Kisah Bangsa Petualang Jilid 15

 
Jilid 15

Mo Lek mengawasi, ia nampak heran.

Leng Song lantas menceritakan kejadian dahulu hari itu ketika ia melihat Hong-hu Siong membunuh Kie Tie untuk mencegah Kie Tie menutur jelas kepada Toan Kui Ciang. Ia tuturkan bagaimana mereka mengepung See-gak Sin Liong, yang tak suka Kie Tie membeber rahasia, maka Kie Tie dibunuh secara membokong.

Bukan main herannya Mo Lek.

Mereka berjalan terus dengan memperlahankan jalannya kuda mereka. Selang sekian lama, mereka tiba di sebuah jalan cagak tiga.

"Ya, aku belum sempat menanya kau," kata Nona Hee sambil ia menahan kudanya. "Sebenarnya kamu mau pergi ke mana?"

"Kami mau pergi ke Kiu-goan untuk aku menjenguk kakak seperguruanku," menjawab Mo Lek. "Katanya Kwe Cu Gie lagi membutuhkan tenaga bantuan.

Si nona mengangguk.

"Jikalau nanti kamu bertemu Lam Ce In," katanya perlahan, "Tolong kau sampaikan padanya bahwa aku lagi menantikan dia. Juga suruh ia datang lagi beberapa hari, jikalau dia terlambat hingga suasana sudah menjadi genting, dikuatir sulit untuknya menyingkir..."

Mo Lek mengawasi nona itu, dia tertawa.

"Ha, kiranya kamu telah bergaul sangat erat!" katanya menggoda. "Meski begitu Lam Suheng masih tidak hendak bicara suatu apa padaku!"

Leng Song membiarkan orang menggodanya, ia hanya meminta diri untuk berangkat terus seorang diri, karena di situ mereka harus berpisahan.

Ia tak ketahui, di lain pihak, Liap Hong sudah didesak oleh Ceng Ceng Jie, hingga ketika Ceng Ceng Jie minta keterangannya, dia telah memberitahukan alamat Leng Soat Bwe, ibunya yang lagi tinggal menyembunyikan diri.

Ketika itu Liap Hong, yang terlukakan dan lari, telah dapat disusul Ceng Ceng Jie. Ia kalah licik, ia kena terbujuk dan terdesak. Tadinya Liap Hong berat berbicara, tetapi guna mencegah dirinya dicurigai, ia menerangkan juga, atas mana Ceng Ceng Jie tertawa dan kata, "Nah, ini barulah namanya sahabat!"

Tak enak suara tertawanya itu.

Liap Hong malu dan mendongkol, ketika ia mengangkat kepalanya, Ceng Ceng Jie sudah meninggalkannya.

Mo Lek dan Cie Hun melanjuti perjalanan. Kuda mereka kuat sekali, meski muatannya dua lipat, dia masih dapat lari keras. Begitulah besoknya tengah hari, mereka telah sampai di Kiu- goan. Segera mereka pergi langsung ke kantor Thaysiu, untuk minta menghadap. Tatkala pengawal pintu ketahui si pemuda menjadi adik seperguruannya Lam Ce In, mereka disambut dengan hormat. "Sekarang ini Thaysiu dan Lam Ciangkun berada di tanah lapang tengah melatih panah, silahkan Ciongsu masuk saja. Ciongsu bukan orang luar!" demikian katanya. "Silahkan!"

Tiat Mo Lek tidak berlaku sungkan, ia ajak Cie Hun memasuki lapangan, yang berada di dalam kantor Thaysiu, karena itulah tempat berlatih dari para perwira pertengahan dan bawah. Ia lantas memberi hormat kepada Kwe Cu Gie, baru pada Ce In, suhengnya itu.

Kwe Thaysiu melihat Mo Lek bertubuh kekar, tetapi ketika itu tak sempat ia mengajak bicara.

"Silahkan duduk, lihatlah para perwira berlatih!" katanya. Mo Lek menurut, ia mengucap terima kasih.

Ketika itu orang lagi melatih diri dengan memanah sehelai papan dimana dibuat titik merah di tengah-tengah, jaraknya seratus tindak lebih. Selain mesti memanah tepat, orang juga mesti memanah keras, karena busur yang digunai apa yang dinamakan "Busur dengan kekuatan lima karung".

Kwe Cu Gie mempunyai orang-orang yang terlatih. Dari sepuluh orang, tujuh di antaranya berhasil memanah sasaran hingga tiga kali dan dua yang mengenakan dua kali. Yang paling buruk, yang seorang dapat memanah satu kali.

Selagi mengawasi rombongan perwira itu, tiba-tiba Mo Lek merasa ia kenal, atau mengenali satu di antaranya, hanya ia  tak ingat, siapa dia dan di mana pernah ia melihatnya. Ia pun tidak sempat berpikir sebab Kwe Cu Gie sudah lantas berkata padanya, "Tiat Congsu, apakah kau juga hendak mencoba memanah?"

Mo Lek tidak dapat menampik. Ia memang ingin perlihatkan kepandaiannya. Ia berlaku sebat menyiapkannya, lantas ia memanah, dengan beruntun. Ia mengenai tepat titik merah, ketiga anak panah saling susun hingga jatuh ke tanah.

Tempik sorak menyambut pertunjukan kemahiran itu, bahkan Kwe Cu Gie sambil berkata, "Seribu serdadu muda didapat, satu panglima susah dicari! Tiat Congsu, kedatanganmu ini merupakan bantuan Thian untukku!"

Maka latihan lantas disudahi dan anak muda itu segera diundang berkumpul di ruang dalam dimana dia dijamu.

Selama bersantap orang bicara dari hal peperangan. Nyata An Lok San sudah bergerak dengan berhasil. Selama setengah bulan, dia telah dapat merampas tujuh atau delapan kecamatan atau kewedanaan, majunya sangat pesat. Malah ketika dia mendapatkan kota Thay-goan, caranya luar biasa.

Sebuah pasukannya menuju ke kota Thay-goan itu. Pembesar kota itu yang bernama Yo Kong Hui, yang menjadi saudara sepupu dari Yo Kok Tiong, tidak percaya Ciat-touw-su itu berontak, dia membuka pintu kota menyambut pasukan itu, maka dengan mudah saja ia lantas ditangkap dan dibelenggu, terus dikirim kepada An Lok San hingga dia menerima kebinasaannya.

"Heran, bagaimana bisa dia maju demikian mudah?" tanya Mo Lek heran.

"Itulah disebabkan negara sudah terlalu lama aman dan tentara menjadi kurang pendidikan," kata Kwe Cu Gie. "Panglima yang pandai dan tentara yang terdidik kebanyakan berada di perbatasan. Di dalam negeri, persiapan terabaikan, begitu terjadi perang, mereka menjadi tidak berdaya."

Sebenarnya pendirian dan aturan tentara Kerajaan Tong sempurna sekali hanya semenjak Lie Lim Hu menjadi perdana menteri, aturan itu tinggal aturan saja, pelaksanaannya tersia- siakan, hingga tentara terdiri dari orang-orang tidak keruan.

Sebaliknya tentaranya An Lok San terdidik baik, bahkan dia mencampurnya dengan pasukan suku Turk, sedang rangsumnya banyak. Maka dia menjadi kuat sekali.

"Syukur sekarang ini Pemerintah Agung sudah menugaskan Tayciang Ko Sie Han mengumpul tentaranya di kota Tong- kwan, dengan demikian dia dapat menjadi pelindung kota Tiang-an," Kwe Cu Gie menerangkan terlebih jauh. "Tayciang Ko Sie Han pandai berperang, tak mungkin An Lok San dapat sembarang melewati kota Tong-kwan. Disamping itu Pemerintah Agung juga telah menitahkan Hong Siang Ceng, Ciat-touw-su dari Hoan-yang dan Peng-louw dengan tugas pergi ke Tang-khia untuk mengumpulkan tentara, maka itu, mungkin dia" juga akan berhasil merintangi kaum pemberontak itu."

"Hong Siang Ceng bangsa sembarangan, mungkin dia tak sanggup melakukan tugasnya itu," kata Ce In. "Ko Sie Han memang pandai akan tetapi dialah orang suku Ouw, aku kuatir dia tak dapat dipercaya. Maka itu, menurut aku, karena soal sangat penting, kita perlu mengandal kepada Leng-kong sendiri."

"Dalam hal urusan besar dari negara, tidak dapat orang mengandali hanya satu orang," Kwe Cu Gie bilang. "Mengenai negara, setiap orang ada kewajibannya sendiri. Tapi keadaan telah menjadi begini rupa, bagiku tinggal terserah kepada segala apa yang aku sanggup lakukan..."

Habis pesta, Lam Ce In mengajak Mo Lek dan Cie Hun ke kamarnya sendiri. "Lam Suheng," kata Mo Lek tertawa, "Mengenai urusan lainnya, dapat kita bicarakan secara ayal-ayalan, tetapi satu hal perlu segera kau melakukannya!"

Ce In heran hingga ia melengak.

"Apakah itu?" tanyanya cepat setelah ia sadar.

"Ada seorang lagi menantikanmu, suheng!" kata sang adik seperguruan, yang hendak menggodai hingga dia bicara lambat-lambat.

Lam Ce In sudah lantas dapat menduga.

"Bagaimana?" tanyanya. "Apakah kau telah bertemu dengan Nona Hee?"

Sang sutee tertawa.

"Benar hebat!" katanya. "Begitu aku menyebut, suheng lantas menerka dia!"

Lantas adik seperguruan ini menuturkan halnya bertemu dengan Leng Song.

"Suheng," ia menambahkan, "Kapan nanti kau mengundang aku minum arak kegirangan?"

Muka Ce In bersemu merah.

"Jangan kau ngaco belo!" bentaknya, sedang di dalam hati, dia girang bukan main. Janjinya Leng Song itu memang ada sangkut pautnya dengan urusan nikah mereka.

Selama beberapa tahun ini kedua orang itu telah sering saling bertemu satu dengan lain, kecocokan membuat mereka berjanji untuk menjadi pasangan wan-yoh...

ibunya Leng Song tinggal menyendiri di kaki gunung Giok Liong San, di dusun See Kong Cun, selama dua puluh tahun, belum pernah ibu itu keluar setengah tindak juga dari dusunnya itu, berbareng, dia pun belum pernah bertemu dengan orang luar, maka itu, selama belum ada kepastian hal pernikahannya, Leng Song tidak berani sembarang mengajak Ce In menemui ibunya itu. Baru kemudian - yang paling belakang ini - ia memberitahukan hal calon suaminya pada ibunya dan ibu itu memberikan persetujuannya, berani ia mengundang Ce In datang ke rumahnya.

Tentang itu, Leng Song sudah bicara dengan Ce In dan keduanya sudah saling berjanji. Leng Song memang mau pergi ke Kiu-goan, buat mengajak Ce In, apa mau kebetulan sekali ia bertemu Mo Lek di tengah jalan, karena ia ingin lekas-lekas menemui ibunya, ia jadi minta tolong Mo Lek menyampaikan pesannya kepada Ce In. Maka si orang she Lam menjadi sangat girang sebab itu berarti ia mengetahui Leng Song sudah memperoleh perkenan ibunya.

Demikian besok paginya, Lam Ce In pergi menghadap Kwe Cu Gie untuk memohon libur.

Kwe Cu Gie pernah melihat Leng Song, ia tahu si nona gagah, maka itu, ia minta penjelasan dari Ce In, atas mana, Ce In memberikan keterangannya.

Mendengar itu, ia tertawa dan kata, "Jikalau Nona Leng Song dapat datang ke mari maka kita pun bakal dapat membangun pasukan tentara wanita! Kepergianmu ini ada kefaedahannya untuk urusan pribadi dan umum, justeru sekarang belum ada titah untuk pergi berperang, silahkan kau pergi, asal kau lekas pergi dan lekas pulang! Semoga urusanmu itu beres, aku bersedia untuk mengurus pernikahan kamu di sini!"

Ce In mengucap terima kasih.

Mo Lek dan Cie Hun memberi selamat. Kemudian Mo Lek menegur suheng itu, yang tak mau dari kemarinnya bicara terus terang hal perjodohannya itu. Dengan muka: merah Ce In kata, "Tetapi di dalam urusan itu Leng Song mesti menanti dahulu persetujuan ibunya!"

Kwe Cu Gie tertawa dan berkata pula, "Orang semacam kau, Lam Ciangkun, mana mungkin Nyonya Hee akan tak memberikan persetujuannya? Dalam hal kamu ini, sudah wajar saja calon baba mantu nanti menemui bakal mertuanya! Nah, sudah, Ciangkun, kau lagi menghadapi soal kegirangan, tak dapat kami menghalang-halangimu. Silahkan kau pilih seekor kuda, untuk kau segera berangkat pergi!"

Cie Hun tertawa.

"Di sini ada kuda jempolan, baiklah, akan kupinjamkan itu padamu!" katanya. "Cuma kuda itu biasanya tak suka tunduk kepada orang asing, maka nanti aku yang ambil sendiri buat ajar kenal dia dengan kau!"

Cie Hun benar-benar lantas pergi mengambil kudanya. Melihat uy-piauw-ma, Ce In memuji.

Cie Hun tertawa, ia kata, "Sebenarnya kuda ini bukan milikku! Pemiliknya yang sah ialah Liong-kie Touw-ut Cin Siang!"

Ce In telah ketahui halnya Cin Siang dari Mo Lek, dia tertawa.

"Cin Siang itu aku cuma kenal namanya!" katanya. "Sayang selama di kota raja belum pernah aku bertemu dengannya. Baiklah nanti, sepulangnya aku, akan aku menyiapkan kuda untukmu dan membayar pulang kudanya ini. Sekarang aku terima budinya dengan menunggang kudanya!"

Demikian dengan membekal rangsum kering, Lam Ce In pamitan dari Kwe Cu Gie, Mo Lek dan Cie Hun, buat berangkat mencari Leng Song di gunung Giok Liong San. Dari Kiu-goan ke Giok Liong San, jauhnya delapan ratus lie lebih. Kalau orang naik kuda biasa, tempo perjalanan yang diperlukan ialah empat hari. Tidak demikian dengan uy-piauw- ma, yang dibiarkan lari sekeras-kerasnya.

Besoknya tengah hari, Ce In telah tiba di tempat tujuannya. Terus ia memasuki dusun tanpa menanya keterangan lagi. Pernah Leng Song memberitahukan ia bahwa rumah si nona ialah yang di depannya ada tiga buah pohon Yang-liu selaku pertanda yang tegas.

Sambil menuntun kudanya, ia pergi langsung ke depan pintu. Ia girang berbareng rada likat, hatinya bimbang. Ia menduga- duga bagaimana sikapnya ibu si nona, ia akan disambut dengan manis atau tidak...

Pintu rumah ditutup rapat, maka itu, Ce In mencekal gelang pintu dan menggoyangnya. Dua kali ia menggoyang, tak ada jawaban dari dalam, pintu pun tidak ada yang bukai. Ia menjadi heran dan bersangsi. Kemudian dengan terpaksa ia membuka mulut, memberitahukan bahwa ialah "Lam Ce In dari Gui-ciu yang datang memohon bertemu nyonya rumah."

Dua kali ia mengasih dengar suaranya, tetap ia tidak memperoleh jawaban.

"Taruh kata ibunya tak menyetujui perjodohan kita, tak ada alasan kenapa dia tidak membukai pintu?" akhirnya ia kata di dalam hati saking herannya, hingga ia menjadi bercuriga.

"Mungkinkah ada sedemikian kebetulan yaitu ibu dan anaknya itu lagi pergi keluar?"

Akhirnya Ce In memberanikan hati.

"Leng Song, inilah aku!" kata ia keras. "Lekas buka pintu!" Ia pun bicara dengan nyaring hingga tidak ada alasan orang di dalam rumah tidak mendengar suaranya itu. Toh tetap tidak ada jawaban.

Saking curiga, Lam Ce In tidak mau bersangsi pula. Dengan menghunus goloknya, ia lompat naik ke atas tembok pekarangan, la mencelat tinggi dan pesat dengan tipu loncatan "Burung jenjang menyerbu langit," hingga lantas ia melihat dari atas tembok ke pekarangan dalam, yang sepi dan sunyi, seperti juga rumah itu tidak ada penghuninya.

"Heran!" kata Ce In dalam hati.

Ia terus lompat turun, dengan berhati-hati ia bertindak maju. Ketika ia baru sampai di undakan tangga, mendadak ia mendengar bentakan begnis, "Sungguh bernyali besar! Siang hari bolong berani lancang memasuki rumah orang! Kau mau bikin apa, ha?"

Di dalam ruang itu ada berduduk seorang opsir yang mukanya seperti muka kera, hingga Ce In menjadi heran dan kaget. Sebab dia itu bukan lain orang daripada Ceng Ceng Jie.

Sungguh tak disangka Ceng Ceng Jie dapat berada di dalam rumah Leng Song sedang rumah itu dikunci dari luar dan kosong. Dari heran dan kaget, Ce In menjadi mendongkol. Ketika ia hendak menegur, Ceng Ceng Jie mendahului ia.

Sambil menyeringai, dia itu berbangkit dan kata tawar, "Aku kira bangsat dari mana yang mempunyai nyali sangat besar berani datang kemari, kiranya kau! Bagus, Lam Ce In! Bagus perbuatanmu ini! Kau juga opsir tentara Pemerintah Agung! Tanpa perkenan tuan rumah, dan di waktu siang begini, kenapa kau lancang memasuki rumah orang? Bahkan kau membekal senjata terhunus!- Kau tahu atau , tidak adanya aturan Pemerintah?" "Kau gila!" bentak Ce In gusar. "Kau mirip si jahat yang mendahulukan orang mendakwa! Rumah ini toh rumahnya Nona Hee! Mau apa kau berada di sini? Mana dia Nona Hee?"

Ceng Ceng Jie tertawa dingin.

"Pasti aku tahu rumah ini rumahnya Nona Hee!" sahutnya, menantang. "Tapi kau, kau pernah apa dengannya maka kau berani lancang memasuki rumahnya ini?"

Ce In menjadi bertambah mendongkol dan gusar. Tapi malu ia menyebut bahwa ialah tunangan Leng Song. Maka ia mengendalikan diri.

"Kau sendiri, kau pernah apa dengan Nona Hee?" ia balik menanya.

Ceng Ceng Jie tertawa pula.

"Dialah tunangannya saudaraku dari Keluarga Ong!" sabutnya lantang. "Dialah calon ensoku! Saudara Ong minta aku datang kemari menyambut tunangan berikut ibu tunangannya itu, supaya mereka bisa melangsungkan pernikahan mereka! Sekarang ini aku lagi ditugaskan di sini, menjaga rumah si Nona Hee. Hm! Kau berani mencuri masuk kemari, ke dalam rumahnya tunangan orang! Kau sebenarnya mengandung maksud apa?"

Ce In gusar bukan kepalang.

"Kau ngaco belo!" bentaknya. "Lihat golok!"

Ia lantas maju dengan tindakan "Menunggang harimau mendaki gunung," goloknya diayun dipakai membacok.

Ceng Ceng Jie tertawa dingin, masih dia berkata, "Siang hari terang benderang kau membawa-bawa golok lancang memasuki rumah orang! Jikalau kau bukannya si tukang berkendak tentulah kau pencuri, maka itu aku justeru hendak membekuk padamu buat dibawa kepada pembesar negeri!"

Sembari berkata itu ia berkelit, tangannya menghunus pedangnya maka dengan cara sangat sebat ia dapat segera balas menyerang, membabat lengan penyerangnya itu.

Dengan begitu keduanya jadi bertempur seru.

Lam Ce In rrienguatirkan keselamatan Leng Song dan ibu, ia pun mendongkol untuk lagak Ceng Ceng Jie, ia menjadi gusar luar biasa. Inilah tak baik untuknya, yang mesti menghadapi lawan tangguh. Berdua mereka memang seimbang.

Karena kemurkaannya ini, ia menjadi kalah tenang. Tidak demikian dengan Ceng Ceng Jie, yang memang sengaja mengocok orang. Karena Ce In gusar dan sembrono, ia jadi kalah unggul.

Demikianlah satu kali Ceng Ceng Jie berhasil menikam lawannya itu. Ketika Ce In menolong diri, toh bajunya kena terobek. Syukur ia mengenakan baju lapis baja dan berlaku gesit, jikalau tidak, dadanya bisa tertembuskan pedang hingga ke jantungnya...

Biar bagaimana, Ce In telah menjadi seorang yang berpengalaman dalam pertempuran, dengan lekas ia insaf, maka ia terus mengendalikan diri, untuk berlaku tenang. Bertempur terlebih jauh, ia menggunai golok "Ngo-bun Pat Kwa To" - "Golok lima pintu segi delapan". Dengan begitu, walaupun Ceng Ceng Jie liehay sekali, setiap serangannya dapat dihalau, bahkan sampai lewat lima puluh jurus, adik seperguruannya Khong Khong Jie masih belum memperoleh hasil.

Ceng Ceng Jie menang dalam ilmu ringan tubuh akan tetapi bertarung di dalam sebuah kamar, ia menjadi seperti terkekang, kemahirannya tak dapat dipergunakan dengan merdeka, sedang dalam hal tenaga dalam, Lam Ce In menang setingkat, apalagi sekarang, Ce In berkelahi dengan sungguh- sungguh.

Tengah bertarung seru itu, mendadak Ce In berseru keras dan menyerang. Ia mengerahkan tenaganya dan mencari lowongan lawan. Goloknya pun bergerak dalam ilmu silat "Merantai memegat sungai". Itulah tabasan yang disusul dengan serangan tangan kiri terbuka.

Ceng Ceng Jie liehay, ia berkelit dengan lincah, ia balas menyerang dengan tipu silat "Jarum emas menembusi benang".

Ce In telah menduga akan sepak terjang lawan itu, ia bertindak sambil mengegos, membuat ujung pedang lewat di samping iganya. Sambil berbuat demikian, ia menyerang pula. Kali ini ia menggunai pukulan tangan kosong yang langka, yaitu ilmu silat "Im Yang Siang Tong Ciu," atau "Tangan Im Yang saling menyentuh".

Ceng Ceng Jie banyak pengalamannya toh ia heran. Diluar dugaan didalam keadaan seperti itu orang bukan menggunai golok hanya tangan kosong. Tak ampun lagi, dadanya kena terhajar keras hingga bersuara "Buk!" Setelah itu, lawan baru membacok.

Dasar dia gesit dan berpengalaman, Ceng Ceng Jie tidak terhajar hebat, ketika menjejak lantai untuk mencelat mengapungi diri ke atas penglari, untuk menjambretnya.

"Ceng Ceng Jie, kau turun!" Ce In membentak menantang. "Hm!" Ceng Ceng Jie sebaliknya mengasih dengan ejekan di

hidung. "Apakah kau sangka aku jeri padamu? Hm!"

Ia terus naik ke atas penglari itu, untuk jongkok, habis itu, sebelah tangannya diayun ke bawah. Maka serupa barang yang berkilau menyambar pada lawannya itu. Lam Ce In ketahui musuh mempunyai pisau yang beracun, dengan sebat ia putar goloknya, guna melindungi diri.

Tiga kali terus menerus Ceng Ceng Jie mengayun tangannya, tidak ada pisaunya yang mengenai sasaranganya, ketiga pisau jatuh tersampok ke lantai.

Lam Ce In dapat membela diri tetapi sukar ia lompat naik, untuk menyusul musuh yang licik itu. Tidak ada kesempatan untuknya. Kalau ia paksa mencoba, selagi berloncat itu, musuh bisa menggunai ketikanya menyerang padanya.

Ceng Ceng Jie tertawa dingin. "Beranikah kau naik?" dia kata.

Mendadak dia bersiul panjang, kedua tangannya diayun. Maka dengan begitu enam batang pisau belati terbang ke arah Lam Ce In.

Orang yang diserang memutar golok mustikanya. Suara "ting-tang" lantas terdengar saling susul, suaranya berisik menulikan telinga, setiap pisaunya lantas terpental jatuh. Walaupun demikian, Ce In terdesak mundur beberapa tindak.

Ketika itu di samping ruang tetamu masing-masing ada sebuah kamarnya, pintunya itu semua tertutup rapat. Ce In telah mundur ke mulut pintu kamar samping yang timur.

Ceng Ceng Jie bersiul pula. Belum berhenti suaranya itu, atau pintu kamar samping itu mendadak terjeblak jatuh, menimpa ke arah Ce In. Menyusul itu terdengar juga suara angin menyambar, membawakan melesatnya sebatang anak panah.

Sekonyong-konyong, pintu kamar samping yang barat juga roboh, lalu dari arah pintu itu menyambar sebuah pot bunga yang besar. Ce In tidak sempat menoleh ke belakang, karena belakang kepalanya tidak ada matanya, tak ia melihat serangan itu terdiri dari senjata macam apa, maka itu, guna menangkis, ia mengayun tangannya ke belakang. Ia pun tak sempat berpikir banyak.

Senjata rahasia dan tangan beradu keras, suaranya keras juga. Karena hancur, pot itu jatuh berhamburan. Hebat untuk Ce In, ia jadi terlukakan pecahan pot bunga itu. Inilah luar biasa. Mau atau tidak, ia terkejut, perhatiannya menjadi teralihkan.

Berbareng dengan itu dari kedua pintu samping itu terlihat lompat keluarnya masing-masing satu orang. Yang dari pintu timur, Sie Siong, yang dari barat, Tian Sin Su. Sebenarnya mereka sudah lama bersembunyi di kamar samping itu, kalau baru sekarang mereka muncul, itu disebabkan Ceng Ceng Jie berkepala besar dan menyangka seorang diri dia dapat membekuk Ce In, tak tahunya lawan gagah, hingga akhirnya dia terpaksa meminta bantuan kawan itu.

Walaupun demikian, serangan membokong dua orang itu masih tidak dapat merobohkan musuh, sampai datanglah serangan dengan pot bunga itu.

Sie Siong yang tiba paling dulu, dia lantas menyerang. Ce In berseru keras, ia pun menyerang dengan melintangi goloknya.

Sie Siong menyerang denga tipu silat "Pian Cong menikam harimau," pedangnya menyambar ke dengkul.

Ce In menyambut hingga senjata mereka beadu keras, dengan akibatnya pedang menjadi melengkung.

Ketika itu datang serangannya Tian Sin Su, yang' menggunai gaetan. Tanpa berpaling lagi, Ce In meneruskan menyambut pula, tepat ia mengenakan lengan lawan, sampai lawan kesakitan dari sepasang gaetannya terlepas jatuh. Sebab dia memangnya pecundang, begitu senjatanya hilang, Sin Su lantas lari pergi!

Ceng Ceng Jie kembali bersiul, kali ini dia berlompat turun dari atas penglari kemana dia lompat naik dengan niatnya membokong, sembari lompat turun, dia menyerang dengan pedang besinya yang berat dan tajam itu.

Tak keburu Ce In menyerang pada Sie Siong, ia mengangkat naik goloknya guna menyambut serangan dari atas itu. Ia kesusu sekali. Ketika senjatanya beradu dengan pedang Ceng Ceng Jie, ia merasakan serangan sangat berat. Inilah tak heran sebab Ceng Ceng Jie turun dari atas. Selagi pedangnya tersampok, tangan lain dari lawan menyerang dengan tipu silat Kim-na-ciu.

Ia menjadi bingung, tahu-tahu pundaknya telah kena tertotok. Hebat totokan itu, sebelah tubuhnya menjadi kaku, lantas ia terhuyung dua tindak, tak dapat pertahankan diri lagi, terus ia roboh terguling.

Ceng Ceng Jie yang liehay ilmu ringan tubuhnya berlompat maju, bukan buat mencekal hanya buat mengulangi serangannya, menotok pula moa-hiat, jalan darah yang dapat membekukan tubuh. Sembari berbual begitu, dia tertawa berkakak.

"Lihat, bocah!" ejeknya. "Lihat, kau masih dapat bertingkah alau tidak? Apakah kau menghendaki Nona Hee? Baik, akan aku antarkan kau melihat padanya!"

Sie Siong, yang tepukul mundur sampai ke tembok, sudah lantas maju.

"Bagus, orang she Lam!" dia kata bengis. "Kau toh menemui juga harimau seperti hari ini!" Saking sengit, ia menikam dengan pedangnya.

"Sie Ciangkun, jangan!" Ceng Ceng Jie mencegah sambil menangkap tangan orang.

"Buat apa membiarkan dia hidup terus?" tanya perwira she Sie itu.

"Dia besar sekali gunanya!" kata Ceng Ceng Jie tertawa. "Kau hendak membinasakan dia tetapi mungkin cukong membutuhkannya! Jikalau kau membinasakan dia, bagaimana aku dapat bertanggung jawab terhadap cukong? Mustahilkah kau tidak ketahui dialah panglima kepercayaannya Kwe Cu Gie?"

Sie Siong sadar. Memang cukong mereka, An Lok San, membutuhkan orang tawanan ini. Memang dialah orang kepercayaannya Kwe Cu Gie. Karena itu, biarnya ia sangat menyesal, terpaksa ia menungkuli diri.

Ceng Ceng Jie mengangkat tubuh Ce In, buat dibawa keluar.

Kuda uy-piauw-ma masih berada di depan, dia belum tahu majikannya telah tertawan, dia lantas datang menghampirkan.

Melihat kuda itu, Ceng Ceng Jie girang.

"Kiranya kudanya Cin Siang ada di sini!" katanya, tertawa.

Dengan menjejak tanah, tubuhnya lantas lompat sambil membawa Ce In naik ke atas punggung kuda itu.

Kuda itu cerdas. Rupanya dia melihat majikannya tidak berdaya, dia meringkik keras, kedua kakinya diangkat untuk melompat.

Ceng Ceng Jie gusar.

"Binatang! Kau berani tak tunduk padaku?" bentaknya, lantas dia menekan. Kuda itu kesakitan, dia berbunyi, tubuhnya terus mendekam, tak berkutik.

Ceng Ceng Jie lantas bekerja. Ia mengambil tambang dengan apa ia ringkus Ce In di atas kuda, kemudian ia menghunus pedangnya dengan sebelah tangannya mencekal kuda itu, lalu ia mengancam dengan pedangnya kepada orang tawanannya.

"Jangan kau tidak menurut padaku! Nanti aku bunuh majikanmu ini, baru akan kukeset kulitmu dan betot otot- ototmu!" katanya bengis.

Kuda itu mengerti, dia takut. Lantas dia bangun berdiri. Ceng Ceng Jie tertawa mengejek.

"Orang she Lam ini sebenarnya bukan majikanmu yang tulen!" katanya. "Binatang, kenapa kau menurut kepadanya, tidak menurut kepadaku? Hm! Hm! Maka mesti aku bikin kau tunduk padaku, tak dapat tidak! Mulai hari ini akulah majikanmu, tahu tidak?"

Kuda itu menggedruk-gedruk tanah dengan keempat kakinya, agaknya dia mau menentang. Berulang-ulang dia berbenger keras. Tapi Ceng Ceng Jie bercokol di atasnya, dia tidak berani berontak atau berjingkrakan guna membuat orang roboh dari punggungnya.

"Kuda itu dapat lari lebih keras daripada aku," kata Ceng Ceng Jie pada kedua kawannya, "Maka itu hendak aku berangkat pulang terlebih dahulu, kamu berdua boleh menyusul belakangan!"

Lantas dia mengeprak kuda uy-piauw-ma itu.

Tian Sin Su dan Sie Siong mendongkol bukan main. Sudah orang mengangkangi kuda, dia pun pergi lebih dahulu guna merebut jasa. Tapi mereka kalah, mereka tidak dapat berbuat suatu apa, terpaksa mereka menyabarkan diri. Dengan masgul dan lesu, mereka menyusul pulang...

Ce In kena ditotok dengan totokan yang berat, dia tak danai berkutik, walaupun demikian, pikirannya tetap sadar. Dia- memiliki pelajaran tenaga dalam asli, dia pun telah mencapai puncak kemahiran kelas satu, maka itu tak mau dia tak berdaya.

Diam-diam dia mencoba memusatkan perhatiannya, guna menggeraki tenaga dalamnya itu. Diluar dugaannya, dia tidak berhasil. Ilmu totoknya Ceng Ceng Jie ialah ilmu totok  istimewa, tak sembarang orang dapat membebaskannya. Terpaksa dia berdiam terus dibawa musuhnya itu.

0o0dw0o0

Gunung Giok Liong San luas dan panjang beberapa ratus lie, selewatnya itu ialah batas kota Yu-ciu, kota wilayah pengaruhnya An Lok San. Untuk dapat lekas tiba, Ceng Ceng Jie tidak mengambil jalan umum hanya dia memotong. Dia berani berbuat demikian karena dia merasa dirinya gagah dan kudanya dapat lari keras.

Ketika itu sudah lewat Iohor dan jalanan makin lama makin sukar. Lekas juga Ceng Ceng Jie sampai di sebuah lembah, jalanannya sempit, kedua sisinya berlamping tembok gunung yang tinggi. Didua buah puncak berdiri berendeng. Walaupun jalanan sempit, sukar dan berliku, tapi uy-piauw-ma dapat berlari-lari keras seperti biasa.

Tepat di saat hampir Ceng Ceng Jie melintasi mulut selat, ia melihat tubuh seorang pengemis rebah melintang di tengah jalan sekali. Rambutnya tukang minta-minta itu terletak pada sebuah batu yang menjadi seperti bantalnya. Separuh mukanya ketutupan pohon rumput. Keras dia menggeros, hingga terdengar oleh si penunggang kuda.

"Ada kuda! Ada kuda!" Ceng Ceng Jie berteriak-teriak. "Eh, pengemis bau, pengemis bau! Lekas minggir!"

Si pengemis lagi tidur menggeros, dia seperti tak dapat dengar teriakan-teriakan itu, dia tetap tidur nyenyak.

"Hai, pengemis bau, apakah kau tuli dengkak?" bentak Ceng Ceng Jie pula, hatinya panas. "Apakah kau sudah tidak menghendaki lagi jiwamu?"

Baru sekarang si pengemis menggeraki tubuhnya, bual: berbalik. Dia mengasih dengar suara "Hm!" tetapi dia tidak bangun, sebahknya dia menggeser kedua kakinya, untuk dipentangi di tengah jalan.

Ceng Ceng Jie menjadi gusar. Dia mengaburkan kudanya untuk melewatinya. Di dalam hati, dia kata, "Inilah kau sendiri yang mencari mampus, jangan kau sesalkan aku!"

Kudanya lari terus. Tepat kaki kuda hampir menginjak tubuh orang, sekonyong-konyong terdengar bentakan si pengemis, "He, kunyuk cilik, kau bergelindinglah turun!"

Dengan mendadak, larinya kuda jempolan itu terhalang, hingga dia berhenti secara kaget.

Ceng Ceng Jie tidak menyangka si pengemis demikian liehay, dia menjadi kurang waspada, maka tanpa ampun lagi, tubuhnya mencelat dari punggung kudanya itu. Sementara itu tubuh si pengemis pun mencelat bangun, sebelah tangannya terulur, guna mencekuk sebelah kaki orang!

Melihat demikian, Ceng Ceng Jie terkejut. Akan tetapi dia tabah dan liehay, tubuhnya sangat gesit dan lincah. Dia menekuk pinggangnya, menarik tangannya menyerang kepada pundak pengemis itu.

"Kunyuk cilik, kurang ajar!" bentak si pengemis. "Karena tidak ada orang yang urus padamu, kau jadi berani berontak!"

Lalu tangannya bergerak.

Ceng Ceng Jie terkejut. Tangan mereka bentrok, lantas dia merasakan satu tenaga yang kuat sekali menolak padanya. Untuk menolong diri, mau atau tidak, lekas-lekas dia lompat jumpalitan!

Pengemis tua itu sudah menggunai tipu silat "Ciam Ie Sip-pat Tiat," yang membutuhkan tenaga dalam yang mahir, maka syukur untuk adiknya Khong Khong Jie ini, dia pun liehay, masih sempat dia membela diri.

Dia berkelit dengan lompatan "Ikan gabus meletik". Tiba di tanah, dia berlompat bangun, untuk berbangkit berdiri. Ketika dia menoleh kepada si pengemis, dia mendapatkan orang sudah menghadap pula di depannya.

"Aku tengah enak tidur nyenyak, mengapa kau membuat banyak berisik membuat aku mendusin!" dia menegur, nada suaranya menyatakan dia tak senang sekali. "Sudah begitu, kenapa kau jahat sekali, kau juga hendak membuat celaka padaku! Hm! Hm! Coba aku si pengemis tua tidak punya sedikit kepandaian, pasti tulang-tulangku sudah remuk diinjak kudamu!"

Justeru itu waktu, hati Ceng Ceng Jie bercekat. Mendadak ia ingat satu orang.

"Bukankah pengemis tua ini dia adanya?" demikian pikirnya.

Karenanya, lekas-lekas ia memberi hormat dan berkata dengan suara perlahan, "Lo-cianpwe, maafkan aku yang muda. Aku mesti memburu waktu, sampai aku tak dapat menahan kudaku! Aku harap sangat lo-cianpwe suka berlaku murah hati dan mengijinkan aku lewat..."

Pengemis tua itu berlenggak, dia tertawa terbahak.

"Kau bicara enak sekali!" katanya,'tertawanya itu dingin. "Jikalau kau ingin aku memberi lewat padamu, lebih dulu kau harus menggantikan serupa barang kepadaku!"

"Lo-cianpwe menghendaki aku mengganti barang apa?" Ceng Ceng Jie tanya.

"Aku tengah bermimpi sedap tatkala kau membuat aku mendusin dengan terkejut, hingga lenyaplah impianku itu!" kata si pengemis. "Maka itu, kau harus mengganti aku dengan impian satu macam..."

Ceng Ceng Jie terperanjat, akan tetapi dia menyabarkan hati.

"Impian bagaimana dibalasnya?" dia tanya. "Aku pun mesti segera melanjuti perjalananku... Lo-cianpwe, silahkan kau tidur pula..."

"Ngaco belo!" membentak si pengemis tua. "Kantukku sudah lenyap, mana dapat aku tidur pula? Taruh kata aku dapat tidur, belum tentu aku akan dapat bermimpi pula! Atau walaupun aku bisa mimpi, belum pasti itulah impian yang manis!"

"Kalau begitu, aku tidak berdaya," kata Ceng Ceng Jie. "Lo- cianpwe, biarlah aku menghaturkan maaf pula padamu..."

"Kalau kau tak dapat mengganti dengan impian yang manis!" kata si pengemis, "Baik kau boleh mengangguk tiga kali padaku, sampai kepalamu membentur batu dan bersuara nyaring! Dengan demikian kau benar-benar menghaturkan maaf padaku!" Ceng Ceng Jie tidak puas. Dialah bangsa besar kepala. Meski dia jeri terhadap pengemis ini, tak sudi dia berlaku demikian hina dina. Maka dia mengawasi pengemis itu.

Si pengemis berbalik mengawasi juga. Mendadak dia tertawa berlenggak.

"Apakah kau tidak bersedia mengangguk?" tanyanya. "Baik!

Kau serahkan saja kudamu itu padaku!"

Ketika itu sang kuda telah berdiri diam jauh-jauh di pinggiran, dia seperti ketahui si pengemis liehay sekali.

Ceng Ceng Jie terus berdiam. Dia sangat ragu-ragu. "Bagaimana, eh?" si pengemis menegaskan. "Tak rela kau

menyerahkan kudamu itu! Kau harus ingat, kudamu juga kuda boleh merampas! Kalau kau serahkan kuda itu padaku, bukankah itu wajar?"

Ceng Ceng Jie terperanjat.

"Kiranya dia pun kenal asal usul kuda ini..' pikirnya. Maka ia lantas berkata, "Lo-cianpwe, tidak apa andaikata aku menghadiahkan kau-kuda ini, cuma dengan berbuat demikian aku menjadi mendapat kesulitan. Sekarang ini aku lagi menjabat pangkat, aku tengah bertugas mengantarkan pulang seorang tawanan, tak dapat aku tak menggunai kuda. Begini saja, lo-cianpwe, lewat lagi tiga hari, silahkan lo-cianpwe datang mengambil sendiri di kantor Ciat-touw-su di Hoan-yang! Bagaimana?"

Kedua mata si pengemis terbuka lebar dan bijinya memain. "Ha, ha!" dia tertawa. "Tak kusangka bahwa kaulah

punggawanya An Lok San! Siapa itu yang kau tangkap dan iringkan? Aku si pengemis tua paling suka usilan, maka itu hayo kau kasih keterangan padaku!" Ceng Ceng Jie sendiri sudah lantas memikiri jalan untuk meloloskan diri.

"Tentang orang tawanan ini, lo-cianpwe, tak apa aku memberikan keterangannya kepadamu," ia menjawab sabar. "Dia... dia..."

Si pengemis tua mengawasi dengan mendelong, agaknya dia sangat menaruh perhatian.

Ceng Ceng Jie melihat sikap orang, bukan ia meneruskan perkataannya yang tertahan itu, mendadak dia mengayun tangannya atas mana sebuah pisau belati menyambar kepada  si pengemis. Dia rupanya habis daya dan karenanya dia membokong.

Berbareng dengan itu, Lam Ce In berseru, "We Lo-cianpwe, inilah aku! Aku... Lam Ce In dari Gui-ciu!"

Ce In terus mengerahkan tenaga dalamnya, walaupun ia tetap belum berhasil membebaskan diri, ia toh sudah dapat mendengar dan berbicara, maka itu ia mengenali suara orang, ia lantas mengasih dengar suaranya itu, memperkenalkan diri.

Ceng Ceng Jie terkejut. Berbareng dengan penyerangannya itu, dia lompat ke arah kuda, niatnya buat menaiki kuda itu dan kabur. Dia ketahui si pengemis liehay, dia tidak memikir buat berhasil melukakan atau merobohkan, hanya dia ingin, dengan rintangan bokongan itu, dia sempat menunggang kudanya. Dia merasa pasti, biarnya si pengemis liehay sekali, asal dia sudah mulai kabur, dia bakal lolos...

Tepat orang berlompat, si pengemis tua membentak, "Kunyuk kecil, apakah kau memikir untuk merat? Nah, kau juga sambutlah senjata rahasiaku!"

Ceng Ceng Jie kaget. Mendadak ia melihat daun-daun menyamber dari empat penjurunya. Itukah bukan lain karena si pengemis adalah Hong-kay We Wat si Pengemis Edan, yang sangat kesohor dalam dunia Kang Ouw atau Sungai Telaga.

Bersama-sama Ciu-kay Kie Tie, si Pengemis Pemabukan, dan See-gak Sin Liong Hong-hu Siong, We Wat merupakan Kang Ouw Sam Ie Kay, Tiga Pengemis Aneh.

Di antara mereka bertiga, We Wat yang paling tua dan kalau turun tangan, dia terlebih telengas, sedang ilmu kepandaiannya yang istimewa ialah "Hui Hoa Tek Yap," atau "Menerbangkan bunga, memetik daun," dengan apa, ia dapat melukai orang hingga terbinasa.

Ceng Ceng Jie kenal baik senjata rahasia yang liehay dari pengemis itu, batal lompat terus kepada kuda uy-piauw-ma, dia berkelit. Tidak urung dia kurang gesit, meski dia sudah menutup jalan darahnya, dia toh terkena selembar daun, saking sakitnya, dia menjerit, terus rubuhnya berjumpalit jatuh ke lembah!

"Hm!" We Wat mengasih dengan ejekannya. "Jikalau aku tidak pandang gurumu yang sudah mati, kunyuk cilik, pastilah aku sudah rampas jiwamu!"

Melihat orang mengusir Ceng Ceng Jie, kuda uy-piauw-ma seperti mengenal budi, dia lantas memutar tubuhnya, menghampirkan pengemis itu sambil menggoyang-goyang kepala dan ekornya.

Ciu-kay tertawa bergelak.

"Sungguh seekor kuda yang baik!" katanya, gembira. "Lantas dia angkat tubuhnya Lam Ce In, buat dikasih turun ke tanah, sekalian terus dia membebaskannya dari belengguan dan totokan.

Ce In menjalankan kehormatan sambil menghaturkan terima kasihnya. "Lam Hiantit," tanya Hong Kay, "Kenapa kau terjatuh ke dalam tangan jahanam itu?"

"Itulah melulu disebabkan pelajaranku tidak sempurna, hingga aku membuat malu pada guruku," sahut Ce In. "Sebenarnya aku malu sekali."

Dalam hal kepandaian, Ce In tidak kalah dari Ceng Ceng Jie dan mereka pun bukannya bertempur satu dengan satu maka ia kena ditawan, tetapi ia jujur, sesudah kalah, ia rela mengaku kalah, jadi tak sudi ia membuat pembelaan lagi.

We Wat mengawasi orang, ia agaknya heran sekali. Ia percaya mesti ada sebabnya kenapa orang tertawan. Akhirnya ia tertawa.

"Kalah atau menang memang umum dalam pertempuran! Tak perlu itu dibuat pikiran," kata ia. "Baiklah, kita jangan bicara pula dari soal itu. Mari kita bicara dari hal yang lain. Kau tahu, memang aku berniat pergi ke Kiu-goan mencari kau. Sekarang aku mau minta dahulu keteranganmu perihal satu orang."

"Siapakah orang itu, lo-cianpwe?" Ce In tanya.

"Kabarnya kau bersahabat erat dengan puterinya Leng Soat Bwe, benarkah itu?" si pengemis tanya.

Inilah pertanyaan diluar dugaan Ce In. Kenapa orang justeru menanya hal tunangannya? Maka ia menjadi heran dan tercengang. Tapi tak dapat ia tak menjawab, dan ia pun tak ingin mendusta.

"Sebenarnya, lo-cianpwe," sahurnya, "Aku dengan nona itu sudah bertunangan..."

We Wat tertawa berkakak. "Selamat! Selamat!" katanya gembira. "Kebetulan aku menanya kau! Sekarang hendak aku si pengemis tua bertanya,

apakah kau dapat mengijinkan aku bertemu dengan

tunanganmu itu? Aku hendak menanyakan sesuatu

kepadanya."   

Sebenarnya Ce In tidak ingin bicara banyak, tetapi orang telah menanyakannya, tak dapat ia tidak melayani. Jago tua ini pun sahabat karib dari gurunya.

"Lo-cianpwe, aku baru saja kembali dari rumahnya Nona Hee," ia berkata. "Justeru di sana aku telah bertemu dengan Ceng Ceng Jie!"

Lantas Ce In menjelaskan apa yang terjadi di rumah Leng Song dimana nyonya rumah dan puterinya tidak ada, hanya di sana menanti Ceng Ceng Jie serta dua kawannya hingga ia kena dikeroyok.

"Lo-cianpwe," ia tanya habis ia memberikan keterangannya itu, "Apakah di sini lo-cianpwe melihat ada lewat orang atau orang-orangnya Keluarga Ong?"

We Wat heran.

"Oh, telah terjadi perkara demikian?" tanyanya. "Jadinya kau menyangka hilangnya mereka ibu dan anak sebagai perbuatannya pihak Ong itu? Kepandaiannya Leng Soat Bwe  ibu dan anak sama terkenalnya dengan Toan Kui Ciang, maka itu, nyonya itu dan anaknya, tak selayaknya roboh di tangan orang-orangnya Keluarga Ong, paling sedikitnya mereka sepadan..."

"Senjata -berterang mudah dikelit, panah gelap sukar dijaga," kata Ce In, "Maka itu, segala apa sukar buat diduga dari di muka. Aku pula heran sekali kenapa Ceng Ceng Jie ketahui alamatnya itu ibu dan anaknya..." "Sudah setengah harian aku rebah di sini, tidak pernah aku melihat ada orang yang lewat," berkata We Wat. "Tapi, kalau benar mereka ditangkap Keluarga Ong, walaupun aku mesti membuang jiwaku, mesti aku pergi ke Liong Bin Kok guna mengacau di sana!"

Pengemis itu hening sejenak, terus dia berkata seorang diri, "Kiranya Leng Soat Bwe tinggal di kaki gunung ini... Kalau begitu rupanya benar apa kata orang. Dia menjanjikan aku bertemu di sini, janji itu benar..."

Ce In heran.

"Lo-cianpwe," tanya ia, "Lo-cianpwe hendak menemui Nona Hee untuk menanyakan urusan, sebenarnya urusan apakah itu?"

"Aku hendak minta keterangan dari hal kematiannya Ciu-kay Kie Tie," menjawab Hong-kay. "Aku dengar kabar dahulu hari itu si nona bersama-sama suami isteri Toan Kui Ciang pergi ke gunung Giok Sie San dan dia melihat sendiri waktu Ciu-kay terbinasakan. Ingin aku mendapat kepastian apa benar-benar si pembunuh ialah See-gak Sin Liong Hong-hu Siong?"

"Perihal itu pernah Nona Hee menuturkan padaku," berkata Ce In. "Ia membilangi aku bahwa si pembunuh benar-benar Hong-hu Siong. Ketika itu katanya Kie Lo-cianpwe hendak membeber sebuah rahasia kepada Toan Tayhiap, belum lagi dia membuka mulut, dia sudah diserang Hong-hu Siong yang menggunai senjata rahasianya yang berupa jarum berbisa. Adik seperguruanku, Tiat Mo Lek, kemarin tiba d\ Kiu-goan, katanya peristiwa itu oleh Toan Tayhiap telah diberitahukan kepada guru kami. Keterangannya Toan Tayhiap sama dengan keterangannya Nona Hee, karena itu aku mau percaya keterangan itu bukan keterangan palsu."

We Wat berpikir. "Lam Hiantit," katanya, "Bukankah kau tak kesusu pergi?" "Apakah lo-cianpwe hendak menitahkan sesuatu kepadaku?" tanya Ce In.

"Aku telah membuat perjanjian dengan Hong-hu Siong," berkata We Wat. "Janji itu ialah malam ini kita bakal membuat pertemuan di gunung ini. Niatku ialah menanyakan dia peristiwa itu. Umpama kata kau tidak mau lekas pergi, maukah kau mendengari pembicaraan kita?"

Sebenarnya Ce In ingin lekas kembali ke Kiu-goan, guna ia memikirkan daya upaya terlebih jauh, akan tetapi urusan Kie Tie itu urusan penting, bahkan ada sangkut pautnya dengan Leng Song, maka suka ia mendengarnya. Ia sendiri ingin tahu duduknya perkara yang benar.

"Baiklah jikalau lo-cianpwe tidak berkeberatan aku turut mengetahui perkara itu," katanya. "Sebenarnya memintanya juga aku tidak berani..."

We Wat senang.

Ketika itu sang malam telah tiba dan Puteri Malam mulai muncul. We Wat melihat langit, dia tertawa.

"Tadi mimpiku disadarkan Ceng Ceng Jie," katanya, "Maka itu, aku masih ingin tidur pula lagi sejenak. Kau juga baiklah beristirahat dulu."

Pengemis ini merebahkan diri pada suatu batu, didalam tempo yang pendek, dia sudah pulas menggeros.

Ce In heran.

"Dia menantikan janji pertemuan, toh dia dapat tidur..." pikirnya.

Tapi ia membiarkannya, ia lantas mengobati luka-lukanya sendiri, sesudah mana ia duduk bersila, untuk beristirahat sambil bersemedhi. Dengan cara demikian sempat ia melatih tenaga dalamnya. Di dalam tempo yang pendek sekali, lenyap sudah segala letihnya, hingga ia menjadi segar seperti sedia kala.

Sang waktu lewat tanpa terasa, rembulan sudah mulai berada di tengah, justeru begitu, dalam suasana sunyi itu, hati Ce In terasa tegang sendirinya.

"We Lo-cianpwe! We Lo-cianpwe!" ia mengasih bangun kawannya. Tak dapat bersabar lagi.

We Wat membuka kedua matanya, ia bergerak untuk berduduk.

"Buat apa kau sibuk tidak keruan!" katanya. "Hong-hu Siong menjanjikan tempo tengah malam, maka itu dia pasti bakal datang seperti janjinya itu."

"Coba lo-cianpwe lihat rembulan itu" kata Ce In, tangannya menunjuk.

Pengemis Edan itu dongak. "Ya, hampir waktunya?" katanya. "Lihat di sana, di kaki gunung," kata Ce In pula, "Di sana

tampak orang lagi mendatangi..."

We Wat menoleh, alisnya berkerut. Ia lompat naik ke atas sebuah batu besar dan tinggi, untuk memasang mata ke arah bawah. Ketika itu si Puteri Malam tepat berada di tengah- tengah langit. Itulah tengah malam.

"Ah!" seru si pengemis perlahan. "Inilah aneh! Hong-hu Siong bukanlah semacam orang yang suka menyalahkan janji? Kenapa sekarang dia gagal?"

Si Puteri Malam bergerak terus, menggeser diri ke arah barat. Lewat lagi setengah jam, masih juga See-gak Sin Liong belum muncul. We Wat jadi mulai tak sabaran, sedang Ce In bercuriga.

"Mungkinkah dia tak berani datang menemui lo-cianpwe?" tanyanya.

Belum berhenti suaranya Ce In ini atau satu bayangan orang nampak lari mendatangi dengan cepat.

"Hm!" kata We Wat perlahan tapi sengit. "Begini waktu dia baru tiba, mesti aku damprat dulu padanya"!

Justeru itu ia menjadi heran, hingga ia kata di dalam hati, "Aneh! Kenapa ilmu enteng tubuh Hong-hu Siong menjadi begini sempurna?"

Saking pesatnya orang itu berlari-lari, mukanya sukar tertampak tegas. Lalu tahu-tahu dia sudah sampai, berdiri di hadapannya mereka itu berdua.

We Wat menjadi terperanjat. "Apa? Kau?" tegurnya.

Ce In juga telah lantas melihat tegas, dia heran seperti jago tua. Orang itu bukan Hong-hu Siong, hanya Khong Khong Jie.

Sambil melirik, dengan lagak temberang, orang yang baru datang itu berkata tawar, "Kau sangka siapa?"

Menurut tingkat martabat, Khong Khong Jie menjadi orang yang terlebih muda daripada We Wat, maka itu mendongkol Hong-kay menampak orang bersikap jumawa itu.

"Orang yang dinanti-nantikan datangnya oleh aku si pengemis tua ialah satu orang lain!" katanya dingin. "Tak usah aku memberitahukan halnya orang itu kepada kau.' Kau sendui

.ula urusan apa kau dalang kemari?" Khong Khong Jie tertawa dingin. "Tanpa kau menyebutkan, aku juga sinlali lalui'" katanya, tetap temberang. "Bukankah Hong-hu Siong yang dinanti! an

k.m mi?" We Wat tercengang. "Kalau benar, bagaimana?" dia tanya.

"Hong-hu Siong bilang kau tak dapat d i perai ya dan tidak mempunyai kehormatan!" sahut Khong Khong Jie, dingin I Ha kala orang semacam kau tak usah lagi diajak bersahabat! Dia tak ki-auli.m menemui kau!"

Sepasang mata We Wat terbalik.

"Gila!" serunya. "Apa itu tak dapat dipercaya dan tak punya kehormatan?"

"Sebab kau percaya segala obrolan yang tersiar!" kata Khong Khong Jie. "Sebab kau percaya dialah orang yang telah membinasakan Ciu-kay Kie Tie! Bahwa sekarang kau menjanjikan bertemu dengannya di sini karena kau berniat mencurangi padanya! Benar, bukan? Ketika kau mengirim orang menyampaikan janji padanya, bukankah kau membilangnya untuk memasang omong saja? Jadi, bukankah benar kau telah memperdayakan dia? Kau tidak menghiraukan persahabatan kau memancing sahabatmu ke dalam akal muslihatmu! Apakah dia keliru jikalau dia berpendapat kau tidak dapat dipercaya dan tak mempunyai kehormatan?"

Sepasang mata We Wat terputar pula, lalu nampak dia tenang.

"Benarkah kata-katamu ini kata-katanya Hong-hu Siong?" dia tegaskan.

Khong Khong Jie mengangkat sebelah tangannya, pada jeriji tengahnya ada terdapat sebuah cincin besi. la tertawa dingin ketika ia menanya, "Kau gila! Apakah kau sangka aku bicara tidak-tidak? Kau kenali atau tidak cincin ini?" We Wat mengenali bendanya Hong-hu Siong. Dia menjadi gusar sekali sampai tubuhnya bergemetar.

"Jikalau dia bukannya si pembunuh, kenapa dia tidak berani datang menemui aku?" dia tanya. "Kenapa dia menyuruh kau, kunyuk cilik, yang datang menyampaikan pesannya? Hm! Hm! Sebelumnya ini, aku masih ragu-ragu mempercayainya?"

Dengan Hong-hu Siong dan Kie Tie, We Wat niempunyai persahabatan puluhan tahun, maka itu tak dapat dimengerti sekarang See-gak Sin Liong mengirim pesuruh seorang yang tingkatnya terlebih muda. Ia menjadi sangat gusar.

Khong Khong Jie kembali tertawa dingin.

"Urusan kau dengan Hong-hu Siong tidak ada sangkut pautnya dengan aku!" katanya, ketus. "Bahwa kau benar tidak dipercaya dan tak mempunyai kehormatan, aku juga tak memperdulikannya! Tetapi lagakmu, si tua bangka yang menjual ketuabangkaannya, yang jumawa tak terkirakan, tak puas aku Khong Khong Jie melihatnya! Kau sudah melihat Ceng Ceng Jie, adik seperguruanku! Bukankah kau tak sangkal itu?"

We Wat gusar hingga kumis dan alisnya bangun berdiri. "Khong Khong Jie, kau sendirilah si manusia temberang!" dia

membentak.  "Tahukah  kau  apa  yang  telah  diperbuat  adik

seperguruanmu itu? Jikalau aku tidak pandang pada gurumu yang telah mampus menjadi setan, ingin aku menghajar mati padanya!"

Pengemis tua ini tertawa berlenggak. Dengan suara nyaring, dia berkata pula, "Khong Khong Jie, apakah matamu telah pindah ke dahimu? Coba bilang, adik seperguruanmu itu, juga kau sendiri, bukankah dapat aku mengurusnya? Kalau tidak, maka aku harus malu terhadap mendiang gurumu!" "Baik, kau uruslah aku jikalau kau mampu!" kata Khong Khong Jie, menantang. "Kau telah melukai adik seperguruanku itu, jikalau tidak memberi sedikit pengajaran padamu, aku juga malu terhadap mendiang guruku!"

Kata-kata ini dibarengi dengan lompatan tubuh yang pesat yang diberikuti serangan hebat!

"Anak celaka!" We Wat mendamprat saking murka. "Hendak aku lihat berapa tinggi kepandaianmu!" ^

Ia lantas mengangkat tangannya guna menyambut serangan itu.

Khong Khong Jie merasakan tubuhnya tergetar, ia lantas berkelit ke samping. Justeru itu, We Wat menyamber pinggangnya, untuk dicekuk. Ia terkejut, tetapi masih sempat ia menjejak tanah, untuk lompat mencelat dengan tipu silat "Burung walet terbang menembusi mega". Sembari berkelit itu, ia menyerang.

Dengan satu suara nyaring, Khong Khong Jie mendapatkan ikal' pinggangnya terjambret putus, akan tetapi lengan kiri We Wat juga kaku, sebab jalan darahnya - jalan darah ]<:iok-tie - - kena tertotok lawan yang tingkatnya terlebih muda itu.

Bukan main terkejutnya si jago tua, hingga dia kata dalam hali, "Pantas dia menjadi begini jumawa, kiranya dia benar jauh terlebih liehay daripada Ceng Ceng Jie, hingga dia tak usah kalah dengan gurunya dahulu hari itu!"

Di dalam tempo yang pendek itu, Hong Kay sudah lantas mengerjakan tenaga dalamnya hingga dengan lekas ia dapat memulihkan jalan darahnya, hingga lengannya menjadi tidak kurang suatu apa.

Khong Khong Jie yang telah menginjak tanah pula tertawa dingin, sembari tertawa dia maju lagi, sembari berkata, "Tua bangka she We, apakah sekarang kau masih berani menjual ketuabangkaanmu? Dengan memandang kau sahabatnya mendiang guruku, lekas kau menghaturkan maaf kepadaku!”

We Wat menjadi semakin gusar, hatinya menjadi semakin panas ”Anak muda, kau terlalu jumawa!” bentaknya. ”Kau terlalu bernyali besar dan kurang ajar! Hari ini, meski kau berlutut liga kali kepadaku, tidak nanti aku sudi memberi ampun padamu!” Khong Khong Jie mengganda tertawa.

”Oleh karena sama-sama tidak sudi melepaskan satu pada lain,” kata dia, ”Nah, mari kita bertempur pula, bertempur secara kaum Kang Ouw sejati! Mari dengan tangan kita mengambil keputusan siapa jago siapa betina! Eh, pembantu yang diundang olehmu itu, kenapa dia tidak mau maju berbareng?”

Khong Khong Jie menuding kepada Lam Ce In. Dia ini menjadi tidak puas sekali, maka dia kata, ”We Lo-cianpwe, silahkan kau perkenankan aku belajar kenal dengan dia! Lo- cianpwe sendiri cukup berdiri di sisi sambil memberi pelbagai petunjuk padaku!”

Lam Ce In dan Khong Khong Jie sederajat satu dengan lain. We Wat terlebih tinggi daripada mereka, maka itu, kalau si tua melayani si muda, ia menang pun tak akan ia dianggap gagah, sedang kalau ia kalah, ia bakal ditertawakan umum. Itulah sebabnya Ce In berani menempuh bahaya menantang lawannya.

Dengan air muka padam, We Wat memberikan jawabannya. ”Lam Hiantit, urusan ini bukan urusan kau,” katanya. ”Aku

bersedia    mengorbankan    tulang-tulangku    yang    tua guna

menertibkan dunia Rimba Persilatan, maka sekarang ini, aku tidak menghiraukan pula nama baikku!” Inilah yang diharap-harap Khong Khong Jie. Ia tahu We Wat liehay tetapi ia percaya dapat ia melayani, tetapi jikalau We Wat dibantu Lam Ce In, itulah berbahaya untuknya. Maka ia memancing kemarahan orang dengan menantang sekalian  pada si orang she Lam.

Lantas ia tertawa dingin dan kata, ”Tua bangka, kau makin menjadi-jadi! Sudah kau menghina adik seperguruanku, sekarang kau mementang bacot begini lebar! Bagaimana kau berani menyebut-nyebut menertibkan dunia Rimba Persilatan? Hm!”

Dua-dua pihak mempunyai masing-masing keberaniannya sendiri. We Wat melukai Ceng Ceng Jie, perbuatannya itu kurang tepat. Seharusnya dia menyerahkan Ceng Ceng Jie pada kakak seperguruannya itu karena Ceng Ceng Jie sudah tidak punya guru.

Di waktu menyerang Ceng Ceng Jie, We Wat tidak memikir kesitu. Ia hanya menganggap ialah orang yang terlebih tua, ia mesti dihormati, tetapi Ceng Ceng Jie bersikap garang ia jadi memikir banyak.

Sekarang, Khong Khong Jie pun tak berlaku benar, karena dia terlalu temberang, sama sekali dia tak menghargai lagi si jago tua.

Begitulah, dengan mencegah Ce In, We Wat lantas melayani Khong Khong Jie, hingga mereka menjadi bertempur pula.

Khong Khong Jie mengeluarkan sebatang pedang pendek, ia tak berlaku sungkan lagi, ia berkelahi dengan mengandalkan kepandaian ringan tubuhnya, dengan berani ia mendesak. Ia selalu menyerang dengan bengis, saban-saban ia mengarah bagian anggauta tubuh yang lemah dari lawannya yang tua itu. We Wat menang tenaga dalam, dia tak segesit lawannya ini, maka itu, sesudah diserang berulang-ulang secara membahayakan dia menjadi mendongkol.

Mendadak dia menyerang dengan sebelah tangannya, dengan Pek Khong Ciang, yaitu pukulan Udara Kosong.

-oo0dw0ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar