka berhadapan dengan Hwat Siau Swat Moay. Melihat itu tertawalah Swat Moay dengan sinisnya: "Mengapa kamu sekalian perlu turun tangan lagi? Kami berdua suami isteri akan serahkan tangan ditangkap!"

Tahu kalau kedua kepala jagoan itu bukan bangsa yang tak berguna, berserulah sibongkok Ih Liok: "Mengapa?!"

"Hehehe ! ..: " Swat Moay mengekeh, "Kami berdua suami isteri tak memiliki 3 kepala 6 tangan, bagaimana dapat melayani kamu sekalian?"

Kini tahulah sekalian orang kemana jatuhnya kata2 Swat Moay itu. Jadi suami isteri durjana itu kuatir kalau dikeroyok. Sudah tentu bangkitlah kemarahan orang binyak. Lebih2 Kang Siang Yan yang terus menyatakan kepada suaminya: "Ing-ko, cukup kami berdua yang majulah!" "Ing-ko" (kanda Ing), tanpa terasa mulut si Bongkok mengulangi kata2 yang merdu dari Kang Siang Yan ketika membahasakan Bek Ing atau Ceng Bo siangjin.

"Heh, Kang Siang Yan, betapa merdu ucapan Ing-ko itu. Rasanya sudah 10 tahun lebih saudara Bek  Ing rindu dengan ucapan itu!" si Bongkok menggoda.

"Huh......., lagi2 mulutmu yang lancip itu cengar-cengir ya!" Kang Siang Yan menyeringai.

Bahwa setelah 10 tahun berpisah karena salah faham kini kedua suami iateri gagah itu sudah berbaik kembali, telah disambut dengan perasaan girang oleh sekalian orang gagah. Tapi diantara sekian banyak yang merasa gembira itu, hanya Tio Jiang yang tampak gelisah. Dia tetap kuatir akan keselamatan Yan-chiu yang tetap tak muncul hingga saat itu: Dia seperti mendapat firasat kalau sumoaynya itu dalam keadaan berbahaya.

"Suhu, Siao Chiu entah pergi kemana!" katanya melapor kepada sang suhu dengan nada merengek. Kemudian dengan ter-bata2 dia menuturkan apa yang telah terjadi dengan sumoaynya Itu.

"Ayuh, lekas cari dianya!" seru sekalian orang sebelum Ceng Bo menyatakan apa2.

Hwat Siau dan isterinya yang mengetahui beradanya sigenit itu, dengan tertawa getir segera mengejek: "Ya, carilah! Toh nantinya kamu hanya mendapat sesosok bangkai saja!"

Saking gusarnya Tio Jiang segera menyerang kedua suami isteri jahat itu dengan sebuah jurus hay-lwe-sip-ciu. Tapi siang2 kedua suami isteri itu sudah angkat tangannya masing2 dan tahu2 pedang Tio Jiang telah terdorong oleh suatu tenaga yang kuat. Bahkan orangnyapun terhuyung mundur sampai beberapa tindak.

"Setengah jam yang lalu, budak perempuan itu menceburkan diri kedalam sumur. Jadi kalau nanti diketemukan, bukantah bakal merupakan mayat belaka?" kembali kedua suami isteri itu mengejek.

Sudah tentu sekalian orang gusar sekali, tapi dalam pada itu tak tahu, mereka sebabnya mengapa Yan-chiu sampat mengambil keputusan yang pendek itu. Berisik sekalian orang sama memperbincangkan soal itu.

Sebenarnya dengan mengemukakan persoalan Yan-chiu itu, hendak kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu mengalihkan perhatian orang. Dan ketika siasatnya itu berhasil dimana semua orang sama asyik membicarakan sigenit, mereka bersorak didalam hati. Mencuri kesempatan itu Hwat Siau dan  isterinya segera kisarkan kakinya mundur, lalu se-konyong2 memburu kebelakang.

Yang berada dibelakang mereka adalah Tio Jiang dan Kiau To. Dasarnya Tio Jiang sudah kacau balau pikirannya memikirkan keadaan sang sumoay, maka dia tak bersiaga sama sekali. Apalagi kedua suami isteri itu telah gunakan seluruh tenaganya untuk menerjang, maka Tio Jiangpun serasa sesak napasnya karena di-himpit oleh dua buah tenaga dahsyat. Buru2 Tio Jiang angkat pedangnya untuk menangkis, tapi dalam pada itu, Swat Moay dan Hwat Siau sudah dapat membuka sebuah lubang lolos.

Kini tersadarlah semua orang bahwa mereka telah kena dipedayai. Serempak mereka maju mengejar. Tapi dalam sekejab itu saja, Hwat Siau dan Swat Moay sudah berada beberapa meter disebelah muka, suatu jarak yang membuat kedua suami isteri kegirangan sekali karena yakin tentu dapat lolos. Tapi se-konyong2 dari arah belakang terasa ada sambaran angin yang berbau amis. Dalam kesibukannya, kedua suami isteri itu tak sempat untuk menoleh  kebelakang lagi dan hanya gerakkan tangannya menghantam kebelakang. Blak....., blak...., kiranya tepat sekali hantaman itu mengenai sasarannya, tapi bukan suara menjerit kesakitan yang terdengar melainkan gerungan yang dahsyat. Dan berbareng dengan itu, sebuah tangan raksasa berkilat dihadapannya. Ketika mereka mendongak mengawasi, hai kiranya kedua orang utan itu tengah merangsangnya!

Kiranya walaupun sekalian orang itu dapat diselomoti, tapi kedua binatang itu tetap waspada. Ini disebabkan karena tak mengerti apa yang tengah dikatakan oleh orang2 itu dengan Hwat Siau dan Swat Moay. Yang diketahui oleh kedua binatang itu, yalah Hwat Siau dan Swat Moay dikepung oleh orang banyak. Maka begitu kedua suami isteri itu hendak lolos, dengan sigapnya kedua binatang itu maju menghadang.

Seperti diketahui, bangsa orang utan yang  tinggal di pegunungan Sip-ban-tay-san itu gemar berloncatan dan berlari2an. Jadi dalam soal kegesitan, mereka tak dibawah jago silat kelas utama. Dengan memiliki kulit yang tebal keras, benar2 mereka merupakan makhluk yang lihay. Dua buah hantaman kedua suami isteri tadi, cukup mereka kuat menahannya.

Adalah karena kelambatan beberapa detik itu saja, cukuplah sudah bagi Kang Siang Yan, Kui-ing-cu dan rombongannya untuk mengejar tiba. Mereka menyusul turun darl atas wuwungan. Kembali mereka mengepung kedua suami isteri jagoan Itu.

Nyo Kong-lim menghalau kedua orang utan itu, kemudian menerangkan asal usul mereka: "Ketika dua hari aku tersesat dalam bi-kiong (istana sesat) gunung Sip-ban- tay-san (sebagaimana halnya dengan Tio Jiang tempo hari), bersua dengan kedua binatang itu yang berada disitu. Pada lain tempat, kujumpai simpanan ransum makanan, entah siapa yang telah menaruhkan disitu. Setelah men-cari2 selama setengah tahun, barulah aku dapat keluar dari tempat itu. Kalau tadi tak ada kedua orang utan itu yang menghadang, tentulah kedua bangsat itu dapat lolos!"

Seenaknya saja sikasar itu bercerita, se-olah2 bukan sedang menghadapi pertempuran, sehingga membuat sekalian orang geli dibuatnya. Adalah tak jauh dari situ, tampak sumur Tat-mo-keng.

"Biarlah aku yang turun memeriksanya!" seru Tio Jiang. Tanpa menunggu idin sang suhu lagi, dia terus loncat turun kedalam sumur.

Air sumur itu sudah hening kembali. Lapisan lumpur yang ber-golak2 tadi pun sudah tenang menutup dasar sumur lagi. Ilmu berenang Tio Jiang sangat bagus. Begitu tiba didalam air, dia segera membuka mata untuk mengawasi kesekeliling situ. Dalam kepekatan air sumur yang kehitam2an itu, samar2 tampak ada 3 larik cahaya berkilau. Tio Jiang meluncur kebawah dasar dan tangannyapun menyentuh tubuh Yan-chiu. Dilihatnya badan nona itu sudah seperti "terbungkus" lumpur. Dengan terharu duka, dibawanya sang sumoay timbul kepermukaan air. Dari mulut sumur yang hanya tiba dimasuki tubuh seseorang, disorongkannya tubuh Yan-chiu keatas. Syukur disebelah atas sudah ada orang yang cepat2 menyambuti untuk menarik Yan-chiu kedaratan. Mulut, telinga dan hidung nona itu terbungkus lumpur semua, entah masih hidupkah dia itu ? Buru2 diambil air untuk mengguyur mukanya sampai bersih. Hai, kiranya cahaya muka sigenit itu masih tetap seperti orang hidup. Tio Jiang menelungkupi tubuh sang sumoay, menangis tersedu sedan. Kemarahan sekalian orang ditimpahkan kepada Hwat Siau dan Swat Moay. Benar Yan-chiu itu seorang nona genit yang nakal, tapi ia sangat tangkas lincah dan mempunyai bakat bagus. Sifatnya yang ramah riang terhadap orang, telah meninggalkan kesan yang mendalam kepada sekalian orang. Jadi kalau mereka penasaran atas meninggalnya nona itu, itulah sudah pada tempatnya.

---o-dwkz-0-tah-o---

"Hong-moay, ayuh kita lebih dahulu membalaskan sakit hati Siao Chiu!" seru Ceng Bo kepada Kang Siang Yan sembari aiapltan pedang.

"Baiklah!" sahut sang isteri sembari kontan menyerang tenggorokan Swat Moay dengan jurus pah-ong-oh-kang. Melihat isterinya sudah mendahului, Ceng Bopun segera menyusuli dengan sebuah jurus Tio-ik-cut-hay.

Suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu insyaf, bahwa kali ini mereka bakal menghadapi suatu pertempuran hebat. Jadi mereka sangat ber-hati2 sekali. Mereka berdiri saling merapat punggung, supaya dapat bahu membahu bertempur Begitu tusukan pedang memburu, Hwat Siau mundur selangkah sembari gontaikan selendang sutera untuk  melibat kedua pedang lawan. Sedang Swat Moaypun dorongkan sepasang tangannya kemuka untuk menghantam kaki Kang Siang Yan dan Ceng Bo.

Selendang sutera anyaman benang emas putih itu, me- lingkar2 bagaikan seekor naga menari. Tapi pedang Kang Siang Yan dan Ceng Bo itu adalah pedang pusaka songhong-kiam (sepasang burung cenderawasih) yang dapat dibuat membelah segala macam logam. Karena gugupnya lupalah sejenak Hwat Siau akan hal itu. Maksudnya dia hendak melibat kedua pedang itu, tapi tak tahunya ujung selendang telah kutung menjadi 3 potong. Kini selendang itu hanya tinggal 2 tombak panjangnya.

Sedang untuk serangan Swat Moay tadi, Kang Siang Yan dan Ceng Bo ber-sama2 loncat keudara untuk menghindarinya. Selagi masih diatas, pedang berganti gaya dalam jurus Kut-ji-thou-kang dan Boan-thian-kok-hay. Dua batang pedang yang memancarkan sinar ke-hijau2an memburu dari 4 jurusan, laksana sebuah jaring pedang yang hendak memperangkap Hwat Siau dan Swat Moay. Jangankan Hwat Siau dan Swat Moay yang merasakan sendiri, sedang sekalian orang yang melihat saja,  sudah sama kabur pandangannya dan ter-longong2 mengawasi pemandangan yang menakjubkan itu.

02

Sambil merapatkan punggung mereka, Hwat Siau dan Swat Moay keluarkan lwekang mereka yang hebat untuk menempur Ceng Bo dan Kang Siang Yan. Dengan ditabasnya kutung selendangnya itu, Hwat Siau terdesak dibawah angin. Dan serta menampak rangsangan jaring pedang yang begitu rapat, dengan gugupnya Hwat Siau segera gentakkan selendangnya menjadi lurus kaku, lalu menyodok kaki Ceng Bo. Berbareng dengan itu, tangannya kiri menyusuli sebuah hantaman. Dua buah serangan itu, dia tujukan kearah Ceng Bo siangjin semua. Ini disebabkan karena dia cukup tahu bahwa siangjin Itu lebih lemah dari isterinya (Kang Siang Yan).

Se-lemah2nya, Ceng Bo juga bukan jago sembarangan. Sudah tentu dia tak begitu mudah dirubuhkan dengan serangan itu. Setelah loncat keatas sedikit, mulutnya bersuit keras dan pedangnyapun berganti jurus dengan ceng-wi- tian-hay. Seperti berulang kali kami lukiskan, ilmu pedang to-hay-kiam-hwat itu, jurus berikutnya lebih hebat dari jurus yang terdahulu. Ceng-wi-tian-hay merupakan jurus kedua, baik gaya dan perbawanya jauh lebih hebat dari jurus pertama tadi.

Tapi hantaman yang dilancarkan Hwat Siau tadi mengandung tenaga kuat yang panas sekali rasanya, sehingga Ceng Bo serasa terhimpit napasnya. Buru2 dia kerahkan hawa dalam untuk bertahan.

Telah diterangkan diatas tadi bahwa suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu bertempur dengan  saling tempelkan punggung masing2. Kala itu se-konyong2 kaki mereka berkisar dan berobahlah kini posisi mereka. Hwat Siau menghadapi Kang Siang Yan sedang Swat Moay melayani Ceng Bo. Kiranya kedua suami isteri jagoan itu, sudah mempunyai latihan bersama yang sempurna sekali. Begitu berkisar, Swat Moay sudah lantas lancarkan dua buah hantaman. Belum lagi hawa panas tadi dirasakan hilang oleh Ceng Bo, atau kini ada lagi rangsangan hawa dingin datang. Begitu cepat dan sebat perobahan itu berlangsung, hingga Ceng Bo yang tak keburu bersiap, seketika menggigil kedinginan. Begitu pula Hwat Siau yang menghadapi Kang Siang Yan, sudah segera melancarkan serangan lwekang panas, jadi keadaan Kang Siang Yanpun serupa dengan Ceng Bo. Tapi disebabkan lwekang nyonya gagah itu jauh melebihi sang suami, jadi serangan lwekang panas dingin yang ber-tubi2 dilancarkan itu, dapat juga ditahannya. Pedangnya tetap memain dengan lincahnya.

Walaupun gerakan Ceng Bo agak lambat karena menghadapi tekanan lwekang yang aneh itu, namun dengan paksakan diri dapat juga dia langsungkan jurus ke 4, 5 dan

6. Maju merapat dengan Kang Siang Yan, dia selalu membura kearah bagian jalan darah yang berbahaya dari musuh. Hwat Siau dan isterinya tetap gunakan siasat ber- putar2. Dan perputaran itu makin lama makin pesat. Walaupun hanya dengan sepasang tangan kosong, namun pukulau Iwekang yang sebentar memancarkan hawa panas dan sebentar hawa dingin lama kelamaan telah membuat Ceng Bo kepayahan juga. Karena terlalu lama menahan napas untuk menolak serangan lwekang musuh, hawa dalamnya merangsang naik sehingga mukanya menampilkan cahaya merah membara. Melihat keadaan sang suami, Kang Siang Yan kaget sekali. Mengisar kaki mendekati, bertanyalah ia: "Kau bagaimana?"

Ceng Bo seperti si gagu yang makan getah. Menderita siksaan tapi sukar mengatakan. Jadi dia tak menyahut pertanyaan isterinya itu. Sebaliknya Kang Siang Yan segera mengetahui bahwa Iwekang suaminya itu kurang kuat, tak boleh lama2 menghadapi lwekang istimewa dari lawan. "Mundurlah, biar aku sendiri yang melayani!" buru2 ia menyuruh Ceng Bo tinggalkan gelanggang. Tepat pada saat itu Swat Moay melancarkan sebuah hantaman, Kang Siang Yan simpan pedangnya, lalu menyambut serangan lawan itu dengan tangan kosong juga. Blak......, kini tangannya kanan berbentur dengan tangan Swat Moay. Kalau tadi Hwat Siau dan Swat Moay ber-putar2 tak henti2nya, kini serta Kang Siang Yan melekatkan tangan mengadu lwekang, berhentilah gerakan putar mereka. Kini mereka tegak berdiri laksana dua buah patung. Ceng Bo menghela napas untuk memulangkan tenaganya. Diam2 dia cemas akan diri sang isteri, Benar Kang Siang Yan telah meyakinkan ilmu lwekang thay-im-kang selama 10-an tahun.

Tapi entahlah apa Iwekang itu dapat mengatasl lwekang musuh yang aneh itu.

Benar Hang Siang Yan hanya adu lwekang dengan Swat Moay seorang. Tapi oleh karena kedua suami isteri jahat itu berapatan punggung, jadi dapatlah Hwat Siau menyalurkan lwekangnya membantu sang isteri. Tegasnya, Kang Siang Yan dikerubut dua. Pada saat itu, kalau saja Ceng Bo mau menusuk kedua lawannya itu, adalah semudah orang membalikkan telapak tangan. Tapi sebagai seorang jago yang menjunjung azas2 keksatryaan, tak mau dia lakukan perbuatan serendah itu.

Adu lwekang adalah pertandingan yang  paling berbahaya sendiri, karena barang siapa yang kalah, tentu akan menderita kehancuran urat2 nadi. Kalau tak cacad punah seluruh kepandaiannya, tentu akan binasa jiwanya. Juga untuk melerai (memisah) pertandingan macam itu, sukarnya bukan alang kepalang. Kalau yang melerai itu lwekangnya tak diatas yang bertempur, dia sendiri bakal celaka.

Telah dikatakan tadi, bahwa Ceng Bo tak mau mengambil keuntungan secara rendah. Diapun masukkan pedangnya kedalam sarungnya, lalu maju kemuka kehadapan dan menghantamnya. Plak ........, Hwat Siau menyambutnya dan kini kedua tangan mereka saling berlekatan.

Pertama kali bersentuhan dengan tangan Swat Moay, Kang Siang Yan rasakan lwekang dingin lawan tak dibawah thay-im-lian-seng. Buru2 ia (Kang Siang Yan) kerahkan seluruh lwekang untuk menggempur, tapi karena kedua suami isteri jagoan itu berapatan punggung, jadi dapatlah mereka ganti berganti menyalurkan lwekang. Kalau lwekang dingin Swat Moay berhenti, maka lwekang panas Hwat Siau memancar. Begitulah ketika lwekang dingin Swat Moay terdesak, tiba2 Kang Siang Yan terkejut ketika ada hawa panas merangsang. Buru2 ia kerahkan thayim- kang untuk menahan.

Bagaikan sungai yang tak pernah kering airnya, lwekang thay-im-lian-seng dari Kang Siang Yan selalu mengalir kerae. Sekalipun begitu karena Hwat Siau dan Swat Moay gunakan siasat secara bergilir untuk mengasoh, maka lama kelamaan Kang Siang Yan berada dibawah angin juga. Syukurlah Ceng Bo tadi keburu datang menggempur Hwat Siau, sehingga kini ia mendapat kesempatan. Dengan kerahkan tenaga ia desak Swat Moay sampai kepayahan.

Untuk melayani Ceng Bo, Hwat Siau masih mempunyai kelebihan lwekang. Dia cemas melihat isterinya terdesak, maka dengan aecara istimewa sekali dia pindahkan lwekangnya kepada Kang Siang Yang, Rupanya Swat Moay tahu akan maksud suaminya itu, karena iapun cepat tarik pulang lwekangnya untuk dialihkan kearah Ceng Bo. Dengan adanya pergeseran itu, kini kekuatan mereka menjadi berimbang.

Sepeminum teh lamanya, keempat tokoh itu maeih tegak berdiri laksana patung2 yang berhadapan satu sama lain. Kalau saja mau, Kui-ing-cu dan kawan2nya dapat mengakhirl pertempuran itu dengan menghajar Hwat Siau dan Swat Moay. Tapi mereka juga jantan2 yang menjunjung, keperwiraan, jadi menonton saja dipinggir dengan hati yang gundah gelisah.

Lewat setengah jam kemudian, se-konyong2 dari arah keempat orang yang bertempur itu terdengar suara berkeretekan. Sekalipun amat pelahan, namun kedengaran jelas sekali. Kini tahulah sekalian orang bahwa keempat tokoh itu telah mencapai tingkat yang menentukan. Ini terbukti dahi keempat orang itu mengucurkan butir2 keringat. Muka Ceng Bo merah membara, roman Kang Siang Yan muram keren, Hwat Siau merah padam dan Swat Moay lesi kehijau2-an.

Keadaan pada saat itu genting meruncing sekali. Kecuali letikan lidah api obor yang mengeluarkan bunyi letak-letik, suasana disitu sangatlah heningnya. Se-konyong2 keheningan itu dipecah oleh suara ujung tongkat mengetuk- ngetuk lantai, tok..., tok.... Suara itu makin lama makin dekat, menyusup diantara sekian banyak hweshio2 yang memegang obor, lalu muncul ditengah gelanggang. Astaga, kiranya Tay Siang siansu yang datang itu dengan me- mukul2kan tongkat timahnya kelantai. Begitu tenangnya siansu itu menuju kegelanggang pertempuran, se-olah2 pertempuran mati hidup yang berlangsung disitu, tak dihiraukan sama-sekali.

Munculnya siansou itu telah disambut dengan perasaan girang oleh sekalian orang gagah. Tapi merekapun hanya melihatnya sebentar, lalu memandang lagi kepada 4 tokoh yang tengah bertempur itu. Kini Tay Siang siansu hanya empat lima tindak jaraknya dari keempat orang itu. Tiba2 tampak dia rangkapkan kedua tangannya lalu melafalkan petuah ajaran agama: "Lam-bu-o-mi-to-hud, siancay. !

Penasaran mudah didendam tak mudah dihimpas. Biarlah untuk sicu berempat, kuwakilkan menghimpasnya!" Habis memantra doa, guru agung itu lalu mengangkat tongkatnya per-lahan2 Kang Siang Yan dan Ceng Bo siangjin adalah bangsa kun-cu (ksatrya). Tahulah mereka berdua bahwa siansu itu kini telah mencapai tingkat kesempurnaan bathin, dimana hatinya sun yi akan rasa budi dan dendam. Maksud siansu Itu yalah hendak melerai agar mereka berempat tak sampai mengalami kecelakaan apa2. Dengan ilmu kepandaian yang sukar dijajaki itu, Tay Slang hendak menjadi pendamai. Benar dalam hati Kang Siang Yang dan Ceng Bo tak menginginkan hal itu, namun merekapun tak marah karenanya.

Beda dengan jalan pikiran Hwat Siau dan Swat Moay. Tindakan Tay Siang siansu itu lepas dari rasa ewang2an (berfihak), tapi seperti pepatah mengatakan "pikiran siaojin (orang rendah) tak dapat mengukur hati kun-cu", demikianlah terjadi dengan Hwat Siau dan Isterinya. Mereka salah duga kalau Tay Siang siansu itu tentu hendak membantu pada Kang Siang Yang berdua. Sampai dimana kelihayan siansu itu, Swat Moay pernah merasakan sendiri. Kalau sampai siansu tersebut memberi bantuan dengan tongkatnya, wah tentu celakalah mereka dibuatnya. Urat hancur nadi luluh, bukanlah suatu hal yang tak mungkin.

Dalam kegugupannya Hwat $iau dan Swat Moay segera kerahkan tenaganya untuk mendorong se-kuat2nya pada Kang Siang Yang dan Ceng Bo. Habis itu hendak mereka menarik pulang lwekangn ya untuk loncat lolos. Mereka tak mau menerima goodwill Tay Siang. Kang Siang Yan dan Ceng Bo tahu akan maksud lawan, dan sudah tentu mereka tak mau melepaskan mereka, Ketika Hwat Siau dan isterinya menarik pulang lwekangnya, Kang Siang Yan dan Ceng Bo cepat lancarkan lwekangnya untuk mendesak dan hasilnya baru saja kaki kedua suami isteri durjana itu dapat mengisar kesamping setengah tindak atau mereka sudah ngelumpruk jatuh ditanah tanpa bersuara lagi

Dengan kesudahan itu tahulah Kang Siang Yan dan Ceng Bo bahwa kedua lawannya itu kalau tidak  binasa tentu lumpuh punah ilmu kepandaiannya. Mereka tak mau mendesak lagi melainkan terus loncat menyingkir dibawah hujan tampik sorak sekalian orang gagah.

"Siancay.....! Sekalipun aku tak menumpas kebajikan, tapi karena akulah maka kebajikan telah tertumpas. Sicu berdua, walaupun telah punah kepandaian, tapi jiwa tetap terpelihara. Pulanglah untuk beristirahat!" kedengaran Tay Siang sianau menghela napas dan berbangkitlah Hwat Siau serta isterinya. Hanya saja kini gaya perbawanya sebagai seorang tokoh silat yang sudah sirna kepandaiannya.

Oleh karena kedua benggolan itu sudah menjadi orang "biasa", sekalian orang gagahpun tak tegah untuk menganiaya lebih jauh dan biarkan mereka  berlalu. Sebelum mengangkat kaki, Hwat Siau dan Swat Moay yang menderita 'kekalahan secara begitu penasaran, menumpahkan isi hati secara ironis: "Kami telah menjadi orang lumpuh tanpa guna dan jalan darah  budak perempuan itupun tak dapat kami buka lagi Jadi se- kurang2n ya kami masih mempunyai seorang kawan sekubur!"

Habias mengucap, kedua suami isteri itu perdengarkan suara ketawa yang sinis sekali. Tanpa menoleh lagi, Hwat Siau segera gandeng tangan isterinya untuk diajak berlalu.

Sebaliknya sekalian orang ketika mendengar ejekan itu, malah seperti orang disadarkan. Apakah Yan-chiu masih hidup? Demikian timbul keraguan mereka. Dan berpuluh matapun segera memandang kearah tubuh sigenit yang masih menggeletak ditanah. Hai, mengapa wajah nona itu kini memancarkan cahaya segar?

"Ajaib sekali!" tiba2 kedengaran Tay Siang siansu membuka mulut, "siapakah yang mengajarkannya supaya mengerahkan daya guna dari mustika batu itu?"

Sudah tentu semua orang tak mengerti apa yang dikatakan oleh guru besar itu dan buru2 menanyakannya. Maka berkatalah guru besar itu: "Endapan lumpur didasar sumur itu telah mengalami proses menggerakkan daya-guna mustika batu. Nona kecil itu tidak saja meminum lumpur, tapi seluruh pancainderanya pun telah kemasukan air lumpur itu. Suatu siksaan yang sukar diderita. Bahwa tanpa disengaja ia telah mengalami penderitaan itu, adalah suatu hal yang sukar dipercaya! Oleh karena daya guna mustika batu itu sudah mulai berkembang, maka kesaktiannya dapat menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal. Kini budak perempuan Itu sudah tak kena apa2, lo-ceng hendak pergilah!"

Hanya beberapa saat terdengar tok...., tok...., ujung tongkat mengetuk tanah, karena pada lain saat guru besar itu sudah lenyap dari pemandangan. Benar juga sepeminum teh lamanya, tiba2 mulut Yan-chiu menguak. Saking girangnya Tio Jiang sampai menangis!

Setelah membuka mata dan dapatkan, dirinya dikerumuni oleh sekian banyak orang, Yan-chiu terbeliak kaget, serunya: "Suko, harta karun Thio Hian-tiong itu berada didasar sumur. Tapi dibawah papan batu, ada pekakasnya, hati2lah!"

Begitulah besarnya tanggung jawab nona itu terhadap kepentingan perjoangan.

Memang walaupun ia seorang nona yang genit, namun hatinya berjiwa patriot. Cepat2 Tio Jiang tuturkan secara singkat apa yang dikatakan Tay Siang siansu tadi. Saat itu Yan-chiu rasakan semangatnya berlipat ganda segar, lalu menggeliat duduk.

"Lekas ambil harta karun itu, basmi kawanan penjajah!" serunya serentak.

Terpaksa geli juga sekalian orang dibuatnya melihat kelakuan sigenit itu. Diantara sekian banyak orang, tiada seorangpun yang sanggup menandingi Kang Siang Yan dalam hal ilmu kepandaian didalam air. Sewaktu meyakinkan ilmu lwekang thay-im-kang, nyonya gagah itu dapat membenam diri didasar laut selama 7 hari 7 malam.

"Pekakas apa yang terdapat didasar sumur Itu?" tanya Kang Siang Yang serempak.

"Entahlah, tak jelas. Hanya yang terasa dapat memancarkan tenaga putaran yang kuat sekali," jawab Yan- chiu.

"Ah, mudahlah!" seru Kang Siang Yang sembari terus loncat masuk kedalam sumur. Begitu indah gerakan nyonya itu dan yang istimewa sedikitpun tak mengeluarkan suara apa2.

Tak berselang berapa lama, kedengaran air beriak dan muncullah nyonya gagah itu dari dalam sumur. "Hai ,

apakah gerangan yang dibawanya itu ? Sepasang tangannya merakup segenggam benda yang ber-kilau2an cahayanya, intan berlian, ratna mutu manikam se-besar2 mata kucing, Kesemuanya merupakan benda pusaka yang jarang terdapat didunia. Dengan dua genggam ratna mustika itu saja, cukuplah sudah untuk pembeli rangsum selama satu bulan untuk belasan ribu anak buah Thian Te Hui. Sudah tentu kegirangan sekalian orang sukar dilukskan. Tanpa diminta lagi menuturlah Kang Siang Yan: "Pekakas itu kiranya sebuah roda besar dan telah kupapas putus. Siapa saja yang pandai berenang, supaya turun mengambil harta Itul"

Mulut sumur itu walaupun atasnya tidak cukup untuk dimasuki satu orang, tapi bagian bawahnya lebar. Begitulah dalam waktu yang singkat saja, turunlah 5 orang untuk secara berholopis kuntul baris (ber-gotong royong), mengambili harta karun itu. Menjelang terang tanah, seluruh harta karun itu. telah diangkut keluar, semua berjumlah dua peti besar. Ketika sekalian orang masuk kembali kedalam ruangan, ternyata The Go dan Ciok Siao- lan sudah tak berada disitu. Ketika ditanyakan kepada hweshio disitu, ternyata setelah mendengar bahwa harta karun itu sudah dapat diketemukan, The Go lalu ajak Siao- lan tinggalkan gereja itu entah pergi kemana. Kelak dikemudian hari kedua orang itu telah mendapat penemuan yang luar biasa dan berhasil meyakinkan suatu ilmu kepandaian yang sakti. Cian-bin Longkun The Go yang berlumuran dosa itu, akhirnya telah insyaf kembali kejalan yang terang.

Oleh karena dalam buku ini tak dituturkan bagaimana lelakon The Go dan Ciok Siao-lan lebih jauh, maka baiklah kita tinggalkan dulu dan mengikuti saja keadaan sekalian orang gagah rombongan Ceng Bo siangjin itu.

---o-dwkz-0-tah-o---

Setelah mendapatkan harta karun, hasil dari permusyawarahan diputuskan menunjuk Kang Siang Yan, Kui-ing-cu, Thaysan sin-tho Ih Liok dan Sin-eng Ko Thay untuk menuju ke Siam (Muang Thai) dan Burma (Vietnam), menukarkan harta itu dengan beras. Perjalanan itu harus melalui daerah Kwisay dan Hunlam yang kurang aman, tapi rasanya dengan keempat pengawal yang sedemikian lihaynya itu, pasti akan dapat mencapai tempat tujuan dengan selamat.

Setelah itu Ceng Bo lalu ajak rombongannya berikut Tay Wi dan Siau Wi kedua orang utan itu, kembali ke Giok-li- nia. Berita tentang berhasil diketemukannya harta karun Thio Hian-tiong yang selama ini hanya merupakan mythos (dongeng) dalam dunia persilatan, telah disambut dengan gegap gempita oleh anak buah Thian Te Hui,

Tapi disamping itu ada juga kejadian yang menyedihkan. Utusan yang dikirim Thian Te Hui untuk bersarekat dengan jenderal Li Seng Tong yang bermarkas di Kwiciu utara, sebenarnya telah mencapai penyelesaian yang memuaskan. Tapi tiba2 jenderal itu mendapat laporan tentang apa yang telah terjadi di Kwiciu, yalah bahwasanya nona kesayangannya, Ciok Siao-lan, telah lolos ke Lo-hu-san. Saking murkanya, jenderal itu segera perintahkan membunuh utusan Lo-hu-san. Kalau saja tak menguatirkan adanya serangan fihak Ceng yang setiap saat dapat terjadi, siang2 Li Seng Tong pasti sudah memimpin tentaranya untuk menggempur Lo-hu-san.

Sejak itu perangi Li Seng Tong tampak berobah. Dari seorang jenderal brilliant (cemerlang), dia berobah menjadi seorang yang limbung, gemar membunuh anak buahnya dengan se-wenang2 dan beberapa kali menderita kekalahan. Kecuali beberapa orang kepercayaannya, boleh dikata seluruh anak buahnya telah hilang kesetiaannya kepada jenderal itu.

Tahun kedua bulan dua, tiba2 ditengah malam keadaan markasnya meajadi panik. Hiruk pikuk orang datang melapor tentang pemberontakan yang timbul dikalangan anak buah atau tentang tentara Ceng menyerang. Kebetulan pada saat itu, Li Seng Tong tengah mabuk. Tanpa sadar lagi dia segera cemplak seekor kuda terus dilarikan se- kencang2nya tanpa arah tujuan yang tertentu. Oleh karena para anak buahnya sudah jemu dengan jenderal itu, maka tiada seorangpun yang mengikutinya. Kuda itu mencongklang seperti layang2 putus menuju ketengah sebuah sungai, dan binasalah jenderal itu ditelan arus. Demikian akhir kisah seorang jenderal perang yang pandai dan cemerlang tapi tak mempunyal pendirian yang teguh.

Tepat pada waktu ransum markas di Lo-hu-san habis, maka datanglah rombongan Kang Siang Yan berempat dengan membawa ransum dalam jumlah yang besar sekali. Ransum makanan itu diangkut dengan perahu dan berlabuh dilaut selatan. Setelah selesaikan tugasnya, Kang Siang Yan lalu kembali kegunung untuk menjemput cucunya (putera Bek Lian) yang dititipkan pada, seorang keluarga petani disitu. Tapi untuk kekagetannya, ternyata keluarga Itu sudah pindah entah kemana.

Sejak memperoleh peraediaan ransum itu, kekuatan Thian Te Hui makin kuat. Perserekatan itu mempunyai pengaruh besar sekali didaerah Kwiciu timur. Pada waktu itu, gerakan pembebasan yang dipimpin oleh The Seng Kong (Coxinga) tetap melakukan operasinya didaerah Amoy. Pemimpin Itu tak mau mengindahkan perintah kerajaan Ceng untuk menaluk. Dengan The Seng Kong didaerah Amoy dan Thian Te Hui di Lo-hu-san, kekuatan tentara Ceng didaerah selatan menjadi terjepit. Terpaksa fihak tentara Ceng menarik diri untuk ambil jalan memutar dari Kangse, melintasi Bwe-ling lalu masuk ke Kwitang. Tapi terhadap benteng pertahanan patriot2 Lo-hu-san, mereka tak dapat berbuat apa2. Pemerintah Ceng berganti gunakan siasat menunggu waktu. Benar juga 3 tahun kemudian, habislah sudah persediaan ransum para pejoang kemerdekaan itu dan sejak Itu morat maritlah organisasi perlawanan mereka. Pemimpina mereka yang gagah perkasa terpaksa cerai berai.

Sewaktu Tio Jiang dan Yan-chiu masih bertugas menjaga Kwiciu timur, karena hari itu agak senggang, mereka lalu ber-sama2 mencuri kesempatan untuk menjenguk kekampung halaman Giok-li-nia. Setelah pamit kepada Ceng Bo, mereka lalu berangkat.

Cuaca pada bulan 11 amatlah cerahnya. Biara Cin Wan Kuan tempat keduanya digembleng dahulu masih tetap tegak berdiri dengan megahnya, hanya saja keadaan biasa itu sudah tak terurus lagi. Disana-sini penuh ditumbuhi rumput dan alang2.

Tegak ter-longong2 kedua muda-mudi itu memijakkan kakinya diatas puncak Giok-li-nia atau Kepundan Bidadari sampai sekian saat. Lautan awan putih bertebaran  berlapis2, menutupi suatu rahasia hidup dari jaman ke jaman.

Se-konyong2 tampak ada dua buah titik putih menyusup diantara lapisan awan itu, me-layang2 bagaikan carik kertas ditlup angin. Ketika melayang dekat, kiranya benda2 itu adalah dua ekor kupu2 rama (kupu2 besar, berwarna dasar coklat muda sampai tua).

"Suko, apakah kau masih ingat ketika menangkap kupu2 sian-tiap untuk mengambil hati Lian suci dahulu?" tiba2 Yan-chiu berseru sembari menunjuk kearah kupu2 itu.

Teringat akan suci mereka yang kini kabarnya telah ment rambut menjadi nikoh (rahib) tak ketahuan rlmbanya (tempat tinggalnya), hati mereka terasa rawan pilu. Diganggu dengan kenangan yang memilukan ttu, mereka buru2 tinggalkan puncak gunung itu. T A M A T

(Lanjutan nya adalah Heng Thian Siau To) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar