Naga dari Selatan BAGIAN 40 : BERSATU KEMBALI

 
BAGIAN 40 : BERSATU KEMBALI

Ang Hwat nekad tak mau tarik pulang jarinya. Kakinya bahkan mengisar maju dan gerakkan tangan kiri menghantam. Diburu oleh jari dan kepelan itu, Tieng Bo terpaksa main mundur sembari bolang balingkan pedang untuk melindungi diri. Ber-turut2 dia mundur sampai belasan tindak, jadi hampir separoh dari gelanggang itu habis sudah diputarinya.

Sekali Ang Hwat Cinjin bergerak, cepat ia merangsang maju. Tapi Ceng Bo Siangjin sempat putar pedangnya sambil melangkah mundur.

"Entah bagaimana Hay-te-kau dapat memperoleh kemasyhuran nama itu ya ?!" kembali Ang Hwat mengejek dengan tertawa.

Sudah sejak bergebrak tadi, Kui-ing-cu mendongkol sekali atas sikap kepala gereja Ang Hun Kiong yang sedemikian sombongnya itu. Kali ini, tiba2 pikirannya tergugah. Buru2 dia melirik kearah Kang Siang Yan dan dapatkan nyonyah itupun unjukkan wajah kurang puas.

"Semalam menjadi suami isteri, akan terkenang sampai mati". Rupanya hal itupun berlaku pada Kang Siang Yan. Walaupun ia dapat dikelabui The Go sehingga marah terhadap suaminya (Ceng Bo) yang disangka memusuhi Bek Lian dan The Go itu, namun kecintaan suami isteri tak mudah dihapus begitu saja. Ah, masih ada setitik harapan, demikian Kui-ing-cu mengasah otaknya.

Pada saat keadaan Ceng Bo makin payah dan gerakan pedangnya makin lambat seperti tertindih tenaga berat, Kuiing-cu segera bertindak.

"Ang Hwat cinjin, kata2mu itu benar, Hay-te-kau memang hanya sebuah 'kantong nasi' saja!" serunya.

Mendengar itu, sekalian orang sama terbeliak kaget. Sebaliknya diam2 Ang Hwat gembira. Dia mengira, belum lagi dia jatuhkan Hay-te-kau, kini pikiran orang sudah banyak berpaling haluan.

"Sudah tentu benar!" sahutnya.

Kui-ing-cu girang, pancingn ya sudah mulai termakan. "Tapi aku tak habis mengerti, mengapa dahulu Tay Sian

Siansu pernah menderita kekalahan dari dia?" serunya pula.

Ang Hwat berkeputusan untuk menjelaskan pertanyaan Kui-ing-cu pada saat dan tempat seperti waktu itu. Kalau tidak, orang2 tentu masih menjunjung Ceng Bo dan tak mengindahkan dianya. Kubu kekuatan anti penjajah Ceng, bagaikan rumput liar yang sukar dibasmi habis. Benar dengan terbasmi rombongan Ceng Bo, kekuatan gerakan itu akan terpatahkan sebagian, tapi alangkah baiknya kalau tenaga2 itu dapat digunakan lagi untuk kepentingan barisan kontra perlawanan itu. Dan inilah kesempatan yang sebagus2nya untuk memikat mereka, demikian pikir Ang Hwat.

Sembari terus mendesak Ceng Bo, dia tertawa menyahut: "Itulah karena kelemahan Tay Siang Siansu sendiri." "Sepasang ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat dan to- haykiam-hwat, telah menggetarkan dunia persilatan selama lebih 30 tahun lamanya, masakan hanya bernama kosong saja? Ada sebuah pameo dalam dunia persilatan: Hay-te- kau - Kang Siang Yan, sepasang pedang malang melintang didunia persilatan, hoan-kang (menjungkirkan sungai) to hay (membalikkan laut) selama 30 tahun! Masakan kau tak tahu akan hal itu ?" Kui-ing-cu tetap mengulur umpan.

Di-kili2 begitu, lupalah sesaat Ang Hwat bahwa Kang Siang Yan berada disitu, mulutnya segera berlincah: "Apa itu sih, Hay-te-kau Kang Siang Yan! He, he, dalam pandangan pinto (aku), mereka 'kantong nasi' semua!"

Kui-ing-cu hampir berjingkrak karena girangnya. Benar juga seketika itu bangkitlah Kang Siang Yan dengan serentak. Wajahnya sudah menampil kemarahan hebat. Kui-ing-cu tak mau sia2kan kesempatan itu. Dia siram lagi api kemarahan Kang Siang Yan itu dengan minyak. Sembari tertawa ter-kekeh2 dia berseru nyaring2: "Amboi! Kiranya bukan hanya Hay-te-kau seorang yang  jadi 'kantong nasi', Ha......, haaa......, sungguh penipuan nama besar2an! Ucapan cinjin sedikitpun tak salah, aku mengertilah sekarang!"

Hebat ilmu silatnya, aneh watak perangainya dan tajam juga lidahnya. Itulah tokoh Kui-ing-cu. Tu lihat,  Kang Siang Yan sudah "terbakar" olehnya.

"Ang Hwat cinjin, coba kau perdatakan siapa yang disini ini " seru Kang Siang Yan dengan sinis.

"Mah, kau ini bagaimana ?" buru2 Bek Lian memperingatkan.

Juga The Go terkejut bukan alang kepalang dan cepat2 berseru : "Gak-bo !" Kang Siang Yan anggap dirinya tak dibawah Ang Hwat. Dihina terang2an dihadapan sekian banyak orang persilatan, mana ia mau tinggal diam saja.

"Diam!" bentaknya kepada Bek Lian dan The Go, sehingga kedua anak muda itu tak berani bercuit lagi.

Saat itu Ang Hwat seperti diguyur air dingin. Insyaflah kini dia kalau kena dipermainkan oleh Kui-ing-cu hingga bikin marah pada Kang Siang Yan. Dengan gengsinya sebagai datuk persilatan yang dimalui orang, masakan dia ada muka untuk menarik kembali kata2nya yang sudah diucapkan dihadapan sekian banyak orang itu! Namun dengan berbuat begitu, artinya dia membuka permusuhan dengan wanita yang lihay itu. Dalam keadaan serba salah itu, sesaat tak dapat dia menjawab pertanyaan Kang Siang Yan tadi.

"Astagfirullah! Jadi Kang Siang Yan dan Hay-te-kau itu 'kantong nasi' semua. Gila, baru sekarang aku mengetahui!" Kui-ing-cu berseru tinggi-rendah dengan nada di buat2.

"Tutup mulutmu!" bentak Kang Siang Yan dengan murkanya.

Kui-ing-cu ber-kuik2 seperti babi hendak disembelih, serun ya: ”Oi...., oi....., mengapa....., kan bukan aku yang mengatakan tapi Ang Hwat cinjin! Semua orang sampaipun pintu yang gagu itu menjadi saksinya. Kalau tak  berani sama yang mengatakan, jangan tumpahkan kemarahan padaku si 'kantong nasi' kecil lho!"

Pandai benar Kui-ing-cu ber-olok2, sehingga para hadirin sama menekan perut saking gelinya. Api kemarahan Kang Siang Yan berkobar sungguh. Maju dua langkah kemuka, ia berseru: "Ang Hwat imam tua, mengapa kau begitu tak memandang sebelah mata pada orang ?"  Keadaan Ang Hwat seperti seorang gagu yang makan getah. Sakit, tapi sukar mengatakan. Kalau dia diam tak menyahut, berarti akan kehilangan muka dan diam2 dianggap mengakui kesalahannya. Tapi pada lain saat, timbullah ke-angkuhannya.

"Ya, memang benar mengatakan, lalu bagaimana?" ujarnya dengan keras.

Sret......., tangan Kang Siang Yan sudah menyiapkan pedang, serunya: "Bagus! Imam tua, biarlah kini kau ketahui bagaimana tempo dahulu Tay Siang Siansu menderita kekalahannya.

---oodwkz0tkupayoo---

Sebuah sinar bianglala ber-kilap2 dari atas kebawah melayang keulu punggung Ang Hwat. Salah sebuah jurus dari ilmu pedang hoan-kang-kiam-hwat yang disebut pah- ong-oh-kang sudah dilancarkan oleh Kang Siang Yan. Dan secara kebenaran sekali, ketika perhatian Ang Hwat terpecah karena melayani percakapan tadi, Ceng Bo lancarkan serangan pembalasan. Dan tepat dikala pedang Kang Siang Yan menari dalam gerak pah-ong-oh-kang tadi, Ceng Bopun bergerak dengan salah satu jurus ilmu pedang to-hay-kiamhwat yang disebut thio-ik-cut-hay.

Sudah 10-an tahun lamanya sapasang pedang pit-i- songhong-kiam itu tak muncul didunia ramai. Kini sekali muncul, mereka bahu membahu bersatu kembali. Kang Siang Yang kini memiliki ilmu lwekang sakti thay-im-lian- seng. Sedang lwekang Ceng Bopun sudah banyak kemajuannya, Maka gerak permainan sepasang pedang itu, jauh lebih dahsyat dari 10 tahun yang lalu. Ang Hwat hendak menghantam kemuka untuk menghalau pedang yap-kun-kiam, tapi sesaat itu punggung terasa. disambar hawa dingin, kuan-wi-kiam hanya terpaut satu dim dari kulit punggungnya. Sudah tentu dia tak jadi melancarkan hantamannya tadi itu. Syukurlah dia faham akan segala ilmu silat berbagai aliran, tambahan pula ilmunya mengentengi tubuh sangat sempurna. Dengan gerak han-te-pat-jong, dia enjot kakinya loncat lurus sampai setombak lebih tingginya. Kini dia tak berani bertempur dengan tangan kosong lagi. Membarengi masih melayang diudara, cepat cabut sebuah benda dari belakang punggungnya. Benda itu berwarna hitam legam, sebesar lengan orang, panjang hanya setengah meteran. Entah benda apa itu.

Melihat isterinya membantuinya, girang Ceng Bo sukar dilukis. Kala Ang Hwat masih berada diudara, dia. segera berseru dengan pelahan: "Hong-moay!"

Dipanggil begitu, terkenanglah sesaat Kang Siang Yan akan kebahagiaan kehidupan suami isteri mereka pada 10 tahun berselang. Tapi hanya untuk beberapa kejab saja kenangan bahagia itu dirasainya, karena pada saat itu Ang Hwat sudah melayang turun dan menutuk bahunya dengan benda hitamnya. Buru2 ia miring kesamping, lalu balas menusuk.

Tapi ternyata tutukan Ang Hwat itu hanya gertakan saja. Begitu Kang Siang Yan menusuk, buru2 dia putar tubuhnya untuk secepat kilat menutuk pada Ceng Bo.  Sebenarnya saat itu, demi dilihatnya sang isteri sudah bergerak dengan jurus kedua, Ceng Bopun segera gerakkan pedangnya dalam jurus hoan-thian-kok-hay. Jadi sepasang pedang itu, menyerang berbareng. Ang Hwat memusatkan, serangannya kepada Ceng Bo, karena diketahuinya kepandaian siangjin itu lebih rendah dari Kang Siang Yan. Membarengi dengan sebuah hantaman tangan kiri, benda hitam yang ternyata ber-buku2 (ros2an) se-konyong2 menjulur maju sendiri, hingga hampir saja Ceng Bo termakan, kalau dia tak lekas2 menghindar. Tapi walaupun demikian, tak urung gerakan kakinya menjadi kacau.

Sepasang ilmu pedang itu harus dimainkan dengan gerakan kaki yang tepat. Sedikitpun tak boleh kacau atau selisih. Sayang kepandaian Ceng Bo tak menyamai Kang siang Yan tadipun gagal tak menemui sasarannya.

Ang Hwat getarkan tangannya dan wut. benda hitam

berbuku itu lagi2 menjulur setengah meter panjangnya menyerang Ceng Bo. Dalam keadaan terdesak itu, Ceng Bo segera gunakan gerak thiat-pian-kio (jembatan gantung), tubuhnya telentang membalik kebelakang. Hanya dua tiga dim saja senjata Ang Hwat itu lewat diatas dada Ceng Bo. Setelah bangun, Ceng Bo segera lancarkan ceng-wi-tian- hay, yalah jurus ketiga dari to-hay-kiam-hwat. Dan tepat pada waktunya; kebenaran juga Kang Siang Yanpun lancarkan jurus yang ketiga pula. Ang Hwat terpaksa gunakan jurus Kwan Kong melolos jubahnya, Ang Hwat ber-putar2 menghindar. Anehnya senjatanya benda hitam tadi, tahu2 menyurut sendiri pulang seperti sediakala panjangnya.

Oleh karena terpisah dekat sekali, jadi Kang Siang Yan dan Ceng Bo dapat melihat tegas senjata aneh berbuku milik Ang Hwat itu. Oleh karena ujung senjata itu agak halus dari bukunya, maka tahulah suami isteri itu kalau didalam senjata itu tentu dipasangi alat2 veer. Jadi sekali menekan, ujungnya dapat menjulur keluar sendiri, bukan hanya satu dua buku, bahkan sampai tujuh delapan buku. Setiap buku panjangnya hampir setengah meter. Jadi dapat dibayangkan betapa lihaynya senjata itu. Kedua suami isteri itu saling mengicupkan ekor mata. Tigapuluh tahun berselang ketika mereka baru  turun gunung untuk masuk kedunia persilatan, senantiasa mereka bertempur bahu membahu. Didorong oleh darah muda, mereka selalu bernapsu untuk menang, dan untuk mencapai maksudnya itu mereka telah menetapkan kode dengan kicupan ekor mata. Dalam setiap pertempuran, tak pernah mereka lupa akan kode itu. Kini setelah 10 tahun berpisah, pertama kali bersatu kembali mereka sudah menghadapi seorang musuh tangguh macam Ang Hwat. Teringat akan kode itu, mereka menjadi geli sendiri.

Ang Hwat ter-longong2, dikiranya mereka itu terlalu keisengan saja bertingkah seperti anak2. Disamping itu diapun menganggap orang terlalu memandang rendah padanya, hingga kini dia berlaku sangat hati2 sekali. Dengan gerak jongliong-jut-chiu (naga hijau menjulurkan cakar), dia loncat lagi sampai 2 meter tingginya, lalu memutar senjatanya tadi. Dirinya se-olah2 terbungkus dalam lingkaran sinar, yang agak dekat tubuhnya sinarnya hitam yang jauh dari dirinya, sinarnya ber-kilau2an. Panjang senjatanya itu tak kurang dan 4 meteran. Yang per- tama2 terdesak mundur yalah Ceng Bo siangjin, sedang Kang Siang Yanpun tak berdaya untuk maju mendesak.

Kini baru terbukalah mata sekalian orang, betapa lihaynya kepala gereja Ang Hun Kiong itu. Kang Siang Yan

- Ceng Bo siangjin, dua tokoh yang pernah menggemparkan

dunia persilatan, ternyata tak mudah untuk merebut kemenangan. Tanpa terasa mereka sama leletkan lidah mengagumi.

Sedang diantara para peonton, adalah The Go yang paling bangga gembira.

"Lian-moay, kau ketahui tidak ? Senjata sucou itu disebut im-yang-pian (ruyung im-yang). Separoh bagian muka yang ber-kilau2an itu, terbuat dari besi murni, dapat kencang dapat pula lemas. Dibawah kolong langit, tiada seorangpun yang dapat tahan menghadapinya!"

Ucapan The Go itu tampaknya ditujukan pada Bek Lian, tapi pada hakekatnya, supaya sekalian orang sama mengetahui hal itu. Mulut Bek Lian hanya mengiakan saja, namun hatinya terjadi pertentangan hebat. Ia b--erlainan hal dengan sekalian orang itu. Sebenarnya ia tak mempunyai hati sama sekali untuk berhamba pada pemerintah Ceng, maupun untuk melawannya. la berharap ibunya menang, tapi demikian tentu akan bermusuhan dengan gereja Ang Hun Kiong yang berarti pula menyulitkan hubungannya dengan The Go. Namun kalau mengharap kemenangan difihak Ang Hwat, kecintaannya terhadap sang ibu masih melekat dalam. Inilah faktor yang menjadi pertentangan hati Bek Lian. Berat nian ia menimbangnya.

Sedang digelanggang sana, tampak Ang Hwat sudah. mempunyai gambaran jelas akan kekuatan kedua lawann ya itu. Ceng Bo terang tak selihay Kang Siang Yan. Yang lemah harus digempur dulu, demikian dia tetapkan rencana-nya. Tiba2 im-yang-pian berhenti berputar sejenak, tapi siku kirinya menyodok Kang Siang Yan.

"Bagus!" seru Kang Siang Yan, siapapun tak mau membabat dengan pedang tapi melancarkan hantaman thay-imciang-nya yang hebat.

Tapi ternyata sodokan siku Ang Hwat tadi hanya gertak kosong. Begitu hantaman Kang Siang Yan tiba, cepat2 dia tarik lengannya untuk menghadang, kemudian meminjam tenaga dorongan Kang Siang Yang yang hebat itu, dia layangkan   tubuhnya   memburu   pada   Ceng   Bo,   wut.   ,

wut....., wut.      , im-yang-pian menjulur, sampai lima enam

meter panjang. Ujungnya. yang melengkung runcing itu berhamburan  memagut  jalan  darah  i-hu-hiat, tham-tiong- hiat, ki-kwat-hiat, ki-bun-hiat, hun-cui-hiat, khi-hay-hiat, semuanya jalan darah besar dibagian dada dan perut orang. Antara i-hu-hiat dan khi-hay-hiat jaraknya antara setengah meter, namun ujung pian itu dapat digerakkan sekaligus untuk menutuknya. Dan yang lebih hebat lagi, tutukan itu bukan saja digerakkan dengan tenaganya sendiri pun didorong juga oleh hantaman Kang Siang Yan tadi.

Ceng Bo gugup dan putar pedangnya dengan seru untuk melindungi dirinya. Tapi ternyata Ang Hwat sudah memperhitungkan hal itu. Begitu lawan memutar pedang, diapun segera melesat kesamping sembari gerakkan tangannya. Wut......, ujung pian itu dapat melengkung untuk memagut punggung Ceng Bo. Maka betapa terperanjatnya Ceng Bo ketika baru saja dia mainkan pedang atau pagutan ujung pian itu sudah menghilang dengan tiba2. Pada lain saat dia rasakan punggungn ya ada angin menyambar. Tahu bahwa musuh beralih menyerang dari belakang, namun dia tak berdaya untuk secepat itu memutar tubuhnya. Diam2 dia mengeluh.

Tapi syukur disana masih ada Kang Siang Yan. Tahu sang suami terancam bahaya, ia segera bersuit nyaring, macam hantu meringkik. Dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh untuk mengisar kaki dalam ilmu sakti thay-im-lianseng, tanpa menggerakkan kaki,  tahu2 tubuhnya sudah berkisar dibelakang Ceng Bo. Dengan Kut- cu-tho-kang, salah sebuah jurus dari ilmu pedang hoan- kang-kiam-hwat, ia babat sepasang kaki Ang Hwat.

Dengan gemas Ang Hwat terpaksa batalkan tutukann ya kearah punggung Ceng Bo tadi, karena harus loncat menghindar dari babatan pedang. Dalam pada itu, Ceng Bopun sudah sempat memutar tubuh dan terus lancarkan serangan hay-li-long-hoan. Ini serasi dengan sabetan Kang Siang Yan yang menggunakan jurus kut-cu-tho-kang tadi. Yang satu membabat turun yang lain menyerang keatas.

Ang Hwat kebutkan lengan bajunya untuk menghalau serangan Ceng Bo, kemudian lingkarkan im-yang-pian untuk membuyarkan serangan Kang Siang Yan, sedang kakinya segera dienjot loncat keluar dari kalangan pertempuran. Bahwa dia dapat berbareng menangkis dua macam serangan, serta lolos dari kepungan yang sedemikian gencarnya, menandakan bagaimana tinggi kepandaiannya itu. Para hadirin yang menyaksikannya, sama mengucurkan keringat dingin.

Tio Jiang kepal2 tinjunya, sedang Yan-chiu membeliakkan matanya lebar2, mulutnya komat kamit menggerutu sendirian. Tengah ia asyik memperhatikan jalannya pertempuran itu, se-konyong2 bahunya terasa ditepuk orang. Kala itu Ceng Bo dan Kang Siang Yan saling bertukar pandangan, kembali mereka berdua saling main mata. Yan-chiu menduga bahwa suhu dan subonya itu  tentu akan melancarkan serangan yang lebih dahsyat lagi. Sudah tentu, ia curahkan seluruh pqrhatiannya untuk menyaksikan. Mengira ada orang karena tak kelihatan lalu menepuk bahunya, Yan-chiu tanpa menoleh kebelakang lagi, terus menyisih kesamping. Tapi kembali disitu, pahanya terasa dicubit orang.

Cubitan itu sakit juga, hingga sebagai seorang gadis, gusarlah Yan-chiu karena malunya. Cepat2 dia berpaling kebelakang dan hai, kiranya sikurang-ajar itu ternyata seorang to-thong (imam anak2), sekira 12-an tahun umurnya. Demi melihat wajah to-thong itu menyenangkan, Yan-chiu tak jadi marah tapi lalu memberi isyarat supaya anak itu jangan mengganggunya lagi. Tapi to-thong itu segera menimpukkan segulung kertas kecil, terus memutar tubuh berjalan pergi. Yan-chiu yang cerdas segera mengerti bahwa anak itu tentu mempunyai urusan penting tapi kuatir diketahui orang, jadi berbuat begitu. Buru2 dijemputnya gulungan kecil itu lalu dibukanya. Kiranya disitu terdapat beberapa huruf yang berbunyi begini: "Cici,  kami mendapat kesulitan, lekas tolongi! - Hong."

Tiba2 teringat Yan-chiu bahwa sejak ia datang kegereja Ang Hun Kiong yang terachir ini, ia tak berjumpa lagi, dengan Kuan Hong dan Wan Gwat, kedua imam anak2 yang dikenalnya itu. Tanda tangan "Hong" itu, terang adalah Kuan Hong. Apa yang dinyatakan "dalam kesulitan" itu, tentulah karena menunjuki ia (Yan-chiu) akan jalan dibawah tanah dari gereja Ang Hun Kiong itu, maka sekarang mendapat hukuman berat.

Yan-chiu benar genit dan nakal, tapi ia, sudah mendapat gemblengan pendidikan budi pekerti dari Ceng Bo siangjin, jadi terhadap budi dan dendam, dapatlah ia menarik garis yang tajam. Memandang kesebelah sana, ternyata to-thong yang menimpukkan gulungan surat tadi masih berada tak jauh dari, situ dan melambaikan tangan kepadanya. Serentak berdirilah dia lalu menghampiri kesana.

Kala itu Ang Hwat cinjin sudah terlibat dalam pertempuran dengan Kang Siang Yan - Ceng Bo lagi. Semua, orang sama menahan napas dan mencurahkan seluruh perhatiannya, jadi mereka tak menghiraukan gerak gerik Yan-chiu lagi. To-thong itu berjalan kesebelah barat dan. Yan-chiu tetap mengikutinya. Membiluk pada sebuah ujung. dinding, barulah to-thong itu berhenti. Ternyata disitu keadaannya sunyi dengan orang.

"Siao-totiang, apakah Kuan Hong dan Wan  Gwat berdua menyuruhmu mencari aku?" tegur Yan-chiu. "Ya, jangan banyak bicara lagi, lekas ikut aku!" sahut to- thong itu dengan suara pelahan. Demikianlah setelah. ber- biluk2 beberapa tikungan, tibalah Yan-chiu pada sebuah, ruangan yang tak dikenalnya. To-thong itu masuk kedalam sebuah kamar, lalu mengambil seprangkat pakaian tosu (imam) dan suruh Yan-chiu memakainya.

Dasar gadis nakal, Yan-chiu gembira sekali dengan permainan itu. Pakaian itu segera dikenakan, rambutnya disingkap keatas, lalu memakai kopiah gereja. Ai, benar2 mirip seorang tosu muda. To-thong itu cekikikan menahan gelinya. Begitulah to-thong itu segera membawanya berjalan lagi. Membiluk ketimur menikung kebarat, beberapa orang penghuni gereja itu dijumpainya, tapi tiada seorangpun yang curiga pada Yan-chiu. Akhirnya tibalah mereka pada sebuah thian-keng (halaman didalam rumah) yang tak seberapa besar. Ditengah thian-keng itu terdapat sebuah perapian dupa terbuat dari tembaga. Ditilik rupanya, alat itu sudah seribu tahun lebih umurnya. Disamping perapian dupa itu tampak ada dua orang hweshio bertubuh tinggi besar tengah duduk ber-cakap2 sambil menikmati arak.

To-thong itu segera menarik Yan-chiu kesamping.

"Cici, kau tadi melihat tidak ? Kuan Hong dan Wan Gwat berada dibawah perapian pedupaan itu  tadi!" katanya.

"Bagaimana dibawah situ bisa dibuat menutup orang?" tanya Yan-chiu.

"Karena disitu terdapat lubang terowongannya," sahut si to-thong.

Yan-chiu menjadi jelas. Ketika dilihatnya kedua penjaga imam itu masih enak2an saja meneguk arak sehingga tak tahu akan kedatangan orang, Yan-chiu segera mendapat akal. Dicabutnya tusuk kondenya, lalu dijentikkan dengan lwekang. Kedua imam itu sedang sama mengangkat cawannya saling memberi toast (selamat), tahu2 jalan darahnya suan-ki-kiat-telah kena ditutuk oleh tusuk konde. Bluk....., bluk....., tubuh mereka sama menggelepar jatuh dan araknya bergelimpangan membasahi lantai.

3

Sekali Yan Chiu yang sudah menyamar sebagai Tosu, mengayun tangannya, dua tusuk-kondenya melayang dan robohlah kedua imam penjaga itu.

Sebat sekali Yan-chiu segera berlari menghampiri perapian tembaga itu, terus ditarik se-kuat2nya. Tapi hai......, raganya seluruh tenaga telah dikeluarkan namun perapian itu sedikitpun tak berkisar. Ia melampaui kearah to-thong tadi, siapa dengan memakai kain penutup muka, ber-larian2 menuju kebelakang perapian itu, lalu menunjuk pada telinga perapian yang sebelah kiri. Yan-chiu mengerti, lalu mendorongnya. Benar juga perapian perdupaan itu segera berkisar kesamping dan terbukalah sebuah lubang, kira2 2 meter besarnya. Dengan diikuti oleh Yan-chiu masuklah to-thong itu kedalam. Ha, kiranya disitu merupakan sebuah jalanan dibawah tanah, tingginya hampir setombak, dindingnya terbuat daripada batu merah yang kokoh, penerangannya cukup. Ketika tiba diujung jalan dan membiluk, tibalah mereka pada sebuah pintu besar yang memakai terali besi. Didalam terali besi itu, tampak Kuan Hong dan Wan Gwat tengah digantung. Ketika melihat kedatangan Yan-chiu, wajah kedua anak itu berseri girang lalu hendak berseru, tapi ternyata tak dapat karena mulutnya tersumbat sebuah bola besi.

Melihat terali besi itu hanya sebesar jari tangan, Yan- chiu menaksir kekuatannya. Dilekatkannya kedua tangannya pada dua buah terali. Lebih dahulu ia salurkan lwekang ajaran suhunya (Ceng Bo), setelah tenaga  dalam itu beredar, barulah ia kerahkan lwekang ajaran Tay Siang Siansu dan mementangnya ....... amboi, terali itu melengkung bengkok menurutkan pentangan tangan. Dengan kegirangan sekali, Yan-chiu segera menyusup masuk, terus membuka tali borgolan kedua imam anak2 itu.

Serta merta Kuan Hong dan Wan Gwat jatuhkan diri ditanah berlutut, sembari menghaturkan terima kasih kepada Yan-chiu.

"Ai...., sudahlah, jangan banyak beradatan, ayuh kalian lekas melarikan diri sana!" ujar sito-thong kecil tadi. Tapi masih Kuan Hong dan Wan Gwat memandang kearah Yan-chiu dengan sorot mata meminta pelindungan.

"Baiklah, kalian boleh lekas menuju ke Cin Wan Kuan di Lo-hu-san. Kalau urusan disini sudah beres, aku tentu kesana juga!" kata Yan-chiu.

Kembali kedua anak itu menghaturkan terima kasih nan tak terhingga. Yan-chiu sendiripun girang bukan kepalang karena telah berhasil menolongi orang. Begitulah mereka berempat kembali menyusur lubang rahasia itu untuk muncul keatas. Perapian dupa itu didorongnya menutup lagi dan tanpa menghiraukan apakah kedua, imam yang tertutuk tadi mati atau hidup, mereka lalu  tinggalkan tempat itu.

---oodwkz0kupayoo---

Ketika tiba pada dua buah ruangan, tiba2 dari arah muka sana terdengar ada orang berseru: "Chiu-yap, kau sembunyi dimana ? Tamu perlu pelayanan, jangan enak2 menghilang.”

Kuan Hong dan Wan Gwat terkejut pucat wajahnya. Buru2 mereka menyelinap bersembunyi kesamping. Yang dipanggil "Chiu-yap", adalah to-thong kecil yang menjadi penunjuk jalan Yan-chiu itu. Juga to-tong kecil itu pucat lesi wajahnya dan hentikan langkahnya. Karena tak kenal jalanan, Yan-chiupun ikut berhenti.

Pada lain saat muncullah seorang tosu, terus berseru dengan garangnya: "Hai.....,kebetulan, ayuh lekas kalian berdua kesana. Jangan sembarangan jalan2 ke-mana2, awas bisa dihukum dibawah penjara tanah ya!"

Ketika tosu itu muncul tadi, Yan-chiu buru2 tundukkan kepalanya. Syukurlah tosu itu tak mengamat-amatinya dengan perdata. Sedang Chiu-yap karena ketakutan tak dapat ber-kata2. Adalah Yan-chiu yang cerdas tangkas itu, segera memberi penyahutan mengiakan.

"Ayuh, ikut padaku!" seru tosu itu sembari berjalan. Jarak imam itu dengan Yan-chiu hanya satu meter. Andai kata mau, mudahlah Yan-chiu untuk merobohkannya. Tapi karena tadi imam itu mengatakan "sitetamu minta pelayan", timbullah pertanyaan dalam hati Yan-chiu. Rombongan suhunya sudah berada diatas dan malah sudah bertempur dengan tuan rumah. Pernah suhunya mengatakan bahwa pemerintah Ceng telah mengirim beberapa orang jagoannya kelas satu ke Ang Hun Kiong. Ah, yang dimaksud "tetamu" itu tentulah kawanan jagoan itu. Sampai saat suhunya bertempur dengan Ang Hwat, jagoan2 itu masih belum menampakkan diri, mengapa ia tak mau gunakan kesempatan eebagus itu untuk menyelidiki keadaan mereka?

Cepat2 ia memberi isyarat lambaian tangan pada Chiu- yap supaya jangan takut, namun anak itu tetap terkalang lidahnya tak dapat berbicara. Setelah melalui dua buah ruangan, tibalah mereka pada sederet gedung yang indah buatannya, mirip dengan kediaman kaum hartawan.

"Jiwi cianpwe, to-thong yang akan melayani cianpwe sudah datang!" seru sitosu itu sembari membungkuk.

Dari dalam rumah mewah itu, terdengar sebuah suara melengking, menyahut: "Suruh mereka masuk kemari!"

Tiba2 tosu itu menabok kepala Yan-chiu, lalu memesannya: "Baik2lah melayani, didalam situ adalah Hwat Siau dan Swat Moay yang termasyhur. Sucou turun gunung untuk menyambutnya sendiri!" .

Bukan kepalang mendongkolnya Yan-chiu ketika mendapat persen tabokan itu. Tapi demi didengar nama Hwat Siau dan Swat Moay, kejutnya bukan olah2. Terpaksa dia tahankan amarahnya dan hanya deliki mata kearah tosu itu.

Tapi delikan matanya itu hampir saja menggagalkan rencananya.

"Siapa namamu, mengapa aku belum pernah melihatmu

?" tanya tosu itu karena curiga. Yan-chiu seperti disengat kala.  Tapi belum lagi  ia memperoleh kata2 untuk men yahut, dari dalam rumah kembali terdengar suara lengkingan yang menusuk daun telinga: "Lekas masuklah!"

Karena sang tetamu agung yang mendesaknya, barulah tosu itu tak mau banyak bertanya lagi lalu menyuruh Yan- chiu dan Chiu-yap masuk dengan lantas. Dengan napas longgar, Yan-chiu segera menolak daun pintu masuk. Tapi ketika mengawasi kedalam ruangan, matanya kembali terbelalak.

Kiranya alat perabot dalam gedung yang begitu mewahnya itu, hanya sebuah balai2 saja. Dua orang tengah duduk bersila diatas balai2 itu. Yang seorang kepalanya lancip rambutnya keriwis2 (jarang). Kalau tiada memakai sanggul, sepintas pandang orang tentu mengiranya seorang lelaki. Ia mengenakan jubah warna hijau. Wajahnya juga sangat aneh, putih ke-hijau2an warnanya, mirip dengan sebuah mayat hidup. Sedang yang satunya seorang lelaki bertubuh kurus, ya sedemikian kurusnya hingga tinggal tulang terbungkus kulit sad ya. Dia han ya memakai celana panjang saja, tubuhnya bagian atas tak memakal baju. Tulang rusuknya menonjol-masuk aneh bentuknya. Dadanya melesek, masuk, warna kulitnya sok2an, sok merah sok kuning tak berketentuan. .

Ketika memasuki ruangan itu, Yan-chiu  merasakan suatu hawa yang panas. Tapi ketika dia berkisar kesamping ternyata disitu terasa dingin, hingga hampir membuatnya menggigil. Buru2 ia salurkan Iwekang untuk melindungi diri: Chiu-yap yang berdiri diluar pintu, tak henti2nya menggigil.

Ketika Yan-chiu masuk, bermula kedua orang aneh itu diam tak menghiraukan. Tapi kemudian tiba2 wajah siorang lelaki itu mengunjuk keheranan. "Murid Ang Hun Kiong angkatan keberapakah kau In!?" tegurnya.

Otak Yan-chiu bekerja keras. Kalau menyebut angkatannya keliwat tinggi, tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka. Maka dengan chidmatnya ia segera menyahut: "Angkatan ketiga!"

Orang itu mendengus dan meng-amat2i Yan-chiu dengan seksama, kemudian memandang kearah Chiu-yap. Tiba2 dia tertawa ter-loroh2, suaranya mirip dengan ayam betina yang habis bertelur.

Yan-chiu tak tahu apa yang digelikan orang itu. Namun ia rasakan bulu romanya sama berdiri. Seluruh ruangan disitu serasa diliputi dengan suasana yang aneh. Diam2 Yan-chiu menduga jangan2 kedua orang inilah yang disebut Hwat Siau dan Swat Moay itu. Tapi tak tahu ia, yang mana Hwat Siau, yang mana Swat Moay itu. Selagi dia tengah menimang2, ruangan itu makin lama makin panas rasanya.

Kiranya sembari ketawa itu, wajah siorang laki2 itu makin merah warnanya. Hawa yang disemburkan dari mulutnya itu menyerupai uap panas yang dimuntahkan lava gunung berapi. Apa boleh buat Yan-chiu terpaksa kerahkan lwekangnya untuk bertahan. Tapi dalam pada itu tahulah kini ia, bahwa siorang laki2 itu tentu Hwat Siau adanya. Pernah suhunya mengatakan, bahwa sepasang suami isteri itu meyakinkan ilmu lwekang im-yang-cui-hwat-kang, yang satu Iwekang cui (air) yang lain lwekang hwat (api). Lihaynya tiada tertara.

Syukurlah tiba2 Hwat Siau hentikan ketawanya, Ialu menatap kearah Yan-chiu, ujarnya: "Usiamu masih begitu muda apalagi hanya murid angkatan ketiga dari gereja ini, tapi kau memiliki lwekang yang begitu bagus. Apakah sebelum menjadi murid disini kau sudah memiliki kepandaian lain?"

Kini baru Yan-chiu tersadar bahwa pertahanannya dengan lwekang tadi telah dapat diketahui orang. Kalau dirinya sampai ketahuan, ah celaka. Dengan mengucurkan keringat dingin, buru2 ia menyahut: "Ya, memang benar begitu!"

Sekalipun Hwat Siau bercuriga, namun mengingat bahwa penjagaan gereja Ang Hun Kiong sedemikian kokohnya hingga tak perlu dikuatirkan akan adanya musuh menyelundup, maka diapun tak mau mengurus lebih panjang. "Ambilkan dua baskom air!" serunya.

4

Menyangka Yan Chiu sebagai imam pelayan, Hwat Siau dan Swal Moay memerlntahkan dia mengambilkan baskom berisi air guna melatih Lwekang mereka.

Yan-chiu lekas2 berlalu menghampiri Chiu-yap. Tak berselang berapa lama anak itu datang dengan membawa dua baskom air, terus disambuti Yan-chiu. "Yang satu letakkan dihadapanku, yang lain dihadapannya!" kembali Hwat Siau memerintahnya.

Dalam kesempatan itu, Yan-chiu melirik kepada Swat Moay, siapa tampak masih meramkan mata tiada ber-kata2. tapi ketika baskom diletakkan dihadapannya, iapun segera mengetahui lalu masukkan tangannya kanan kedalam air. Hwat Siaupun berbuat serupa.

Tak berselang lama, kedengaran Hwat Siau menyuruh: "Ambil baskom itu kesana dan baskom itu kemari!"

Yan-chiu tak mengerti apa maksudnya perpindahan tempat itu, tapi ia pun mengerjakan juga. Tapi ketika tangannya menyentuh air baskom dihadapannya Hwat Siau, buru2 ia menarik pulang tangannya dan hampir saja mulutnya menjerit kesakitan.

Kiranya air baskom Hwat Siau panasnya seperti air mendidih, sedang air dibaskom Swat Moay tadi dinginnya melebihi es. Sepanjang hidupnya, belum pernah Yan-chiu menyaksikan ilmu kepandaian yang sedemikian ganasnya itu. Tapi ia tetap belum jelas, bagaimana ilmu itu dipergunakan untuk menyerang musuh.

Kedua suami isteri itu memasukkan tangannya masing2. Air yang mendidih menjadi dingin dan yang dingin menjadi mendidih. Ber-turut2 lima enam kali mereka saling tukar secara begitu. ”Latihan” itu berlangsung kira2 hanya satengah jam saja.

”Bikin repot kau lagi ni. Coba panggilkan ke 18 orang itu kemari dan setelah itu kau boleh beristirahat!” kembali Hwat Siau memberi perintah.

Sungguh mati, Yan-chiu tak tahu apa yang dimaksudkan dengan ”ke 18 orang itu”. Tapi dikarenakan ilmu kepandaian sepasang suami isteri itu sedemikian saktinya, iapun tak berani banyak cincong. Ketika menghampiri Chiu-yap dilihatnya tubuh anak itu basah kuyup bersimpah peluh (mandi keringat).

”Cici, ayuh kita lekas melarikan diri saja!” bisik anak itu dengan nada gemetar.

”Mereka suruh kita panggilkan ke 18 orang, apa sih itu

?” sahut Yan-chiu. Tapi serta mulutnya mengucap begitu, pikirannya terkilas sesuatu. Yang dimaksud dengan ”ke 18 orang” itu, apa bukan ke 18 jagoan yang dibawa oleh kedua suami isteri itu sendiri ? Dengan memanggil kawanan jagoan itu, terang kedua kepala jagoan itu hendak mengadakan rundingan penting, yalah rencana untuk membasmi para kaum gagah yang tergabung dalam rombongan Ceng Bo siangjin. Ah...., kalau sedemikian halnya, sungguh bukan suatu hal yang kecil artinya. Biarpun nanti andaikata dirinya sampai kepergok mereka dan menjadi korban, tak apalah. Pokok asal dapat menyelamatkan bencana yang akan menimpa para pejoang kemerdekaan itu. Juga dalam hal itu, rasanya lebih penting daripada rencananya untuk menolong Koan Hong dan  Wan Gwat. Ya betapapun halnya, ia harus dapat ”mencari” dengar, rencana, mereka itu.

”Usah kau gelisah, bantulah aku untuk memanggilkan ke 18 orang itu. Ah...., urusan itu penting sekali, ayuh lekas kesana!” Yan-chiu tambahkan lagi keterangannya, lalu ajak anak itu cepat2 berlalu.

(Oodwkz-kupay-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar