Naga dari Selatan BAGIAN 06 : WANITA BERAMBUT PANJANG

 
BAGIAN 06 : WANITA BERAMBUT PANJANG

Begitu The Go sudah naik keatas tiang perahu. Ceng Bo siangjinpun enjot tubuhnya menyusul. Perahu itu be-rayun2 masuk kedalam air, tapi baru beberapa meter tiba2 berhenti tenggelam. Heran Ceng Bo dibuatnya. Terang kalau tempat situ adalah ditengah lautan besar, tapi mengapa sedangkal itu? Dalamnya tak sampai dua tombak saja. Karena masih mempunyai urusan, jadi dia tak mau banyak pikirkan hal itu. Mengawasi kearah Bek Lian, didapati anak itu sudah merasa bena22 cintanya kepada The Go. Sekalipun pakaiannya sudah basah kuyup dengan air, namun tampak nya seperti tak menghiraukan sama sekali. Malah pada saat itu ia tengah bantu membereskan kain kepala The Go.

„Lian-ji," akhir-nya Ceng Bo siangjin berseru dengan didahului oleh helaan napas yang panjang.

„Ayah, kau mau menyebut aku Lian-ji (anakku  Lian) lagi apa engkau tak marah?" Bek Lian angkat mukanya menyahut.

„Ah, Lian-ji, kalau kau tak berbuat kesalahan besar, tentu aku takkan semarah tadi. Ketahuilah, soal perkawinan itu bukan macam permainan kanak2. Kau hanya 5 hari mengenalnya, mana mengetahui hatinya? Mari ikut pulang dulu, kelak kita rundingkan lagi!"

Girang The Go bukan kepalang. Ini berarti dia diberi jalan lolos, bisa melanjutkan rencananya lagi, kembali dulu ke Hokkian untuk mengambil bantuan tentara. Buru2 dia memberi isyarat dengan ekor mata kepada Bek Lian, agar suka menurut perentah ayahnya itu. Tapi ternyata gadis itu sudah kelebuh didasar laut asmara. Berat sekali rasanya. untuk berpisah dengan sang jantung hati lagi. Maka tanpa sangsi lagi, menyahutlah ia: „Ayah, dalam beberapa hari ini saja, cukup sudah kuketahui bagaimana kecintaan engkoh Go kepadaku. Mengapa harus menunggu beberapa tahun lagi ?"

„Lian-ji, mengajak kau berhamba pada bangsa asing sehingga kau bakal dicaci oleh rakyat sebagai penghianat, itu yang kau namakan menyinta padamu? Kalau tak menunggu beberapa tahun lagi untuk menilik bagaimana perjalanan orang itu, bagaimana kudapat menyerahkan nasibmu kepadanya?" tegur Ceng Bo dengan geram.

Bek Lian terbungkam oleh dampratan tajam dari ayahnya itu. Dia memandang sayu kepada The Go dengan harapan agar sang kekasih itu mencarikan daya. Siapa tahu, The Go malah pura2 tak tahu akan maksud Bek Lian itu, ujarnya: „Apa yang dikatakan siangjin itu tepat sekali. Memang perlu dinantikan, adakah perbuatan The Go nanti dapat dianggap sebagai ksatrya. Lian-moay, tunggulah tiga empat tahun lagi, dan buktikanlah bagaimana peribadiku nanti!"

"Cian-bin Long-kun, dalam usiamu semuda itu, kau sudah memiliki ilmu silat yang bagus. Perjalananmu tentu penuh dengan pengalaman2 yang besar, harap saja kau ber- hati2!" kata Ceng Bo sembari menatapnya.

"Huh, menjemukan sekali imam ini, merusak rencanaku. Kelak kalau ada kesempatan berjumpa lagi, rasai sendiri kau!" The Go mendamprat dalam hati, namun Iahirnya dia bersikap menerima kasih sekali atas nasehat Ceng Bo itu, maka ber-ulang2 dia mengangguk, kemudian menyahut: "Wanpwe akan selalu ingat nasehat siangjin yang berharga itu!"

„Lian-moay, peganglah sendiri tiang ini dan ber- hati2lah!" katanya kepada Bek Lian.

„Tunggu! Cian-bin Long-kun ingatlah, kelak apabila kudengar berita2 buruk tentang dirimu, biarpun kau mengumpat diujung dunia, tetap akan kukejar!" Ceng Bo siangjin memberi peringatan yang terakhir kepada The Go.

Kebencian The Go terhadap siangjin itu, sudah memuncak. Namun karena insyaf bukan tandingannya, terpaksa dia telan perasaannya. Biarkan saja imam itu berkata apa saja, pokok asal dia bisa lolos dulu. Maka ber- ulang2 dia mengiakan saja.

„Engkoh Go, apa kau sungguh2 hendak pergi?"  tanya Bek Lian demi diketahuinya anak muda itu hendak berlalu.

„Mana aku berani melanggar perentah siangjin?" sahut The Go dengan berat hati. Tapi baru saja kata2nya itu keluar, atau tiba2 telah disambut dengan suatu seruan yang tajam menusuk telinga: „Hm, lagi2 ada seorang manusia yang tak berguna, sehingga tegah hati pada orang yang dicintai!"

Seruan yang sinis itu, telah membuat ketiga orang yang berada diatas tiang perahu menjadi tersirap kaget. Yang paling kaget, adalah Ceng Bo siangjin. Sebagai „Hay-tee- kau" atau Naga dari dasar laut, hebatlah kepandaiannya dalam ilmu air, hebat pula dalam ilmunya silat.  Benar ketika itu suasana gempar karena gemuruh ombak, namun tahu2 bisa datang tanpa diketahuinya, lihaylah kepandaian orang itu. Ilmunya mengentengi tubuh pasti jempol sekali. Maka cepat Ceng Bo memandang kearah datangnya suara itu, dan ah, tampaklah seorang wanita bergantungan menggelandot pada tiang perahu yang berada disebelah muka. Rambut wanita itu panjang terlepas, sehingga wajahnya tak dapat dilihat jelas karena hampir ketutupan.  la mengenakan pakaian keper warna abu2. Sedangkan warna rambutnya itupun kusam ke-abu2-an. Kalau hanya sepintas pandang saja, orang bisa keliru menyangka, itulah sebuah layar abu2 yang berkibar pada tiang perahu.

Ceng Bo menggali lubuk pengalamannya didunia persilatan, tapi tetap tak dapat mengenal siapakah wanita berambut panjang itu. „Siapakah ini?" tanyanya.

Wanita aneh itu menyambut pertanyaan orang dengan tertawa ter-kekeh2 seram, hingga membuat bulu roma The Go dan Bek Lian menjadi berdiri. Keduanya sudah kedinginan karena pakaiannya basah kuyup, kini masih menggigillah rasanya.

„Sudah tentu kau tak kenal padaku. Tapi siaoko (engkoh kecil) ini, bukankah anak murid Ang Hwat cinjin dari gereja Ang Hun Kiong di Ko To San?" sahut wanita itu seraya balas bertanya.

The Go melengak. Tiba2 dia seperti kenal suara itu sebagai yang dijumpainya ketika digua tengah rimba dahulu. Kalau dahulu dia hanya merasa aneh dan tak berkesempatan melihat wajahnya, kini hatinya menjadi jeri demi melihat wajahnya. Kalau bukan ditengah hari, mungkin dia akan sudah mengira kalau wanita berambut panjang yang datang perginya tanpa bersuara itu, sebagai sesosok setan. „Hopwe memang begitu," sahutnya ter- sipu2.

Sepasang mata siwanita itu memancar ber-api2, dan sekilas teringatlah The Go, ketika digua dahulu dia telah keliru menyangkanya sebagai sorot mata Bek Lian. Diam2 heranlah dia, mengapa wanita itu bisa datang kesitu sedangnya perahu tengah membentur karang ditengah laut? Dari manakah ia itu? Dan teringat pula akan pengalamannya ketika di Hokciu, pada suatu pagi bertanyalah Bek Lian dengan ke-malu2-an apakah dia (The Go) tadi malam memberinya tutup selimut. Kala  itu dia kira kalau Bek Lian mengigau, maka tak begitu dihiraukan. Kini dia yakin tentu siwanita aneh inilah yang melakukannya. Jadi terang selama perjalanannya dari gunung Hoasan (goa), wanita itu tetap menguntit sebagai bayangan. Mengapa ia berbuat begitu? Mungkinkah ia itu masih terikat hubungan dengan Bek Lian ? Tapi biar bagaimana, kepandaian wanita itu sudah mencapai batas yang sukar diukur dalamnya. Memikir akan kesemuanya itu, diam2 The Go bersyukur bahwa selama dalam perjalanan itu dia tak sampai berbuat yang tak senonoh terhadap Bek Lian serta selalu rukun ber- kasih2an saja.

Karena sudah sekian lama menggelandot pada tiang perahu, maka Bek Lian rasakan tangannya kesemutan. Tidak demikian dengan Ceng Bo siangjin atau The Go yang ilmu silat nya lebih dalam. Karena kecapean, Bek Lian bersandar pada The Go siapapun lalu memegangi pundak sinona.

„Kau  hendak  bersama nona  ini sehidup-semati,

bukan ?" tanya wanita itu pula.

„Kami berdua sudah saling memateri janji "

„Tapi mengapa kau tadi hendak tinggalkan ia?" tanya siwanita memutus omongan orang.

Dalam pikiran The Go yang penuh tipu muslihat itu, segera terkilas sebuah rencana. Wanita itu berbeda fahamnya dengan Ceng Bo, kalau dia adu dombakan supaya bertempur,  tentu  dia akan  memperoleh jalan lolos.

„Locianpwe,"    sahutnya   setelah    mempunyai  ketetapan,

„houpwe se-kali2 tak ingin berpisah dengan Lian-moay. Hanya totiang inilah yang mengatakan kalau tingkah laku houpwe ini kurang baik, maka disuruh menunggu lagi sampai 3 tahun. Karena malu hati, houpwe terpaksa hendak tinggalkan Lian-moay!"

Karena dikatakan manuaia yang tak berguna tadi, maka The Go hendak membela diri dan menimpahkan kesalahan itu kepada Ceng Bo.

"Kutahu, hatimu itu bukannya buruk. Orang muda siapakah yang tak menginginkan kemajuan? Seorang pemuda memang harus berbuat begitu." ujar siwanita itu dengan tertawa dingin. „Hanya sipengecut sajalah yang tak berani mengadu jiwa untuk kepentingan orang yang dicintai nya. !

The Go girang dan terperanjat. Girang, karena faham wanita itu berlawanan dengan si siangjin dan rupanya ilmu kepandaiannya tak dibawah si siangjin itu. Terperanjat, karena dengan kata2 wanita aneh itu telah mengintilnya selama dalam perjalanan tempo hari. Sesaat dia menatap kearah Bek Lian, siapa tampaknya tengah merenung kepada siapakah ia hendak jatuhkan pilihannya: turut ayah atau ikut kekasih? Dalam hati Bek  Lian timbul suatu perasaan aneh. Sejak munculnya siwanita aneh itu, walaupun wajah dan suaranya tak menyenangkan, tapi serasa ia senang sekali mendengarkannya.

Menilik sikap The Go yang begitu menyayang selama berhadapan dengan ancaman sang ayah dan elmaut mati kelelap tadi, Bek Lian sudah mendapat kesan bahwa The Go itu bukan seorang yang culas (palsu) dan pengecut. Walaupun dalam hubungannya dengan The Go nanti ia tentu menerima umpat caci dari orang banyak, namun ia sedia juga untuk mengambil resiko itu. Kini mendengar siwanita aneh itu memuji sang kekasih, sudah tentu ber- lebih2-an syukurnya. Serentak ia dongakkan mukanya kemuka untuk menatap siwanita itu, siapa nyana ternyata si wanita berambut panjangpun tengah memandangnya. Tapi begitu tertumbuk dengan sorot mata siwanita yang ber-api- itu, Bek Lian terbeliak kaget.

Yang paling murka adalah Ceng Bo siangjin. Pertama, kata2 „hanya sipengecut sajalah yang tak berani mengadu jiwa untuk orang yang dicintainya" itu, menusuk sekali ke- hatinya. Kedua, perbuatan khianat dari si The Go oleh siwanita masih dianggap baik. Karena tak kuat menahan hatinya, menyelutuklah Ceng Bo dengan pertanyaannya yang tajam: „Tolong anda memberi pengunjukan. Kalau bersekongkol dengan tentara Ceng untuk memasukkannya ke Kwitang itu masih tak boleh dianggap jahat, nah perbuatan apakah yang baru pantas dinamakan jahat itu?"

Wanita aneh itu ter-kekeh2 mendongak keatas, lalu tundukkan kepalanya. Sewaktu mendongak-tunduk itu, rambutnya tampak kejut kuat sekali. Hal mana telah membuat Ceng Bo heran. „Lwekang dari cabang perguruan manakah yang sedemikian anehnya itu?" pikirnya. Tapi sesaat itu, didengarnya siwanita aneh itu memberi penyahutan: „Kalau seorang lelaki terhadap isterinya saja tak mampu melindungi, adakah dia itu mampu untuk melindungi negara? Segala ocehan yang muluk2 hanya membuat orang tersenyum ewa saja!"

Kaget Ceng Bo pada saat itu, sukar dilukiskan. Tadi sewaktu mendengar „tak mampu melindungi orang yang dicintanya", dia sudah tersinggung. Kini demi mendengar siwanita itu mengucap lagi „tak dapat melindungi isteri", dia makin termenung. Teringat akan kejadian pada 10  tahun berselang, dimana isterinya telah menghilang tanpa bekas, dia ter-longong2 seperti patung. Sebaliknya, siwanita aneh itu kedengaran berkata kepada The Go: „Siaoko, menilik kepandaianmu rasanya kau tentu mampu melindungi orang yang kau cintai, mengapa kau tak lekas2 meninggalkan tempat ini?"

"Banyak terima kasih ...........

Belum lagi The Go dapat mengatakan „cianpwee", atau Ceng Bo sudah menghela napas panjang dan bertanya kepada siwanita: „Bagaimana anda tahu kalau aku tak dapat melindungi isteri?" Siwanita aneh tertawa dingin. Se-konyong2 dia gerakkan tangannya   menebas   tiang  perahu,  krak tiang

perahu itu telah kutung 3 meter panjangnya, begitu disambuti terus dilontarkan keudara. Dan begitu kutungan tiang itu jatuh kehadapannya, ia hantam lagi,  brak............... putuslah kutungan itu menjadi dua, lalu jatuh kedalam laut. Yang paling mengherankan, tebasan kedua tadi sedikitpun tak terdengar suara samberan anginnya. Begitu kutungan tiang itu jatuh kedalam laut, ia terus melesat loncat keatasnya.

Dengan gerak „kim kee tok lip" (ayam emas berdiri dengan sebelah kaki), ia tegak diatas kutungan tiang yang terapung timbul tenggelam itu. Tanpa menghiraukan pertanyaan Ceng Bo, ia berseru kepada The Go: „Mengapa tak lekas2 berlalu ? Dekat dengan orang begitu, apa gunanya?"

The Go tak mau sia2kan ketika sebagus itu. Dengan empos semangat, dia menekan sisa tiang perahu, kemudian meminjam kekuatan tekanannya itu, dia rangkul Bek Lian enjot tubuhnya loncat keatas kutungan tiang yang satunya. Jarak Ceng Bo dengan The Go itu hanya lebih kurang satu meter, kalau mau dapat dia menghadang. Tapi karena masih ter-menung2 memikiri dampratan siwanita aneh „tak mampu melindungi isteri" tadi, pikirannya me-layang2 jauh pada pada peristiwa 10 tahun yang lalu.

10 tahun yang lalu, Ceng Bo siangjin masih sebagai Bek Ing yang bergelar Hay-tee-kau. Dengan In Hong yang bergelar Kiang Siang Yan (seriti diatas sungai), sebenarnya adaIah suheng dan sumoay (saudara seperguruan). Karena sama saling jatuh cinta, keduanya terangkap menjadi suami isteri sampai 10 tahun lamanya. Mereka dikarunia seorang puteri, Bek Lian, yang itu waktu sudah berumur 9 tahun. Ketika itu Kiang Siang Yan In Hong sudah hamil lagi. Sejak sepasang suami isteri itu menerima kepandaian dari suhu dan subo, mereka berkelana didunia persilatan untuk menjalankan dharma kebajikan. Selama itu, belum pernah mereka menemui tandingannya.

Pada kala itu, mereka telah keliru diadu domba oleh dua orang siaojin, maka bertempurlah keduanya melawan Tay Siang Siansu dari gereja Liok-yong-si Kwiciu (guru Kiau To). Pertempuran itu telah berlangsung dengan seru sekali, hingga sampai satu hari dua malam belum putus. Baru setelah Bek Ing mengeluarkan ilmu pedang to-hay-kiam- hwat dan In Hong menggunakan ilmu pedang boan-kiang- kiamhwat dan berkat ketajaman pedangnya masing2 yang sakti itu, dapatlah mereka mengalahkan hweshio gagah itu. Tapi walaupun menang, mereka telah mengalami pengalaman yang pahit. Karena keliwat menggunakan kekuatan, kandungan In Hong goyang dan akhirnya mengalami keluron (gugur kandungan). Dan karena  keluron itu, In Hong banyak mengeluarkan darah, hingga badannya lemah sekali. Untuk sementara, terpaksa mereka menetap disebuah pondok dikaki gunung Lo-hou-san guna beristirahat. Setiap hari, Bek Ing naik ke atas gunung untuk mencarikan daun obat2an sang isteri.

Tapi peristiwa hebat telah terjadi. Pada suatu hari, ketika Bek Ing pulang dari mencari obat, dilihatnya pintu pondok (gubuk) terbuka lebar, sedang penerangan didalamnya tampak sebentar suram sebentar terang. Dia terkejut karena menduga tentu terjadi apa2 yang tak diinginkan. Secepat kilat dia menobros masuk. Seorang tua kate yang rambut dan alisnya sudah putih tampak sedang menyeringai memandang In Hong. Demi menghampiri dekat, diketahuinya sang isteri itu telah kena ditutuk jalan darahnya sampai pingsan. Buru2 Bek Ing membuka jalan darah sang isteri, siapa tak antara lama kemudian dapat siuman lagi.

Sewaktu ditanya, orang kate itu ternyata seorang linglung, maka tanpa bicara lagi Ceng Bo menempurnya. Tapi kiranya orang tua kate itu „keras" sekali, hinggi sampai sekian lama, belum bisa menang malah akhirnya musuh dapat lolos. Pertempuran itu terjadi diluar pondok. Sia2 mengejarnya, Ceng Bo kembali kedalam pondok, tapi isterinya sudah menghilang. Cepat dia mencarinya, namun tak berhasil. Sejak itulah dia berpisah dengan sang isteri, hingga kini sudah 10 tahun lamania.

„Adakah aku dapat dikatakan seorang yang tak mampu melindungi isteri? Peristiwa itu diluar dugaanku, serta setelah pulang dari atas gunung baru kupergoki, mengapa aku dituduh 'hanya orang pengecutlah yang tak berani mengadu jiwa untuk kepentingan orang yang dicintainya'?" demikian tanyanya seorang diri. Sampai sekian lama, tak dapat dia menjawab pertanyaannya itu. Baru setelah segelombang ombak mendamparnya, dia menjadi gelagapan tersedar. Dia mengawasi kemuka, tapi ternyata The Go, Bek Lian serta siwanita aneh tadi sudah lenyap dari pandangannya.

Dia perdengarkan hembusan napas panjang. Jauh memandang kelautan lepas, air laut bercahaya ke-emas2-an ditimpa pancaran sinar Batara Surya, sekilas hatinya jauh me-layang2. Selang berapa saat kemudian, baru dia tersadar dan cepat- menabas tiang perahu. Sewaktu dia injak kutungan tiang itu, dia merandek sebentar untuk  mengawasi sisa tiang perahu lainnya yang bekas ditabas oleh siwanita aneh tadi. Demi melihat bekas tabasan itu, mau tak mau dia geleng2 kepala.

Kiranya sisa tiang itu, ujungnya seperti ditabas rata dengan golok. Menandakan bahwa sekalipun ilmu kepandaiannya dengan siwanita aneh itu setingkat, tapi berlainan sumbernya. Habis itu, Ceng Bo segera meluncur dengan kutungan tiangnya, tapi bingung dia hendak menuju kemana.

---oodw0tahoo---

Kini mari kita ikuti perjalanan The Go dengan Bek Lian. Sewaktu kutungan yang ditumpanginya Au timbul tenggelam. The Go yang membopong Bek Lian itu sudah gulangguling tak dapat berdiri jejak. Sebaliknya dilihatnya bagaimana siwanita aneh itu begitu anteng menumpaki kutungan tiangnya. Bagai sebatang anak panah,  ia meluncur kearah utara. Tahu kini The Go, bahwa Iwekang dari siwanita aneh itu telah mencapai tingkat yang tertinggi hingga dapat menyalurkan kedalam air melalui sang kaki. Hanya The Go merasa bersyukur demi tampak Ceng Bo masih tertegun berdiam diri. Sekalipun begitu, dia masih kuatir juga kalau siangjin itu akan mengejarnya. Dan kalau kejadian begitu, terang dia pasti bakal kecandak.

"Lian-moay, coba keluarkanlah lwekangmu, sebaiknya kita terjun kedalam air saja," katanya setelah memperoleh daya. Bek Lian menurut. Begitulah keduanya kini tak berdiri diatas kutungan tiang itu lagi, tapi terjun keair seraya merangkul erat2 pada tiang itu. Ilmu air dari The Go amat lihay, sekali kakinya menjejak kebelakang, maka meluncurlah tiang itu dengan pesatnya kemuka. Tak berapa saat saja, mereka sudah jauh dari perahu tadi. Taruh kata Ceng Bo siangjin sudah teringat hendak mengejarnya, pun rasanya tak mudah.

Dengan cara berenang begitu, menyurung sebuah kutungan tiang yang digelandoti oleh Bek Lian, lama kelamaan payah juga The Go. Akhirnya dia berhenti mengayuhkan sang kaki, dengan menggelandot pada tiang kayu tersebut, dia hendak memulangkan napasnya yang ter- sengal2. Melihat itu, Bek Lian tak tegah, katanya: „Engkoh Go, jangan gunakan tenaga lagi, biarkan tiang kayu ini berayun sendiri. Asal kita ber-sama2 apapun tak usah ditakuti bukan?"

Hati The Go pada saat itu, tengah mendongkol sekali. Bukankah kalau karena tidak gara2 Bek Lian, saat itu dia sudah enak2 duduk dikursi kebesaran gedung gi-bun di Kwiciu? Masakan dia bakal mengalami keadaan seperti kala itu, ter-apung2 ditengah laut mati tidak hidup tidak? Tapi dia bukan si Wajah Seribu, kalau tak pandai bermain sandiwara dalam segala keadaan. Biar hatinya mendongkol, mulutnya tetap tak mau sesali Bek Lian. Per-tama2 takut kalau siwanita aneh akan muncul dengan tiba2, kedua dia masih tetap inginkan kecantikan sinona itu. Maka  dia hanya mengiakan sekenanya saja, tapi hal itu sudah cukup membuat Bek Lian bergirang.

---odw0taho---

Kala itu adalah pertengahan bulan 11. Angin meniup keras, sedang ombakpun bergelombang, tapi karena keduanya menggunakan lwekang, jadi masih dapat bertahan dingin. Keesokan harinya, matahari muncul dari permukaan cakrawala timur dengan membawa cahaya ke- emasan yang gilang gemilang. Semalam mereka tidur secara gilir. Ketika terang tanah, mereka merasa haus sekali. Saking tak kuatnya, The Go komat kamitkan bibirnya yang kering itu. Diempat penjuru berpagar laut, sedikitpun tiada tampak bayangan daratan. Segera The Go mengambil putusan robah haluan, menuju kearah utara. Turut suara hatinya, dia ingin sekali tinggalkan Bek Lian, namun tak berani demi terbayang akan wajah siwanita aneh yang menakutkan itu. Terpaksa dengan menggigit gigi, dia berenang lagi, kemudian setelah kecapean lalu menggelandot pada tiang kayunya.

„Engkoh Go, apa kau haus?" tanya Bek Lian seraya mengusap2 pipi The Go, siapa hanya mengangguk saja.

„Engkoh Go, kemarilah lebih dekat." Karena tak mengerti maksud orang, The Go hanya menurut saja. Tahu2 tangan Bek Lian menekan tengkuk The Go, begitu muka sianak muda condong kepadanya, ia lekas katupkan bibirnya kemulut sianak muda. Sesaat The Go rasakan seperti menyucup anggur yang manis, cukup keras tapi tak memabukkan. Lupalah sudah dia, kalau pada saat itu tengah berada ditengah lautan. Rasanya dia tengah me- layang2 dikeinderaan (tempat dewa dewi), seluruh perasaannya dibuai oleh rasa yang sedap.

Entah sampai berapa lama mereka dalam  keadaan begitu, baru tiba mereka tersadar kalau masih ditengah lautan. Selebar wajah Bek Lian merah padam, ia tundukkan kepalanya berdiam diri.

„Lian-moay, seperti diriku si The Go ini, dalam kehidupan yang sekarang telah mendapatkan kasih seorang juwita seperti kau ini, rasanya matipun puas!" kata The Go.

Bek Lian makin ke-malu2an, tanyanya: „Engkoh Go, apa kau sudah tak haus?"

Melihat wajah Bek Lian makin malu makin cantik, The Go puas sekali. Semangatnya timbul kembali, lalu berenang lagi menuju keutara, katanya kepada Bek Lian: „Aku hendak bercerita lelucon agar hatimu terhibur, maukah kau mendengar?"

„Lelucon apa?"

„Cerita lucu tentang orang yang takut bini." “Bah, aku tak sudi mendengarkannya."

„Bodoh, tanggung kau nanti akan ketarik sampai lupa haus dan lapar."

Bek Lian bersenyum manis menatap The Go. Pikirnya, asal kau berada didampingku, segala penderitaan aku sang- up menghadapi. „Berceritalah!" sahutnya kemudian.

Setelah mengomat-ngamitkan lidahnya, mulailah The Go bercerita: „Dahulu ada seorang Koanthayya (residen) yang terkenal takut bini. Pada suatu hari, timbullah pikirannya hendak mengetahui, ada berapakah kaum lelaki yang takut bini seperti dia itu. Maka diperentahkan pada pegawai2 bu (pengawal) dan hamba polisi sekalian, untuk menghadapnya.

„Kalian semua tentu mengetahui, pun-loya (aku) takut bini. Sekarang hendak kuketahui, bagaimanakah keadaan kalian semua itu. Kalau yang takut bini, supaya berkumpul disisi kanan, sedang yang tidak takut bini, berjajar disisi kiri!"

3 Dengan kutungan tiang perahu, The Go dan Bek Lian terombang-ambing ditengah lautan sambil mengobrol hal yang lucu2.

Maka berpencarlah seluruh pegawai gedung keresidenan Itu. Anehnya, semua sama berbaria disisi kanan, kecuali seorang saja yang menyisih kesebelah kiri.

Mendengar sampai disini, Bek Lian jebikan bibirnya seraya tertawa: „Pegawai itu tentu tak takut ..............

bininya?"

„Jangan buru2 memutus, dengarkan dulu ceritaku," kata The Go. „Nah, timbullah kesangsian dalam hati siresiden itu. Aku seorang residen takut bini, mengapa dia seorang pegawai rendah begitu bisa berani pada bininya?" demikian pikirnya. Maka dengan gebrakkan palu kebesarannya, dia bertanya: „Hai, mengapa kau tak takut bini?" Berlututlah sipegawai tadi berdatang sembah: „Maaf, Koanthayya. Bukannya siaojin hendak menentang perentah thayya tadi, tapi karena siaojin selalu melaksanakan pesan atasan hamba, bahwa dimana banyak orang berkumpul, siaojin jangan turut berkerumun disitu. Maka tadipun siaojin tak berani ikut2-an menggerombol disebelah kanan."

Belum The Go menyelesaikan ceritanya, Bek Lian sudah tak kuat menahan gelaknya. „Kau sungguh pintar mengilik hati orang!" serunya sembari menggablok pelan2 kepunggung sianak muda, siapapun turut tertawa juga. Begitulah dengan menutur cerita yang lucu2, mereka tak putus2-nya tertawa gelak2, sehingga benar juga dapat melupakan rasa dahaga dan laparnya. Dan tahu2  hari sudah sore, karena matahari sudah berada  dipermukaan laut sebelah barat. Se-konyong2 The Go bersorak kegirangan. Ha, kiranya jauh dimuka sana tampak selarik benda hitam. Bek Lian melihat juga bends, itu, tapi heran ia mengapa The Go begitu kegirangan. Tapi bagi The Go yang sudah biasa hidup dilaut, segera mengetahui kalau bends, itu adalah daratan yang menurut taksirannya hanya antara 30-an li jauhnya. Diketahuinya pula bahwa kala itu adalah saat air pasang, maka dalam dua jam saja, mereka tentu akan sudah dapat mencapai daratan itu. Ketika The Go menerangkan, Bek Lian pun girang bukan kepalang. Sesaat timbul harapannya, semangatniapun segar kembali.

Apa yang diperhitungkan oleh The Go itu, sedikitpun tak ada yang meleset. Ketika sudah mendekati daratan, The Go menyelam kebawah dan ternyata kakinya sudah mengenai dasar karang. Kini dengan memimpin Bek Lian, separoh berjalan separoh berenang, dia akhirnya berhasil naik kedaratan.

Saat itu rembulanpun sudah unjukkan wajahnya, angin menghempuskan kesejukan malam. Kalau tadi terendam diair tidak terasa dingin, kini begitu naik kedaratan dan tertiup angin, menggigillah keduanya. The Go segera ajak sinona berlari mencari rumah orang. Kirai setengah li jauhnya, baru kelihatan ada beberapa bush gubuk yang terletak ditepi pesisir. Setelah memilih yang agak lumayan, mereka masuk kedalam salah satu gubuk. Untuk kegirangan mereka, disitu penuh dengan alang2 kering dan masih beberapa makanan serta perapian. Tanpa berayal lagi, mereka segera menghidupkan api, untuk memanaskan badan. Pada lain gubuk didapatinya masih ada beberapa bahan makanan..

Setelah menangsel perut dan pakaiannya pun kering, Bek Lian menyatakan cape dan ngantuk sekali. The Go segera membuat tempat tidur dengan menumpuk alang2. Setelah menyuruh Bek Lian tidur, dia melangkah keluar. „Engkoh Go, kau hendak kemana?" tanya sigadis.

The Go mengatakan hendak tidur dilain gubuk, tapi Bek Lian cepat menyegahnya: „Engkoh Go, kau tidur didekatku sini saja." The Go mengiakan. Saking lelah dan capenya, begitu berbaring keduanya lantas jatuh pulas.

Keesokan harinya, menjelang fajar Bek Lian bangun dan menangis sesenggukan, sudah tentu The Go ter-sipu2 menghiburnya. „Entahlah mengapa aku menangis. Sebenarnya hatiku bahagia sekali, tapi mataku ingin menangis," ujar Bek Lian.

„Itulah yang dikatakan, kalau keliwat girang orang bisa bersedih."

"Apa katamu?" menegas Bek Lion.

"Aku maksudkan, karena keliwat girang kau lantas menangis"

Plak, terdengar tangan Bek Lian menggaplok sang kekasih, disusul dengan gelak tertawa sinona yang riang bahagia. Begttulah mereka tidur lagi, hingga hari sudah tinggi, baru mereka terjaga. Melihat The Go, Bek Lian ke- merah2an wajahnya, tapi sebaliknya sianak muda itu tertawa riang lalu berbangkit keluar. Bek Lian mengikut, wajahnya membayangkan perasaan hatinya yang berbahagia.

Sebagai bajak laut, sebenarnya The Go faham akan pulau2 yang terdapat dilautan. Tapi tentang pulau yang ditempati itu, dia sungguh tak tahu namanya. Sampai sekian lama berjalan, keduanya masih belum menjumpai barang seorangpun juga. Hanya jauh disana tampak beberapa ekor rusa ber-larian2 diantara batu karang pegunungan. Nyata pulau itu sebuah pulau kosong. „Lian-moay, pulau ini tak didiami orang."

"Engkoh Go, asal bersama kau, aku tak hiraukan lain orang lagi."

The Go kerutkan keningnya. „Kita harus membuat api unggun dipulau yang tak kuketahui namanya ini. Akupun perlu mencari makanan, agar kita jangan kelaparan!" kata The Go, suara siapa mengunjukkan kejengkelan hatinya.

Tiba2 terlihat didepan sana ada dua ekor rusa, cepat The Go sambitkan dua butir batu, tapi aneh, binatang Itu ternyata diam saja.

Berjalan lagi tak berapa lama, tiba2 disebelah muka tampak ada dua ekor rusa 'ciang' (sejenis rusa yang tak bertanduk). Rusa itu tingginya hampir satu meter, dagingnya gemuk. Begitu melihat orang, binatang itu mengobat-abitkan kepalanya, namun kakinya  serasa terpaku ditanah tak dapat lari. Melihat itu, The Go tak mau sia2kan kesempatan bagus. Kalau kedua ekor rusa itu dapat ditangkapnya, berarti cukup untuk ransum lima enam hari. Maka dijemput dua butir batu terus ditimpukkan kearah kepala sibinatang. Aneh, binatang itu tak mau menghindar maka timpukan The Go yang dahsyat itu segera mengenakan kepalanya. Kepala binatang itu segera terkulai dan lehernya lentuk. Tapi anehnya, walaupun terang sudah hampir binasa, namun kaki kedua binatang itu masih tetap seperti terpaku ditanah.

---oodw0tahoo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar