Naga dari Selatan BAGIAN 21 : MEMBAYAR HUTANG

 
BAGIAN 21 : MEMBAYAR HUTANG

„Kalau benar tentara Ceng masih kuat dan persediaan ransumnya masih cukup, mengapa mereka mengirim, utusan memberi ultimatum? Kurasa, karena mereka sudah lapuk dalam, jadi menggunakan siasat 'Kota kosong' (gertak sambel) ini," seru Ki Ce-tiong.

Sekalian orang gagah menyetujui pendapat itu. Begitulah sebelum petang hari, 2000 anak buah Hoasan bersiap turun gunung. Setengah jam kemudian, mereka sudah tiba dikaki gunung. Dengan ber-sorak2, mereka menyerbu. Benar juga dalam kubu musuh itu hanya terdapat berpuluh serdadu yang sudah lemah dan cacad. Untuk kegirangan anak buah Hoa-san, ternyata diperkubuan situ terdapat sejumlah besar persediaan beras. Karena sudah beberapa hari menahan lapar, jadi mereka lalu serempak menghidupkan api menanak nasi dan memakannya dengan lahap sekali. Tapi Thay-san sin-tho Ih Liok yang cerdas segera mendapat kesan lain. „Bek-heng keadaan ini amat mencurigakan!" serunya. Memang Ceng Bo siangjinpun curiga, mengapa musuh meninggalkan ransum disitu. Makin memikirkan hal itu, Ih Liok makin gelisah. Kalau benar musuh memasang perangkap, habislah nasib sekian banyak anak buah Hoa-san. Buru2 dia mencari Nyo Kong- lim. „Nyo-heng, lekas suruh sekalian saudara tinggalkan tempat ini !"

Tapi ketika Nyo Kong-lim mengeluarkan perintah itu, sekalian anak buah tak mau. Mereka, tengah berpesta pora seperti harimau lapar. Ih Liok dan Nyo Kong-lim tak dapat berbuat apa2. Mereka hanya mengharap  agar pengundurkan musuh itu benar2 suatu pengunduran, bukan siasat.

„Kalau benar ini merupakan siasat, arsiteknya tentu si Cian-bin Long-kun!" Tio Jiang mengutarakan dugaannya.

Juga sekalian orang gagah berpendapat demikian. Dalam kepandaian silat, banyaklah fihak Hoa-san yang melebihi dari orang she The itu, tapi dalam soal mengatur rencana dan siasat, semua tak ada yang menang.

„Kalau kali ini kita sampai termakan perangkapnya, kelak tentu kucincang manusia itu!" kata, Ih Liok.  Tapi baru saja kata2 itu diucapkan, atau bum. pecahlah

sebuah dentuman laksana membelah bumi. Belasan kubu terbakar seketika. Dan didalam tereakan ”celaka" dari sekian banyak orang, dentuman kedua kembali menyusul. Dentuman reda, jerit tangis mengganti memekakkan telinga. Kerat2 anggauta tubuh manusia bertebaran ke- mana2 ditimpa oleh hujan darah diatas lautan api. Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan bulu roma Tiba2 Ih Liok mencabut pedang yang terselip dipinggang Ceng Bo, lalu memapas kutung jari tangan kirinya sendiri.

„Ih-heng, mengapa kau ?" tanya Ceng Bo dengan kaget.

„Jika dalam kehidupan sekarang ini, Ih Liok tak dapat mencincang tubuh The Go, biarlah lukaku ini jadi busuk!" seru Ih Liok dengan wajah pucat. Memang karena malu hati dan geram terkena perangkap si The Go ini, si Bongkok telah mengikrarkan sumpah.

Meriam musuh masih berdentuman tak henti2nya, disana sini orang menjerit dan merintih  laksana menghadapi kiamat.

”Untuk membalas sakit hati, 10 tahunpun tak terlambat. Mengapa seorang ksatrya lekas berputus asa ?" Ceng Bo menasehati. si Bongkok siapa segera menyahut dengan pilu:

„Bukan kusayangkan selembar jiwaku ini, tapi adalah karena gara2ku maka sekian banyak saudara telah berkorban jiwa!"

Semua orang sarna menghiburnya. Kala itu suara tembakan meriam sudah berhenti tapi sehagai gantinya tentara Ceng dengan gegap gempita menyerbu datang. Keenam pahlawan Hoasan itu segera bersatu padu menghadapi. Sudah lebih sebulan Tio Jiang menganggur dan hanya berlatih keras sehingga kini kepandaiannya bertambah maju pesat. Melihat kesempatan ini, dia maju mempelopori dimuka sendiri. Direbutnya sebatang tombak dari seorang serdadu musuh dan dalam sekejab saja dia sudah berhasil membinasakan 6 orang musuh lagi. Juga Ceng Bo siangjin, Ki Ce-tiong, Nyo Kong-lim dll hebat tandangnya. Bagaikan sekawan harimau menggasak gerombolan anak kambing, demikian amukan pahlawan2. Hal ini tepat seperti kala mereka rnembuka jalan darah dari kepungan tentara Ceng digunung Gwat-siu-san tempo hari. Selama bertempur itu, Ceng Bo siangjin tetap bahu membahu dengan Thay-san-sin-tho Ih Liok. Menjelang tengah malam, suasana medan pertempuran itu makin sepi dengan tereakan orang. Ini menandakan bahwa anak buah Hoasan telah kena dihancurkan musuh. Betapa geram dan pilunya keenam orang gagah itu, dapat dibayangkan. Dengan bersuit-keras, serentak Ceng Bo mencabut pedang pusaka yang dalam 10 tahun belakang ini tak pernah digunakan. „To hay kiam hwat" ilmu pedang membalik laut, haus dengan darah lagi. Imam yang gagah perkasa itu menyerbu maju, diikuti oleh kelima kawannya.

Kemana pedang yap-kun berkelebat, disitulah pedang dan tombak musuh kutung bertebaran kesana-sini. Belum pernah dalam sejarah pertempuran, serdadu2 Ceng itu melihat kesaktian seorang pahlawan macam si imam itu. Bagaikan air surut, mereka sama menyisih mundur, memberi jalan kepada ke-enam pahlawan itu. Tapi mendadak terdengar lagi aba2 tembakan dan serdadu2 itu segera bergelombang-maju menyerang lagi. Kembali „To hay kiam hwat" meminta korban belasan jiwa serdadu musuh. Melihat caranya sang suhu menarikan „To hay kiam hwat" sedemikian hebatnya Tio Jiang sangat kagum sekali.

Se-konyong2 mata Tio Jiang tertumbuk pada sebuah pemandangan yang mempesonakan, Tak berapa jauh dari situ, dipinggir sebatang puhun siong yang tumbuh dihutan dekat tempat itu, tampak ada seorang gadis langsing bersandar berdiri membelakangi arahnya. Dalam cahaya bulan remang2, tegas dilihatnya itulah Bek Lian.

Tersirap darah didada Tio Jiang. Gerakannya agak berayal dan hampir sedikit saja dia termakan sebatang tombak musuh. Walaupun nyata2 Bek Lian tak mencintai, namun api asmara dalam hati anak itu tetap tak padam. Dalam kamus hatinya, dunia ini hanya ada Bek Lian seorang. Maka untuk kedua kali, dia ulangi lagi melirik kearah itu. Ternyata Bek Lian masih tetap berdiri disitu seorang diri. Seketika lupalah dia kalau masih ditengah medan pertempuran. Sret...., sret......, sret......, 3 kali dia bolang balingkan pedang untuk mengundurkan beberapa, serdadu, lalu menyelinap ketempat Bek Lian tadi.

Oleh karena tengah bertempur mati2an jadi kelima tokoh tadi tak mengetahui akan kepergian Tio Jiang. Tampak makin lama Ceng Bo makin beringas. Dengan perkasa dia berhasil membuka sebuah jalan darah, diikuti oleh keempat kawannya. Setelah itu dengan pesatnya mereka lolos. Agaknya kawanan musuh masih coba, mengejar, tapi mana mereka dapat mengikuti lari ke-lima pahlawan yang lihay itu.

„Hai, kemana Jiang-ji ?" tanya Ceng Bo setelah berhasil lolos.

„Entahlah!" sahut Nyo Kong-lim. Ih Liok tampak kerutkan kening, sementara Kiau To mem-banting2 kaki, serunya: „Mengapa bocah itu tak tahu bahaya?" Sedang Ki Ce-tiong menyatakan kekuatirannya jangan2 Tio Jiang tertangkap musuh. Tapi, tetap kelima orang itu tak tahu kemana perginya Tio, Jiang.

Setelah memulangkan napas, berkatalah Ceng Bo:

„Kalian tunggu disini, biar kubalik kesana melihatnya!"

„Tidak, kalau satu pergi, pergi semua!" seru Nyo Kong- lim sambil getarkan Sam-ciat-kun. Lain2 kawanpun setuju.

Bermula fihak tentara Ceng sudah segera akan menarik pulang barisannya, karena sudah mendapat hasil kemenangan. Tapi dengan datangnya kembali kelima harimau itu, mereka jadi kalang kabut lagi. Tapi setelah beberapa lama kelima orang itu mengobrak-abrik kian kemari tak menjumpai Tio Jiang, mereka lalu mengangkat kaki lagi. Saking letihnya, mereka berlima  sampai kehabisan tenaga.

„Mati hidup terserah Allah. Jiang-ji seorang anak jujur berhati patriot, semestinya dia tak sampai mengalami nasib buruk!" kata Ceng Bo sembari menghela napas.

„Li Seng Tong pandai memakai orang. Kalau siaoko tertangkap, jiwanya pasti terpelihara. Kelak kalau mereka sudah mundur kita dapat menyirepi kabar ke Kwiciu!" ujar Ih Liok. Demikianlah mereka hanya menghela napas tak dapat berdaya apa2. Malam itu mereka tidur dihutan.

Keesokan harinya, benar juga tentara Ceng telah ditarik mundur. Oleh karena kini hanya tinggal berlima, maka. Ceng Bo usulkan supaya pulang dulu ketempat kediamannya di Lo-hu-san, guna merencanakan siasat lagi.

„Siaoko pernah mengatakan kalau suhuku Tay Siang Siansu masih hidup. Untuk menggempur gereja Ang-hun- kiong, kita harus mendapat bantuannya!" kata Kiau To.

„Akupun hendak kegunung Hud-san mencari pemilik dari senjata Eng-jiao-thau (sarung cakar garuda)," kata Ki Ce-tiong. Juga Ih Liok hendak mengundang bantuan kawannya. Maka undangan Ceng Bo tadi terpaksa tak dapat dipenuhi. Begitulah mereka, lalu ambil selamat berpisah satu sama lain.

Kini mari kita ikuti Tio Jiang, sibocah sembrono itu. Dengan,     ber-debar2    dia    menghampiri    Bek    Lian.

Anehnya, mengapa sampai sekian lama Bek Lian tetap membelakangi saja dan tak kelihatan bergerak, Tio Jiang sudah curiga, tapi dia sudah dimabuk cinta. „Lian suci!" serunya, sembari maju mengulurkan tangan. Ketika hendak menyentuh bahu Bek Lian, se-konyong2 ujung kakinya melesak kebawah.  Celaka! Bam dia hendak loncat,  sebuah samberan angin keras menghantam kepalanya. Makin cepat dia hendak enjot kakinya mehambung keatas, tapi hai ,

begitu sang kaki di-enjot, bukannya dapat melambung malah terjerumus kebawah. Kiranya tempat yang  dipijaknya itu merupakan sebuah lubang jebakan yang ditutupi tumpukan rumput!

Sembari berjumpalitan, Tio Jiang jatuh kebawah. Karena lubang perangkap itu tak se-berapa tingginya, Tio Jiang cepat enjot tubuhnya loncat keatas dan sudah mau berhasil kalau tidak se-konyong2 dimulut lubang itu muncul belasan batang kait, sehingga pakaian dan badannya kena tertusuk. Betapapun lihaynya, akhirnya Tio Jiang dapat juga diringkus hidup2 oleh serdadu2 Ceng. Begitu berada diluar, segera terdengar gelak tertawa seseorang dan sesosok tubuh melesat menutuk jalan darah dibagian iganya. Kini Tio Jiang tak dapat berkutik lagi. Ketika diawasinya, orang itu bukan lain adalah sang musuh lama, Cian-bin Long-kun The Go !

Bukan main gusarnya Tio Jiang melihat orang itu. Ketika dia melirik kesamping, dilihatnya Bek Lian masih menyandar dipuhun. „Lian suci, kau sangat kejam!" serunya. The Go ter-bahak2 menghampiri,  lalu mengangkat

„Bek Lian"  terus dilemparkan  kearah Tio   Jiang,  serunya:

„Ini gadis yang kau rindui siang malam, ciumlah se- puas2mu !"

Astaga! Baru kini Tio Jiang tersadar atas ketololannya. Yang disangka Bek Lian itu ternyata adalah sebuah orang2an yang diberi pakaian Bek Lian. Kembali dia termakan tipu The Go, hingga sampai dia ter-longong2. Kini dilihatnya The Go sudah berganti dengan pakaian seorang pembesar militer Ceng. Rambutnya dipangkas dan dibelakangnya memakai kuncir. Wajahnya girang ke- bangga2an. „Anjing Boan kau!" damprat Tio Jiang sembari meludah. Dia tak pandai bicara, tapi kata2 yang dikeluarkan sepenuh hati itu, membuat The Go terkesiap. „The Go....., The Go......, jasamu menghancurkan Hoa-san itu, tidak kecil. Bukan saja seluruh dunia persilatan memujimu, pun pemerintah Ceng akan mengganjarmu pangkat besar. Mengapa kau hiraukan makian seorang budak macam begitu ?" pikiran The Go membantah sendiri. Maka wajahnyapun berobah tenang dan mendongak tertawa riang.

Amarah Tio Jiang ber-golak2 memenuhi ruang dadanya, namun karena kaki tangannya terikat, dia tak dapat berkiitik. Tiba2 terdengar suara kecil merayu: „Engkoh Go, mengapa kau tertawa? Apa yang kau girangkan ?"

The Go berpaling dan sesosok tubuh langsing  melesat lari kearahnya. Oho, itulah Bek Lian, sijelita yang digilai Tio Jiang. Dia segera berseru dengan suara ter-putus2:

„Lian suci! Kau........... kau. "

Banyak nian kata2 yang hendak diucapkan Tio Jiang, tapi entah bagaimanaa serasa tenggorokannya tersumpal dengan suatu kesesakan hawa, sehingga untuk  bernapas saja susah rasanya. Tapi sebaliknya Bek Lian hanya dingin2 saja mengawasi Tio Jiang sejenak, lalu menggelandot pada Tho Go sembari tempelkan mulutnya ketelinga sikekasih. Entah apa yang dibisikkan dengan riangnya itu.

Bermula Tio Jiang mendongkol dan marah sekali. Tapi serta dilihatnya sinona sedemikian dingin terhadapnya dan begitu mesra terhadap The Go seorang penghianat bangsa, tawarlah perasaan Tio Jiang, Bidadari sekalipun gadis itu, namun dengan tingkah lakunya yang memuakkan itu, dapatkah ia menjadi pujaan hatinya? Ah...., tidak..., tidak. Dan seketika tenanglah perasaan Tio Jiang. Hawa yang menyumbat tenggorokannya tadi, tanpa terasa  menurun lagi kedada lain ber-putar2 didalam perut terus naik lagi.

Tio Jiang sangat kaget mengalami keadaan tubuhnya, Baik ilmu lwekang „Cap ji bu heng kang sim" yang dipelajari dari Sik Lo-sam, maupun lwekang ajaran sang suhu, se-kali2 tak boleh ber-golak2 begitu karena ditimbulkan hawa kemarahan. Kalau hawa murni itu sampai meluap kemudian balik menyusup kesaluran yang salah, dia tentu ba menjadi seorang senewen. Teringat akan itu, buru2 dia kembalikan hawa murni yang ber-golak2 itu, tapi sukar.

Hawa itu sudah menyalur keseluruh tubuh, melewati kepala, jalan darah lalu kembali lagi kedada. Walaupun kaget, tapi kini Tio Jiang rasakan semangatnya segar. Sekilas teringat dia akan wejangan Kui-ing-cu tempo hari. Ilmu lwekang itu tergantung dari bakat sipelajar sendiri. Menurut cabang persilatannya, lwekang itupun masing2 berlainan, mempunyai kelebihan sendiri2. Kalau orang dapat mengambil sari kebagusan dari setiap Iwekang itu, tentu akan berhasil menciptakan suatu macam lwekang sendiri yang hebat.

Itu waktu Tio Jiang hanya mendengarkan saja tak ambil perhatian terhadap nasehat Kui-ing-cu. Pikirnya, untuk Mempelajari semacam lwekang saja dia masih belum mana dapat menciptakan sendiri? Kini dalam menghadapi saat2 genting dimana hawa murninya setiap detik bisa menyalur salah, dia segera teringat akan ajaran Kui-ing-cu. Bek Lian dan The Go, dianggap sepi saja. Pikirannya dibulatkan satu, dan hawa murni itu kembali beredar lagi. Kalau tadi yang pertama tidak dengan sengaja, kini dia empos betul2 semangatnya dan tahu2 begitu serasa bergetar, jalan darah yang ditutuk si The Go tadi telah dapat diterobos buka oleh emposan hawa murninya! Girang Tio Jiang tak dikata. Ilmu tutukan The Go itu adalah ilmu istimewa dari Ang hwat cinjin yang sudah termasyhur lihaynya, tapi toh ternyata dapat dijebolkan. Ini membuktikan kalau dalam sekejab mendapat penerangan itu, ilmunya bertambah maju pesat sekali. Hal ini kelak dia baru mengerti setelah bertanya pada Kui-ing-cu. Dan sejak itu, dia selalu berhati2 mengendalikan perasaannya.

Setelah jalan darahnya terbuka lagi, kembali dia hendak mencoba sampai dimana kemajuannya pada saat itu. Dia salurkan lwekang kearah sepasang lengan, lalu meronta keras. Hai, tali pengikat yang terbuat dari urat kerbau direndarn minyak itu, putus semua. Dalam terperanjat girangnya itu, dia lagi2 gerakkan sang kaki dan kembali tali peiigikatnya putus juga. Sedikitpun Tio Jiang yang sangat gemar ilmu silat itu, tak ngimpi kalau dalam beberapa detik itu saja dia telah mencapai kesempurnaan yang begitu gilang gemilang. Sudah tentu girangnya sukar dilukis.

Adalah disana The Go dan Bek  Lian masih ber- cumbu2an dengan mesranya. Mereka tak mengetahui kalau Tio Jiang sudah bebas. Maka dengan menyeringai hina, dia mengejek: „Anak kerbau, kau ingin mati secara bagaimana, bilanglah!"

Habis berkata, The Go tertawa puas. Bek Lian yang mendengari, diam saja malah setelah menatap sebentar kearah Tio Jiang, ia memandang lagi pada The Go dengan mesranya. Dengan begini, nona itu sudah kelebuh dalam sekali ke dalam perangkap asrama yang dipasang The Go.

Tio Jiang hanya tertawa dingin saja. Bermula saat itu, juga dia hendak loncat menerjang penghianat itu, tapi sekilas terlintas dalam pikirannya untuk mencari keterangan lebih jauh dulu sebelum turun tangan. „Cian-bin Longkun, kemana Li Seng Tong sekarang?" tanya dengan tenang. ”Li congpeng siang2 sudah balik. Tentara Ceng disini, adalah orang2ku!" sahut The Go, dengan tertawa bangga.

Dengan wajah keren, Tio Jiang memaki: „Kalau begitu, dosamu sudah memuncak, sampai mati masih dicaci orang!"

Mulut The Go yang masih tertawa tadi, tak dapat meneruskan ketawanya lagi. „Anak kerbau, kematianmu sudah didepan mata, mengapa masih kurang ajar? Hai, anak2 !, Bawa wajan dan api kemari"

„Cian-bin Long-kun, perlu apa alat masak itu?" tanya, Tio Jiang dengan keheranan. The Go ter-bahak2,

sahutnya :

„Tulang kepalamu keras, maka perlu digodok dengan wajan !"

Tio Jiang menelan ludah, terhadap manusia sekejam itu tak dapat dia bersabar lagi. Sekali loncat dia menerjangnya.

„Bangsat, jangan umbar kebiadaban !"

The Go terperanjat, dengan gugup dia segera tarik tubuh Bek Lian kemuka, untuk menutupi diri. Terjangan Tio Jiang tadi disertai dengan sebuah hantaman kuat, tapi demi, melihat kelicikan The Go menjadikan Bek Lian perisainya, dia buru2 tarik pulang tangannya. „Lian suci, bangsat itu telah menjadikan kau sebagai perisainya, apa kau belum insyaf ? "

Sebaliknya Bek Lian malah deliki mata dan  tertawa dingin „Makin kau menjelekkan namanya, makin aku mencintainya !"

Tio Jiang tertegun. Sucinya itu bukan seorang dungu, mengapa kini begitu limbung pikirannya? Tapi dalam pada itu, walaupun heran mengapa Tio Jiang bisa lolos, The Go terus keluarkan kipasnya yang terbuat dari lidi baja murni. Sekali bergerak dengan thui-jong-bong-gwat (mendorong jendela melihat rembulan) dia maju menutuk tenggorokan Tio Jiang.

Sejak perkenalan pertama di Lo-hu-san entah sudah berapa kali Tio Jiang selalu mendapat kopi pahit dari The Go. Lama nian hati anak muda ini hendak membikin pembalasan. Dan inilah saatnya. Begitu miringkan tubuh menghindar, dia maju selangkah. Secepat kilat, dia cengkeram ugal2 tangan lawan. Gayanya lain dari  Tio Jiang dahulu, hingga membuat The Go kagum dan heran juga. Cepat2 The Go itu tarik turun tangannya, lalu dijulurkan lagi untuk menutuk dada. Juga serangan itu, indah dan cepat.

„Bagus!" seru Tio, Jiang melihat gaya tangkisan yang dapat menyerang itu. Dia putar tubuhnya sembari mendak, lalu tiba2 dia gunakan sepasang tangan mendorong dada orang yang terbuka itu. Dapat dipastikan serangannya itu tentu berhasil. Se-konyong2 ada angin menyambar dari belakang, maka terpaksa dia tarik tangannya kanan untuk menangkap kebelakang, hai mengapa benda itu sedingin es? Adalah karena dia tertegun bahwa yang disawutnya itu adalah sebatang liu-yap-to milik Bek Lian, The Go sudah beroleh kesernpatan untuk loncat menyingkir. Wajahnya pucat lesi, dahinya mandi keringat. Ternyata dia seperti orang yang sudah mati dapat hidup kembali, hatinya berguncang keras

Ketika Tio Jiang berpaling kebelakang, didapatinya Bek Lian bersikap bengis sembari menghunus pedang. „Lian suci, mengapa kau?" tegur Tio Jiang.

„Kalau kau berani melukai engkoh Go, aku tentu mengadu jiwa denganmu!" seru Bek Lian. „Lian suci, bangsat itu berdosa besar. Semua saudara dari Hoa-san, telah hilang jiwa gara2 tipunya. Mengapa harus diampuni ? "

„Tidak mengampuni dia berarti tidak mengampuni aku!" seru Bek Lian sembari putar pedangnya terus menusuk dada Tio Jiang dengan jurus cing-wi-tian-hay. Bagi Tio Jiang, ilmu pedang to-hay-kiam-hwat sudah difahaminya. Terhadap, sang suci sedikitpun dia tak jeri. Tapi mengingat ikatan saudara seperguruan tak mau dia membalas, melainkan menghindar kesamping. Tapi good-will itu telah dirusak oleh The Go yang se-konyong2 loncat menurun menutuk jalan darah dikaki. Jadi dalam keadaan itu, Tio Jiang diserang dari muka dan belakang. Tapi  Tio Jiang sekarang lain dengan Tio Jiang setengah tahun dulu. Sekali enjot sang kaki, tubuhnya melambung keudara.

7

Dalam keadaan tergencet dikeroyok, ketika The Go melontarkan hantaman pula, terpaksa Tio Jiang melompat keatas terus berjumpalitan hingga melintasi diatas kepalanya The Go. Biasanya kalau orang loncat keatas, tentu akan jatuhnya melayang turun kemuka. Tapi karena Bek Lian berada disebelah muka, Tio Jiang tak mau berbuat begitu. Dia buang kepalanya kebelakang dan berjumpalitan diudara, lalu melayang melalui kepala The Go dan turun dibelakangnya. Suatu loncat-indah yang mengagumkan sekali!

Melihat Tio Jiang menghilang tiba2, dengan gugup The Go segera berputar kebelakang, tapi dia sudah disambut dengan sebuah hantaman. Karena jaraknya sudah sedemikian dekat jadi The Go dipaksa untuk menangkis, krak...... baik dia maupun Tio Jiang sama2 tersurut kebelakang sampai 3 tindak. Hanya saja kalau dia terhuyung, adalah murid Ceng Bo itu hanya tergetar sedikit, malah sudah lantas merangsangnya lagi. Dari sini bisa diketahui sampai dimana, kini nilai kepandaian kedua seteru besar itu.

The Go gunakan jurus hong-cu-ma-ciu untuk menghindar, tapi karena tadi dia sudah terluka, dalamnya, jadi gerakannyapun lamban. Apalagi karena Tio Jiang pun faham akan ilmu silat hong-cu-may-ciu (dari Sik Lo-sam), jadi dengan susah payah barulah The Go dapat lolos. Namun bagai bayangan, Tio Jiang tetap membayangi kemana larinya.

Dalam beberapa gebrak saja, pakaian kebesaran si The Go itu sudah compang-camping tak keruan, dan terus- menerus dia main mundur. Pada lain saat, Tio Jiang mendesak rapat, setelah menangkis serangan The Go, dia ulurkan tangan kanan. „Lepas!" dan tahu2 kipas The Go telah dapat direbut.

Saking ketakutan, The Go segera men-jerit2: „Hayo, lekas keroyok dia!"

Bagaikan tawon keluar dari sarangnya, kawanan serdadu Ceng yang sudah sedari tadi mengawasi pertempuran itu disamping, segera maju menyerang Tio Jiang. Tapi Tio Jiang cepat merangsang hebat pada The Go, sehingga untuk beberapa saat kawanan serdadu itu tak berdaya turun tangan. Masih The Go dapat memaksa bertahan  sampai dua jurus, tapi pada lain saat pahanya tiba2 dirasakan sakit sekali terkena tutukan Tio Jiang. Saking sakitnya dia tak kuasa berdiri lagi, berbareng dengan itu tangan kiri Tio Jiang pun sudah melayang kearah  umbun2 kepalanya..............

„Tahan dulu!" seru The Go dengan gugup, lalu berteriak lagi se-kuat2nya: „Lian-moay, jangan kau mengambil keputusan pendek begitu!"

Lagi2 Tio Jiang kena diselomoti oleh rase yang licin itu.

Ini sebagian disebabkan karena api-asmaranya terhadap sang suci masih tetap menyala, sebagian memang wataknya yang ksatrya. Buktinya tempo Yan-chiu didesak hebat Kang Siang Yan tempo hari, diapun mati2an mengadu jiwa. Dia berpaling kebelakang, tapi bukannya Bek Lian hendak bunuh diri, tapi menghunus pedang dengan cemasnya. Tahu kalau diselomoti, cepat Tio Jiang berpaling kemuka lagi, tapi sirase The Go sudah menyingkir pergi!

Dengan menggerung keras, Tio Jiang loncat memburu, tapi segera dihadang oleh lingkaran pagar tombak  dan golok dari kawanan serdadu. Tapi mana serdadu2 kerucuk itu bisa menandingi amukan murid kesayangan Ceng Bo siangjin? Sekali bergerak, dia sudah dapat menyampok jatuh beberapa serdadu dan merampas tombaknya. Dengan sebatang tombak, dia mengamuk laksana banteng ketaton, namun lapisan serdadu itu sangatlah rapatnya. Sekalipun begitu, mereka tak dapat mendekati Tio Jiang, rupanya mereka jeri juga akan kegagahan jago muda itu. Kalau dia berhenti, serdadu2 itupun berhenti tak berani menyerang. Kalau dia menyerang lagi, pun mereka bergerak pula.

”Menyingkir!" tiba2 dari dalam kawanan serdadu itu Ioncat maju seorang opsir yang mencekal toya long-ge- pang. Tanpa berkata sepatah kata, orang itu segera menghantam kepala Tio Jiang. Melihat gerakan kaki orang itu tak teratur, Tio Jiang ganda tertawa saja. Tahu  dia, orang itu hanya bertenaga besar tapi ilmunya silat  biasa saja. Begitu menghindar kesamping, dia lalu maju kemuka dan blek tangannya menabas pundak siopsir, siapa toyanya terlempar dan orangnya jatuh terlentang!

Tio Jiang cepat mengambil alih toya long-ge-pang itu, yang ternyata berat. „Hem......, sejak rombonganmu masuk kekota, entah berapa banyak rahayat Han yang kehilangan jiwa, sekarang hendak kubestelkan kau keakherat!" seru Tio Jiang seraya menjambret tubuh opsir itu terus di-putar2 lalu dilemparkan kemuka. „Aduh" terdengar suara jeritan dalam kawanan serdadu sana.

Kembali Tio Jiang mengamuk, sehingga kawanan serdadu itu kocar kacir mundur. Kemana long-ge-pang menghantam, darah menyembur membawa gumpalan daging. Ki-ni terbukalah suatu jalan darah untuk Tio Jiang. Tapi sekonyong2 ada dua orang maju dengan masing2 mencekal sebuah tun-pay (perisai) besar macamnya. Wut....., wut...., kedua benda itu berbareng menyerang dan berhasil mengapit long-ge-pang. Tio Jiang coba kerahkan tenaga untuk membetot, tapi tak bergeming. Mengapa tiba2 dalam barisan musuh terdapat seorang lihay, demikian diam2 Tio Jiang terkesialp. Oho......., kiranya kedua orang itu bukan lain adalah dua paderi besar atau Sam-tianglo dari gereja Ci-hun-si. Malah kini mereka lengkap tiga jumlahnya. Yang dua menjepit long-ge-pang dengan dampar, sedang yang seorang lagi melesat maju menghantam perut Tio Jiang dengan pukulan hek-sat-ciang (pukulan pasir hitam).

Belum lagi Tio Jiang dapat merobohkan To Ceng, sementara itu To Kong dan To Bu juga sudah datang, ia menjadi lebih payah menghadapi keroyokan tiga tertua dari Ci-hun-si An.

Tio Jang undang seluruh kekuatannya, baru dia berhasil menarik lolos long-ge-pang. Tapi kedua paderi itu bukan tokoh lemah. Benar Tio Jiang telah membuat kemajuan pesat, namun masih kalah dengan peyakinan mereka dari berpuluh tahun itu. Apalagi dua orang maju berbareng. Krek........putuslah long-ge-pang itu, hingga Tio Jiang terjerembab jatuh kebelakang dengan mencekal separoh kutungan toya. Keadaan itu teramat berbahaya, karena berbareng dengan itu ketika tianglo itu maju serempak menyerang 3 bagian tubuhnya . (Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar