Naga dari Selatan BAGIAN 20 : PEDANG JANTAN DAN BETINA

 
BAGIAN 20 : PEDANG JA NTA N DAN BETINA

Kini mari kita ikuti keadaan Tio Jiang, sahabat kita, jujur tolol itu. Waktu mulut Bek Lian menyangkal pertunangan itu, Tio Jiang sudah lemah lunglai mendeprok ditanah. Kemudian setelah mendengar lagi bahwa Bek Lian benar2 sudah menjadi isteri The Go, kepalanya ber-kunang2 seperti dipalu godam. Tak tahu dia, kemana hendak menyembunyikan mukanya ?

Begitu kedua wanita itu sudah jauh, pikirannya baru mulai terang lagi. Dibayangkannya, apabila kedua ibu anak itu sampai membikin onar, tentu akan hebat jadinya. Apakah sang suhu dapat melawan kedua wanita itu, itu soal kecil. Tapi kalau sampai suhunya terganggu oleh kedatangan kedua wanita itu, bukankah saudara2 di Hoa- san itu akan seperti anak ayam kehilangan induknya. Siapa yang akan memberi pimpinan kepada mereka dalam menghadapi serangan tentara Ceng itu? Urusan negara diatas segala urusan peribadi. Sejak kecil selain diberi pelajaran ilmu silat oleh Ceng Bo siangjin, pun jiwa Tio Jiang telah disi dengan doktrin (ajaran) patriotisme. Makin memikirkan hal itu, makin dia menjadi sibuk tak keruan. Mondar-mandir kesana sini, dia tampak mengasah otak. Akhirnya dia menemui keputusan. Dia harus mendahului kedatangan Kang Siang Yan dan Bek Lian untuk memberi kisikan pada sang suhu agar ber-siap2.

Tio Jiang hanya pikirkan soal cara menolong sang suhu, tak mau memeriksa dirinya adakah dia dapat melampaui larinya Kang Siang Yan atau tidak. Dengan pejamkan mata, dia segera enjot tubuhnya melompat kepuncak sana. Berhasil tidak melompati jurang pemisah yang lebar itu, bukan soal. Yang dipikirkannya, dia sudah mendapat keputusan dan harus dikerjakan lekas2. Syukurlah, karena sehari semalam dia diwejang oleh Kui-ing-cu tentang intisari ilmu lwekang, jadi kepandaian dalam ilmu itu kini bertambah pesat sekali. Maka sekali loncat, dapatlah dia mencapai karang sana. Mungkin kalau kemaren dibiarkan melompati jurang yang lebarnya 7 tombak itu, tentu dia akan gagal. Sewaktu dia mengawasi jurang yang habis dilompatinya itu, kepalanya berkeringat.

Setelah itu dia terus berlari turun entah kemana asal sepembawa, kakinya saja. Kira2 sejam kemudian, kepalanyapun sudah basah mandi keringat, tapi dia tak kenal jalan. Maka setelah berselang sekian lama barulah dia dapat berjumpa dengan dua orang pencari kayu. Salah seorang dari mereka terus saja diterkamnya. „Bung, mana letaknya markas pusat dari Hoa-san ?" tanyanya.

Melihat kawannya diterkam begitu rupa oleh seorang pemuda yang kasar, si pencari kayu yang satunya segera hantamkan pikulannya kearah kaki Tio Jiang. Tio Jiang menyingkir kesamping, tapi diluar dugaan pencari kayu itu rnenyapu lagi dengan pikulannya, lalu ditarik clan dijojohkan, maka buk terjungkallah Tio Jiang kebelakang. Cepat Tio Jiang bangun, tapi pikulan sipencar kayu itu kembali menyapu kepinggang. Tio Jiang kesal hatinya Tak mau dia, diganggu lama2, cepat dia sambut pikulan itu. Namun sipencari kayu itu gesit sekali. Pikulan diturunkan kebawah untuk menyodok kaki Tio Jiang, siapa buru2 loncat keatas. Tapi sebagai bayangan, pikulan sipencari kayu mengejar keatas sambil diputar-putarkan dan lagi2 Tio Jiang terjengkang ketanah..........

Kejadian itu, sungguh membuat Tio Jiang heran, sehingga dia ter-longong2 duduk ditanah. Mengawasi tukang kayu itu, nyata hanya seorang dusun biasa saja. Aneh, mengapa dia yang mempunyai kepandaian silat, sekali dua kali dijegal dengan pikulan, bisa jatuh terjungkal? Ah....., mungkin tadi dia bingung hatinya, maka dengan penasaran dia terus bangun dan menghantam pencari kayu tersebut. Orang itu loncat kesamping dan ,Hai.        tiba2 dia

bertereak  keras,  hingga  Tio  Jiang  kesima.   Dalam  detik2

kekosongan itu, tahu2 kakinya sakit didorong oleh suatu tenaga dahsyat dan bluk.         untuk yang ketiga kalinya dia

jatuh kebelakang lagi! Malah kali ini, dia harus mendahar santapan lezat berupa lumpur 5

Tio Jiang menyangka, orang hanya tukang kayu biasa saja, siapa duga, sekali orang itu ayun pikulannya, kontan Tio Jiang kejegal hingga jatuh terjengkang

„Aku tadi kan hanya tanya jalan, mengapa kau 3 kali bikin aku jatuh," seru Tio Jiang sembari berbangkit.

„Ho...., ho...., ho.....," tertawa sipencari kayu, ”kalau tak diberi hajaran, lain kali kau pasti main melukai orang.”

„Maaf, bung, aku tadi kesalahan. Tolong tanya mana jalanan ke markas besar Hoa-san ?" tanya Tio Jiang dengan agak tenang. Sipencari kayu satunya yang dicengkeram pundaknya oleh Tio Jiang masih meng-erang2 kesakitan, jadi tak mau dia menyahuti pertanyaan orang. „Sudahlah, kalau kalian tak mau memberitahukan," kata Tio Jiang sembari hendak ayunkan langkah. Tapi tiba2 sipencari kayu yang menyerang dengan pikulan tadi, berseru: „Engkoh kecil, perlu apa kau tanyakan tempat itu ?"

Tio Jiang menjawab hendak mencari suhunya. Sipencari kayu menanyakan pula siapa nama suhunya itu.

„Siang Ceng he Bo (diatas bening dibawah bergelombang), Ceng Bo siangjin!" sahut Tio Jiang.

„Oh, kiranya orang sendiri," seru sipencari kayu sembari lemparkan pikulannya ketanah, „engkoh kecil, apakah kau kenal akan toa-ah-ko dan ji-ah-ko dari Thian Te Hwe"

„Ki dan Kiau kedua susiok itu, mengapa tidak? Lekas beritahukan dimana markas besar itu, jangan sampai terlambat!" seru Tio Jiang. Namun orang itu masih ayal2an, ujarnya: „Ki lotoa dan Kiau loji, sekarang berada ditempatku! " „Benar?" teriak Tio Jiang kegirangan sekali. Tapi seruan itu disela dengan muncul dua orang lelaki dari balik gunung. Yang berjalan dimuka bertubuh tinggi besar, adalah Ki Ce-tiong. Sedang dibelakangnya adalah Kiau To.

”Mengapa jiwi susiok berada disini ? Apakah sudah mengetahui kalau Hoa-san diserbu tentara Ceng?" tanya Tio Jiang sembari menyongsong kedua pernimpin Thian Te Hui itu.

„Ma Cap-jit, mengapa tak kau katakan ?" Ki Ce-tiong dan Kiau, To serempak bertanya pada sipencari kayu yang lihay tadi. Tapi orang itu hanya ganda tertawa, sahutnya:

„Tentara Ceng mengepung atau tidak, tiada sangkut paut denganku. Kalian merawat luka2 kalian kalian, sedang aku menebang kayuku, persetan dengan tentara Ceng atau Beng!"

Ki Ce-tiong mem-banting2 kaki, serunya: „Ma Cap-jit, kau bikin kapiran urusan besar!"

Sebalikiya Tio Jiang tak sabaran lagi menunggu pembicaraan mereka yang tak berguna itu, katanya dengan gugup: „Jiwi susiok, subo dan Lian suci kini mencari suhu. Kita harus lekas2 memberitahu, kalau terlambat, nasib Hoa- san sukar ditolong!"

Saking gugupnya, Tio Jiang tak mengatakan maksud kepergiannya itu. Pikirnya, apa yang diketahui, orang lain tentu tahu juga. Dia tak tahu kalau sehabisnya lolos dari kepungan tentara Ceng, beberapa bulan ini Ki Ce-tiong dan Kiau To beristirahat dirumah Ma Cap-jit untuk merawat luka2nya yang parah, Sudah tentu keduanya tak mengerti apa yang diucapkan Tio Jiang itu. ”Engkoh kecil, karena kesusu kau tadi telah terjatuh 3 kali, tapi rupanya kau perlu jatuh satu kali lagi ni!" tiba2 Cap-jit berkata. „Dalam urusan sebesar ini, mengapa hatiku tak resah?" balas Tio Jiang seraya deliki mata orang she Ma itu. Ma Cap-jit ayunkan pikulannya hendak menyerang lagi tapi dicegah oleh Ki Ce-tiong: ”Siao-ko (engkoh kecil), dia adalah seorang persilatan yang mengasingkan diri. Ilmu pikulannya itu terdiri dari 17 jurus, setiap jurus tentu dapat membikin terjungkal orang. Banyak orang lihay yang pernah merasakan pikulan itu, maka kaum  persilatan menjulukinya sebagai Ma Cap-jit atau orang she Ma si 17."

Tio Jiang membahasakan Cap-jit siok pada orang; itu, lalu meminta agar kedua pemimpin Thian Te Hui itu lekas2 berangkat. Tapi Ki Ce-tiong juga tak kenal dimana letak markas besar Hoasan itu, maka dia minta agar Ma Capjit suka mengantarkannya. Tapi Ma Cap-jit menolak, katanya: ”Aku tak pusingi urusan itu, kalian pergi sendiri sajalah. Dari sini kalian menuju ketimur, setelah melalui dua buah puncak, tentu akan sampai ditempatnya!"

„Ma Cap-jit, terima kasih dan selamat tinggal!" Ki Ce tiong dan Kiau To serempak minta diri, tapi orang aneh itu diam saja. Dia angkat pikulannya yang dimuati dua untai sayur, lalu ajak kawannya berlalu. Masih terdengar ngiang nyanyian gunung yang didendangkan dengan bebas gembira. Selama beristirahat ditempat itu, Ki  Ce-tiong sudah dapat pulih lagi seperti dahulu (pulih kepandaiannya). Begitulah dengan gunakan ilmu mengentengi tubuh mereka bertiga lalu berangkat.

Benar juga, ketika melewati sebuah puncak, mereka menampak banyak sekali kubu2 tentara Ceng. Menuruti adat Kim To, saat itu juga dia hendak mengadakan serbuan, tapi Tio Jiang mencegah. Dia tetap kuatirkan keselamatannya sang suhu yang hendak didatangi oleh Kang Siang Yan dan Bek Lian itu. Syukur Kiau To pun menurut. Begitulah dengan mengambil sebuah jalan kecil, setelah melewati sebuah puncak lagi, mereka tiba dimarkas besar Hoa-san.

Markas pusat itu terletak di-tengah2 dari ke 72 markas, keadaannya strategis sekali, merupakan jantung gerakan dari ke 72 markas itu. Nampak dalam markas itu para anak buahnya teratur rapi, ketiga orang itu segera percepat langkahnya. Setengah jam kemudian, sampai mereka dipintu markas. Demi mengetahui kedatangan kedua pemimpin Thian Te Hui itu, Ceng Bo Siangjin ter-sipu2 menyambut dengan girang. Mereka diperkenalkan kepada sekalian orang gagah lainnya.

”Bagus, Hoa-san hendak menyerahkan  tampuk pimpinan pada jiwi," seru sikasar Nyo Kong-lim dengan gembira. Malah seketika, itu juga dia serahkan lengpay (tanda tampuk pimpinan) pada mereka berdua.

„Nyo-heng, setiap orang baru tentu kau serahi pimpinan, nah habis berapa banyak Toacecu nanti ?" seru si Bongkok tertawa. Nyo Kong-lim merah mukanya, sahutnya dengan tertawa lebar: „Memang begitulah watakku, karena kuanggap kepandaianku, ini masih rendah!"

Melihat sifat ketua Hoa-san yang blak2an itu, Ki Ce- tiong dan Kiau To segera menjabat tangannya dengan mesra, katanya: „Nyo-heng, kita bersatu melawan penjajah, jangan banyak sungkan! "

Kedatangan kedua pemimpin Thian Te Hui telah disambut hangat oleh seluruh anak buah markas. Semangat perjoangan mereka makin ber-nyala2. Juga Ceng Bo merasa terhibur, tapi demi dilihatnya wajah Tio Jiang agak gugup seperti hendak mengatakan sesuatu, dia segera menegurnya

: „Jiang-ji, mana Siao Chiu? Seharusnya setelah kamu dapat menyelidiki tempat meriam, terus kembali kemarkas !" „Meriam2 mereka telah kuhancurkan, tapi mengapa masih dapat memuntahkan peluru?" jawab Tio Jiang lalu menuturkan semua kejadian yang dialaminya.

„Ho, siaoko, kau telah tertipu! Tentu The Go sibangsat itu yang merencanakan, syukur dia sudah ketangkap disini, biar nanti kusiksanya supaya mengaku!" kata si Bangkok.

„Suhu, apakah subo belum datang kemari?" tanya Tio Jiang dengan gugup.

„Apa?" Ceng Bo balas bertanya dengan kaget. Tio Jiang ceritakan duduknya perkara. Ceng Bo tahu kalau muridnya itu tentu tak bohong, maka diapun agak gugup. Tapi pada saat itu si Bongkok sudah membawa The Go keluar. Dihadapan sekian banyak orang yang sangat membencinya itu, The Go masih coba berlaku tenang.

„Penghianat busuk! Bukankah ke 10 meriam yang berada dalam kubu2 tentara Ceng itu palsu?" bentak si Bongkok seraya memaki. Namun tertawalah The Go, sahutnya:

„Ilmu perang adalah suatu seni yang penuh tipu muslihat. Kalau ada meriam sesungguhnya, masakan diluar kubu dibiarkan ada bekas roda keretanya?"

Meskipun orang2 sama membencinya, namun mereka mengakui kebenaran ucapan, itu. Ceng Bo siangjinpun menghela napas, menyayangkan anak muda yang cerdik tapi sesat jalan itu. Habis itu, dia suruh orang membawa The Go masuk lagi. Tapi baru ada dua orang liaulo hendak mengangkatnya tiba2 diluar terdengar ribut2, menyusul ada serangkum angin keras meniup kedalam ruangan itu. Bagi yang ilmu silatnya masih cetek, tubuhnya tentu sudah menggigil. Anehnya begitu angin reda, entah bagaimana tadi tahu2 diruangan situ ketambahan dengan dua orang wanita. Yang satu rambutnya terurai, yakni Kang Siang Yan, sedang satunya lagi matanya bengap, yaitu Bek Lian. Begitu tampak The Go menggeletak ditanah Bek Lian terus memburunya dan menjerit: „Engkoh Go, apa kau tak kena apa2?"

Melihat bintang penolongnya tiba, semangat The Go tergugah lagi. „Lian-moay aku tak kena apa2," sahutnya tersipu2.

Kang Siang Yan sapukan matanya kearah  sekalian orang. Dengan mata ber-sinar2 dia menatap tajam2 Ceng Bo sejenak, lalu perdengarkan suara ketawa dingin sehingga membikin orang2 merinding. Pelahan-lahan dia menghampiri, The Go, dengan ujung kaki ia songkel tubuh anak muda itu keatass untuk disanggapi, lalu memijat tali pengikat tubuh The Go. Tali Yang terbuat dari urat kerbau itu putus seketika. Kesemuanya itu hanya dilakukan oleh dua buah jari saja. Begitu dapat bebas, The Go ter-tawa2 girangnya bukan kepalang.

6

Betapa cemas dan gusar Ceng Bo Siangjin ketika2 tiba2 melihat kedatangan isteri yang sangat dicintainya itu hingga The Go terhindar dari kematian. Dasar „jejaka muka seribu", segera The Go ganti haluan, dengan hormatnya ia, memberi hormat dan memanggil ibu mertua kepada Kang Siang Yan.

Waktu melihat kedatangan sang isteri-dengan puterinya, hati Ceng Bo berdebar keras. Hendak dijelaskan salah faham dari 10 tahun yang lalu itu, tapi, demi dilihatnya Kang Siang Yan melepaskan The Go, wajahnya berobah keras lagi dan batal bicara. Oleh karena dia diam saja, semua orangpun tak berani berbuat apa2. Maka ruangan itu se-olah2 menjadi dunianya di The Go dan Kang Siang Yan.

„Gakbo tayjin (mertua perempuan yang terhormat), menantu memberi hormat!" Cian-bin Long-kun, si aktor yang lihay, mainkan peranannya sembari melirik  kearah Bek Lian.

Bek Lian-tersenyum puas. Juga Kang Siang Yan kena terpikat oleh tingkah The Go yang menjurah dengan hormat dihadapannya itu.

„Bangunlah, menantuku!" seru Kiang Sang Yan sembari kebutkan lengan baju. Sesaat itu The Go rasakan angin keras menyampok, hingga, buru2 dia berdiri. Diam2 dia sangat, kagumi lwekang mertuanya itu, Bek Lianpun segera menghampiri kedekat The Go.

Bek Lian seperti orang yang hidup kembali. Entah bagaimana ia hendak curahkan isi kalbunya pada sang kekasih itu. Sementara itu Kang Siang Yan tampak mondar- mandir didalam ruangan situ, se-olah2 hendak menantikan siapa yang berani mengganggu kepada puteri dan menantunya itu. Ceng Bo menarik kesimpulan bahwa sebab musabab dari keadaan hari itu adalah terletak pada kesalahan faham 10 tahun yang lalu itu. Maka meskipun melihat tingkah laku Bek Lian dan The Go yang menganggap sepi sekalian orang itu, dia tak marah. „Hong-moay, apakah kau tak kurang suatu apa?" tegurnya pada sang isteri. Nama aseli dari Kang Siang Yan adalah In Hong, dan biasanya Ceng Bo memanggilnya Hongmoay (adik Hong).

Bermula Kang Siang Yan duga suaminya itu tentu bersikap keras, maka atas salam tegur yang mesra itu, ia kesima juga. „Ah, dia memang pengecut takut sama yang kuat, maka dia pura2 berlaku manis begitu," demikian Kang Siang Yan menarik kesimpulan. Maka dengan ketawa sinis dia menyahut: „Bek Ing, kau masih tetap seperti 10 tahun yang lalu: „takut mati karena temahai hidup! Dengan orang macam kau, akupun tak sudi mengotorkan tangan! Lian-ji, hayo kita pergil"

Ketika hendak berlalu lebih dahulu Kang Siang Yan menatap Ceng Bo lagi dengan pandangan mata yang menghina, namun siangjin itu hanya menghela napas, saja tak dapat berkata apa2. Adalah Thaysan sin-tho Ih Liok yang cepat berseru: „Kang Siang Yan, tahan dulu!"

„jadi kaulah yang tidak terima ?" hardik Kang Siang Yan seraya berhenti.

„Kau katakan kalau pada 10 tahun yang lalu Bek-heng berlaku pengecut takut mati, apakah kau ketahui  kalau disitu terselip suatu kesalahan faham ?" tanya si Bongkok Ih Liok, lalu dengan nyaring tuturkan duduknya perkara yaitu karena ada orang berniat hendak memiliki sepasang pedang dari suami isteri itu, maka dia telah menyewa Yau-sin-ban- pian Tan It-ho untuk menyaru jadi Ceng Bo. Oleh karena semua orang telah menyaksikan sendiri roman muka Tan It-ho yang dapat menyaru seperti pinang dibelah dua sebagai Ceng Bo ketika dipulau Ban-san-to tempo hari, merekapun memberi kesaksian. Mendengar itu, Kang Siang Yan tergerak hatinya, tapi belum mau percaya seluruhnya. Sebenarnya Ceng Bo seorang yang menjaga gengsinya, tapi dalam keadaan semacam itu, dia terpaksa kesampingkan hal itu. Maju dua tindak, dia keluarkan kotak emas dan berkata: „Hong- moay, ketika didasar laut aku telah dapat  menemukan kotak ini. Kalau kau mempercayai keterangan Ih-heng tadi, sukalah kau terima lagi kotak ini!"

Demi melihat kotak itu, terkenanglah Kang Siang Yan akan kejadian pada 30 tahun yang lalu, yalah ketika dia saling tetapkan jodoh dengan Bek Ing. Kenangan itu terbayang lagi dihadapannya. Dalam pandangannya, Ceng Bo itu adalah Bek Ing dari 30 tahunan yang lalu, ketika serahkan kotak itu selaku ikrar janji untuk ber-sama2 mengarungi bahtera penghidupan. Kala itu dengan menundukkan kepala ke-malu2an, ia ulurkan tangannya menerima, dan teringat sampai disini tanpa tersadar diapun....... ulurkan sebelah tangannya kemuka. Betapa kagetnya ketika dia tersadar dari lamunannya dan dapati kota emas itu berada dalam tangannya lagi. Dihadapan sekian banyak orang, sudah tentu ia agak kikuk „Thocu, kalau ada sepatah saja dari kata2mu itu yang bohong, nyawamu pasti kucabut!" serunya kepada Ih Liok, siapa hanya tertawa ter-bahak2 tak mau menyahuti.

„Hong-moay, kau kira aku ini seorang macam begitu? Setelah mencuri pedangmu, entah kepada siapa bangsat itu memberikannya. Hal itu dapat ditanyakan pada orang she The itu!" kata Ceng Bo sembari tampil kemuka dua tindak lagi!"

Kini benar2 Kang Siang Yan sudah seratus persen mempercayai keterangan si Bongkok tadi. Sukar dilukiskan betapa perasaannya ketika itu. Sepuluh tahun ia menderita pahit getir yang tak terkira hanya karena menuruti suara hati kemarahannya terhadap sang suami yang ternyata tidak seperti yang diduganya. Ah.........

„Sampai keujung langit, akupun tetap hendak mencari pedangku itu!" serunya, kemudian, „Nah, sampai berjumpa pula lain waktu!"

Mengetahui sang isteri sudah tak salah faham lagi, giranglah Ceng Bo, sehingga sekian saat baru dia dapat membuka mulut: „Hong-moay, apa kau hendak berlalu?" Atas itu, Kang Siang Yan mengangguk.

Kiranya kedua pedang dari suami isteri itu, terdiri dari

„jantan'" dan „betina" yang disebut ,Pi-ih-siang-hong-kiam" (sepasang pedang burung hong hong  yang  menyerupai bulu). Pedang Bek Ing, disebut yap-kun, sedang kepunyaan In Hong dinamakan kuan-wi. Pedang itu peninggalan dari ayah In Hong yakni Wi-tin-pat-hong In Thian-kau. Ketajamannya dapat dibuat memapas batu kumala.

Konon menurut cerita, didaerah Tiongkok selatan hidup sepasahg burung hong, yang baik terbang maupun mencari makan selalu berdampingan, tak mau berpisah. Pasangan burung itu disebut pi-ih-siang-hong. Yang jantan dinamakan yap-kun dan yang betina kuan-wi. Sepasang pedang pusaka itu diberi nama burung hong tersebut. Sipria dengan mencekal pedang yap-kun memainkan ilmupedang to-hay- kiamhwat. Siwanita dengan rnenghunus pedang kian-wi memainkan ilmu pedang Hoan-kang-kiam-hwat. Kesaktiannya mengarungi dunia persilatan. Sampaipun itu waktu Tay Siang Siansu dari gereja Liok-yang-si yang menjadi guru Kiau To, meskipun ilmunya lwekang lebih tinggi dari Bek Ing dan In Hong berdua, tapi tokh akhirnya dapat, dikalahkan oleh sepasang ilmu pedang dari suami isteri itu. Sejak pedang In Hong dicuri orang, 10 tahun lamanya Ceng Bo siangjin pun tak mau gunakan pedangnya. Meskipun kala itu dia ada membawanya, tapi juga belum pernah digunakan. Kini setelah tersadar dari kekeliruannya, Kang Siang Yan mengambil putusan hendak mencari pedangnya itu, baru nanti ia berkumpul lagi dengan suaminya. Karena yakin akan kelihayan sang isteri sekarang, Ceng Bopun tak mau mencegahnya. Maka oleh karena sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Kang Siang Yan segera ajak Bek Lian berlalu.

Seruan itu telah menyadarkan pikiran sekalian orang yang berada diruang situ. Oleh karena tadi janggutnya kebakar obor si The Go, Nyo Kong-lim segera mencegah:

„Kang Siang Yan, silahkan kau pergi sendiri, tapi orang she The itu harap ditinggal!"

Tapi The Go yang sudah kuat kedudukannya, segera mengejek: „Toacecu, kalau aku tinggal dikuatirkan kau tak tahan nanti!" Digandengnya tangan Bek Lian untuk diajak berdiri disamping Kang Siang Yan.

Ceng Bo siangjin serba sulit. Kalau berkeras hendak menahan The Go, ada kemungkinan nanti bentrok lagi dengan sang isteri. Maka tak dapat mulutnya mengatakan sesuatu, kecuali sang mata mengawasi siorang she The itu melangkah pergi. Ketika dia hendak membuka mulut, Kang Siang Yan sudah mendahului mengancam: „Siapa yang berani menghadang kami bertiga, dia tentu akan lekas menghadap, raja akherat!"

Sikasar Nyo Kong-lim tak mau banyak pikir lagi. Sekali loncat  kemuka,  dia kibaskan sam-ciat-kun sampai lempang.

„Jangan   umbar   suara,   rasailah   ruyungku   ini!" serunya

sembari ayunkan sam-ciat-kun. „Nyo-heng, jangan!" seru Ceng Bo dengan gugup. Tapi sudah terlambat. Ruyung menyambar, Kang Siang Yan cepat menangkap lalu menariknya kebelakang.  Tubuh tinggi besar bagai sebuah pagoda dari Nyo Kong-lim itu segera ter-huyung2 mau jatuh. Dalam kagetnya, dia segera hendak lepaskan cekalannya, tapi sudah kasip. Sekali tangan Kang Siang Yan menjorok, maka Nyo Kong-lim segera   terlempar   kebelakang,   ngeri   benar kalau

terbentur dengan tiang besar pasti dia akan luka  parah. Wut       , tiba2 tampak sesook tubuh melesat, menyongsong

Nyo  Kong-lim  dengan  punggungnya yang benjul besar itu.

Ya, memang dia adalah Thay-san sin-tho Ih Liok.

Dorongan lwekang yang dilancarkan oleh Kang Siang Yan itu, hebatnya bukan buatan. Sekalipun Kui-ing-cu, Tay Siang Siansu dan lain2 tokoh lihay, sukar untuk menolong Nyo Kong-lim dalam keadaan begitu. Tapi ketika menyentuh punuk A Bongkok, Nyo kong-lim serasa terbentur dengan kapas. Buru2 dia tegak lagi. Dia sih tak kurang suatu apa, tapi Thay-san sin-tho tidak demikian. Karena menahan gempuran lwekang Kang Siang Yan yang sedahsyat itu, maka diapun lalu menguak keras dan muntahkan darah segar........

„Ih-heng, kau bagaimana?" tanya Ceng Bo bergegas menghampiri. Tapi si Bongkok itu seorang jantan yang keras, sahutnya: „Tak apa2, kalau mengaso 3 sampai 6 bulan, tentu akan sembuh!"

„Siapa yang berani menghadang lagi ?" seru Kang Siang Yan dengan seramnya. Orang2 sama beringas murka, tapi satupun tiada yang berani maju. Kini terpaksa Ceng Bo keraskan hatinya berkata: „Hong-moay, apapun kau boleh lakukan kecuali jangan membawa pergi The Go itu. Orang itu berhati binatang berhamba pada musuh, tak boleh diampuni!" „Kalau aku hendak membawanya, habis mau apa?" tanya Kang Siang Yan dengan murka. Rupanya penyakitnya eksentrik angot lagi. Lagi2 Ceng Bo didesak kepojok kesulitan. Tetap melarang, tentu bentrok dengan isterinya yang sudah berbaik itu. Tapi kalau membiarkan, dia malu kepada orang banyak. Saking bingungnya, sampai sekian saat dia termenung diam.

„Masing2 orang mempunyai cita2 sendiri, mengapa hendak memaksanya yang berarti mencelakai dua jiwa?" kata Kang Siang Yan pula. Turut adat Kang Siang Yan, ucapan itu sudah keliwat mengalah sekali. Diantara sekian banyak orang, hanya si Bongkok sendiri yang  terang hatinya, walaupun kini dia sedang luka.

”Kang Siang Yan, bawalah orang itu telah membangkitkan kemarahan orang banyak. Hari ini dapat lolos, tapi besok pagi tentu tidak!" serunya.

Kang Siang Yan perdengarkan tertawa dingin, berputar tubuh lalu pergi. Baru sampai diambang pintu, tiba2 Kiau To berseru: „Cian-bin long-kun, bagaimana dengan janji hari Peh-cun nanti?"

„Kiau Ioji, siapa yang tak datang, bukan laki2!" sahut The Go serentak,

„Sudah tentu aku datang!" balas Kiau To dengan keren. Orang2  sama  tak mengerti apa yang  dimaksudkan  dengan

„janji hari Pehcun" itu, Setelah rombongan Kang Siang Yan pergi, baru Siau To menceritakan hal itu. Mendengar itu, walaupun kalau Ang Hwat cinjin dari gereja Liok-yong-si itu tak boleh dibuat main2, tapi karena hal itu merupakan kesempatan, baik untuk menangkap si The Go, maka sekalian orang telah mencapai kata sepakat begini: Karena temponya masih 3 bulan, mereka hendak berpencar mengundang   bantuan   dari   tokoh2   Iihay.   Nanti sampai temponya mereka hendak datang be-ramai2 ke Gereja Liok- yong-si itu.

Pada hari ketiga, tiba2 mereka melihat dibawah gunung penuh rapat dengan kubu2 tentara Ceng. Jadi nyata Hoa- san sudah dikepung rapat oleh musuh, malah kali ini agaknya kepungan itu berlipat ganda kuatnya. Diam2 kebencian seluruh orang Hoa-san ditumpahkan pada The Go yang dianggap menjadi biang keladinya. Hanya anehnya, meski mempunyai kekuatan yang sedemikian hebatnya itu namun musuh tetap tidak mau menyerang keatas. pihak Hoa-san pun terpaksa mengadalkan siasat bertahan diri. Perang dingin itu berlangsung sampai 1 bulan lamanya. Ransum pihak Hoa-san sudah mulal habis, sedangkan tentara Ceng belum nampak mundur. Sudah tentu orang Hoa-san menjadi bingung gelisah.

Hari itu adalah tanggal 14 bulan 3, Nyo Kong-lim kedengaran megghela napas: „Keparat, rangsum kita hanya masih tinggal dua hari, kalau mereka tak menyerang kitapun akan mati kelaparan !"

Ceng Bo siangjin juga tak dapat berbuat apa2. Berulang kali dia suruh orang untuk menyelidiki fihak musuh, namun tiada membawa hasil apa2. Pernah Kiau To membawa 100- an anak buah untuk menyerbu kebawah, tapi dia balik pulang sendirian dengan penuh luka. Seluruh, anak buahnya tak satupun yang masih hidup.

Dua hari kemudian, rangsum habis. Kini anjing dan kuda yang dijadikan kawan perut dan hal itu dapat bertahan sampai 3 hari lagi. Setelah itu keadaan menjadi genting. lbaratnya sebutir beraspun tiada ketinggalan lagi, Malah saking tak tahan, sudah ada beberapa liaulo yang diam2 nyeberang kepada musuh. Keesokan harinya kawanan liaulo itu sama ber-teriak2 dikaki gunung, se-olah2 menganjurkan kawan2nya yang lain supaya mengikuti jejaknya. Benar juga, besok paginya ada beberapa laulo  yang menghilang.

Ceng Bo siangjin mengadakan permusyawarahan dengan sekalian saudara2. Tiba2 datanglah seorang, utusan dari fihak tentara Ceng yang membawa surat untuk Nyo Kong- lim.

Oleh karena ketua Hoa-san itu buta huruf, maka surat lalu diberikan pada Ceng Bo siangjin siapa lalu membacanya :

„Dengan ini congpeng tentara Ceng, Li Seng Tong, memberitahuhan pada Hoa-san Nyo Kong-lim, bahwa gunung Hoasan sudah sebulan lebih dikurung, sehingga anak buah Hoa-san lemah kurus karena persediaan ransum habis. Kuberi batas waktu sehari sampai besok, kalau mau menyerah tentu akan diganjar pangkat besar, tapi kalau membangkang, akan digempur habis2an. Harap direnungkan, se-masak2nya !"

„Tebas kepala utusan ini!" seru Nyo Kong-lim dengan murka sehabis mendengar bunyi surat itu. Tak  tiada seorang dari liaulo yang melakukan perintah itu. Malah ada belasan thaubak (kepala hauk) yang tampil kemuka, kata mereka: „Toacecu, para Cecu mempunyai kepandaian jadi tak jeri. Tapi kami sekalian saudara ini tentu takkan bisa selamatkan jiwa !"

Nyo Kong-lim tak dapat membantah, malah Ceng Bo siangjin yang sedianya hendak me-robek2 surat itu telah membatalkan niatnya, katanya kepada utusan itu:

„Sampaikan pada Li Seng Tong, kami minta perpanjangan waktu sampai 3 hari lagi ! "

Ketika si utusan berlalu, dengan marah2 Nyo Kong-lim menegur: „Hay-te-kau, apa kau berniat menakluk?" Ceng  Bo siangjin kedengaran  menghela  napas, ujarnya:

„Nyo-heng, harap  suruh sekalian thaubak berkumpul  disini

!"

Nyo Kong-lim tak tahu apa maksud siangjin itu, namun dia jalankan perintahnya. Setelah sekalian thaubak lengkap berkumpul, berkatalah Ceng Bo siangjin: „Kutahu saudara2 sekalian telah menunaikan tugas dengan baik dan cukup lama menderita. Malam ini aku bersama Toacecu hendak melakukan serangan ke-kubu2 musuh. Kalau berhasil menangkap Li Seng Tong, kita tertolong semua. Tapi andaikata gagal dan mengalami apa2, saudara2 boleh lakukan apa yang dirasa baik untuk saudara ! "

Sekalian thaubak kembali ketempat masing2. Menurut perhitungan Ceng Bo, orang2 yang pantas diajak menyerbu hanyalah 6 orang yakni Nyo Kong-lim, Ih Liok, Tio Jiang, Ki Ce-tiong, Kiau To dan dia sendiri. Kembali dia perdengarkan helaan nafas, ujarnya: „Usaha kita malam nanti, penuh bahaya banyak gagal daripada berhasilnya. Tapi kita tak boleh jeri atau putus asa Begitulah setelah dahar seadanya, mereka berenam siap2 menantikan tibanya tengah malam.

Luka si Bongkok, kini ternyata sudah sembuh. Karena sudah sekian lama mengeram diri, dia merasa keisengan lalu, ber-jalan2 keluar sembari menggendong tangan. Demi menampak keadaan para liaulo yang sudah tak bersernangat itu, diam2 si Bongkok menarik napas. Kala itu hari sudah petang, tiba2 pada sebuah kubu musuh, dilihatnya bukan seperti sebuah kubu melainkan semacam tumpukan dami padi. Dan begitulah keadaan lain2 kubu dikanan kiri. Tiba2 terkilas sesuatu pada pikirannya dan berteriaklah dia: „Celaka, kita masuk perangkap !" „Bek-heng, Nyo-heng, kita ditipu musuh!" serunya demi dia datang ber-gegas2! menemui Ceng Bo siangjin dan Nyo Kong-lim.

„Ditipu bagaimana?" tanya Ceng Bo.

„Masa, kubu2 mereka itu, bukan kubu sesungguhnya melainkan tumpukan dami!" menerangkan si Bongkok yang sudah tentu menggemparkan sekalian orang. Ber-bondong2 mereka menuju keluar untuk menyaksikan dan memang kubu2. musuh itu tampak ,mati tiada tanda2' ada asap mengepul karena dihuni orang.

„Keparat, itulah siasat 'Kota kosong', hayo kita serbu seru Nyo Kong-lim.

(Oo-dwkz-TAH-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar