Naga dari Selatan BAGIAN 05 : ANTARA CINTA DAN BENCI

 
BAGIAN 05 : ANTARA CINTA DAN BENCI 

Tengah Ki Cee-tiong men-duga2 adakah yang maju ke luitay itu sinona genit Yan-chiu tadi dan belum lagi dia mendongak mengawasinya, atau dari samping kedengaran suara mengguntur dari Tio Jiang: „Keledai gundul, jangan menghina suciku!" Dia terus melesat kemuka. Dari caranya meloncat itu, terang seperti orang menyerbu dengan kalap.

Suasana menjadi tegang. Kiranya yang pertama melesat kemuka tadi adalah Bek Lian. Gadis yang beradat tinggi itu tanpa dapat dicegah sang ayah, telah maju dengan menghunus pedangnya. Tubuh yang langsing gemulai dari sinona cantik itu ketika tiba diatas panggung bagaikan sebatang pohon liu yang bergoyang gontai. Orang mengira kalau sinona itu tak dapat berdiri dengan jejak. Tapi bagi seorang akhli tentu cukup mengetahui bahwa sinona itu sedang menggunakan jurus ilmu mengentengi tubuh yang disebut „hong pay lian hwa", angin menggoyang bunga terate. Orangnya berparas cantik, tubuhnya langsing gemulai, maka gerak lambaiannya yang sedemikian luwes indah itu, mengaburkan pandangan orang kalau ia itu seorang bidadari yang turun dari kahyangan. Hal mana telah membuat seluruh penonton menjadi ter-longong2 kesima! Malah ada sementara orang persilatan yang tergolong kaum pelesiran, sudah serentak mau tampil melayaninya.

„Lian suci," kata Tio Jiang yang ketika itu sudah berdiri dimuka Bek Lian, „kau bukan tandingannya hweeshio itu. Lekas turun, biarkan aku yang menghadapinya!"

Oleh karena tadi Yan-chiu telah memperoleh kemenangan atas salah seorang hweeshio itu, sudah tentu Bek Lian tak percaya nasehat suteenya itu. Dengan mendongkol dia ancam suteenya: „Sutee, kau mau menyingkir tidak?" Biasanya Tio Jiang selalu menurut segala perintah sucinya, tapi kali ini demi untuk keselamatan sucinya itu, dia membandel, serunya: „Suci, kau turunlah!"

Karena tak pandai bicara, jadi beberapa kali dia hanya mengulangi permintaannya „suci, kau turunlah" itu saja. Suasana ketika itu menjadi gemuruh. Belum pernah terjadi dalam sejarah perkelahian diluitay, bahwa ada dua orang yang ribut mulut menyuruh turun kawannya. Bermula para penonton itu terpikat akan kecantikan Bek Lian, tapi kini mereka menjadi gaduh tak keruan. Ada yang bersorak2 dan ada pula yang tertawa keras. Tio Jiang sih tak peduli akan sorak teriakan orang itu, asal dia bisa mencegah sucinya. Tapi Bek Lian yang beradat tinggi itu. asking malunya menjadi murka. Dengan banting kaki, dia mengancam:

„Sutee, kalau kau masih tetap membandel,mungkin aku lupa dirimu itu siapa!"

Sampai disini, Tio Jiang kewalahan. Dengan menghela napas, dia segera loncat turun kebawah. Namun tanpa menghiraukan tertawaan orang, dia berdiri dipinggir luitay situ. Selama kedua saudara seperguruan itu ribut mulut, To Ceng dan To Bu se-olah2 tak mau mendengarinya. Baru setelah Tio Jiang menyingkir turun, To Ceng segera maju selangkah hendak bicara. Tapi se-konyong2 dari bawah luitay terdengar orang berseru: „Tianglo, tahan, biarkan aku yang melayani nona itu!"

Berbareng dengan seruannya, orangpun sudah melayang keatas. Begitu menginjak papan luitay, orang itu segera mengawasi sinona tanpa terkesiap. Orang itu rambutnya kelimis, mukanya bedakan. Sekali lihat tahulah Bek Lian kalau orang itu tentu bangsa tukang „petik bunga" (suka cemarkan kehormatan gadis/wanita baik2). Dalam kebatinan, Bek Lian sudah benci bangsa begitu, apalagi ia tak tahu akan tata kesopanan persilatan, begitu gerakan pedang ia sudah terus akan menyerang. Orang itu buru2 rangkapkan kedua tangannya memberi hormat seraya mengucapkan rangkaian kata2 yang halus: „Siapakah nama nona yang mulia?"

„Apa peduli denganmu? Naik kepanggung bertanding, mengapa tanyakan nama orang?" Bek  Lian delikkan matanya.

“Nona sungguh pemarah, aku yang rendah ini adalah Hun-ouw-tiap Lim Ciong, hendak mohon pengajaran nona."

Hun-ouw-tiap atau Kupu2 Berbedak Lim Ciong memang bangsa tukang „petik bunga", tapi kepandaiannya biasa saja. Melihat orang itu, To Ceng dan To Bu kerutkan keningnya. Tapi karena orang sudah mendahuluinya, Merekapun tak dapat berbuat apa2, lalu loncat turun kebawah.

„Sudah tak ada yang merintangi lagi, kita boleh mulai!" kata Hun-ouw-tiap.

Kata2 itu kurang ajar sekali, maka meluaplah kemarahan Bek Lian. Ia menyerangkan pedangnya dengan jurus „Tio ik thian hay", pentang sayap mengisi laut, salah satu jurus dari ilmupedang To-hay-kiam-hwat. Ilmu pedang itu Bek Lian hanya pelajari sampai 4 jurus saja. Tapi karena sejak kecil ia sudah belajar silat, jadi mempunyai dasar yang bagus sekali. Walaupun hanya 4, tapi dapat dipelajari dengan sempurna. Sari keindahannya pun dapat difahaminya dengan jelas.

„Nona, kau yang mulai dulu?" Lim Ciong tertawa lepas tanpa membalas.

Kemarahan Bek Lian makin menjadi. Serangan yang partama belum selesai, ia sudah susuli lagi dengan dua buah lainnya yakni dari jurus „Boan thian kok hay" dan  ‘ching wi thian hay". Untuk serangan pertama tadi, Lim Cong sudah setengah mati menghindarinya. Demi nampak serangan kedua datang, dengan sibuknya dia segera gunakan jurus „thiat pan kio" (jembatan gantung besi), tubuhnya diayunkan membalik kebelakang untuk menghindari. Tapi tanpa tarik pulang pedangnya, Bek Lian segera balikkan pedangnya untuk melancarkan serangannya yang ketiga itu.

Sesaat itu Lim Ciong rasakan hawa angin pedang yang dingin sekali, buru2 dia hendak tarik senjata poan-koan-pit yang terselip dipunggungnya, tapi sudah terlambat. Tangannya kiri terasa nyeri, sakitnya sampai menusuk  keulu hati, lengannya kiri itu ternyata telah dibabat kutung oleh Bek Lian. Seketika itu, pandangan Hun-ouw-tiap menjadi gelap, tapi Bek Lian masih tak puas. Memburu maju, ia terus akan membacok lagi, tapi „tring" se- konyong2 sebuah thiat-lian-cu (senjata rahasia macam biji terate) telah menghantam batang pedangnya hingga tangan Bek Lian serasa kesemutan dan hampir2 melepaskan pedangnya. Terpaksa ia loncat mundur. Tapi berbareng saat itu, kedengaran pula suara mengaung. To Ceng hweshio dengan berduduk diatas damparnya, tampak melayang keatas panggung. Dan begitu tiba dipanggung, dia terus menghantam kearah Bek Lian. Bek Lian ter-sipu2 menangkis dengan pedangnya. Tapi sementara itu tangan kiri To Ceng sudah mencekal Lim Ciong, lalu dilemparkan kebawah.

Karena sebelah lengannya sudah terkutung, begitu dilempar kebawah, darahnya muncrat kesana sini memenuhi lantai panggung itu. Dibawah luitay, To Bu sudah siap menyambutinya, diserahkan pada kawan2 Lim Ciong untuk diobati. Kini kita balik mengikuti keadaan diatas luitay. To Ceng segera mendapatkan bahwa ilmu pedang sinona itu cukup lihaynya, sehingga ilmu pukulan thiat-sat-ciangnya tak dapat berbuat apa2 Maka tertawalah dia mengejek: „Entah dimanakah orang2 Thian Te Hui, mengapa mengajukan barisan wanita? Ha, ha, lucu benar !"

Tapi dalam tertawanya mengejek itu, wajah To Ceng tak berobah, tetap pucat seperti mayat. Sewaktu menangkis pukulannya tadi Bek  Lian sudah merasa hweshio itu

„keras" sekali, maka diam2 dia merasa heran mengapa tadi Yan-chiu bisa menangkan sute sihweshio itu. Tapi sembari berpikir begitu, ia balas menusuk dada lawan.

To Ceng masih tetap duduk diatas damparnya. Begitu ujung pedang menusuk, dia tak berani berayal. Secepatnya berbangkit, dia congkelkan ujung kakinya kedampar, dan melayanglah dampar itu seperti terbang kearah Bek Lian.

Bek Lian anggap, walaupun menggunakan Iwekang tapi karena itu hanya sebuah dampar, maka tak perlu ditakuti. Maka diapun tak mau menyingkir, melainkan siap gunakan jurus „Ho Pek kuan hay", pikirnya, tentu dapat membelah dampar itu kemudian hendak dilemparkan kebawah luitay. Tapi mana ia tahu akan kelihayan dampar itu yang dapat digunakan sebagai suatu senjata rahasia yang ampuh.

Sepintas panjang, dampar itu merupakan sebuah tikar duduk yang biasa saja. Tapi sebenarnya benda itu terbuat daripada bulu suri kera gin-lok-kauw (kera bulu hijau perak) keluaran istimewa dari gunung Cap-ban-tay-san (gunung seribu). Lemas dan ulatnya bukan kepalang, dapat bertahan segala macam bacokan senjata. Tapi karena To Kong memandang remeh pada Yan-chiu, dia sudah tak gunakan damparnya. Kalau dia gunakan dampar itu, walaupun lawan dibantu oleh tokoh lihay, namun tak semudah itu Yan-chiu mendapat kemenangan. Biasanya apabila ketiga hweshio itu maju dalam pertempuran, mereka tentu dudiilc bersila diatas damparnya. Baru kalau menghadapi lawan kuat, mereka akan berbangkit dan menendang dampar itu kearah lawan. Sembilan (9) dari sepuluh (10) bagian, lawan pasti celaka.

Jurus itu dinamai „siu-Ii-kian-gun" atau dunia didalam lengan baju.

Sebagai anak yang masih hijau, sudah tentu Bek Lian tak mengetahui hal itu. Begitu pedangnya menyentuh dampar dan baru saja ia hendak memapaskan kemuka, atau ia telah terbentur dengan sebuah tenaga dahsyat hingga lengannya serasa kesemutan. Dalam gugupnya ia hendak cekal kencang2, agar pedangnya jangan sampai terlepas,  tapi pada lain saat „krak" terdengar logam meretak dan pedangnya itu telah patah dibentur dampar To Ceng hweshio.

Tak terkira terkejutnya Bek Lian, sedang pada waktu itu dampar menjadi miring melayang disampingnya. Samberan anginnya saja telah membuat Bek Lian sempoyongan dan To Ceng melesat maju. Tangannya kiri menyawut dampar, tangannya kanan menghantam dada Bek Lian. Dalam gugupnya, Bek Lian menangkis sembari loncat kesamping.

Dengan tertawa ter-kekeh2 To Ceng mengejar. Dalam dua jurus saja, Bek Lian sudah keripuhan sekali bertahan. Kiau To dan Yan-chiu yang mengawasi dibawah luitay, sama kucurkan keringat dingin. Sebaliknya wajah Ceng Bo tetap keras. Benar dia teramat kasihnya kepada sang puteri ini, tapi sebagai orang persilatan yang tahu diri, tak mati dia maju menolong. Karena dengan berbuat begitu, dia pasti akan ditertawai orang. Kiau To yang akan turun tanganpun dicegah oleh Ceng Bo Siangjin. Dengan hanya bersenjata pedang kutung, gerakan Bek Lian menjadi kaku. Apalagi memang kepandaiannyapun masih dibawah To Ceng. Satu2nya jalan, ia hanya andalkan ilmunya mengentengi tubuh berlincahan kian-kemari. Jadi ia hanya bertempur untuk menghindari diri. Sebaliknya To Ceng makin garang. Tangan kiri dampar, tangan kanan melancarkan pukulan lwekang thiat-sat-ciang. Lewat beberapa jurus lagi, rangsekan To Ceng makin menghebat, sehingga kalangan untuk menghindarkan diri dari Bek Lian, makin lama makin sempit. Dari satu  tombak, makin menciut sampai dua tiga meter saja.  Dapat dipastikan, dalam beberapa jurus lagi To Ceng pasti berhasil. Bek Lian kalau tidak binasa terkena thiat-sat-ciang tentu akan terluka berat terhantam dampar.

Diantara orang2 yang cemas menyaksikan keadaan sinona itu, adalah Tio Jiang yang paling gelisah sendiri. Tadi sewaktu pedang sucinya itu kutung, sebenarnya ia hendak maju. dan ketika Bek Lian dalam bahaya itu, dia sudah dekat dipinggiran luitay. Dari situ kalau mau dia bisa loncat keatas. Dengan 7 jurus ilmu pedang To-hay- kiamhwat yang baru dipelajarinya itu. Walaupun belum tentu bisa menang, dengan kekuatan dua orang, rasanya dapatlah mereka bisa mundur dengan selamat. Tapi demi teringat akan kata2 pedas dari Bek Lian tadi. dia agak bersangsi. Jangan2 kalau dia maju membantu, nanti didamprat lagi oleh sang suci.

Berapa saat lagi, kembali terdengar To Ceng tertawa dingin. Dampar di-putar2 sehlngga menerbitkan deru angin yang dahsyat. Bek Lian tampak agak sempoyongan. Maka buru2 ia mundur 3 tindak kesamping. Tapi To Ceng tetap membayangi. Tangannya kanan diangkat keatas, jarinya dibuka, sehingga nampak telapakannya yang ke-hitam2an warnanya, lalu diayunkan menampar kepala Bek Lian. Hendak Bek Lian menyingkir, tapi terhadang oleh dampar yang ber-putar2 itu. Dengan begitu, jalan  untuk menghindar, sudah tertutup. Kini Bek Lian sadar, bahwa ajalnya tak dapat dielakkan lagi. Dengan menarik napas panjang, dia meramkan mata menunggu ajal. 

Adalah dalam saat2 yang berbahaya itu, tiba2 Bek Lian rasakan ada serangkum angin menderu, kedahsyatannya lain dengan sihweeshio. Cepat Bek Lian buka matanya dan samar2 dilihatnya ada sesosok bayangan menghadang dihadapannya, malah dengan ulurkan sepasang tangannya orang itu telah memeluknya erat2. Begitu mundur selangkah, To Ceng segera menghantam. Dengan ter-putus2 orang itu merintih: „Lian suci…… aku naik…… kemari lagi…… jangan kau sesali……!"

Berbareng dengan ucapannya, orang itupun roboh. Tapi oleh karena tangannya masih memeluk erat2 maka Bek Lian terbawa jatuh juga. Sewaktu diamatinya, ternyata orang yang membuang jiwa untuknya itu, bukan lain adalah suteenya sendiri. Napas Tio Jiang sudah lemah, matanya meram melek, rupanya dia terluka berat. Mau tak mau Bek Lian berterima kasih atas pengorbanan itu. Juga Ceng Bo yang mengetahui hal itu, tergerak hatinya. Dalam peraturan luitay, apabila sudah diketahui menang kalahnya, orang boleh maju menolong yang terluka. Maka dengan bersuit, Ceng Bo apungkan diri keatas panggung.

Suitan itu mempunyai daya seperti mampu membelah batu, lengking kumandangnya amat tajam. Orang2 persilatan yang berada disitu, sama terperanjat. Juga To Ceng terkesiap. Teringat dia pada 20 tahun yang lalu didunia  persilatan  ada  seorang  tokoh  kenamaan  bergelar

„Hay-te-kau" (naga dari dasar laut) pada setiap kali bertempur tentu lebih dahulu mengeluarkan suitan yang panjang  begitu.  Mungkinkah  tokoh itu  muncul  pula pada saat itu? Karena menduga begitu, To Ceng mundur selangkah untuk bersiap. Tapi begitu naik dipanggung, Ceng Bo tak hiraukan sihweeshio, melainkan menghampiri kepada Tio jiang untuk memberi pertolongan dengan menutup jalan darahnya.

Melihat ayahnya datang, dengan muka ke-merah2an Bek Lian meronta dari pelukan Tio Jiang. Setelah berdiri, ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ceng Bo angkat tubuh Tio Jiang seraya membentak pada Bek Lian: „Mengapa tak lekas turun!"

Dengan ke-malu2an Bek Lian segera turun dari luitay. Setelah mengangguk sedikit pada To Ceng, Ceng Bo siangjin segera angkat Tio Jiang kebelakang luitay orang Thian Tee Hui. Tio Jiang diletakkan diatas pembaringan, lalu dibuka bajunya. Ternyata pada pundak Tio Jiang, terdapat sebuah bekas telapak tangan yang berwarna hitam. Bekas2 kelima jari nampak dengan jelas, melekuk kedalam daging. Sedang kulit disekelilingnya berwarna semu biru, kalau dipijat dengan tangan, turut melesak kedalam tak bisa membal balik lagi. Tahulah Ceng Bo bahwa thiat-sat-ciang berbeda dengan thiat-sat-ciang biasa. Bukan saja disertai dengan lweekang yang kuatpun tangannya itu mengandung racun yang dapat disalurkan begitu menyentuh tubuh musuh. Kalau tadi Ceng Bo tak lekas menutup jalan darah supaya racun itu tak menjalar, walaupun mendapat pertolongan obat dewa sekalipun, tetap Tio Jiang takkan dapat tertolong jiwanya.

Tampak luka muridnya begitu parah, kening Ceng Bo Kelihatan mengerut dalam. Yan-chiu menjerit dengan suara tertahan seraya memandang kearah Bek Lian, siapa kelihatan tundukkan kepalanya. Kiau To mengambil  sebuah kotak emas, begitu tutupnya dibuka, lalu menyiarkan bau yang amat harum sekali. Dari dalam peti diambilnya sebutir pil sebesar kuku jari, terus menghampiri kesamping Tio Jiang. Mulut pemuda itu terkancing rapat, Ceng Bo segera mencangarnya dan Kiau To lalu memasukkan sekaligus 4 butir pil.

„Bek-heng, pil ini adalah buatan guruku Tay Siang  tamsu. Meskipun entah bisa memunahkan racun itu atau tidak, tapi melindungi jantung orang," kata Kiau To.

Ceng Bo siangjin mengiakan, lalu duduk bersila. Tak lama kemudian, dia berbangkit lagi, lalu me-raba2 punggung Tio Jiang. Sewaktu menderita luka itu, pikiran Tio Jiang tak sadar lagi, mulutnya serasa manis, sementara punggungnya seperti ditusuki oleh puluhan jarum kecil. Benar tidak sakit, tapi rasanya gatal dan kaku  sekali. Hendak dia merangkak bangun, tapi tangannya serasa tak bertenaga lagi. Tapi setelah minum pil tadi, hatinya menjadi tenang pikirannya jernih lagi. Ketika gurunya meng-urut2 punggungnya untuk menyalurkan lwekang, tak putus2nya Tio Jiang mengaduh kesakitan. Matanyapun kini dibuka. Begitu kelihatan Bek Lian tundukkan kepala sambil memain ujung baju,

Tio Jiang segera berusaha keras untuk berseru: „Lian Suci……kau….. tak apa2 bukan?"

„Lian suci tak kena apa, usah kau kuatir!" Yan-chiu cepat2 menyanggapi. Dengan ucapannya itu, ia seperti sesalkan sang suci yang telah menyebabkan sampai sukonya itu mendapat luka begitu parah.

Tatkala Bek Lian memperhatikan sekeliling situ, rasanya orang2pun sama mempersalahkannya. Sampai ayahnya yang biasanya begitu memanjakannya itu, kini asyik menumplak seluruh perhatiannya kepada Tio Jiang serta sedikitpun tak menghiraukannya lagi. Diam2 dalam hati sigadis jelita yang beradat tinggi itu mengambul: „Kalau begini, lebih baik aku mati saja!"

Kalau tadi ia merasa berterima kasih pada Tio Jiang, sebaliknya kini ia merasa gusar padanya. Sampai sekian saat Ceng Bo siangjin meng-urut2 punggung Tio Jiang. Serta dilihatnya diluitay sana To Ceng sudah turun, berkatalah Ceng Bo: „Ki-heng, rasanya hari ini baik luitay itu ditutup!"

Karena haripun sudah sore, Ki Ce-tiongpun setuju. Dia segera maju kegelanggang luitay untuk mengumumkannya. Jadi dalam pertempuran hari itu. Thian Te Hui menang dua kali, kalah sekali.

---oo0dw0oo---

Tak berapa lama kemudian, malampun tiba. Orang2 yang menyaksikan keramaian luitay itu sudah sama bubar. Juga setelah diberi pengobatan dengan saluran lwekang tadi, Tio Jiang dapat tidur pulas. Ceng Bo siangjin, Ki Ce- tiong, Kiau To, Bek Lian dan Yan-chiu menunggu didekat situ. Setelah sampai sekian saat tak terjadi suatu apa, berkatalah Ceng Bo: „Ki-heng, biar Yan-chiu kutinggal disini. Aku hendak membawa Bek Lian masuk kekota untuk menyirapi kabar! Kurasa tentu ada udang dibalik batu, mengapa mereka sengaja membuka luitay guna memikat agar orang2 Thian Te Hui dan kaum persilatan sama mengumpul jadi aatu diluar kota sini. Mengapa keempat bajak Itu tak muncul disini? Apakah bukannya mengatur siasat untuk memasukkan tentara Ceng kedalam kota? Kalau benar begitu, sungguh kita telah terjebak mentah2 !"

“Kalau begitu, sebaiknya Bek-heng lekas2 kesana saja!" seru Ki Cee-tiong dengan terperanjat. Ceng Bo siangjin segera ajak puterinya tinggalkan tempat itu. Keadaan mereka dalam perjalanan nanti kita ikuti lagi, sekarang mari kita ikuti terus keadaan diruangan belakang luitay situ.

Dengan tekunnya Yan-chiu tetap menjaga disamping sukonya yang tengah tidur pulas itu. Walaupun usia muda belia, hatinya sudah ditumpahkan kepada sang suko, satu2nya orang yang paling akrab dengan ia. Tengah dia melamun yang tidak2, tiba2 kedengaran Tio Jiang mengerang-erang (sambat). Ter-sipu ia menengok tapi ternyata Tio Jiang masih tidur dengan nyenyaknya. Ditanyakan pada Kiau To, bagaimana keadaan luka sukonya itu. Sebenarnya tak tahu Kiau To bagaimana harus menyahutnya, tapi karena ditanya begitu, se-konyong2 dia teringat akan sesuatu, katanya pada Ki Cee-tiong: „Toako, adakah kau pernah mendengar bahwa ketiga hweeshio Ci Hun Si itu mempunyai obat istimewa pemunah racun thiat- sat-ciang?"

„Obat semacam itu tentunya ada, tapi entah apa disini," sahut Ki Cee-tiong seraya menghela napas panjang karena teringat akan dirinya yang sudah punah ilmunya silat itu. Apabila tak begitu nasibnya, dengan kepandaiannya silat yang dimiliki sebelumnya itu, dengan mudah dia tentu dapat mencuri obat tersebut.

“Siao Chiu, bagaimana kau dapat menangkan hweeshio To Kong?" tanya Kiau To.

Waktu Yan-chiu menuturkan apa yang telah dialaminya, Ki Cee-tiong dan Kiau To terkejut bukan  kepalang, katanya: „Coba kau keluarkan gelang itu!"

Begitu menyambuti dari tangan sinona, Ki Cee-tiong segera periksa gelang itu kedekat lampu dan tiba2 berseri girang: „Hai, siapa lagi kalau bukan dianya!" Yan-chiu tak mengerti maksud orang, tanyanya dengan membeliakkan mata: „Ki susiok, siapa yang  kau maksudkan itu?"

Sebaliknya dari menyahut, Ki Cee-tiong mengerling kepada Kiau To, ujarnya: „Ilmu  kepandaian orang ini, sudah mencapai ketingkat yang sukar dijajaki dalamnya. Tapi audah ber-tahun2 dia tak muncul dalam dunia persilatan, mengapa hari ini bisa datang kemari? Siao Chiu, turut katamu tadi, asal kau perhatikan betul2 ajaran orang aneh itu, kau bakal menjadi tokoh yang jarang terdapat tandingannya ?"

“Ki susiok, hampir setengah harian kau mengoceh tadi, tapi belum menerangkan siapakah adanya orang itu," Yan- chiu tak dapat menahan kesabarannya lagi.

“Semasa aku masih muda, dia sudah terkenal dalam dunia persilatan. Tapi tiada seorangpun yang mengetahui namanya. Yang dapat diketahui, ialah orang itu dalam sehari mempunyai wajah 3. Saat ini dia berdandan macam seorang pedagang, lain saat sebagai pengemis, dan kemudian sebagai imam atau paderi. Wataknya aneh, lidahnya tajam "

Sampai disini, teringatlah Yan-chiu akan peristiwa yang dialami diatas luitay.

Saking gelinya, pecahlah ketawanya. Ki Cee-tiong heran dan terlongong-longong sesaat, kemudian meneruskan kata2nya lagi: „Terhadap musuh yang tidak ganas dan kejam sepak terjangnya, dia tak mau membunuhnya. Kaum penjahat besar, bila kesamplokan dengan dia, jangan harap bisa lolos. Oleh karena itu orang persilatan menjulukinya sebagai „Kui ing cu" (bayangan setan). Tapi tentang namanya yang aseli, tiada seorangpun yang, tahu. Gelang- besi Itu tadi, adalah pertandaannya. Mungkin kau serasi dengan wataknya, makanya bisa dihadiahi benda itu!"

Yan-chiu tak terlalu memikirkan hal itu. Habis bercerita, Ki Cee-tiong keluar untuk berunding dengan orang2nya mengenai pertandingan besok pagi. Kiau Topun ikut keluar. Jadi kini Yan-chiu hanya berduaan dengan sukonya yang masih pulas itu. Karena tak dapat tidur, terpaksa Yan-chiu ber-main2 dengan gelang besi tadi. Kiranya gelang itu tiada sesuatu yang menyolok anehnya. Hanya pada gelang itu terdapat sebuah cap menonjol dari seekor ular kecil. Habis memeriksa, Yan-chiu menguap, kantuknya mulai datang. Tapi tiba2 terdengar Tio Jiang mengigau: „Lian suci, Lian suci!"

Terpaksa Yan-chiu tak berani tinggalkan sukonya.

„Suko, suci tidak disini, kau perlu apa?" katanya.

Memang sampai begitu dalamlah curahan hati Tio Jiang kepada Bek Lian.

Dalam keadaan tak sadar karena lukanya yang parah itu, dia seperti tampak bayangan Bek Lian mondar mandir dihadapannya. Wajah sucinya itu sebentar berseri girang, sebentar ber-muram marah, tapi tetap tak menghiraukannya. Maka dia segera me-manggil2 sucinya itu. Habis memanggil, hidungnya serasa membaui hawa harum dari seorang nona. Antara sadar dan tidak, dia membuka matanya dan samar2 dibawah cahaya lampu yang suram, dilihatnya Bek Lian berada setengah meter dihadapannya. Biasanya suci itu bengis sikapnya, mengapa saat itu dia begitu menyayang? Adakah karena dia telah menolong jiwanya maka suci itu mau merobah sikapnya?

Dendam asmaranya merangsang. Tanpa disadari lagi dia ber-geliatan mengulur tangannya kepada Bek Lian yang ternyata si Yan-chiu itu. Bermula Yan-chiu tak mengerti kehendak sukonya itu. Tapi ketika kini suko itu mencekal tangannya dan berbisik: „Lian suci, jangan tinggalkan aku. Lukaku tak berat, jangan kuatir," barulah Yan-chiu menjadi jelas. Kiranya sukonya itu telah keliru menyangkanya sebagai Bek Lian. Sebagai gadis remaja, sewaktu tangan- nya dicekali oleh sang suko itu, merahlah selebar muka Yan-chiu. Tapi saat itu timbullah kenakalannya. „Suko sudah keliru menyangka aku sebagai Lian suci. Biarlah kumengaku jadi Lian suci, supaya dapat mendengarkan apa yang hendak dikatakan suko nanti. Ini kelak untuk senjata memperolokkan mereka berdua," demikian pikirnya. Maka iapun lalu balas memegang tangan Tio Jiang.

Merasa tangannya bercekalan dengan sebuah tangan yang halus, Tio Jiang girang setengah mati. „Lian suci" kembali dia berseru. Dan sinakal itupun meniru nada suara Bek Lian, mengiakan.

“Lian suci, apa kau sesali aku tak mendengar perintahmu?" kata Tio Jiang lebih lanjut.

Yan-chiu menahan gelinya, lalu ber-bisik' : „Sesali apa?" “Sesali aku karena naik keatas luitay."

Diam2 Yan-chiu mendapat kesan, bahwa sukonya itu begitu menyayang terhadap sang suci, tapi heran mengapa suci itu tak ambil pedulikan.

“Aku tak sesalkannya sedikitpun tidak!" sahutnya menghibur.

Tio Jiang menghela napas, serasa kesesakan dadanya menjadi longgar seketika. Yan-chiu turut senang, lalu mencekal tangan sukonya makin erat. „Lian suci, aku, aku hendak mengatakan sesuatu padamu, kau marah tidak?" bisik Tio Jiang. Lebih dulu Yan-chiu dekap mulutnya sendiri supaya jangan sampai kedengaran tertawanya, kemudian menyahut: “Katakanlah, apapun aku takkan marah."

Mendengar itu, Tio Jiang pe-lahan2 membuka matanya. Takut kalau sukonya itu akan mengetahui siapa dirinya, hingga permainan yang menyenangkan itu tak  bisa langsung terus, dengan cepatnya Yan-chiu meniup padam lampu. Tio Jiang pun segera tempelkan tangan Yan-chiu kedadanya, lalu berbisik pelahan: „Lian suci, aku hendak memperisterikanmu, kita berdua takkan berpisah se- lama2nya."

Serambutpun Yan-chiu tak mengira kalau sukonya akan mengucapkan kata2 begitu. Maka meskipun tiada orang yang tahu, tak urung wajahnya merah padam ke-malu2-an. Hatinya berdebar keras, hendak ia, tarik tangannya tapi tak dapat, apa boleh buat ia, lalu membisiki kedekat telinga Hang suko : „Kusedia menjadi isterimu, jagalah dirimu baik2 supaya lekas sembuh. Kata Kiau susiok, kau telah diberi minum 4 butir pil sam-kong-tan, kalau kau tak pikirkan apa2, dalam sesingkat waktu tentu akan sembuh."

Kembali Tio Jiang menghela napas, malah kali ini agak panjang sekali, saking leganya. Karena masih tak percaya akan ucapan „Lian sucinya" itu, dia menegas lagi : „Lian sucinya - suka menjadi isteriku ?"

“Hem, apakah aku berbohong?" sahut Yan-chiu.

Mendadak Tio Jiang menggeliat. Dari pinggangnya dia mengambil sebuah batu giok (pualam), batu itu disisipkan ketangan Yan-chiu, katanya: „Lian suci, batu  giok ini adalah pemberian suhu, kini kupersembahkan padamu."

Teringat Yan-chiu, bahwa kalau orang hendak mengikat tali pertunangan itu, tentu saling tukar barang selaku panjer (tanda mata). Dia makin geli, serunya: „Tunggu!" Lalu terus lari keluar menggeledahi tempat pakaian Bek Lian. Benar juga disitu dia mendapatkan seekor kupu2 yang tersulam dengan benang sutera emas. Kupu2 itu seharusnya ada sepasang, tapi entah dimana yang seekor, mungkin juga dibawa Bek Lian. Secepat mengambil kupu itu, dia terus balik lagi kekamar untuk diberikan pada sukonya. “Ini untukmu," katanya.

Mengetahui benda, apa yang diberikan itu, Tio Jiang tak sangsi lagi, karena dia tahu kalau sang suci itu paling suka dengan kupu tersebut. Sambil mendekap kupu, dia kembali jatuh tidur dengan puasnya. Yan-chiupun girang melihat sang suko tidur lagi. la lalu mengaso.

Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ceng Bo siangjin dengan Bek Lian.

Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, mereka berlari menuju ke kota Kwiciu. Ceng Bo telah mendahului puterinya. Dia langsung menuju kegedung Pohceng-si tempat kediaman menteri. Kala itu hari sudah malam dan sepi sekali.

Ceng Bo dan Bek Lian cukup libay ilmunya mengentengi tubuh. Tanpa kedengaran suara apa2, mereka loncat keatas tembok. Dilihatnya dibagian tengah dari gedung itu ada sebuah bagian yang masih terlihat ada penerangannya.

Kesitulah mereka menuju. Baru hendak tiba disitu, mereka sudah mendengar suara gelak tertawa dan suara orang berkata: „Ko tayjin, rencana kita, yang bagus kali ini, tentu berhasil. Orang apa Ho Ngo Ciu itu, berani bermusuhan dengan tayjin. Begitu tentara Ceng datang, dia pasti tak punya tempat untuk mengubur mayatnya, ha,ha, ha, ………"

Mendengar itu Ceng Bo terkejut. Apa yang diduganya, ternyata benar. Yang dipanggil „Ko tayjin" itu tentulah Ko Tian Cian. Dengan Ho Ngo Ciu, orang she Ko itu adalah menteri2 besar dari kaisar Siau Bu di Kwiciu. Tapi oleh karena rebutan pengaruh, dia telah bersekongkol dengan tentars, Ceng. Memasukkan tentara musuh, perlunya untuk menindas saingannya (Ho Ngo Ciu).

Setelah memberi isyarat tangan kepada puterinya, Ceng Bo mendahului maju lagi beberapa langkah, diikuti dari belakang oleh Bek Lian. Begitu enjot kakinya Ceng Bo melesat keatas genteng. Dengan kedua kaki dikaitkan pada talang, dia gunakan gerak „to kwa cu liam" (membalik saringan mutiara) tubuhnya menggelantung kebawah. Dijilatnya kertas jendela untuk membuat lubang, kemudian mengintip kedalam. Tampak didalam situ ada seorang gemuk tengah duduk ditengah ruangan. Dari sikap dan dandanannya, terang dia itu adalah Ko Tiau Cian. Disekelilingnya terdapat beberapa belas orang, ada yang duduk ada yang berdiri. Pada lain saat  kedengaran orang she Ko itu berkata: "Malam ini The congping berangkat. Pemberontak2 Thian Te Hui itu telah dijebak dengan luitay digunung Gwat-siu-san, tentu tak dapat merintangi. Rasanya dalam beberapa hari saja, pasukan besar Ceng dibawah Li Seng Tong congpeng, tentu akan sudah masuk kemari!"

„Siasat yang bagus dari Ko Tayjin itu, benar2 menyamai Cukat Bu-houw!" mengiakan orang2nya seraya jual puji.

Diam2 Ceng Bo sianjin mendamprat kawanan penghianat itu. Dia menduga, yang dimaksud dengan ,The congpeng" itu tentulah si Cian-bin Long-kun The Go.

Orang itu kepandaiannya tinggi, dia baru sore tadi berangkat menuju kemarkas Li Seng Tong congpeng yang berada diperbatasan Tiausan (Kwitang) yang jaraknya antara lima enam ratus li. Rasanya kalau dia (Ceng Bo) lekas2 mengejar, tentu kecandak. Tapi sukarnya, orang she The itu entah mengambil jalanan yang mana.  Dalam urusan sepenting itu, tak bisa dia berlaku ayal.

Sebaliknya, dia dengan Bek Lian saling berpencar menyusul.

Setelah rencananya tetap, dia loncat turun, melambaikan tangan kearah puterinya terus lari menuju kesebelah barat kota. Tak antara lama, mereka sudah berada diluar kota. Dengan wajah ber-sungguh2, dia berkata: „Lian-ji, si Cian- bin Long-kun The Go telah mendapat perentah dari Ko Tiau Cian untuk mengundang tentara Ceng di Hokkian. Petang tadi, dia baru berangkat. Untuk memburu cepat, kita harus ambil jalanan menyusur tepi sungai. Kau berjalan ditepi sebelah selatan, aku dari tepi utara, biar bagaimana harus dapat mencandaknya. Jangan tempur dia, karena dia bukan tandinganmu, cukup kau memberi tanda suitan panjang, dalam beberapa saat saja aku pasti datang, mengerti?"

Dari cara sang ayah memberikan pesanannya, tahulah Bek Lian bahwa hal itu menyangkut urusan besar. Maka  tak berayal lagi, dia terus berangkat. Keduanya menuju ketepi sungai. Disitu Ceng Bo memotes sebuah dahan pohon, dilemparkan ketengah sungai, terus enjot tubuhnya menyusul. Dengan gerak „kim ke tok lip" (ayam emas berdiri dengan sebelah kaki), kakinya kanan  diinjakkan pada dahan kayu, lalu bagaikan terbang dipermukaan sungai, meluncurlah dia ketepi sebelah sana.  

7

Setelah memberi pesan cara bagaimana harus menghadapi The Go, lalu Ceng Bo Siangjin meluncur keseberang sungai dengan sebatang ranting kayu.

Bek Lian mengetahui kalau sang ayah sedang mengeluarkan Ilmu „teng bing-tok cui" (naik alang2 menyeberang sungai). Suatu ilmu mengentengi tubuh tingkat tinggi. Dilihatnya sungai mengombak alun, permukaan luas sekali hingga tepi yang disebelah sana hampir tak tampak. Setelah ayahnya berlalu, iapun gunakan ilmu berjalan cepat untuk menyusur sepanjang pantai sungai. Kala itu hampir tengah malam. Langit tak berbintang. Sudah hampir 3 jam ia berlari, tapi  sepanjang itu belum juga ia bersua dengan suatu bayangan orangpun juga. Tapi ia, tak berani beristirahat. Sembari berjalan itu, diam2 ia me-mikir2 nantinya bagaimana kalau bertemu muka dengan pemuda yang dikenangnya itu. Ah, kalau ia yang memberi nasehat, tentu pemuda itu tak nanti mau melakukan perbuatan khianat mengundang tentara musuh masuk ke Kwiciu. Demikian pikirnya selama dalam perjalanan itu.

Tak antara lama, kembali ia sudah menempuh 10-an li jauhnya. Diaebelah muka sana tampak segundukan warna hitam, seperti sebuah rimba. Dengan lantas ia percepat larinya masuk kerimba itu, mengaso sebentar lalu meneruskan perjalanannya lagi.

Tapi belum tiba disitu, tiba2 dia mendengar ada seseorang tengah me-maki2: „Bagus, keluar saja kalau mau adu kepandaian. Main sembunyi seperti setan belang itu, kan bukan cara yang layak!"

Mendengar nada suara itu, hati Bek Lian bergoncang keras. Bukankah itu suara orang yang siang malam dikenangnya itu? Tapi menurut ucapannya itu, rupanya dia tengah ketemu dengan seorang musuh. Kalau tidak, masakan dia memaki kalang kabut begitu. Maka ber-gegas2- lah Bek Lian memburunya.

Dengan gunakan gerak „yan cu sam jo cui" (burung seriti 3 kali menyentuh air), dalam 3 kali loncatan saja ia sudah sampai dipinggir rimba situ. Tiba2 disitu terdengar suara

„plak", menyusul dengan itu terdengarlah The Go menggerang keras. Menduga jangan2 ayahnya  berada disitu, Bek Lian tak berani gegabah memanggil The Go, melainkan lalu bersembunyi dibalik sebatang pohon. Dari situ ia mengawasi kesebelah muka.

Amboi, kiranya didalam rimba situ The Go tengah berputar2 seorang diri. Dari warna mukanya, nyata orang itu sedang marah besar. Setelah sekian saat berputar, orang muda itu tegak berdiri diam lagi. Rupanya dia tengah merenungkan sesuatu. Tak berapa saat lagi, kedengaran dia terlaiwa dingin: „Hem, sekalipun cianpwe (angkatan tua) dari persilatan, namun perbuatan itu tadi juga tak pantas!" Bek Lian melihat bahwa orang itu hanya seorang diri, tapi mengapa ber-kata2 sendiri dan bersikap seperti menghadapi seorang musuh tangguh. Tengah Bek Lian heran, tiba2 dari atas udara muncul sesosok  bayangan orang yang dalam kegelapan malam tampaknya seperti segumpal asap ber-gulung2. Gerakannya luar biasa cepatnya, sehingga dalam sekejab saja, sudah lenyap dari pemandangan. Tapi yang mengherankan, pada saat itu terdengar pula suara “plak" tadi, kemudian lagi2 The Go men-jerit2 dengan marahnya, ber-jingkrak2 seperti menginjak api.

Setelah menunggu sampai beberapa saat sampai The Go sudah selesai memberesi pakaiannya, Bek Lian terus hendak menghampirl. Tapi baru tubuhnya bergerak hendak keluar, tiba2 dari arah belakang terasa ada angin mendorongnya keras2, hingga hampir saja ia terjorok kemuka. Sebat sekall ia berpaling kebelakang, tapi tak tampak apa2. Dorongan angin tadi, terang dilakukan oleh seorang akhli persilatan yang berilmu tinggi, cuma saja hal itu membuktikan kalau orang itu tak berhasrat mencelakai dirinya, karena kalau memang hendak berbuat jahat, pasti ia (Bek Lian) akan sudah celaka tadi. Mengingat hal itu, tanpa terasa Bek Lian kucurkan keringat dingin. Dan karena didorong tadi, kini dia menjorok kemuka sampai 7 atau 8 langkah jauhnya.

The Go yang dijadikan bulan2 permainan tadi, menjadi merah matanya. Kalau dapat, hendak dia telan hiduplah orang yang kurang ajar itu. Tapi orang itu luar biasa sebatnya, hingga bagaimanapun dia tadi telah melesat mengejarnya, namun bayangan orang itu sudah menghilang tanpa bekas.

Kiranya sewaktu mendapat laporan dari kaki tangannya yang mengatakan kalau fihak Thian Te Hui telah menderita kekalahan dipanggung luitay pada babak ketiga dan salah satu jagonya terluka parah kena pukulan thiat-sat-ciang To Ceng hweshio, The Go menduga tentu orang2 Thian Te Hui akan kecantol membikin pembalasan. Maka The Go anggap itulah saat yang baik untuk melaksanakan rencananya. Malam itu juga dia menuju ke Hokkian untuk menghadap Li Seng Tong, congpeng (jenderal) tentara Ceng, guna menyerahkan Kwitang. Rencana penghianatan itu, terkilas dalam pikirannya sewaktu dia turun dari  gunung Lo-hou-san tempo hari.

Kunjungannya ke Lo-hou-san dulu itu, sebenarnya dia bermaksud dengan lidahnya yang tajam hendak menganjurkan Ceng Bo siangjin dan orang2 Thian Te Hui supaya jangan melawan tentara Ceng. Tapi disana dia telah terbentur karang. Ceng Bo siangjin ternyata seorang laki2 yang berpambek perwira, sedang dalam percekcokan yang terakhir dengan perkelahian, dia telah menderita kekalahan. Nah, inilah yang mengobarkan kemarahannya terhadap orange Lo-hou-san dan Thian-te-hui.

Sewaktu tampak mayat Ti Gong bergelimpangan, dia mendapat pikiran bagus. Sam Tay-tianglo dari gereja Ci Hun Si, terkenal sebagai tokoh2 yang suka mengagungkan gengsi tak mau tunduk pada lain orang. Dia suruh orangnya mengantar surat pada ketiga paderi besar itu, anjurkan mereka supaya menantang orang Thian Te Hui pibu diatas luitay. Pertandingan itu harus di-ulur2 sampai setengah atau satu bulan lamanya, agar dia dapat kesempatan untuk melaksanakan rencananya. Begitu tentara Ceng sudah masuk ke Kwiciu, bereslah semua. Rencana itu diberitahukan kepada menteri dorna Ko Tiau Cian, slapa, menyetujui sepenuhnya. Begitulah malam itu, dia lakukan rencananya itu. Tapi belum berapa lama dia keluar kota atau dia telah bertemu dengan seorang jail yang dalam beberapa kejab saja, sudah berhasil merampas kipasnya. Sudah tentu bukan terkira kaget si The Go itu. Buru2 dia mengejarnya, tapi pada lain saat se-konyong2 punggungnya dirasakan dingin sekali. Ketika dirabah, ternyata kipasnya telah dise1ipkan ditengkuk, entah oleh siapa karena sampai sebegitu jauh dia tak melihat adanya seorangpun juga.

Yang paling menjengkelkan hatinya, setan jail itu terus menerus mengikuti perjalanan The Go saja. Kalau tidak merabah mukanya, tentu menggaplok pantat atau karena sampai setengah harian tak muncul maka The Go mengira kalau tak diikuti, tapi tahu2 belakang kepalanya disemprot tiupan angin. Benar2 The Go kelabakan setengah mati. Beberapa kali dia tantang orang itu supaya unjuk diri berkelahi, tapi tiada penyahutan lama sekali. Yang bisa diketahuinya hanyalah sesosok bayangan berkelebatan pergi datang, tapi bagaimana sebenarnya orang itu, dia tak jelas karena tak mampu menghampiri dekat.

Tadi sewaktu Bek Lian didorong kemuka sampai hampir jatuh, karena suasana dirimba situ gelap sekali, The Go sudah mengiranya itulah orang jail yang mempermainkan- nya tadi, Dengan sebat sekali, dia melesat maju menutuk jalan darah hun-cui, ki-kwat, kian-ce dan tiong-thing sekaligus empat.

Tatkala terjorok kemuka tadi, Bek Lian buru2 menoleh kebelakang tapi tak melihat siapa orangnya yang  jail itu, dan kini tahu dari sebelah muka terasa ada angin menyambar, diam2 ia mengeluh. Dalam gugupn ya buru2  ia buang tubuhn ya kebelakang terus bergelundungan sampai beberapa meter jauhnya.

Melihat orang hanya menyingkir dengan cara bergelundungan dan lagi cara penghindaran itu dilakukan dengan sedemikian susahnya, kemudian setelah diawasi dengan perdata potongan tubuh orang itu begitu langsing seperti seorang wanita, The Go kesima dan berhenti menyerang.

“Mengapa begitu bertemu terus menyerang?" seru Bek Lian setelah berdiri tegak lagi.

Mendengar nada suara orang, The Go mengeluh ke- malu2-an. Dibawah cahaya rembulan remang2, dilihatnya jelas siapa yang berada dihadapannya itu. „Nona Lian, engkaukah?" tanyanya ter-sipu2.

Biasanya kalau orang berani menyerang begitu kurang ajar, Bek Lian tentu tak mau memberi ampun. Tapi entah bagaimana, demi mendengar nada suara sianak muda yang begitu halus merayu, lenyaplah amarahnya dengan seketika. “Hm, masih pura2 bertanya, masa begitu bertemu terus mau membunuh!"

Pada saat itu keadaan The Go seperti kata orang „sigagu makan empedu", menderita susah tapi tak dapat mengucapkan. Sudah tentu dia tak mau menceritakan kalau tadi ada setan jail mempermainkannya, malu sih! „Nona Lian, karena salah mengira kalau ada orang hendak membokong, maka aku telah keliru menyerang nona tadi. Ah, aku int patut dihajar, ya harus dihajar!" katanya kemudian. Dan untuk mengunjukkan penyesalannya, si Wajah Seribu (Cian-bin-long-kun) itu segera menggaplok punggungnya dua kali dengan kipas. Melihat itu sinona tertawa. Da1am sekejab saja amarahnya telah dibawa lenyap oleh kepandaian bersandiwara dari si Wajah Seribu. Kalau yang berbuat itu Tio Jiang, mungkin mulut sinona akan tak henti2 nya menghemburkan makian. Tapi  terhadap anak muda yang dikenangnya itu, lain halnya! „Ha ……, ha ……, sudahlah, Say-hong-hong (nona yang menyamai burung cenderawasih cantiknya) sudah ketawa!" seru The Go menggoda. Dan untuk itu, hati Bek Lian meluap girang sehingga tak dapat mengucap apa2.

The Go maju menghampiri kedekat sinona. Dibawah cahaya rembulan, dilihatnya kecantikan sijelita itu jauh bedanya daripada waktu siang hari. Dalam pandangannya, rembulan dilangit se-olah2 suram cahayanya dibanding dengan wajah jelita Lo-hou-san yang berseri gemilang itu. Matanya bagaikan bintang kejora yang memancarkan sinar keagungan. The Go menarik napas panjang.

Bertemu dengan orang yang dikenangnya itu, hati Bek Lian dilamun rasa girang dan resah. Tapi anehnya, dia merasa mulutnya seperti terkancing. Sekalipun ingin mengucap beberapa patah kata, namun berat rasanya untuk me-ngatakan karena ia itu seorang gadis.  Akhirnya perasaan ingin bicara dengan orang yang dikenanginya itu lebih menang. Demi mendengar The Go menghela napas, bertanyalah ia : „Mengapa menghela napas begitu?"

Terkejut ditanya begitu, The Go menyahut ter-putus2:

„Nona, Liaaaannn." Kata „Lian" itu sengaja dia tarik panjang sekali. Tapi bagi pendengaran Bek Lian, suara anak muda itu sudah merupakan seperti buluh perindu (seruling untuk menidurkan anak). Dengan suara pelahan dia mengiakan.

“Teringat kala dipuncak Giok-li-nia tempo hari, begitu pertama kali melihat nona, aku terus, aku terus siang

malam  memikiri   saja.  Bahwa  malam   ini  bisa berjumpa

pula, adalah berkahnya yang Maha Kuasa, seharusnya aku tak layak menghela napas," kata The Go pula.

Bek Lian hanya sekenanya saja bertanya, tak kira kalau sianak muda bisa merangkai kata2 yang sedemikian memikatnya. „Kenapa kau harus menghela napas?" tanyanya.

“Karena tadi aku telah kesalahan tangan, kalau nona selanjutnya tak mempedulikan aku lagi, hidupku pasti kosong melompong."

Hati Bek Lian seperti terbetot, tukasnya : „Tolol, siapa yang tak mempedulikanmu?" Tapi habis berkata begitu, Bek Lian merasa sudah kelepasan omong. Sebagai seorang gadis tak seharusnya ia berkata begitu. Mukanya ke-merah2an dan kepalanyapun lalu ditundukkan, mulutnya bagai terkancing.

The Go seperti mendapat jalan, kakinya bergerak maju, hampir kedekat Bek Lian. Bek  Lian tampak bergerak kakinya, tapi hanya bergerak saja, tidak mau menyingkir. Saat itu hidung The Go tertusuk dengan bau harum seorang perawan, matanya disuguhi dengan paras nan cantik gemilang, telinganya mendengar nada suara bening laksana kicauan burung kenari. Ya, tak salahlah kalau dia gerakkan kakinya maju selangkah lagi. Selebar muka Bek Lian makin merah, jantung berdetak keras, tapi ia tetap diam saja, malah agak berkisar maju sedikit.

Tampak sang juwita juga mendekati, secepat kilat The Go ulurkan tangan memegang bahu sinona, siapa dengan serta merta terus rubuhkan kepalanya kedada orang. Kedua pemuda yang tengah dibuaikan oleh dendang asmara itu, hatinya penuh dengan beribu perkataan, namun mulutnya sukar unutk mengatakan. Lupalah Bek Lian untuk bertanya, mengapa The Go melakukan perjalanan pada waktu malam begitu. Sebaliknya si Wajah Seribu itu tetap ingat akan tugasnya menuju ke Hokkian, Tapi pada saat itu, dia tak mau membikin kaget „sang burung". Dipeluknya sinona erat2 dan bagaikan anak kambing menyerah sajalah Bek Lian. Hanya kepalanya diangkat naik, matanya yang bening laksana air telaga itu ber-kicup2 memandang The Go.

Entah berapa lama kemudian, barulah The Go lepaskan pelukannya itu. Dengan memegangi tangan sinona berkatalah dia: „Lian, tepat nian peribahasa 'garam dilaut, asam digunung, akhirnya akan ketemu juga'. Bukankah kita ini juga begitu?"

Ucapan itu bagaikan menyadarkan Bek Lian. la disuruh ayahnya untuk mencari The Go, jadi bukan secara kebetulan berjumpa padanya. „Ah, aku memang berniat mencarimu!" katanya.

Bermula The Go tak begitu menghiraukan kata2 sinona itu, dan hanya mempermainkan tangan Bek Lian.  Tapi pada lain saat dia teringat, mengapa nona itu tahu kalau dia berada dalam perjalanan ditempat itu. Jalanan itu hanya menuju ke Hokkian, apa tidak mungkin kalau sinona itu tahu bahwa dia hendak mengundang tentara Ceng di Hokkian? Tugasnya itu sangat rahasia sekali, mengapa sampai bocor? The Go tertegun memikirkan hal itu, namun sebagai si Wajah Seribu, dia tetap mengunjukkan muka yang menyayang.

“Lian-moay, mengapa kau tahu aku akan berada dijalan ini?" tanyanya mencari keterangan.

Pertama kali terperangkap dalam jaring asmara,  Bek Lian anggap bahwa segala apa yang diketahuinya itu tiada halangan untuk diberitahukan kepada sang kekasih. Tanpa banyak pikir lagi, ia menyahut: „Ayahku yang bilang. Dia berjalan ditepi utara, aku ditepi selatan sini, kita berpencar menyusulmu."

“Mengapa hendak mencari aku ?" tanya The Go dengan terperanjat. „Ayah bilang, kau hendak mengundang tentara Ceng di Hokkian, maka menyusulmu supaya kau jangan jadi kesana."

Karena dugaannya tak meleset, tertawalah The Go:

„Lian moay, kalau begitu kaupun takkan meluluskan aku pergi?"

„Jangan pergi, maukah?"

Pikiran The Go yang licin bekerja, tanyanya pula:

„ApaIcah ada lain orang lagi yang mengejar aku?" “Tak ada, melainkan ayah dan aku !"

The Go mendapat siasat bagus. Jalan satu2-nya yalah membujuk sinona untuk diajak ber-sama2 menuju ke Hokkian. Melihat sinona telah jatuh hati padanya, rasanya siasat itu pasti berhasil. Dan memang dia sendiripun ketarik dengan kecantikan nona itu, jadi „sekali dayung dua tepian" namanya. „Lian-moay ada suatu hal yang hendak kukatakan, entah kau suka mendengarinya tidak?"

Hati Bek Lian sudah diserahkan pada sianak muda. Kalau orang sudah dimabuk cinta, apalagi seorang gadis, segala apa dapat dilakukan. Bek Lian sebenarnya seorang gadis yang beradat tinggi, tapi terhadap The Go, dia menurut saja seperti seekor anak kambing. „Engkoh Go, jangan kata hanya sepatah, seribu patah perkataanmupun aku tentu senang mendengarnya."

Mengetahui bahwa hati sijuwita sudah terjerat dalam asmara, barulah The Go tak ragu2 lagi, katanya: „Lian- moay, ikutlah padaku menghadap Li congpeng di Hokkian!"

Bek Lian tertegun. Kuatir jangan2 salah mendengar, dia menegas: „Apa katamu itu?" The Go seorang yang cerdik. Sebagai puteri seorang perwira macam Ceng Bo siangjin, tentu Bek Lian itu telah diasuh dengan didikan keluhuran budi. Jadi sewaktu mendengar kata2nya tadi, nona itu tentu terperanjat. Tapi biar. bagaimana hati nona itu sudah dibutakan oleh asmara, tak nanti bisa terlepas dari genggamannya. Maka diulanginya lagi maksudnya tadi : „Lian-moay, aku minta kau ikut padaku menghadap Li congpeng di Hokkian !"

Bek Lian agak terhuyung. „Untuk apa kesana?" tanyanya. dengan mata terbeliak.

The Go menebarkan kipasnya di-goyang2kan, ujarnya : “Adalah sudah menjadi kehendak alam, bahwa kerajaan Beng sudah tak dapat dipertahankan lagi. Kita undang tentara Ceng masuk ke Kwiciu !"

Tadi Bek Lian melayang dalam nirwana asmara, kini demi mendengar ucapan The Go itu, serentak dia gelagapan tersentak dari lamunannya. Terkilas dalam batinnya, segala ajaran dan petuah dari sang ayah tentang garis2 kehidupan manusia yang berwatak luhur, jauh berlawanan dengan perbuatan dan peribadi The Go. Maksudnya semula, ialah hendak menginsyafkan anak muda itu, supaya jangan mau menjadi kaki tangan kaisar Siau Bu dan gabungkan diri saja dalam Thian Te Hui untuk melawan penjajah Ceng. Serambut dibelah tujuhpun ia tak menyangka kalau anak muda itu mengajukan permintaan begitu. Maka untuk beberapa saat, ia ter-mangu2 seperti orang gagu.

Keduanya tadi masih berdiri berendeng sambil bercekalan tangan. Tatkala ter-mangu2 kaget tadi, Bek Lian segera hendak lepaskan tangannya dari cekalan sianak muda. Tapi The Go yang cerdik, cepat menggenggam kencang2 tangannya lalu dipeluknya lagi. Bek Lian tak kuasa meronta. Pada lain saat ketika The Go mencium lehernya, seketika Itu Bek Lian rasakan aliran darahnya berjalan keras tubuhnya bagaikan tak bertulang. Sepasang matanya yang bagus, mengundang The Go dengan ter- longong2.

„Lian-moay, tadi kau katakan seribu patah perkataanku! kau tentu suka mendengarnya. Tapi mengapa baru sepatah saja kau sudah tak menyukainya?"

Bek Lian menghela napas, sahutnya : „Engkoh Go, bukan aku tak suka mendengarnya, tapi tentara Ceng itu sangat ganas sekali. Kita sebagai putera puteri Han, mengapa tak melawan malah mau menyambutnya?"

The Go mendongak tertawa gelak2. Ian ulurkan tangannya utuk meraba janggut sinona, lalu didongakkan. Begitu keempat mata saling beradu pandangan, berkatalah The Go : „Lian-moay, kau anggap aku ini juga seorang siaojin yang rendah martabatnya bukan? Huh, aku ini juga seorang yang memikirkan akan nasib saudara2 sebangsa!"

8

Dibawah cumbu-rayu The Go yang cakep ganteng, Bek Lian menjadi kelelap dimabuk cinta. Dalam bualan sianak muda yang pandai merayu itu, Bek Lian seperti diayun dalam sorga ketujuh. „Betul?" tanyanya.

“Kalau aku yang mengantar tentara Ceng, rahayat tentu takkan menderita kerusakan. Tapi coba pikirkan, orang2 Thian Te Hui itu bagaikan kawanan burung2 yang hendak membentur ber-laksa2- tentara pilihan Ceng yang bersenjata lengkap. Bukankah hal itu berarti hendak 'mengadui telur dengan ujung tanduk' ? Bukankah hal itu akan membawa malapetaka bagi rakyat Kwiciu?"

Bek Lian merenung sejenak dan merasa bahwa ucapan sianak muda itu memang beralasan juga. Maka sekalipun hatinya memperotes, namun ia tak mau mengutarakan. Dalam batinnya, terbit perkelahian sendiri. Mengetahui sinona diam saja, The Go menduga kalau perangkapnya berhasil, maka dia segera alihkan lagi pembicaraannya :

„Lian-moay, sejak kita bertemu di Giok-li-nia, hati kita segera saling berkesan, inilah yang dibilang 'sekali  lihat terus jatuh cinta'. "

Walaupun merdu sekali Bek Lian mendengar senandung asmara yang didendangkan sianak muda itu, namun pura2 Bek Lian tarik lepas tangannya seraya berseru: „Bah, siapa yang jatuh hati padamu?"

The Go tertawa riang, sahutnya: „Siapa? Siapakah yang jatuh hati kepada Cian-bin Long-kun The Go? Tak lain siapa lagi kalau bukan sijelita yang ilmusilatnya tinggi, wajahnya bagaikan bidadari yang bernama Say-hong-hong Bek Lian !"

Bek Lian betul'2 dinina-bobokkan oleh rayuan asmara. Dalam gelak senyum sarinya madu, kedua pemuda itu berpelukan lagi dengan mesranya. ,Lian-moay, kita takkan berpisah lagi bukan?" Mendengar itu Bek  Lian hanya mengangguk saja. „Lian-moay, mari kita, lanjutkan perjalanan lagi," bujuk The Go.

“Kemana?" tanya Bek Lian agak terperanjat. “Ke Hokkian!"

Setelah mengalami perjuangan batin sampai sekian saat, memang Bek Lian merasa tak dapat berpisah dengan orang muda yang menjadi tambatan hatinya itu. Kalau tadi ia tak berjumpa, apa boleh buat ia, terpaksa harus tunggu sampai hari Pesta Air (Pehcun) tahun depan. Tapi karena kini sudah saling berjumpa, ditambah pula keduanya telah mencurahkan isi kalbu masing2, kalau disuruh berpisah lagi, aduh, rasanya dunia ini seperti berhenti berputar. Maka dengan menghela napas, akhirnya meluncurlah penyerahan bersyarat: „Kalau ketahuan ayah, bagaimana nanti?"

“Mana dia bisa tahu? Taruh kata tahupun masakan kau maukan dia dan membuang aku?"

“Ah, aku maukan kau!" buru2 Bek Lian memutus kata2 sang kekasih.

The Go tertawa sejenak. Puas dia dengan kemenangannya.

Itulah pembaca! Kalau orang sudah dimabuk asmara. Lupa sudah akan ajaran orang tua yang berbudi luhur, berwatak ksatrya seperti Ceng Bo Siangjin. Lupa sudah ia akan kepatuhannya terhadap seorang ayah  yang telah merawat, membesarkan dan memanjakannya dengan lautan kecintaan. Ibarat matipun rasanya masih belum cukup Bek Lian untuk membalas budi sang ayah itu.

Begitulah ringkasnya saja, The Go lalu memimpin Bek Lian diajak menuju kearah barat. Bek Lian seperti patung yang tak mempunyai kesadaran pikiran sendiri. ( Oo-dwkz-TAH-oO)

Begitu keluar dari rimba itu, se-konyong2 disebelah  muka sana terdengar ada orang ber-kata2. Anehnya, nada suara orang itu bukan orang lelaki bukan pula perempuan, tajamnya sampai menusuk keanak telinga. Keduanya melengak, tak kira mereka kalau disitu ternyata ada lain orang lagi. Teringat akan perbuatannya tadi, merahlah selebar muka Bek Lian. Pada lain saat,  kedengaran orang itu mengoceh sendiri : “Siapa? Siapakah yang jatuh hati padaku si Pengemis Wajah Selaksa ini? Huh, kiranya dia itu Say-ya-jat (Hantu malam) yang ilmu silatnya biasa saja, wajahnya jelek sekali !"

The Go teringat, dalam perjalanan tadi dia selalu dipermainkan orang. Seketika tampillah kemurkaannya. Dia andalkan ilmu silatnya yang tinggi, apalagi dihadapan Bek Lian, maka serentak membentaklah dia keras2 : “Siapakah yang dimuka situ? Main sembunyi seperti setan itu, model orang persilatan mana?".

Orang itu tak marah, sebaliknya malah tertawa cekikikan. Dengan suara melengking macam anjing digebuk, berserulah dia : “At! Aku kan hanya mengatakan kalau si Pengemis Wajah Selaksa saling jatuh cinta dengan Say-ya-jat, adakah itu mengganggumu?"

Nada suaranya dart pelan menjadi makin nyaring. Malah perkataan yang terakhfr „adakah itu mengganggumu?" itu, diucapkan dengan tekanan suara yang tinggi nadanya. Menyusul dengan itu tiba2 sesosok tubuh melesat muncul, sehingga saking kagetnya The Go lekas2 tank tangan Bek Lian inundur beberapa langkah. Ketika diawasi dengan perdata, kiranya dia itu seorang lelaki yang dandanannya macam seorang pengemis. Muka kotor penuh daki, tingkah lakunya menggelikan orang.

Bek Lian terkesiap, rasanya la kenal dengan wajah orang itu. Ya, bukankah dia itu siorang aneh yang ber-sama2 Yan- chiu tempur ketiga persaudaraan Cho ketika diatas luitay itu? Oleh karena kesannya dalam pertandingan luitay itu siorang aneh tersebut hanya berloncatan kian kemari dan sedikitpun tak mengunjukkan Ilmu kepandaian yang mengagumkan, maka Bek Lian agak tak memandang mata padanya. Sebaliknya mata The Go yang lebih akhli, segera mendapat tahu bahwa dari gerakan siorang aneh yang sedemikian lincahnya tadi, dia segera mendapat kesimpulan bahwa yang mempermainkan selama dalam perjalanan tadi, tentulah dianya. Maka siaplah dia dengan kipas, seperti kalau dia sedang berhadapan dengan seorang musuh yang tangguh.

Begitu munculkan diri, orang aneh itu hanya mengawasi saja kepada Theo Go dan Bek Lian, dari ujung kaki sampai keatas kepala. Sikapnya tampak kurang senang. Kini dia kelihatan maju menghampiri kedekat Bek Lian. Bek Lian dan Yan-chiu berlainan perangainya. Bek Lian angkuh, Yan-chiu peramah. Melihat orang itu mesum dengan kotornya, Bek Lian agak merasa jijik. Tiba2 orang aneh itu mendongak tertawa: „Aii, mengapa melihat Ban-bin Kiau- hua (Pengemis Berlaksa Wajah) lantas jemu, tapi memandang Cian-bin Long-kun (Si jejaka Wajah Seribu) merasa senang.”

Diam2 The Go mendapat kesan, walaupun orang itu sikapnya seperti orang tak waras, tapi ilmunya mengentengi tubuh sakti sekali, jadi tentunya seorang cianpwe dalam dunia persilatan. Maka dengan serta merta dia menjurah untuk memberi keterangan: „Ban-bin Kiau-hua, kami berdua sedang mempunyai urusan penting, kalau sekiranya cianpwe tiada akan memberi pengunjukan apa2, silahkan lanjutkan perjalanan."

„Aii, kau mempunyai urusan? Jalan saja, siapa yang menghalangimu. Aku hanya hendak mengatakan disini, bahwa diseberang tepi sungai utara sana, aku melihat ada seorang imam tua tengah2 ber-lari2 seperti dikejar  setan. Hal itu, nanti hendak kuceritakan pada Say-ya-jat-ku. Siapakah yang menghadang perjalananmu?"

Betapapun pandainya The Go berputar lidah, tapi saat itu dia bungkam dalam seribu bahasa. Benar juga orang itu tak menghadang jalannya, maka legahlah hati The Go. Tapi Bek Lian berdebar hatinya. Yang dimaksudkan dengan seorang imam tua oleh orang aneh tadi, tentulah ayahnya. Teringat seketika itu, bahwa dia ditugaskan oleh sang ayah untuk menghalangi perginya The Go ke Hokkian. Tapi ternyata sekarang ia malah ikut serta dengan anak muda itu.

Ah, bagaimana nanti dia akan mengatakan pada, sang ayah? „Tunggu sebentar!" katanya serentak.

„Tunggu apa lagi?" tanya The Go.

„Ayahku ……. dimana imam tua itu sekarang?" tanya Bek Lian kepada siorang aneh.

Orang itu dongakkan kepalanya melihat kelangit, ujarnya: „Entahlah, aku tak tahu. Tapi kalau kau mau balik mencarinya, tentu ketemu."

Seketika itu terkilaslah dalam hati Bek Lian untuk bersuit panjang memberitahukan pada sang ayah, agar The Go jangan sampai mengundang tentara musuh. Tapi terkilas pula lain suara hatinya, bahwa begitu sang ayah datang, sudah tentu akan bertempur dengan The Go. The Go tentu bukan tandingan sang ayah, Taruh kata bisa lolos, baginya pun sukar lagi untuk bertemu dengan anak muda itu. Memikir sampai diaini, diama is, mencuri lihat kewajah sang kekasih, siapa nampaknya juga gelisah tengah memandangnya. Dalam pertentangan batin yang hebat itu, akhirnya suara sang hatilah yang menang, katanya:

„Engkoh Go, mari kita, jalan la,gi!"

Tadi The Go sudah gelisah, kini girangnya bukan terkira. Tapi siorang aneh itu kedengaran menghela napas panjang, katanya: „Kalau Tuhan yang menjelmakan sidurjana, dia masih berhak hidup. Tapi kalau orang yang menjelma jadi durjana, dia tak harus hidup. Nona, ingatlah kata2ku hari ini !"

Habis berkata begitu, siorang aneh itu dengan pe-lahan2 ayunkan langkahnya. Nampaknya saja berjalan pe-lahan2 tapi toh dalam sekejab mata saja, dia sudah tak nampak dari pemandangan. The Go legah sudah hatinya, walaupun ada sedikit halangan namun tampaknya urusan akan berhasil baik. Dengan girang dicekalnya tangan sinona erat2. „Lian- moay, malam ini kita, bersatu dan selanjutnya takkan berpisah untuk se-lama2nya."

Bek Lian seperti orang mabuk arak. Benar kata2 orang aneh itu menyayat hatinya, tapi hanya sekejab saja, hilang tertiup angin. Menatap kearah The Go, dia tampak kemalu2an, tapi hatinya merasa bahagia sekali. Begitulah dengan bergandengan tangan, kedua muda-mudi itu ber jalan kearah barat.

Selama dalam perjalanan itu, masing2 seperti tak mau berpisah satu sama lain. Walaupun demikian, dalam kebatinan masing2 tengah mempunyai lamunan sendiri. The Go melamun, Li Seng Tong congpeng dari pimpinan tentara Ceng itu kabarnya pandai memakai orang. Dia sendiri serbaguna (pandai silat pandai sastera), tentu akan mendapat kedudukan yang setimpal. Dia tentu dapat mendirikan pahala, akhirnya mendapat pangkat tinggi. Hari kemudiannya gilang gemilang, dapat pangkat dapat isteri cantik. Hm, betapakah nikmatnya penghidupan ini. Demikian pikirannya.

Sedang Bek Lian tetap masih terkenang akan ayahnya. Tapi demi melihat The Go itu orangnya pandai bermain senyum, cakap merangkai kata2, sikapnya begitu menyinta dan senantiasa penuh dengan kasih mesra, terhiburlah hati Bek Lian. Maka selama dalam perjalanan sejauh itu, iapun tak merasakan capai.

Baru ketika matahari terbit dari sebelah timur, mereka saling lepaskan tangan, karena merasa likat kalau dilihat orang.

Setelah melalui kota Tang-wan, kemudian Hui-ciu, besoknya siang mereka memasuki daerah gunung Hoa-san. Daerah itu terletak di sebelah timur dari Kwitang, sangat luas sekali. The Go tahu bahwa didaerah situ banyak sekali orang2 „keras" (akhli persilatan) yang keluar masuk. Tapi yakin akan kepandaiannya sendiri. The Go tak kuatir. Untuk memburu perjalanan, malam itu tak mau dia beristirahat. Hari itu adalah tanggal 13 bulan 11, jadi rembulan mengunjukkan wajahnya yang penuh. Memasuki sebuah rimba, mereka berdua ber-gegas2 menempuh perjalanan.

Selama dalam perjalanan sehari semalam itu, makin  tetap hati Bek Lian bahwa pilihannya kepada The Go itu, tak salah. Dan dengan seni-rayuannya yang lihay, berhasillah The Go merebut betul2 hati sijelita itu. Tiba2 terasa ada angin meniup dan dilangitpun tampak tebaran awan hitam, menutup rembulan. Dalam suasana yang segelap itu, Bek Lian agak jeri dan makin menempel sang kekasih rapat. Berjalan tak berapa jauh, awan  dilangit makin tebal, malah disekitar situ hawanya lembab, agaknya turun kabut. „Lian-moay, rupanya kita terpaksa harus beristirahat," kata The Go.

Bagi Bek Lian, kemana saja asal bersama The Go, la menurut saja. The Go sulut api untuk menyuluhi disekitar tempat situ. Kebetulan tak jauh dari situ tampak ada sebuah goa besar yang tentunya tidak ditinggali oleh bangsa binatang buas. Kesanalah The Go ajak Bek Lian. Karena suasana sangat gelap dan berhubung perjalanan masih jauh The Go tak mau boroskan api, maka dengan susah payah ahirnya dapatlah mereka mencapai goa itu. Saking kurang tidur dan keliwat lelah, maka begitu masuk kedalam goa, Bek Lian terus menerus menguap. „Lian-moay, kau tidurlah disini, besok terang tanah kita lanjutkan perjalanan lagi," kata The Go.

„Engkoh Go, kalau aku tidur, jangan kau nanti tinggalkan aku !"

„Biarpun leherku dipanggal, aku tentu tak mau berpisah denganmu," The Go tertawa menghibur. Bek Lian puas hatinyanya, tak antara lama tidurlah ia dengan nyenyaknya dipanggiran sianak muda.

The Go yakin dalam suasana segelap itu, tentu takkan ada binatang buas keluar berkeliaran, maka diletakkannya kepala sinona keatas tanah, karena dia sendiripun kepingin tidur, tapi pada lain saat dia batalkan niatnya itu, karena kuatir jangan2 Bek Lian terbangun dan nantinya akan  marah hingga membikin gagal urusan. Maka terpaksa dia duduk didekat situ saja.

Tapi baru dia duduk agak tenang, atau tiba2 terasa ada sesuatu yang luar biasa. Alat pendengaran dan penglihatan dari seorang yang meyakinkan ilmu silat, tentu tajam sekali. Sewaktu masih dalam kandungan, ayah The Go sudah meninggal. Ayah dan ibunya itu adalah murid2 kesayangan Ang Hwat cinjin dari gereja Ang Hun Kiong. Begitu mengetahui dirinya mengandung, ibunya lalu menyalurkan lwekangnya untuk memperkuat tubuh sang anak. Maka, tak heranlah kiranya, dalam usia baru  24 tahun saja, The Go  itu sepertinya sudah mempunyai peyakinan ilmu silat selama 24 tahun, karena disebabkan begitulah halnya.

Pada saat itu dirasanya dalam goa situ  terdapat seseorang lagi. Betapapun halusnya pernapasan orang itu, namun tertangkap juga oleh alat pendengarannya. Bermula dipikirnya kalau hembusan napas Itu dari Bek Lian, tapi sewaktu diperiksa kedekat hidungnya, ternyata bukan. Sudah tentu terperanjat The Go sukar dilukiskan. Dapat masuk kedalam goa tanpa diketahui orang yang berada disitu, adalah suatu kepandaian yang luar  biasa. Ah, jangan2 siorang aneh itu lagi yang mengadu biru.  Maka The Go tak berani bergerak atau menyulut apinya, melainkan menantikan perkembangan lebih lanjut.

Tak berapa lama, kedengaran orang itu makin mendekati, seperti tengah berlarian dalam goa sebelah tengah sana. Tapi anehnya, sedikitpun tak terdengar suaranya apa2. Sampai disitu, timbullah rasa takut dihati The Go. Adakah betul2 yang disebut setan rimba itu benar ada? Karena seorang akhli  yang bagaimanapun hebat ilmunya mengentengi tubuh, tapi tetap akan kedengaran derap kakinya, meskipun betapa halusnya. Dirangsang oleh rasa takut, dengan hati2 sekali The Go beringsut beberapa langkah dari tempat Bek Lian tidur, namun „setan" itu agaknya dapat juga mendengar gerakannya itu, karena dengan se-konyong2 diapun berhenti diam.

The Go menjadi jengkel. Dia sedang melakukan tugas penting, se-kali2 tak boleh terhenti disitu. Karena  bukan saja impiannya akan kosong, malah kalau ketemu dengan musuh tangguh, salah2 dia nanti terkubur digunung belantara situ. Memikir akan kepentingan diri sendiri, rasa cintanya terhadap Bek Lian menurun beberapa derajat. Maka dengan ber-ingsut dia bergerak beberapa tindak lagi, jaraknya makin jauh dari Bek Lian.

Bagi orang yang bersalah tentu ada2 saja gangguan perasaannya. Se-konyong2 dilihatnya diantara kegelapan tempat situ berkelebat sebuah sinar terang. Menurut perasaannya, itulah tentu pancaran sinar dari sepasang mata Bek Lian. Tapi ketika diawasinya dengan seksama, ternyata tak ada apa2 kecuali kegelapan malam. Diam2 dia memaki dirinya sendiri: „The Go, The Go! Pantaskah kau hendak  tinggalkan ia?" Pertanyaan  itu dijawabnya  sendiri :

„Seorang  juwita  yang  begitu  cantik,  walaupun  dunia  ini

lebur, tapi sukarlah dicari keduanya. Ah, tak pantaslah kalau meninggalkannya!"

Tapi pada lain saat, terkilas pula lain pikiran dan bertanyalah dia kepada dirinya: „Hai, The Go! Kalau kau sendiri berparas cakap, sekalipun gadis itu lebih cantik dari ia sekarang, apakah gunanya bagimu? Pepatah mengatakan

: asal masih ada gunung yang hijau, masa takut tak  ada kayu bakar. Apakah betul2 dunia ini hanya sedaun kelor saja, tiada lain gadis cantik yang melebihi itu?"

Pertentangan hebat terjadi dalam batinnya. Lewat beberapa saat, dia tertawa sendiri: „Ah, suara napas tadi begitu lemahnya, terang bukan dari orang tapi dari binatang kecil. Mengapa aku ketakutan setengah mati sendiri, gila aku ini!"

Dari alam pikiran orang she The itu, terang sudah kalau dia itu hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri. Cinta? Ah, tahulah baginya. Cinta hanyalah semacam pakaian, yang sembarang waktu boleh dibuang kalau sudah jemu. Kasihan Bek Lian, nona cantik yang bernasib malang itu, karena jatuhnya pilihannya ditempat yang keliru. Untuk itu. kelak ia akan menebus dengan penderitaan yang hebat!

Dengan anggapannya tadi, The Go kembali kedekat Bek Lian lagi dan coba meramkan matanya untuk tidur. Tiba2 dari luar gua ada serangkum angin malam meniup masuk.

Angin itu terasa dingin sekali sampai menusuk kedalam hidung. Dengan ter-sipu2 buru2 The Go hendak menyingkir kesamping, tapi saking gugupnya bajunya telah kecantol (terkait) pada ujung batu gua yang runcing, hingga robek sampai setengah bagian. Suara baju robek itu, dalam kegelapan suasana malam yang sunyi, telah menerbit kumandang, yang keras. Cepat2 The Go bersiap dengan kipasnya, tapi sampai sekian saat tak terjadi suatu apa. Malah pada saat itu terdengarlah Bek Lian menggeliat seraya menggigau daIam mimpinya: „Engkoh Go, jangan tinggalkan daku!"

Dengan tiupan angin yang meruntuhkan nyalinya tadi, The Go makin keras dugaannya, kalau didalam gua situ tentu terdapat seorang lihay yang berilmu tinggi. Entah kawan entah lawan. Dengan gunakan kepandaiannya mengentengi tubuh, hati2 sekali dia mondar-mandir didalam situ, untuk coba2 memancing apakah orang ketiga itu dapat mendengarnya. Sampai sekian saat ternyata tidak terjadi perobaban apa2. Tapi kini jelas didengarnya, kalau suara napas orang itu berada didekat Bek Lian tidur.

Buru2 dia menghampiri ketempat Bek Lian yang terletak didekat mulut gua. Se-konyong2 serangkum angin malam menyerang lagi kearah mukanya. Malah samar2 dilihat ada sesosok bayangan berkelebat. Dari perawakannya, orang itu bukan seperti siorang aneh tempo hari itu. Kini The Go tak sangsi lagi. Begitu kipas digerakkan, secepat kilat terus ditutukkan kearah jalan darah yu-bun-hiat dari bayangan hitam itu. Diluar dugaannya, sebat sekali bayangan hitam itu menghindar terus melesat kebelakangnya. Buru2 The Go putar tubuhnya, tapi kalah cepat. Rambutnya telah dijambak oleh sebuah tangan yang kuat dan terdengarlah suara seorang wanita menghardiknya: ,Siapakah nona itu?"

Nada suaranya itu seperti menembus pecah anak telinga The Go, siapa dengan sebatnya terus memutar tubuh untuk melepaskan jambakan orang itu. Tapi wanita itu bagaikan bayangan saja, selalu lebih cepat dapat berada dibelakangnya, malah perkeras juga jambakannya. Tahu akan kelihayan orang, serta merta The Go membuka mulutnya: „Locianpwe sukalah kendorkan pegangan, ia adalah kekasihku."

“Hm," wanita itu tertawa dingin. „Siapakah namanya?"

Pikiran The Go bekerja. Kalau sekiranya wanita itu terikat permusuhan dengan keluarga Bek Lian, bukankah dirinya sendiri nanti akan celaka? Ah, mengapa tadi dia berterus-terang mengatakan Bek Lian itu kekasihnya! Karena kesangsiannya itu, dia agak berayal memberi penyahutan dan tahu2 lengannya kiri telah dicengkeram oleh tangan siwanita. Sakitnya bukan kepalang seperti dijepit besi. Buru2 dia empos semangatnya untuk bertahan.

“Lekas bilang, siapakah namanya?" bentak siwanita itu dengan bengisnya.

“Ia orang she Bek namanya Lian, puteri dari Ceng Bo siangjin!" The Go tak berlaku ayal lagi.

“Siapakah Ceng Bo siangjin itu?" tanya siwanita pula. “Tokoh yang pada 10 tahun berselang menggetarkan dunia persilatan dengan nama Hay-tee-kau. Ceng Bo Siangjin adalah namanya setelah dia menyucikan diri menjadi Imam." Wanita itu melengak sejenak, cengkeran2nya pada lengan The Go pun dikendorkan, kemudian mulutnya kedengaran kemak-kemik berkata sendiri : „Hay-te-kau, hoan-kang-to-hay (nama ilmu pedang), kini tiba2 menjadi Ceng Bo siangjin, jadi berarti dia sudah tak menghiraukan peristiwa 'hoan-kang-to-hay' (membalik sungai menjungkirkan Iangit) yang lalu lagi."

Tak tahu The Go apa yang dikatakan oleh wanita itu. Yang diperhatikan, adalah cengkeram wanita itu sudah kendor, maka sekali meronta dapatlah dia terlepas sama sekali dari cengkeram besi itu, enjot tubuhnya terus melesat satu tombak jauhnya. Gerakan The Go itu amat cepat sekali, tapi siwanita lebih cepat lagi. Belum kaki si The Go menginjak tanah, atau begitu ada angin menyamber, dia rasakan pinggangnya dicengkeram orang, sehingga hampir saja dia ter-huyung2 jatuh kemuka. Dengan sigapnya dia bangun, tapi pinggangnya tetap tercengkeram oleh siwanita.

The Go mengeluh dalam hati. Syukur cengkeram wanita itu tak keras, jadi hanya ingin menahannya saja,  tak bermaksud membunuhnya. The Go yang cerdik segera dapat mengetahui  maksud orang. Nyalinyapun timbul lagi.

„Locianpwe, apakah hendak memberi pengunjukan padaku?" tanyanya dengan lantas,

„Siapakah kau ini?"

„Aku yang rendah ini bernama The Go, cucu murid Ang Hwat cinjin dari gereja Ang Hun Kiong," sahutnya.

Diluar dugaan The Go, wanita itu segera berkata:

„Akupun pernah bertemu dengan beberapa murid dari Ang Hwat cinjin. Kau mengaku menjadi cucu muridnya, mengapa kepandaianmu sebagus itu?" ,

Kiranya wanita itu adalah seorang cianpwe yang berilmu tinggi. The Go sesalkan dirinya tadi mengapa telah mengeluarkan kepandaian, hingga dapat dikenal oleh wanita Itu. „Hopwe (aku yang rendah) karena mengetahui berbakat jelek, lalu belajar dengan rajin, sehingga dapat lebih maju dari lain saudara seperguruan."

Wanita itu tertawa, ujarnya: „Kau tidak tolol tapi cerdik sekali!"

Mendengar nada ucapan siwanita itu tak mengandung maksud jelek terhadap dirinya, legahlah hati The Go.

“Mengapa kau dengan Lian……… gadis she Bek itu bersama2?" tanya siwanita pula.

Belum lagi The Go menyahut, atau disana Bek Lian sudah terbangun. Karena tak didapatinya The Go berada disamping situ, bertereaklah gadis itu: „Engkoh Go, kau berada dimana?"

„Lian-moay, aku berada disini, jangan takut!"

„Engkoh Go, kemarilah, aku tak dapat melihat kau," kembali Bek Lian menereaki. The Gopun segera mengiakan, tapi karena pinggangnya dicengkeram siwanita, terpaksa dia tak dapat bergerak. Tengah dia bingung apa yang harus diperbuat, tiba2 siwanita itu kedengaran berbisik: „Kalau kau sanggupi dua hal yang kuajukan, akan kulepaskan!"

„Apakah itu?" tanya The Go dengan kegirangan. Tapi ternyata percakapan itu dapat didengar juga oleh Bek Lian, siapa lalu buru2 bertanya: „Engkoh Go, kau ber-cakap2 dengan siapa itu ?"

Baru The Go hendak menyahut, tiba2  terasa pinggangnya dicengkeram makin kencang dan segera kedengaran siwanita berkata: „Pertama, kalau kau berani mempermainkan nona Bek, meskipun kau sembunyi keujung dunia, tentu tetap akan kucari untuk mencabut jiwamu. Kedua, se-kali2 kau tak boleh mengatakan pada lain orang bahwa kau bertemu dengan aku ditempat ini. Sekalipun nona Bek itu juga tak usah tahu. Mengerti?"

The Go anggukkan kepalanya, dan wanita itu lepaskan cengkeramannya. Hanya seperti kelebat bayangan saja The Go melihatnya, atau wanita luar biasa itu  sudah menghilang lenyap.

„Engkoh Go, mengapa kau belum kemari ?" Bek Lian berseru lagi. Atas itu, ber-gegas2 The Go menghampiri. Ternyata disitu Bek Lian masih berbaring ditanah. Ah, gelap nian tempat itu, betapa enaknya kalau berbaring juga disitu pikir The Go yang terus segera duduk disamping sinona, sembari tangannya merabah pipi orang.

„Kau kenapa?"

„Ah, aku bermimpi," sahut Bek Lian setelah termenung sekian saat.

„Mimpi bertemu siapa?" tanyanya menggoda. Juga sampai sekian saat Bek Lian diam dulu, baru kemudian berseru dengan mengkal: „Huh, tak perlu tahu !"

“Ha, ia tentu bermimpi ketemu dengan aku," pikir The Go. Siapa lalu menggodanya lagi: „Kutahu sudah !"

„Tahu apa?"

„seorang yang cakap yang selalu dikenang dalam kalbu, bukan?" kata The Go dengag pelan dan atas itu pecahlah ketawa dari mulut sinona yang mungil, siapa terus bangkit menuju keluar goa. Karena kala itu cuaca sudah terang, maka Bek Lian pun segera terus berjalan kemuka. Walaupun selama dalam perjalanan itu, dua kali  The Go. berjumpa dengan dua orang aneh yang telah membuat terkejut dan mempermainkannya, namun dengan sudah mendapatkan hati sijelita itu, puaslah sudah hatinya. Keesokan harinya, tibalah mereka di Hokkian. Tapi apa yang dilihatnya, disepanjang jalan sungguh membuat mereka terkejut. Laki2 dan perempuan2 sama ber-bondong2 menuju ketimur. Kiranya meskipun tentara Ceng belum resmi masuk ke Kwitang, tapi sudah ada sementara kerucuknya yang mengganas diperbatasan, merampok harta benda rakyat, mencemarkan orang2 perempuan dan lain2 perbuatan se-wenang2. Pembesar2 pemerintah Beng setempat siang2 sudah angkat langkah seribu. Begitu karena tak berdaya, rahayat sama ber-duyun2 mengungsi kearah timur.

Melihat pemandangan itu, Bek Lian merasa kurang senang, sebaliknya The Go buru2 mengatakan: „Lian- moay, mari kita lekas2 bertindak. Begitu tentara Ceng sudah masuk kewilayah Kwitang, rahayat tentu takkan menderita lagi."

Bek Lian kena diomongi manis. Tak berapa lama kemudian mereka masuk kewilayah Hokkian. Melihat kedatangan The Go yang minta menghadap Li tayjin, salah seorang opsir Ceng segera memberikan dua ekor kuda  untuk mengantarnya ke Hokciu.

Dengan tiada halangan suatu apa, dibawalah The Go menghadap Li Seng Tong congpeng. The Go segera serahkan surat peribadi dari Ko Tiau Cian. Habis membaca, Li Seng Tong segera menanyai lebih lanjut dan The Gopun memberi keterangan: „Li tayjin, asal Kwiciu sudah jatuh, fihak Lam Beng tentu akan kocar-kacir, dan dengan mudah tayjin tentu akan dapat menduduki Kwitang." Li Seng Tong sebenarnya adalah pembesar militer dari kerajaan Beng. Karena pemerintah Beng pada waktu itu sangat korup, sana sini main sogok jual beli kenaikan pangkat, maka dia merasa putus asa untuk menanjak ketempat yang tinggi. Ketika tentara Ceng menyerang wilayah Beng, dengan hanya mempunyai beberapa ratus serdadu tua dan lemah, dia telah mempertahankan daerah Tongkwan dengan gigih sekali, sehingga berhasil memukul mundur fihak penyerang. Pemerintah Ceng terperanjat. Mereka menduga disitu tentu terdapat seorang jenderal pandai, maka dengan berbagai jalan akhirnya  dapatlah akhli perang yang cemerlang itu ditangkap hidup2an. Dengan cara halus, Li Seng Tong dapat dibujuk untuk menakluk dan malah diangkat menjadi congpeng (panglima perang) Kerajaan Ceng. Benar juga pilihan pemerintah  Ceng itu tepat sekali. Li Seng Tong seorang panglima yang pandai sekali menggunakan tentara, akhli strategi yang jempol. Berkat kecerdasannya, daerah demi daerah dapat diduduki dan akhirnya masuk ke Hokkian dan kini tengah merencanakan penyerbuan ke Kwitang dan Kwisay.

Dia setuju atas keterangan The Go. Cepat dia serahkan 300 tentara pilihan pada The Go untuk menyerang Kwiciu. Kepada The Go dia memberi pujian hangat dan menjanjikan kedudukan tinggi apabila kedua wilayah itu berhasil didudukinya. The Gopun segera bertindak cepat. Dia suruh ke 300 tentara pilihan itu menyamar menjadi anak kapal, sedang dia bersama Bek Lian menyaru menjadi saudagar kaya. Rencana The Go, yalah hendak gunakan jalan diair menyerang Kwiciu, itu tentu tak dapat diketahui musuh. Sebagai bajak dari Laut Selatan, sudah tentu mahir sekali The Go dalam urusan pelayaran. Dalam  sehari semalam saja, perahunya sudah tak jauh dari tempat yang dituju. Kira2 satu setengah hari lagi, tentu akan sudah tiba  di Kwiciu. Kala itu lamunan The Go meninggi langit. Berdiri tegak diatas geladak, dia jauh memandang kemuka  laut, mulutnya tak putus2nya memberi aba2 atau bersuit keras, sikapnya garang sekali, se-olah2 dunia ini dia yang punya. Sedang Bek Lian yang berdiri disamping, merasa bahwa sang kekasih itu benar2 seorang muda yang gagah perwira. Makin bahagialah perasaan nona itu.

Selagi kedua anak muda itu memberi komando pada awak kapal, sembari diseling dengan gelak ketawa riang, tiba2 The Go berteriak kaget: „Astaga, aneh !"

“Ada apa engkoh Go?" tanya Bek Lian.

Tapi sebaliknya dari menyahut, The Go cepat berpaling kebelakang seraya bertereak memanggil: „Po tayjin!"

Yang dipanggil Po tayjin itu, adalah pemimpin dari ke 300 tentara pilihan itu. Namanya lengkapnya yalah Po Tho, seorang Boan. Pertama kali melihat bagaimana serdadu2 Ceng itu sama memelihara kuncir, lelaki tidak perempuan bukan, Bek Lian menjadi geli. Tapi demi membayangkan, bahwa nantinya apabila tentara Ceng sudah menduduki Kwitang, The Go dan semua orang lelaki juga akan memelihara rambut begitu, hati Bek Lian merasa sedih.  Tapi kesedihan itu bagaikan awan tertiup angin, apabila ia membayangkan kebahagiaan hidup disamping orang yang dikasihi itu.

Kala itu ke 300 serdadu Ceng itu sama menyaru menjadi penumpang kapal, kuncirnya sama digelung. Tapi Po Tho sendiri yang tak mau berbuat begitu. Namun The Go terpaksa mengalah juga, karena dia masih memerlukan tenaga orang itu. Pada saat The Go memanggil  tadi,  Po Tho tengah menikmati pipa huncwe (pipa bambu). Oleh karena telah dipesan oleh panglima (Li Seng Tong), Po Tho tak berani berlaku ayal, lalu buru2 menghampiri datang, serunya: „The tayjin, ada apa?"

“Lekas perintah dua perahu kita yang berada dibelakang itu supaya kemuka, jangan terlalu ketinggalan jauh, mungkin bakal terjadi peristiwa."

Po Tho lakukan perintah itu.

„Engkoh Go, ada kejadian apa?" Bek Lian ulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.

„Tu lihatlah!" seru The Go menunjuk kemuka.

Bek Lian memandang kearah yang ditunjuk The Go. Memang jauh disebelah muka, diantara gelombang laut yang ke-biru2an, tampak ada setitik benda hitam ber-ayun2 naik turun. Karena tak mengetahui adanya hal itu, Bek Lian memandang The Go. „Tu lihat lagilah!" seru The Go.

Begitu Bek Lian memandang kemuka lagi, kini benda kecil itu ternyata sudah makin mendekat, bagaikan sebatang pelepah pisang besar. Makin dekat, nyata bukan perahu melainkan sebatang dahan kayu yang masih penuh dengan daun. Rupanya dahan itu begitu dipotong  terus dilemparkan kedalam laut, digunakan sebagai perahu. Tapi itu sajah masih belum mengherankan, karena yang paling aneh yakni ternyata batang dahan puhun itu dinaiki oleh seorang yang tegak berdiri diatasnya. Massa Allah! Batang kayu itu bulat bentuknya, jadi timbul tenggelam saja didalam air, tapi toh orang itu dapat menaikinya dengan laju sekali menghampiri datang kearah perahu The Go.

Dapat berdiri dengan kokohnya diatas batang kayu bulat yang terapung didalam air, bagi The Go yang berpengalaman luas segera mengetahuinya, bahwa  orang itu tengah menggunakan ilmu cian-kin-tui (tindihan seribu kati). Tapi dapat menggunakan ilmu cian-kin-tui sedemikian lihaynya itu, juga jarang terdapat dalam kalangan akhli persilatan.

Oleh karena dihembus angin, maka perahu The Go pun dapat berjalan dengan laju sekali. Demi dapat melihat jelas siapa yang berlayar dengan batang dahan puhun tadi, seketika pucatlah wajah The Go. „Astaga!" serunya dengan tertahan. Juga Bek Lian pun segera mengenal orang yang berbaju dan topi bintang serta menyekal sebilah tiang-kiam itu ternyata bukan lain ialah ayahnya sendiri. Serasa terbanglah semangat Bek Lian dibuatnya.

Tengah kedua orang itu gelisah, batang puhun itu telah maju membentur badan perahu.

„Lian-moay, bersembunyilah kebawah ruang kapal sana!" The Go menyuruh Bek Lian, siapa pun sudah terus hendak melakukan anjuran itu. Tapi baru hendak melangkah turun kebawah, atau orang yang berada diatas batang puhun tadi kedengaran berteriak keras, sehingga Bek Lian menjadi tertegun sesaat. Menyusul dengan benturan tadi, anak perahu menjadi gempar. Ada yang menjerit2 mengatakan perahunya bocor, ada yang menyerukan ayah ibunya, ya pendeknya keadaan di perahu situ menjadi  panik. Orang2 sama berebutan naik ketangga tali untuk memanjat keatas kedua perahu yang disebelahnya.

The Go tak sempat meneriaki mereka supaya tenang, karena pada saat itu, melesat sesosok tubuh kehadapannya. Itulah Ceng Bo siangjin dengan pedang terhunus tegak berdiri di-tengah2 The Go dan Bek Lian. Melihat sang ayah, sesaat lupalah Bek Lian akan perbuatannya dalam beberapa hari ini, maju selangkah ia berseru memanggil:

„Tia, kau… "

Belum akhir kata „datang" diucapkan, Bek Lian segera mendapatkan bahwa wajah sang ayah ketika itu tampak bengis sekali, sehingga saking takutnya Bek Lian tak jadi mengucap kata2nya yang terakhir, terus mundur selangkah tak berani membuka mulut lagi.

Sepasang mata Ceng Bo siangjin, memancarkan sinar ber-api2. Tanpa disadari, Bek Lian segera menggeser kedekat The Go, sehingga kini keduanya berdiri berjajar. Yang satu seorang gadis cantik jelita, yang lain seorang pemuda cakap garang, sepintas pandang, memang merupakan suatu pasangan yang setimpal. Tapi bagi Ceng Bo siangjin yang sudah dirangsang oleh api kemarahan karena mengetahui puterinya telah berbuat begitu rendah, kiranya sudah lupa akan segala apa.

Sebelum melanjutkan apa yang bakal terjadi diatas geladak itu, marilah kita tengok lebih dulu mengapa Ceng Bo dengan se-konyong2 bisa muncul disitu itu. Kiranya setelah sampai terang tanah, dia tak dapat menemukan jejak The Go, maka dia mulai bersangsi dan kuatir akan diri Bek Lian. Kalau betul orang she The itu mengambil jalan ditepi sungai yang sebelah utara situ, biar bagaimana cepatnya dia berjalan, tapi kalau dia (Ceng Bo) mengejar sampai  semalam suntuk tentu akan dapat menyusulnya. Jangan2 orang itu mengambil jalan ditepi sungai yang sebelah sana. Tapi mengapa Bek Lian tak memberi pertandaan ? Diam2 dia mengeluh, jangan2 puterinya mengalami hal2 yang tak terduga.

Maka dengan gunakan ilmu istimewa „teng ping tok  cui", dia melintas sungai. Kalau itu waktu setelah melintasi sungai, dia terus mengejar kearah timur, pasti akan dapat mencandak kedua orang itu. Tapi karena tak menduga bahwa puterinya akan berbuat semacam itu dengan orang buronannya, maka Ceng Bo lebih dahulu mengejar kearah barat. Baru setelah disana tak menemukan jejak apa2, dia balik mengejar kearah timur. The Go dan Bek Lian memiliki ilmu berjalan cepat yang lumayan. Dengan penundaan tadi, begitu Ceng Bo balik ketimur, The Go dan Bek Lianpun sudah tiba di Hokkian, terus berkuda menuju ke Hokciu.

Tiba di Hokkian, Ceng Bo kaget demi mendengar pembicaraan dari salah seorang penjaga pintu kota, bahwa ada seorang gadis cantik bersama seorang pemuda cakap masuk kekota situ. Dalam dandanannya sebagai seorang imam, Ceng Bo menanyakan hal itu kepada sipenjaga, siapa karena mengetahui bahwa tentara Beng sudah ngacir pergi jadi tentunya mustahil akan ada mata2 musuh, lalu menceritakan tentang keadaan kedua pemuda pemudi (The Go dan Bek Lian) tadi. Saking marahnya, hampir2 saja Ceng Bo terjungkal rubuh. Tanpa menghiraukan bahwa kala itu adalah pada waktu siang hari, dia segera enjot tubuhnya dan dalam sekejab saja sudah melesat jauh sekali. Hal mana telah membuat penjaga itu menjadi terlongong2 karena mengira kalau imam lawan bicaranya tadi adalah seorang dewa yang turun kedunia!

Bagaikan terbang, Ceng Bo menuju ke Hokciu. Dia segera menyirepi kabar kegedung congpeng, tapi pada waktu itu (siang hari) tak berhasil mendengar berita apa2. Malamnya dia lakukan penyelidikan lagi kesitu dan baru mengetahui bahwa The Go sudah berangkat menuju ke Kwiciu dengan membawa sepasukan tentara Ceng pilihan.

Ceng Bo cukup menginsyafi, bahwa Kwiciu itu adalah pusat jantung propinsi Kwitang. Kalau Kwiciu jatuh, Kwitang tentu tak dapat dipertahankan lagi. Malam itu juga dia ber-gegas2 menuju ketepi laut. Tapi disitu dia tak dapat menemui sebuah perahu pun juga. Semangatnya semasa muda timbul lagi.

Dengan mengeluarkan kekuatan sakti, dia berhasil dapat mencabut sebatang puhun sampai ke-akar2nya. Batang puhun itu dilemparkan kedalam laut, lalu dia loncat berdiri disitu. Dengan lwekangn ya yang aakti, dia meluncur ketengah laut, laju bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya.

Didalam gelombang laut yang naik turun itu, batang puhun yang bulat bentuknya itu turut diayun tinggi rendah, timbul tenggelam. Betapa saktinya ilmu kepandaian Ceng Bo, namun tak kuasa juga dia menguasai perahunya yang istimewa itu. Tapi meskipun demikian, batang kayu itu dapat meluncur lebih pesat daripada perahu rombongan The Go. Tak antara berapa lama kemudian, Ceng Bo segera tampak adp, 3 buah perahu besar berlayar kearah tempatnya. Salah sebuah perahu besar itu, tampak ada dua orang muda mudi tengah berdiri diatas geladak. Tak salah lagi itulah The Go dan puterinya yang „manis" itu.

Bahwa The Go dapat melakukan perbuatan khianat itu, memang sudah diduga oleh Ceng Bo. Tapi bahwa puterinya sendiri, sampai terpincut dengan orang yang hendak menjual negara itu, sungguh tak terpikirkan oleh Ceng Bo. Maka begitu dia loncat keatas geladak perahu dan Bek Lian berseru memanggilnya tadi, Ceng Bo sudah menyambutnya dengan dingin2 saja, sepatahpun tak mau dia menyahutinya.

Dari kakek gurunya, Ang Hwat cinjin, The Go pernah diceritakan tentang kesaktian tokoh yang bergelar Hay-te- kau itu. Dia yakin, gelar „Hay-te-kau" itu tentu berdasarkan bahwa ilmu air dari tokoh tersebut tentu lihay sekali. Kalau menempuh jalan kekerasan, rasanya ke 300 serdadu pilihan diatas perahu itu, tentu bukan tandingannya Hay-te-kau (Naga dari dasar laut). Malah dirinya sendiri pun pasti takkan terluput dari kebinasaan. Satu2nya siasat yang tepat, yalah dengan gunakan diplomasi lidah, agar tokoh itu jangan sampai unjuk kekerasan. Setelah rencananya tetap, dengan langkah lebar majulah The Go kemuka. Begitu memberi hormat dengan membungkuk, dia berseru lantang2: “Karena tak mengetahui akan kunjungan lopeh (paman) kemari, maka siaotit (keponakan) telah berlaku kurang hormat menyambutnya. Harap lopeh suka memberi maaf sebesar2-nya!"

Demi tampak Bek Lian berdiri berendeng dengan siorang she The, Ceng Bo siangjin sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Bahwa siorang she The menyebutnya „lopeh" dan membahasakan dirinya sebagai „siaotit" itu bukan meredakan hatinya, sebaliknya malah makin mengobarkan hawa kemarahannya. Tapi sebagai seorang pertapa yang saleh, tak mau Ceng Bo me-maki The Go. Tak mau dia menghiraukan tegur salam penghianat itu, sebaliknya tcrus bertanya kepada Bek Lian: „Apakah artinya ini?"

Nampakh wajah sang ayah makin suram dengan bengisnya, Bek Lian bercekat. Selama 19 tahun lamanya melayani sang ayah, belum pernah ia menampak  wajah sang ayah sedemikian murkanya. Kalau bercerita terus terang, tentu takkan mendapat keampunan lagi.

Belum berapa hari Bek Lian turun gunung, disana sini orang2 persilatan sama bercerita bagaimana pada 10 tahun berselang ayahnya itu sangat memusuhi sekali akan segala kejahatan. Nama Hay-te-kau cemerlang diangkasa persilatan. Dunia penjahat menjadi tergetar, apabila mendengar disebutnya nama Hay-te-kau itu. Tapi mendadak sontak jago pemberantas kejahatan itu lenyap dari pergaulan ramai, seolah2 telah padam api perjuangannya, lalu masuk menjadi imam. Hal mana telah menimbulkan keheranan dikalangan persilatan pada umumnya.

Diam2 Bek Lian bercekat hatinya. Kalau saja api- semangat ayahnya itu berkobar pula, dia pasti takkan mempedulikan ikatan ayah dan anak, sanak atau kadang lagi. Tapi bagaimana lagi, hatinya (Bek Lian) telah tertawan oleh sianak muda, tak dapat ia melawan suara kalbunya itu. Maka sampai sekian saat timbullah pertentangan hebat dalam batinnya.

“Lekas bilang!" bentak Ceng Bo.

Pada saat itu keadaan Bek Lian serba salah, maju celaka mundur tersiksa. la melirik kearah The Go, tapi sianak muda itu tak mau melihatnya. „Ah, rupanya engkoh Go tak mau dilihat ayah kalau dia yang bermaksud memikat aku. Ini adalah untuk kebaikanku sendiri. Ah, sial amat, mengapa baru beberapa hari aku berbahagia didamping engkoh Go, ayah sudah lantas datang mengadu biru. Agaknya harapanku untuk berdamping selama-lamanya dengan engkoh Go akan buyar!" demikian Bek Lian me- nimang2 dalam hatinya. Bagi hati yang menyinta, memang segala tingkah dan sikap dari jantung hatinya itu hanya dipandang dari sudut yang baik saja. Pada hal sebenarnya mengapa The Go tak mau memandangnya tadi, adalah karena kelicinannya. Melihat sikap Ceng Bo siangjin yang bengis itu, tahulah The Go urusan bakal menjadi runyam apabila dia dituduh membawa lari gadisnya. Maka bersikaplah dia sedemikian rupa, agar Ceng Bo tak menyangka begitu. Ha, licin betul si Wajah Seribu itu.

„Tia…………." tiba2 Bek Lian mengucap, tapi belum sempat ia menyelesaikan kata2nya

Ceng Bo sudah menukasnya : “Hm "

Bek Lian tertegun sejenak, lalu memaksa berkata lagi:

„Tia, aku aku… "

Sebenarnya Bek Lian hendak mengatakan „aku cinta padanya", tapi sebagai seorang gadis sudah tentu tak dapat ia mengucapkan kata2 itu dihadapan sekian banyak orang. Malah seketika itu wajahnya menjadi merah dan menundukkan kepala.

“Hai,   anak   keparat………..!  Anak  keparat… !"

hanya begitu Ceng Bo dapat menghamburkan kemarahannya, karena dia segera berpaling untuk menanya The Go: „Cian-bin Long-kun, dalam orang2mu itu apakah ada serdadu Ceng?"

The Go tersentak kaget atas ketajaman mata Ceng Bo. Hendak dia menyangkal atau tiba2 dari sebelah belakang terdengar suara seruan keras: „Hai, tosu, perlu apa kau datang kemari ?"

Amboi, itulah si Po Tho, thongleng dari pasukan Ceng, siapa masih tetap mengenakan pakaian seragam dan kuncirnya terkulai dibelakang. Cepat2 The Go delikkan mata kepada opsir Ceng itu seraya memaki dalam hati:

„Manusia yang bosan hidup !"

9

Sekali Ceng Bo Siangjin ayun tangan, perwira Ceng Itu dilemparkannya kelaut dalam keadaan menjerit2. Tanpa banyak bicara, Ceng Bo melesat kesamping Po Tho, sekali ulurkan tangan dia segera seret opsir Ceng itu kepinggir geladak. „Tolong!" Po Tho men-jerit2 seperti babi hendak disembelih, tapi siapa yang berani menolongnya. Sekali Ceng Bo mendorong, maka tubuh si Po Tho segera terlempar kedalam laut. „Mau pergi ke Kwiciu, ambil jalan air saja !"

The Go ketar-ketir hatinya. Dia mengira, pantangan- membunuh Ceng Bo siangjin sudah ditiadakan. Dan siapakah yang sanggup melawannya? Kalau dia berani turun tangan, tentu akan tersapu oleh imam yang gagah perkasa itu, dan ini berarti akan habislah seluruh rencananya, demikian pikir The Go. Maka dia lalu mundur beberapa langkah, siap hendak lolos dengan ceburkan diri kedalam laut. Tapi tiba2 dia merandek. Dengan gelar „Hay- te-kau" (Naga didasar laut), tentu kepandaian air dari imam itu ber-lebih2an. Dan karena berayal itu, Ceng Bo siangjin sudah berpaling kepadanya : “Cian-bin Long-kun, kau sebagai orang Han masakan tak ingat akan peristiwa 'Yang- ciu 10 hari' dan '3 kali penyembelihan rakyat Ka-ting' ? Kau menjadi pengkhianat membawa tentara musuh ke Kwiciu, bilanglah, hukuman apa yang harus kau terima !"

Kata2 Ceng Bo itu diucapkan dengan penuh semangat keperwiraan, sehingga pada saat itu juga, Bek  Lian mengutuk perbuatan yang sedemikian hinanya itu. Teringat bahwa orang yang berbuat khianat itu adalah jantung hatinya sendiri, serta iapun turut membantunya, gemetarlah tubuh Bek Lian.

Betapapun The Go itu biasanya pandai adu lidah,  namun hati nuraninya terasa berjengit juga mendengar tuduhan yang begitu tajam itu. Saking gentarnya, dia mundur lagi dua langkah, hingga kedekat tepi geladak. Ceng Bo memburu maju. „Seorang laki2 berani berbuat berani bertanggung jawab sendiri. Apabila sampai saatnya memikul akibat perbuatannya itu hendak melarikan diri, itulah keliru !"

Ditelanjangi habis2an, muka The Go pucat lesi. Melihat itu Bek Lian terkesiap. Lupa bahwa setelah The Go, nanti dirinyapun akan mendapat giliran dihukum sang ayah, ia segera melesat berdiri dihadapan sianak muda, serunya:

„Tia, kau mau melukainya?"

---oo0dw0oo---

Ceng Bo melengak. Tak kira dia kalau puterinya telah sekalap    itu    terang2an    hendak    melindungi    The  Go.

„Menyingkir  sana!"  bentaknya.  Ternyata  Bek  Lian masih

belum seratus persen berani membangkang perentah ayahnya, tapi iapun tak mau menyingkir jauh dari sang kekasih, maka ia hanya bergeser sedikit disamping The Go. Tapi kejadian itu, cukup memberi ilham pada The Go yang penuh akal muslihat itu. Wajahnya tak mengunjuk kecemasan lagi. Malah dengan ber-kipas2 sikapnya tenang sekali. „Siangjin," serunya lantang, „memang  benar siaoseng memimpin pasukan Ceng masuk ke Kwitang. Tapi puterimu pun ikut pada siaoseng menghadap Li congpeng di Hokciu. Hukuman apakah yang akan dijatuhkan padanya? Siangjin seorang yang penuh dengan pambek perwira, maka siaoaeng hendak mohon pengajaran!"

Ceng Bo tahu kepandaian orang untuk menyerang kelemahannya. Tahu pula dia bahwa orang she The itu hendak menjual Bek Lian, tapi pikir punya pikir, dia benci pada puterinya sendiri yang telah berbuat sedemikian hinanya itu. Ini berarti, kalau hendak memberesi orang itu, lebih dahulu harus memberesi puterinya sendiri. Sebaliknya Bek Lian yang masih hijau dan baru pertama kali itu jatuh cinta, beranikan diri untuk mengetuk perasaan sang ayah.

„Tia, apa yang dikatakan engkoh Go tadi benar. Aku bersama dia menghadap Li Seng Tong di Hokciu."

Sedih dan murka perasaan Ceng Bo. Sedih melihat tingkah puterinya yang tak senonoh itu, murka akan kelicikan The Go. Orang semacam itu, kalau dibiarkan hidup lebih lama, tentu akan mencelakai orang banyak. Begitu ambil keputusan tetap, Ceng Bo perdengarkan tertawa dingin: “Cian-bin Long-kun, kau bertanya bagaimana aku hendak menjatuhkan hukuman kepada anak itu? Baik, bukalah matamu, karena kau sendiripun tak nanti dapat lolos!"

Habis berkata begitu, dia berpaling kearah Bek Lian. Dengan memancarkan sorot mata ber-api2, dia membentak: “Anak keparat, dalam urusan ini, apa kau masih tak tahu ?"

0

Mengetahui puterinya berbuat serendah itu, dengan perasaan cemas Ceng Bo Siangjin putar tubuh memandang jauh kepermukaan laut yang luas. Bek Lian teringat akan apa yang pernah diajarkan oleh sang ayah, bahwa bangsa dorna dan penjahat itu, adalah penyakit masyarakat. Apabila nanti turun gunung dan bertemu dengan bangsa begitu, harus dibunuh demi untuk kepentingan rakyat. Maka atas ucapan terakhir dari sang ayah “apa tak tahu" itu, artinya harus menerima hukuman berat. “Tia!" serunya dengan wajah pucat.

Ceng Bo berputar tubuh membelakangi Bek Lian. Jauh memandang kepermukaan laut yang luas, dia kuatkan hatinya, mendamprat: „Aku tak mempunyai anak perempuan kau lagi, jangan panggil ayah padaku!" Habis mengucap begitu, bagaimanapun kerasnya sang hati, tak urung diam2 dia kucurkan air mata.

Pikirannya jauh melayang pada kejadian 10 tahun berselang. Sejak isterinya, Kiang Siang-yan, lenyap tanpa alasan apa2, dia sayang Bek Lian sebagai nyawanya sendiri. Kala itu Bek Lian baru berumur 9 tahun. Dengan penuh kasih sayang, diarawat dan mengasuh puterinya tunggal itu hingga sampai menanjak usia remaja. Bahwa buah daripada jerih payahnya itu ternyata sedemikian pahitnya, benar2 dia tak menyangkanya! Kelemahan itu telah dipergunakan oleh The Go untuk mendesak Ceng Bo.

Mendengar ucapan sang ayah itu, pecahlah tangis Bek Lian tersedu sedan. Cepat2 ia berlari hendak menubruk ayahnya, tapi Ceng Bo kibas2kan tangannya kebelakang, sehingga seperti disamber oleh tenaga kuat, Bek Lian merandek tak bisa maju. „Tia, aku adalah anakmu! Aku ini anakmu!"

Hati Ceng Bo seperti di-sayat2 tapi demi jangan sampai dilihat oleh The Go yang dibencinya itu, dia pakai lengan bajunya untuk mengusap air matanya, kemudian dengan tawar berkata: „Anakku, tentu takkan bersekongkol dengan bangsa penjajah asing, kalau berbuat berarti lebih berat dari 10 kedosaan!"

„Aku aku cinta pada engkoh Go, apakah salahnya aku bersama dia pergi ke Hokciu itu?" Bek Lian ter-sedu2 bertanya.

Tanpa menoleh lagi, Ceng Bo berseru: „Lekas bereskan dirimu sendiri, jangan jangan sampai aku….. turun tangan!" Sampai disini, karena teringat bahwa puterinya nanti tentu meninggal, dia menghela napas panjang, lalu berkata pula: “Kalau dalam kematianmu itu kau tak dapat memejamkan mata, biarlah nanti kubalaskan sakit hatimu itu!"

Dengan mulut sang ayah mengucapkan „kematianmu" itu, Bek Lian tersentak semangatnya, ia ter-longong2 sampai lupa menangis lagi. Hati Ceng Bo pada saat itu seperti di-remasl. Karena tak mendengar suara Bek Lian lagi, hatinya gentar, terus berbalik tubuh kebelakang. Demi tampak Bek Lian tak kurang suatu apa, dia menarik napas longgar. The Go yang licin itu, cepat dapat mengetahui isi hati Ceng Bo yang masih tetap tak tegah kepada puterinya itu. Tanpa berayal lagi, dia segera berkata seorang diri: “Harimau yang buas takkan memangsa anaknya. Mengapa karena hendak mengunjukkan kegagahan sesaat, lalu meninggalkan penyesalan besar!"

Ceng Bo merasa terkena dengan ucapan itu. Memang pada saat itu, timbul pertentangan hebat dalam batinnya, antars, cinta dan benci. Kemauannya menyuruh Bek Lian bunuh diri, tapi hatinya tak tegah melihat darah dagingnya itu sampal mengalami nasib yang sedemikian mengenaskan itu. Kembali dia menghela napas lagi, matanya memandang lekat pada Bek Lian tapi mulutnya membisu tak ber-kata2.

Tahu kalau ada setitik harapan tertolong, silicin The Go batuk2 sembari tertawa. Hendak dia bicara lagi, tapi Ceng Bo telah keburu delikkan mata kepadanya, se-olah2 memperingati bahwa sekalipun dia dapat memaafkan puterinya, tapi tak dapat memberi ampun kepadanya. Tapi pada lain kilasan, dia teringat akan pengakuan Bek  Lian tadi ia iktut The Go ke Hokciu, sehingga membuatnya serba susah. Tapi demi memikirkan betapa penderitaan rakyat Kwitang apabila tentara Ceng datang, dia mendamprat dirinya sendiri. Berapa banyak orang2 tua yang akan kehilangan putera-puterinya, berapa banyak gadis2 dan wanita2 yang akan tercemar kehormatannya nantinya? Adakah hanya karena memikirkan kepentingan Bek Lian seorang, maka dia tegah membiarkan seluruh rakyat Kwitang menderita kesengsaraan sebesar itu ?

Liangsim (nurani) Ceng Bo tergugah lagi. Tapi karena  tak tegah melihat puterinya mati secara mengenaskan itu, kembali dia berputar tubuh dan serunya dengan suara sember: „Jangan berayal, lekas habisi jiwamu!" Nada ucapannya itu berat sekali, menandakan bagaimana beratnya perasaan yang menindih hatinya.

Tadi The Go sudah hampir bersorak dalam hati demi melihat sikap Ceng Bo berobah tenang. Tapi tatkala dengan tiba2 berobah beringas lagi, diam2 dia memaki siangjin itu sebagai seorang yang kukuh. Sedang Bek Lian setelah mendengar sang ayah mendesaknya lagi, segera memandang kearah The Go seraya berseru: „Engkoh Go!"

Begitu merawankan sekali seruan itu, biarpun berhati sekeras baja, orang pasti akan tergerak juga hatinya. Sebaliknya tidak demikian dengan The Go.  Demi dilihatnya Ceng Bo masih membelakangi, dia  segera hendak bertindak. Baru dia hendak loncat kedalam laut, tiba2 ombak laut berserak dan berbareng dengan bunyi damparan ombak yang keras, sesosok tubuh loncat kedalam perahu situ. Orang itu mengenakan pakaian seperti sisik ikan. Begitu tangannya memegang buritan, dia segera berjumpalitan loncat kegeladak.

Selain Bek Lian, kedua orang (The Go dan Ceng Bo siangjin) yang berada digeladak perahu situ tadi, adalah akhli2 air yang jempolan. The Go sejak kecil dibesarkan dilaut.

1

„Orang she The, kiranya kau berada disini!" seru Ciok Jisoh seraya menyerang dengau rodanya yang bergigi.

Sedang gelaran Ceng Bo siangjin dahulu adalah Hay-tee- kau Tapi demi nampak kepandaian orang tadi, keduanya menjadi kesima. Yang paling jengkel, adalah The Go. Baru saja dia mempunyai kesempatan untuk lolos, atau orang itu datang mengadu biru, hingga kini Ceng Bo sudah berbalik badan dan mengawasi padanya. Ketika diamat-amati ternyata orang itu adalah Kim-kong-lun Ciok jisoh, siapa begitu menginjak geladak lantas saja berseru: „Bagus, orang she The tidak didarat, dilaut akhirnya kita berjumpa. Ha, kiranya kau berada disini!" Habis berkata, ia perdengarkan suara keheranan, serunya: „Hai, Ceng Bo siangjin, mengapa kau bersama puterimu juga berada disini?"

Ceng Bo hanya perdengarkan jengekan saja, sebaliknya The Go segera menegur: „Ciok jisoh, mengapa kau tak berada di Kwiciu melindungi junjunganmu, tapi datang kemari ?"

“Huh, apa itu melindungi junjungan. Aku sudah bukan pembesar negeri lagi, tapi hendak mengarungi ujung dunia untuk mencari orang she The!" Ciok jisoh tertawa dingin seraya melepaskan senjata jit-gwat-lun dari ikatannya. Begitu sepasang kim-kong-lun (roda baja) yang  bergigi tajam itu siap ditangan, berserulah ia: „Orang she The, kau terlalu menghina orang. Biarpun aku bukan tandinganmu, tapi aku tetap hendak adu jiwa dengan kau!"

Dari sikapnya itu, Ciok jisoh terang seorang wanita yang berterus terang tanpa tedeng aling2. Kalau dia seorang pria, kiranya mirip dengan watak tokoh hweshio Lou Ti-sim dari kawanan Liang-san dahulu. Ceng Bo pun memuji dalam hati, bahwa diantara keempat bajak laut itu, hanya wanita she Ciok itu saja yang masih berpambek seperti orang persilatan. Maka demi mendengar, wanita itu hendak membuat perhitungan dengan The Go, Ceng Bo menunggu dengan penuh perhatian. Pikirnya, apabila wanita gagah itu sampai kalah, dia hendak membantunya.

Melihat kedatangan Ciok jisoh Itu, The Go mendapat ketika untuk mengulur waktu lagi. Dengan ber-kipas2, berserulah dia: „Ciok jisoh, bagaimana aku siorang she The ini menghina orang she Ciok?"

Ciok jisoh tak mau menjawab dengan mulut, tapi begitu melangkah maju, ia tikamkan kim-kong-lun ditangan kiri kedada The Go, siapa cepat2 menangkisnya. Ciok jisoh susulkan kim-kong-lun ditangan kanan kearah pundak lawan. Tapi tanpa gugup, The Go ulurkan kipasnya untuk menangkis, dan tepat kipas itu menancap ditengah gigi baja. Dipasangnya gigi2 baja itu, memang khusus diperuntukkan merebut senjata musuh. Maka lekas2 Ciok jisoh menarik sekuat2nya kesamping kiri. Yakin ia kipas The Go pasti akan tersentak jatuh. Tapi ternyata orang she The itu sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Begitu dilihatnya Ciok jisoh menyentak kekiri, The Go sudah mencekal kencang kipasnya untuk dibantingkan kesamping kanan. Jadi adu kekuatan namanya.

Seketika Ciok jisoh rasakan tangannya kesemutan, kim- kong-lun hampir2 terlepas dari cekalannya. la coba kendorkan sentakannya, untuk selekasnya menarik kebelakang, pikirnya hendak lolos dari adu kekuatan itu. Tapi justeru dengan begitu, tanpa disadarinya, ia masuk keperangkap The Go. „Lepaskan!" kedengaran The Go membentak seraya balik membanting kipasnya kekiri. Benar juga, kim-konglun Ciok Jisoh terpental lepas, dan jatuh terlempar kedalam laut.

Tapi se-konyong2 terdengar bunyi „trang” dari beradunya logam dan kim-kong-lun itu mencelat balik keatas perahu lagi. Sudah tentu, dengan sebatnya Ciok jisoh menyanggapi. Belum hilang kekagetan orang2, atau muncul pula seorang yang mengenakan pakaian kulit ikan yang dengan enteng sekali loncat keatas geladak. Dibanding dengan Ciok jisoh, gerakannya jauh lebih  lincah. Tangannya mencekat sebatang hi-ja (garu penusuk ikan) yang berujung 3. Begitu tiba digeladak, ia memandang kearah orang2, kemudian berseru keras: „Engkoh Go, kiranya kau berada disini!" Setelah itu ia memberi salam pada Bek Lian: „Taci yang baik, sukakah kau menyingkir jauh sedikit dari engkoh. Go ?"

Kiranya itulah Lamhay hi-li Ciok Siao-lan. “Moaycu (adik), orang yang tak kenal budi itu berada disini, mengapa kita tak adu jiwa dengannya?" seru Ciok d yisoh kepada adik iparnya.

Siao-lan hanya sebentar mengerlingkan mata kearah taci iparnya, lalu maju beberapa tindak lagi menghampiri kedekat The Go, serunya: „Sosoh, aku tak dapat persalahkan dia tak kenal budi!"

Setelah pemimpin mereka si Po Tho dilempar Ceng Bo kedalam laut, serdadu pilihan bangsa Ceng yang menyaru jadi penumpang itu, sama ketakutan. Sekalipun yang agak bernyali, toh paling banyak hanya berani memandapg saja. Oleh sebab itu, kemudi kapal tak ada yang memegangnya. Perahu terombang-ambing didampar ombak, dan makin lama makin jauh dari kedua perahu yang tadi.

Seturunnya dari Giok-li-nia, Ciok jisoh dan Cyiok SiaoIan tak mau kembali ke Kwiciu, melainkan kembali kelaut untuk merawat luka Siao-lan. Luka Siao-lan cukup berat, tapi setelah ditutup jalan darahnya oleh Kiau To dan diberi sebutir pil mujijad sam-kong-tan, tak berapa hari kemudian dapat sembuh juga. Pada hari itu, kebetulan keduanya tengah pesiar dengan sebuah perahu kecil. Melihat ada sebuah perahu besar terombang ambing tak tentu arahnya, mereka menjadi heran. Disuruhnya Siao-lan menjaga perahunya, lalu Ciok jisoh berganti pakaian air menyelam kesana. Dan bertemulah tadi ia dengan The Go.

Melihat sampai sekian lama taci iparnya tak balik, menyusullah Siaolan. Begitu melihat The Go, hatinya sebesar gunung. Tapi serta dilihatnya Bek Lian juga berada disitu, hatinya mendeluh sekali.

Mendengar kata2 sigadis nelayan itu, makin pedihlah hati Ceng Bo. Sedikitpun tak mengira dia, kalau puterinya sampai begitu tak tahu malu lagi. Ter-gila2 pada seorang pemuda, itu sih masih mending. Tapi kalau turut rebutan lelaki, ah ...... demikian Ceng Bo menghela napas panjang. “Kalau jiwi (kalian berdua) tiada urusan apa lagi, harap tinggalkan perahu ini," akhirnya dia meminta kepada kedua orang wanita itu.

“Mengapa?" tanya Siao-lan dengan tangkasnya, atas itu Ceng Bo tak mau banyak berdebat lagi, katanya dengan suara berpengaruh: „Laki-2 dan perempuan itu, bersekongkol hendak masukkan tentara Ceng ke Kwitang, suatu perbuatan khianat yang tak dapat diampuni, maka hendak kusuruh keduanya bunuh diri sendiri!"

“Hai, Ceng Bo sianjin, bukankah nona itu puterimu sendiri?" tanya Ciok jisoh dengan keheranan.

“Benar, tapi ia telah melakukan perbuatan terkutuk itu. Kecintaan kenal kasihan, tapi hukum tetap hukum!" sahut Ceng Bo dengan keraskan hatinya, lalu berseru kepada The Go: „Orang she The, setelah ia beres, jangan harap kau bisa lolos!"

Wajah The Go pucat lesi. Tak tahu dia bagaimana untuk menjawab ultimatum siangjin itu. Dilihat naga2nya, siangjin itu sudah bulat tekadnya, anak kandung sendiri tetap dihukum, apalagi dia? Pikirannya bekerja keras, namun tak dapat dia mencari jalan keluar. Apa boleh buat, terpaksa dia pura2 bersikap tenang saja. Ceng Bo masih hendak mengatakan apa2, tapi Siao-lan tampak maju kemuka, serunya: „Ceng Bo siangjin, ilmu  silatmu tinggi, itu aku tahu. Tapi apapun alasanmu hendak menganiaya engkoh Go, jika aku masih bernapas, tentu kau takkan dapat."

Kata2 itu diucapkan dengan yakin sekali oleh Siao-lan. sampai2 Ceng Bo melengak, sahutnya: „Kau tak bersekongkol dengan tentara Ceng, buat apa menghendaki jiwamu?"

“Kalau kau hendak membunuh engkoh Go, lebih dahulu harus melangkahi bangkaiku!" balas Siao-lan.

Sejak menyucikan diri menjadi imam, sebenarnya Ceng Bo memegang pantangan membunuh. Hanya karena menganggap urusan kali ini teramat besarnya, dimana menyangkut keselamatan rakyat kedua wilayah Kwitang dan Kwisay, maka dia terpaksa melanggar pantangan itu. Atas pernyataan Siao-lan tadi, dia tampak merenung. Selagi dalam keadaan begitu, tiba2 terdengarlah suara gedabrukan yang dahsyat sekali, disusul dengan goncangan yang hebat. Andaikata orang2 dalam perahu tak pandai ilmu silat, pasti mereka akan terbanting jatuh. Sudah tentu semua orang menjadi terkejut sekali, termasuk Ceng Bo juga. Hanya Siaolan saja yang masih tampak tenang. Meskipun geladak perahu itu terombang-ambing keras, tapi ia tetap menghampiri kedekat The Go untuk memberi tahu:

„Engkoh Go, perahu telah menubruk karang, jangan takuti imam tua itu lagi!"

Dua macam perasaan timbul dalam hati The Go, girang dan gelisah. Girang karena dengan kejadian yang tak terduga itu, dia ada harapan besar dapat lolos dari tangan siimam. Gelisah sebab urusan yang dikerjakan itu, telah menemui halangan. Entah berapa jauhnya dari daratan, yang nyata kini mereka berada ditengah lautan besar. Sekalipun ilmunya diair lihay, tapi rasanya dia pasti akan mati kelelap dalam laut itu. Pikiran itu juga terdapat dalam pikiran semua orang yang berada didalam perahu situ, kecuali Bek Lian seorang yang tak pandai berenang.

„Engkoh Go!" serunya dengan cemas.

„Lian-moay, jangan takut! Ada aku disini, biarkan perahu tenggelam, nanti akan kubawamu berenang!" sahut The Go dengan gagahnya, dan politik itu telah termakan dalam hati Ceng Bo, siapa diam2 berpikir: „Dia rupanya sungguh2 menyinta Bek Lian. Kata orang 'dalam kesusahan terlihatlah hati orang'. Dia rela membawa renang Lian-ji, bukankah itu suatu tanda kecintaannya pada Bek Lian ?"

Habis menyahut tadi, The Go diam2 melirik kepada Ceng Bo. Tahu siangjin itu merenung, kembali dia berkata lagi kepada Bek Lian: „Lian-moay, kemarilah. Mati kita bersama, hidup kita bersama!"

Ucapan itu makin menyentuh hati Ceng Bo, pikirnya:

,.Kalau kelak mereka dapat kembali kejalan yang benar, rasanya tak layak untuk menceraikan mereka hidup2-an."

“Taci yang baik, kalau kau berani mendekati engkoh Go Iagi, jangan persalahkan aku berhati kejam," tiba2 Siaolan menyeletuk.

Benar Bek Lian cinta pada The Go, tapi belum sampai hatinya berlaku terang2-an seperti Siao-lan itu. Gadis hitam itu dibesarkan dilaut, jadi wataknya pun kasar terus terang. Sudah tentu Bek Lian tak mau meladeni adu mulut, hanya karena disebabkan soal seorang lelaki saja. Maka sejenak itu ia diam saja. Tapi The Go yang perlu untuk mencari muka pada Ceng Bo yang agak sudah terpikat hatinya itu, cepat menarik senjata garu Siao-lan, hingga nona itu ter-huyung2 beberapa tindak jauhnya. Dengan langkah lebar The Go segera menghampiri Bek Lian, sebaliknya lalu mendamprat Siao-lan: „Budak hina yang tak tahu malu, aku sudah terikat janji sehidup-semati dengan Lian moay, mengapa kau selalu mengerecoki saja?!"

Siao-lan melengak kesima, serentak ia menubruk kepada Ciok jisoh, menangis ter-lara2: „Sosoh, ternyata engkoh Go tak mau pada aku, dia ambil lain orang menjadi isterinya!" Pikir Ciok jisoh hendak menasehati adik iparnya itu, tapi dari dalam ruang perahu rombongan serdadu Ceng berdesak2-an keluar, sembari men-jerit2: „Air sudah masuk, air sudah masuk!"

Baru kini semua orang sama insyaf bahwa setelah terjadi goncangan hebat tapi perahu itu tetap tenang saja, adalah karena sedang tenggelam dengan pe-lahan2. Geladak yang sesempit itu, sudah tentu menjadi penuh sesak dengan ratusan orang yang desak mendesak tak keruan. The Go murka, wut, wut, dua kali dia menghantam. Beberapa serdadu yang mendesak kedekatnya, telah terpental kebelakang, menjatuhi kawan2nya lain, dan kawan2 itu menjatuhi lagi yang dibelakang. Dengan begitu segera ada beberapa orang yang kecemplung dalam laut. Adalah karena kepanikan Orang2 itu, maka tubuh perahu menjadi miring lagi, hingga serdadu2 itu sama ter-huyung2 kesana kemari seperti gabah ditampi (diinteri).

“Engkoh Go, dalam kehidupan kita sekarang ini, adalah benar2 kita selalu bersatu?" bisik Bek Lian merayu.

„Sudah tentu, Lian-moay!" sahut The Go sembari memegang tangan sinona.

Mendadak perahu bergoncang lagi dengan hebatnya, sehingga karena miring maka ada sejumlah besar serdadu2 Ceng yang terlempar lagi kedalam laut. Sisanya sama ber- gegas2 menurunkan perahu sekoci (perahu penolong bahaya, terus berebutan naik kedalamnya. Dalam kepedihannya, Siao-lan tak menghiraukan segala apa, sementara Ciok jisoh yang tumpahkan perhatiannya untuk menasehatnya juga tak mempedulikan orang itu, Ceng Bo siangjin yang memikirkan soal puterinya dengan The Go, juga ter-mangu2. Hanya The Go sendiri yang cepat dapat menginsyafi keadaan berbahaya itu. Karena perahu2 sekoci sudah dipakai oleh secdadu2 Ceng tadi, dia terkejut dan mengeluh keras. Ciok jisoh tersadar karenanya, cepat dia hendak meronta dari pelukan Siao-lan untuk mengejar kelaut, tapi seperti orang gila, Siao-lan tetap merangkul iparnya, seraya me-ratap2: „Engkoh Go, jangan pergi, jangan pergi! Kau tetap bersamaku saja!" Ciok jisoh tahu bahwa adik iparnya itu sudah ber-tahun2 ter-gila2 pada The Go. Kejadian tadi, adalah yang paling menggoncangkan batinnya, hingga ia seperti orang linglung tak waras pikiran. Jalan yang terbaik, yalah lekas2 singkirkan nona itu dari situ. Cepat ia mengambil putusan, cepat pula ia bertindak. Sang adik ipar dirangkul pinggangnya, sekali enjot sang kaki, keduanya segera melayang masuk kedalam laut. Blung........ tahu2 ketika muncul lagi dipermukaan air, mereka berdna sudah 4 atau 5 tombak jauhnya. Dalam sekejab saja. Ciok jisoh sudah dapat mengejar perahu sekoci tadi. Dengan membolang balingkan kim-kong-lun, serdadu yang berada disitu sama kecemplung kedalam air. Cepat Ciok jisoh angkat iparnya kedalam sekoci, laksana anak panah cepatnya, ia mendayung kemuka. Sebentar saja lenyaplah sudah.

Kini yang masih tinggal didalam perahu besar, hanya Ceng Bo siangjin, The Go dan Bek Lian. The Go makin gelisah demi dilihatnya Ciok jisoh sudah kabur, dan tiba2 dirasanya sang kaki menjadi dingin, hai kiranya air laut

audah merangsang keatas geladak situ. Ketika The Go berseru kaget, air dengan cepatnya sudah naik kelutut. Dalam waktu yang singkat, terang perahu itu pasti kelebuh. Ditatapnya Bek Lian, tapi tampaknya nona itu juga ter- longong2 mengawasi padanya.

“Siangjin, perahu sudah hampir tenggelam. Lian-moay tak bisa berenang, bagaimana daya Siangjin sekarang?" tanyanya memberanikan diri. Setelah merenung sejenak, Ceng Bo balas bertanya:

„Cian-bin Long-kun, sudah berapa lama kau kenal dengan Lian-ji ?"

The Go melengak, tak tahu apa maksud orang dengan bertanya begitu. Tapi dia tak berani diam saja, sahutnya: Baru 4 atau 5 hari saja."

“Kalau begitu, kalian ini begitu ketemu sudah saling jatuh hati?" kata Ceng Bo pula, kemudian diam merenung.

The Go tahu siasatnya mencari muka pada Ceng Bo dengan jalan bersikap begitu menyayang sekali kepada Bek Lian, telah dapat mendobrak nurani imam itu. Kini dalam saat2 yang seperti telor diujung tanduk berbahayanya itu. nampaknya sikap siimam sudah berobah. Malah siapa tahu, imam Itu berkenan juga menjodohkan puterinya dengan dia nanti. Dengan penimangannya itu, cepat The Go merobah haluannya: „Lopeh, sejak siaotit pertama berjumpa dengan Lian-moay, kami berdua sudah saling menyinta. Adalah karena kegelapan pikiran siaotit, maka siaotit hendak mengundang tentara musuh sehingga Lian-moaypun turut kerembet "

“Engkoh Go, aku kedinginan!" tiba2 Bek Lian berseru memutus omongan orang. Memang tampak oleh The Go, bahwa air sudah merangsang kebatas pinggang. Buru2 dia angkat Bek Lian.

„Bawalah Lian-ji keatas tiang besar, aku ada omongan denganmu!" kata Ceng Bo Siangjin.  

2

„Bawalah Lian-ji keatas tiang kapal, ada yang hendak kutanya padamu:" kata Ceng Bo Siangjin, yang lututnya sudah kerendam air laut.

The Go tak berani berlaku ayal. Dengan sebelah tangan memanggul Bek Lian, sebelah tangannya lagi memegang tiang perahu. Sekali enjot sang kaki, tubuhnya melesat keatas tiang besar itu.

---oo0dw0oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar