Naga dari Selatan BAGIAN 09 : RAPAT PARA ORANG GAGAH

 
BAGIAN 09 : RAPAT PARA ORANG GAGAH

Tio Jiang ragu2 atas penglihatannya tadi, tapi gerak orang itu memang teramat sebat sekali. Memikir the Go,  dia teringat akan Bek Lian. Cepat dia hendak lantas berbangkit mencari keterangan, tapi pada lain saat dia tersentak diam, demi teringat dirinya kini menjadi seorang tengeng. Adakah nanti Bek Lian sudi melihatnya? Ah, lebih baik dia sabarkan diri menunggu sang suhu. Bila nanti sang suhu sudah dapat mengusahakan pertolongan, barulah dia nanti ada muka untuk bertemu dengan sang suci itu. Kalau pikiran Tio Jiang itu hanya penuh dengan persoalan Bek Lian, adalah disana kedengaran Nyo Kong-lim berkata:

„Ceng Bo siangjin, Hay-te-kau! Dunia persilatan mengagungkan namamu sebagai seorang lelaki sejati. Berapa buIan yang lalu, orang katakan kau masih  berserekat dengan Thian Te Hui menentang tentara Ceng. 72 Cecu dari Hoasan, berminat untuk berserekat dengan Thian Te Hui. Kalau kini kau sudah berobah menjadi bangsa babi dan anjing, mengapa tak lekas2 memelihara buntut dibelakang kepala itu?”

Bermula Tio Jiang sangat ketarik dengan ucapan perwira dari ketua perserekatan Hoasan itu, tapi serta pada klimaksnya orang me-maki2 suhunya yang dianggapnya sebagai ayahnya sendiri itu, berobahlah wajah Tio Jiang. Dengan sigapnya serentak dia berbangkit menuding Nyo Kong-lim: „Kau....., kau. mengapa memaki orang ? !"

Nyo Kong-lim berpaling, dengan sepasang alis mengerut naik turun, berkatalah dia dengan mengejek: „Kalau sang guru kencing berdiri, tentu muridnya kencing berlari! Tak peduli setan belang mana, asal berani menyerahkan tanah air kita kepada penjajah, aku tentu akan mencaci makinya!”

Ucapan ketua Hoasan yang tegas dan perwira itu, mendapat   sambutan   gegap   gempita   dari   para  hadirin.

„Bagus, makian tepat! Harus dimaki begitu!" tereak mereka dengan me-luap2.

Tapi ada juga segolongan kecil yang jebikan bibir, mengejek: „Hem, manusia yang tak tahu mati!"

Ada juga yang menyambungi: „Garang dibibir saja, apanya sih yang dibuat bangga!"

Dan kini suasana pertemuan itu kacau dengan suara2 yang pecah menjadi dua aliran. Ceng Bo kerutkan jidatnya. Begitu mendorong sisihkan kedua wanita yang dandanannya seperti perempuan rendah itu, dia segera bangkit. „Ai....., siangjin, mengapa mengeluarkan tanduk?" seru kedua wanita muda itu dengan aleman sekali.

Mengkirik bulu roma Tio Jiang mendengar tingkah laku yang memuakkan dari kedua wanita muda itu. Ah, mengapa sang suhu kini menjadi begitu lupa diri? Namun hanya sedetik saja pikiran itu terkilas dalam hati Tio Jiang, karena biar bagaimana juga, dia tetap mengindahkan dan menjunjung tinggi sang suhu  yang telah menanam budi setinggi gunung itu.

Ternyata begitu Hay-te-kau yang menggeletar namanya diangkasa persilatan itu berdiri, maka sunyi siraplah suasana. Hanya Nyo Kong-lim beserta rombongannya saja yang kedengaran masih ter-tawa2 kecil yang sinis. Begitu berdiri, Ceng Bo siangjin hantamkan tangannya keatas meja pat-sian, brak........ dan tembuslah meja itu dengan sebuah lubang. Hadirin makin diam jeri. Setelah menyapukan pandangan matanya keseluruh hadirin, barulah Ceng Bo siangjin menatap kearah Nyo Kong-lim tadi, ujarnya: „Toa- cecu, pinto se-mata2 hanya memikirkan akan  nasib saudara2 dikalangan persilatan. Kalau Toa-cecu hendak menggunakan ke 72 cecu Hoa-san itu guna mencari kebesaran nama sendiri, pintolah orang pertama, yang takkan mengijinkan!"

Nyo Kong-lim itu adalah seorang kasar. Sejak kecilnya, dia bertenaga besar dan suka belajar silat. Akhir masa pemerintahan Beng itu korup sekali, sehingga nasib rakyat sangat sengsara. Itu waktu karena hendak membela rakyat sedesanya yang tertindas, dia telah membunuh seorang tuan tanah. Setelah itu, dia merat dari kampung halamannya dan mendirikan perserekatan begal haguna digunung Hoa-san. Digunung Hoa-san situ sebenarnya sudah ada 72 orang Cecu. Namun karena melihat sikap dan perangai Nyo Kong-lim itu gagah perwira, mereka mengangkatnya menjadi toa-cecu atau pemimpin besar dari para Cecu.

Tatkala mendengar ucapan Ceng Bo siangjin itu, karena sesaat tak dapat mencari bantahan yang tepat, dia hanya men-dengus2kan hidungnya seperti kerbau marah. Terang siangjin itu hendak mendesaknya dalam, suatu pertandingan pibu (adu silat). Benar selama ini orang persilatan mengagungkan nama siangjin itu, namun dia sendiri belum pernah menyaksikan sampai dimana kelihayan siangjin itu. Bahwasanya kini ternyata sangjin itu tak lebih tak kurang hanya seorang bangsa penjilat, dia tak mau menhiraukan soal etiket lagi. ,Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan, seorang hidung kerbau macam kau ini. Kalau hendak memaksa orang, lebih dahulu  harus dapat menangkan senjataku sam-ciat-kun ini!"

Habis berkata itu, tangannya merogoh kepinggang dan

„trang", sebatang sam-ciat-kun (toya yang bersambung tiga) sudah siap ditangannya. Begitu dikebaskan, sam-ciatkun itu dapat lempeng seperti sebatang alat tulis pit, ujungnya menutuk Ceng Bo siangjin.

Sam-ciat-kun itu terbuat dari baja murni yang berwarna hitam kemilau. Setiap batang, ada satu meter panjangnya, berat seluruhnya ada 60-an kati. Senjata itu dinamakan juga ”sam sat to beng kun" (toya tiga malaekat elmaut). Mengetahui bahwa tentu akan terbit pertempuran seru, maka para hadirin segera ber-ingsut2 mundur bebrapa tindak. Dan dengan kesadaran, kini orang2 itu terpecah menjadi dua rombongan. Yang menyokong Nyo Kong-lim untuk melanjutkan perlawanan terhadap tentara Ceng, sama berkumpul dibelakang pemimpin Hoa-san itu. Sedang sebagian kecil yang menyokong Ceng Bo siangjin, segera berkerumun dibelakang siangjin itu.

Sebaliknya Tio Jiang yang agak kebingungan. Tapi demi dilihatnya Ceng Bo siangjin seperti kesima saja menghadapi ancaman sam-ciat-kun Nyo Kong-lim itu, serentak pikirannya tetap. Sebagai seorang murid, tak pantas dia membiarkan suhunya dihina orang. Tentang faham pendirian, itu soal lain. Yakin akan kemajuan yang diperolehnya selama, dua bulan galang-gulung dengan Sik Lo-sam itu, dia harus bertindak cepat. Maka sekali enjot sang kaki, dia melesat maju menengahi.

„Toa-cecu, wanpwe hendak mohon bebrapa jurus pelajaran darimu!" katanya, sembari melolos, pedang.

Begitu dilihatnya anak muda tengeng tadi sudah menyanggapi kehadapannya, Ceng Bo siangjin lalu duduk kembali. Sedangkan begitu mencabut pedang, Tio Jiang segera bergerak dengan jurus „Thio Ik cu hay". Ujung pedang dijuruskan kebawah, begitu orangnya berkelebat maju, ujung pedang itu diguratkan keatas untuk memotong janggut orang. Atas serangan itu, Nyo Kong-lim tarik sam- ciat-kunnya kebawah untuk menutup serangan orang. Setelah itu dia sembari mundur selangkah, sembari berseru keras: „Siaoko, kau hendak membela suhumu, itulah sikap perwira. Tapi mengapa kau tersesat memilih seorang guru macam begitu ?”

Tio Jiang tertegun. Memang ucapan orang itu tepat. Kalau dulu2-nya Ceng Bo siangjin itu orang macam begitu, tak nanti dia sudi berguru padanya. Tapi biasanya siangjin itu tidak demikian. Entah mengapa harini mendadak sontak suhunya bisa berlaku begitu? Ah....., tentu ada sesuatu yang memaksanya begitu, pikir Tio Jiang, siapa lebih banyak terpengaruh dari budi kecintaan terhadap sang suhu daripada kenyataan yang dihadapi pada saat itu. „Toa-cecu, silahkan kau memberi pelajaran beberapa jurus!", serunya seraya maju. Begitu tubuhnya menurun, dia terus mengayun2kan pedangnya dalam jurus boan-thian-kok-hay.

Melihat gerakan pedang dari sianak tengeng itu tak sembarangan, Nyo Kong-lim tak berani  berayal. Sebenarnya dia tak bermaksud hendak bertempur dengan anak tengeng itu, namun kalau tak menundukkan anak itu lebih dahulu, sukarlah rasanya untuk mengajak berunding Ceng Bo siangjin. Juga misalnya orang lain yang mempunyai kedudukan seperti dia, yakni sebagai pemimpin dari ke 72 Cecu gunung Hoasan, biar bagaimana tentu tak sudi merosotkan diri untuk melayani seorang bocah tengeng yang tak ternama itu. Tapi dasar seorang kasar, jadi tak dapatlah  orang  she  Nyo  itu  berpikir  sampai  sekian jauh. Begitu ujung pedang menyerang datang, diapun segera menyambut dengan sam-ciat-kunnya.

Melihat cara berkelahi orang itu mengandung maksud meremehkan dirinya, Tio Jiang marah. Belum seluruh gerakan dari jurus pertama tadi dikeluarkan, atau dia tiba2 mendakkan tubuh lagi. Pedang di miringkan kesamping, di kembangkan menjadi ratusan titik sinar. Itulah gerak dari jurus ilmu pedang hay-siang-tiau-go (mengail ikan besar dilaut). Dan belum lagi kelebat lingkaran sinar pedang itu lenyap, atau secepat kilat pedang sudah mengancam muka dan kepala orang.

Duapuluh tahun lamanya Nyo Kong-lim meyakinkan permainan sam-ciat-kun itu. Dalam gebrak pertama tadi, tampaknya dia hanya sembarangan saja menangkis. Tapi pada hakekatnya, gerakannya itu mengandung gerak merampas senjata lawan. Asal ujung tongkat yang ketiga menempel senjata orang, maka tongkat yang kedua akan melambung menghantam lawan, sehingga karena tak menduga, lawan pasti akan lepaskan senjatanya. Jurus itu disebut „ci bwe koan hay" alingkan alis untuk melihat matahari. Tapi gerak perobahan Tio Jiang tadi, sungguh diluar dugaannya, sehingga tanpa terasa dia berseru memuji

: „Bagus!"

Tio Jiang terkesiap atas pujian orang. Dan tepat pada saat itu Nyo Kong-lim sudah sapukan sam-ciat-kunnya keperut orang. Tadi Tio Jiang baru gerakkan separoh dari jurus hay-siang-tiau-go, atau sapuan lawan sudah tiba. Maka dalam gugupnya tak dapat jalan mengindar, dia buang tubuhnya jatuh kesamping, wut sam-ciat-kun

tepat menyambar diatas tubuhnya. Tio Jiang bangkit, tapi kembali dia jatuh lagi 3 langkah kemuka, seperti dia itu sudah tak kuasa berdiri jejak. Tapi anehnya, pedangnya susul menyusul menyerang lawan sampai 3 kali. Melihat cara menjatuhkan diri dari sianak tengeng tadi, bermula Nyo Kong-lim sudah termangu. Dan setelah melihat lagi cara jatuh sianak muda yang aneh itu, bertereaklah pemimpin Hoasan itu dengan kagumnya:

„Bocah lihay, bisa ilmu istimewa dari Ang Hwat cinjin!"

Sekali Nyo Kong-Iim bertereak begitu, maka seluruh hadirin menjadi gempar! Sedang yang bertereak sendiripun buru2 putar sam-ciat-kun hingga merupakan sebuah lingkaran sinar hitam, sedangkan orangnya menyerang maju. Cara berkelahi begitu, Tio Jiang belum pernah mendengar atau melihatnya. Ketika dia hendak gunakan lubang kesempatan untuk maju menyerang, sam-ciat-kun itu berubah menjadi semacam perisai sehingga Tio Jiang terdesak mundur beberapa langkah. Dalam gugupnya Tio Jiang kembali gunakan jurus Hong-cu-may-ciu (sigila menjual arak) pikirnya hendak menyelinap kebelakang lawan.

Tentunya Kong-lim tahu akan maksud orang, tapi ternyata dia malah memperlambat serangannya se-olah2 memberi kesempatan pada orang untuk melakukan rencananya. Tapi ketika Tio Jiang sudah berada dibelakang orang,   tiba2   kedengaran   suara   orang   mengeluh   heran

„iih.....". Itulah suara Cian-bin Long-kun The Go, hingga Tio Jiang berayal dari memutar tubuh untuk melihatnya. Tapi dalam keayalan itu, Kong-lim sudah berputar tubuh seraya   menghantamkan   samciat-kun,   trang      beradulah

pedang dengan sam-ciat-kun, disusul dengan geseran kaki tersurut 3 tindak kebelakang. Baik Kong-lim maupun Tio Jiang, sama2 terpental. Tio Jiang rasakan tangannya kanan kesemutan, begitu pula Kong-lim, siapa yakin hantamannya itu tentu dapat memukul lepas senjata lawan, tapi sebaliknya malah menderita kesakitan itu. Orang she Nyo yang  bertenaga  kuat  sekali  itu,  belum  pernah mengalami kerugian macam begitu. Dengan ke-heran2an kagum dia mengawasi sianak muda, yang walaupun tengeng ternyata lihay sekali kepandaiannya. Sebagai seorang yang jujur, mau tak mau dia berseru memuji: „Bagus!"

Kini keduanya berhadapan muka lagi. Hanya saja karena, tengeng, jadi tubuh Tio Jiaiig menghadap kesamping, sikapnya lucu juga. Kini mata semua hadirin terbuka. Tak lagi mereka berani memandang sebelah mata pada  anak  tengeng  itu.  „Toacecu,  turutlah  suhuku.       ”

sebenarnya, Tio Jiang bermaksud menasehati toa-cecu itu supaya menurut nasehat Ceng Bo, tapi demi teringat bahwa maksud suhunya itu yalah menyuruh orang jangan melawan pemerintah Ceng, dia tak mau teruskan kata2nya dan   merobahnya  dengan  permintaan  berkelahi,  serunya:

„Toacecu, silahkan memulai lagi!"

Tapi Nyo Kong-lim, yang senang akan  sikap sianak muda yang polos itu, mengalah: „Siaoko, kau saja yang mulai dulu, agar jangan dikatakan aku yang tua hendak menindas yang muda!"

Dalam kebatinan, Tio Jiangpun anggap lawannya itu seorang laki2 sejati. Hanya karena membela sang suhu, terpaksa dia harus bentrok dengannya. „Maaf!" serunya sembari, melangkah maju dua tindak dan sret. memapas

bahu orang. Atas serangan, itu Nyo Kong-lim mendak kebawah, lalu balas menyerang. Demikianlah keduanya segera bertempur lagi.

Tio Jiang tetap gunakan ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Pada 4 jurusan dan 8 penjuru, sinar pedang mengurung Nyo Kong-lim dengan gencarnya, sehingga para hadirin menjadi terkesiap kaget. Pikir mereka, kalau muridnya saja sudah sedemikiann lihaynya, apalagi gurunya. Kini mereka, tunduk betul2 atas kesaktian Ceng Bo siangjin. Sedang si Ceng Bo siangjin itu sendiri, bermula terperanjat sekali melihat Tio Jiang unjukkan permainan to-hay-kiam-hwat. Tapi demi dilihatnya semua mata hadirin tertuju kepadanya. dengan sikap mengagumi, cepat sekali dia  unjuk muka berseri. Sedang kedua wanita muda tadipun tak putus2nya berseru me-muji2, hingga orang2 yang sedikit saja masih mempunyai perasaan halus, tentu akan mengerutkan alisnya.

Sebenarnya Nyo Kong-lim itu juga seorang jago kelas berat. Hanya karena sejak menjadi Toa-cecu digunung Hoa- san dia jarang keluar berkelana lagi, jadi orang persilatan hanya mendengar namanya tapi belum pernah  menyaksikan kepandaiannya. Dia timpali permainan pedang Tio Jiang dengan gerakan sam-ciat-kun yang seru sekali. Sedang dalam pada itu, tubuhnya yang tinggi besar itu berlincah2an dengan gesitnya. Saking cepatnya pertempuran itu, dalam sekejab saja, 20 jurus sudah berlangsung, namun masih tetap seri saja.

„Toako, mengapa membuang2 tempo untuk melayani anak tengeng itu ?" kedengaran beberapa Cecu yang duduk dimeja pat-sian itu ramai2 menganjurkan.

Bermula karena sayang akan kegagahan Tio Jiang, Nya Kong-lim tak mau keluarkan seluruh kebiasaannya. Nanti kalau sudah kehabisan tenaga, biarlah anak muda itu mundur sendiri. Tapi ternyata anak muda itu makin lama malah makin bersemangat. Maka demi mendengar anjuran saudara2nya itu, sembari mengiakan, Kong-lim segera perhebat sam-ciat-kunnya. To-hay-kiam-hwat benar merupakan, ilmu pedang yang luar biasa indahnya, tapi karena Tio Jiang masih belum sempurna, jadi dalam beberapa jurus kemudian, dia tampak terdesak. Kini dia hanya dapat menangkis, tapi tak mampu membalas serangan. Pada saat itu dengan gunakan jurus hay-li-long-hoan (puteri laut memain gelang), dengan susahnya Tio Jiang menangkis serangan heng-soh-cian-kun (menyapu ribuan serdadu) dari Nyo Kong-lim. Nyo Kong-lim tak mau sia2kan kesempatan itu. Tiba2 sam-ciat-kun dilempangkan seperti pit untuk menutuk jalan darah siang-jiok-hiat dipinggang sianak muda. Tapi ketika melihat sianak muda itu rupanya tak dapat menghindar lagi, karena sayang akan bakatnya, maka Nyo Kong-lim agak tarik sedikit tangannya kebelakang, asal menutuk kena saja, sudahlah, jangan sampai membahayakan jiwa orang. Tapi diluar dugaan, tubuh Tio Jiang terhuyung dan jatuh menengadah kebelakang, seperti macam gerak tiat-pian-kio, maka serangan sam-ciat-kun tadipun hanya melayang diatas tubuhnya saja. Karena tadi sudah dikendorkan, begitu luput, cepat sekali Nyo Kong-lim, menarik balik sam-ciat- kunnya. Tapi berbareng pada saat itu, seperti macam orang gila Tio Jiang menubruk lawan dengan membolang- balingkan pedangnya.

Melihat itu, sudah tentu Nyo Kong-lim tertegun heran. Terang itu bukan gerakan ilmu silat. Jangan2 karena kalap, sianak muda itu lalu membabi buta hendak mengadu dliwa, Maka diapun tak mau melayani dengan kekerasan, melainkan mundur 3 tindak. Tapi ternyata Tio Jiang tetap mengejarnya dengan mengobat-abitkan pedangnya keatas. To-hay-kiam hwat sudah sakti, ditambah pula dengan gerakan Tio Jiang yang serba aneh itu, telah membuat Nyo Kong-lim kebingungan serta terpaksa main mundur lagi. Dengan begitu, kini Tio Jianglah yang memegang inisiatip penyerangan. Maju lagi kemuka, dia kirim tebasan kemuka dan bahu orang.

Dua kali Nyo Kong-lim terdesak mundur tadi, sudah membuat gempar para penonton. Masa seorang pemimpin darl ke 72 Cecu gagah itu sampai kena didesak mundur oleh seorang pemuda tengeng yang tak ternama. Maka kini Nyo Kong-lim. mulai unjuk gigi. Begitu serangann pedang tiba, sam-ciat-kun segera menyambutnya seperti seekor ular keluar dari guanya. Ujung toya membabit keatas, disusul dengan sodokan kemuka, ujung kedua menonjol maju untuk menutuk jalan darah lwe-kwan-hiat disiku tangan orang. Jadi sekali gerak, dua serangan Indah dan sebatnya bukan kepalang. Benar juga pengaruh serangan Tio Jiang menjadi lambat. Buru2 dia tarik pedangnya, tapi orangnya. tak mau mundur melainkan meraba maju. Hal mana telah membuat Nyo Kong-lim kaget, serunya: „Mau kepingin mati?"'

Tapi ternyata Tio Jiang bukan merabu maju, melainkan dengan se-konyong2 miring kesamping, terus menyelinap kebelakang orang. Tanpa memutar kebelakang lagi, Nyo Kong-lim mainkan sam-ciat-kun dalam jurus giok-tay-wi- yau (sabuk kumala melibat pinggang). Setelah sam-ciat-kun ber-putar2 baru orangnya membalik, kebelakang, tapi ternyata sianak muda sembari melorot turun sudah menyusup kesamping lagi. Dan dari situ dengan gerak „Ho Peh koan-hay," dia menusuk pinggang orang.

Gerakan itu sungguh membingungkan Nyo Kong-lim yang belum tahu dimana posisi lawan, atau dari sebelah kanannya ada angin menyamber kepinggag. Dalam gugupnya dia menyapu sembari berputar kesamping. Tapi bagaikan bayangan, sianak muda, itu tetap mengintil sembari guratkan ujung pedangnya, bret kolor celana pemimpin Hoasan itu tergurat putus. Hal mana sudah tentu membuatnya gusar sekali. Cepat diaa kebas pedang lawan dengan sam-ciat-kunnya, dan berbareng dengan memutar tubuh dia ulurkan tangannya kiri untuk merebut senjata sianak muda. Dikebas sam-ciat-kun tadi, tangan Tio Jiang sudah kesemutan lagi rasanya, dan tahu2 ada  sebuah tangan besar yang penuh bulu hendak mencengkeram mukanya, ter-sipu2 dia melangkah mundur. Tapi astaga, begitu terdengar suara orang tinggi besar itu ketawa, pedangnya sudah pindah tangan.

Senjata dapat direbut lawan, sudah cukup  berbicara  kalah atau menang. Dengan merah padam mukanya, Tio Jiang berdiri menjubelek. Tapi berbareng dengan itu terdengarlah riuh rendah gelak tawa dari para hadirin. Nyo Kong-lim lemparkan pedang sianak muda, tapi dalam pada itu kedua gundik Ceng Bo siangjin itu menjerit-jerit: „Ai. ,

ai....., mampus aku! Orang tinggi besar itu masa didepan orang banyak, meloloskan celananya?!"

Nyo Kong-lim terperanjat mengawasi celananya, aduh mati aku......karena kolornya putus digurat sianak muda, celananya kedodoran dan pahanya yang penuh bulu itu tampak bulat2 kelihatan oleh orang banyak, sehingga menimbulkan buah tertawaan mereka. Dengan geram ke- malu2-an, buru2 Nyo Kong-lim beresi tali celananya itu, kemudian tantang lagi pada Tio Jiang: „Anak muda, ambillah pedangmu dan hayo bertempur lagi!" 9

Disusul dengan terpental pedangnya Tio Jiang, tahu2 celana Nyo Kong-lim kedodoran hingga kelihatan kedua pahanya yang penuh bulu.

Menurut nilai pertandingan itu, terang Nyo Kong-lim lebih unggul. Sebagai orang jujur macam Tio Jiang, sedikit itu ya sedikit, kalah ya kalah. Apa yang dipikir dalam hatinya, mulutnyapun mengatakan begitu. Senjatanya terebut lawan, secara sportief dia mengaku kalah. Biar sang suhu saja yang menghadapinya.

„Toa-cecu, banyak terima kasih atas pengajaranmu tadi. Hopwe mengaku kalah dan menghaturkan hormat," kata Tio Jiang sembari menjura. Setelah itu dia memungut pedangnya, lalu hendak mundur.

Nyo Kong-lim terperanjat dan kagum atas kejujuran sianak muda itu. Seketika timbullah perasaannya senang akan dia, ujarnya: „Siaoko, sayang seorang anak laki perwira seperti kau ini, keliru memilih guru yang sesat!"

Mendengar suhunya dimaki lagi, Tio Jiang putar tubuhnya untuk melototi mata pada orang she Nyo itu. Tiba2 serasa dilihat ada sesosok bayangan berkelebat disamping Ceng Bo siangjin. Sayang kepalanya tengeng, jadi gerakannya tak leluasa. Ketika dia putar tubuhnya untuk mengawasi adakah orang itu si The Go, ternyata bayangan itu sudah lenyap lagi. Karena sudah 3 kali ini Tio Jiang merasa, yakin kalau bayangan ituu adalah si The Go, kini dia mulai curiga. Tapi tatkala dia hendak mencarinya, tiba2 kedengaran Ceng Bo, siangjin berkata: „Jiang-ji, terhadap sibangsat tadi, mengapa kau tak mau menempur sekuat tenaga?" Tio Jiang melengak lagi. Baru  dua bulan dia tak berjumpa dengan suhunya mengapa kini sang suhu berobah sedemikian galaknya. Enam tahun lamanya, belum pernah dia mendengar suhunya memaki bangsat. Tapi karena di sesali oleh sang suhu, diapun hanya mengaku salah saja.

„Murid memang bersalah!" serunya, lalu menuding pada Nyo Kong-lim: „Toa-cecu, aku masih hendak minta pelajaran lagi padamu!"

Habis berkata, terus saja dia melangkah maju, menusuk kedada Nyo Kong-lime Belum orang she Nyo itu bergerak menangkis, atau tiba2 dari tengah2 lapangan muncullah seseorang dengan seruannya yang keras: „Siaoko, tahan!"

Melihat orang itu, bukan kepalang kaget Tio Jiang, sampai2 pedang yang dicekalnya itu hampir terlepas. Bermula dia tak percaya kepada matanya. Tapi  serta diawasi dengan perdata, memang tak salah lagilah dianya. Mukanya kotor, punggung menonjol keatas, ya sidia, Hwat Ji tojin atau sibongkok yang menjadi pelayan biara Cin Wan Si digunung Lo-hou-san! Pertama, mengapa dia turut hadir dalam pertemuan para orang gagah ini? Kedua, dahulu gagu tuli mengapa mendadak sontak kini  bisa bicara? ,Suhu berobah aneh, sigagu bisa bicara,  aneh, adakah aku ini sedang bermimpi tanya Tio Jiang seorang diri. Karena bingung memikirkan dia menjublek disitu sampai sekian saat.

Si Bongkok unjukkan muka-setan pada Tio Jiang, lalu menuding kearah Ceng Bo, serunya: „Ceng Bo siangjin, kau maukan agar saudara2 dalam dunia persilatan itu ber- hamba pada tentara Ceng saja, bukan ?"

Bening dan nyaring nada suara si Bongkok itu, suatu tanda bagaimana tinggi ilmunya lwekang. Tapi karena si Bongkok itu memakai dialect (logat) utara, jadi  orang2 sama kurang jelas. Sebaliknya Tio Jiang kembali terperanjat. Ingin sekali dia mendengar bagaimana penyahutan suhunya itu.

Bermula kaget juga Ceng Bo melihat munculnya si Bongkok, tapi dengan cepat dia segera dapat menyahut: "Memang pinto mempunyai maksud begitu."

Si Bongkok kelihatan maju beberapa tindak kemuka, lalu bertanya dengan suara keras: „Maksudmu sendiri atau atas perentah dari Li Seng Tong congpeng tentara Ceng itu?"

Karena pertanyaan itu diucapkan pe-lahan2,  maka semua orang sama mendengar jelas, dan mereka merasa heran bagaimana seorang bongkok yang tak mempunyai tanda2 keistimewaan suatu apa, berani begitu garang menanyai seorang tokoh macam Ceng Bo siangjin. Siangjin ini tertawa tawar, lalu berbangkit me-ngebut2kan lengan bajunya. Dengan wajah cemas, dia menyahut: „Pinto hanya memikirkan keselamatan saudara2 seperjoangan saja. Mau, tidaknya, terserah pada masing2. Kalau saudara2 ingin mengadu telur dengan batu, silahkan cari kematian sana !"

Atas penyahutan itu, rombongan Nyo Kong-lim menjadi panas hati. Ada beberapa orang yang tak kuat menahan kemarahannya lagi, segera berteriak: „Bagaimana kau merasa pasti kalau kita semua ini bukan lawan pemerintah Ceng?"

Ceng Bo siangjin hendak menyahut, tapi si Bongkok maju lagi selangkah seraya me-lambai2kan tangannya kepada hadirin supaya jangan gaduh. Setelah itu, dia mengajukan pertanyaan lagi: „Ceng Bo siangjin, apakah kau mengenal aku si Bongkok ini?"

Bermula Tio Jiang menganggap pertanyaan si Bongkok itu edan. Masakan suhunya tak kenal padanya? Tapi ternyata, setelah bersangsi sebentar, kedengaran suhunya itu berkata : „Banyak tahun yang lalu, pinto pernah bertemu dengan cunke (anda), tapi lupalah siapakah gelaran cunke ini?"

Tio Jiang seperti rasakan otaknya terbalik. Sebaliknya si Bongkok itu segera mendongak keatas tertawa keras. Bening dan nyaring nada ketawanya itu, hingga kalau tak melihat orangnya, tentu orang takkan percaya kalau suara sebagus itu ternyata keluar dari mulut seorang bongkok.

„Benar, 10 tahun yang lalu kau memang pernah bertemu dengan aku disebuah pondok dikaki gunung Lo-hou-san! Ha, ha.............! 10 tahun, lamanya terpaksa aku bertapa menjadi orang gagu, baru hari ini dapat mencari keterangan yang jelas! Kau masih berani jual lagak disini, tak takut kalau Kiang Siang Yan akan mencarimu ?"

Pucat lesi wajah Ceng Bo siangjin seketika itu. Berpaling kebelakang dia segera ber-kaok2 ketakutan: „Cian-bin Long-kun........! Cian-bin Long-kun. !"

Sebenarnya saat itu seharusnya Tio Jiang sudah mengetahui duduk perkara mengenai diri „suhunya" itu. Tapi dasar dia itu sedang buta cinta, jadi waktu mendengar Cian-bin Long-kun dipanggil, diapun ikut2an berseru:

„Cian-bin Long-kun, mana Lian suci ?"

Karena kedua 'orang itu ber-teriak2 tak keruan, hadirin menjadi panik. Sebaliknya Nyo Kong-lim yang menampak si Bongkok itu hanya bersenyum mengawasi saja, segera maju menghampiri, tanyanya: „Bukankah cunke ini seperti yang diagungkan oleh orang persilatan sebagai Thay-san sin-tho Ih Liok ?"

"Benar, siapakah gelaran yang mulia dari Toa-cecu ini, Ih Liok lama nian mengaguminya!" sahut Ih Liok seraya mengangguk. Sebagai orang yang berwatak blak-blakan, seketika berserulah Nyo Kong-lim dengan girangnya: „Ih thocu, 72 Cecu dari Hoa-san, hendak mohon kau menjadi Toa-cecu !"

Sebenarnya Thay-san sin-tho atau si Bongkok sakti dari gunung Thay-san itu hanya berkelana didaerah utara dan selatan dan Sungai Kuning saja, jarang dia berkunjung ke Kwitang dan Kwisay. Tapi ilmu „tho kang" (tenaga punuk), sangat termasyur diseluruh penjuru. Melihat walaupun Nyo Kong-lim itu orangnya tinggi besar namun hatinya masih seperti anak kecil, tertawa si Bongkok, ujarnya : „Mengapa Toa-cecu mengucap begitu !" Kemudian menuding pada Ceng Bo siangjin, dia berkata lagi :„Tunggu dulu sehabis Ih Liok beresi bangsat itu!" Dan sambil berkata Itu, dia maju menghampiri Ceng Bo siangjin.

Ber-ulang2 mengaoki Cian-bin Long-kun tetap orang itu tak muncul, Ceng Bo itu sudah kelabakan. Kini demi dilihatnya Thay-san sin-tho yang lihay Itu menghampirinya, dengan ketakutan dia putar tubuhnya ter-birit2 lari. Tapi dengan sebat sekali, Ih Liok melesat maju dengan kelima jarinya dipentang. Melihat itu Tio Jiang cemas. Sekali enjot, dia melesat kebelakang si Bongkok. "Thocu, jangan kurang ajar!" serunya sembari menusuk kebahu kanan orang.

Sebenarnya Ih Liok hendak menangkap orang yang mengaku menjadi Ceng Bo siangjin itu, guna ditanyai keterangan tentang peristiwa 10 tahun yang lalu itu beserta hilangnya sebuah pedang pusaka. Tapi serentak Tio Jiang hendak menusuknya, tahulah dia kalau anak itu tetap menyangka si Ceng Bo tetiron itu sebagai suhunya. Dia kenal watak anak itu, maka tak dapat mempersalahkannya. Tapi untuk memberi penjelasan, terang memakan waktu. Maka sembari pendakkan badan, dia menyeruduk Tio Jiang dengan punuknya, Tio Jiang terperanjat, masa daging punuk hendak diadu dengan ujung pedang. Cepat2 dia hendak tarik pedangnya itu, tapi tahu2 tangan si Bongkok sudah membalik kebelakang dan menyawut tangannya. Selcali dipijat, aduh mak, bukan kepalang sakit tangan Tio Jiang dibuatnya, sehingga trang.......... pedangnya terlepas jatuh. Saking terkesiap melihat kesaktian si Bongkok itu, Tio Jiang ter-longong2! disitu. Kini barulah si Bongkok berpaling kebelakang, ujarnya dengan ketawa: „Siaoko, jangan cemas, nanti saja-pasti kujelaskan padamu!"

"Suhu........" belum Tio Jiang melanjutkan kata2nya,  atau tiba2 dia berseru kaget: ,Ai. , kemana, suhu tadi ?"

Kiranya selagi kedua orang itu berayal, si Ceng Bo  tetiron sudah menghilang ketikungan balik gunung.

„Ho, hendak lari kau?!" seru si Bongkok sembari enjot tubuhnya mengejar. Tapi baru memburu sampai ditengah, tiba2 terdengar suara sorak sorai bergemuruh dan muncullah sejumlah besar orang2 yang memakai kuncir. Terang itulah tentara, Ceng. Dalam sekejap mata, men- desing2lah ribuan anak panah terbang diudara, menghujani rombongan orang gagah yang berada ditanah lapangan situ. Yang paling celaka, adalah Thay-san sin-tho.  Karena berada dimuka sendiri, dia seperti dihujani dengan anak panah. Syukur ilmu silatnya tinggi. Selagi melayang ditengah udara, begitu didengar ada suara mendesing, dia cepat meluncur turun. Begitu punggungnya yang bongkok itu mengenai tanah, sembari, berjumpalitan, dia sudah menyawut dua batang anak panah yang lalu digunakan untuk melindungi tubuhnya hingga tak sampai terluka.

Mulut menyumpah serapah Ceng Bo tetiron sebagai penghianat yang keji, sekalian orang gagah itu segera putar senjatanya untuk menangkis hujan anak panah, sembari mundur. Ada beberapa orang yang tadinya menyokong usul Ceng Bo tetiron, karena memangnya mereka itu adalah kaki tangan pemerintah Ceng yang menyelundup kedalam rombongan orang gagah, sudah ber-kaok2: "Ceng Bo siangjin, mengapa kawan2 sendiri kau binasakan ?" Tapi belum ucapan itu selesai, sudah ada beberapa orang yang rubuh terkena panah.

0

Mendadak Tio Jiang dan Nyo Kong-lim dihujani anak panah meyusul serombongan tentara Ceng yang berkuncir sudah datang menyerbu.

Tio Jiang yang hanya memikiri diri Bek Lian, bermula hendak mengejar jejak The Go, tapi hujan anak panah yang lebat itu, telah merintanginya. Terpaksa dia putar pedangnya untuk melindungi diri sembari melangkah maju. Tapi barisan pemanah musuh itu, kuat dan gapah sekali. Tidak semakin reda, sebaliknya hujan anak panah itu makin deras seperti hujan dicurahkan dari langit. Sudah beberapa kali Tio Jiang hampir terkena.

Saat itu rombongan orang gagah lainnya sembari menangkis sembari mundur ketepi pantai. Jadi yang masih tinggal, hanya Thay-san sin-tho dan Tio Jiang.

"Suhu, suhu! Lian suci berada dengan Cian-bin  Longkun, ha!" teriak Tio Jiang sembari menangkis. Mendengar itu terpaksa si Bongkok mundur kedekat sianak muda itu, ujarnya: "Siaoko, 3 bulan tak berjumpa, kepandaianmu maju pesat sekali!"

"Thocu, kau bukan orang baik. Mengapa dalam 6 tahun kau pura2 gagu?" tanya Tio Jiang, yang sudah biasa ber- canda dengan si Bongkok itu. Tapi pada lain ketika teringat bahwa dengan kesaktiannya tadi, terang si Bongkok itu juga seorang cianpwe dalam persilatan, maka dia kemalu2-an sendiri, karena merasa tak pantas memanggil begitu

"Siaoko ceritanya panjang sekali. Nanti saja setelah mengundurkan rombongan tentara Ceng itu dan menangkap Ceng Bo siangjin, baru kujelaskan padamu," sahut si Bongkok dengan tertawa sembari menangkis serangkan anak panah.

Mendengar suhunya hendak ditangkap, kembali Tio Jiang tertegun. Dan karena gerakan tangannya agak terlambat, sebatang anak panah menyambar didekat sisi telinganya, sehingga dia berjingkrak kaget. "Thocu (bongkok), enam tahun suhu memperlakukan baik2, mengapa kau hendak menangkapnya?"

"Ho, jadi kau masih menganggap imam tua tadi sebagai suhumu?" tanya si Bongkok tertawa.

Terkilas dalam pikiran Tio Jiang bagaimana aneh sekali sikap suhunya tadi. Tapi biar bagaimana juga, dia merasaa berhutang budi besar pada suhunya itu. To-hay-kiam-hwat yang sedemikian saktinya, sedang puterinya sendiri tak diajari, sebaliknya diturunkan padanya. Adakah dia sampai hati untuk membaliki muka kepada suhu yang berbudi itu? Nyo Kong-lim tadipun mendamprat habis2an pada suhunya. Jadi terang suhunya pasti tak dapat melawan dikerubuti oleh sekian tokoh2 lihay nanti. Memikir sampai disitu, ujung  pedang  dimiringkan dan sret memapas

bahu si Bongkok, serunya: "Kalau hendak  menangkap suhu, harus kalahkan dulu aku!" Tapi berbareng pada saat itu, dua batang anak panah menyambar disisinya. Malah yang sebatang telah menyusup bajunya hingga robek.

Waktu dipuncak Giok-li-nia dahulu, 'sering si Bongkok itu' menyaksikan Tio Jiang berlatih ilmu pedang. Jadi tahulah kalau serangan sianak muda itu disebut jurus "ching wi kiam hwat", maka dengan tenangnya dia pakai anak panah untuk membuat lingkaran sinar, guna menghalau serangan itu. Tapi kini Tio Jiang sudah mempelajari habis dan mengerti keindahan sari ilmu pedang to-hay-kiam-hwat itu. Begitu dilihatnya si Bongkok pakai sebatang  anak panah untuk menangkis, dia segera geser sedikit kesamping pedangnya, dap tiba2 ujungnya ditusukkan kemuka.

Ih Liok tak menyangka sama sekali akan gerakan yang luar biasa dari sianak muda itu. Dengan gugupnya, dia cepat memutar tubuhnya kebelakang, terus menyingkir dua tindak, baru dia dapat menghindar. Tapi tak urung sebatang anak panahnya tadi, sudah kena terpapas kutung oleh pedang Tio Jiang. Namun Thay-san sin-tho adalah tokoh kenamaan, begitu membuang kutungan anak panah itu,

,segera dia sudah dapat mencari gantinya lagi. "Siaoko, kenapa kau ini" serunya dengan geli.

Tapi berbareng dengan itu, tiba2 dari arah belakang sana terdengar suara tambur riuh rendah dipukul orang, dan tereakan gegap gempita dari rombongan orang gagah tadi. Lekas2 Tio Jiang berpaling dan menampak dimulut muara sana muncul ber-puluh2 perahu kecil yang penuh membawa barisan pemanah. Malah sudah di lancarkan serangan anak panah yang gencar. Jadi kini rombongan orang gagah itu dijepit dari muka belakang. Saking marahnya, Nyo Kong- lim kedengaran ber-tereak2 seperti kebakaran janggut: "Hay-te-kau, orang mengagungkan kau ini sebagai lelaki sejati, tak tahunya tak nempil dengan binatang berekor macam babi dan anjing saja!"

Sembari ber-tereak2 begitu, Nyo Kong-lim putar sam- ciat-kunnya dengan dahsyat maju menyerbu maju.  Tadi saja demi diketahui tentara Ceng sudah mengatur stelling bayhok (barisan pendam) dibelakang gunung, pemimpin Hoa-san itu sudah murka. Tapi setelah berunding dengan saudara2-nya para Cecu, diputuskan mundur kembali dulu ke Hoa-san, Disana hendak menyusun kekuatan, guna meI kukan perang total dengan musuh itu. Tapi demi kini diketahuinya musuh telah mengurungnya dengan rapat, dia teramat gusar.

Dengan memutar sam-ciat-kun laksana kitiran, dia mengamuk seperti banteng ketaton. Ber-puluh2 batang anak panah yang menuju kepadanya, segera tersinglap berhamburan terbentur sam-ciat-kun. Tak berapa lama kemudian, pemimpin Hoa-san itu makin mendekati kearah Thay-san sin-tho dan Tio Jiang sana. Sembari berjuang mati2-an, mulut pendekar gunung Hoa-san itu tak henti2- nya mengumpat caci Ceng Bo siangjin.

Mendengar makian Toa-cecu Nyo Kong-lim, Tio Jiang makin marah. Sembari teruskan serangannya kepada Thay- san sin-tho Ih Liok, dia bentak Nyo Kong-lim: ,Toa-cecu kau memaki siapa?" Nyo Kong-lim berasal dari keluarga pasaran (rendah), jadi soal "me-maki2” sudah menjadi darah dagingnya. Apalagi pada, saat itu, dia sedang gusar sekali, maka tak peduli setan belang lagi, dia, segera menyahut seribu satu makian: "Ceng Bo siangjin, makanya orang2 persilatan sama mengatakan kalau isterimu minggat. Karena menilik perbuatanmu macam babi anjing itu, kalau yang menjadi isteri tak main gila dengan lain lelaki, sungguh dunia ini tidak adil. Hayo, unjukkan cecongornya untuk mengetahui siapa lelaki siapa perempuan. Apakah kau kira permainan kanak2 ini akan dapat menangkap Nyo toaya-mu ini?"

Tio Jiang teringat akan sumaoynya, Yan-chiu. Kalau sumoay itu ada disitu tentu akan dapat me-retour makian itu kepada sipengirim. Tapi ah..., sumoay itu tiada kabar beritanya, kemungkinan besar lebih banyak celaka daripada selamat. Maka kini dia tumpahkan kejengkelannya itu kepada Nyo Kong-lim. Begitu tarik pulang serangannya, dia cepat beralih menyerang Nyo Kong-lim.

Seorang-kasar macam Nyo Kong-lim mana  mau memikir ini itu. Tanpa banyak bicara lagi, dia  segera sambut serangan anak muda itu. Demikianlah dalam sekejab saja keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Ber-kali2 Thay-san sin-tho menereakinya supaya berhenti, namun kedua orang itu sudah seperti orang kalap.

Tiba2 dari atas gunung sana kedengaran seseorang ketawa gembira sekali: "Ha......, ha......, anjing berkelahi dengan anjing, saling gigit menggigit mati2an. Biarlah. ,

biarlah......, toh nanti keduanya akan mati dalam hujan panah!"

Tio Jiang rasanya kenal sekali akan suara orang itu. Cepat sekali dia putar separoh tubuhnya mengawasi keatas. Ya, benar, itu dia si Cian-bin Long-kun The Go! Tapi karena dia mendongak begitu, wut.........., sam-ciat-kun Nyo Kong-lim sudah menyambar datang. "Cian-bin Long- kun, mana Lian suci?" tereak Tio Jiang tanpa pedulikan Nyo Kong-lim lagi.

"Toa-cecu, tahan!" tiba2 Thaysan sin-tho yang sedari tadi mengawasi akan jalannya pertempuran itu, kedengaran berseru.

Atas seruan itu, Nyo Kong-lim tersadar. Memang anak itu seorang anak jujur setia, tak boleh dicelakai.  Maka buru2 dia sentakkan tangannya kebelakang. Tapi biar bagaimana juga, serangannya dalam jurus "Sun Bu patahkan kaki" itu, dilancarkan dengan se-kuat2-nya, maka walaupun dia berhasil juga untuk menarik balik dengan tiba2 itu, namun tak urung dia terjorok kebelakang. Justeru pada saat itu salah satu dari hujan anak panah yang masih deras itu, telah menyambar pundaknya, sehingga pemimpin Hoa-san itu ber-kaok2 mengaduh kesakitan, dan mulutnya segera menghamburkan makian: "Keparat,  anggaplah kalian anjing, tapi aku tetap akan menghajarmu, anjing!”

Yang dimaki itu bukan Tio Jiang, melainkan The Go. Dan ber-sama2 Thay-san sin-tho, kini dia menyerbu keatas. Sebaliknya Tio Jiang yang sudah - dibutakan cinta kepada Bek Lian itu, kembali ulangi pertanyaannya tadi, serunya: "Cian-bin Long-kun, Lian suci kau bawa kemana, hayo bilang tidak ?"

The Go dengan enak saja ber-kipas2, seraya menyahut dengan tertawa, mengejek: "Hem.........., menjadi sute tak tahu kemana perginya sang suci, masa tanya pada lain orang? Siaoko, kurasa kau tak menanyakan sucimu, tapi menanyakan orang yang kau cintai bukan? Ha....., ha. ,

sewaktu kau sakit, orang yang kau cintai itu pergi tanpa pamit. Bukankah ini berarti menyintai orang yang tak cinta? Ho, ngenas, kasihan!" Ucapan itu telah menusuk betul2 keulu hati Tio Jiang. Lupa dia kalau saat itu, masih ditengah hujan panah. Pedang terkulai kebawah, orangnya menjublek berdiri seperti patung. Hujan anak panah yang masih berseliweran dikanan kirinya itu, tak diacuhkan sama sekali.

Mata The Go yang tajam dapat mengetahui keadaan saingannya itu. Pikirannya jahat timbul. Dia ambil busur dan anak panah dari seorang serdadu Ceng yang berada didekatnya. Busur dipentangnya lebar2, sekali lepas maka menderulah sebatang anak panah kearah tenggorokan Tio Jiang. Anak ini tengah merenungkan ucapan si Cian-bin Long-kun itu tadi. Memang rasanya kata2  itu tepat. Buktinya, Bek Lian telah lari bersama. The Go ketika dia pingsan dipulau kosong tempo hari. Tapi heran, kalau Bek Lian benar tak menyinta, mengapa malam itu ia memberikan tanda, mata peniti kupu2 padanya? Justeru dia melamun sampai disitu, anak panah tadi sudah terpaut hanya 2 meteran jauhnya. Kalau dia mau menghindar, rasanya masih bisa. Tapi seperti orang linglung, dia malah merogoh kedalam baju, Perlunya untuk merabah peniti kupu2. Dan begitu tangannya menyentuh benda itu, hatinya serasa terhibur. Namun pada detik itu, anak panah telah menyambar tiba, tepat mengenai tenggorokannya, sret

........... darah muncrat keluar, dan barulah dia tersadar. Secepat kilat, dia tangkap tangkai anak panah itu. Untunglah dia lekas2 bisa berbuat begitu, karena terang tadi The Go telah gunakan seluruh kekuatannya untuk memanah. Tak boleh tidak, panah itu tentu akan menembus batang leher Tio Jiang. Maka meskipun tangan Tio Jiang keburu mencekalnya, tak urung setengah dim dari ujung panah itu telah menyusup kedalam tenggorokan. Sakitnya sampai menusuk ke-ulu hati. Dan begitu tubuhnya terhuyung, kembali betisnya termakan sebatang anak panah lagi. Tempo hari Yan-chiu memberikan peniti kupu2 milik Bek Lian itu kepada Tio Jiang, se-mata2 adalah untuk memper-olok2-nya saja. Jadi bukan untuk mencelakai sukonya itu. Maka kalau saat itu ia menyaksikan buah perbuatannya yang dipikul oleh Tio Jiang itu, ia pasti, akan mengucurkan air mata. Tapi bagaimanaa lagi, nasi sudah menjadi bubur.

1

Selagi Tio Jiang ter-menung2 dilanum, cinta meradadak The Go lepaskan anak panah dan tepat menancap ditenggorokan pemuda itu.

Balik menutur keadaan Tio Jiang, dalam  pikirannya yang sudah limbung akibat luka ditenggorokannya itu, tiba2 dia beringas pula. Biar bagaimanaa dia harus cari orang she The itu untuk menanyakan dimana sang suci itu. Ini perlu, sebab dia ingin mendengar keterangan dari mulut orang yang dicintai itu sendiri, bagai manakah sejatinya pikirannya itu. Yang perlu, dia hendak bertanya, mengapa malam itu Bek Lian sanggup untuk menjadi isterinya?

"Cinta menangkan segala", demikian kata orang. Dan ini rupanya berlaku jugaa bagi Tio Jiang. Tenggorokan adalah bagian yang berbahaya dari tubuh manusia. Ini sudah terpanah, begitu pula betisnya. Andaikata lain orang pasti siang2 sudah rubuh. Tapi karena mempunyai  kekuatan batin Yang keras, Tio Jiang malah beringas. Dengan putar pedangnya, dia menerjang maju. Benar anak panah tadi sudah dicabutnya, tapi karena dia bergerak, maka darahpun mengalir seperti menganak sungai. Kini Tio Jiang bukan seperti manusia lagi macamnya, melainkan seperti manusia darah. Begitu menghampiri kedekat Thay-san sin-tho dan Nyo Kong-lim, kedua orang ini menjadi berdiingkrak kaget. "Siaoko, kau kenapa itu ?" tanya mereka serentak.

Tio Jiang memutar kepalanya, dengan bengis dia deliki mata kepada mereka Tapi begitu mulutnya  hendak berkata2, se-konyong2 dia kesima, serunya dalam hati: "Hai? Leherku! Mengapa dapat diputar?" Dia coba lagi untuk menoleh kekanan kiri dan ternyata mudah sekali, tidak tengeng kaku lagi. Dalam kegirangannya, dia unjukkan ketawa pada kedua orang tadi.

Biasanya orang ketawa itu tentu sedap dipandang. Tapi tidak dengan Tio Jiang. Karena dia sudah berobah menjadi manusia-darah, begitu ketawa, malah membikin takut orang.

"Kau ini orang mati atau orang hidup?" seru Nyo Kong- lim.

Tio Jiang tak sahuti pertanyaan orang. Pikirannya dikliputi rasa girang, karena bukankah nanti Bek  Lian takkan mencelahnya sebagai orang tengeng? Tapi dalam pada itu, dia juga merasa heran. Mengapa dengan terpanahnya tenggorokannya itu, malahan dapat memulihkan tengengnya? Bukankah tempo hari Sik Lo-sam mengatakan, tiada obatnya lagi? Kiranya dia memang tak mengetahui, bahwa untuk menyelamatkan jiwanya, Sik Lo- sam terpaksa gunakan ciong-chiu-hwat (ilmu tutuk berat) untuk menutup jalan darahnya. Sebenarnya walaupun dikatakan tutukan tangan berat, tapi seharusnya tak boleh seratus persen digunakan. Tapi karena kurang faham, jadi Sik Lo-sam telah pakai seluruh tenaga untuk menutuknya, hingga akibatnya dia menjadi tengeng. Sudah begitu orang tua kate itu masih malu mengatakan kalau dia tak bisa memulihkan kembali, maka mengatakan kalau tiada obatnya lagi.

"Siaoko, ini sambutlah dan poleskan pada tenggorokanmu!" seru. Thay-san sin-tho seraya melemparkan sebuah bungkusan kertas. Sibongkok ini tahu bahwa sekalipun Tio Jiang mandi darah, tapi lukanya tak berbahaya.

Kini ketiga orang itu sudah berhasil menyerbu sampai kekaki gunung. Barisan pemanah tentara Ceng itu bertempat diatas batu2 besar. Maka begitu ketiga orang tadi sudah mencapai kaki gunung dimana banyak terdapat batu2, mereka tak bisa berbuat apa2 lagi. Sekalipun masih menghujani anak panah, tapi percuma saja. Juga hujan panah dari jurusan laut tadi, karena sudah terpisah pada jarak jauh, pun tak sampai disitu.

Entah sudah berapa kali Tio Jiang pakai obat kepunyaan si Bongkok itu. Ketika masih digunung dahulu, setiap kali tertusuk duri atau jatuh, begitu pakai obat itu, tentu sembuh dengan lantas. Maka meskipun masih mendendam karena orang hendak menangkap suhunya, namun Tio Jiang sambuti obat itu dan dipakainya untuk mengobati tenggorokan dan betisnya yang kena panah itu. Kemudian diangsurkannya kepada Nyo Kong-lim yang terluka pundaknya itu.

Mereka bertiga adalah orang2 yang berwatak sama, suka blak2an tanpa tedeng aling2. Baru beberapa menit tadi mereka saling bertempur, kini sudah baik dan akur kembali. "Sayang, siaoko. Kau sesungguhnya seorang lelaki utama, mengapa memperoleh seorang guru yang begitu?" kata Nyo Kong-lim sembari mengobati lukanya.

Kembali Tio Jiang kerutkan alisnya, namun mulutnya tak dapat berkata apa2. Tiba2 dia teringat bahwa tempatnya situ adalah dikaki gunung, jadi kalau membiluk sedikit, tentu akan bisa berjumpa dengan suhunya. Tanpa banyak pikir lagi, dia lantas berseru keras2: "Suhu, suhu!"

Baru dua kali dia bertereak, tenggorokannya berasa sakit lagi. Maka dia tak mau lagi bertereak, melainkan hendak lanjutkan penyerbuannya lagi. Tapi tiba2 si The Go yang berada dipuncak gunung sana menjerit kaget. Sudah tentu Tio Jiang berpaling kebelakang untuk mengetahui apa yang terjadi. Hai, tentara Ceng yang berada ditepi laut sana, tampak kacau balau keadaannya. Dalam kekacauan itu tampak ada seorang dalam sebuah perahu, mengamuk laksana banteng ketaton. Setiap arah tangan menghantam, terdengarlah jeritan orang. Setiap kaki menendang, terdengarlah orang mengerang. Dan demi didengarnya Tio Jiang berseru memanggil tadi, orang itu segera berseru:

,Jiang-ji, mengapa kau juga berada disini ?"

Tio Jiang mengawasi pula dengan seksama. Orang itu mengenakan jubah pertapaan, Gerak terjangnya bebas lepas. Sekian ratus tentara Ceng itu dianggapnya seperti rumput saja. Ah............, siapa, lagi imam gagah itu kalau, bukan gurunya yang teramat dicintai itu! Diam2 dia bergirang hati dan mengira dugaannya tadi tepat, yakni mengapa sang suhu sengaja menganjurkan para orang gagah supaya takluk kepada fihak Ceng, yalah karena, disebabkan sesuatu hal, Buktinya kini suhunya itu kembali sudah mengamuk tentara Ceng lagi. Saking girangnya, dia deliki mata pada Nyo Kong-lim. "Toa-cecu, orang bagaimanakah suhuku itu, seharusnya kau sudah tahu sekarang."

Toa-cecu dari Hoasan itu ter-longong2 melihat keanehan itu. Dilihatnya belasan perahu tentara Ceng itu dalam sekejab saja sudah disapu bersih oleh Ceng Bo siangjin. Sebagai seorang yang polos, cepat dia mengakui kesalahannya. Untuk menyahut pertanyaan Tao Jiang, dia segera menampar mukanya sendiri, plak.........! ,Manusia edan. !" serunya memaki diri sendiri.

Tio Jiang geli, tapi  Nyo Kong-lim itu sudah lari menghampiri kearah Ceng Bo, seraya bertereak-tereak: "Hay-tekau, 72 saudara Cecu dari Hoa-san, tetap akan minta kau menjadi pemimpin kami!"

Bermula para orang gagah itu terkesiap melihat munculnya Ceng Bo, tapi demi diketahui sepak terjang siangjin itu membasmi tentara Ceng, mereka bersorak kegirangan. Ber-bondong2 mereka datang mengerumuni imam yang gagah perkasa itu. Kawanan orang yang tadi  pro menakluk pada pemerintah Ceng, juga menjadi heran atas kejadian itu. Tapi Ceng Bo tak mengacuhkan mereka. Langsung dia memapaki Nyo Kong-lim, serunya sembari memberi hormat: "Adakah saudara ini Nyo Toa-cecu dari ke 72 cecu Hoa-san ? "

Sudah tentu sikasar itu melengak. "Hay-te-kau, kau pandai juga bersandiwara!" sahutnya dengan ter-gelak2. Ceng Bo siangjinpun heran. Tapi karena menganggap orang she Nyo itu seorang kasar yang blak2an, maka diapun tak marah. Tapi ketika hendak berkata lagi, se- konyong2 dari balik gunung muncul seseorang yang sambil bertepuk tangan segera mengeluh keras: "Ah......, sayang! Terlambat sedikit saja, mereka sudah lolos!"

Itulah sibongkok Thay-san sin-tho Ih Liok. Tapi begitu melihatnya, Ceng Bo siangjin tampak kerutkan alisnya. Wajahnya nampak kurang senang. Sebaliknya Nyo Kong- lim segera memanggil sibongkok: "Tho-cu, lekas kemari!"

Sibongkok segera menghampiri. Tapi tatkala lewat disamping Tio Jiang, dia segera seret tangan si anak muda itu.

Karena ber-tahun2 sibongkok itu mengelabuhi Tio Jiang, dengan ber-pura2 sebagai orang gagu, Ceng Bo tak menyukai sibongkok, maka diapun tak mau menyapanya, melainkan bertanya kepada muridnya: "Jiang-ji, mengapa kau berada disini? Dimana Ki dan Kiau-susiok berdua? Dan mana Siao Chiu?"

"Suhu, apa kau tak mengetahui bahwa, Li Seng-Tong sudah menduduki Kwiciu. Setelah membunuh kaisar Siau Bu, dia mengirim 300 ribu tentara untuk mengurung Gwat- siu-san. Saudara Thian Te Hui boleh dikata telah binasa!”

Wajah Ceng Bo tampak berobah keren, serunya: "Mengapa kau takut mati melarikan diri ?"

Saking takutnya, Tio Jiang ter-sipu2 jatuhkan diri berlutut. Sedang disana demi menyaksikan peribadi Ceng Bo siangjin yang sedemikian perwiranya itu, Nyo Kong-lim lalu unjukkan, jempol tangannya, berseru memuji: "Hebat!"

"Murid berhasil menerjang kepungan musuh dan bisa lolos. Ki dan Kiau susiok diserang cerai berai oleh musuh. Sedang sumoay yang bermula, selalu berdampingan dengan murid, karena gelombang serangan serdadu musuh yang sedemikian banyaknya itu, maka terpencarlah kita semua

...... entah kemana," Tio Jiang memberi keterangan. Kemudian tuturkan juga pengalamannya selama itu. Karena dia tak dapat berbohong, maka tentang bagaimana dirinya terluka, bagamana dia hendak mengadu jiwa, bagaimana, dia tukar menukar ilmu dengan Sik Lo-sam, Kemudian bagaimana dia sampai di pulau Ban-san-to. Setelah itu dia menyerahkan diri rela menerima, hukuman apapun yang hendak dijatuhkan sang suhu, karena dengan menurunkan ilmu pedang to-hay-kiam hwat kepada Sik Lo- sam itu, dia telah menyalahi peraturan perguruan.

Memang setelah mendengar penuturan muridnya itu, wajah Ceng Bo tampak berobah bengis, kemudian pada lain saat kedengaran dia berkata: "Menurut peraturan  kaum kita, sekalipun saudara seperguruan, tak diperbolehkan untuk mencuri lihat latihan lain saudara seperguruan

................”

Belum dia menghabiskan keputusannya itu, sikasar Nyo Kong-lim terus saja mengibaskan sam-ciat-kun seraya berseru keras: "Hay-te-kau, kalau kau hendak menghukum anak itu, sungguh tak mempunyai liang-sim (hati bajik)!"

"Apa maksud Toa-cecu berkata begitu?" tanya Ceng Bo dengan heran.

Tanpa tedeng aling2 lagi, Nyo Kong-lim segera menuturkan apa yang terjadi barusan tadi. Bagaimana karena membela, sang suhu, anak itu telah bertempur dengan dia. Keterangan Nyo Kong-lim itu dibenarkan oleh para orang gagah. Ceng Bo siangjin tergerak hatinya. Tapi dia adalah seorang yang dapat membedakan mana soal peribadi dan mana soal hukum. Dengan menghela napas, dia berkata: "Bangunlah, setelah urusan segera selesai, kupertimbangkan lagi. Kini kuberi! kesempatan padamu, mendirikan jasa untuk menebus dosa! "

Tio Jiang menghaturkan terima kasih. "Hay-te-kau, sandiwara yang kau bawakan tadi, sungguh bagus!" kembali Nyo Kong-lim bergelak tertawa. Ceng Bo siangjin tetap tak mengerti, mengapa seorang lelaki gagah begitu, omongannya tak keruan. Tapi tiba2 Thay-san sin-tho turut campur bicara: "Ceng Bo siangjin, dengarkanlah penjelasanku. Memang urusan itu panjang nian untuk diceritakan. Mengapa aku si Bongkok ini sampai ber-tahun2 menjadi orang bisu adalah karena untuk menyelidiki urusan itu, syukur kini sudah dapat kubikin terang. Ceng Bo siangjin, kau benar2 seorang lelaki berpambek perwira sekali, bukan orang yang takut mati!”

Ceng Bo siangjin kerutkan alisnya, menegas: ”Apa maksudmu ?"

„Siangjin, apakah kau pernah mendengar bahwa didunia persilatan terdapat seorang yang bernama Tan It-ho?" tanya si Bongkok pula.

„Rasanya sudah, bukankah yang gelarannya 'Yau-sin- ban-pian' (Gerak robah selaksa) itu ?" ujar Ceng Bo.

Atas itu Thay-san sin-tho mengiakan, katanya pula : "orang itu pandai sekali bermake-up (menyaru) dengan topeng kulit muka, lagi pintar meniru nada suara orang. Ilmu silatnya sih biasa saja, tapi dengan mengandalkan kedua macam kepandaiannya itu, dia banyak melakukan perbuatan2 jahat. Tadi diapun muncul disini, menyaru menjadi dirimu, menganjurkan supaya para saudara kaum persilatan tunduk saja pada pemerentah. Ceng!"

Bukan saja Ceng Bo, pun sekalian orang2 yang hadir disitu terperanjat bukan kepalang. „Masakan kepandaiannya tadi sedemikian hebat hingga dapat mengelabuhi orang banyak ?" kata Ceng Bo.

„Tadi sih dia gagal, tapi pada 10 tahun yang lalu, karena disewa oleh orang dia telah berhasil dengan bagus sekali memainkan peranannya dikaki gunung Lo-hou-san. Dia dapat menipu sehingga dapat mencerai beraikan 'Kau' (Hay-te-kau) dan 'Yan' (Kiang Siang Yan), serta melarikan sebatang pedang pusaka !" menerangkan si Bongkok.

Hati Ceng Bo tergerak, maju selangkah dia menegas:

„Bagaimana kau tahu? !"

"Kata Sik Lo-sam bahwa saat itu aku berada ditempat kejadian itu, memang aku menyaksikan dengan  mata kepala sendiri!" sahut Thay-san-sin-tho.

Tiba2 Ceng Bo siangjin bertereak keras2, sehingga sekalian orang sama berd ingkrak kaget. „Dimana manusia itu ?" tanyanya.

Tapi si Bongkok kedengaran menghela napas, jawabnya:

„Karena ayal sedikit saja, dia sudah lolos dengan perahu. Tapi terang dia bersama Cian-bin Long-kun. Kalau kita dapat mengejar Cian-bin Long-kun itu, bangsat itu tentu takkan dapat Lari!"

Ceng Bo tampak berdiam diri. Pikirannya jauh melayang akan peristiwa 10 tahun yang lalu, serta siwanita berambut panjang yang dijumpainya dilaut itu. Samar2 dia serasa terang akan duduk perkaranya.

Melihat ditinggal bicara sendiri, sikasar Nyo Kong-lim. muring2. "Hay-te-kau, mengapa tak lekas2 pergi ke Hoa- san? Sekalian saudara sudah menunggumu!" serunya. Mendengar itu, Ceng Bo, agak gelagapan. Urusan peribadi pada 10 tahun itu, tinggalkan dulu saja. Urusan negara lebih penting. Baik, mari kita berangkat ke Hoa-san!" sahutnya, Kemudian diajaknya para orang gagah itu menuju kepantai, dari situ mereka berlayar keutara.

Tio Jiang, Ceng Bo siangjin, Thay-san sin-tho, dan Nyo- lim berkumpul disebuah perahu. Selama dalam perlayaran itu, tampak Ceng Bo selalu merenung saja. Sebaliknya dengan mendapat kawan seorang imam yang begitu gagah perwira, Nyo Kong-lim tak putus2nya bicara dan tertawa, sehingga perahu itu penuh diliputi dengan gelak ketawanya. Lewat bebrapa saat, Ceng Bo siangjin minta supaya Thay- san sin-tho, menghampiri kedekatnya. Sedang Nyo Kong- lim asyik menceritakan pada Tio Jiang tentang keadaan ke 72 Cecu Hoa-san itu.

Sembari mendengari. Tio Jiang sembari se-bentar2 memasang mata kearah suhunya. Dia heran sewaktu sang suhu memanggil si Bongkok. Entah apa yang dibicarakan mereka. Tapi samar2 Tio Jiang seperti teringat akan kejadian pada masa yang lalu. Misalnya bagaimana sekali ketika masih digunung, Bek Lian telah menangis dengan ter-lara2. Bermula dikiranya kalau dia (Bek Lian) kesalahan padanya, tapi ternyata suci itu teringat akan ibundanya. Bek Lian telah menanyakan perihal ibunya kepada sang ayah, tapi ayah itu tetap tutup mulut saja. Dan teringat pula tempo hari Sik Lo-sam pernah menyebut kata2 ,Hay-te-kau dan "Kiang Siang Yan." Sedangnya dia berpikir sampai disitu, dilihatnya wajah Ceng Bo siangjin berobah murka sekali. Kemudian pada lain saat, suhunya itu mondar mandir diatas lantai perahu, krak......, krak lantai perahu

yang dilewatinya itu sama melekah atau ada yang amblong.

"Hay-te-kau, mengapa tak kau jumpalikkan sekali perahu ini untuk melampiaskan kemarahanmu itu, perahu tenggelam ....... kita semua kan akan mandi dilaut ?" Seru sikasar Nyo Kong-lim demi melihat gerak gerik Ceng Bo. Atas seruan itu, Ceng Bo hentikan langkahnya. Tapi dari mimik wajahnya, dia tetap dirangsang kemurkaan hebat. Tio Jiang juga tak mengerti apa kata si Bongkok tadi, hingga menyebabkan sang suhu sedemikian murkanya. Selama ini belum dia melihat suhunya sedemikian murkanya. Juga lain2 orang yang tak tahu menahu akan urusan peribadi Ceng Bo, hanya menganggap bahwa siangjin itu sebagai seorang patriot besar tentu sedang tumpahkan kemurkaannya terhadap tindakan tentara Ceng selama ini. Menampak siangjin itu begitu murka, merekapun tak berani bercuit.

Perahu berlayar dengan cepatnya dan saat itu sudah tengah hari. Tiba2 Nyo Kong-lim berteriak : „Hai, mengapa kapal besar dimuka sana itu ter-katung2 ditengah laut ?"

Ceng Bo pun melihat hal itu. Perahu besar itu adalah perahu yang dipakai The Go dan Bek Lian beserta sejumlah tentara Ceng untuk menggempur Kwiciu tapi telah dipegat oleh Ceng Bo tempo hari. Terang kala itu perahu membentur karang dan sudah akan tenggelam, tapi mengapa sampai sekarang masih ter-katung2 timbul tidak tenggelam bukan ?

„Siapa diantara saudara2 yang mengetahui laut sana itu terdapat karang ?" tanya Ceng Bo kepada awak kapal. Salah seorang tampil kemuka dan menerangkan bahwa laut itu disebut Hay-sim-kau atau Laut Karang. „Siapakah nama saudara ? Tempat itu bukankah dahulu tempat pertapaan Su Liong Po ?" tanya Ceng Bo. Orang itu menerangkan bahwa dia bernama Su Khin-ting bergelar Bo-lin-hi (ikan tak bersisik), kemudian menuturkan bahwa Su Liong Po itu sudah lama meninggal.

Ceng Bo memandang orang itu, wajah siapa sih tak mengunjuk apa2 yang luar biasa, kecuali sikap dan bicaranya tadi cukup tegas. Tahu Ceng Bo bahwa dengan bergelar Bo-lin-hi itu, kepandaian didalam air dari orang itu tentu istimewa. Sekilas terbayang dalam ingatan Ceng Bo, bahwa wanita berambut panjang yang muncul diperahu tenggelam itu dulu, menilik daerah laut situ adalah Hay- sim-kau, ke-mungkinan besar ia itu adalah murid daripada Su Liong Po tersebut. Su Liong Po, juga seorang wanita yang sudah berumur lanjut. Ia termasyhur memiliki ilmu lwekang istimewa yang disebut ,Thay-im lian sing". Setelahh mendapat keterangan dari Thay-san sin-tho tadi, samar2 Ceng Bo menjatuhkan dugaannya kalau wanita berambut panjang itu, adalah orang yang ber-tahun2 ini dicarinya dengan sia2 itu. "Saudara Su, apakah kau pernah menyelam kebawah laut situ ?” tanyanya kemudian.

"Dua tahun yang lalu, pernah dua kali meninjau kesana. Tapi ternyata dibawah laut situ hanya terdapat batu2  karang yang aneh bentuknya, tapi tak dapat kuketemukan pintu goa dimana dahulu Su Liong Po telah meyakinkan pelajarannya,” sahut Su Khin-ting.

"Ilmu lwekang dari Su Liong Po itu disebut 'thay-im lian sing," suatu jenis lwekang yang paling istimewa sendiri. Untuk meyakinkan ilmu itu, harus berada dibawah tanah, Tiap sejam sekali muncul keatas untuk, menghirup hawa sampai 32 kali. Akhirnya setelah mencapai tingkat seperti apa yang dikatakan dalam kitab Lam Hwa Keng ‘dimana sang malaekat tinggal, disitulah sang naga akan muncul. Tenang bagaikan sesosok malaekat, bergerak bagaikan seekor naga', maka sempurnakah sudah peyakinan itu. Su Liong Po atau wanita malaekat naga, begitulah mendapat gelarannya. Terang ia tentu mempunyai goa rahasia didasar laut Hay-sim-kau situ, soalnya saudara belum dapat menemukannya saja," menerangkan Ceng Bo.

Sekalipun penumpang2 perahu itu sebagian besar adalah orang2 persilatan namun mereka tak pernah mendengar hal itu. Hal ini menambah kekaguman mereka, terhadap Ceng Bo siangjin yang begitu luas pengalamannya. Malah setelah habis menutur tadi, Ceng Bo tampak melucuti jubah pertapaannya, lalu mengajak Su Khin-ting: "Sdr. Su, karena kau sudah pernah kesana, maukah menemani aku sekali lagi ?”

Sudah tentu Su Khin-ting menurut, tapi sebaliknya Nyo Kong-lim cemas, serunya: "Hay-to-kau, jangan lupa kita masih mempunyai urusan besar!" Namun Ceng Bo hanya mendengus saja, terus loncat kedalam laut.

Gelar Hay-te-kau atau Naga didasar laut itu, ternyata tak bernama kosong. Sekali terjun kedalam air, dia sudah menyelam jauh kedalam. Ketika Su Khin-ting yang mengikuti dibelakang membuka mata, ternyata siangjin itu sudah berada 3 tombak lebih didepan sana. Nyo Kong-lim perentah menurunkan layar, supaya perahu berjalan selambat mungkin. Tio Jiang sebaliknya segera menanyai si Bongkok apa yang dibicarakan dengan suhunya tadi.

"Siaoko, mengapa harini kau begini teliti?" sahut si Bongkok sembari menoleh kekiri kanan. Melihat sikap si Bongkok itu, tahulah Tio Jiang kalau pertanyaannya tentu tak dijawab.

Kini kita ikuti perjalanan Ceng Bo siangjin dan Su Khin- ting.

Tak berselang berapa lama, Ceng Bo tiba pada sebuah deretan batu karang raksasa yang ber-warna hitam bertutulkan putih. Batu2 itu menjulang didasar laut. Ceng Bo meluncur turun kesana. Karena tengah hari, jadi dasar laut situpun kelihatan terang. Pegunungan karang itu tinggi rendah menonjol turun, bentuknya beraneka ragam anehnya. Tapi walaupun berenang mengelilingi seputarnya, namun kedua orang itu tak berhasil menemukan sesuatu yang luar biasa. Ceng Bo berhenti sejenak sambil memegangi sebuah tiang batu, kemudian dia meneliti lagi sekeliling tepian pegunungan itu, namun tetap tak berhasil menemukan apa2. Su Kin-ting membuat isyarat tangan yang maksudnya menerangkan, dua kali sudah dia berkunjung kesitu, pun tiada berhasil.

2

Sesudah Ceng Bo Siangjin menyelam kedasar laut bersama Su Kin Ting, tidak lama lantas tertampak didepan ada batu2 karang, putih yang aneh2.

Pikiran Ceng Bo bekerja. Lam-hay Hek-mo-kun (Raja Iblis Hitam dari Laut Selatan) yakni gelaran dari Su Liong Po sebelumnya, meyakinkan ilmunya di laut Hay-sim-kau situ, semua orang sudah mengetahuinya. Benar semasa Hek-mokun tersebut masih hidup, tiada seorangpun yang diidinkan Masuk kedalam laut Hay-sim-kau situ, namun bagaimana dia tentu melakukan peyakinannya itu dibawah laut dan se-kali2 bukan diatas permukaan laut. Konon kabarnya, ilmu thay-im-liang-sing itu, sewaktu meyakinkannya, tak boleh tersentuh dengan benda yang bagaimana pun kecilnya juga. Kalau dia meyakinkan diluar karang (diatas permukaan laut), terang tak mungkin karena gelombang laut itu penuh dengan bermacam2 benda. Memikir sampai disitu, Ceng Bo siangjin mulai mencari lagi. Dan akhirnya jerih payahnya itu berbuah. Dia menemukan sebuah batu karang yang bentuknya luar biasa serta berbeda dengan yang lain.

Batu itu hanya 2 meter pesegi besarnya. Anehnya, diatas batu tersebut tiada tumbuh pakis (lumut), jadi licin2 saja. Terang kalau sering dijamah oleh tangan orang. Karena berada didasar laut, batu itu sebagian telah ditimbun oleh pasir, maka pada pencarian pertama tadi, sudah tak tertampak jelas. Ceng Bo memberi isyarat supaya Su Khin- ting datang kesitu. Mereka berdua segera menyingkirkan timbunan pasir itu. Setelah itu Ceng Bo menghantam kemuka. Hantamannya itu diarahkan pada air, bukan pada batu tadi. Ber-gulung2 air meluncur kemuka, lalu dengan tiba2 dia menarik tangannya kebelakang. Begitulah dengan mendorong-tarik itu, maka timbullah suatu tenaga hantaman yang dahsyat. ilmu silat Su Khin-ting juga tak lemah, tapi terdampar oleh tenaga dahsyat tadi, dia sudah tak dapat berdiri tetap. Diam2 dia kagum sekali kepada imam yang sakti itu. Pada lain saat, ketika Ceng  Bo menarik tangannya kebelakang, dia sertai dengan tenaga Iwekang sehingga air ber-gulung2 turut tersedot kebelakang. Oleh tenaga sedotan yang kuat sekali itu, akhirnya batu karang tadi turut bergoyang2 dan bergeser beberapa dim. Sekali Ceng Bo mendorong kuat2, maka batu karang itu segera bergeser jauh dan tampaklah sebuah lubang goa.

Sebenarnya pegunungan karang tersebut, adalah gunung didasar laut. Sifatnyapun serupa dengan gunung didaratan, maka juga terdapat goa2-nya. Tanpa, ragu2 lagi, keduanya segera menyusup kedalam lubang itu. Kiranya benar seperti yang diduga mereka, tempat itu merupakan sebuah goa bundar seluas satu tombak. Goa itu penuh dengan ikan2 kecil yang tubuhnya dapat memancarkan cahaya sinar, sehingga goa itu seperti diterangi dengan ratusan lampu kecil. Air disitu pun jernih sekali, sehingga kalau orang berada disitu rasanya seperti memasuki sebuah Cui-ci-kiong (istana didalam air).

Ceng Bo menduga disitulah tempat pertapaan dari So Liong Po dahulu. Dia berenang mengelilingi dinding goa itu. Disana sini didapati seperti ada ukiran huruf2, tapi kini sudah rusak oleh guratan2 yang malang melintang memenuhi dinding itu, sehingga tulisan2 tadi tak dapat dibaca lagi. Tak tahu Ceng Bo apa maksud kesemuanya itu. Tiba2 pada sebuah dinding lain, dia tertegun mengawasi sebuah lukisan yang diukir disitu. Melihat itu, Su Khin- tingpun lekas2 menghampiri. Entah bagaimana dulu sipelukis dapat mengukir lukisan itu didinding tersebut. Tapi jelaslah sudah, lukisan itu menggambarkan sebuah pondok gubuk, seorang wanita cantik tidur diatas balai2, wajahnya mengunjuk malu dan marah besar. Ditepi balai2, tampak ada 2 orang lelaki yang dengan beringas bengis tengah mencekik tengkuk (leher bagian belakang) dari seorang lelaki lain, wajah siapa mirip dengan Ceng Bo siangjin. Orang laki itu (yang melukiskan Ceng Bo) tampaknya seperti me-ratap2 minta ampun. Diantara buaian air laut mengalir, lukisan itu tampaknya hidup sekali.

Bagi Su Khin-ting, lukisan itu tak dimengertinya. Tapi Ceng Bo siangjin segera menginsyafi apa artinya. Kiranya apa yang telah dikatakan Thay-san sin-tho itu, benar semua. Kedua penjahat tadi (yakni lukisan kedua orang laki yang mencekik orang) karena hendak mencuri pedang pusaka kepunyaannya (Ceng Bo) dan Kiang Siang Yan, telah gunakan tipu muslihat yang keji. Selagi Ceng Bo naik  keatas gunung mencari obat, mereka telah menutuk jalan darah Kiang Siang Yan yang  tengah sakit berat itu. Kemudian menyuruh si Yau-sin Ban-pian Tan It-ho menyaru jadi Ceng Bo dan disuruh membujuk agar Kiang Siang Yan menyerahkan pedangnya pusaka !

Ah........, tak heranlah kini Ceng Bo, mengapa sedemikian murka Kiang Siang Yan pada saat itu. Tanpa mengucap apa2, ia lolos merana ke-mana2. Tentu isterinya itu sampai ditempat situ dan berhasil menemukan goa tempat pertapaan Su Liong Po. Ukiran tulisan2 pada sekeliling dinding gua itu tadi, tentulah merupakan pelajaran dari ilmu sakti thay-im-lian-sing, dan mulailah Kiang Siang Yan meyakinkannya. Kiang Siang Yan  seorang wanita yang pandai ilmu sastera dan ilmu silat. Dengan kecerdasan otaknya, ia tentu dapat menangkap inti sari pelajaran itu. Terang kalau lukisan keadaan digubuk kaki gunung Lo-hou-san itu, ialah yang membuatnya !

Hati Ceng Bo makin pilu. Sekilas terbayanglah dia akan siwanita rambut panjang yang dijumpai diatas perahu tempo hari. Sebelum menjadi isterinya, Kiang Siang Yan itu sebenarnya adalah sumoaynya. Sudah tentu ilmunya lwekang sama. Tapi kala itu, ketika memeriksa bekas tiang perahu yang ditabas oleh wanita tersebut, ternyata berlainan sekali. Kini baru dia jelas duduk perkaranya, bahwa ilmu lwekang wanita itu adalah dari pelajaran thay-im-lian-sing. Dengan begitu, jelaslah sudah wanita berambut panjang itu bukan lain yalah isterinya sendiri, Kiang Siang Yan, atau ibu dari Bek Lian. Ah, hampir sepuluh tahun dia selalu mengenang dan mencari isteri yang dikasihinya, tapi begitu berjumpa,  dia  sudah  tak  mengenalnya! Ah..., sayang ,

sayang...........

Sebaliknya, Kiang Siang Yan tentu sudah mengenal suaminya itu. Hanya mengapa ia tak mau mengenal lagi, itu disebabkan dua hal: Pertama, dalam kalbu nyonyah gagah itu tentu masih ter-bayang2 bagaimana wajah sang suami yang begitu pengecut minta ampun pada musuh, Kedua, karena thay-im-lian-sing itu harus diyakinkan dibawah tanah atau laut, jadi sipeyakin tentu menjadi orang yang mempunyai watak aneh dan hatinya berobah dingin tak berperasaan lagi.

"Untuk menyelesaikan salah faham itu, jalan satu2nya yalah harus dapat membekuk Tan It-ho dan kedua bangsat itu. Demikianlah putusan Ceng Bo. Su Khin-ting menampak Ceng Bo ter-longong2 mengawasi lukisan didinding gua itu, pun tak berani mengusiknya. Berkat ilmu dalam, air sangat mahir, maka walaupun sampai sekian lama mereka berdua berada dalam air, namun tak menjadi halangan. Lewat beberapaa saat Imemudian, barulah Ceng Bo kelihatan bergerak keluar, diikuti Su Khing-ting. Setelah meletakkan batu karang tadi ditempat semula, keduanya segera melambung keatas.

---oodw0tahoo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar