Naga dari Selatan BAGIAN 07 : HATI NAN LARA

 
BAGIAN 07 : HATI NAN LARA

„Engkoh Go, mengapa binatang itu tak rubuh ?" tanya Bek Lian. The Gopun turut heran. Dipungutnya dua biji batu dan ditimpukkannya lagi. Kali ini perut kedua  binatang itu terkena, usus keluar darah mengalir, terang sudah tentu mati. Tapi yang mengherankan, binatang itu tetap tegak berdiri saja.  Selagi masih diliputi oleh rasa heran, tiba2 didengarnya ada orang berbangkit.

„Sahabat manakah yang ..................", belum habis The Go menyerukan pertanyaannya, tiba2 kedua ekor binatang rusa yang sudah mati tadi melesat maju dengan cepat sekali hingga sampai mengeluarkan deru angin. Buru2 The Go menarik Bek Lian untuk menyingkir kesamping.

Pada lain saat terdengarlah dua kali suara blak.......

blak. , dan tersungkurlah kedua binatang tadi ketanah.

Ketika The Go menengok kebelakang, dilihatnya binatang itu sudah hancur tubuhnya. Tahu dia bahwa tentu ada seorang berilmu tinggi yang meluncurkan binatang itu. Baik kawan atau lawan, tapi yang perlu harus bersiap dulu. The Go cepat hendak mengeluarkan kipasnya. Kipas itu terbuat dari bahan sutera yang ulet sekali, hingga tak rusak terendam dalam air laut. Tapi baru tangannya menarik kipas, atau terdengarlah suara orang memakinya:

„Jahanam, dengan susah payah Sam-thay-ya mencari tempat yang sunyi untuk tidur serta membawa dua  ekor rusa untuk mengalingi diri dari sinar matahari, mengapa berani mengganggu kesenangan Sam-thay-ya"

Nada suara itu berpengaruh sekali, hingga menusuk kedalam telinga dan hidung. The Go dan Bek Lian segera mengetahui bahwa kini mereka berhadapan dengan seorang yang tinggi ilmunya lwekang. Ketika mengawasi dengan perdata, kiranya ditempat kedua rusa berdiri tadi, tampak ada seorang tua yang bertubuh kate dan alia serta rambutnya sudah putih semua. Dia mengenakan jubah panjang yang warnanya menyerupai warna batu. Oh, kiranya tadi siorang tua kate ilulah yang ber-baring dibawa kedua ekor rusa, maka kaki kedua binatang itu tampaknya seperti terpaku ditanah.

Mengetahui kesaktian siorang kate itu, The Go  tak berani mencari perkara. Tapi baru dia hendak mengatakan sesuatu, tiba2 orang kate itu loncat menghampiri kemuka Bek Lian seraya mengawasinya. „Kiang Siang Yan!" serunya dengan nyaring sekali hingga membuat Bek Lian terkejut.

„Wut.......", sehabis berteriak tadi siorang tua kate itu meluncur kebelakang sampai dua meter jauhnya. Tangannya menabok pada batok kepalanya sendiri lalu mengoceh sendiri: “Salah, he? Kalau Kiang Siang mau semacam itu, tak seharusnya kumemelihara janggut begini."

The Go dan Bek Lian tak mengerti ocehan orang itu, maka ditunggunya saja sampai beberapa saat.

„He, kalian lihat, aku ini mempunyai janggut tidak ?" tiba2 siorang tua kate itu mendongak bertanya. Diam2 The Go menjadi heran. Orang itu mempunyai buge (kepandaian silat) yang sedemikian sakti,  tapi mengapa selinglung itu. Tiba2 dia teringat akan keterangan kakek gurunya Ang Hwat cinjin, bahwa dalam dunia persilatan memang terdapat seorang tokoh yang bertubuh kate, siapa paling gemar sekali belajar silat. Dia selalu memaksa orang yang dijumpainya supaya mengajarkan ilmu silat, maka ilmu silatnya banyak macam ragam alirannya. Ilmunya lwekang, dipelajarinya dari seorang sakti ketika dia masih kecil. Lihaynya tiada tertara. Tapi pikiran orang itu seperti linglung, omongannya tak keruan juntrungannya. Ang Hwat cinjin memesan, apabila berjumpa dengan tokoh itu, The Go harus bersikap mengindahkan, baru nanti tak mengalami kesusahannya dari dia. Dilihat, ciri2nya, terang siorang kate inilah yang dimaksudkan oleh kakek guruna itu. Teringat hal itu, ter- sipu2 The Go menjura memberi hormat seraya -berkata:

„Sam-thay-ya !"

Memang siorang tua kate itu bukan lain adalah si Sik Lo- sam adanya. Sejak berpisah dengan Ceng Bo siangjin, dia lalu mengembara ke-mana2 dia tanpa disengaja telah kesasar dipulau kosong situ. Begitu melihat The Go begitu menghormatnya, dia tertawa ter-loroh2. Habis itu, sekonyong2 dia menampar keningnya sendiri, lalu berseru dengan murka: „Hai, buyung, tadi Sam-thay-ya tanya kau punya janggut tidak, mengapa kau diam saja ?"

The Go tak jelas akan pertanyaan orang, dikiranya yang punya atau tidak janggut itu adalah siorang tua itu sendiri, maka cepat dia menyahutnya : „Tidak!"

Mendadak Sik Lo-sam ber-kaok2 aneh, serunya : „Haya, celaka, aku tak punya janggut. Kalau bukan Kiang Siang Yan siapa lagi ia itu ?" Habis itu dia lantas memutar tubuh lari. Tapi baru beberapa tindak, se-konyong2 dia memutar tubuhnya lagi, serunya: „Salah, asal bisa menemukan Kiang Siang Yan, Hay-te-kau tentu mau mengajari aku ilmu pedang. Ah, tak boleh lari...... , tak boleh lari...... !" Dan

„wut ", dia loncat kesamping Bek Lian.

Geli Bek Lian melihat siorang tua kate yang linglung itu, maka kini diapun tak takut lagi, malah ter-tawa2. Melihat dirinya diketawai, Sik Lo-sam tanya pada The Go:

„Buyung, adakah aku ini sungguh2 tak berjanggut ?"

Merasa tadi salah faham, kini The Go menyahut kalau orang tua itu berjanggut. Tapi mendadak sontak, siorang tua itu men-jerit2 dengan marahnya: „Kau berani mempermainkan Sam-thay-ya buyung?" Dan „wut. ”,

begitu meluncur tahu2 dia hendak mencengkeram dengan tangan kanannya. Tapi anehnya tangan kanan itu walaupun menjulur tapi tetap kaku, sebaliknya tangannya kiri sudah nampak disiapkan.

The Go tahu bahwa serangan tangan kanan orang aneh itu hanya kosong, maka jika dia keburu menghindar tentu akan dicengkeram oleh tangan kiri orang. Maka dengan gerakan yang tak mirip dengan ilmu silat, dia buang diri kesamping. Benar jiiga cengkeram Sik Lo-sam tadi telah menemui tempat kosong, sementara The Go seperti tingkah orang mabuk, lalu ter-huyung2 bangkit kembali.

“Ang Hwat cinjin ! Bagus, buyung, kau pernah apa dengan Ang Hwat cinjin ?" tanya Sik Lo-sam demi melihat gerakan The Go tadi adalah dari jurus „Hong-cu-may-ciu" atau sigila menjual arak.

“Hopwe adalah cucu murid dari Ang Hwat cinjin," sahut The Go dengan hormat sekali.

„Hai, mengapa kau tak menjura padaku ? Meskipun Ang Hwat cinjin pernah mengajari ilmu silat padaku, tapi akupun juga memberi pelajaran padanya. Jadi terhitung aku ini suhumu, hayo mengapa tak mengangguk pada Sam- thay-ya ?"

Sampai disini tak kuasa lagi Bek Lian menahan gelaknya, saking gelinya ia tertawa ter-kial2. Sik Lo-sam penasaran, matanya terbolak-balik. The Go cukup mengerti, kalau orang tua kate itu memang linglung, jadi tak dapat diajak bicara genah, maka dia lalu menerangkan : „Sam- thaya, ia bukan Kian Siang Yan, tetapi puterinya."

Rupanya Sik Lo-sam agak sadar, sampai sekian saat dia diam saja. Kemudian tanyanya: „Buyung, mengapa kau datang kepulau kosong ini ?"

The Go tahu tak usah banyak ini itu dengan orang linglung itu, karena kalau salah lidah, dia tentu dihujani pertanyaan yang tak putus2nya.

Maka dengan sembarangan saja, dia menerangkan secara ringkas. Dan benar juga Sik Lo-sam mau mempercayainya.

„Sam-thay-ya bagaimana bisa datang kemari ?" kini The Go yang balas bertanya.

“Kau berani memandang rendah pada Sam-thay-ya ?" kembali silinglung angot penyakitnya.

“Apa kau naik perahu ?" buru2 The Go menyusuli pertanyaan.

Sik Lo-sam tertawa, sahutnya: „Perahu sih hanya mencuri sebuah, tapi aku berenang tadi, hanya saja perahu itu juga kubawa kemari."

The Go girang, karena kalau Sik Lo-sam bisa berenang kesitu, terang pulau itu tak jauh dari daratan besar. Kalau benar siorang tua membawa perahu, mudahlah untuk kembali kedaratan sana. „Sam-thay-ya dari mana kau mulai terjun ?" tanyanya. “Huh, masih bertanya ? Di Kwiciu diadakan luitay besar, apa kau tak tahu ?"

Muka The Go merah, sahutnya: „Tahu."

“Dalam keramaian begitu, mana bisa Sik Lo-sam tak turut melihat ? Thian Te Hui kalah, Sam-thay-ya tentu membantunya. Kalau Thian Te Hui menang, Sam-thay-ya akan bantu fihak Ci-hun-si."

Diam2 The Go leletkan lidahnya. Dengan ilmunya itu, terang kalau mau, orang tua aneh itu tentu dapat mengacau luitay.

“Tapi, cialat, Sam-thay-ya temaha tidur, terlambat sehari. Malam itu kesana luitay sudah beristirahat. Besok paginya luitay baru dimulai lagi. Tapi Sam-thay-ya tidur, seperti orang mati lagi. Pikir Sam-thay-ya, tidur itu pengacau besar, jangan tidur saja. Tapi makin benci tidur, makin kepingin tidur, sehingga lima enam hari  selalu ketinggalan spor (kereta api) saja! Entah bagaimana, orang2 sudah tak berhantam diluitay, suasananya menjadi kacau. Sam-thay-ya tak mau mumet2 dengan orang2 banyak itu, mencuri sebuah perahu, lalu berenang kemari. Aneh, sepanjang jalan, bertemu dengan beberapa orang yang kepalanya berkuncir, seperti orang perempuan. Sam-thay-ya senang sekali melihatnya, lalu membetot beberapa buah. Tapi rupanya orang2 itu sudah beberapa hari tak keramas, baunya apek sekali, lalu Sam-thay-ya lemparkan kuncir2 itu."

The Go tahu sekalipun orang tua itu linglung, tapi apa yang diceritakan tadi tentu sungguh. Jadi nyata tentara Ceng sudah menyerang Kwiciu, maka luitay itu lantas tutup. Tapi siapakah yang memimpin tentara Ceng itu, karena toh dia sendiri berada ditengah lautan ? Keinginan The Go untuk lekas2 balik ke Kwiciu, makin besar. „Sam- thayya, dimanakah perahu itu ?" tanyanya.

“Turut sama Sam-thay-ya yo, perahu baik2 tertambat disana," kata Sik Lo-sam dan „tok.... , tok. " seperti katak,

dia melompat kemuka. The Go ajak Bek Lian mengikuti siorang tua aneh itu. Ketika sampai dipesisir, ternyata disitu tampak ada sebuah perahu. Maju lagi beberapa tindak, Bek Lian cepat melihat ada seseorang tengkurap dipesisir. Tubuhnya sebentar diangkat sebentar diturunkan, seperti orang yang baru saja datang dengan berenang, sehingga kehabisan tenaga.

“Engkoh Go, ada lagi seorang lain disana itu," seru Bek Lian kepada The Go. Orang itu mengangkat pelan2 kepalanya, dan tiba2 berseru: „Suci!"

Bek Lian terkejut sekali, serunya: „Sute, mengapa kau disini ?" Sembari lari menghampiri. Sebagai saudara seperguruan, sudah tentu setelah lama tak berjumpa, Bek Lian ingin sekali menanyakan kabarnya Yan-chiu.

Tapi The Go menjadi cemburu. Teringat dia ketika di Giok-li-nia tempo hari, Tio Jiang sikapnya begitu memperhatikan sekali kepada Bek Lian, terang kalau diam2 tentu menyintai. Benar sijuwita itu telah menyerahkan seluruh hatinya kepadanya, tapi kini dengan adanya Tio Jiang, dia bersangsi. Cepat dia ulurkan tangannya untuk menjambret Bek Lian, seraya berkata dengan dingin sekali:

„Pe-lahan2 saja berjalan, perlu apa harus begitu kesusu !"

Bermula Bek Lian tak mengerti mengapa sang kekasih menariknya, tapi demi nampak perobahan muka sianak muda itu, tahulah ia apa sebabnya. „Engkoh tolol, aku kan sudah menjadi kepunyaanmu!"

The Go merasa tadi dia sudah keterlaluan, maka diapun segera tertawa. Dalam keayalan itu, Sik Lo-sam sudah menghampiri kemuka Tio Jiang. ,He, buyung, kaulah kiranya!" serunya dengan suara yang aneh.

Belum Tio Jiang menyahut, The Go dan Bek Lian sudah tiba. Tio Jiang pe-lahan2 mengangkat kepalanya, lalu berseru: „Sam-thay-ya!"

Sik Lo-sam tertawa girang. Tapi Tio Jiang tak menghiraukannya   lagi,   serta   berkata   kepada   Bek  Lian

:„Lian-ci, kemana saja kau beberapa hari ini ? Dan suhu? Hari itu...... malam        ", tangannya lalu merabah  kedalam

baju. Peniti kupu2an kepunyaan Bek Lian masih berada di- situ, katanya lagi :„Malam itu aku tidur kepat, sampai keesokan harinya baru bangun. Yan-chiu mengatakan kau ber-sama suhu berangkat kedalam kota, tapi mengapa sampai beberapa hari ?"

Bek Lian tak tahu mengapa dalam keadaan sepayah itu, begitu melihat dirinya, Tio Jiang timbul lagi semangatnya. Ia tak tahu kalau Yan-chiu main gila. Yang diketahuinya ketika pergi dengan sang ayah itu, sutenya itu masih terluka parah. „Sute, apa lukamu sudah baik ?" tanyanya.

Melihat sang suci kini begitu memperhatikan dirinya, tangan Tio Jiang terus menerus me-mijat2 peniti kupu.

„Sejak Lian suci mengikat janji padaku, sikapnya betul2 sudah berobah," pikirnya, lalu berbangkit sembari melolos sarung pedang yang terselip dipinggang, untuk menuang air didalamnya. „Lukaku sudah hampir sembuh. Tapi karena ber-gegas2 terjun keair, sehari penuh berenang, maka punggungku terasa sakit lemas !"

“Mengapa lari kelaut ? Apa kau dikalahkan diluitay dan di-kejar2 musuh ? Sungguh tak ada aturan begitu!" tanya Bek Lian.

Tio Jiang membeliakkan   matanya, balas bertanya:

„Lianci,  apa kau tak tahu  kalau tentara Ceng  sudah masuk ke Kwiciu ? Kiau susiok memimpin ratusan saudara2 Thian Te Hui untuk menyerang kekota. Aku dan Yan-chiu ikut serta. Tapi tentara Ceng keliwat banyak jumlahnya, hingga kami terkurung. Setelah bertempur mati2an sampai sehari semalam, baru bisa lolos, ah rasanya tulang2ku seperti copot!"

Mengira kalau sang suci itu sudah menjadi orangnya, maka Tio Jiang kini bisa bicara dengan lancar, tak kaku seperti dahulu. The Go bergirang, karena apa yang diduganya itu tak salah. „Siaoko, bilamana tentara Ceng itu masuk. ke Kwiciu, siapa yang memimpinnya, tahukah kau

?" tanyanya seraya maju selangkah.

Sejak menampak The Go, Tio Jiang sudah tak senang, maka dia hanya menggerendeng „hem" saja tak mau menyahut, sebaliknya lalu berbisik tanya kepada Bek Lian lagi: “Lian-ci, mengapa kau bisa ber-sama2 dengan  dia? Apa dia tak menghinamu ?"

Bek Lian jengkel. Baru saja omong genah, kini sutenya itu keluar ketololannya lagi. „Sute!" bentaknya.

Tio Jiang tak mengerti mengapa sucinya berlaku begitu. Dia melirik kepada The Go, siapa ternyata memandang dengan sikap mengejek pada Bek Lian. Tio Jiang tahan sabarnya dan melainkan berkata lagi kepada Bek Lian:

„Lian-ci, mari kita lekas mencari suhu, kau pergi bersama suhu, dimanakah suhu sekarang ? Kalau tak dapat mencari suhu, asal ketemu susiokpun boleh juga!" Habis berkata begitu dia segera menghampiri Bek Lian lalu menarik tangannya.

Biasanya     Tio     Jiang     tak     bernyali     untuk  unjuk

„kegagahan" begitu, maka karena tak mengira, Bek Lian sudah kena dicekal tangannya. Dengan wajah ke-merah2an, ia membentak: „Sute, kau.......", belum  kata2nya itu selesai, atau ia segera menampak ada sesosok bayangan berkelebat, dan tahu2 Tio Jiang menghindar kesamping, trang dia

sudah siap pula, dengan pedangnya.

Pedang itu tangkainya bertotolan, milik Ceng Bo siangjin. Ketika memberikan pedang pusaka itu, suhunya berkata :

„Nampaknya kau ini seperti orang tolol tapi sebenarnya tidak, melainkan karena terlalu polos saja. Walaupun pedang hitam badannya penuh dengan terotolan tahi karat, tapi tajamnya bukan kepalang." Maksud dari ucapan sang suhu itu juga mengandung arti, supaya Tio Jiang jangan puas dengan apa yang didapatnya.

Ketika Tio Jiang dengan yakin sekali mencekal lengan Bek Lian, dia sudah tak menghiraukan kalau disitu masih ada Sik Lo-sam dan The Go. The Go yang sudah mempunyai dendaman hati dengan Tio Jiang itu, sudah tentu menjadi murka melihat perbuatannya terhadap sang juwita. Dengan sebat dia loncat menutukkan kipasnya kearah jalan darah ko-bong-hiat orang. Jalan darah kong- bong-hiat itu termasuk salah satu jalan darah kematian. Barang siapa kena tertutuk jalan darahnya disitu, tentu akan meninggal. Memang The Go sudah benci sekali, hingga hendak membinasakan Tio Jiang.

Tapi dalam beberapa hari selama ikut bertempuran melawan tentara Ceng itu, Tio Jiang tambah banyak pengalamannya, makin sempurna juga latihannya dalam ilmu pedang to-hay-kiam-hwat. Begitu merasa ada angin menyambar dari belakang, cepat dia menyingkir kesamping sambil mempersiapkan pedang. „Cian-bin Long-kun, mengapa mau membokong orang ?" dampratnya.

The Go tebarkan kipasnya untuk dibuat kipas2, belum lagi mulutnya menjawab dampratan orang, atau Sik Lo-sam sudah kedengaran mengoceh sendirian: „Hm, buyung itu terlalu jahat, masa sekali turun tangan sudah mau menutuk jalan darah ko-bong-hiat ?"

Tio Jiang terperanjat. Pedangnya dibolang-balingkan sebentar, lalu bertanya: „Sam-thay-ya, apa katamu ?"

Sik Lo-sam delikkan matanya, menyahut: „Buyung, bocah yang itu tadi hendak menutuk jalan darah ko-bong- hiatmu. Cara kau menghindar bagus sekali! Lebih baik ajarkan padaku saja !"

Dalam kesusunya, tadi Tio Jiang menjorok kesamping, pedang terlepas. Tapi dengan sebat sekali, tangannya membalik untuk menyawut pedang itu lagi. Itulah yang disebut jurus „hay lwe sip ciu" (10 benua dalam laut), termasuk jurus yang ke. 7 dari ilmu pedang to-hay-kiam- hwat. Sebagai orang yang gemar ilmu silat seperti nyawanya sendiri, sudah tentu Sik Lo-sam dapat mengenal

„barang baik", maka dia telah ajukan permintaan itu. Sebaliknya Tio Jiang tengah delikkan mata kepada The Go.

Tio Jiang murka sekali. Sekalipun terhadap musuh, tapi tak seharusnya berbuat seganas tadi. Pikirnya, karena bersama-sama orang itu, tentu Bek Lian dihinanya. Sayang penyakitnya kumat lagi, makin marah makin tak dapat berkata2.  Sampai  sekian  saat,  baru  dia  dapat mengucap :

„Cian-bin Long-kun, kau...... kau "

“Aku bagaimana ?" tanya The Go dengan tertawa mengejek, seraya menghampiri maju. Dia perhitungkan, sejak pertemuannya dengan anak muda itu baru lima enam hari ini, ternyata anak itu telah menderita luka parah, dan dalam pertempuran melawan tentara Ceng juga lari pontang-panting, terang kalau kepandaiannya masih sama seperti kala dijumpainya di Giok-li-nia itu. Kini keduanya sudah blak-blakan, saling bermusuhan. Daripada timbulkan bahaya dikemudian hari, lebih baik sekarang ini ditumpas saja. Maka ketika jaraknya sudah diperhitungkan tentu berhasil, dia miringkan tubuh dan secepat kilat kipasnya dijulur-surutkan 3 kali. Membarengi tangannya kiri menghantam pelan, kipas ditangan kanan tadi ditutukkan kearah kepala orang untuk mengarah jalan darah thay-yang- hiat.

Sewaktu orang mendekati tadi, Tio Jiang sudah mengira tentu akan diserang, maka siang2 dia sudah bersiap, melangkah maju, maka kebetulan sekali hantaman tangan kiri The Go tadi telah dapat dihindarinya. Begitu dilihatnya orang sudah bergerak menyerang, Tio Jiang gunakan jurus hay-li-long-hoan (puteri laut memain gelang), pedangnya dijungkat keatas. Kelihatannya jurus itu biasa saja, tapi ternyata telah dapat menghadang serangan lawan.

Memang serangan kipas The Go itu, hanyalah gertakan kosong. Begitu orang hanya bermaksud melindungi muka atau kepalanya, atau mengegos kesamping, tentu akan terkena perangkapnya. Dalam gerak perobahan selanjutnya, musuh tentu tak bisa menghindar lagi.

Tapi telah diterangkan diatas bahwa selama ikut bertempur melawan tentara Ceng itu, ilmu pedang Tio Jiang tambah maju sekali. Benar dia terluka hantaman thiat-sat-ciang dari To Ceng hweshio, tapi setelah diminumi 4 butir pil sam-kong-tan, lukanya tak berbahaya lagi. Dia lebih jelas lagi akan arti dua kalimat yang menjadi pokok ilmu pedang to-hay-kiam-hwat itu, yakni: „Alun kecil gelombang besar, masih jauh tampaknya pelahan begitu dekat tentu cepat". Memang ombak laut yang mendampar ketepi itu, kalau masih jauh, tampaknya pe-lahan2 mengalun, tapi begitu sudah dekat lagi bergemuruh dan mendampar dengan cepatnya. Letak rahasia ilmupedang to- hay-kiam-hwat, adalah disitu. Jadi serupa dengan ilmu pedang Bu-kek-kiam yang berdasarkan atas „dengan ketenangan mengatasi gerakan", atau „dua tail menahan ribuan kati".

Tahu bahwa ilmu permainan 'Hong-cu-may-ciu' (orang gila menjual arak) itu penuh perobahan yang lihay, Tio Jiang tak berlaku lengah. Tangan kiri untuk melindungi dada, lalu pedang ditangan kanan digerakkan dalam jurus “hay li long hoan" tadi. Dengan jurus itu, The Go mati kutu tak dapat menyerang dan terpaksa mundur selangkah. Kini Tio Jiang yang balas menyerang dengan jurus hay lwe sip ciu (10 benua dalam laut ).

Melihat kedahsyatan pedang sianak muda, The Go tak berani menyambuti. Dia pendakkan tubuh, niatnya hendak menyusup kesamping. Tapi untuk kekagetannya, ujung pedang lawan seperti tetap membayangi saja. Diam2 hatinya menjadi keder, demi teringat akan kesaktian ilmu pedang Hay-te-kau Bek Ing itu. Karena tempo hari belum pernah menyaksikannya, maka The Go menduga anak itu tentu baru saja mempelajari jurus tadi. Diapun tak berani berayal, begitu dilihatnya empat jurusan diliputi oleh samberan pedang, dia terus main mundur sampai beberapa tindak jauhnya.

Pertempuran melawan tentara Ceng itu, ternyata merupakan latihan praktek yang berharga bagi Tio Jiang. Entah sudah berapa banyak jiwa tentara Ceng yang melayang di, ujung to-hay-kiam-hwat itu. Maka diam2 dia merasa kagum juga terhadap The Go, demi dalam gebrak pertama. tadi dapat menghindar dengan jalan mundurkan langkah. Tapi mana dia mau memberi hati lagi. Mulai dari jurus. “Thio Ik memasak laut" sampai „Ho Peh memandang laut", usul menyusul dia merangsak lawan, sehingga binggunglah lawan dibuatnya. Baru mundur begini, atau ujung pedang sudah mengancam datang, mundur kesitu, disana sudah menanti babatan pedang. Buru2 orang she The itu tenangkan pikirannya dan tumplak seluruh kepandaiannya. Sekalipun dapat menghindar dari setiap serangan, namun keadaannyapun sudah tak keruan, montang-manting keripuhan. Untunglah Bek Lian segera berseru mencegah sang sutee, siapa walaupun tak mengerti maksud sang suci, namun menurut juga.

“Lian-moay, ilmu pedang sutemu itu, jauh lebih menang dari kau !" kata The Go dengan napas ter-engah2.

Bek Lianpun mengenal kalau sang sute itu telah dapat mempelajari habis seluruh permainan To-hay-kiam-hwat,. Kembali wataknya ingin menang-dewek timbul, katanya : “Sute, mengapa jurus „Ho Peh kuan hay" tadi boleh di buat menggertak dulu baru menyerang yang  sesungguhnya, sehingga memancarkan 7 buah sinar pedang ?"

“Lian-ci, mari kita cari suhu, nanti ditengah perjalanan kuajarkan jurus itu padamu," kata Tio Jiang.

Bek Lian heran atas perobahan sikap sute yang biasanya begitu celingus, mengapa kini begitu „gagah" itu. Tanpa banyak pikir lagi, dia menyemprot: „Kau suka mengajarkan tidak, itu terserah. Tapi siapa kesudian kau ajak mencari suhu ? Aku akan tetap berdamping dengan engkoh Go."

Tio Jiang seperti disambar petir, sehingga hampir tak mempercayai apa yang didengarnya itu. „Lian-ci, apa katamu itu ?" tanyanya menegas.

Belum Bek Lian menjawab, The Go sudah menghamperi dan menggandeng tangan sinona. Dengan melirikkan pandangan matanya yang menghina pada Tio Jiang, dia berkata kepada Bek Lian : „Lian-moay, buat apa dekat2 dengan anak itu? Hayo, kita ke Kwiciu sana!" „Baiklah !" sahut sinona dengan tertawa riang. Dan tanpa menghiraukan kedua orang yang masih berada disitu, mereka berdua segera lari menuju kepantai dimana perahu itu ditambatkan.

Tio Jiang seperti orang bermimpi. Bukantah, malam itu Bek Lian telah memberi tanda pengikat padanya ? Mengapa kini begitu mesranya terhadap The Go dan membalikkan muka padanya ? Bermula dia kuatir kalau sedang bermimpi, maka dicubitnyalah lengannya, tapi dia menjerit sendiri karena kesakitan. Terang kalau dia masih berjaga. Tetapi....... mengapa terjadi keanehan begitu ? Tanda matanya saja masih disini, mengapa orangnya sudah membelakangi ? Saking tak dapat memecahkan soal yang aneh itu, Tio Jiang ter-longong2 seperti patung. Hatinya. begitu mendelu sekali, semangatnya patah dan lukanya terkena thiat-sat-ciang itu kembali terasa sakit sekali. Setiup angin laut telah menusuk kedalam lukanya itu, ngilu dan nyeri. Tadi waktu datang kepulau itu, sebenarnya dia sudah kehabisan tenaga karena hampir setengah harian berenang melintasi laut. Hanya karena melihat Bek. Lian saja, maka timbullah semangatnya baru. Namun hal itu terlalu dipaksakan sekali. Kegoncangan menyaksikan Bek Lian lari bersama The Go itu, telah menusuk sekali sanubarinya, membanting hancur seluruh impiannya. Sesaat terasa mulutnya anyir, matanya berkunang2, setelah menggigil sebentar, matanya menjadi gelap dan, „bluk. " jatuhlah

dia tak sadarkan diri.

Karena sampai sekian detik, tak mendengar suara Tio Jiang, Bek Lian menoleh kebelakang, dan demi dilihatnya sang sute rubuh ditanah, ia merandek.

“Lian-moay, lekaslah ! tak lekas2, mungkin kita nanti alami impian yang buruk lagi!" cepat2 The Go menyerukan. Bek Lian kuatir kalau tak dapat berkumpul dengan The Go, maka setelah menghela napas, ia tak memikirkan sang sute lagi.

“Anak perempuan, jangan pergi !" tiba2 Sik Lo-sam berseru.

The Go terperanjat, sembari mencekal tangan sinona kencang2, dia bertanya: „Sam-thay-ya, ada urusan apa ?"

“Hay-te-kau suruh aku carikan Kiang Siang Yan, kalau ketemu baru dia nanti ajarkan aku ilmu pedang. Kalau kini aku berhasil menemukan anak perempuannya, masa dia tak mau mengajarkan 3 jurus saja ? Anak, berhenti, ikut aku mendapatkan Hay-te-kau !"

Sik Lo-sam itu seorang linglung yang blak2an. Apa yang sang hati mau, mulutnya segera men yatakan. The Go mengeluh. Terhadap orang aneh Itu hanya bisa dilawan dengan akal, se-kali2 tak boleh dengan kekerasan. Sembari percepat langkahnya, The Go mengajukan sebuah pertanyaan : “Sam-thay-ya, anak perempuan dari Kiang Siang Yan itu, pernah apa dengan Hay-te-kau,  mengapa kau tak dapat memikir ?"

Benar juga, Sik Lo-sam termenung memikirkan pertanyaan itu. Dan pada saat itu The Go beserta Bek Lian audah jauh dari. situ. Dan begitu tiba ditempat tambatan perahu lalu cepat2 mengayuhnya. Baru ketika melihat  kedua anak muda itu melarikan perahunya, Sik Lo-sam menjadi kelabakan. „Hai, budak kecil, berani mempermainkan Sam-thay-ya ya ?" serunya sembari wut.......... loncat setombak lebih jauhnya dan tak antara lama sudah sampai kepinggir laut. Tapi dengan memasang layar, The Go serta Bek Lian sudah jauh dari pesisir situ.

Saking marahnya, Sik Lo-sam ber-jingkrak2 seperti orang kebakaran jenggot. Dia berloncat kian kemari dipesisir situ. Mulutnya     meng-hembus2,     sehingga. rambut

janggutnya yang mend yulai panjang itu, sama tegak lenc ang. Bahkan alisnyapun mend yigrak semua. Tangannya me-nari2 tak keruan sehingga puhun dan batu karang yang berada didekatnya menjadi hancur beterbangan. Setelah melampiaskan   kemarahannya,   tiba2  dia   bertereak keras:

„Ya, buyung itulah yang merusak urusanku !" Habis itu, dia terus berloncatan menghampiri Tio Jiang.

“Buyung, kau berani merusak urusan besar Sam-thay-ya, lekas bangun, bertempur dengan Sam-thay-ya sampai 300 jurus !" serunya dengan suara mengguntur. Tapi bagaimana dahsyatnya tereakan Sik-Lo-sam itu. Tio Jiang yang terluka hati dan tubuhnya itu, tetap belum siuman.

“Hi? Matikah ?" akhirnya Sik Lo-sam menyatakan keheranannya. Dia tunggu lagi sampai beberapa saat dan sekonyong2 wut ........ dia loncat menyingkir, lalu bertereak

: “Manusia mana yang tak bermuka itu, berani membokong buyung ini ? Lekas keluar !" Di ulangi tereakan itu sampai dua kali, tapi setelah tak mendengar balasan dan melihat seorangpun keluar, dia membungkuk kebawah untuk membau napas Tio Jiang. „Ha, buyung ini pura2 mati!" Tapi ketika mengawasi wajah Tio Jiang, dia terkejut lagi.

Meskipun linglung, tapi dalam hal ilmu silat, dia termasuk tokoh kelas utama. Sepuluh tahun yang lalu, pernah bertempur dengan Hay-te-kau, siapa tak bisa berbuat banyak terhadapnya. Tahu wajah Tio Jiang begitu lesu, dia mengerti anak itu luka berat. Waktu memereksa getaran urat nadi jim dan tok, rupanya sudah berhenti mendenyut. Sedang jantungnyapun sudah lemah berdetak. Cepat dia memondongnya seraya berkata: “Buyung, kau terluka, kalau sudah kusembuhkan, maukah kau mengajari  aku ilmu pedang ?" Ketika dipondong itu, kepala Tio Diang terkulai kebawah, dan ini diartikan oleh si Sik Lo-sam itu sebagai tanda mengiakan. Dia girang sekali. Brett, baju Tio Jiang dirobeknya dan jatuhlah sebuah peniti kupu2. Dijemputnya benda itu. „Huh, buyung yang tak tahu malu, masa mencuri perhiasan anak perempuan," serunya terus membuang peniti itu. Dia letakkan lagi tubuh Tio Jiang ketanah, lalu dia sendiri duduk bersila, kedua tangannya dilekatkan pada bagian ulu hati dan punggung sianak itu.

Setelah mendapat pengobatan secara penyaluran lwekang itu, barulah Tio Jiang tersadar. Ingatannya masih lemah, tapi yang selalu ter-bayang2 dalam ingatannya itu hanyalah Bek Lian seorang sad ya. Sesaat, dia membayangkan kalau sudah mend yadi suami isteri dengan Bek Lian serta bersama2 berkelana menjalan dharma kebaikan didunia persilatan. Pada lain saat lagi, dia seperti menampak Bek Lian sudah menjadi isteri The Go, dan sikapnya seperti tak kenal padanya. Karena selalu memilirkan hal itu saja, dadanya serasa makin sesak. Segumpal darah panas, serasa matt muntah keluar. Tenggorokan berasa gatal, sehingga tak kuat lagi untuk menahan muntah. Dia membuka matanya sedikit, Atau Sik-Lo-sam sudah membentaknya: „Tahan jangan sampai muntahkan darah.!"

Tio Jiang tak berani membangkang, buru2 dia tenangkan pikirannya untuk menahan se-dapat2nya. Tapi pada matanya yang separoh meram separoh terbuka itu, samar2 dia melihat Bek Lian tengah bergandengan tangan The Go dipesisir sana. Hatinya pedih sekali, dan naiklah gumpalan darah itu ketenggorokan. Saking sudah tak tahan lagi, mulutnya sudah akan terbuka untuk muntah.

„Tahankan!" bentak lagi Sik Lo-sam kedekat telinganya. Tio Jiang menurut dan bertahan se-kuat2nya. Tapi sang kemauan tak kuasa menahan meluapnya sang darah. Gumpalan darah, naik keatas, sehingga ketika memandang kearah Sik Lo-sam sepasang mata Tio Jiang ke-merah2an warnanya.

„Buyung, sayang. Menolong jiwa adalah yang penting. Kelak jangan membikin jengkel Sam-thay-ya lagi," seru Sik Lo-sam sembari menghela napas, dan terus menarik tangannya yang dilekatkan dipunggung Tio Jiang tadi.

Karena dilekati kedua tangan Sik Lo-sam itu, maka Tio Jiang dapat menahan sehingga gumpalan darah panas itu tak cepat2 naik. Begitu tangan Sih Loo-sam lepaskan tangannya, Tio Jiang kedengaran menguak „huk," terus hendak muntah. Ini berbahaya sekali. Asal gumpalan darah panas itu muntah keluar, peyakinan lwekang selama 6 tahun, akan hilang musna dan orangnya akan menjadi lemah. Kalau hendak mengulangi belajar lagi, lebih susah dari orang yang dilekatkan pada punggung Tio Jiang tadi dilepaskan, dengan sebat sekali dia pakai jari tengah untuk menekan jalan darah thian-tho-hiat ditenggorokan sianak. Jalan darah itu termasuk salah satu pintu terpenting dari seluruh jalan darah dalam tubuh. Kini Tio Jiang merasa longgar dadanya, tapi dalam pada itu kepalanya menoleh kesamping. Justeru matanya terbentur peniti kupu2 milik Bek Lian yang dilempar ketanah oleh Sik Lo-sam tadi. Terang benda itu bukan palsu dan benar pemberian Bek Lian. Kalau sucinya itu terpaksa mengikuti The Go tentu ada apa2nya. Memikir sampai disitu, kembali tenggorokan terdengar mengauk „kuk" lagi. Kalau tadi buakan itu menyentak keatas, kini turun kebawah tenggorokan. Tapi untungnya, darah tetap tak termuntahkan keluar.

Kini Tio Jiang sudah banyak baik. Mengawasi  kearah Sik Lo-sam dia berbisik menghaturkan terima kasih : “Sam- thay-ya, banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." “Buyung, ajarkan ilmu pedang pada Sam-thay-ya," alis Sik Lo-sam turun naik disungging oleh mulutnya yang bergelak tawa.

Tio Jiang melengak. Buru2 dia hendak berbangkit memberi hormat. Tapi ketika sudah berdiri dan hendak putar kepalanya kemuka lagi, hai ........ tak dapat. Rasanya tulang lehernya sudah kaku, tak bisa digerakkan lagi.

---oodw0tahoo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar