Jiwa Ksatria Jilid 17

  
Dengan kepandaian Cho Peng Goan kalau bertempur satu lawan satu, ia bisa menangkan Touw Goan, dengan Thay Lok setidak-tidaknya bisa berimbang. Tetapi Thay Lok ditambah dengan Touw Goan sungguh berat bagi Cho Peng Goan. Maka akhirnya Cho Peng Goan terkena serangan tangan racun Thay Lok yang dinamakan Hu-kut-ciang, tetapi Thay Lok dan Touw Goan juga terluka, hingga tidak berani mengejar. Ilmu serangan itu sangat ganas, untung Cho Peng Goan ingat kepada Kam Coan yang tinggal justru dekat di tempat itu. Ia lalu menggunakan sisa tenaganya untuk minta pertolongannya. Sesungguhnya sangat berbahaya, begitu tiba di depan pintu Kam Coan, ia jatuh pingsan. Dan apabila Kam Coan terlambat memberi pertolongan, ia juga sudah tidak bisa ditolong lagi.

Cho Peng Goan setelah menuturkan pengalamannya, lalu menanya kepada Tiat Leng: “Dan kau sendiri? Bagaimana kau bisa datang kemari?”

“Aku sebetulnya pergi ke kota Yang-ciu hendak mencari engko, kebetulan di dalam rumah penginapan berjumpa dengan Can toako. Paman Cho, Kam yaya bukan saja sudah menolongmu, tetapi juga menolong aku.”

“Apa yang telah terjadi denganmu?”

“Sebelum Can toako datang, aku telah berjumpa dengan seorang Pangcu dari golongan apa yang dinamakan mengejar sukma. Kepandaian orang itu tinggi sekali, aku tidak dapat melawannya. Untung Kam yaya dan Can toako datang, ia baru diusir pergi.”

“Oh, jadi kau berjumpa dengan Soa Thiat San?”

“Kepandaian Soa Thiat San meskipun tinggi, tetapi kalau dibanding dengan Thay Lok dan Touw Goan masih jauh sekali. Soa Thiat San paling banter cuma dapat menghina aku, dengan Can toako saja ia tidak berani menghina. Paman Cho perlu apa kau takut padanya?” 

“Aku tidak takut, Soa Thiat San adalah pembantunya Touw Goan. Touw Goan dan Thay Lok sudah pergi ke negeri Su-tho. Soa Thiat San dengan anak buahnya pasti juga akan ke negeri Su-tho. Kedatangan orang-orang jahat itu, bukankah lebih menyusahkan rakyat Su-tho? Engkomu dan nona Hoa Khiam Hong sudah berlalu dari kota Yang-ciu, bersama-sama dengan pamanmu Toan Khak Gee suami istri pulang ke gunung. Maka kalian tidak perlu ke kota Yang-ciu lagi. Apabila kalian tidak ada urusan lainnya, harap kalian lekas pulang ke gunung Kim-kee-nia, beritahukan urusan negeri Su-tho kepada ayahmu, tolong sampaikan permintaanku.”

“Tidak, aku tidak mau pulang ke gunung.” Cho Peng Goan terkejut, ia bertanya:

“Apakah kau ada urusan lain?”

“Aku pikir hendak pargi ke negeri Su-tho bersama-sama Can toako,” berkata Tiat Leng sambil tertawa. “Kalian hendak ke negeri Su-tho?”

“Paman Cho, bukankah kau tadi berkata bahwa bibi U-bun sekarang justru sedang membutuhkan bantuan? Bukankah tadi kau katakan rakyat negeri Su-tho yang dijajah oleh negeri Hwee-kie seperti dalam neraka? Meskipun kita tidak mempunyai kepandaian apa-apa, tetapi sedikit banyak tokh bisa membantu bibi U-bun.”

Kam Coan lalu berkata:

“Aku kenal pemimpin cabang golongan pengemis tempat ini. Soal memberi kabar kepada Tiat Mo Lek, aku boleh minta bantuannya. Golongan pengemis mempunyai peliharaan burung dara yang dapat mengantar surat. Ini lebih cepat daripada menunggang kuda.”

Mendengar keterangan itu Cho Peng Goan sangat girang, ia berkata sambil mengacungkan ibu jarinya.

“Baik, kalian sesungguhnya tidak kecewa menjadi keturunan satu kesatria, meskipun usiamu muda, tetapi luhur cita-citamu! Memang benar, orang muda harus mencari banyak pengalaman. Aku tidak menghalangi kau, tetapi kalian juga perlu sedikit persiapan.” Malam itu Cho Peng Goan lalu menuturkan adat istiadat rakyat negeri Su-tho, dan setiba di negeri itu, dengan cara bagaimana harus mencari orang-orang yang bertindak sebagai penghubung.

<>

Pada hari kedua Tiat Leng dengan Can Pek Sin berangkat menuju ke negeri Su-tho.

Kuda tunggangan mereka merupakan kuda-kuda pilihan yang sangat bagus, dalam waktu sepuluh hari lebih sudah mendekati daerah negeri Su-tho.

Tetapi tak disangka mereka telah menemukan kejadian yang di luar dugaan mereka. Hari itu selagi mereka berjalan di atas jalanan gunung, karena jalanan gunung itu sempit dan terjal, terpaksa jalan dengan perlahan. Pada saat itu di sawah-sawah di bawah gunung ada serombongan rakyat yang sedang lari sambil menjerit-jerit, sedang di belakang mereka ada sepasukan kuda yang mengejar.

Pasukan tentara itu dari pakaian mereka, dapat diduga ada tentara campuran.

Sebentar saja rombongan rakyat itu sudah terkurung oleh tentara campuran itu, tentara negeri menangkap orang-orang laki, sedangkan tentara negeri Hwee-kie menangkap kaum wanita. Karena mereka tidak dapat melawan, hingga cuma bisa menangis dan minta tolong.

Can Pek Sin yang menyaksikan kejadian itu, seketika naik darah, bersama-sama dengan Tiat Leng balikkan kudanya turun dari atas gunung.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara terompet. Dari dalam lembah tiba-tiba muncul serombongan pasukan berkuda, pasukan itu pakaiannya compang-camping, sudah jelas bukan tentara negeri.

Pemimpin rombongan tentara negeri yang menyaksikan datangnya pasukan rakyat itu, lalu berkata dengan suara keras:

“Kawanan berandal yang berani mati, aku justru memancing kalian keluar semua supaya dapat kutumpas habis-habisan!”

Tetapi sebelum menutup mulutnya, sebuah anak panah melayang ke arah tenggorokannya sehingga pemimpin itu dalam takutnya lantas buru-buru kaburkan kudanya.

Ia segera minta tentara negeri Hwee-kie untuk menghadapi pasukan rakyat itu. Tetapi tentara Hwee-kie yang sudah berhasil merampok kaum wanita dan barang makanan, sudah tentu tidak sudi berperang melawan pasukan rakyat itu. Tetapi pasukan rakyat itu sudah datang menyerbu, pasukan tentara negeri Hwee-kie terpaksa melepaskan tawanannya dan menyambut kedatangan tentara rakyat.

Tentara rakyat itu meskipun jumlahnya sedikit, tapi mempunyai keberanian dan ketangkasan yang luar biasa, hingga tentara negeri dan tentara Hwee-kie terpukul mundur. Dengan demikian rakyat yang tertangkap dapat meloloskan diri lagi.

Rakyat yang tertangkap itu setelah mendapat kebebasan, segera merampas senjata tentara negeri dan membantu tentara rakyat melawan tentara negeri dan Hwee-kie.

Can Pek Sin dan Tiat Leng yang tiba di situ, karena usul Can Pek Sin, mereka langsung menyerang kepala pasukan.

Kepala pasukan tentara negeri yang melihat seorang gadis cilik, tidak dipandang di mata bahkan bermaksud akan menangkapnya hidup-hidup. Tetapi sebelum ia turun tangan Tiat Leng sudah menyerbu.

Dua perwira pelindung kepala pasukan itu segera merintangi majunya Tiat Leng. Tetapi dalam dua gebrakan saja dua perwira itu sudah binasa di ujung pedang Tiat Leng.

Kepala pasukan itu terkejut menyaksikan kegagahan gadis kecil itu. Selagi hendak lari, ujung pedang Tiat Leng sudah sampai dan mengenakan punggungnya. Tak ampun lagi ia terus terjungkal dari atas kudanya dan dibinasakan oleh tentara rakyat yang sudah murka. Sementara itu Can Pek Sin sudah berhadapan dengan kepala pasukan tentara Hwee-kie. Kepala pasukan itu terlalu mengandalkan kekuatan tenaganya, melemparkan sebatang tombak panjang ke arah Can Pek Sin, di samping itu ia juga perintahkan anak buahnya supaya menyerang binatang tunggangan Can Pek Sin.

Can Pek Sin menyambuti tombak yang dilemparkan ke arahnya. Ia putar tombak itu bagaikan titiran, hingga enam-tujuh tombak yang dilemparkan ke arah kudanya juga lantas tersampok pergi.

Tentara Hwee-kie terkejut menyaksikan ketangkasan pemuda itu. Selagi kepala pasukan akan mengatur lagi barisannya, tombak yang dilempar Can Pek Sin sudah menembus ulu hatinya, hingga saat itu pula melayanglah jiwanya.

Karena dua kepala pasukan semua sudah mati, pasukan negeri dan pasukan Hwee-kie lari kucar-kacir.

Can Pek Sin dan Tiat Leng berjumpa dengan kepala tentara rakyat, di situ baru diketahui bahwa tentara rakyat itu dibentuk oleh Hee Kauw Ing.

Kepala pasukan itu bernama Hee Kauw Yong, salah satu keponakan Hee Kauw Ing. Setelah satu sama lain memperkenalkan nama masing-masing, Hee Kauw Yong sangat girang ia berkata,

“Can siaohiap, Tiat liehiap, nama kalian berdua sudah lame siaotee dengar. Tiat lihiap, apakah ayahmu ada baik? Pamanku beberapa kali ingin berkunjung, sayang selalu tidak mendapat kesempatan.”

Untuk pertama kali Tiat Leng mendengar orang menyebut ia lihiap atau pendekar wanita, hingga merasa jengah, ia berkata,

“Nama pamanmu dan namamu sudah lama kita kenal, kabarnya pamanmu telah bertempur dengan tentara negeri di perbatasan daerahnya. Bagaimana kau bisa datang kemari?”

“Sesungguhnya sangat memanaskan hati. Pasukan-pasukan dari kota-kota Sow-ciu, Ceng-ciu dan Gui- pok telah bergabung untuk menghadapi kita. Itu masih tidak apa, yang paling menggemaskan ialah kepala daerah kota Sow-ciu telah mengundang dan minta bantuan tentara negara Hwee-kie untuk manghadapi kita. Maka kita terpaksa melakukan perang gerilya, meninggalkan pusat kita yang semula, dengan berpencaran kita memasuki daerah Sow-ciu, supaya mendapat banyak kesempatan untuk mengusir tentara Hwee-kie pulang ke kandangnya sendiri. Selama beberapa bulan ini, kita sudah beberapa kali mendapat kemenangan.”

Rakyat yang mendengar keterangan Hee Kauw Yong semua pada maju memberi hormat kepadanya.

“Kali ini untung mendapat bantuan dua pendekar muda ini, jikalau tidak kita barangkali akan mengalami kekalahan,” berkata Hee Kauw Yong kepada mereka.

“Semua ialah satu tujuan yang tidak ingin melihat tanah kita dijajah oleh musuh, rakyat kita dihina, maka kalau satu sama lain saling membantu itu sudah selayaknya,” berkata Can Pek Sin.

Setelah menceritakan keadaan pasukannya Hee Kauw Yong lalu menanyakan keadaan di gunung Kim- kee-nia. Tiat Leng lantas memberitahukan kepadanya apa yang dia sendiri mengetahuinya.

Hee Kauw Yong mendengar keterangan bahwa Tiat Mo Lek sudah membangun kekuatannya lagi, meskipun markasnya di gunung Hok-gu-san sudah jatuh di tangan tentara negeri, tetapi kekuatan di gunung Kim-kee-nia jauh lebih besar. Maka berita ini memberikan semangat baru bagi mereka. Akhirnya ia juga menanyakan, mengapa Tiat Leng berdua bisa datang kemari.

“Tujuan kita sama dengan kalian. Bedanya kalian mencari tentara Hwee-kie di kota Sow-ciu, sedangkan kita hendak pergi ke negeri Su-tho untuk membantu rakyatnya memukul tentara Hwee-kie,” berkata Tiat Leng sambil tertawa.

“Kalau begitu, mungkin kita nanti bisa berjumpa lagi di negeri Su-tho.” “Apakah kalian juga ada maksud hendak ke sana? Ini baik sekali!” “Paman sudah ada rencana hendak pergi ke sana, tetapi perlu melihat situasinya dulu. Dewasa ini kita belum mengadakan hubungan dengan pusat, sehingga belum mendapat kabar kepastian kapan harus berangkat.”

Tiat Leng tiba-tiba ingat sesuatu, ia bertanya:

“Aku ingin minta keterangan darimu tentang dirinya seseorang. Lauw Bong masih merupakan keponakan pamanmu, hal ini kiranya kau tentunya juga tahu?”

“Aku dengan Lauw Bong kenal sejak masih kanak-kanak. Belakangan ini kita berpisah beberapa tahun, kemudian ia juga balik ke pamanku sana. Beberapa bulan berselang aku masih bersama-sama dengannya. Tetapi ia sekarang sudah tidak ada di sana, kabarnya pergi ke kota Poh-ie untuk menengok famili.”

“Menurut apa yang aku tahu, ia sudah berlalu lagi dari kota Poh-ie, apa ia masih belum kembali?” “Belum, nona Tiat, apakah kau ini kenal baik dengan Lauw Bong?”

“Aku tidak kenal dengannya, tetapi Can toakoku ini bersahabat dengannya. Mereka dahulu pernah sama- sama berdiam di lembah Phoan-liong-kok.”

“Memang benar, Lauw Bong juga pernah menyebut nama Can siaohiap. Kalau ia kembali, aku nanti akan sampaikan kabar kepadanya.”

Hee Kauw Yong hanya mengetahui Lauw Bong mempunyai sahabat baik wanita bernama Thie Po Leng, tetapi tidak mengetahui kerewelan yang terjadi di antara mereka dengan Can Pek Sin. Sudah tentu Can Pek Sin tidak mau menceritakan kepadanya. Setelah menyatakan terima kasihnya, lalu berpisah dengannya.

Di dalam perjalanan, Can Pek Sin berkata kepada Tiat Leng:

“Sebetulnya kau tidak perlu bertanya kepada Hee Kauw Yong. Walaupun Lauw Bong berlalu dari kota Poh-ie, pada dua hari berselang kau bertemu dengan enci Leng, tetapi kuda kita larinya pesat. Kita sudah berjalan sepuluh hari lebih, di sini baru berjumpa lagi dengan Hee Kauw Yong. Bagaimana Lauw Bong begitu cepat bisa berjumpa dengannya?”

“Aku tahu kau selalu ingat enci Leng mu, tetapi kau takut malu, sehingga tidak berani menanya, maka aku sengaja menanya. Aku mencari keterangan diri Lauw Bong, juga berarti mencari kabar jejak enci Leng. Sekalipun tidak berhasil, kau juga boleh mengurangi pikiranmu. Apakah kau berani mengatakan tidak benar?” berkata Tiat Leng sambil tertawa.

Can Pek Sin merasa jengah, tetapi ia juga menghargai perhatian Tiat Leng atas dirinya.

Tetapi dugaan Tiat Leng ternyata keliru, karena setelah Can Pek Sin mengetahui Lauw Bong tidak ada di sana, bukannya kurang pikiran, sebaliknya bertambah pikirannya.

Pikir dalam hati Can Pek Sin: Tentara Hee Kauw Ing sekarang sudah berada di kota Sow-ciu, sedangkan Lauw Bong dan nona Liong sebaliknya menuju ke tempat yang dulu mencari mereka, sudah tentu tidak dapat menemukan. Demikian juga dengan enci Leng dan Tok-kow U suami istri sudah tentu juga tidak dapat menemukan mereka. Dengan demikian enci Leng dengan Lauw Bong masing-masing saling mencari, sedangkan pasukan Hee Kauw Ing ini tidak menemu jejaknya. Entah kapan mereka berdua dapat berjumpa lagi?

Ia yang mengharap enci Leng nya bisa akur kembali dengan Lauw Bong. Mengingat nasib enci Leng nya yang demikian buruk, pikirannya merasa agak duka. Untung ia mendapat kawan Tiat Leng yang sepanjang jalan banyak bicara dan tertawa dengannya sehingga banyak mengurangi kedukaannya.

Dalam perjalanannya itu, waktu melalui beberapa tanah jajahan Hwee-kie, kadang-kadang juga berpapasan dengan pasukan berkuda negara itu. Karena mereka ingin cepat-cepat tiba di negeri Su-tho maka tidak mau menimbulkan onar. Kalau berpapasan dengan pasukan berkuda itu, mereka mengambil jalan memutar. Karena kuda mereka larinya pesat, maka tidak susah untuk menghindarkan bentrokan itu, sehingga tiba ke negeri Su-tho dengan selamat. Negara itu merupakan satu negara kecil di tanah dataran sebelah utara. Meskipun tanahnya subur, tetapi tidak tampak piaraan hewan seperti kerbau dan kambing.

Can Pek Sin tidak tahu bahwa sejak Hwee-kie menjajah negara itu, rakyatnya sebagian besar berdiam di tanah pegunungan, hingga di tanah datar sulit menjumpai rakyat yang biasa melakukan pekerjaan gembala. Justru karena itu, petunjuk yang diberikan oleh Cho Peng Goan, bagaimana caranya untuk menghubungi tentara gerilya, sudah tidak bisa digunakan lagi.

Mereka berdua berjalan beberapa hari di tanah datar meskipun kadang-kadang juga menjumpai beberapa gembala dan kadang-kadang juga menemukan petani yang belum mengungsi. Tetapi orang-orang itu karena tidak mengetahui asal usul mereka, dan juga memang tidak mengetahui di mana adanya tentara gerilya, maka ia tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.

Namun demikian, mereka telah menyelesaikan kesulitan utama, ialah mendapat banyak bakal ransum kering dari mereka. Karena rakyat negeri Su-tho kebanyakan ramah terhadap tetamu, apa lagi mereka mengetahui bahwa dua pemuda itu hendak membantu mereka mengusir tentara Hwee-kie, dengan sendirinya suka membantu mereka dengan senang hati.

Beruntun beberapa hari, mereka tidak berhasil menemukan tentara gerilya, hingga Tiat Leng mulai kecewa. Can Pek Sin lalu menghibur padanya:

“Di dalam dunia tidak ada perkara yang sulit, asal kita mempunyai kemauan keras, segala kesulitan dapat kita atasi. Kuda kita bisa lari pesat, kita boleh menjelajahi seluruh tempat. Jikalau tidak menemukan, kita mencari ke daerah pegunungan, aku yakin satu hari pasti dapat menemukan.”

Tiat Leng yang baru mendengarkan ucapan Can Pek Sin itu, tiba-tiba berseru:

“Eh! Can toako, kau lihat rumah kecil di depan itu agaknya rumah suku Han. Mari kita pergi menengok, mungkin dapat mencari sedikit keterangan apa-apa.”

Can Pek Sin menengok ke arah yang ditunjuk oleh Tiat Leng, memang benar rumah yang ditunjuk itu meskipun kecil, tetapi terbuat dari batu bata, bentuk bangunan jauh berbeda dengan rumah-rumah di negara itu. Maka ia lalu berkata:

“Kau benar, kebanyakan itu adalah rumah kediaman suku Han.”

Dua orang itu, selagi menuju ke sana, tiba-tiba melihat dua perwira tentara Hwee-kie keluar dari dalam rumah itu.

“Orang itu mengadakan perhubungan dengan tentara, kita tidak boleh pergi ke sana!” berkata Can Pek Sin.

Pada saat itu mereka melihat dua perwira itu mengeluarkan kain sutra merah yang sudah dibikin untuk menghias pintu rumah. Tiat Leng Lalu berkata:

“Ee, kau lihat mereka sedang berbuat apa?”

“Ini mirip dengan rumah yang hendak mengadakan perkawinan,” jawab Can Pek Sin heran.

Sementara itu dari dalam rumah nampak keluar seorang perempuan muda. Dengan mengambil gala, menghancurkan lentera yang dibuat dari kertas dan merobek-robek kain sutra merah itu, tetapi perbuatannya dicegah oleh dua perwira tersebut.

Dari dalam rumah nampak keluar lagi seorang perempuan petani, berkata kepada perempuan muda itu dengan suara serak:

“Ing-jie, sabarlah sedikit.”

Perwira itu juga mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Tiat Leng dan Can Pek Sin. Namun demikian, mereka dapat menduga bahwa perempuan tua itu sedang meminta kepada dua perwira itu supaya membebaskan anaknya. Dua perwira itu tertawa, kemudian melepaskan gadis itu. Satu di antaranya berkata dengan menggunakan bahasa Han:

“Nona kecil, hari ini adalah hari bahagia bagimu, mengapa kau marah-marah? Kau lihat ibumu barulah orang yang mengerti.”

Tiat Leng sudah hampir tidak dapat menahan kemarahannya, ia sudah hendak membunuh dua perwira itu, tetapi dicegah oleh Can Pek Sin.

“Kita mencari keterangan dulu, membunuh dua perwira tidak ada artinya, bahkan mungkin akan menimbulkan perhatian tentara Hwee-kie, dan mencelakakan diri gadis itu dan ibunya.”

Dua perwira itu berlalu dengan naik kuda ke lain jurusan, sehingga tidak berpapasan dengan Can Pek Sin dan Tiat Leng.

Can Pek Sin dan Tiat Leng lompat turun dari kuda dan berjalan menghampiri rumah itu. Gadis kecil itu sedang menangis, dibimbing oleh ibunya juga tidak mau masuk ke rumah. Ketika melihat kedatangan Can Pek Sin dan Tiat Leng, kembali merasa heran.

Tiat Leng berkata:

“Bibi, bolehkah aku bertanya, apakah kalian orang-orang dari suku Han? Kau jangan takut, kita hendak membantu padamu.”

Perempuan tua itu karena melihat dua pemuda itu sama-sama suku Han, baru hilang rasa takutnya.

“Kau tidak dapat membantu urusanku, kau lekas pergi jikalau tidak, apabila ketemu dengan kawanan tentara biadab itu, mereka barangkali juga akan mencelakakan dirimu.”

Tiat Leng tidak menghiraukan perkataan perempuan tua itu, ia menarik tangan gadisnya seraya berkata:

“Enciku yang baik, beritahukanlah padaku, apakah kawanan tentara binatang itu menghinamu? Kita adalah sahabat-sahabat Ratu kalian. Kita datang dari daerah Tiong-goan hendak membantu kalian mengusir tentara Hwee-kie. Kita pasti dapat membantu kau.”

Ibu dan enak itu setengah percaya setengah tidak. Can Pek Sin lalu menghunus pedangnya, ibu dan anak itu yang semula tidak tahu ia hendak berbuat apa, segera menjerit, sementara itu Can Pek Sin sudah menggunakan pedangnya untuk membacok sebuah batu besar sehingga terbelah menjadi dua. Kemudian pemuda itu berkata sambil tertawa:

“Bibi jangan takut. Kau lihat pedangku ini dapat membelah batu, aku kira leher dua perwira tadi tokh tidak lebih keras dari pada batu ini?Apa yang ditakuti?”

Perempuan tua itu setelah menyaksikan kekuatan Can Pek Sin, baru merasa girang, tetapi kemudian ia berkata:

“Meskipun kalian berkepandaian tinggi, tetapi juga belum dapat melawan mereka, karena jumlah mereka terlalu banyak.”

Gadis itu berkata:

“Terima kasih atas kebaikan nona ini, kita juga merasa girang bisa bertemu dengan sesama suku. Ibu, meskipun kita tidak dapat menerima bantuan orang, tetapi seharusnya juga menerima mereka sebaik secara layaknya. Dua tentara binatang itu sudah pergi, malam ini barangkali tidak ada orang yang akan datang lagi.”

Mereka lalu mengundang dua tamunya masuk ke dalam rumah, sudah tentu menuturkan apa yang telah terjadi di rumah tangga mereka.

Menurut penuturan nyonya tua itu, mereka sebenarnya penduduk dari daerah Sow-ciu, tigapuluh tahun berselang mulai menetap di negara itu. Suaminya sudah lama meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak lelakinya yang bernama Hong Hoa, telah naik ke gunung menggabungkan diri dengan pasukan gerilya, sedang anak perempuannya yang bernama Hong Ing tetap tinggal di rumah mengawani ibunya.

Karena paras Hong Ing cukup cantik, telah menarik perhatian kepala pasukan tentara penjajah dan dengan secara paksa hendak dikawini, hari kawinnya telah ditetapkan esok hari.

Tiat Leng yang mendengar penuturan itu sangat marah, katanya:

“Kurang ajar! Urusan ini biar bagaimana kita hendak campur tangan! Toanio, aku ada mempunyai satu akal. Besok kau tetap berlaku gembira seperti hendak menikahkan anakmu benar-benar, menunggu kedatangan mereka untuk membawa pengantin perempuan.”

“Jadi kau akan menikahkan anak perempuanku benar?” berkata nyonya tua itu. “Bukan, akulah yang akan menggantikan menjadi pengantin perempuan!”

Nyonya itu terperanjat, ia hampir tidak percaya kepada telinganya sendiri, katanya: “Apa, kau hendak menggantikan anakku? Mana boleh!”

“Mengapa tidak? Kalau mereka sudah membawa aku pergi, kalian boleh pergi dari rumah ini, dan Can toako ini akan melindungi kau sampai ke atas gunung.”

“Bagaimana dengan kau sendiri?”

“Hal ini kau tidak perlu tahu, aku bisa meloloskan diri sendiri.”

Ternyata nona cilik itu sudah mengambil keputusan, apabila pengantin lelaki sudah membawa pergi, di waktu malam ia akan menangkap kepala pasukan itu dan dijadikan barang tawanan.

Nyonya tua itu terkejut mendengar maksud Tiat Leng, katanya:

“Nona yang baik, kau sangat baik terhadap kita. Aku dan anakku mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Tetapi rencanamu ini sangat berbahaya, aku tidak dapat mengizinkan kau melaksanakan! Karena itu berarti aku akan mencelakakan dirimu.”

“Keputusanku sudah tetap, biar bagaimana harus kulakukan. Aku mengerti sedikit Ilmu silat. Terus terang, satu kepala pasukan saja, masih tidak kupandang di mata.”

Nyonya itu tiba-tiba berkata:

“Nona, aku juga mempunyai satu rencana, mungkin dapat membantu kau.” “Kalau kau mempunyai rencana, mengapa kau tadi diam saja?”

“Terus terang, Hong Hoa saat ini mungkin sudah menggabungkan diri dengan tentara gerilya kita.”

Tiat Leng sangat girang, karena ia telah mendapat kabar tentang pasukan gerilya, maka buru-buru menanya:

“Berapa jauh tempat tentara gerilya itu? Dan kapan kira-kira bisa sampai?” “Mungkin besok mereka bisa datang kemari.”

Si gadis Hong Ing dengan cepat nyeletuk:

“Ibu, aku khawatir mereka besok tidak datang.” Tiat Leng berkata: “Aku berdiam di sini bersama kalian. Kalian beritahukanlah di mana tempatnya tentara gerilya itu. Aku nanti minta Can toako pergi mencari mereka. Kudanya bisa lari cepat, perjalanan ratusan pal bisa dicapai dalam waktu satu hari pulang pergi.”

“Tentara gerilya itu bersembunyi di atas satu gunung, orang luar tidak mudah menemukan. Aku sendiri juga tidak tahu di mana letaknya kediaman mereka. Hong Hoa kenal baik dengan mereka, tetapi kalau mau coba-coba juga tidak halangan,” berkata nyonya tua itu.

“Engko sudah pergi beberapa hari, bila dapat menemukan tentara gerilya, besok pasti akan kembali. Tapi bila tidak menemukan, kuda Can toako itu meskipun cepat larinya, juga tidak ada gunanya. Dan lagi, sekalipun Can toako dapat menemukan, secepat-cepatnya juga besok pagi baru kembali. Sedangkan kepala pasukan itu besok sore sudah akan datang ke rumah kita. Dalam waktu setengah hari, mana bisa dia keburu datang? Kalian sebetulnya tidak perlu repot-repot, paling banter hanya aku seorang yang mati,” kata Hong Ing.

“Kalau begitu, Can toako juga biarlah tinggal di sini. Aku akan tetap menjalankan rencanaku semula. Aku akan menyaru sebagai pengantin perempuan, dan Can toako menyaru sebagai saudaramu.”

Nyonya tua itu terpaksa menerima baik usul dari Tiat Leng.

Tiat Leng anggap ringan perkara itu, karena seorang kepala pasukan di satu daerah kecil, mungkin tidak ada artinya. Tidaklah demikian anggapan Can Pek Sin. Karena kalau memang benar kepala pasukan tentara Hwee-kie itu menaksir seorang gadis, dapat mengambil secara paksa, perlu apa memakai upacara perkawinan segala? Apakah tidak mungkin itu ada merupakan satu siasat kepala pasukan belaka?

Esoknya tengah hari Hong Hoa masih belum tampak pulang. Sudah tentu tentara gerilya juga tidak muncul.

Tiat Leng melanjutkan rencananya, hari itu ia harus berdandan seperti pengantin. Sebab pengantin perempuan itu ada suku Han, menurut adat istiadat suku Han, harus memakai kerudung kain merah di mukanya.

Can Pek Sin juga berdandan seperti saudara dari pengantin perempuan, sedang ibu Hong Ing disuruh rebah di pembaringan berpura-pura sakit.

Baru saja selesai berdandan, di luar sudah terdengar ramainya suara terompet dan gendrang serta derap kaki kuda. Sepasukan tentara Hwee-kie di bawah pimpinan seorang komandan datang untuk menjemput pengantin perempuan.

Waktu itu pintu rumah tertutup, nyonya tua mengintip dari sela-sela lubang pintu. Ia terkejut begitu mengetahui bahwa ternyata pemimpin rombongan itulah kiranya si bakal pengantin lelaki yang datang menjemput sendiri!

Can Pek Sin yang diberitahukan juga terkejut, tetapi itu bukan berarti takut terhadap kepala pasukan itu. Yang dikhawatirkan ialah, bahwa di antara rombongan itu ada tiga orang yang dia kenal, dan di luar dugaannya ketiga orang tersebut juga berada di negara itu.

Tiga orang itu adalah Say Ban Hiong dan dua saudara Pan, Pan Piauw dan Pan Ciong, yang dahulu pernah mencegat Can Pek Sin ketika pemuda ini membawa emas ke gunung Hok-gu-san. Apabila satu lawan satu, siapapun di antara ketiga orang ini tak ada yang mampu menandingi Can Pek Sin. Tetapi kini mereka tiga-tiganya berkumpul, dan adanya lagi pasukan tentara Hwee-kie menambah berat tugas Can Pek Sin yang hanya mempunyai seorang yang masih dapat membantunya, yakni Tiat Leng.

Apa yang dikhawatirkan Can Pek Sin ternyata benar. Kepala pasukan itu memang ada mengandung maksud hendak memancing keluar pasukan gerilya Su-tho-kok, maka ia pura-pura mengawini adiknya Hong Hoa, yang diketahuinya ikut dalam pasukan gerilya.

Dan kedatangan Say Ban Hiong bertiga adalah atas undangan Touw Goan, yang kala itu sudah mengabdi kepada negara Hwee-kie. Disamping itu ia juga berusaha mengumpulkan kekuatan yang terdiri dari kawanan bekas berandal, untuk membangun kekuatan sendiri. Orang-orang yang menjadi pengikutnya kecuali Say Ban Hiong bertiga, masih ada Soa Thiat San, Pok Sui Thian dan lain-lainnya.

Soa Thiat San yang berkepandaian lebih tinggi, mendapat jabatan agak baik dan berdiam di kota Su-tho- kok! Say Ban Hiong dan dua saudara Pan yang termasuk orang kelas dua, diperbantukan kepada kepala Pasukan tentara Hwee-kie untuk menindas rakyat Su-tho-kok.

Kalau Can Pek Sin sudah mengetahui beradanya tiga orang dalam tentara Hwee-kie, tidaklah demikian dengan Tiat Leng yang mukanya sudah dikerudungi kain merah. Ia hanya mendengar dari nyonya rumah tentang kedatangan kepala pasukan yakni si calon mempelai sendiri, yang menggirangkan hatinya, lain tidak.

Can Pek Sin tidak mendapat kesempatan untuk mengisiki Tiat Leng tentang adanya bahaya. Waktu rombongan tentara itu sudah sampai ke depan pintu, dengan cepat Can Pek Sin mendorong tubuh nyonya tua itu masuk ke dalam kamar, ia sendiri buru-buru mengolesi mukanya dengan arang hingga sebentar saja terciptalah satu manusia muka hitam.

Pada saat wakil kepala pasukan membuka pintu dan melihat mempelai wanita didampingi seorang pemuda muka hitam, ia jadi tertawa geli sendiri. Kepala pasukan nampak begitu kecewa, ternyata yang diharap-harapkan yakni pasukan gerilya tidak kunjung tiba.

Kepala pasukan ini berjalan masuk, terus didampingi Say Ban Hiong dan persaudaraan Pan.

Ia heran tidak menampak ibu pengantin perempuan, tetapi Can Pek Sin dengan cepat memberitahukan bahwa ibunya sakit, hingga tidak bisa keluar menyambut.

“Apakah kau saudara lelakinya bakal istriku, kalau begitu kau bakal menjadi iparku. Apa kau hendak turut mengantar adikmu?” demikian bakal pengantin lelaki itu berkata.

Sementara itu dalam hatinya diam-diam berpikir: Menurut laporan, pemuda Tan Hong Hoa itu katanya berkomplot dengan pasukan gerilya. Aku tadinya mengira dia seorang gagah perkasa, tak disangka ada satu orang tolol demikian. Tetapi tidak apa, aku akan pancing dia ke markas untuk cari keterangan tempat sembunyinya pasukan gerilya.

Can Pek Sin pada saat itu memberi isyarat kepada Tiat Leng, supaya jangan buru-buru bertindak, tetapi Tiat Leng tidak mengerti, ia merasa heran mengapa Can Pek Sin perlu memperlambat bertindak.

Say Ban Hiong yang mempunyai pandangan mata dan ingatan luar biasa, agak terkejut ketika menyaksikan Can Pek Sin dan pengantin perempuan, karena potongan badan dua orang itu ia ingat betul pernah dia melihatnya. Ia lalu menanyakan kepada wakil komandan yang pernah mengantarkan emas kawin, apakah pengantin perempuan itu benar adalah gadis yang pernah dilihatnya.

Pertanyaan itu sudah tentu menimbulkan keheranan orang yang ditanya.

“Memangnya kenapa? Apakah pengantin perempuan ada yang memalsu?” demikian perwira itu menanya. Kepala pasukan yang mendengar pembicaraan itu berkata sambil tertawa:

“Kita lihat saja, bukankah bisa segera mengetahui. Hei, nona yang manis, aku minta cium dulu darimu!” Dengan tiba-tiba kepala pasukan itu membuka kerudung pengantin.

Cepat luar biasa Tiat Leng menampar pipi pengantin lelaki, hingga pipinya bengap seketika. Kemudian dengan jari tangannya ia hendak menotok jalan darahnya. Tetapi karena sudah memberi tamparan lebih dulu, gagallah usahanya yang hendak menangkap hidup-hidup pengantin lelaki itu.

Say Ban Hiong yang sudah mencurigai pengantin perempuan itu. Begitu melihat pergerakan dari pengantin perempuan yang menyerang bakal lelakinya, dengan cepat lantas bertindak menyerang Tiat Leng.

Tiat Leng terpaksa meninggalkan kepala pasukan Hwee-kie, menyambut serangan Say Ban Hiong.  Can Pek Sin juga sudah bertindak, menyerang Say Ban Hiong.

Dua saudara Pan lalu berseru:

“Hai, kiranya kau si budak hina!” Say Ban Hiong juga berseru:

“Bagus! Bocah she Can, kau sungguh mempunyai keberanian besar datang ke negeri Su-tho. Sekarang ingin kulihat, apakah kau mampu terbang lagi?”

Pan Piauw yang dulu pernah dikalahkan oleh Can Pek Sin, kini begitu melihat pemuda itu darahnya naik seketika. Dengan senjata tombaknya ia segera menikam si pemuda.

Kaki Can Pek Sin menendang sebuah bangku panjang, ujung tombak Pan Piauw menancap di bangku itu. Dengan cepat Can Pek Sin menghunus pedang terus membabat pundak orang she Pan itu.

Pan Lo-jie yang melihat saudara tuanya berada dalam bahaya, dengan cepat turun tangan memutar goloknya menyerang Can Pek Sin.

Sementara itu Say Ban Hiong dan Tiat Leng juga sudah pada menghunus senjata masing-masing. Pertempuran sengit segera berlangsung dalam dua gelombang. Say Ban Hiong menggunakan sendjata golok, sedangkan Tiat Leng memakai pedang sebagai pegangannya.

Golok Say Ban Hiong adalah senjata berat. Tiat Leng adalah sebagai seorang gadis cilik yang bertenaga lemah. Maka ketika dua senjata beradu, tangan Tiat Leng dirasa kesemutan, senjatanya hampir saja terlepas dari tangannya.

Ia mahir dalam ilmu meringankan tubuh. Tetapi karena tempat terlalu sempit, tidak leluasa baginya buat mengeluarkan kepandaiannya, sementara Say Ban Hiong terus berusaha hendak menangkap hidup-hidup.

Tiat Leng mengeluarkan ilmu kepandaian warisan Sin Cie Kow yang paling berbahaya, berhasil melukai tulang rusuk Say Ban Hiong, sayang luka itu tidak berat.

Pada saat itu kepala pasukan Hwee-kie yang jatuh di tanah karena diserang Tiat Leng, sudah sadar kembali. Ketika menyaksikan Say Ban Hiong terluka, ia lalu berseru nyaring:

“Pemberontak, pemberontak! Lekas kurung rumah ini, semua penghuninya jangan sampai ada yang lolos!”

Tetapi ketika menyaksikan kecantikan Tiat Leng, ia segera merubah perintahnya, “Yang lainnya boleh bunuh mati saja, hanya pengantin perempuan dan saudara lelakinya saja yang harus ditangkap hidup- hidup!”

Perwira itu belum mengetahui lihaynya dua muda mudi itu, hanya mengandal Say Ban Hiong dan kedua saudara Pan, dianggapnya mudah sekali. Tetapi setelah Say Ban Hiong dilukai dengan Tiat Leng menjadi berimbang.

Dua saudara Pan yang mengeroyok Can Pek Sin meskipun berada di atas angin, tetapi juga tidak mudah dapat merubuhkan pemuda itu, apalagi untuk menangkap hidup-hidup.

Maka ketika mendengar perintah atasannya itu, tiga orang diam-diam mengeluh.

Can Pek Sin yang pernah mendapat petunjuk dari Khong-khong Jie, sedang Tiat Leng mewarisi kepandaian Sin Cie Kow, maka dua muda mudi itu dapat bekerja sama dengan baik sekali.

Menghadapi keadaan demikian, Say Ban Hiong terpaksa tebalkan muka dan berkata kepada kepala pasukan Hwee-kie itu:

“Co tuthong, dua orang ini adalah keturunan dari orang-orang gagah daerah Tiong-goan. Untuk menangkap hidup mereka, barangkali tidak mudah!” Perwira itu juga sudah melihat dua muda mudi itu gagah sekali, tetapi ia masih sayang kepada Tiat Leng maka menyuruh membunuh Can Pek Sin saja.

Namun Say Ban Hiong dan dua saudara Pan itu sudah hampir kewalahan menghadapi dua anak muda itu, baik menangkap hidup-hidup atau membunuh mati, sama-sama tidak mudahnya.

Pasukan tentara Hwee-kie itu hanya mengurung rapat rumah itu, tidak ada satu yang berani memberi bantuan kepada Say Ban Hiong bertiga.

Kepala pasukan itu yang menyaksikan keadaan demikian bukan kepalang marahnya, maka memerintahkan orang-orangnya supaya membantu Say Ban Hiong. Namun mereka tidak dapat berbuat banyak, karena keadaan dalam rumah terlalu sempit, agak sulit orang yang ratusan jumlahnya harus menyerbu ke dalam rumah.

Perwira yang sudah biasa memberi komando itu, setelah tenang kembali pikirannya, juga mendapat lihat keadaan demikian, sesungguhnya tidak mudah menangkap dua anak muda itu. Maka timbullah pikiran kejamnya.

“Kalau kau semua tidak bisa masuk semua ke dalam rumah, hancurkan saja! Kubur hidup-hidup perempuan tua itu, aku ingin lihat, dua bangsat kecil itu mau keluar atau tidak?” demikian perintahnya.

Perintah dijalankan dengan segera, beberapa bagian tembok rumah sudah mulai dihancurkan.

Selagi dalam keadaan sangat berbahaya, Tiat Leng dari Can Pek Sin tiba-tiba mendengar suara terompet dan derap kaki kuda.

Itu adalah anak laki-laki si nyonya tua yang datang bersama pasukan gerilya.

Tentara Hwee-kie meskipun sudah melihat kedatangan pasukan gerilya itu, tetapi karena hanya beberapa puluh pasukan berkuda saja, tidak dipandang di mata.

Akan tetapi pasukan gerilya itu meskipun jumlahnya sedikit, namun sangat berani, terutama pemimpinnya yang bermuka hitam bagaikan pantat kuali dan pemuda Tan Hong Hoa, saudara laki-laki pengantin perempuan Hong Ing. Bagaikan harimau terluka mengamuk ke dalam pasukan tentara Hwee-kie, hingga dalam waktu hanya sekejap mata saja, sudah banyak yang binasa di tangan mereka.

Say Ban Hiong yang menyaksikan kedatangan bala bantuan itu, hatinya sangat cemas, ia terpaksa melanggar perintah atasannya, suruh dua saudara Pan membunuh mati saja dua musuhnya itu.

Perubahan siasat itu membuat dua saudara itu tidak ragu-ragu lagi, mereka telah bertekad hendak membunuh dua lawannya. Dengan demikian, hingga keadaan Tiat Leng dan Can Pek Sin sangat berbahaya.

Selagi dalam keadaan sangat kritis, Hong Hoa dan laki-laki muka hitam itu telah tiba.

Pemimpin pasukan berwajah hitam berhadapan dengan Tiat Leng dan Can Pek Sin, lantas berseru: “Oh! Kiranya kalian berdua!”

Pemimpin rombongan berwajah hitam itu adalah satu dari empat pahlawan U-bun Hong-nie, namanya O- hok. Sewaktu U-bun Hong-nie pergi ke daerah Tiong-goan mencari suaminya, O-hok ikut serta. Di kampung Kui-chiu-chung ia pernah melihat Can Pek Sin dan Tiat Leng dua kali, maka masih mengenalinya.

O-hok yang bertenaga besar, dengan senjatanya yang berupa bandulan menghantam kepala Say Ban Hiong.

Orang she Say itu segera menangkis dangan goloknya, meskipun berhasil menangkis, tetapi tangannya merasa sakit sekali.

Ketika O-hok melanjutkan serangan, tangan Say Ban Hiong yang sudah kesemutan, cuma bisa menangkis, tidak bisa membalas menyerang. Di pihak dua saudara Pan yang menghadapi Can Pek Sin dan Tiat Leng, merasa agak berat. Cukup sepuluh jurus, Pan Piauw sudah terpapas sebagian dagingnya di pundak kiri. Dan pedang Can Pek Sin juga sudah melukai Pan Lo-jie.

Say Ban Hiong yang mengetahui keadaan tidak menguntungkan pihaknya, tanpa menunggu perintah atasannya, sudah mengajak dua kawannya kabur.

Kepala pasukan Hwee-kie yang menyaksikan Say Ban Hiong bertiga sudah kabur, masih coba memimpin orang-orangnya untuk memberi perlawanan. Tetapi tentara Hwee-kie yang cuma tinggal beberapa puluh jiwa itu, dengan mudah disapu bersih oleh Can Pek Sin berempat.

Tinggal kepala pasukan seorang yang masih bisa melawan, selagi O-hok hendak turun tangan membinasakannya, ketika melihat Hong Hoa datang, segera menyerahkan padanya seraya berkata:

“Dia adalah musuh besarmu, kini kuserahkan padamu biarlah kau sendiri yang membereskan!”

Diukur ilmu silat perwira itu dengan Hong Hoa, sebetulnya masih jauh lebih unggul daripada Hong Hoa. Tetapi karena perwira itu sudah terluka di tangan Tiat Leng dan Can Pek Sin, kekuatan tenaganya belum pulih kembali. Apalagi habis bertempur agak lama, maka dalam waktu beberapa puluh jurus, sudah dibinasakan oleh Hong Hoa.

O-hok yang menyaksikan kejadian itu, Hong Hoa bersama ibu dan adiknya, berarti tidak bisa tinggal dalam rumah itu lagi, maka diajak oleh O-hok pindah ke markas tentara gerilya.

Di dalam perjalanan menuju ke atas gunung, Tiat Leng menanyakan kepada O-hok:

“Kita sebetulnya sedang mencari bibi U-bun, eh Ratu kalian, apakah kalian boleh ajak kita menjumpainya?”

Tiat Leng yang sudah biasa membahasakan pada U-bun Hong-nie bibi, hingga saat itu sudah keseleo lidahnya memanggil bibi, setelah keluar dari mulutnya, ia baru insyaf kesalahannya, maka buru-buru merobahnya.

Di markas tentara gerilya daerah itu rombongan Can Pek Sin menginap satu malam, esok paginya bersama pasukan O-hok melanjutkan perjalanan ke gunung Pak-bong-san, dimana U-bun Hong-nie bermarkas.

Di tengah perjalananan daerah pegunungan itu, tiba-tiba terdengar suara binatang rimba mengaum dan kemudian lompat keluar dari dalam rimba dan mengejar seorang laki-laki. Karena yang dikejar itu membelakangi tempat Can Pek Sin berada, hingga tidak dapat dilihat siapa orangnya. Hanya dari potongan badannya, Can Pek Sin merasa seperti pernah kenal.

Ia segera menyatakan maksudnya kepada Tiat Leng, hendak menolong orang itu. Tiat Leng menyetujui usul Can Pek Sin, katanya sambil tertawa:

“Baik, kita harus menolongnya. Kalau kita berhasil membinasakan sang harimau, malam ini rombongan kita akan mendapat makan besar.”

Can Pek Sin dan Tiat Leng menggunakan ilmunya meringankan tubuh, dengan cepat sudah berada di atas gunung, hingga semua orang yang menyaksikan turut kesima.

Can Pek Sin dan Tiat Leng ketika tiba di atas gunung, laki-laki itu sudah berkelahi dengan harimau yang belum lama mengejarnya. Terkaman harimau yang demikian ganas telah dapat dielakkan dengan baik sekali.

Kemudian dengan mendadak laki-laki itu menggeram dan melompat ke atas punggung harimau, dipegangnya erat-erat punggung binatang. Kepalanya dihajar dengan tinjunya. Harimau itu merontah- rontah, tetapi tidak berhasil meloloskan diri dari tangan itu.

Tiat Leng terkejut dan terpesona menyaksikan ketangkasan laki-laki tersebut, katanya kepada Can Pek Sin sambil tartawa: “Orang itu hebat sekali tenaganya, kita terpaksa cuma minta daging harimau darinya.”

Can Pek Sin mendadak berseru “Eh! Bukankah ini Lauw toako?”

Orang yang sedang menghajar harimau itu bukan lain dari Lauw Bong.

Lauw Bong yang sedang menghajar harimau, tidak berani berlaku lengah, setelah harimau itu dihajar sampai mati, baru ia berpaling. Ketika mengetahui siapa orangnya yang datang menghampiri dirinya, lantas berseru kegirangan:

“Saudara Can, bagaimana bisa berada di sini?”

Pertemuan yang tidak diduga-duga itu mengejutkan dan mengherankan kedua pihak.

Can Pek Sin diam-diam bertanya kepada diri sendiri: Mengapa Liong Seng Hiong tidak ikut serta?

Sedangkan dalam hati Lauw Bong juga bertanya-tanya: Mengapa Po Leng tidak bersamanya, sebaliknya berjalan bersama dengan seorang gadis kecil yang masih asing?

Selagi Can Pek Sin dan Lauw Bong berbicara gembira, tiba-tiba terdengar suara orang memaki-maki, “Hei, bocah, mengapa kau pukul mati binatang peliharaanku?”

Kata-katanya itu diucapkan dengan bahasa Su-tho.

Can Pek Sin dan Tiat Leng masih bisa mengerti sedikit, namun Lauw Bong sama sekali tidak mengerti.

Membarengi suaranya, tampak seorang pemuda dengan pakaian kulit binatang telah loncat keluar dari dalam rimba. Gerakannya gesit mirip seekor kera, galak bagaikan harimau yang ingin menerkam mangsanya. Rambutnya yang berwarna kuning tidak teratur sehingga sangat menyolok.

Lauw Bong menyangka kepada musuh, ia maju memapaki dengan kedua tangannya disilangkan ke bawah ingin menjatuhkan lawannya.

Pemuda berpakaian kulit binatang itu ternyata bertenaga besar, serangan Lauw Bong yang dapat mematikan seekor harimau tidak diindahkan, ia maju memapakinya. Terdengar suara yang keras. Lauw Bong terdesak mundur hingga tiga langkah.

“Bagus,” bentak Lauw Bong penasaran, “Akan kulihat, siapa yang lebih kuat, mungkinkah kau dapat melebihi seekor harimau?”

Dengan ilmu Hun-khim-co-kut atau mematahkan tulang memutuskan urat, Lauw Bong merangsak maju.

Dirasakan ia telah berhasil memegang pergelangan tangan pemuda berpakaian kulit binatang itu, tapi sebentar kemudian terlepas kembali. Untuk kedua kalinya mereka mengadu tenaga dan seperti apa yang pertama dialami olehnya.

Tiat Leng dan Can Pek Sin turut menyaksikan jalannya pertempuran di antara Lauw Bong dan pemuda itu. “Lauw toako, kau telah membunuh binatang peliharaannya?” berkata Can Pek Sin dengan suara keras.

“Ia memelihara binatang buas mencelakakan orang,” Lauw Bong telah mempunyai kesan baik kepada bekas satru itu. “Aku wajib melenyapkan malapetaka dan menjamin ketenangan para penduduk di sekitar tempat ini.”

Pertempuran dengan pemuda berambut kuning yang mengenakan pakaian kulit binatang itu belum berhenti. Lauw Bong sangat penasaran sekali tidak dapat menjatuhkannya dengan cepat. Can Pek Sin dapat menyetujui apa yang Lauw Bong katakan, ia harus membantu ketenangan penduduk dari gangguan-gangguan. Kebenaran telah berada di pihaknya, ia maju siap membantu bekas satru itu menaklukkan pemuda berambut kuning.

Tiat Leng suka akan perkelahian, ia menarik tangan Can Pek Sin berkata:

“Tunggu dulu! Saksikanlah betapa anehnya kepandaian pemuda berpakaian binatang ini, termasuk aliran manakah ilmu kepandaiannya?”

Pemuda berambut kuning menjotos Lauw Bong dengan dua kepalan tangannya yang dikeluarkan dari arah kepala. Tipu ini mirip dengan seekor banteng yang menyeruduk musuhnya.

Lauw Bong menyingkirkan diri cepat, dengan ilmu tipu Hun-hoa-hut-jiu, ia berhasil menghindari jotosan banteng lawannya.

Pemuda yang penasaran atas kematian harimaunya, berputar badan, kedua kakinya bergerak cepat, bagaikan seekor binatang harimau yang menubruk mangsa, siap menjepit kepala Lauw Bong yang dijadikan arah sasaran.

Lauw Bong tidak membiarkan kepalanya dijepit, dengan mudah ia dapat menghindari serangan tadi. Tetapi, sebelum pemuda ini dapat mengeluarkan napas lega, sang lawan sudah mencakarnya pula. Gerakan ini agak mirip dengan seekor macan tutul yang lompat dari pohon lebat, gesit dan tepat.

Ternyata pemuda yang menjadi lawan Lauw Bong tadi meyakinkan ilmu kepandaiannnya dari cara-cara para binatang rimba berkelahi. Ia mempunyai otak yang cukup cerdas dan kekuatan yang melebihi manusia biasa, sayang belum mendapat didikan seorang guru yang sempurna, maka ilmunya hanya terbatas sampai di situ saja.

Lauw Bong dapat melihat kelemahan lawan tadi, dengan beberapa macam ilmu, ia berhasil memukul dan mempermainkan pemuda berambut kuning yang mengenakan pakaian kulit binatang itu. Ia tidak perlu tergesa-gesa, kemenangan sudah berada di dalam tangannya hanya menunggu waktu yang akan ditentukan.

Pemuda itu bertenaga besar, berkulit tebal. Tetapi dipukuli terus menerus, tentu ia penasaran, terdengar geraman-geraman dan teriakan-teriakannya yang keras menggema lapangan pertempuran.

“Suatu bibit bagus bagi dunia persilatan,” kata Can Pek Sin yang memuji kepada pemuda berambut kuning. “Bila mendapat didikannya seorang guru pandai, tentu tidak sukar untuk menjadikan seorang cakal bakal aliran baru di dalam rimba persilatan kita.”

“Aku dapat menyetujui pendapatmu,” Tiat Leng turut bicara.

Can Pek Sin bergerak maju, “Sudah waktunya kita memisahkan mereka,” katanya.

Maka ia telah menyelak maju di antara Lauw Bong dan pemuda tadi. Kedua tangannya dipisahkan dan dengan meminjam tenaga-tenaga mereka, Can Pek Sin berhasil memisahkan dua pemuda yang sedang bertempur itu.

“Dia bukan musuhmu,” kata Can Pek Sin kepada si pemuda berambut kuning dengan bahasa daerah Su- tho, ia telah lama berdiam di daerah Su-tho, maka sedikit banyak dapat menguasai bahasa ini. Katanya ditujukan kepada pemuda berambut kuning tadi, “Kita semua adalah orang-orang yang akan membantu negaramu.”

Pemuda berambut kuning itu membelalakkan kedua matanya.

“Membantu negaraku?” tanyanya kepada Can Pek Sin, Lauw Bong dan Tiat Leng yang maju ke hadapannya.

“Lihatlah!” Kata Can Pek Sin sambil menunjuk ke arah pasukan O-hok yang bergerak mau. “Bukankah mereka orang-orang negaramu? Kami datang bersama dengan pasukan sukarela ini untuk mengusir kaum penjajah di negara kalian.” Pemuda berambut kuning itu dibesarkan di rimba raya, panca indranya melebihi orang-orang yang hidup di kota. Dari jauh ia sudah dapat membedakan pasukan yang bergerak maju itu, memang betul orang-orang senegaranya.

“Tidak salah,” katanya yang segera memegang kedua tangannya Can Pek Sin yang digenggamnya keras- keras. “Kalian bukan musuhku.”

Setelah mana, ia meninggalkan Can Pek Sin, dirangkulnya tubuh Lauw Bong dengan mesra, ia mengucapkan kata-kata daerah Su-tho yang Lauw Bong tidak mengerti. Kemudian mengeluarkan jempol jarinya, suatu pujian untuk ilmu kepandaian Lauw Bong.

Lauw Bong tidak dapat menangkap arti kata-kata pemuda berambut kuning itu, tapi ia tahu bahwa ilmu kepandaiannya telah mendapat sorotan yang tertentu, iapun mengeluarkan ibu jarinya.

Can Pek Sin dapat mengerti bahasa Su-tho, ia segera menterjemah:

“Lauw toako, ia memuji kepandaian ilmu silatmu. Dikatakannya bahwa kau adalah lawan satu-satunya yang tidak dapat dikalahkan. Ia adalah jago yang belum pernah terkalahkan. Tentara Hwee-kie yang menjajah negaranya dan para binatang rimba yang buas itu hanya dianggap sepele, belum pernah ia dikalahkan oleh siapa pun juga. Ia sangat tunduk kepadamu yang dapat memukulnya sehingga beberapa kali.”

“Aku tidak dapat melawannya,” Lauw Bong berkata merendahkan diri. “Tenaganya kuat, banyak terdapat keanehan pada gerakan-gerakannya. Bila ia dapat menemukan cara-cara dari penggunaan gerakan- gerakan aneh itu, ia akan mendapat kemajuan cepat. Di belakang hari, tidak mungkin aku dapat bertanding melawannya.”

Cepat Can Pek Sin menterjemahkan kata-kata ini ke dalam bahasa Su-tho. Pemuda berambut kuning itu berpikir sebentar, kemudian katanya:

“Bagaimanakah harus mencari penemuan-penemuan cara itu?”

“Bila kau berkepandaian silat, kau akan mengerti cara-cara itu,” Can Pek Sin memberi keterangan.

“Aku tidak mengerti,” berkata pemuda baju kuning itu. “Di sinikah letak kepandaian silat? Ingin sekali aku dapat mempelajarinya. Kulihat ilmu kepandaianmu lebih tinggi lagi dari aku dan dia. Dengan hanya mengerahkan sedikit tenaga, kau berhasil memisahkan pertarungan tadi, di dalam hal ini, apa kau juga menggunakan kepandaian silat?”

“Betul,” berkata Can Pek Sin. “Sudikah kau bersahabat dengan kami? Di kemudian hari kita dapat tukar pikiran dan ilmu silat. Eh, siapakah nama saudara?”

Setelah menanyakan nama orang, tidak lupa juga Can Pek Sin memberitahukan namanya Lauw Bong dan Tiat Leng bertiga.

Pemuda berbaju kulit binatang itu tertawa.

Nama bangsa Han kalian sungguh tidak mudah untuk diingat,” katanya. “Kuingat kau sebagai Can, dia Lauw dan nona itu Tiat. Beruntung nama keluarga kalian ini tidak sama, bila dua di antaranya mempunyai nama keluarga yang sama, entah bagaimana aku harus selalu mengingatnya.”

Tiat Leng tertarik atas kelucuan pemuda berbaju kulit binatang itu, ia tertawa cekikikan dan menutup mulutnya.

Pemuda tersebut berkata lagi:

“Namaku Hau-khan, dibesarkan di dalam rimba ini. Apa maksud kalian berkunjung ke tempat ini?”

“Terus terang kukatakan kepadamu,” Can Pek Sin mewakili bicara. “Rangsum pasukan sukarela itu sangat minim sekali. Kami ada niatan untuk membunuh mati harimau tadi sebagai ganti makanan. Tidak tahunya bahwa harimau itu adalah binatang peliharaanmu.” “Binatang peliharaanku sangat banyak sekali,” berkata Hau-khan tertawa. “Memang harus disayangkan bahwa harimau yang biasa menjadi binatang tungganganku itu terbunuh mati di tangan kalian. Tapi apa mau dikata demi para sukarelawan kalian itu, aku mengorbankan satu binatang tunggangan. Di rumahku masih tersedia dua ekor rusa hasil buruanku kemarin, ambillah sekalian untuk menambah selera makan. Permintaanku hanya satu saja yang ingin diajukan kepada kalian, dapatkah kalian melulusinya?”

“Tentu saja. Katakanlah.”

“Akupun ingin masuk menjadi sukarelawan,” berkata Hau-khan. “Dapatkah kalian memberitahukan kepada pemimpin pasukan?

“Mereka adalah tentara jajahan yang ingin memperbudak tanah airku.” Berkata Hau-khan gagah. “Hal ini aku mengerti. Maka bila ada di antaranya yang naik ke atas gunung memasuki daerahku, belum pernah ada satu yang dapat menghindari diri dari kematiannya. Berulang kali kulihat mereka menganiaya dan berlaku jahat terhadap sesama bangsaku. Aku harus berdaya mengusir para tentara penjajahan tadi.”

“Ternyata kau termasuk seorang patriot yang gagah, sungguh suatu hal yang sangat menggirangkan.” berkata Can Pek Sin cepat. “Atas nama Pimpinan para sukarelawan, kami bersedia menerima kedatanganmu. Bilakah kau ingin ikut?”

“Aku ikut segera,” berkata Hau-khan yang lari balik ke rumahnya untuk bergegas-gegas menyatukan dirinya dengan para sukarelawan itu.

Setelah menyelesaikan urusan si pemuda berambut kuning Hau-khan, Can Pek Sin baru sempat bertanya kepada Lauw Bong.

“Eh, Lauw toako, mengapa kau dapat berada di tempat ini?” tanyanya.

“Aku tidak berhasil menemukan pamanku yang bernama Hee Kauw Ing itu.” Lauw Bong memberi jawaban singkat. “Dikabarkan mereka menuju ke daerah Su-tho maka aku menyusulnya kemari.”

“Kami berhasil menemukan kemenakannya yang bernama Hee Kauw Yong,” berkata Can Pek Sin. “Dari Hee Kauw Yong ini kudapat kabar yang mengatakan bahwa mereka akan segera datang. Tetapi, hingga saat ini kami belum berhasil menghubunginya lagi. Eh..., Lauw toako, mengapa kau jalan seorang diri? Kemanakah nona... nona Liong itu?”

“Liong Seng Hiong yang kau artikan? Dia itu telah pergi seorang diri.”

Cinta di antara Lauw Bong, Can Pek Sin dan Thie Po Leng memang sudah waktunya berakhir. Lauw Bong sengaja memperlihatkan sikap hangatnya itu kepada Liong Seng Hiong dan berjalan dengan gadis itu.

Tidak sangka bahwa Liong Seng Hiong segera tahu bahwa orang yang dikasihi oleh Lauw Bong bukanlah dirinya, maka ia tidak mau dijadikan calon merana. Pada suatu malam ia meninggalkan Lauw Bong dengan tidak meninggalkan pesan sama sekali. Tentu Lauw Bong tidak tahu ke mana gadis itu pergi.

Can Pek Sin tidak leluasa untuk bertanya meneliti hal asmara yang rumit itu, di samping mereka masih ada seorang gadis Tiat Leng yang agaknya mulai dewasa.

Lauw Bong ingin bertanya tentang Thie Po Leng, tapi mulut pemuda ini sukar dibuka, ia memandang pada Can Pek Sin dan memandang Tiat Leng di samping pemuda itu.

Tiat Leng mengerti, ia tertawa cekikikan, kemudian memberi keterangan:

“Nasib yang menimpa kalian berdua ada sama. Bila kau ditinggalkan pergi oleh Liong Seng Hiong, diapun ditinggalkan pergi oleh Thie Po Leng. Hal ini dapat kuketahui karena itu waktu aku berada di tempat itu.”

Can Pek Sin dan Tiat Leng mengalami sedikit gangguan, tapi gangguan ini telah berhasil mereka lewati.

Diceritakan O-hok yang memimpin para tentara sukarelawan bergerak maju. Tiba-tiba terlihat debu mengepul naik, di antara ulakan debu itu, tampak sebuah pasukan tentara yang siap menyerang mereka.  Can Pek Sin segera dapat melihat keadaan ini, maka cepat ia berteriak:

“Celaka, lekas kita beri bantuan kepada mereka.”

Ternyata pasukan yang mengadakan pencegatan itu adalah pasukan Hwee-kie. Jumlah mereka diperkirakan lebih dari limaratus orang, satu jumlah yang jauh lebih besar dari pada sukarelawan pimpinan O-hok.

Setelah Say Ban Hiong dan dua saudara Pan dikalahkan, mereka sangat penasaran dan melaporkan segala kejadian kepada Touw Goan, diceritakan basis tempat gerilya bersembunyi.

Touw Goan tidak sempat turun tangan, ia mengutus Pok Sui Thian, Soa Thiat San, Siu Gouw dan Say Ban Hiong memimpin rombongan tentara Su-tho untuk menumpas.

Di saat Can Pek Sin, Tiat Leng dan Lauw Bong turun gunung, kedua pasukan telah bertempur kalut.

Pok Sui Thian dan Soa Thiat San segera mengenali lelaki berwajah hitam O-hok sebagai salah satu dari empat pengawal U-bun Hong-nie. Mereka maju untuk menangkapnya.

Sebagai jago daerah Su-tho, O-hok bertenaga besar, dengan senjata gadanya membikin perlawanan, ia menyampok pergi setiap senjata yang mendekati.

Pok Sui Thian bersenjata sepasang pit, dengan senjata ini ia siap menotok jalan darah O-hok, berkali-kali ia menyerang, pula O-hok memukul pergi Pit yang menyerang itu.

Soa Thiat San tentu tidak tinggal diam, dengan bertangan kosong merangsak maju, badannya berputar seperti gansing, dan cepat sekali telah berada di belakang O-hok.

Di saat itu Pok Sui Thian menyerang ke arah kepala, O-hok mengayunkan gada menyingkirkan senjata Pok Sui Thian. Tapi Soa Thiat San telah berada di belakangnya ‘sret’ sebagian baju belakang O-hok telah rusak.

Di saat yang paling berbahaya, Tiat Leng telah melayang tiba. Tidak menunggu sampai kakinya menyentuh tanah, tangan si gadis telah mengarah punggung Soa Thiat San.

Soa Thiat San termasuk jago kelas satu. Dari geseran angin, ia mengetahui diserang orang. Tidak mau menunggu sampai serangannya berhasil, ia meninggalkan O-hok menyingkirkan diri.

O-hok terlepas dari bahaya maut yang mengancam dirinya, kini ia hanya menghadapi Pok Sui Thian seorang tidak seberat tadi.

Soa Thiat San segera mengenali Tiat Leng, matanya berapi-api panas. Ia percaya bahwa Pok Sui Thian cukup kuat untuk menandingi lelaki wajah hitam O-hok. Ditinggalkannya kawan tersebut dan siap mau membunuh Tiat Leng terlebih dulu.

Can Pek Sin turut serta, ia menempatkan dirinya disamping Tiat Leng siap menghadapi Soa Thiat San. Soa Thiat San tertawa berkakakan.

“Kalian berdua adalah bekas-bekas pecundangku, bersiap-siaplah untuk menerima kematian,” katanya dengan angkuh sekali.

Beberapa waktu Tiat Leng dan Can Pek Sin terus melakukan perjalanan bersama, tidak henti-henti mereka memperdalam ilmu kepandaiannya. Sepasang muda mudi ini tidak dapat disamakan dengan keadaan mereka di waktu lama, dua macam ilmu yang telah disatukan itu mempunyai keistimewaan yang cukup menakjubkan.

Can Pek Sin telah mengeluarkan pedang Ceng-kong-kiam, dengan pedang mana ia membuka serangan.

Tiat Leng segera bekerja sama, ia menutup semua kekosongan si pemuda. Maka Can Pek Sin mendapat banyak kebebasan untuk melakukan serangan, ia tidak perlu menguatirkan dirinya diserang. Soa Thiat San terkenal dengan Cit-poh-tui-hun-ciang atau ilmu pukulan tujuh langkah penyabut sukma, tujuh langkah dan tujuh pukulan yang sangat istimewa, semua tipu berjumlah empatpuluh sembilan jurus. Bukan sedikit jago-jago ternama jatuh di bawah Cit-poh-tui-hun-ciang maka ia bersikap sangat angkuh dan sombong terhadap dua lawan mudanya. Melihat hanya seorang dari dua lawan yang menyerang, dengan menggeser sedikit kaki ia siap menyingkir ke arah kanan, dari tempat itu ia dapat menduduki posisi bagus dan melakukan serangan balasan.

Di saat ini, Tiat Leng bergerak, memaksa Soa Thiat San mundur ke arah kedudukan lamanya. Di sinilah letak keistimewaan dua macam ilmu kepandaian mereka yang telah dijadikan satu.

Soa Thiat San kaget, tapi ia tidak takut. Ia telah berada pada kedudukan semula, dimana pedang Ceng- kong-kiam Can Pek Sin mengancam, dengan kedua tangan ia siap menangkis serangan Can Pek Sin ini.

Tiat Leng berganti posisi, berdua dengan Can Pek Sin melakukan serangan bersama. Gerakan si gadis sungguh luar biasa.

Soa Thiat San kaget, apa boleh buat, ia menyingkir untuk kesekian kalinya. Pedang Can Pek Sin tidak dapat diabaikan. Ia harus menghindari serangan sepasang muda mudi itu berbareng.

Can Pek Sin dan Tiat Leng berhasil mendesak lawannya, perlahan tapi pasti, mereka akan memaksa supaya Soa Thiat San bertekuk lutut.

Pasukan kerajaan Hwee-kie telah mengurung rapat satuan gerilya yang O-hok pimpin itu. Keadaan di pihak O-hok agak terjepit.

Siu Gouw sebagai pembantu Soa Thiat San mengetahui bahaya pemimpinnya. Ia membunuh dua orang dari sukarelawan dan menyatukan diri. Dengan satu golok besar, pembantu ini meringankan kedudukan ketuanya.

Di satu pihak Soa Thiat San dan Siu Gouw, di lain pihak Can Pek Sin dan Tiat Leng, ternyata mereka itu mempunyai kekuatan yang seimbang, maka pertempuran berjalan dengan seru.

Untuk menghadapi Pok Sui Thian, pemimpin gerilya O-hok tidak kewalahan, ia dapat mengimbangi kekuatan lawan, pertempuran merekapun berjalan seimbang.

Lauw Bong adalah bantuan yang ketiga, pemuda ini harus berhadapan langsung dengan Say Ban Hiong. Si pemuda gagal di dalam percintaan, tapi ia tidak melupakan ilmu kepandaiannya. Ia berhasil mencapai pada tingkat yang lebih tinggi dan menyamai Say Ban Hiong.

Bila tiga pertempuran di atas yang kita sebut tadi dapat berjalan seimbang dan sama kuat, celakalah para gerilyawan itu. Jumlah mereka lebih kecil dari tentara kerajaan Hwee-kie, ditambah pengalamannya bertempur kurang banyak. Dengan hanya mengandalkan ambek membebaskan diri dari kaum penjajah, mereka tidak berhasil mengusir lawannya. Semakin terjepitlah kedudukannya.

Tentara kerajaan Hwee-kie mengurung rapat mangsanya, mereka siap menelan dan membasminya.

Sebagai seorang pemimpin dari pasukan gerilya itu, O-hok mengetahui apa akibatnya bila terasing seorang diri. Seluruh pasukannya telah diancam oleh kemusnah¬an. Gada di tangan terayun keras memukul Pok Sui Thian, ia ingin menghalau musuhnya.

Pok Sui Thian tahu bahwa kemenangan telah berada di ambang mata, ia tidak mau mengadu jiwa. Serangan O-hok yang nekat itu tidak mendapat perlawanan, ia menyingkir menjahui.

Inilah yang O-hok kehendaki, ia tidak mengejar, sebaliknya masuk ke dalam gelanggang pertempuran kalut itu. Gada diayun dua kali, maka dua tentara Hwee-kie jatuh dengan kepala mereka pecah berantakan.

O-hok berusaha melepaskan diri dari Pok Sui Thian, tetapi lawan itu tidak ingin membiarkannya pergi begitu saja. Kedua senjata pit Pok Sui Thian terayun, menyusul badan O-hok. O-hok mencurahkan semua perhatiannya untuk membantu anak buah yang telah hampir termusnah, disaat ini serangan Pok Sui Thian tiba, maka pinggangnya segera berdarah, beruntung luka itu tidak membahayakannya. Dua tentara Hwee-kie lagi dipukul jatuh.

Pok Sui Thian menyerang semakin gencar, kini ia telah berada di atas angin. Kekuatiran O-hok terhadap nasib para gerilyawan itu dan luka pada pinggangnya telah mengurangi kemampuan bertempur.

Seratus jurus kemudian, keadaan Lauw Bong juga tidak menggembirakan. Pengalaman Say Ban Hiong jauh berada di atas si pemuda, beberapa kali Lauw Bong ham¬pir menderita rugi karenanya.

Kekuatan Tiat Leng yang menjadi putri kesayangan Tiat Mo Lek, seimbang dengan Siu Gouw. Dengan demikian, agak berat bila disuruh Can Pek Sin mengimbangi kekuatan Soa Thiat San dengan ilmu Cit-poh- tu-hun-ciang. Soa Thiat San yang dibantu oleh Siu Gouw mendesak Can Pek Sin dan Tiat Leng. Setelah lewat seratus jurus, keadaan ini semakin jelas terlihat.

Masih untung ilmu campuran Tiat Leng dan Can Pek Sin diistimewakan untuk menempur musuh dengan bersama, hanya kepandaian inilah yang mereka andalkan untuk menjaga diri dari kekalahan total.

Empat pemimpin tentara Hwee-kie, Soa Thiat San, Pok Sui Thian, Say Ban Hiong. dan Siu Gouw menempatkan diri mereka pada tempat yang tidak terkalahkan. Tentara mereka pun berada di dalam posisi mengurung, mereka berada di atas angin.

Para kesatria yang memperebutkan kemerdekaan mereka, Si wajah hitam O-hok, Can Pek Sin, Tiat Leng dan Lauw Bong beserta dengan orang-orangnya sulit untuk mengimbangi kekuatan lawan, keadaan mereka semakin memburuk.

Beberapa saat lagi, dapat dibayangkan bahwa para kesatria itu akan kucar kacir di bawah tekanan kekuasaan lawan mereka.

Semakin lama, keadaan semakin genting bagi para kesatria tersebut. Disaat inilah, datang bantuan untuk mereka.

Terdengar suara auman para binatang yang menggelegar. Suara ini mengalahkan suara teriakan-teriakan dari orang-orang kedua belah pihak yang sedang bertempur.

Seorang pemuda berambut kuning dengan pakaian kulit binatang merosot turun dari atas gunung, gerakannya lincah melebihi kera. Di depan pemuda berambut kuning itu tampak dua ekor macan tutul lari membuka jalan, dua harimau berada di sayap kanan dan kirinya, di belakang mereka tampak ratusan binatang meluruk datang, suatu posisi bertempur yang menggunakan siasat letter ‘‘W” terbalik.

Ini pemuda pemburu Hau-khan yang datang untuk menyatukan diri mengusir para tentara penjajah dari negerinya.

Tentara Hwee-kie terkenal karena sikap bertempur mereka yang sangat ulet, tetapi belum pernah berhadapan dengan ‘tentara binatang’, yang seperti kini mereka harus hadapi. Bobollah kurungan mereka yang sudah siap menelan pasukan gerilya O-hok.

Hau-khan membawa bungkusan batu, ia segera tiba di sana dan melemparkan beberapa batu ke arah tentara Hwee-kie, maka “Pasukan binatang hutan” tersebut menyerang ke arah tempat yang ditunjuk oleh pemuda rambut kuning itu. Terlebih-lebih dua harimau dan dua macan tutul itu, empat binatang inilah yang terganas untuk melakukan perintahnya.

Ternyata para binatang hutan itu adalah binatang-binatang Hau-khan yang telah dipelihara sedari mereka dilahirkan. Sebagai seorang ahli penakluk binatang, Hau-khan pandai menguasainya, tidak bedanya ia menjadi seorang raja rimba.

Seekor binatang buas menerkam masuk ke dalam gelanggang tentara Hwee-kie, mereka menerkam dan mencakar, melukai siapa yang berada dihadapannya. Di dalam sekejap mata, belasan tentara Hwee-kie telah menjadi korban, mereka berserakan di tanah tersobek-sobek kuku binatang buas itu.

Hau-khan berjanji untuk menyumbangkan seekor harimau yang telah terpukul mati oleh Lauw Bong, kini ia datang dengan bangkai binatang tersebut. Dengan menjinjing kaki bangkai harimau, ia mulai mengamuk memukul setiap tentara Hwee-kie yang belum melarikan diri. Berat seekor harimau lebih dari duaratus kati. Siapa yang terkena ‘senjata’ aneh ini tidak dapat bangun lagi, beberapa di antara telah menjadi gepeng.

Sambil mengamuk masuk, Hau-khan memperhatikan empat binatang buasnya. Ia memberi perintah untuk mengigit tentara Hwee-kie, tapi melarang para binatang tersebut memakan atau mengganggu pasukan gerilya.

Empat binatang buas tidak dapat membedakan lawan kawan, bila mereka ingin menerkam orang di pihak O-hok, cepat Hau-khan membunyikan pluitnya yang tersedia. Dengan demikian ia berhasil menguasai kadaan.

Semangat pasukan gerilya terbangun kembali, keadaan telah berbalik menguntungkannya, mereka mengadakan serangan total. Tentara Hwee-kie telah dibuat kucar kacir.

Seharusnya tentara Hwee-kie tidak dapat dikalahkan di dalam waktu sesingkat tadi, binatang buas memang ditakuti, tapi jumlah mereka hanya empat ekor saja. Bila tentara Hwee-kie dapat memisahkan seratus orang untuk menghadapinya, dengan mudah empat ekor binatan buas itu dapat dimatikan. Tapi mereka telah berada di dalam posisi pertempuran kalut, sangat sulit untuk menyatukan kekuatan seratus orang.

Apalagi mengingat yang harus dihadapi bukan saja para binatang itu, pasukan gerilya yang telah nekad pun tidak dapat diremehkan. Mereka hampir terbasmi, kini setelah mendapat kesempatan hidup, tentu tidak mau menghilangkan kesempatan tersebut.

Tentara Hwee-kie yang mati hanya berjumlah puluhan, dan lebih dari ratusan orang yang melarikan diri. Empat binatang buas semakin bebas bergerak, orang-orang O-hok telah menyusun kekuatan mereka lagi.

Soa Thiat San menjadi marah, capat ia memberi perintah kepada pembantunya: “Siu Gouw, lekas kau bunuh binatang buas itu.”

Di dalam anggapan Soa Thiat San, ia dapat bertahan lebih dari seratus jurus untuk menghadapi Tiat Leng dan Can Pek Sin. Dan itu waktu Siu Gouw tentu telah berhasil membunuh binatang buas yang mengacaukan pasukannya. Setelah mana, dengan bantuan Siu Gouw pula, ia akan membunuh dua lawan muda itu.

Seekor macan tutul telah binasa terbunuh oleh tentara Hwee-kie, maka kekuatan binatang buas itu telah berkurang.

Dua harimau bergerak maju, Siu Gouw menghadapi¬nya dengan golok besar di tangan, ia membacok ke arah salah satu dari harimau itu.

Sang harimau belum dapat membedakan lawan dan kawan, cepat Hau-khan melempar batu ke arahnya, maka dua harimau itu menerkam.

Tapi Siu Gouw telah bergerak cepat, golok besarnya berhasil bersarang pada salah satu harimau itu, maka isi perut sang binatang berceceran. Ia telah menjadi korban.

Tidak percuma Siu Gouw menjadi pembantu Soa Thiat San yang diandalkan. Sewaktu ia baru terjun ke dalam rimba persilatan, ia menjadi rampok beroperasi di daerah San-tung yang banyak binatang buasnya, maka ia tahu bagaimana harus menghadapi binatang-binatang buas itu.

Siu Gouw hanya dapat membunuh satu dari dua harimau yang menerkamnya, harimau yang kedua telah datang dan menerkam. Siu Gouw belum sempat menarik kembali golok besarnya, ia hanya memiringkan badan ingin menghindari diri, tapi kuku dari harimau itu telah melukai kulitnya.

Tidak jauh dari sana adalah Pok Sui Thian yang menempur pemimpin sukarelawan O-hok, orang yang disebut belakangan telah hampir kehabisan tenaga. Pok Sui Thian merangsak maju, ia siap menamatkan lawannya di dalam waktu yang singkat. Harimau itu lewat di atas kepala Siu Gouw, Hau-khan melempar batu ke arah geger Pok Sui Thian maka harimau itu meninggalkan Siu Gouw dan menerkam ke arah punggung Pok Sui Thian yang merangsak O- hok itu.

Kepandaian Pok Sui Thian jauh lebih tinggi dari pada Siu Gouw, batu kecil yang Hau-khan timpukkan ke¬padanya tidak mengakibatkan ia terluka, tapi ia tidak ingin digigit oleh harimau. Iapun tidak ingin memberi kesempatan kepada O-hok bernapas, dengan pit di tangan kanan ia tetap menyerang O-hok, dan pit yang berada di tangan kiri dilemparkan ke belakang.

Senjata ini tepat mengenai harimau yang menerkamnya, ia berhasil menghindari serangan yang datang dari belakang itu. Hanya karena itulah ia kehilangan salah satu senjatanya, ia harus menggunakan sebuah pit menyerang O-hok. Kekuatannya tentu berkurang dan O-hok dapat mengimbanginya.

Diceritakan Siu Gouw yang telah membunuh seekor harimau, langsung ia harus berhadapan muka dengan Hau-khan.

“Kau telah membunuh binatang peliharaanku, maka aku akan menuntut ganti kerugian kepadamu,” bentak Hau-khan dengan marah. Bangkai harimau diayun-ayunkan siap menerjang.

Siu Gouw tidak dapat berbahasa Su-tho, tapi sedikit banyak ia paham apa yang dikatakan oleh Hau-khan tadi.

“Ha, ha...” Siu Gouw tertawa. “Kau ingin menakut-nakuti diriku dengan seekor bangkai harimau? Saksikanlah ilmu kepandaian yang seperti ini.”

Golok besar Siu Gouw membacok, maka bangkai harimau yang berada di tangan si pemuda berambut kuning Hau-khan terbelah menjadi dua potong.

Hau-khan marah besar, dilemparkannya mayat binatang tersebut dan menubruk maju, baginya sudah biasa melawan musuh dengan tangan kosong. Hau-khan belum kenal dengan apa yang disebut takut.

Siu Gouw hanya berhasil membelah bangkai harimau di tangan Hau-khan, tetapi ia tidak berhasil menjatuhkan binatang tersebut dari tangan orang, sebaliknya dirasakan tangannya agak kesemutan. Dari sini ia dapat mengetahui betapa besarnya tenaga pemuda berbaju kulit binatang itu.

Melihat sang lawan menubruk, Siu Gouw tidak berani mengadu kekuatan lagi. Ia menyingkir ke samping, dan dari tempat inilah membacok tangan si pemuda berambut kuning itu.

Si rambut kuning Hau-khan berpendengaran tajam, bermata jeli. Tidak mau ia membiarkan dirinya diserang seperti tadi, kedua kaki ditendangkan bergantian, maka salah satu tendangan dari kaki Hau-khan itu berhasil menjatuhkan golok besar lawannya.

Siu Gouw dipaksa meneruskan pertempuran dengan tangan kosong, maka sulitlah keadaan pembantu Soa Thiat San ini. Ia tidak mungkin dapat menyaingi kelincahan Hau-khan yang dibesarkan di hutan rimba. Sebentar saja Siu Gouw telah keteter.

Soa Thiat San masih harus berhadapan dengan Tiat Leng dan Can Pek Sin. Setelah ditinggalkan oleh pembantunya, ia tidak ada kesempatan untuk melontarkan serangan pembalasan, ia hanya dapat bertahan menjaga diri.

Bila Soa Thiat San masih dapat mempertahankan dirinya beberapa saat lagi, sang pembantu telah kehilangan golok besarnya itu tidak berdaya sama sekali. Siu Gouw hanya mengandalkan senjata tersebut, kini barang yang dijadikan barang andalan telah tidak ada. Dengan mudah Hau-khan menjenggutnya yang segera digulingkan ke tanah dengan dihujani oleh bogem mentah.

Soa Thiat San dapat melihat kejadian itu. “Biar ku tolong Siu Gouw dari bahaya terlebih dulu, dua lawanku ini memang agak sukar dihadapi.” Pikirnya di dalam hati.

Soa Thiat San dengan tipu Cit-pou-tui-hun-ciang mendesak lawan, ia menggeser posisi kedudukan. Setelah berhasil meloloskan diri dari kepungan Can Pek Sin dan Tiat Leng, ia lompat untuk memberikan pertolongannya kepada sang pembantu. Soa Thiat San hampir berhasil menolong Siu Gouw. Di saat ini menubruk macan tutul peliharaan si pemuda Hau-khan, menerkam orang yang dianggap mau mencelakai majikannya.

“Binatang kurang ajar berani menghina diriku?” geram Soa Thiat San yang memukul ke arah macan tutul itu. Di sini ia berhasil menggunakan ilmu Cit-pou-tui-hun-ciang, dengan tepat pukulan tadi mampir dibatok kepala macan tutul yang ingin menerkamnya, maka pecah berceceranlah otak binatang buas itu. Sampai di saat ini tamatlah riwayat hidupnya empat binatang buas yang dibawa Hau-khan.

Disaat yang sama, pemuda berambut kuning Hau-khan telah berhasil memegang kedua kaki lawannya, maka ditariknya dengan keras. Terdengar suara jeritan Siu Gouw yang menyayatkan hati, badannya telah dibeset menjadi dua bagian.

Soa Thiat San tidak berhasil menolong pembantunya dari bahaya maut!

“Aku bersumpah untuk menuntut balas atas kematiannya,” berkata Soa Thiat San yang menggereng keras ia memukul ke arah si pemuda berambut kuning Hau-khan.

Hau-khan telah bangun berdiri, dilemparkannya mayat Siu Gouw dan membentangkan kedua telapak tangannya memapaki serangan Soa Thiat San yang diarahkan pada dirinya itu.

“Buum!” Hau-khan terpukul mundur sampai tujuh langkah.

“Mungkinkah semua orang bangsa Han berkepandaian tinggi?” pikir Hau-khan yang tidak habis mengerti. “Hari ini aku bertemu dengan tiga orang Han, tidak ada satu yang dapat kulawan. Can dan Lauw dua orang termasuk golongan baik. Tapi manusia ini termasuk golongan jahat, biar aku tidak dapat melawannya, tetap akan kuusahakan juga.”

Hau-khan hanya kaget dan tidak mengerti atas kepandaian lawannya yang dihadapi. Soa Thiat San lebih kaget lagi karena pukulannya tidak membawa hasil seperti apa yang dikira. Menurut apa yang dapat dilihat, pemuda berambut kuning berpakaian baju kulit binatang itu tidak berkepandaian, tapi ia dapat menerima pukulannya dengan tidak menderita luka.

Di saat itu Can Pek Sin dan Tiat Leng telah maju dengan kedua pedang mereka mengurung Soa Thiat San yang ingin menamatkan riwayat hidupnya Hau-khan yang telah membunuh Siu Gouw.

Soa Thiat San dipaksa harus menghadapi dua musuh lamanya, kini ia tidak mempunyai kesempatan melukai orang lagi.

Di saat ini, sebagian besar tentara Hwee-kie telah meninggalkan medan pertempuran. Hanya sebagian kecil dari mereka yang tidak dapat melarikan diripun telah menderita luka.

Soa Thiat San tahu bahaya, ia melirik sebentar dan suatu ketika, di saat Tiat Leng lengah, diapun cepat melarikan diri menyusul para tentara Hwee-kie itu.

“Eh, kau jangan lari!” berteriak Hau-khan yang penasaran karena dipukul oleh Soa Thiat San tadi. Can Pek Sin menarik tangan si pemuda berbaju kulit binatang itu.

“Mari kita berikan pertolongan kepada para saudara yang masih memerlukan bantuan,” demikian ajakan si pemuda. Diajaknya Tiat Leng dan Hau-khan menuju ke arah Lauw Bong yang mulai tidak ungkulan berhadapan dengan Say Ban Hiong.

Say Ban Hiong sedang enak mendesak Lauw Bong, dilihat Can Pek Sin menuju ke arahnya, diketahui juga para tentara Hwee-kie telah melarikan diri, Soa Thiat San ngiprit kembali. Mungkinkah ia dapat bertahan seorang diri? Untuk menghindari diri dari keadaan yang lebih mengerikan, Say Ban Hiong segera mengambil langkah seribu meninggalkan lawannya.

Hau-khan kehilangan lawan bertempur yang agak tangguh, apa boleh buat ia melampiaskan semua kemarahan kepada para tentara Hwee-kie yang masih ada. Maka dihampirinya mereka itu dengan pandangan mata penuh kemarahan. Para tentara Hwee-kie yang berkepala batu dan pantang mundur itu turut menyaksikan bagaimana pemuda berpakaian kulit binatang itu membeset Siu Gouw itu menjadi dua bagian, diketahui juga bahwa manusia inilah yang menjadi raja para binatang hutan itu. Takut mereka melebihi berhadapan dengan setan, sebagian besar melarikan diri.

“Hari ini aku merasa puas,” berkata Hau-khan tertawa sangat puas atas jalannya pertempuran tadi. Tapi tidak lama, dengan air mata bercucuran ia berkata:

“Sayang para binatang peliharaanku mati semua.”

“Tapi kau telah berhasil mengucar-ngacirkan mereka bukan?” Can Pek Sin mencoba memberi hiburan. ”Dengan lain kata, kau telah berhasil menuntut balas atas kematian para binatang peliharaanmu itu.”

“Bukankah kau ada niatan untuk menyatukan dirimu sebagai gerilyawan?” Tiat Leng turut bicara. “Bila membawa-bawa harimau belang dan macan tutul itu akan menambah sulit di perjalanan. Para kuda tunggangan kita akan tidak dapat hidup tenang karena adanya binatang-binatang itu, bukan? Legakanlah hatimu. Kuatkanlah imanmu untuk mengusir para tentara penjajah itu.”

Hau-khan sambil menyusut air matanya berkata:

“Betul. Belum lama kudengar bahwa para sukarelawan itu sangat membutuhkan rangsum. Kini makanlah daging binatang-binatangku ini.”

Pemimpin sukarelawan daerah ini O-hok berkata:

“Terima kasih atas kebaikan hatimu. Tapi rangsum yang ditinggalkan oleh tentara Hwee-kie tadi cukup menjamin penghidupan kita. Para binatang peliharanmu itu telah mencatat jasa mereka atas kemenangan pertempuran. Kita tidak tega untuk memakan dagingnya. Biar kita usahakan untuk mengadakan acara penguburan bagi mereka.”

O-hok berperangai halus, berpengalaman luas, maka tahu apa yang harus diperbuat olehnya. Penilaiannya terhadap Hau-khan ialah tenaga si pemuda berambut kuning itu sungguh dibutuhkan, apalagi mengingat betapa pandainya ia menjinakkan binatang, di dalam hal ini tidak mudah untuk mencari seorang ahli yang sepertinya.

Diketahui daerah Su-tho mempunyai pegunungan dan padang rumput yang luas. Di kemudian hari, bila dapat memelihara binatang-binatang itu, maka hasil peternakan mereka akan berkembang biak secara cepat, berarti ini suatu income bagi negara mereka.

O-hok mempunyai pandangan yang jauh, kini negaranya masih terjajah tapi ia tahu apa yang akan dilakukannya di kemudian hari. Ia telah dapat membayangkan kemenangan dan membayangkan pembangunan negaranya.

Setelah mengadakan penguburan, secara resmi lalu Hau-khan diterima menjadi salah seorang gerilyawan. Mereka mulai meneruskan perjalanan menuju ke gunung Pak-bong-san.

Setelah mengalami pertempuran sengit itu, jumlah pasukan gerilya hanya tidak lebih dari duaratus orang. Pakaian mereka compang camping, tapi dengan semangat bergelora meneruskan perjalanan.

Dua hari kemudian...

Pasukan ini telah tiba di bawah gunung Pak-bong-san, tidak terlihat ada orang yang membikin penyambutan, maka tahulah ada sesuatu yang telah terjadi.

Pak-bong-san adalah markas besar pasukan gerilya, O-hok dan Can Pek Sin sekalian tiba di sana dengan menyaksikan suatu pemandangan yang menyedihkan itu. Terlihat markas besar mereka telah menjadi rata dengan bumi, tumpukan puing, runtuhan bangunan serta suasana yang sunyi sepi membuat suatu pemandangan yang memilukan hati.

O-hok meremas-remas kepalan tangannya. “Aku bersumpah untuk menuntut balas dendam ini,” kata pemimpin gerilya itu. “Betul!”

Tiba-tiba dari tumpukan puing muncul satu kepala. “Kita akan menuntut balas dendam ini.”

Setelah itu, berturut-turut keluar pula orang-orang yang menyembunyikan diri dengan baik. Jumlah mereka kurang lebih empatpuluh orang, dengan badan penuh luka dan pakaian hitam. Mereka menyembunyikan diri di sekitar tempat itu.

O-hok memandang ke arah orang yang membuka suara, segera mengenali kawan baiknya yang bernama Bok-lie. Derajat Bok-lie setingkat dengan O-hok, mereka itu adalah pengawal-pengawal pribadi Ratu Su- tho U-bun Hong-nie.

“Dimana Ratu kita berada?” Cepat O-hok bertanya kepada kepada Bok-lie. Mata Bok-lie basah dengan air mata, ia memberikan keterangan singkat, “Telah menjadi orang tawanan mereka.”

Can Pek Sin mengeluh di dalam hati. “Tidak kusangka bantuan datang terlambat. Bagaimana aku harus memberikan pertanggungan jawabku kepada paman Cho Peng Goan?” pikir si pemuda itu.

Ternyata Cho Peng Goan adalah salah satu tokoh persilatan bangsa Han. Can Pek Sin dan Thie Po Leng sekalian kenal baik dengannya. Setelah Cho Peng Goan menikah dengan Ratu Su-tho U-bun Hong-nie, sebagai seorang pangeran, ia kurang mendapat kebebasan.

Apalagi mengingat suku bangsa mereka berlainan. Atas ojokan-ojokan saudara misan U-bun Hong-nie yang ingin mendapat kekuasaan, beberapa menteri negara Su-tho memandang rendah Cho Peng Goan. Maka Cho Peng Goan meninggalkan negara Su-tho balik merantau. Ia melepaskan istri dan kedudukannya, ia tidak ingin melihat kedudukan sang istri tergoyah karenanya.

Langkah Cho Peng Goan ini kurang tepat, U-bun Hong-nie menyusul suaminya. Maka kekuasaan negara jatuh kapada saudara misan sang Ratu, seorang manusia yang berani menjual negaranya. Setelah itu, masuklah tentara asing. Negara Su-tho telah dijadikan daerah koloni negara Hwee-kie. Rakyat mereka hidup sengsara dan menderita.

O-hok telah dapat menguasai ketenangannya, segera ia bertanya:

“Bagaimanakah jalannya pertempuran?”

Harus diingat bahwa ilmu kepandaian U-bun Hong-nie cukup tinggi, di dalam negara mereka belum pernah menemui tandingan. Dengan mendapat bantuan tiga Pengawal pribadinya yang sebangsa Bok-lie itu, seharus¬nya tidak akan mengalami kekalahan, maka O-hok mengajukan pertanyaan tentang jalan pertempuran.

“Tentara yang menyerang markas besar kita langsung berada di bawah pimpinannya panglima mereka yang bernama Tho-pa Cek,” Bok-lie memberi keterangan. “Di antara anak buah yang gagah ialah Thay Lok, Touw Goan, seorang manusia kerdil dan satu gadis berkepandaian tinggi. Kepandaian manusia kerdil itu seperti berada di atas Thay Lok dan Touw Goan, manusia kerdil inilah yang menerobos masuk ke dalam markas besar kita. Untuk menjaga kesucian dirinya, Ratu kita ada niatan untuk membunuh diri, tapi gadis berkepandaian tinggi itu melemparkan sebuah tali lasso, maka tertawanlah ratu olehnya.”

Can Pek Sin turut mendengar cerita Bok-lie tadi ia agak terkejut. Telah diketahui betapa tinggi ilmu kepandaian Thay Lok dan Touw Goan, pantas saja markas besar dapat dipecahkan. Dan yang diartikan dengan manusia kerdil itu sepertinya anak Soat-san Lokoay yang bernama Su-khong Beng. Mendapat bantuan Su-khong Beng, tentu saja Thay Lok dan Touw Goan banyak keringanan. Hanya gadis berkepandaian tinggi yang menggunakan tali lasso itu yang belum dikenal olehnya.

O-hok berusaha menahan getaran jiwanya, ia terus menahan rasa sedih sedapat mungkin.

“Ratu telah mengembangkan panji kebenaran,” katanya. “Seharusnya musuh tidak berani membunuhnya.” “Aku percaya Ratu kita tidak akan tunduk kepada kekerasan dan tekanan yang dijatuhkan kepadanya.” Bok-lie turut mengeluarkan pendapat. “Karena itulah musuh semakin takut kepada kita.”

“Musuh takut kepada kita, mereka lebih takut lagi bila Ratu bunuh diri. Mereka akan berusaha agar Ratu kita tidak melakukan perbuatan nekad itu. Kematian Ratu akan membangkitkan amarah seluruh negeri dan mereka tidak akan sanggup membendung arus kemarahan rakyat di kemudian hari.”

“Dengan ini kita berarti mempunyai kesempatan baik untuk menolong ratu, bukan?”

“Betul. Jangan mengimpikan dapat mengajak musuh berunding di atas meja. Kita harus berdiri di atas kaki sendiri, bebas melakukan apa yang kita kehendaki. Kita segera dapat menuju ke kota raja, memukul benteng pertahanan musuh, menolong Ratu dari kamar tahanan mereka.”

“Dapatkah tenaga kita melakukan pekerjaan ini?” Bok-lie meragukan tenaganya. “Pasukan kita belum lama menderita kerugian besar, kekurangan tenaga dan semangat bartempur.”

“Di mana Kat-sem dan Ha-khek?” bertanya O-hok.

Kat-sem, Ha-khek, Bok-lie dan O-hok adalah empat pengawal pribadi Ratu negara Su-tho U-bun Hong-nie.

“Mereka telah gugur sebagai pahlawan,” berkata Bok-lie dengan mengucurkan air mata memberi keterangan.

O-hok turut bersedih atas kematian dua kawan seperjuangan tersebut.

“Kita telah menyebar utusan-utusan untuk mengumpulkan kekuatan yang ada,” berkata Bok-lie lagi. “Tunggulah kedatangan mereka. Hanya kudapat kabar yang tidak menggembirakan ialah kekuatan mereka itupun tidak seberapa, bukan sedikit gangguan-gangguan dan kesukaran-kesukaran yang harus dihadapinya.”

Apa yang Bok-lie katakan sudah menjadi kenyataan. Dimisalkan dengan pasukan O-hok yang hanya dapat mengumpulkan tigaratus gerilyawan. Setelah mengalami pertempuran dengan Soa Thiat San, Siu Gouw, Pok Sui Thian, Say Ban Hiong sekalian, jumlah tersebut hanya tinggal seratus delapanpuluh orang.

Tenaga mereka yang memang belum cukup itu semakin berkurang.

“Di dalam hal ini aku sanggup memberi bantuan.” Tiba-tiba pemuda berambut kuning Hau-khan turut bicara.

O-hok merasa heran. “Dari mana kau akan mengumpulkan orang?” ia bertanya.

“Aku sering berburu di hutan rimba,” berkata Hau-khan. “aku tahu di mana para pemburu itu mengasingkan diri. Mereka tahu bahwa tentara Hwee-kie telah memasuki negara kita, tapi mereka tidak tahu bahwa tentara Hwee-kie itu bermaksud jahat.

“Mereka hidup menyendiri dan menyepi, mereka tidak tahu apa yang dilakukan oleh tentara penjajah Hwee-kie itu. Mereka hanya dicekoki oleh obrolan-obrolan yang menyatakan bahwa tentara Hwee-kie datang atas undangan orang-orangnya raja tua almarhum, dikatakan tentara Hwee-kie datang dengan bermacam-macam bantuan, mereka datang untuk membangun negara kita dengan tidak ada maksud jahat.

“Kebohongan-kebohongan ini akan kuceritakan kepada mereka dan bila mereka tahu apa maksud kedatangan tentara Hwee-kie di bawah panji mulut ‘Membantu dan membangun negara’ itu, bila mereka tahu bagaimana kejamnya tentara Hwee-kie menindas rakyat dan bangsa kita, kutanggung mereka akan menjadi marah dan bersedia diajak bekerja sama untuk mengusirnya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar