Kisah Bangsa Petualang Jilid 06

 
Jilid 06

"Ya, inilah benar!" Mo Lek pun bilang. "Setelah nanti bertemu dengan ayah angkatku, dapat kita minta bantuannya mengirim banyak orang-orangnya guna menyelidiki halnya  nona she He itu. Ayah angkat kau kenal banyak orang Kang Ouw, mungkin dia akan berhasil memperoleh endusan. Nona  itu sudah pergi selama tiga jam, kalau kita susul dia sekarang, kita tak bakal menyandaknya." Kui Ciang menghela napas. "Ya, apa boleh buat," keluhnya.

Mo Lek heran mendapatkan orang demikian memperhatikan si nona He. Sebaliknya Kui Ciang heran mengetahui Nona He sangat memperhatikan Keluarga Su, hingga dia menyangka, "Apakah dia mempunyai perhubungan erat dengan Keluarga Su? Jikalau Su Toako kenal He Seng To suami isteri, mengapa aku tidak mendapat tahu? Mengapa aku belum pernah mendengar mereka itu menyebut-nyebutnya?"

Demikian Kui Ciang terbenam dalam keheranan.

Sementara itu Nona He - He Leng Song - sudah melakukan perjalanannya dengan sangat cepat. Benar seperti Tiat Mo Lek, dia hendak pergi menolongi Nyonya Su dan anaknya. Hanya dia tidak langsung menuju ke rumahnya Tayciang Sie Siong, orang sebawahannya An Lok San itu. Inilah sebab ia telah mendapat tahu Nyonya Su itu telah diminta Sie Siong dari An Lok San.

Tempo Leng Song sampai di kota Tiang-an, hari sudah tengah hari. Dia lantas berdandan sebagai seorang nona  tukang penjual silat. Dia pun segera mencari dahulu rumah penginapan. Dan dia memilih pondokan yang biasa ditempati oleh orang-orang golongan Kang Ouw, sebuah pondokan kecil, yang pasti tak akan menolaknya.

Lalu malam jam tiga, dia mengenakan ya-heng-ie, yaitu pakaian peranti keluar malam, yang warnanya hitam dan singsat. Secara diam-diam d ia keluar dari pondoknya, untuk menuju ke rumahnya Sie Siong. Untuk itu dia telah mencari tahu terlebih dahulu.

Keluarga Sie tinggal di Tiang-an, rumahnya terletak tak seberapa jauh dari istananya An Lok San. Didalam ilmu ringan tubuh, Leng Song memang dua lipat daripada Lam Ce In. Tanpa diketahui siapa juga, dia berhasil memasuki rumahnya Sie Siong. Maka itu dengan lantas dia mendapat dengar dua orang lagi bicara, yang seorang pria, yang seorang lagi wanita.

Dia lantas mengintai, hingga dia dapat melihat si pria dandan sebagai opsir, dan si wanita ialah seorang nyonya muda dengan roman sangat lesu dan kucai, sedang pakaiannya sangat sederhana.

"Nyonya Louw, kau harus lekas berangkat!" kata si opsir. “Aku telah membawakan kau seperangkat pakaian pria. Sekarang ini Sie Ciangkun belum pulang, silahkan kau salin pakaian. Untuk sementara ini, aku minta sukalah kau bersedia merendahkan diri menjadi orang sebawahanku, supaya dapat aku mengajak kau pergi. Tentang puterimu, kau dapat membiarkan dia duduk di dalam kereta. Kusirku dapat dipercaya, tidak nanti dia membuka rahasia."

Leng Song lantas dapat menerka siapa si nyonya muda. Itulah Louw-sie, atau Nyonya Louw dari Hoo-tong, isterinya Su It Jie. Ia belum kenal dan belum pernah bertemu juga dengan Louw-sie, tetapi dari suara panggilannya si pria, ia mengetahui pasti.

Mulanya ia memikir hendak membinasakan opsir itu, baru ia mau menemui Louw-sie, untuk memperkenalkan diri, guna memberitahukan bahwa kedatangannya itu untuk menolong, tetapi mendengar suaranya si opsir, segera ia mengubah pikirannya itu.

Suaranya si opsir diluar dugaannya sekali, la menjadi heran dan girang dengan berbareng. Katanya di dalam hati, "Aku tidak sangka sekali ada orang sebawahannya An Lok San yang berhati begini mulia dan bernyali besar sekali. Sebenarnya aku bingung memikirkan si anak, bagaimana aku harus membawa dia menyingkir, maka dayanya opsir ini baik sekali. Baiklah, aku membiarkan dia yang menolong..."

Ketika itu Nyonya Su mengangkat kepalanya. Dia nampak bimbang, sinar matanya pun penuh kedukaan. Sekian lama dia berdiam, baru dia mengasih dengar suaranya.

"Liap Ciangkun, aku menghaturkan banyak-banyak terima kasih untuk kebaikan hati kau ini," katanya, halus. "Cuma, jikalau aku mesti berangkat pergi, aku mesti berangkat bersama-sama suamiku."

Dengan disebut shenya itu, maka teranglah si opsir Liap Hong adanya, orang yang pernah menolongi secara diam-diam pada Toan Kui Ciang.

Mendengar suara si nyonya, opsir itu berpikir.

"Su Sianseng sekarang masih di tahanan," kata ia sesaat kemudian. "Penjagaan di markas jenderal sangat keras, dalam waktu seperti sekarang ini, sulit untuk dia meloloskan dirinya. Maka itu baiklah nyonya berdua menyingkir terlebih dulu, nanti aku berdaya pula untuk menolong Su Sianseng..."

Louw-sie menatap Liap Hong. Tiba-tiba dia menanya. "Liap Ciangkun, aku minta sukalah kau tidak mendustai aku!" katanya sungguh-sungguh. "Sebenarnya apakah sudah terjadi atas diri suamiku itu?"

Agaknya Liap Hong bersangsi.

"Ketika itu hari dia tiba di sini," sahutnya, ayal, "Mungkin disebabkan dia penasaran dan mendongkol, dia muntah darah beberapa kali. Sekarang dia lagi berobat."

"Tentang itu aku sudah tahu," berkata Louw-sie. "Apa yang aku tanya ialah hal dia sekarang, dia sudah mati atau masih hidup! Aku dengar dari-budak perempuan yang melayani aku, kemarin malam ada penyerbuan terhadap istana An Lok San. Orang hendak membunuhnya. Satu malam telah terbit onar itu, beberapa jiwa telah terhilang. Siapakah penyerbu itu? Bukankah dia Toan Kui Ciang? Apakah dia berhasil menolongi suamiku, atau apakah dia sendiri yang kena ditawan hingga dia dihukum mati bersama? Liap Ciangkun, aku mohon kau omong terus terang, jangan kau mendustai aku!"

Liap Hong menggigit giginya.

"Toan Toako telah mendapat luka berat," sahutnya, "Walaupun dia tidak kena ditangkap, mungkin dia sukar ditolong lagi. Tentang Su Sianseng, dia... dia... dia telah membunuh dirinya di tempat peristiwa...! Maka itu, nyonya, kau mesti lekas menyingkir, sekarang juga! Tak dapat kau mengharap Toan Tayhiap nanti dapat datang menolongi kamu!"

He Leng Song yang lagi mengintai dan mencuri dengar pembicaraan mereka itu menduga, setelah mendapat kabar buruk itu, Nyonya Su bakal menangis menggerung-gerung atau dia kaget hingga dia roboh semaput. Diluar dugaannya itu, meski benar tubuh si nyonya menggetar, dia tak jatuh tak sadarkan diri. Rupanya si Nyonya Sudah menduganya.

Dengan menggunai kedua tangannya, Lauw-sie bertahan kepada meja di depannya. Dia hanya menjublak sejenak, terus dia mengasih dengar tuamnya yang perlahan tetapi berat, "Aku tidak mau pergi!"

Bukan main herannya Liap Hong, begitu pun Leng Song. Opsir itu pikir, begitu ia memberi keterangan yang benar itu, si nyonya bakal lantas berangkat, siapa tahu, Nyonya Su justeru menolak! Liap Hong lantas kata perlahan, "Sie Ciangkun mengandung maksud buruk terhadap kau, hujin. Kau... kau harus menjaga diri'baik-buik..."

"Aku tahu," jawab Louw-sie. "Aku mengucap banyak terima kasih untuk kebaikan kau ini. Tapi kepunisanku sudah tetap,  tak dapat itu ilirubah pula. Kecuali Sie Siong melemparkan aku, pasti aku tidak akan berlalu dari sini!"

Kata-kata itu bukan melainkan diluar dugaannya Liap Hong. He Leng Siong pun tidak menyangkanya sama sekali. Maka si nona menjadi terperanjat.

"Ibu membilangi aku Louw-sie berpandangan luas, kenapa sekarang dia menjadi begini keruh pikirannya?" ia berpikir. "Mungkinkah ini disebabkan asabatnya mendapatkan goncangan yang keras sekali hingga dia menjadi tak dapat berpikir jernih lagi?"

Leng Song berpikir demikian, ia toh merasa aneh. Ia melihat wajah Nyonya Su wajah dari ketetapan hati, meski benar parasnya pucat. Itulah wajah yang mengandung semangat, pertanda dari suatu keputusan yang * telah dipikir matang/ buah dari pemikiran yang jernih. Mantaplah hati si nona tetapi sikapnya tenang. Sikap Louw-sie bukan sikap dari orang yang pikirannya kacau.

Justeru itu terdengar suara tindakan kaki. Liap Hong menghela napas.

"Oleh karena keputusan kau sudah pasti, nah, jagalah dirimu baik-baik, hujin," kata ia.

Baru orang she Liap ini berlalu dari pintu samping, Sie Siong bertindak masuk. Dia lantas mengasih dengar suaranya sabar, "Hujin, ingin aku bicara dengan kau, tetapi aku kuatir mengganggu dan membikin kaget padamu, kiranya kau belum tidur..."

"Kau hendak bicara apa?" tanya Louw-sie.

"Apakah aku memperlakukan kau baik?" Sie Siong tanya. "Sie  Ciangkun,  kau  telah  melindungi  kami  ibu  dan anak,"

kata Louw Sie, "Kau telah tidak membiarkan kami terjatuh ke

dalam tangannya An Lok San, untuk itu aku sangat bersyukur." Sepasang alisnya Sie Siong terbangun. Dia bersenyum.

"Kau tahu aku bermaksud baik terhadapmu, itu bagus!" kata dia, tertawa. "Sebenarnya, hujin, aku sangat mengagumimu. Maka itu sekarang aku mau minta kau pandang rumah ini sebagai rumahmu sendiri, supaya kau tinggal di sini dengan hati tenang. Aku girang apabila aku dapat senantiasa berdekatan dengan kau..."

Sembari berkata, opsir ini bertindak mendekati.

Sebelum orang datang dekat, Louw-sie sudah berkata sungguh-sungguh, "Sie Ciangkun, aku minta sukalah kau ingat bahwa akulah isterinya seorang yang telah memperoleh gelaran dari Pemerintah Agung, maka itu, jikalau kau memperlakukan aku dengan aturan, dapat aku berdiam di sini, apabila sebaliknya, disinilah aku bakal menerima kematianku!"

Gagah sikap si nyonya, walaupun Sie Siong seorang militer berhati keras, dia gentar juga. Bagaikan seorang hamba yang menerima firman, dia lantas menghentikan tindakannya. Tetapi, dia lantas berkata sambil tertawa manis, "Ah, mengapa berkata begini? Untukku, sudah suatu kehormatan yang besar sekali yang hujin sudi tinggal di sini! Mana berani aku memperlakukan kau kurang hormat...?" Leng Song melihat orang sukar sekali mengeluarkan kata- kata umpakannya itu hingga ia tertawa dalam hatinya.

Louw-sie lantas menanya, "Kamu tidak mengijinkan aku bertemu dengan suamiku, apakah maksudnya?"

"Oh, kiranya hujin selalu memikirkan suami hujin?" kata Sie Siong. "I'antas hujin tak dapat tidur sampai jauh malam begini. Aku kuatir hujin tak bakal bertemu pula dengan suami hujin itu..."

"Kenapa begitu?" si nyonya tanya, menegaskan. "Apakah... apakah telah terjadi sesuatu atas diri suamiku itu?"

Leng Song tahu Louw-sie sengaja menanyakan apa yang dia tahu, ia tak dapat menerka maksud orang.

Sie Siong lantas memperlihatkan roman sangat berduka. Ketika ia menyahuti, ia berkata dengan perlahan, "Sebenarnya warta ini tak tega aku memberitahukannya kepada kau, hujin, setelah aku berpikir berulang-ulang, aku anggap lebih baik aku memberitahukan juga. Ini bukanlah suatu berita yang baik, akan tetapi mengingat hujin seorang yang cerdas, aku percaya, berita ini yang pahit getir, setelah aku sampaikan, akhirnya bakal berbalik menjadi manis..."

"Sebenarnya warta apakah itu?" Louw-sie mendesak. »

"Tak beruntung suamimu, hujin, dia telah meninggal dunia," sahut Sie Siong. "Suamimu itu tak sudi menurut kepada Tayswe, sudah begitu tadi malam dia berkongkol dengan orang jahat, yang datang menyerbu istana, selama satu pertempuran kacau, suamimu terkena goloknya salah seorang Busu dari Tayswe..."

Sebegitu jauh Louw-sie mencegah airmatanya, akan tetapi sekarang ini ia tak sanggup menahannya terlebih jauh, ia lantas menangis tersedu-sedu. Sie Siong mengawasi. Ia melihat dalam tangisnya itu si nyonya semakin ayu dan manis, ia menjadi merasa kasihan. Maka ia kata perlahan untuk membujuki, "Hujin, orang yang telah menutup mata tak dapat hidup kembali, karena itu, selagi kau baru bersalin, baiklah kau jaga dirimu baik-baik. Tentang penghidupanmu yang bakal datang, jangan kau buat kuatir, semuanya ada aku yang nanti urus dan jamin. Bahkan jikalau kau setuju, aku ingin kau menjadi penulis pribadiku, untuk kau sekalian mendidik dan memberi pelajaran kepada anak-anakku. Tentang kematian suamimu, itu memang benar hal yang menyedihkan, tetapi orang sudah meninggal dunia, apa bisa dibilang lagi? Sebaliknya dengan begitu beres sudah urusan dia, " urusannya itu tak bakal merembet-rembet pula kepada kau! Hujin, legakanlah hatimu, kau anggaplah tempatku ini sebagai tempat kau menempatkan dirimu untuk selama-lamanya."

Louw-sie mengangkat kepalanya, ia terisak.

"Ciangkun, kau baik sekali," kata ia. "Tentang tawaranmu untuk aku bekerja padamu, baik belakangan saja kita bicarakan perlahan-lahan. Sekarang ini aku sebatangkara, kalau suka aku mohon Ciangkun membantui aku mengurus jenazahnya suamiku sampai dengan penguburannya."

"Inilah mudah!" sahut Sie Siong cepat. "Memang aku telah mohon ijinnya An Tayswe untuk mengurusnya. Sekarang ini jenazah suami hujin telah berada di luar gedung, tinggal menantikan hujin memilih hari untuk menguburnya."

Louw-sie mengangguk. Ia kata pula, "Sekarang masih ada suatu permintaanku yang kurang pantas. Kami menjadi suami isteri, karena itu sudah selayaknya aku berkabung untuk suamiku, tetapi aku di sini tidak mempunyai rumah tangga, karena itu tak tahu apakah Ciangkun sudi memberi perkenan buat aku mengatur meja abu suamiku di sini serta untuk penghabisan kalinya aku menemui suamiku itu?" Itulah permintaan yang tak selayaknya. Adalah anggapan apes atau pantangan menempatkan jenazah bukan sanak bukan kandung di rumah sendiri, tetapi Sie Siong ingin mengambil hatinya si nyonya cantik, dengan lantas ia memberikan persetujuannya.

Kata ia lantas, "Hujin puteri dari sebuah keluarga terhormat dan juga menjadi nyonya yang memperoleh gelaran dari Pemerintah Agung, dari siang-siang aku telah menduga hujin bakal melakukan perkabungan untuk suamimu, dari itu tanpa menanti perintahmu, aku sudah mengaturnya semua. Mana orang?"

Benarlah, dengan cepat sekali muncul pelbagai hamba yang membawa datang segala macam keperluan alat sembahyang, seperti sin-cie, hio-louw, cek-tay, lilin dan hio serta gin-coa, disusul dengan peti jenazah.

Semua itu sudah lantas diatur rapi di dalam sebuah ruang di dalam gedung itu. Sedang dua orang budak perempuan membawakan pakaian berkabung. Habis menyalin pakaian, Louw-sie menyuruh membuka tutup peti, untuk ia melihat wajah suaminya untuk penghabisan kali, sembari menangis, ia kata, "Suamiku, oh, kau sungguh bersengsara..."

"Sudah hujin, jangan kau terlalu bersedih" Sie Siong membujuk. Ia lantas menitahkan kedua budak menarik si nyonya, untuk dibujuki, sedang orang-orangnya diperintah lekas menutup dan memantek peti mati itu.

Louw-sie menjalankan kehormatan dengan menjura dalam terhadap suaminya itu, dengan suara sangat berduka ia kata, "Seorang kesatria terbinasa untuk orang yang mengenalnya, seorang wanita memberi wajahnya untuk orang yang mencintainya, maka itu suamiku, kau dapat melakukan tanggung jawabmu terhadap Toan Toako, aku mana dapat tak bersetia terhadapmu...?"

Habis mengucap itu, mendadak nyonya ini mengeluarkan gunting dari dalam tangan bajunya dengan apa ia terus menusuk mukanya berulang kali!

Sie Siong kaget bukan main. Itulah diluar dugaannya. Ia pula tak dapat berlompat untuk mencegah. Di sisinya si nyonya ada budak-budak perempuan yang ditugaskan melayaninya. Di samping itu, luka di dengkulnya bekas tikaman pedang Toan Kui Ciang membuatnya kurang leluasa bergerak. Maka ia melainkan menjublak mengawasi.

Ketika beberapa budak dapat merampas gunting dari 'tangan si nyonya, muka Louw-sie sudah terluka dan berlumuran darah. P&sti sekali karena luka-lukanya itu, lenyaplah kecantikannya yang menggiurkan hati Sie Siong.

Ketika itu Louw-sie meratap, "Suamiku, baiklah kau mengerti, untuk anak kita, untuk sementara aku tidak akan mati dulu, maka sudilah kau maafkan aku...!"

Kemudian budak perempuan kecil yang melayani Louw-sie mempepayangnya masuk ke ruang belakang

Sie Siong merasa sayang berbareng mendongkol dan gusar. Maka bagaikan gunung berapi meletus mendadak, dia deliki budak-budaknya dan mendampratnya, "Apakah kamu semua bangkai hidup? Kenapa kamu tidak mencegah? Sungguh celaka! Bagaimana ini bisa terjadi? Buat apa kamu masih berdiam saja di sini? Pergi semua!"

Koanke, atau kuasa rumah keluarga Sie, tanya perlahan, "Apakah perlu diundangi tabib untuk menolong Louw-sie?"

Sie Siong masih gusar, maka sebelah tangannya melayang, "Plok!" "Kau gila!" bentaknya. "Apakah kau hendak bikin urusan jadi diketahui umum? Pernah apa kau dengan dia maka kau menjadi repot tidak keruan?"

Koanke itu lantas sadar kenapa Sie Siong sangat memerlukan Louw-sie. Tak lain tak bukan, itulah guna mengambil hatinya nyonya yang cantik itu.

Sekarang si Nyonya Sudah rusak mukanya, wajahnya telah menjadi bercacad, dia tentu tak membutuhkannya pula. Setelah sadar, guna mengambil hati si majikan, ia cepat-cepat kata, "Ya, ya, aku tolol! Aku tolol sekali! Karena itu, ruang ini perlu dirombak, bukan?"

Sie Siong mengulapkan tangannya. Dia justeru hendak mengatakan, "Peti matinya juga buang sekalian!" atau mendadak dia batal sendirinya. Sebab dia melihat Liap Hong bertindak masuk seraya orang she Liap itu berkata, "Aku dengar kau lagi mengurusi jenazahnya Su Cinsu, kenapa kau nampaknya begini gusar?"

Liap Hong ini pernah adik misan dari Sie Siong, ia pun menjadi sebawahan. Di dalam halnya ilmu silat, Liap Hong juga jauh terlebih liehay. Banyak jasanya yang ia dapat mengandal dari bantuannya opsir she Liap ini.

Karena itu, di antara rekan-rekannya, cuma Liap Hong yang dapat datang atau masuk kerumahnya tanpa pemberitahuan lagi. Sebagaimana kali ini orang she Liap itu masuk terus ke dalam, hingga dia mendengar suara bengis dari kakak misan.

"Memang aku lagi sangat mendongkol karena urusan ini!" katanya sengit. "Kau lihat! Masa di kolong langit ini ada perempuan yang begini tidak tahu diri? Aku perlakukan dia mirip permaisuri atau ratu, sampai aku tak menghiraukan kesialan, ruang ini aku jadikan ruang kebaktian untuk ia terhadap suaminya, tetapi dia tak memperdulikan kebaikanku ini, dia cuma ingat suaminya saja! Dia kata, wanita itu cuma untuk orang yang mengerti dirinya sendiri! Begitulah, setelah suaminya mati, dia merusak kecantikannya! Hm! Hm! Kalau aku tak tahan sabar, pasti aku telah membunuhnya!"

Liap Hong tertawa.

"Apakah kau maksudkan Su Hujin?" dia tanya. "Kalau benar dia, harus kau ingat dialah wanita terhormat! Dia telah baca tentang wanita-wanita setia dan putih bersih, tentang kitab- kitab pujangga, karenanya tak seharusnya kau memikir hendak mendapatkannya. Sekarang dia telah merusak wajahnya, dia justeru harus dipuji dan dihormati! Kenapa kau umbar napsu amarahmu? Buat apa kau membangkitkan kemarahannya? Laginya kalau kau mau menolong orang, kau mesti menolong sampai diakhirnya! Sekarang kau ganggu dia, kalau hal ini sampai teruwar, pasti orang banyak akan mencelamu! Maka itu baiklah kau membiarkan dia berkabung untuk suaminya, supaya sebaliknya kau mendapat nama harum."

Sebenarnya, terhadap sikapnya Louw-sie merusak wajahnya, Sie Siong merasa sedikit kagum, maka itu, meski dia lagi mendongkol dan gusar itu, mendengar nasihatnya Liap Hong, lantas dia dapat menyabarkan diri.

"Baiklah," katanya. "Dengan memandang kepada kau, suka aku memberi ijin buat dia berdiam terus di sini. Biar dia nanti mengajari ilmu surat kepada anakku..."

Ketika itu, Louw-sie telah diantar ke dalam kamarnya. Oleh karena orang tahu Sie Siong, si majikan lagi gusar, tidak ada orang yang berani datang merawatnya kecuali seorang budak kecil yang mulanya Sie Siong mewajibkan mengurusnya. Budak ini baik, dia membalut lukanya si nyonya, dia telah pergi  kepada seorang pengawal untuk minta obat luka. Louw-sie meletaki kepalanya di bantal kepala. Bantal itu bersulamkan sepasang burung wanyoh atau bebek mandarin. Darahnya meleleh membuat bantal sulam itu, di betulan sulaman wanyoh, menjadi penuh darah.

Dengan dia berada sendirian, nyonya ini tidak mendengar apa-apa lagi. Didalam kesunyian itu, ia kata dalam hatinya, "Pastilah orang tidak berani datang melihat aku pula. Inilah lebih baik lagi! Su-long, suamiku, kau boleh tenangkan dirimu menantikan aku..."

Tiba-tiba gorden tersingkap. Tanpa terdengar tindakan kakinya, seorang nona masuk ke dalam kamarnya itu. Ia menjadi kaget.

"Siapa kau?" ia tanya cepat. "Cara bagaimana kau berani menjenguk aku?"

Ia menyangka nona itu salah satu budak lainnya.

Nona itu menyahuti perlahan, "Ie-ie Tiap, jangan kaget, jangan takut... Aku datang untuk menolongi kau. Akulah He Leng Song. Ibuku ialah kakak misanmu, Leng Soat Bwe. Ie-ie masih ingat, bukan?"

Louw-sie atau Nyonya Su menjublak bahna heran. Memang, nama kecilnya ialah Bong Tiap, artinya "Bermimpikan kupu- kupu". Nama itu tak ada yang ketahui kecuali teman-temannya semasa kecil serta suaminya.

Sekarang nona ini mengetahuinya, bahkan ia dipanggil Ie-ie, bibi. Ia lantas menatap. Ia melihat seorang nona yang tidak dikenal, hanya roman nona ini benar mirip dengan romannya Soat Bwe, kakak misannya itu. Karena ini, ia tidak menyangsikan lagi. Ia girang berbareng kaget. Lantas ia cekal erat-erat tangan si nona. "Kau mirip benar ibumu!" katanya. "Bagaimana caranya kau masuk kemari?"

Perbuatan nona itu pun mengherankannya.

Leng Soat Bwe gadisnya seorang pembesar, dengan Louw- sie dia pernah misan. Dia kakak karena usianya lebih tua delapan tahun. Ketika Bong Tiap baru berumur sebelas tahun, Soat Bwe ikut ayahnya yang menjadi Cam-kun dari seorang pembesar berpangkat Ciat-touw-su di kota Louw-liong. Semenjak itu keduanya tak pernah saling bertemu pula. Sang tempo telah lewat dua puluh satu tahun.

Semasa masih kecil itu, Soat Bwe dan Bong Tiap saling menyayangi. Sang kakak baik hatinya, sang adik cerdas. Pada masa usianya delapan atau sembilan tahun, Bong Tiap pernah dengar orang tua omong halnya Soat Bwe tak menyukai pekerjaan yang menjadi kewajiban wanita, yaitu menyulam dan lainnya, sebaliknya dia gemar ilmu silat, bahkan satu kali, ketika dia diuji dengan salah satu Busu ayahnya, dia telah merobohkan Busu itu.

Hal ini Bong Tiap tak tahu pasti, maka ia tanyakan kepada kakak misannya itu, sekalian ia minta diajari ilmu pedang. Atas itu Soat Bwe sembari tertawa kata padanya, "Kau cuma mendengar ocehan mereka! Siapa bilang aku mengerti ilmu silat pedang? Yang benar aku sering mengintai para Busu lagi berlatih, dengan diam-diam aku meneladnya. Maka itu aku jadi mengerti beberapa jurus. Ayahku pembesar militer tapi orang masih mentertawakan aku yang mengerti sedikit ilmu silat, apapula kau. Buat apakah kau mempelajarinya?"

Bong Tiap memang tak ketarik dengan ilmu silat, ia minta diajari separuh bergurau, maka permintaannya ditolak kakaknya itu, ia diam saja. Tak lama ayah Leng Soat Bwe memangku jabatannya, dia menutup mata di LouwTiong. Lalu sehabis itu, Bong Tiap tak mendengar kabar apa-apa lagi dari keluarga Leng itu. Ia tidak pernah menyangka kakak itu telah tersohor sebagai liehiap, wanita gagah perkasa.

Ketika kemudian Bong Tiap menikah, ia seperti telah melupai kakak misannya itu. Sekarang, berselang dua puluh satu tahun, di saat ia menghadapi kemalangan ini, siapa nyana gadisnya si kakak misan muncul secara tiba-tiba. Bahkan nona itu, sang keponakan, hendak menolongnya.

Leng Song sudah lantas menolongi bibinya itu mencegah darahnya keluar terus. Ia kata dengan perlahan sekali, "Ie-ie, jangan takut! Tak ada yang tahu aku datang dan masuk ke mari! Ie-ie jangan sangsi pula, mari aku gendong kau pergi!"

Louw-sie menggeleng kepala.

"Untukku kau sudah menempuh bahaya ini, aku sangat bersyukur terhadapmu," katanya. "Akan tetapi, aku sudah mengambil kepastian, aku tidak mau pergi dari sini!"

Leng Song melengak saking heran. Dia jadi bergelisah sendirinya.

"Kenapa?" tanyanya cepat. "Apakah ie-ie kuatir tak sanggup aku menggendong ie-ie keluar dari tempat berbahaya ini? Ie-ie jangan kuatir! Ilmu silatku belum dapat dibilang tinggi sekali tetapi semua Busu di sini tak ada yang aku takuti!"

"Aku percaya kepandaian kau," berkata Louw-sie. "Sedarilaku kecil telah kuketahui ibumu pandai silat ilmu pedang. Kau puterinya, kau juga tentulah seorang wanita gagah. Oh, bicara tentang ibumu itu, aku dan dia telah tidak bertemu dua puluh satu tahun lamanya! Apakah ibumu baik?" "Baik!" sahut Leng Song singkat.

"Kapannya ibumu itu menikah?" Louw-sie menanya. "Aku tak tahu hal menikahnya itu! Bagaimana dengan ayahmu! Dimanakah dia berusaha?" Matanya si nona menjadi guram.

"Ketika aku terlahir, ayah sudah menutup mata," sahutnya. "Ie-ie Tiap, inilah urusan keluarga, dapat di belakang hari kita bicarakan pula perlahan-lahan. Aku tidak mengerti kenapa ie-ie tidak piau pergi? Menurut aku, ini bukannya tempat dimana ie- ie dapat berdiam lebih lama pula! Benar ie-ie telah merusak parasmu, untuk mematikan hatinya si orang she Sie yang busuk itu, tetapi dimana ie-ie masih mempunyai sanak, buat apa ie-ie bernaung berlindung pada lain orang? Buat apa ie-ie berdiam di sini untuk hanya memandang cecongor orang?"

Nyonya Su menyeringai, ia tertawa sedih.

"Aku sudah mempunyai pikiranku sendiri!" sahutnya. "Kelak ' dibelakang hari kau bakal mengerti. Budak pelayanku bakal lekas kembali, kau pergilah lekas! Aku sangat kangen kepada ibumu, maka tolong kau tuturkan lagi pada sesuatu mengenai ibumu itu... Bagaimana caranya maka kamu mengetahui aku mendapat susah di sini?"

"Semenjak aku dilahirkan, aku tinggal bersama-sama ibuku," Leng Song memberi keterangan. "Kami tinggal di dalam sebuah desa kecil'di kaki gunung Giok Liong San. Setiap hari ibu mengajari aku surat dan silat, cuma sebegitu, tak lebih, tak ada istimewa. Tahun yang baru lewat, ibu menganjurkan aku merantau. Aku telah masuk usia delapan belas tahun dan ibu bilang baiklah aku pergi mencari pengalaman, sebab kepandaian silatku sudah cukup maju. Ibu sekalian memberi tugas kepadaku, ialah untuk mencari kau, ie-ie. Pada tanggal tiga kemarin ini aku sampai di rumah engku, ipar ibuku, baru aku mendapat tahu ie-ie telah menikah dengan Keluarga Su. Justeru itu aku menjadi mendapat tahu juga bahwa pada tanggal satu malam, ie-ie lenyap tidak keruan paran. Engku semua menjadi bergelisah memikirkan ie-ie. Lantas aku pergi ke tempat kediaman ie-ie, untuk mencari keterangan. Kebetulan aku bertemu seorang muridnya Toan Tayhiap. Dia mengatakan bahwa juga Keluarga Toan lenyap pada tanggal dua. Murid Toan Tayhiap itu pun menyebut halnya pada tanggal satu An Lok San telah lewat di dusun ie-ie, lalu ketika dia pergi ke rumah gurunya, guna memberi selamat tahun baru, dia melihat roman gurunya guram, beda daripada biasanya. Mendengar semua itu, aku menduga bahwa lenyapnya kedua keluarga mesti bersangkut paut satu dengan lain. Ibu pernah omong padaku halnya permusuhan di antara kedua keluarga An dan Toan. Mengingat bahwa orang tentu banyak yang mengenal Toan Tayhiap, aku segera berangkat ke kota raja ini guna mencarinya. Tak usah aku menjelaskan lagi bagaimana caranya aku membuat penyelidikan, terangnya ialah aku berhasil mengetahui halnya ie-ie dibawa lari An Lok San. Kemudian lagi berkat bantuan seseorang, aku mendapat  dengar perihal satu orangnya An Lok San omong tentang ie-ie ada di rumah orang she Sie ini. Sebenarnya tadi malam aku hendak datang ke mari, apa mau aku terhalang oleh suatu janji, maka itu baru sekarang aku tiba di sini!"

Habis menutur itu, si nona memegang tangan bibinya itu.

"Ie-ie Tiap," katanya, menambahkan, "Sebenarnya apakah maksud ie-ie? Apakah ini disebabkan ie-ie hendak membalas sakit hatinya ie-thio? Taruh kata itu benar, aku anggap paling baik ie-ie menyingkir dulu dari mulut harimau ini. Nanti bersama-sama ibuku ie-ie dapat memikirkan daya menuntut balas!"

Louw-si tertawa meringis. "Pembalasan sakit hati?" katanya. "Bagaimana mudah untuk mengucapkannya! Istana An Lok San bukan seperti rumah ini! Dia mempunyai banyak pahlawan! Meski benar kamu ibu dan anak gagah perkasa, kamu yang berjumlah sedikit tak dapat melawan yang jumlahnya besar! Di samping itu, tugas menuntut balas untuk suamiku ialah tugasku sendiri! Maka itu tak dapat dalam urusan yang begini berbahaya, aku membuatnya kamu ibu dan anak nanti terembet-rembet!"

"Apakah dengan berdiam di rumah Keluarga Sie ini, ie-ie dapat menuntut balas?" tanya Leng Song heran. "Dapatkah ie- ie membinasakan An Lok San?"

Saking bingung, Nona He mengeluarkan pertanyaannya itu.

Ia menyesal.

"Aku lemah, tetapi aku dapat berpikir!" kata dia, suaranya dalam. "Untuk mencari balas tak selamanya orang mesti mengandalkan golok atau pedang! Aku sudah mengambil keputusannya, tak dapat itu diubah! Pergilah kau pulang, kau sampaikan hormatku pada ibumu, kau tanyakan kewarasannya! Bilangi juga bahwa aku sangat bersyukur kepadanya, bahwa selanjutnya tak usahlah ia pikirkan pula padaku..."

Suara Nyonya Su parau tetapi itulah suara pasti, seperti pastinya air mukanya, meskipun muka itu mandi darah. Maka itu dia nampak menjadi keren.

Sebenarnya Leng Song tidak puas, akan tetapi ia tidak sanggup mengubah lagi putusannya nyonya itu, maka ia terpaksa berdiam. Tak mau ia membujuk pula. Tapi ia tanya, "Ie-ie, masih ada apa lagi pesanmu?"

"Coba kau tarik dekati aku ayunan itu," minta si nyonya. "Aku ingin melihat anak perempuanku..."

Leng Song menurut. Anak itu merasakan goncangan, dia membuka matanya, rupanya dia melihat muka ibunya lain daripada biasanya, lantas dia menangis.

"Diam, manis!" Louw-sie membujuki bayinya itu, yang ia tepuk tepuk perlahan. "Jangan takut! Meski roman ibumu menakuti tetapi hatiku tetap menyayangimu!"

Anak itu seperti mengerti perkataan ibunya, dia berhenti menangis.

Leng Song menyaksikan itu, ia terharu bukan main. Louw-sie berpaling kepada si nona.

"Mengenai Toan Tayhiap, kemarin aku mendengar satu kabaran hal dia," katanya. "Karena menolongi suamiku, dia sudah bertempur dcng.ni pahlawan-pahlawannya An Lok San dan telah terluka parah karenanya hanya entahlah, bagaimana keadaannya, dia mati atau tidak. Dapatkah k.m menolongi aku mencari dia?"

"Memang aku hendak memberitahukan kau, ie-ie," kata si noua "Kemarin malam aku telah bertemu dengan Toan Tayhiap. Dia baru sa|a lolos dari istananya An Lok San. Dia menyingkir ke sebuah kuil tua..."

"Habis bagaimana dengan dia?" si nyonya tanya, bernapsu. "Benar, dia telah terluka parah. Akan tetapi dia belum mati." Leng Song menjelaskan mengenai Toan Kui Ciang.

Louw-sie kaget berbareng girang, hingga ia berdiam sekian lama

"Kalau nanti kau bertemu pula dengannya, "Kata ia selang m"..mI "Tolong kau sampaikan sepatah dua perkataanku. Ialah kami ibu il.m .mak berada di dalam gua harimau, meski aku berkeputusan merawat anakku mi, harapanku tipis sekali, segala apa sukar dipastikan dari sekarang, maka itu karena aku tidak ingin mensia-siakan puteranya, apabila pulcr.mya 'feJ sudah besar dan dewasa, baiklah dia mencarikan jodoh lainnya, supaya puteranya itu dapat menikah."

Leng Song heran.

"Oh, kiranya ie-ie berbesan dengan Toan Tayhiap..." kat.mya. Ketika itu terdengar tindakan kaki di luar.

"Sudah waktunya kau pergi!" kata Louw-sie menghela napas.

Leng Song pun menarik napas.

"Ie Tiap, rawatlah dirimu baik-baik!" pesannya. "Pesanmu ini akan aku ingat baik-baik."

Nona He lantas menyingkirkan diri dengan naik ke atas genteng.

Segera juga budak pelayan datang bersama dua orang opsir, yang satunya ialah yang Louw-si sebut sebagai Liap Hong. Mereka itu datang membawakan obat luka buat si nyonya.

Matanya Liap Hong tajam. Ia melihat sesosok bayangan berkelebat. Ia terkejut. Lantas ia menghentikan tindakannya seraya terus berkata, "Tak dapat aku masuk ke dalam kamar hujin. Siauw Hong, kau saja yang menolongi menyampaikan hormatku! Bukankah kau masih ingat caranya menggunai obat luka itu? Oh, saudara Lauw, tolong kau menjelaskannya lagi sekali!"

Busu she Lauw itu menjadi pujaannya Siauw Hong, maka Siauw Hong meminta obat luka kepadanya untuk Louw-sie, kebetulan sekali mereka bertemu dengan Liap Hong.

Aturan rumah tangga Sie Siong keras. Siauw Hong ketahui itu, maka ia tahu juga, ia dapat dihukum Sie Siong apabila Sie Siong ketahui ia mencari obat untuk Louw-sie. Tapi, bertemu dengan Liap Hong, keduanya selamat. Liap Hong ketahui maksud orang, dia suka menolongi. Ada bersama dia, sekalipun Sie Siong sendiri tak akan menghukumnya.

Liap Hong membiarkan dua orang itu berbicara, ia keluar seorang diri. Setelah melihat ada orang di dekatnya, ia lompat naik ke atas genteng. Selagi ia mengawasi kelilingan, tiba-tiba ia merasakan angin menyambar, lalu ujung pedangnya Leng Song sudah diarahkan terhadapnya.

Nona He lantas berkata perlahan, "Kau jangan bersuara, aku tidak mau membunuhmu!" S

Liap Hong menoleh dan melengak. Ia melihat seorang nona cantik berdiri di hadapannya, pakaiannya singsat, romannya gagah.

"Liap Ciangkun, aku tahu kaulah seorang baik," kata Leng Song selagi orang mengawasi padanya. "Bahkan selanjutnya aku masih mengharap segala bantuanmu untuk Louw-sie."

Lega hati Liap Hong. Sekarang ia ketahui orang  datang untuk menolong Louw-sie.

"Jikalau Louw-sie terancam sesuatu," Leng Song memesan, "Tolong kau mengirim orang memberi kabar pada ibuku di dusun Se Kong Tin di gunung Giok Liong San. Ibuku dipanggil Soat Bwe, asal namanya disebutkan, seluruh penduduk mengenalnya. Mengenai kau, Liap Ciangkun, aku menyayangimu. Kau baik dan gagah, mengapa kau kesudian menjadi kaki tangannya orang jahat? Umpama kata dibelakang hari kau tak dapat tempat pada An Lok San, kau boleh menjauhkan diri, nanti aku membicarakan halmu kepada Toan Tayhiap, supaya Toan Tayhiap memberikan suaranya untukmu, agar dengan begitu tidaklah kaum Kang Ouw nanti memandangmu sebagai musuh." Liap Hong terkejut mendengar si nona menyebut nama Leng Soat Bwe, sampai sekian lama baru ia dapat menenangkan diri.

"Terima kasih untuk kebaikan hati kau ini, liehiap," kata ia kemudian. "Untuk Louw-sie, dimana tenagaku sanggup, aku bersedia memberikan bantuanku. Aku pun mohon bantuan liehiap, yaitu apabila liehiap bertemu Toan Tayhiap, tolong sampaikan hormatku kepadanya serta tolong mintakan  maafnya yang aku terpaksa menempur padanya."

"Baik!" sahut si nona. "Asal kau bertujuan menjadi orang baik, tidak nanti Toan Tayhiap memusuhkanmu!"

Habis berkata, Leng Song menarik pulang pedangnya, terus ia berlompat pergi, hingga sekejab saja ia lenyap seperti asap buyar. Ia berlalu dengan hati lega tanpa merasa bahwa saking percaya pada Liap Hong, ia telah membocorkan tempat kediaman ibunya.

********* VII

Sementara itu Lam Ce In yang bersama Tiat Mo Lek mengantarkan Toan Kui Ciang berangkat ke Touw Ke Ce, selama tiga hari telah dapat melakukan perjalanannya dengan hati lega. Di tengah jalan itu tidak ada terjadi sesuatu.

Di hari kempat, tibalah mereka di Peng-louw. Dari situ, lagi dua ratus lie, akan tibalah mereka di tempat yang menjadi lingkungan pengaruh Touw Ke Ce.

Selama itu, kesehatannya Toan Kui Ciang maju pesat. Dia dapat dahar bubur. Ce In dan Mo Lek menjadi semakin lega hati.

Hari itu selagi kereta keledai jalan di jalanan pegunungan, mendadak terdengar suara mengaungnya "Hiang Cian," yaitu panah yang dapat bersuara nyaring. Menyusul itu, yang menjadi suatu isyarat, dari pengkolan gunung terlihat munculnya dua orang penunggang kuda

berpakaian hitam.

"Ah, itulah segala bangsat cilik yang matanya buta!" kata Tiat Mo Lek tertawa. "Mereka menganggap kita seperti kambing-kambing gemuk, tak tahunya mereka melanggar dato!"

Kedua penunggang kuda itu sudah lantas mengasih dengar suara, "Yang duduk di kereta itu apakah Tayhiap Toan Kui Ciang? Cecu kami mengundang Tayhiap!"

Tiat Mo Lek heran.

"Aneh! Orang justeru datang mengundang!" katanya seorang diri. "Dua orang ini bukan orang-orangnya ayah angkatku! Tempat; ini bukan wilayah pengaruhnya Ong Pek Thong serta di sini juga belum pernah terdengar ada mengeram penjahat asal lain tempat! Ah, siapakah mereka?"

Toan Kui Ciang mendengar suara orang, ia menyingkap tenda

kereta.

"Aku tidak kenal dua orang itu," kata ia. "Lam Hiante, tolong kau bicara dengan mereka itu, untuk menyampaikan penolakanku."

i Sebenarnya Tiat Mo Lek ingin sekali maju bicara akan tetapi Lam Ce In sudah mendahului ia, terpaksa ia berdiam diri di atas kereta, menemui Kui Ciang.

"Aku numpang tanya, siapakah itu cecu kamu yang terhormat?" Ce In tanya setelah menghampirkan kedua penunggang kuda itu. "Kalau nanti Toan Tayhiap sudah bertemu dengannya, tentu tayhiap akan mengenalnya sendiri!" sahut satu di antara kedua penunggang kuda itu.

"Toan Tayhiap sedang sakit," kata Lam Ce In, "Kami dalam perjalanan buru-buru mengantarnya pulang ke rumah sanaknya di Touw Ke Ce, karena itu/ jikalau cecu kamu ialah sahabatnya tayhiap, justeru dari sini ke Touw Ke Ce cuma seperjalanan dua hari, silahkan minta ia berkunjung saja ke Touw Ke Ce untuk dapat bertemu satu dengan lain."

Touw Ke Ngo Houw, Lima Harimau dari Touw Ke Ce, menjadi pemimpin Rimba Hijau di Utara, karena itu Lam Ce In tak sangsi-sangsi untuk bicara dengan sebenar-benarnya, bahkan ia sengaja memberitahukan itu dengan maksud menggertak agar pertempuran dapat dicegah.

Kedua penumpang kuda itu tak berubah parasnya mendengar disebutnya Touw Ke Ce. Yang satu malah berkata, "Tentang Toan Tayhiap kurang sehat kewarasannya, siang- siang kami sudah mendapat tahu. Justeru karena itu maka cecu kami mengundangnya. Cecu ingin, karena pernahnya terlebih dekat, baiklah Toan Tayhiap berobat di tempat kami saja."

Yang lainnya lantas menambahkan, "Nama besar Toan Tayhiap telah lama kami dengar, sungguh kebetulan hari ini tayhiap lewat di sini maka itu biar bagaimana, kami harus dapat mengundangnya datang ke benteng kami untuk bertemu dengan sekalian saudara kami!"

Lam Ce In orang Kang Ouw ulung, mendengar suaranya kedua orang, ia lantas bisa menduga bahwa orang yang disebut "Cecu," ketua benteng, oleh dua orang ini pasti mengandung maksud tidak baik terhadap Toan Kui Ciang. Bahkan dia mesti musuh. Rupanya musuh hendak merampas Kui Ciang selagi Kui Ciang sakit, supaya Kui Ciang tidak dapat membantui Touw Ke Ce. Ia pun percaya, cecu itu sebenarnya tak bersahabat dengan Kui Ciang. Kalau tidak, tidak perlunya dia tak mau muncul sendiri atau pun mengirimkan saja kartu namanya. Walaupun demikian, ia masih dapat berlaku sabar.

"Cecu kamu baik sekali, kebaikannya itu diterima oleh Toan Tayhiap," berkata ia. "Tetapi keluarga Touw itu sanaknya, sudah selayaknya dia harus pergi dulu kepada sanaknya itu untuk membuat pertemuan. Tayhiap lagi sakit, tak dapat ia bertemu dengan kamu, tuan-tuan, maka itu dia telah memesan padaku untuk meminta kamu menyampaikan pada cecu kamu, andaikata cecu kamu itu tidak dapat berkunjung ke Touw Ke Ce, nanti saja setelah sembuh, tayhiap akan pergi berkunjung kepada cecu kamu itu."

Dua penunggang kuda itu mengasih lihat roman tawar. "Benarkah Toan Tayhiap mengatakan demikian?" kata yang satunya. "Baiklah, anggap saja demikian jawabannya atas undangan kami! Tapi kami menerima perintah cecu, maka itu kami sendiri yang minta tayhiap suka menemui cecu kami!"

Habis berkata begitu, orang itu berseru, maka lantas dari pelbagai rumpun rumput dan aling-alingan batu besar terlihat keluarnya kawanan berandal dengan semuanya membekal senjata masing-masing.

Lam Ce ln menjadi mendongkol, maka dengan menerbitkan suara nyaring, ia menghunus golok mustikanya, lalu dengan goloknya itu ia menuding kedua penunggang kuda tersebut.

"Apakah perbuatan kamu ini bukannya menyulitkan orang?" ia menegur. "Kamu memaksa, baiklah! Karena kamu menghendaki begini, aku Lam Pat, suka aku mewakilkan Toan Tayhiap melakukan perjalanan ke benteng kamu itu! Hanya terlebih dahulu baiklah kamu tanya golokku ini dia suka mengijinkan aku pergi atau tidak! Orang kamu sudah kumpul atau belum? Silahkan mereka maju berbareng!"

Dua orang itu terkejut mendengar disebutnya nama Lam Pat, mereka mengawasi sekian lama, lantas mereka saling memandang. Cuma sebentar, keduanya tertawa lebar.

"Kiranya Lam Tayhiap dari Gui-ciu!" kata yang satu. '''Maaf, kami benar-benar kurang hormat! Hanya, Lam Tayhiap, suararriu barusan ternyata memandang enteng sekali kepada kami! Kami orang-orang tak ternama, tak berani kami menempur kau satu dengan satu, tetapi juga benar kami bukannya bangsa kurcaci, yang gemar akan kemenangan main keroyok, maka itu, kebetulan kami berdua saudara pernah mempelajari semacam ilmu golok, justeru ada ini ketika yang bagus, ingin kami mohon tayhiap memberi pelbagai petunjuk kepada kami! Apakah tayhiap sudi?

Atau kalau tayhiap menganggap permohonan kami ini tidak adil, nah silahkanlah itu saudara kecil she Tiat yang berada di atas kereta datang kemari untuk bermain bersama-sama! Kami tahu bahwa kami bakal kalah, tetapi kami akan rela menerima kekalahan kami itu!" Ce In tertawa dingin.

"Jikalau tuan-tuan pasti ingin menempur kau si orang she Lam, tentu selalu suka aku menemani!" kata ia. "Tuan-tuan maju satu orang, akan aku menyambut dengan sebatang golokku ini, andaikata tuan-tuan maju berdua berbareng, aku akan menyambutnya dengan ini golok sebatang juga!"

Dua penunggang kuda itu lompat turun dari kudanya masing-masing. Keduanya tertawa keras.

"Benar-benar Lam Tayhiap orang gagah perkasa!" kata yang satu. "Baiklah, kami berdua saudara akan mempertunjuki kejelekan kami! Tetapi, tayhiap, tak sanggup kami menerima kata bertempur dari tayhiap barusan, kami cuma mohon pengajaran. Karena golok tayhiap sangat tajam, kami juga mohon sukalah tayhiap berlaku murah hati!"

"Kata-kata yang bagus! Kata-kata yang bagus!" Ce In berseru. "Tuan-tuan, jangan kamu terlalu merendah! Karena kamu cuma ingin melatih ilmu silat kamu dengan aku si orang she Lam, baiklah, mari kita main-main hanya sampai batas saling towel, jadi di antara kita tak ada soal siapa kalah siapa menang!"

Kedua orang itu menghunus golok mereka.

"Silahkan tayhiap memberikan pengajaran!" katanya. "Eh, tunggu dulu!" mendadak Ce In berkata.

Dua orang itu heran hingga melengak.

Ce In memasuki goloknya ke dalam sarungnya, ia menoleh ke arah kereta untuk berkata nyaring, "Mo Lek, mari kita tukar golok kita!"

Ia pun meloloskan golok dari pinggangnya, terus dilempar ke kereta.

Mo Lek menyambuti dengan heran.

Toan Kui Ciang sambil rebah kata perlahan, "Mo Lek, serahkan golok di pinggangmu kepadanya!"

Kui Ciang sebagai juga Ce In, adalah bangsa "Tayhiap," orang gagah sejati, maka itu dengan golok mustika atau pedang mustika, mereka tak sudi membinasakan segala orang tak ternama, tetapi kedua lawan ini telah menyebut mereka tak mau main keroyok, jadi Ce ln tak suka pakai golok mustikanya itu. Terpaksa Mo Lek melepaskan goloknya dan melemparkannya pada Ce In.

Lam Pat menyambuti golok untuk terus berkata kepada kedua lawan, "Tuan-tuanlah tuan rumah, karena tetamu tak dapat berlaku lancang, silahkan tuan-tuan yang mulai!"

"Baik!" sahut dua orang itu. "Kami menurut perintah! Kami cuma minta tayhiap suka memberi maaf dan tak berlaku sungkan!"

Habis itu keduanya mulai menyerang.

Mereka itu mencekal golok, satu di tangan kiri, satu di tangan kanan, masing-masing dibantu jeriji tangannya yang kosong. Golok mereka tadi dicabut dengan berbareng dengan suara "Srett!" yang nyaring.

Ce In heran kapan ia sudah melihat cara orang menyerang. Nyata ia salah menyangka. Tadinya ia menduga orang ialah orang-orang tak ternama, tak tahunya serangan mereka itu lantas menjadi hebat, suatu tanda mereka itu pandai sekali menggunai goloknya masing-masing.

Liehay Lam Ce In! Di saat golok menghampirkan batok kepalanya, ia bersiul keras dan nyaring, rubuhnya pun bergerak, goloknya diangkat ke atas, menyambut serangan dahsyat itu!

"Tranggg!" demikian suara yang nyaring, hingga dua kali. Dengan begitu juga terpisahlah golok-golok mereka.

"Bagus!" dua orang itu memuji. Tapi, meski mulut mereka memuji, berdua mereka maju pula, guna mengulangi serangan mereka, dari kiri dan kanan. Yang satu dengan golok di tangan kanan, yang lain dengan golok di tangan kiri. Rapat dan erat penyerangan mereka itu, pula sempurna caranya mereka membela diri.

Tiat Mo Lek menonton dari atas kereta, ia kagum'.dan berkuatir...

Tiga buah golok berkelebatan hebat sekali, turuh dan naik sangat pesat, la tidak menonton lebih lama lagi atau mendadak ia terkejut sendirinya. Kata ia dalam hatinya, "Bukankah  mereka itu berdua yang dipanggil Im Yang Too, itu dua  saudara Cio yang kesohor? Pantas mereka ketahui namaku!"

Dua saudara Cio itu, yang sulung bernama It Liong dan yang bungsu It Houw. Mereka biasa bekerja dalam dunia Hek Too atau Jalan Hitam, berusaha tanpa modal. Untuk wilayah Se Liang, mereka dikenal baik sebagai "Tok Kak Too" atau " Begal Kaki Tunggal". Itu artinya begal yang biasa bekerja sendiri, tanpa kawah lain orang.

Hanya di dalam halnya mereka ini, mereka berdua saudara bekerja sama. Di waktu bertempur, mereka pun masing- masing, mencekal golok di tangan kanan dan di tangan kiri. Disebabkan sifat si kakak lebih licik dan si adik lebih terbuka, mereka dijuluki Im Yang Too itu, ialah si "Golok Im" dan si "Golok Yang".

Tiat Mo Lek turunan leluhur penjahat, semasa hidupnya ayahnya, Tiat Kun Lun, ayah itu bersama-sama Touw Leng Ciok dan Ong IVk Thong mendapat julukan "Lok Lim Sam Pa" atau "Tiga Jago Lok 1 im (Rimba Hijau)''.

Karena itu, ia kenal baik banyak penjahat, atau sedikitnya pernah mendengar nama saja. Dalam hal ini, ia lebih menang daripada Lam Ijer In tak perduli berpengalaman...

Mengetahui orang ialah Im Yang Too, Mo Lek menjadi berkualu untuk kawannya itu. "Paman Lam tak kenal asal-usulnya dua saudara Cio ini, dia kena diakali!" katanya dalam hati. "Begitulah Paman Lam tak menggunai gnloV mustika hanya memakai golok biasa saja!"

Berbareng dengan itu, bocah she Tiat ini juga heran mengenai II Liong dan It Houw. Sebagai Tok-kak-too, dua saudara itu tersohor ilal.tm Jalan Hitam, selalu mereka bekerja berdua, tak pernah mereka bei kawan lain orang, maka itu heran sekarang mereka muncul dan bekerja bual apa yang disebut "Cecu," ketua benteng atau rombongan penjahat lainnya

Pikirnya, "Apa mungkin mereka sudi merendahkan diri bekerja di bawah perintah lain orang dan rela menjadi hanya tauwbak, pemimpin sebawahan?"

Lam Ce In bertempur hebat dengan dua saudara Cio itu. (a>luk mereka terus berkilauan, tubuh mereka berlompatan, sebentar iapal sebentar bercerai. Mereka bergerak dengan pesat dan lincah sekali Mala orang biasa jadi kabur melihati golok-golok berkeredepan. Seru d.m l.uua mereka bertempur, Mo Lek menjadi tambah berkuatir.

Tengah si bocah bingung, ia dikejutkan bentakan Lam Ije In disusul dengan suara beradunya keras senjata mereka itu, lalu bertiga mereka mencelat mundur masing-masing, terpisah satu dari lain!

Parasnya dua saudara Cio menjadi pucat lalu guram. Mereka mendapatkan goloknya masing-masing tinggal separuh, sebab golok mereka itu pada buntung kutung!

Lam Ce In di lain pihak berdiri tenang, hanya dengan menyekal terus goloknya, terus ia menjura, sembari memberi hormat itu, ia kata tenang, "Terima kasih sudah suka mengalah! Sekarang dapatkah kami dibiarkan berlalu bersama- sama kereta kami?" Ce In mengurungi goloknya kedua lawan sedang goloknya sendiri golok biasa, tak heran ia membuat musuh-musuhnya menjublak. Mereka itu kagum dan heran. Itulah bukti bahwa tenaga dalamnya jauh terlebih mahir.

Kawanan penjahat semua mengulur lidah dan matanya mendelong...

Setelah sunyi sejenak maka dari antara tumpukan-tumpukan batu yang kacau terdengar siulan nyaring dan lama, menyusul mana terlihat munculnya orang yang bersiul itu.

Dialah seorang yang berusia masih sangat muda, ditaksir baru lebih kurang dua puluh tahun, roman dan dandanannya mirip pemuda pelajar, sedang di tangannya terdapat sebuah kipas, yang ia pakai mengipas perlahan tak hentinya. Hanya, apabila diawasi terlebih lama, nampak dalam kehalusan macam itu tersembunyi sifatnya licik atau sesat.

Ketika mulanya dua saudara Cio memegat kereta, sampai berkumpulnya semua kawan penjahat, orang muda itu tak nampak, jadi teranglah dia baru tiba.

Lam Ce In heran. Ialah orang ulung dan berpengalaman dan waspada. Sekalipun tengah berkelahi, ia masih mengambil kesempatan akan kadang-kadang melirik ke sekitarnya, dan telinganya dipasang juga. Sejak tadi tak pernah ia melihat anak muda itu, tak pernah ia mendengar tindakan kaki. Jadi, sedari kapan anak muda itu tiba di situ?

Begitu melihat pemuda pelajar itu, kawanan berandal bertempik sorak. Mereka girang bukan main. Cuma dua  saudara Cio yang mukanya berubah menjadi merah saking jengah. Mereka melemparkan golok buntung mereka, akan berkata sukar kepada si pemuda, "Siauw-cecu, kami berdua saudara menyesal...!" Anak muda itu sebaliknya, tertawa manis.

"Memang mana bisa kamu mengganggu Lam Tayhiap?" katanya. "Biarlah aku sendiri yang memaksa mengundangnya!"

Ia mengangkat kipasnya, ia menghadapi Ce In sambil tertawa, terus ia kata, "Kami mengundang dengan sesungguhnya hati, apakah benar-benar Lam Tayhiap dan Toan Tayhiap tak sudi memberi muka kepada kami?"

"Siauw-cecu mengundang kami berulang-ulang, kami sangat berterima kasih," menjawab Ce In, "Hanya menyesal sekali, tak dapat aku menerima undangan cecu, terpaksa aku mesti menampik. Sekarang ini Toan Tayhiap lagi sakit dan isterinya lagi mengharap-harap kedatangannya di Touw Ke Ce! Tentang itu tadi telah aku jelaskan pada kedua hio-cu dari perbentengan siauw-cecu. Aku mohon dimaafkan saja."

Pemuda itu melirik, dia tertawa.

"Sungguh sayang aku sendiri yang telah meminta leng-cian perintahan!" kata dia. "Karena itu, tak dapat tidak, mesti aku mengundang Lam Tayhiap beramai! Bagaimana sekarang? Lam Tayhiap, maafkan aku, ingin aku mengutarakan sesuatu yang kurang pantas. Tak perduli tayhiap beramai ingin lekas-lekas melanjuti perjalanan kamu tetapi pasti aku mesti menahan kamu!"

Hati Ce In menjadi panas. Itulah paksaan! Tak sudi ia dipengaruhi

orang.

"Baiklah!" ia menjawab dalam murkanya, suaranya keras. "Jikalau siauw-cecu mempunyai kepandaian untuk menahan kami, persilahkan! Sekarang ini percuma kita ngoceh saja!"

Anak muda itu sabar sekali, dia tertawa pula. "Sungguh tayhiap jujur dan polos!" katanya. "Baik! Hendak aku mengandali kipasku ini untuk main-main sejurus dua jurus dengan tayhiap!"

Menutup kata-katanya itu, ia maju seraya lantas menyerang!

Dengan ditutup, kipas si anak muda bergerak sebagai poan- koan-pit, senjata yang merupakan alat tulis. Jadi itulah senjata peranti menotok jalan darah. Yang di arah pula jalan darah kin- ceng dari Lam Ce In. Cepat dan lincah tangan pemuda itu bergerak.

"Pantas dia jumawa, kiranya liehay ilmu totoknya," pikir jago she Lam ini, "Dia tak ada dibawahan U-bun Thong!"

Karena ini, sahabatnya Toan Kui Ciang ini berlaku sabar dan waspada. Ketika kipas mengancam, ia tidak lekas-lekas menangkis atau berkelit mundur atau nyamping. Sebaliknya ia menanti.

"Lepas tanganmu!" ia berseru ketika serangan tiba. Ia menyambut dengan belakang golok, menghajar senjata orang itu.

Berbareng dengan itu, si anak muda juga berseru, "Lepas tanganmu!"

Itulah sebab tanpa menanti kipasnya dibikin terpental, dia sudah membaliknya, buat dipakai menempel belakang golok lawan.

Kedua senjata bentrok keras, lalu kipas si anak muda terpental, hanya kipas itu tak lepas dari cekalan. Golok Ce In sendiri tak bergeming.

Dengan begitu orang she Lam ini menang unggul sedikit sekali, hingga lebih surup apabila mereka dikatakan seimbang.

Anak muda itu tidak kaget, dia bahkan tertawa. "Dua-dua tak melepaskan tangannya!" katanya, gembira. "Mari lagi! Mari lagi! Kita coba pula!"

Dan dia menggeser tubuhnya maju, tindakannya yang pertama ke samping, lalu disusul dengan tindakannya yang kedua, maka juga dilain saat dia sudah berada di sebelah belakang lawannya, untuk dengan sama gesitnya mengulangi serangannya, kembali menotok jalan darah! Hanya kali ini dia mengarah jalan darah Hong-hu.

Punggungnya Lam Ce In seperti ada matanya, ia lantas menyampok ke belakang, menangkis sambil menyerang. Senjatanya panjang, senjata lawan pendek, maka itu sebelum ujung kipas si anak muda mengenai sasarannya, goloknya sudah mendahului memapas ke lengannya anak muda itu.

Pemuda itu terkejut, dia lantas menarik pulang tangannya, kipasnya diputar naik, guna disingkirkan. Pundaknya pun dikasih turun. Akan tetapi dia masih terlambat sedikit. Senjata mereka berdua bentrok dengan mengasih dengar suara nyaring. Ia kaget karena telapakan tangannya terasa nyeri. ^

"Ilmu golok yang bagus!" dia memuji sambil dia lompat mundur tiga tindak.

Lam Ce In telah memutar tubuhnya, dengan lantas ia maju menyerang. Ia seperti tidak mau mengasih hati. Dengan begitu ia mencegah si anak muda dapat berlompat mundur lebih jauh, dia mesti melayaninya walaupun dia menjadi repot.

Terus Ce In mendesak. Ketika ia membacok dengan jurus "Menghajar gunung Hoa San," ia berseru keras. Goloknya menyambar dengan mengeluarkan suara angin menderu.

"Bagus!" berseru si anak muda. Dia berkelit dengan mendak, habis itu dia lompat mencelat dengan jumpalitan jauhnya satu tombak. Nyata dia gesit sekali dan nyalinya besar, walaupun terdesak, hatinya tetap tabah.

Penyerangannya Ce In itu dilakukan dengan tenaga delapan bagian, tetapi si anak muda menggunai tipu huruf "Lolos," dia dapat menyelamatkan dirinya, karena itu, dia lolos dengan kipasnya tak terlepas dari cekalan.

Biar bagaimana Ce In kagum.

"Dalam dunia Kang Ouw sekarang ini muncul orang-orang muda yang liehay," katanya di dalam hati. "Dulu hari sewaktu usiaku sebaya ini, aku tidak seliehay dia ini..."

Tengah orang memikir demikian, si anak muda menggunai ketika untuk menyerang. Dia tak menjadi kapok atau takut. Dia maju sambil berlompat.

"Benarkah kau hendak mengadu jiwamu!" tanya Ce In keras. Ia menegur sambil membabat ke bawah, guna memapas kedua kaki lawannya.

Melihat datangnya bahaya itu, si anak muda mengangkat kedua kakinya. Sambil membebaskan diri itu, dia menyerang terus, mengarah alisnya lawan. Dia menotok jalan darah yang- pek.

Itulah hebat. Itulah perlawanan mati hidup bersama. Kalau Ce In menyerang terus, ia bisa berhasil, sebaliknya, alisnya bisa tertotok. Ia bersangsi, karena ia anggap ia bukan menghadapi musuh besar. Disamping itu ia merasa suka kepada si anak muda untuk kegesitan dan nyali besarnya. Demikian ia menarik pulang goloknya, sambil menangkis, ia mundur.

Si anak muda benar berani dan bandel. Justeru lawan itu mundur, justeru dia merangsak. Dia membalas menyerang. Mau atau tidak, Ce In mesti main mundur. Keras rangsakan anak muda itu.

Kalau Ce In menyayangi si anak muda itu, anak muda itu sebaliknya. Dia justeru hendak membuat nama Ce In yang sudah tersohor sebagai seorang petualang besar, sebagai jago pengembaraan, ingin dia merobohkannya. Supaya dia menggantikan mendapat nama besar itu.

Dia masih muda dan baru saja muncul, kalau dia dapat pecundangi seorang jago tua, tidakkah namanya naik seketika? Itulah sebabnya dia berani berlaku nekad, untuk roboh bersama.

Pemuda itu berpikir demikian. Tak dia pikir lebih jauh bahwa percuma dia mengadu jiwa secara begitu. Ce In bisa terluka, tapi sama-sama terluka, dia yang lebih celaka. Sebab dia pasti bakal buntung kedua kakinya! Tak gunanya kalau dia menjadi bercacad tak dapat berjalan.

---ooo0dw0oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar