Jiwa Ksatria Jilid 10

 
Sin Cie Kow segera berkata:

“Eh, kuda itu ada empat atau lima ekor banyaknya, dari gerak kaki dapat diduga semua merupakan kuda- kuda pilihan, apakah orang suku Hwee tadi malam itu yang balik lagi bersama kawannya?”

Sin Cie Kow sebetulnya adalah seorang yang sombong, tetapi setelah terjadinya pertempuran tadi malam yang ia dapat menang secara mujur, selanjutnya ia juga merasa kurang tenang. Orang suku Hwee yang dijumpai Tiat Leng di dalam perjalanan berjumlah empat orang. Maka Sin Cie Kow khawatir kalau tiga kawannya juga mempunyai kepandaian serupa, maka kedatangan mereka itu, bukan hanya ia seorang yang dapat menghadapinya.

Beberapa ekor kuda itu larinya cepat sekali, semula hanya terdengar suaranya samar-samar saja, tetapi kini nampaknya sudah dekat. Tahu-tahu sudah berada di depan pintu rumah.

Sin Cie Kow meskipun merasa kurang tenang tetapi juga tidak sudi mengunjukan kelemahannya, ia berkata:

“Baik, mereka tokh sudah datang, maka kita harus menyambut kedatangan mereka.”

Ia coba memperhitungkan kekuatan pihaknya sendiri, jumlah orang kedua pihak hampir sama banyaknya. Sudah tentu, apabila di pihak lawan merupakan orang-orang kuat semuanya, di pihaknya sendiri pasti akan mengalami kekalahan. Tetapi jika kekuatan mereka tidak semuanya seimbang dengan kepandaian orang berkerudung itu, siapa yang lebih unggul masih susah diduga.

Tiat Leng dan lain-lain mengikuti Sin Cie Kow ke luar, tiba di luar pintu, lalu berjumpa dengan orang itu. Sewaktu Tiat Leng mengangkat muka ia berseru kaget, karena sebagai pemimpin yang jalan di muka dari rombongan orang orang itu ternyata adalah seorang perempuan suku Hwee yang amat cantik parasnya.

Selagi Sin Cie Kow masih memikir-mikir seolah-olah pernah kenal wanita itu, Can Pek Sin sudah mendahului menegur:

“Ini bukan bibi U-bun?” Perempuan suku Hwee itu berseru: “Aha!” lalu melompat turun dari kudanya dan berkata:

“Oh, bukankah kau si Siao-sin dari keluarga Can? Sudah begini tinggi! Dan ini tentunya Sin lo-cianpwee? Sudah beberapa tahun lamanya kita tidak bertemu!”

Kiranya perempuan suku Hwee itu adalah U-bun Hong-nie dari negara Su-tho-kok. Dahulu karena ia salah paham terhadap Cho Peng Goan, yang dikiranya musuhnya yang membunuh mati ayahnya, pernah datang ke daerah Tiong-goan untuk mencari. Satu kali di gunung Hok-gu-san ia terkena racun dari bunga, untung telah ditolong oleh Can Pek Sin dan Thie Po Leng, hingga pernah menjadi tetamunya keluarga Thie Sui. Itulah sebabnya ia paling kenal Can Pek Sin.

Yang lainnya seperti Sin Cie Kow dan Tiat Leng juga sudah pernah bertemu muka satu kali, hanya suami isteri Li Hong Chun yang merupakan kenalan baru.

Sin Cie Kow merasa heran, dalam hatinya berpikir: Kabarnya U-bun Hong-nie ini sudah menjadi ratu negara Su-tho-kok, keadaannya dan kedudukannya sudah berlainan dengan dahulu. Mengapa ia tinggalkan kedudukannya dan datang lagi ke daerah Tiong-goan?

Sementara itu, Can Pek Sin telah berkata:

“Apakah kau masih ingat adik Tiat Leng? Ayah adik Leng, Tiat Mo Lek dengan Toan Khek Gee adalah saudara sepupu.”

Kiranya Toan Khek Gee dengan Cho Peng Goan adalah kedua sahabat karib bagaikan saudara sekandung, juga merupakan seorang rimba persilatan yang dikenal baik oleh U-bun Hong-nie, maka Can Pek Sin menyebutkan namanya untuk mengingatkannya.

U-bun Hong-nie segera menyekal tangan Tiat Leng seraya berkata sambil tertawa:

“Semua sudah berubah besar dan cantik pula. Kalau kau tidak mengatakan, aku masih belum berani mengenali.”

“Bibi U-bun, angin apa yang membawa kau kemari? Kabarnya kau sudah menjadi ratu, apakah itu benar?” berkata pula Can Pek Sin.

“Oh, kalian orang daerah Tiong-goan apakah juga mendengar kabar tentang diriku? Tetapi kedatanganku kali ini bukan berkedudukan sebagai ratu, jangan kalian coba propagandakan.”

Ratu dari suku Hwee ini nampaknya sangat tergesa-gesa, setelah berdiam sejenak, lalu berkata pula:

“Aku bisa berjumpa dengan kalian, benar-benar sangat kebetulan. Saudara Can, aku justru hendak minta sedikit keterangan darimu. Apakah kau dengar kabar tentang paman Cho mu?”

“Apakah yang kau maksudkan paman Cho Peng Goan? Memangnya kenapa? Apakah dia tidak ada di negara Su-tho-kok? Aku tadi bahkan hendak menanyakan kau.”

Tiat Leng yang sementara itu diam saja lalu bertanya:

“U-bun... em, em, aku tidak tahu harus panggil kau bibi U-bun ataukah bibi Cho?” Gadis yang banyak akalnya ini tidak berani menanya secara langsung, sebaliknya sengaja memutar untuk mencari tahu U-bun Hong-nie sudah menikah dengan Cho Peng Goan.

Muka U-bun Hong-nie menjadi merah, ia berkata:

“Terserah bagimu bagaimana kau suka panggil. Aku, hari ini justru hendak mencari dia supaya pulang.”

Keterangan itu berarti sudah memberitahukan kepada mereka, bahwa ia sudah menikah dengan Cho Peng Goan. Hal itu nampaknya mengherankan semua orang. Dalam hati Tiat Leng segera berpikir: Kalau begitu apakah ia bercekcok dengan suaminya? Semua orang meski merasa heran, tetapi karena hubungannya dengan ia belum begitu dalam, tidak pantas menanyakan urusan pribadi rumah tangganya. Apalagi nampaknya ia sangat tergesa-gesa rasanya tidak ingin berdiam lebih lama di situ, sebab empat pengawalnya semua masih belum turun dari atas kuda masing-masing.

“Cerita tentang paman Cho kita sama sekali tidak tahu, hanya paman Toan yang kita pernah lihat pada waktu terakhir ini,” berkata Tiat Leng.

“O ya, aku justru ingin bertanya kepadamu dimana Toan Khek Gee berada?” berkata U-bun Hong-nie.

“Ia dengan bibi Su pada dua bulan berselang sudah pergi ke kota Yang-ciu. Sekarang mungkin masih ada di sana. Kau boleh mencari ke sana dan minta keterangan kepada Ciu Thong, Pangcu dari Hay-ho-pang.”

U-bun Hong-nie mengucapkan terima kasih kepada Tiat Leng, selagi hendak naik kuda, tiba-tiba seperti dapat melihat sesuatu, wajahnya menunjukkan sikap heran, ia urungkan maksudnya.

Tiat Leng dapat melihat bahwa nona itu sedang memperhatikan pohon Kui, pikirannya tergerak apakah nona itu dapat tahu bahwa daun pohon yang rontok itu akibat dari serangan ilmu Hu-kut-ciang? Negara Su-tho-kok adalah salah satu Negara kecil di Daerah barat. Ia adalah ratu dari Negara itu tentunya banyak mengetahui orang-orang kuat berbagai Negara kecil Daerah barat, mungkin juga mengetahui asal usul empat orang suku Hwee itu.

Empat pengawal U-bun Hong-nie saat itu juga pada kasak kusuk dengan bahasa mereka. Meskipun Tiat Leng tak mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka, tetapi melihat gerak gerik dan sikap mereka yang menuding-nuding di pohon besar itu, ada juga yang menuding dua singa-singaan batu itu, terang mereka sedang membicarakan soal itu.

Belum lenyap kecurigaan Tiat Leng, benar saja segera terdengar suaranya U-bun Hong-nie yang bertanya: “Ini perbuatan siapa?”

“Kemarin di tengah jalan aku berpapasan dengan empat orang suku Hwee, perbuatan ini dilakukan oleh satu di antara mereka yang hidungnya bengkung bagaikan burung Garuda.”

“Ha, ha, ha! Kiranya adalah mereka, benar melalui jalan ini.” “Mereka itu siapa?”

“Orang yang kau katakan tadi merupakan salah seorang kuat dari negara Hwee-khie namanya Thay Lok. Dan tiga kawannya itu juga orang-orang yang sudah terkenal di daerah Barat. Satu diantaranya yang beribu perempuan suku Han namanya Khu Pit Thay, kepandaiannya hampir sama tingginya dengan Thay Lok. Aku justru sedang mengejar mereka. Apa sebabnya Thay Lok itu membuat onar di sini?”

Tiat Leng dengan sigap menuturkan apa yang telah terjadi itu, kemudian ia bertanya: “Mengapa kau hendak mengejar mereka?”

“Sebab empat orang itu semua hendak berlaku jahat terhadap paman Cho mu. Sekarang mereka mundur di daerah Tiong-goan, tentunya sudah tahu jejak pamanmu maka datang untuk mencari. Karena mereka mengejar pamanmu, maka aku harus mengejar jejak mereka! Maaf, soal ini aku tidak sempat untuk menjelaskan. Nanti setelah aku dapat menemukan paman Cho mu, kita akan pergi lagi ke gunung Hok-gu- san untuk mengunjungi ayahmu!”

“Ayah sekarang ada di gunung Kim-kee-nia, paman Cho tahu tempat itu. Semoga kau lekas dapat menemukannya.”

U-bun Hong-nie setelah mengucapkan selamat tinggal kepada mereka, lalu pergi lagi bersama empat pengawalnya.

Sin Cie Kow lalu berkata sambil tertawa: “Ada U-bun Hong-nie yang menghadapi mereka, ini berarti suatu bantuan dari kita secara tidak langsung. Li Chung-cu, kau juga tidak perlu khawatir akan diganggu oleh iblis itu lagi!”

“Tetapi orang-orangnya U-bun Hong-nie belum tentu dapat mengalahkan mereka!’ berkata Tiat Leng.

“Ilmu pedang U-bun Hong-nie merupakan ilmu pedang tersendiri. Khong-khong Jie, pernah menyaksikan kepandaiannya, kabarnya berimbang dengan kepandaian suaminya Cho Peng Goan. Dan empat pengawalnya itu, menurut penglihatanku semuanya merupakan bantuan tenaga kuat, melakukan perjalanan demikian jauh, tidak tampak tanda-tanda letih. Di sini dapat dibuktikan bahwa mereka mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sempurna. Mereka sudah berani mengejar empat orang suku Hwee itu, kepandaian mereka sudah tentu tidak berbeda terlalu jauh.”

“Kalau begitu aku tidak mengkhawatirkan mereka lagi!”

“Kau adalah muridku, tetapi adatmu lebih mirip dengan sukongmu, suka membela ketidak adilan, suka mengurusi urusan orang lain. Kau merasa khawatir akan diri orang lain, tetapi aku sebaliknya takut kalian akan terjadi apa-apa di tengah jalan, sebaiknya kau berlaku hati-hati sendiri.”

“U-bun Hong-nie meski sudah menjadi seorang ratu dari suatu Negara kecil, tetapi ia adalah isteri paman Cho Peng Goan, bagi kita terhitung bukan orang luar lagi. Suhu jangan khawatir, perjalanan dari gunung Hok-gu-san ke gunung Kim-kee-nia, hanya tinggal separuhnya saja. Dalam perjalanan yang sudah-sudah kita tidak menjumpai kejadian apa-apa, dan perjalanan selanjutnya sudah mendekati ke gunung Kim-kee- nia, tentunya tidak akan terjadi apa-apa lagi. Lagi pula kepandaian suhu, aku juga sudah berhasil mempelajari beberapa bagian, juga tidak membiarkan orang lain begitu muda menghina aku.”

“Ucapan ini berarti menyombongkan dirimu sendiri ataukah menyombongkan suhumu? Baiknya di sini semua adalah orang-orang sendiri, jikalau tidak pasti akan membuat tertawaan. Semoga tidak akan terjadi apa-apa, tetapi kau jangan terlalu sombong.”

Suhu itu meskipun memberi nasihat muridnya namun dalam hati diam-diam merasa bangga, sebab adat muridnya itu sama dengan adatnya sendiri di masa mudanya. Kesombongan meskipun merupakan adat yang tidak baik, tetapi semangatnya yang tidak takut kepada musuh kuat patutlah dibanggakan.

Mereka masing-masing lalu berpencaran, Sin Cie Kow pergi ke kota Gui-pok menjumpai suaminya, Liong Seng Hiang pergi ke kota Yang-ciu mencari adiknya. Li Hong Chun suami isteri pergi ke kota Yu-ciu untuk menumpang di rumah Hee Kauw Ing, sedangkan Tiat Leng dan Can Pek Sin melanjutkan perjalanannya ke gunung Kim-kee-nia untuk menemui ayahnya. Dua anak muda ini seolah-olah menyelesaikan urusannya kepada Li Hong Chun, selanjutnya boleh langsung menuju ke tempat tujuannya tanpa memikirkan soal lainnya.

<>

Kuda mereka merupakan kuda-kuda pilihan, dalam waktu tiga hari, sudah melakukan perjalanan seribu pal lebih, benar saja sepanjang jalan tidak terjadi apa-apa.

Sementara itu Tiat Leng lalu berkata:

“Dengan jalan seperti ini, paling lama hanya memerlukan tempo empat hari lagi, kita akan sampai ke gunung Kim-kee-nia. Malam ini sebaiknya kita mencari rumah penginapan untuk beristirahat satu malam. Dua malam yang sudah karena kita harus menginap di dalam hutan aku tidak bisa tidur nyenyak.”

Can Pek Sin terhadapnya sangat menyinta bagaikan adik sendiri, sudah tentu ia setuju, maka sebelum matahari terbenam, mereka mencari salah satu rumah penginapan di suatu kota kecil.

Seperti biasa, mereka bersebutan kakak dan adik, di rumah penginapan mereka minta disediakan dua kamar.

Setelah makan malam dan mengobrol sebentar, hari sudah gelap, Can Pek Sin lalu berkata: “Berhari-hari kau letih, tidak dapat tidur nyenyak, malam ini kau lekas beristirahat.”

Selagi Tiat Leng hendak masuk ke kamarnya, di luar tiba-tiba terdengar suara orang ribut mulut. Suara orang itu kedengarannya agak aneh, meskipun setiap perkataannya dapat didengar dengan jelas tetapi logatnya sangat kaku, logat daerah Utara kedengarannya bercampur aduk menjadi satu.

Tiba-tiba terdengar suara orang menggeprak meja kemudian disusul oleh suara makian: “Aku mempunyai uang, kau berani menolak aku menginap di rumah penginapanmu!” Terdengar suara jawaban dari pengurus rumah penginapan:

“Maaf tuan jangan gusar. Sebagai orang dagang siapa yang tidak ingin uang? Jikalau di sini masih ada kamar yang kosong, bagaimana aku harus menolak? Dengan sebetulnya kamar memang sudah terisi penuh.”

Terdengar kembali jawaban orang itu:

“Aku tak perduli kamarmu sudah penuh atau belum, di kota ini hanya ada rumah penginapanmu ini. Aku sudah masuk kemari, itu berarti harus dapatkan kamar untukku. Jikalau tidak, hem, hem, kalau aku nanti marah, aku akan usir semua tetamumu!”

Can Pek Sin yang mendengar pembicaraan itu, timbullah rasa marah terhadap ketidak adilan itu, ia berkata:

“Tamu ini agaknya tak tahu aturan, aku justru ingin tunggu ia bagaimana caranya mengusir aku.” Tiat Leng tiba-tiba berkata:

“Can toako, kau dengar logat bicaranya orang itu, rupanya orang suku Hwee?”

Selagi Can Pek Sin hendak keluar, pengurus rumah penginapan, sudah datang menghampiri.

Can Pek Sin mengira tetamu itu akan mencari onar, tetapi nyatalah adalah si pengurus rumah penginapan yang ingin berunding dengannya.

Pada saat itu ruangan terang benderang, sehingga adanya tetamu itu juga dapat dilihat.

Tiat Leng yang menyaksikan orang itu, semula ia terkejut, dikiranya tamu itu bukan orang suku Han, tetapi ternyata berdandan seperti orang Kang-ouw dari suku Han. Dari wajahnya juga mirip dengan orang suku Han. Tetapi ia ingat seperti di mana pernah melihatnya.

Tetamu itu tubuhnya tinggi besar, di pinggangnya ada tergantung sebilah golok panjang, ia berdiri di tengah-tengah ruangan sambil mengawasi pengurus rumah penginapan dengan buas.

Justru karena orang itu beroman jahat dan membawa golok, maka tetamu-tetamu di kamar lainnya ketika mendengar ucapan itu, meskipun semua merasa mendongkol, tetapi tak berani keluar.

Pengurus rumah penginapan itu setelah berada di kamar Can Pek Sin, lalu berkata dengan sikapnya yang menghormat:

“Harap tuan suka menolong, kalian adalah kakak beradik, tidak halangan tinggal dalam satu kamar. Kamar yang satu biarlah aku berikan kepada tetamu itu.”

Dengan muka merah Can Pek Sin berkata: “Tidak bisa!”

“Pengurus rumah penginapan itn kembali membungkukkan badannya untuk memberi hormat seraya berkata:

“Tuan berbuatlah sedikit kebaikan untuk menolong diriku!” berkata sampai di situ ia berdiam, kemudian berkata pula dengan suara sangat perlahan: “Kau lihat betapa galak sikapnya tetamu itu, agaknya ingin menelanku bulat-bulat!” Can Pek Sin tidak dapat menerangkan bahwa ia dengan Tiat Leng bukanlah saudara kandung, maka ia merasa sulit sekali.

Tiat Leng sudah tak sabar, ia berkata dengan suara keras:

“Aku sudah pernah melihat orang jahat, kau boleh takut kepadanya tetapi aku tidak! Kalau ia hendak berbuat jahat, kamar ini tidak akan kuberikan kepadanya, aku ingin lihat apa ia hendak perbuat terhadap diriku? Tokh tak mungkin ia benar-benar hendak menelan diriku!”

Karena suara itu keras, hingga semua pembicaraannya dapat didengar oleh tetamu itu, karena Tiat Leng masih menunjukkan suaranya anak perempuan yang masih belum dewasa, maka keberaniannya Tiat Leng itu menarik hatinya.

Setelah tamu itu dapat melihat tegas siapa agaknya nona itu, untuk sesaat ia tercengang, kemudian ia maju dua langkah untuk menghadapi Tiat Leng sambil memperdengarkan suara ketawa dingin.

“Mengapa kau tertawa? Kau mau apa?” demikian Tiat Leng menanya dengan sikap gusar.

Can Pek Sin takut Tiat Leng mendapatkan kesulitan, maka ia segera keluar dari kamarnya dan berdiri di sampingnya.

Tetamu itu melototkan matanya, ia mengamat-amati Can Pek Sin dan Tiat Leng dari atas, sampai ke bawah, tiba-tiba terdengar suara, “hem,” kemudian berkata sambil tertawa dingin:

“Kiranya kau si setan alas ini. Hem, beberapa hari berselang bukankah yang mengeluarkan kata-kata kotor memaki orang? Perbuatanmu itu aku masih belum membuat perhitungan denganmu.”

Tiat Leng yang mendengar perkataan itu, baru ingat bahwa tetamu itu adalah salah satu dari empat orang Hwee yang dijumpai di jalan pada hari itu. Karena wajahnya orang itu mirip orang suku Han, pakaiannya juga orang suku Han maka Tiat Leng tadi belum dapat mengenali.

Tiba-tiba ia teringat keterangan U-bun Hong-nie mengenai diri orang itu, maka ia lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Benar orang yang memaki kalian anjing busuk hari itu adalah aku, karena aku sudah lihat kalian bukan orang baik-baik, maka aku memakimu. Dan sekarang ternyata bahwa makianku itu tidak keliru.

Tetamu itu memang benar adalah Khu Pit Tay salah seorang kuat dari Negara Hwee-kie.

Dimaki demikian olah Tiat Leng, orang itu berjingkrak-jingkrak kemudian membentak dengan suara keras: “Anak busuk, kau anak siapa? Aku segan membunuh kau, sebutkanlah nama ayah bundamu!”

“Ada peribahasa: Anjing mengandalkan pengaruh majikannya, itu memang tidak salah. Siapakah majikanmu? Sebutkanlah namanya!”

Jawaban itu semakin membikin gusar Khu Pit Tay. Ia sebetulnya ingin mencari tahu asal usul diri Tiat Leng, kemudian baru dihajar. Tetapi setelah dimaki demikian, hawa amarahnya lantas meluap, bentaknya dengan suara keras:

“Kuda busuk, hari itu aku tidak sempat meladeni kau, tetapi sekarang terjatuh di tanganku harus kau rasakan betapa ganasku, berada di tanganku, aku tidak takut kau tidak akan memberi tahukan nama ayah bundamu!”

Kiranya orang itu sudah dapat menduga bahwa Tiat Leng bukanlah anaknya orang sembarangan. Ia bukan saja hendak menyusahkan dirinya, tetapi juga hendak mencelakakan ayah bundanya untuk menyingkirkan bahaya di kemudian hari.

Tiat Leng tidak kenal takut, orang memaki kepadanya, ia juga balas memaki. Ia berkata sambil tertawa dingin: “Khu Pit Tay, karena memandang ibumu adalah orang suku Han, aku juga tidak ingin membunuh kau. Tetapi jikalau kau tidak ingin merobah sifat anjingmu, maka aku tidak boleh tidak akan mematahkan kuku- kukumu!”

Khu Pit Tay yang sudah hendak menerjang, ketika mendengar perkataan itu merasa sangat heran pikirnya: Bagaimana budak ini mengetahui nama dan asal usulku?”

Tetapi Khu Pit Tay walaupun terkejut, gerakannya masih dilanjutkan, bahkan maksudnya hendak membinasakan Tiat Leng semakin bertambah.

Khu Pit Tay yang mengenakan pakaian orang suku Han, maksudnya ialah tidak ingin diketahui oleh orang bahwa dirinya adalah orang dari suku Hwee. Tetapi sekarang Tiat Leng bukan saja sudah mengetahui bahwa dirinya adalah orang suku Hwee, tetapi juga mengetahui asal usulnya maka ia tidak mau melepaskan begitu saja.

Tiat Leng yang sudah membuka rahasia Khu Pit Tay, nampaknya sangat bangga, tiba-tiba dirasakan hembusan angin hebat menyambar mukanya, tangan Khu Pit Tay sudah menyambar.

Tiat Leng sebetulnya juga sudah siap akan berkelahi dengannya, tetapi ia tidak menduga orang itu sudah begitu cepat bertindak, hingga tidak keburu menangkis. Dalam keadaan demikian ia terpaksa lompat menyingkir tiga langkah untuk menyingkirkan serangan tersebut, hanya tinggal sejengkal saja dari tangan Khu Pit Tay menyambar tulang pundaknya.

Walaupun Tiat Leng sudah menyingkir, tetapi juga terpental jatuh karena hembusan angin yang kuat itu.

Dalam saat yang amat kritis itu, Can Pek Sin, juga sudah bertindak, dengan gerak tipunya menangkap musuh dengan jari tangan, dia menyambar pengelangan tangan orang itu.

Gerak tipu itu Can Pek Sin dapat mempelajari dari Thie Sui, setiap gerakan sangat ganas. Meskipun kepandaiannya Khu Pit Tay lebih tinggi dari kepandaian Can Pek Sin tetapi dalam pertempuran jarak dekat banyak kepandaian yang tidak dapat digunakan.

Kedua pihak sudah bertempur tiga jurus. Dalam pertempuran jarak dekat itu, adalah ilmunya yang digunakan oleh Can Pek Sin yang lebih unggul, maka ialah yang berhasil menyambar pergelangan tangan musuhnya.

Selagi ia berusaha hendak mematahkan tangan musuhnya, tiba-tiba merasakan bahwa dari tangan musuhnya timbul tenaga perlawanan, hingga tangannya sendiri dirasakan sakit.

Kiranya Khu Pit Tay ada melatih ilmu dari golongan sesat yang khusus melindungi dirinya. Kalau menerima tekanan dari luar segera timbul reaksi daya perlawanannya lebih hebat. Karena kekuatan tenaga dalam Can Pek Sin belum dapat mengimbangi kekuatannya, sudah tentu ia yang dirugikan.

Khu Pit Tay menggerakkan dua tangannya dan membalikkan badannya hingga sekarang Can Pek Sin yang berbalik ditindih olehnya. Tetapi pada saat itu Tiat Leng sudah memperbaiki kedudukannya. Ia lalu menghunus pedangnya dan menikam jalan darah di belakang punggung Khu Pit Tay.

Jalan darah itu merupakan salah satu jalan darah kematian dalam anggota badan manusia, meskipun Khu Pit Tay mempunyai ilmu melindungi diri, tetapi juga tidak berani membiarkan dirinya tertusuk mentah- mentah. Ketika belakang punggungnya merasakan tiupan angin ia buru-buru menyingkir sehingga dengan demikian Can Pek Sin sudah berdiri lagi.

Serangan ilmu pedang Tiat Leng cepat sekali, tiba-tiba ia memutar ujung pedangnya, kembali mengancam lain bagian belakang badan Khu Pit Tay.

Khu Pit Tay belum sempat berdiri, terpaksa menangkis dengan lengan bajunya, sebentar terdengar suara “seret,” dan kemudian disusul oleh suata ‘trang’. Lengan baju Khu Pit Tay terpapas sepotong, tetapi pedang Tiat Leng juga terjatuh di tanah oleh kekuatan lengan baju itu.

Can Pek Sin juga sudah menghunus pedangnya, ia segera maju menikam. Khu Pit Tay menangkis dengan tangannya, kemudian tangan ini menyambar dua buah meja, kedua kakinya juga menendang dua buah meja, hingga empat meja itu melayang ke arah Can Pek Sin, hingga Can Pek Sin terhalang dan terpaksa lompat menyingkir.

Pengurus rumah penginapan itu ketakutan setengah mati, ia berteriak-teriak minta supaya mereka jangan berkelahi.

Tiat Leng memungut kembali pedang pusakanya, selagi hendak maju untuk memberi bantuan, Can Pek Sin tiba-tiba menarik tangannya dan berkata:

“Kita harus memilih rencana yang teratas!”

Dalam peribahasa kuno dikatakan bahwa dalam tigapuluh enam rencana, rencana lari yang digolongkan rencana teratas. Can Pek Sin menyebutkan rencana itu maksudnya menyuruh Tiat Leng lekas lari, tetapi karena harus memandang muka nona itu, maka ia tidak menggunakan perkataan lari.

Kekuatan orang itu sesungguhnya terlalu tangguh bagi mereka, Tiat Leng juga menganggap bukan tandingannya, maka juga tidak berani bertempur lama-lama! Ketika mendengar perkataan itu lalu menjawab:

“Benar kita harus menggunakan akal tipu teratas ini!”

Badannya segera lompat ke belakang, bersama-sama Can Pek Sin lari menuju keluar.

Khu Pit Tay meskipun mempunyai darah setengah dari orang suku Han, tetapi ia tidak mengerti peribahasa orang Han itu. Setelah melemparkan empat buah meja ia berkata sambil ketawa dingin:

“Aku ingin melihat kalian mempunyai rencana teratas apa?”

Sementara itu dalam hatinya berpikir: Kedua bocah ini tidak sanggup melawan aku, apakah masih mempunyai akal muslihat lain?

Belum lenyap pikiran itu, tiba-tiba dapat melihat kedua anak muda itu sudah lari keluar. Kini Khu Pit Tay baru tersadar bahwa apa yang dimaksudkan dengan istilah rencana teratas tadi, ternyata minta kawannya supaya lari.

Can Pek Sin dan Tiat Leng hendak menuju ke kandang kuda untuk mengambil kudanya. Kandang kuda rumah penginapan itu terbuat dari rumah atap, yang letaknya di belakang rumah. Baru saja mereka hendak memutar dinding tembok, tiba-tiba terdengar suara nyaring, dan dinding itu terbuka satu lobang, Khu Pit Tay sudah menerobos keluar dari lobang tembok itu seraya berkata:

“Hendak lari kemana?”

Kiranya Khu Pit Tay yang terhalang oleh meja-meja tadi, jikalau menyusul melalui pintu besar ia khawatir tidak dapat mengejar, maka ia segera menggunakan ilmunya yang bersifat keras untuk membobol tembok dan menghadang jalan keluar anak muda itu.

Tiat Leng yang melihat munculnya Khu Pit Tay lalu berkata:

“Baik, kita tak bisa lari terpaksa bertempur lagi! Apakah kau kira nonamu takut padamu?” Dengan tanpa menantikan bertindaknya Khu Pit Tay, ia sudah menyerang lebih dulu dengan pedangnya.

Khu Pit Tay sambil membentak: “Lepaskan pedangmu!” Mengait dengan tangan kirinya dan menepuk dengan tangan kanannya, ini adalah satu gerakan untuk merebut senjata dari tangan musuh dengan tangan kosong. Gerakan itu dilakukan sangat bagus sekali, ia mengira pedang Tiat Leng pasti akan terebut olehnya.

Namun Tiat Leng sudah mengetahui kepandaian orang itu, maka kali ini sudah berpikir tidak akan melawan dengan kekerasan. Tikaman tadi sebenarnya merupakan suatu gerak tipu dan maksud mengancam saja, maka tatkala tangan Khu Pit Tay menepuk, ujung pedang Tiat Leng sudah berbalik ke lain arah, yaitu memutar ke sampingnya.

Sementara itu mulutnya berseru: “Can toako lekas ambil kuda kita!”

Mulutnya bicara gerak pedangnya sedikit pun tidak berubah. Pedang itu ditujukan ke bagian jalan darah di bawah ketiak musuhnya.

Khu Pit Tay berjingkrak-jingkrak, ia memutar kakinya, melakukan serangan dengan kedua tangannya, sebentar kemudian terdengar suara riuh, istal kuda telah roboh. Tetapi Tiat Leng sangat cerdik, untuk menghadapi musuh tangguh itu yang menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sangat lincah bagaikan kupu-kupu berterbangan di taman bunga, sehingga siang-siang ia sudah waspada untuk menghindarkan setiap serangan musuhnya, maka serangan Khu Pit Tay tidak mengenai dirinya.

Meskipun kepandaian dan kekuatan Tiat Leng masih selisih sangat jauh sekali dengan kekuatan musuhnya, tetapi karena gerak badannya yang ringan gesit dan lincah serta ilmu pedangnya yang aneh, dalam waktu sepuluh jurus ia masih dapat mengimbangi musuhnya.

Sebetulnya asal Tiat Leng sanggup bertahan sampai sepuluh jurus, Can Pek Sin, masih mempunyai cukup waktu untuk mengambil kudanya, dan apabila mereka berhasil mengambil kudanya, sudah tentu Khu Pit Tay tak dapat mengejar mereka. Tetapi Can Pek Sin yang menyaksikan serangan musuh demikian ganas, bagaimana ia berani meninggalkan Tiat Leng.

Khu Put Tay yang selalu memasang mata dan telinga, ketika serangan yang diarahkan kepada Tiat Leng tak mengenai sasarannya, segera membalikkan badannya dan kebetulan berhadapan dengan Can Pek Sin.

Tiat Leng segera berkata:

“Ah, toako, bagaimana kau tidak dengar perkataanku?”

Sebelum habis ucapannya, matanya dapat melihat berkelebatnya sinar mas. Ternyata Khu Pit Tay juga sudah menghunus goloknya untuk menyambut serangan Can Pek Sin.

Selama pertandingan antara golok dengan pedang itu, dengan beruntun Khu Pit Tay sudah mengeluarkan gerak tipunya membabat, membacok, menyerang dan menikam. Meskipun pelajaran Can Pek Sin juga tercampur dari pelajaran golongan benar dan golongan sesat, akan tetapi masih kalah mahir dengan musuhnya, maka waktu bertanding sampai babak ketujuh, pedang Can Pek Sin hampir terlepas dari tangannya.

Dalam babak kedelapan, tiba-tiba Khu Pit Tay berseru, “Kena!” Goloknya membabat pinggang Can Pek Sin.

Khu Pit Tay mengira serangannya itu pasti berhasil. Tak disangka Can Pek Sin mempunyai simpanan pelajaran keturunan keluarganya, yang meniru gerak gerik binatang terbang, masih belum dikeluarkan. Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu, badannya melesat tinggi ke atas, kemudian berputaran di tengah udara, bagaikan burung elang membentang sayap, hingga serangan Khu Pit Tay liwat di bawah kakinya.

Khu Pit Tay terperanjat, ia lalu menegur:

“Kau pernah apa dengan Can Goan Siu?”

Kiranya di masa muda Can Goan Siu pernah merantau ke daerah barat, di sana ia pernah menjatuhkan tigabelas orang-orang jago yang terkenal kuat. Khu Pit Tay kala itu juga merupakan salah satu seorang pecundangnya.

Sementara itu Tiat Leng yang menyaksikan keadaan yang demikian, segera bertindak, untuk membantu kawannya.

Can Pek Sin melayang turun, segera bergandengan tangan dengan Tiat Leng untuk melawan musuhnya. Tiat Leng berkata, sambil tertawa: “Kau anjing Hwee ini juga kenal dengan ayah Can toako. Apa kau ingin bersahabat?”

“Bagus, kiranya adalah anak Can Goan Siu, kalau kalian berdua jangan harap bisa hidup lagi!” jawab Khu Pit Tay gusar.

Selagi Tiat Leng hendak balas memaki, Khu Pit Tay sudah melancarkan serangan. Ilmu goloknya bagaikan angin cepatnya mengurung mereka berdua.

Kepandaian Can Pek Sin meskipun tidak di bawah kepandaian ayahnya di masa masih muda, tetapi kepandaian Khu Pit Tay sudah mendapat kemajuan banyak sejak ia dikalahkan ayahnya, maka meskipun Can Pek Sin bergandengan tangan dengan Tiat Leng, masih tetap berada di bawa angin.

Untung mereka berdua semua didikan guru-guru pandai, terutama ilmu pedang Tiat Leng, yang dapat warisan ilmu pedang Sin Cie Kow. Gerak ilmu pedang yang aneh luar biasa itu belum pernah disaksikan oleh Khu Pit Tay. Maka meskipun ia sudah berada di atas angin tetapi juga tidak berani berlaku gegabah.

Can Pek Sin beberapa kali hendak menerjang keluar, tetapi usahanya itu selalu tidak berhasil maka, ia berkata kepada Tiat Leng,

“Adik Leng, kau pengilah, sebaiknya ada salah satu yang harus bisa lolos dari cengkeramannya.

Tiat Leng sebetulnya agaknya menyesal perbuatannya yang sangat gegabah, tetapi setelah mendengar perkataaan Can Pek Sin tadi, semangatnya tiba-tiba terbangun kembali, ia berkata:

“Tidak bisa kabur kita terpaksa mengadu jiwa dengannya. Siapa yang menang dan siapa yang kalah masih belum diketahui, bagaimana aku harus kabur seorang diri?”

Ia sudah bertekad untuk mengadu jiwa dengan musuhnya, maka serangan selanjutnya ia menggunakan ilmu yang lebih aneh, hingga Khu Pit Tay terpaksa harus melayaninya lebih hati-hati.

Khu Pit Tay yang mendengar pembicaraan mereka lalu berkata:

“Apakah kalian masih ingin kabur? Satupun yangan harap bisa kabur!”

Goloknya lalu diputar sedemikian rupa, ia mendesak semakin hebat, sehingga ilmu pedang Tiat Leng perlahan-lahan mulai terdesak.

Sebentar saja pertempuran sudah berjalan limapuluh jurus, Khu Pit Tay yang masih belum berhasil melukai musuhnya juga merasa heran.

Dalam gusarnya ia mengerahkan seluruh kepandaiannya.

Tiat Leng yang mulai kehabisan tenaga napasnya sudah tersengkal-sengkal, ilmu pedangnya mulai kalut. Can Pek Sin meskipun masih dapat bertahan tetapi juga kewalahan.

Selagi dalam keadaan sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara keliningan kuda.

Tiat Leng diam-diam mengeluh: Celaka, satu orang saja masih belum sanggup melayani. Kalau datang kawannya lagi bagaimana kita sanggup menghadapinya nanti.

Ia mengira orang yang datang itu adalah kawannya Khu Pit Tay. Tetapi sebelum lenyap pikirannya tiba- tiba terdengar suara: “Eh!” Dan orang itu, kudanya lalu dihentikan, kemudian orang itu berseru:

“Apakah ini saudara Can Pek Sin? Siapakah nona kecil ini?”

Can Pek Sin dalam keadaan sangat repot melirik ke arah orang itu, kemudian ia berkata dengan suara nyaring:

“Paman Cho, lekas bantu aku. Dia adalah Tiat Leng!” Kiranya orang baru datang itu bukan lain dari pada Cho Peng Goan, yang sedang dicari oleh U-bun Hong- nie. Sudah tujuh tahun lamanya ia pergi. Cho Peng Goan yang usianya lebih tua, juga sudah pernah diam di rumah keluarga Can, maka samar-samar mengenalnya.

Tentang diri Tiat Leng, dulu ia pernah melihatnya, tetapi kala itu Tiat Leng masih kanak-kanak dan sekarang sudah menjadi gadis cilik yang cantik, hingga sudah tidak mengenalnya lagi. Ia hanya dapat mengenali ilmu pedang yang digunakan oleh Tiat Leng adalah ilmu pedang warisan Sin Cie Kow.

Ketika mendengar disebutnya nama puteri Tiat Mo Lek, bukan kepalang terkejutnya, ia tidak keburu melompat turun dari kudanya, segera melayang dari atas kuda, dengan satu gerakan gunung Tay-san menindih kepala, goloknya menyambar Khu Pit Tay.

Khu Pit Tay menangkis dengan goloknya, pergelangan tangannya dirasakan sakit sehingga ia mundur tiga langkah dan membentak dengan suara keras:

“Bagus, Cho Peng Goan, aku justru sedang mencari kau!”

Karena pada saat itu Khu Pit Tay berpakaian bangsa suku Han, maka Cho Peng Goan sewaktu bertempur dengannya, baru dapat mengenalinya. Ia berkata sambil tertawa dingin:

“Di negara Su-tho-kok kalian sudah menyusahkan aku. Aku sudah menyingkir ke daerah Tiong-goan. Apakah kalian masih belum mau melepaskan? Baiklah, mari kita mengadu kepandaian.”

Dalam keadaan demikian Khu Pit Tay terpaksa berkeras kepala, ia berkata: “Baik, aku tidak takut kalian berjumlah banyak!”

Cho Peng Goan tertawa terbahak-bahak, ia lalu berkata kepada Can Pek Sin dan ‘Tiat Leng:

“Pek Sin, Tiat Leng, kalian berdua mundur, berdiri agak jauh, supaya jangan menakut-nakuti orang ini.” Ia lalu berkata kepada Khu Pit Tay:

“Baiklah kau sekarang tidak usah merasa khawatir!”

Khu Pit Tay yang ditantang demikian rupa sudah naik darah, sambil menggeram hebat ia menerjang lawannya.

Cho Peng Goan masih berdiri tegak tanpa bergerak, setelah serangan tiba baru menyambut dengan goloknya.

Ilmu golok Khu Pit Tay luar biasa cepatnya. Sebentar saja sudah melancarkan tujuh kali serangannya, dalam tujuh kali serangan itu, mengandung duapuluh satu macam gerak tipu.

Tetapi heran, Cho Peng Goan hanya membuat satu lingkaran dengan goloknya, seolah-olah dinding besar yang kuat sudah berhasil menutup semua serangan itu. Tiba-tiba terdengar suara beradunya dua senjata dan golok Khu Pit Tay sudah gompal tiga tempat.

Khu Pit Tay terperanjat, kiranya Cho Peng Goan meskipun di negara Su-tho-kok sangat terkenal namanya sebagai seorang gagah, tetapi orang-orang kuat di daerah Barat, tiada satupun yang mengetahltui kepandaian dan kekuatannya. Khu Pit Tay ini mengandalkan kepandaiannya sendiri. Selama itu selalu tak memandang mata kepadanya, maka kali ini dengan tiga kawannya datang ke daerah Tiong-goan, justru adalah ia sendiri yang mengusulkan supaya mencarinya dengan jalan berpencaran.

Dalam usahanya mencari Cho Peng Goan kali ini, mereka berempat dipecah menjadi tiga rombongan. Ia dengan Thay Lok menjadi dua rombongan, dua yang lainnya menjadi satu rombongan. Dalam anggapan Khu Pit Tay, ia sendiri sudah cukup untuk menghadapi Cho Peng Goan.

Di luar dugaan malam itu telah berjumpa di tempat itu. Dan apa yang lebih-lebih di luar dugaannya ialah kekuatan tenaga Cho Peng Goan, ternyata jauh di atas perhitungannya. Hanya dalam satu tindak, ia sudah dapat mengukur bahwa kekuatan Cho Peng Goan masih di atas kekuatannya sendiri. Akan tetapi, walaupun ia terkejut, namun masih belum habis herannya. Ia masih mempunyai kepandaian simpanan yang masih belum dikeluarkan.

Cho Peng Goan yang sudah berhasil dalam serangan pertama segera balas menyerang. Khu Pit Tay, tiba- tiba mengeluarkan gerak tipu ilmu silatnya yang aneh, yang agaknya tidak menurut peraturan. Tetapi Cho Peng Goan dapat mengenali bahwa ilmu silat itu adalah ilmu silat yang sudah dirobah dari ilmu silat golongan Tiong-goan yang terkenal dengan namanya delapan dewa mabuk, maka ia tidak berani memandang ringan. Ia segera mengerahkan kepandaiannya, maksudnya hendak memapas putung golok lawannya.

Ilmu golok Khu Pit Tay dalam babak pertama menggunakan kekerasan. Tetapi kemudian dirubah dengan gerak tipu yang lunak, sedapat mungkin ia berusaha untuk menghindarkan goloknya terbentur dengan golok lawannya.

Cho Peng Goan adalah ahli ilmu silat kenamaan. Begitu melihat sudah mengetahui bahwa ilmu golok lawannya mengandung gerak tipu totokan jalan darah.

Kalau dengan pedang menotok jalan darah, dalam rimba persilatan banyak orang yang pandai menggunakannya, tetapi menotok jalan darah dengan golok, ini sesungguhnya jarang ada.

Yang lebih hebat ialah golok Khu Pit Tay yang bentuknya serupa seperti bulan sabit. Ketika ujung golok menotok jalan darah kadang-kadang bagaikan tongkat bengkok, sama sekali berlainan dengan ilmu totokan yang menggunakan ujung pedang. Ilmu totokan yang aneh ini, sekalipun Cho Peng Goan yang sudah banyak pengetahuan juga baru pertama kali ini menyaksikannya.

Meskipun ia tidak takut, tetapi juga harus menghadapi dengan sangat hati-hati sekali.

Sebelum berhasil dapat mempelajari ilmu golok lawannya yang sangat aneh, ia mengambil sikap defensif. Goloknya diputar untuk menutup dirinya, sehingga golok lawannya tidak berhasil mendekati dirinya. Sekalipun mempunyai kepandaian menotok yang luar biasa, juga tidak dapat digunakan...

Istal kuda itu yang tadi telah dirobohkan oleh Khu Pit Tay, untung karena atasnya tertutup oleh atap, maka kuda yang berada di dalam istal tidak ada yang terluka hanya mengeluarkan suara ramai karena tertindih oleh daun atap.

Tiat Leng yang memikirkan kudanya, tetapi ia juga tidak mau meninggalkan gelanggang pertempuran itu untuk menyaksikan jalannya pertempuran, maka ia minta supaya Can Pek Sin yang membawa keluar kuda mereka.

Khu Pit Tay ketika menyaksikan Can Pek Sin memasuki istal kuda dengan hati terkejut. Ia takut kalau Can Pek Sin melukai kudanya, sehingga ia nanti tidak bisa kabur.

Sementara itn Can Pek Sin sudah mengeluarkan kuda-kuda yang tertindih oleh atap istal. Sebagai seorang yang ‘berjiwa kesatria’ Can Pek Sin sedikitpun tak mempunyai maksud untuk melukai kuda musuhnya.

Khu Pit Tay tahu bahwa dirinya sudah tak ada harapan untuk merebut kemenangan, ketika melihat kuda tunggangannya dalam keadaan selamat, lalu timbul pikiran hendak kabur.

Tiba-tiba Cho Peng Goan berkata:

“Orang she Khu, bukankah kau ingin mengadu kepandaian denganku? Baiklah aku sekarang juga akan mencoba ilmu golokmu!”

Sambil mengucap demikian, gerakan golok di tangannya tiba-tiba berobah dari sikap bertahan menjadi sikap menyerang. Sebentar kemudian hanya nampak sinar golok yang berkelebatan, kecepatanya susah dibayangkan! Khu Pit Tay yang sebetulnya mahir ilmu golok cepat tetapi ia tidak mengira bahwa kecepatan ilmu golok Cho Peng Goan masih jauh lebih tinggi dari ilmu goloknya sendiri!

Kenyataan itu sangat mengejutkannya, karena ia sudah merasa sukar menangkis serangan lawannya, sudah tentu tidak mampu mengeluarkan kepandaiannya lagi. Sekaligus Cho Peng Goan melakukan serangannya sampai tigapuluh enam kali. Ketika serangan terakhir habis dilancarkan, kepala Khu Pit Tay tiba-tiba dirasakan dingin. Dalam keadaan terkejut dan ketakutan ia buru-buru melompat mundur sampai tiga tombak jauhnya.

Ketika ia meraba kepalanya ternyata tidak terdapat tanda darah, tetapi sebagian besar dari rambutnya sudah terpapas sehingga kepalanya menjadi botak.

Cho Peng Goan membentak dengan suara keras:

“Karena mengingat kedatanganmu ini atas perintah orang lain, maka kali ini kuampuni jiwamu. Lain kali apabila ketemu lagi, dengan aku akan tidak berlaku merendah lagi terhadapmu.”

Khu Pit Tay tidak berani membuka suara ia buru-buru melompat naik ke atas kudanya dan segera melarikau diri.

Setelah Khu Pit Tay berlalu, Can Pek Sin dan Tiat Leng maju memberi hormat kepada Cho Peng Goan. Cho Peng Goan lalu menanyakan mereka:

“Dengan cara bagaimana kalian sampai bentrok dengan orang itu?”

“Beberapa hari berselang kita baru saja berjumpa dengan bibi U-bun. Eh, eh, bukan, seharusnya aku sebut bibi Cho. Tentang diri orang itu, adalah bibi Cho yang memberitahukan kepada kita. Hanya kali ini kita bertempur dengannya bukan karena bibi Cho, melainkan karena di jalanan aku pernah memaki padanya,” demikian Tiat Leng berkata.

Cho Peng Goan ketika mendengar mereka, pernah berjumpa dengan U-bun Hong-nie, diam-diam merasa terkejut dan girang. Ia tidak sempat menanyakan soal yang lain, lalu bertanya:

“Dimana kau berjumpa dengan bibi U-bun mu?”

“Di rumahnya paman Li Hong Chun aku berjumpa dengan bibi Cho, katanya ia juga sedang mencari kau! Aku tak tahu ia pergi kemana, tetapi aku tahu ia menuju ke selatan mengejar Thay Lok.

“Dia tidak kenal dengan Li Hong Chun, bagaimana bisa berada di rumah? Lagi pula, bagaimana kau tahu ia mengejar Thay Lok?”

”Thay Lok lah yang lebih dulu menerbitkan onar di rumah Li Hong Chun. Mungkin ia sudah dapat melihat jejak Thay Lok, maka sepanjang jalan dikuntitnya. Pagi itu, ketika ia liwat di rumah Li Hong Chun, kebetulan berjumpa dengan kita.”

Tiat Leng lalu menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi.

Cho Peng Goan yang mendengar penuturan itu merasa agak girang, tetapi juga merasa sedih.

Kiranya hanya ini ia meninggalkan Negara Su-tho-kok, adalah terdorong oleh suatu sebab yang sangat terpaksa.

U-bun Hong-nie adalah kemenakan raja Negara Su-tho-kok yang terdahulu, ketika Negara itu dijatuhkan oleh Negara Hwee-khie. U-bun Hong-nie kemudian menggunakan kesempatan berbagai Negara tetangganya menentang Negara Hwee-kie. Ia lalu menggerakkan rakyatnya dan kemudian berhasil mengusir Negara yang menindas Negaranya itu. Oleh karena raja Su-tho-kok tidak mempunyai anak, dan rakyat Negaranya mencinta dan menyanjung U-bun Hong-nie, maka kemudian mengangkat padanya sebagai ratu Negara tersebut untuk menggantikan pamannya.

Walaupun tradisi dalam Negara itu, Negaranya diperintah oleh seorang ratu, tetapi perasaan rasa, dalam suku itu masih ada. Kemudian ketika U-bun Hong-nie menikah dengan Cho Peng Goan, dengan sendirinya Cho Peng Goan yang berkedudukan sebagai suami ratu Negara itu, dijadikan sasaran bagi orang-orang yang menetang U-bun Hong-nie untuk dijadikan siasat mengadu domba dengan rakyatnya. Orang-orang yang menentang U-bun Hong-nie itu, termasuk saudara sepupu lelaki U-bun Hong-nie, dan kamberat-kamberatnya, disamping itu juga masih ada utusan Negara Hwee-khie yang diam-diam telah menggosok mereka.

Orang-orang itu telah menyebarkan desas desus dan fitnahan yang keji kepada rakyat. Katanya Cho Peng Goan adalah orang suku Han, yang bermaksud hendak menelan Negaranya.

Sekalipun usahanya itu tidak berani dilakukan secara terang-terangan, tetapi dikemudian hari apabila kedudukan raja digantikan oleh anaknya, bukankah itu berarti bahwa negara Su-tho-kok, akan menjadi negara satelit kerajaan suku Han.

Desas desus dan fitnahan keji itu, ternyata berhasil menggerakkan sebagian rakyatnya, tetapi karena U- bun Hong-nie masih cukup berwibawa, maka rakyatnya tidak ingin menggulingkannya, sehingga orang- orang dari pikak oposisi untuk sementara belum berani bergerak. Tetapi dalam negara itu, desas desus dan perasaan tidak suka terhadap Cho Peng Goan semakin banyak, bibit perang saudara juga sudah mulai bersemi.

Justru karena mengetahui keadaan demikian, maka barulah Cho Peng Goan terpaksa meninggalkan Negara tersebut. Maksud sebetulnya ingin mempertahankan kedudukan isterinya dan menghindarkan negara itu jatuh di tangan orang Hwee-khie lagi, serta menghindarkan ancaman perang saudara dalam negeri.

Tetapi hal yang tak terduga adalah: Setelah ia meninggalkan negara itu, isterinya ternyata juga meninggalkan kedudukannya dan mencarinya.

Terhadap tindakan isterinya itu Cho Peng Goan merasa sangat terharu, tetapi ia juga mengkhawatirkan diri isterinya. Sebab ditilik dari kepandaian Khu Pit Tay yang sudah sedemikian tinggi, apa lagi kepandaian Thay Lok yang terkenal sebagai seorang kuat nomor satu di negara Hwee-kie.

Tiat Leng lalu berkata:

“Paman Lam Hee Lui semua berada di kota Yang-ciu. Apabila bibi Cho nanti tiba di sana, juga bisa memberi bantuan. Di sini bisa terpisah dengan markas di gunung Kim-kee-nia, hanya memerlukan perjalanan tiga hari saja. Paman Cho, kau...”

“Dari desa Kui-chiu-chung kediaman Li Hong Chun ke kota Yang-ciu juga masih ada perjalanan beberapa ribu pal. Biar bagaimana hatiku tidak merasa lega, khawatir kalau-kalau bibimu terjadi apa-apa di tengah jalan. Aku hendak pergi dulu ke kota Yang-ciu, sekalian untuk menengok Khek Gee. Sepulangnya dari kota Yang-ciu, aku nanti akan berkunjung lagi ke Kim-kee-nia untuk menengok ayahmu!”

Tiat Leng dan Can Pek Sin sudah tentu tidak berani menahan, tetapi selagi Cho Peng Goan hendak melompat ke atas kuda, tiba-tiba ia teringat sesuatu lalu, berkata:

“Can Pek Sin beberapa hari berselang aku telah berjumpa dengan seorang, yang aku perlu memberitahukan kepadamu.”

Can Pek Sin terperanjat. Ia pikir kenalannya di dunia Kang-ouw tidak banyak, siapakah gerangan yang dijumpai oleh Cho Peng Goan itu?

Sementara itu Cho Peng Goan berkata pula sambil tertawa:

“Apakah kau tidak menduga siapa orangnya? Dia adalah sahabatmu yang paling baik di masa kanak- kanak. Bahkan aku masih ingat kalian masih berbahasakan enci dan adik.”

Kini Can Pek Sin baru sadar, kiranya orang dimaksudkan itu adalah Thie Po Leng. Dalam girang dan herannya ia lalu berkata:

“Apakah yang paman maksudkan adalah Thie...”

“Benar, ia adalah nona Thie. Tiga hari berselang, aku telah berjumpa dengannya di perjalanan kota Kheng- chiu. Ia memberitahukan kepadaku, katanya ayahnya sudah meninggal dunia. Kedatangannya ke kota Kheng-chiu, katanya hendak menemui seorang pamannya. Kala itu aku bertanya, mengapa ia tidak bersamamu? Ia berkata bahwa kau sudah pergi dari rumahnya, juga tidak tahu kau berada dimana. Aku lihat sikapnya agak hambar, agaknya tidak suka dengan disebutnya urusanmu. Apakah kalian sedang ribut?

Kiranya sewaktu Cho Peng Goan berdiam di rumah keluarga Thie, ia sudah tahu bahwa Thie Sui bermaksud hendak menikahkan cucu perempuannya dengan Can Pek Sin, maka dalam pikirannya ia sudah menganggap mereka berdua sudah sebagai kekasih.

Dengan muka merah Can Pek Sin berkata:

“Kita tidak pernah ribut mulut, tentang ini...”

Karena peristiwa kematian Thie Sui sangat panjang ceritanya, pula Cho Peng Goan nampaknya tergesa- gesa, maka Can Pek Sin anggap agak susah untuk memberi penjelasan. Selain dari pada itu, ia juga tidak tahu bagaimana harus memberi keterangan.

Cho Peng Goan yang tergesa-gesa hendak melanjutkan perjalanannya, sudah tidak bertanya lebih jauh, ia hanya tertawa saja, kemudian berkata pula:

“Kalau tidak ribut mulut ia sudah.”

“Apakah ia sekarang masih berada di kota Kheng-chiu?’

“Ia berkata tidak berhasil menemukan pamannya itu, nanti akan pergi ke kota Yang-ciu. Mungkin di sana aku nanti akan berjumpa lagi dengannya. Apakah kau ada pesan yang ingin kusampaikan kepadanya?”

“Terima kasih paman Cho. Kalau bertemu dengannya tolong saja bahwa aku menanyakan keadaaanya. Tidak ada pesan istimewa yang ingin kusampaikan kepadanya.”

Sebetulnya banyak kata-kata yang hendak disampaikan, tetapi bagaimana ia dapat menerangkan pada Cho Peng Goan?

Setelah Cho Peng Goan berlalu, Can Pek Sin berdiri dengan hati mendelu. Tiat Leng lalu menegurnya sambil tertawa dingin:

“Kau memikirkan dirinya, sebaliknya dia memikirkan diri orang lain! Ia berkata kepada paman Cho, hendak mencari seorang pamannya. Kau pikir sendiri, di kota Kheng-chiu dia mempunyai paman siapa?”

Dengan terpaksa Can Pek Sin menjawab:

“Aku tahu ia pergi mencari Lauw Bong. Hee Kauw Ing yang mempunyai daerah operasi di tempat tersebut adalah saudara angkat ayahnya Lauw Bong. Ia pasti mengira bahwa Lauw Bong dan ayahnya tinggal di tempat Hee Kauw Ing, maka ia mencarinya ke sana.”

“Di kota Kheng-chiu ia tidak berhasil menemukan Lauw Bong, lalu pergi ke Yang-ciu, sudah tentu juga karena Lauw Bong. Ia mungkin mengharap dari diri Lam Hee Lui untuk mencari keterangan. Can toako, kau pikir, di dalam hatinya ia hanya memikirkan Lauw Bong, sama sekali sudah tidak mengingat dirimu. Perlu apa kamu memikirkan dirinya sampai demikian rupa?”

Tiat Leng sangat tidak setuju sikap Can Pek Sin, tetapi ia belum bisa berlaku pura-pura, maka dalam pembicaraan itu juga tidak menutupi perasaannya sendiri.

Can Pek Sin berkata sambil tertawa kecil:

“Adik Leng, kata-katamu membuat aku terlalu tidak enak. Aku..., aku bukanlah berpikiran demikian.” “Oh, kalau begitu kau sedang memikirkan apa?”

“Sewaktu Thie yaya hendak menutup mata, telah berpesan sungguh-sungguh padaku supaya mencarinya kembali.” Ia berhenti sejenak, kemudian berkata pula sambil menghela napas: “Ia masih belum tahu bahwa Yaya, sudah menutup mata. Mereka kakek dan cucu telah ribut mulut, dalam gusarnya ia sudah meninggalkan rumah. Di dalam dunia ini, ia merasa satu-satunya orang, yang dapat diandalkan untuk tumpangkan dirinya juga hanya Lauw Bong seorang. Jikalau ia tidak mencari Lauw Bong, maka mencari siapa lagi?”

Tiat Leng sebetulnya juga tidak membenci Thie Po Leng, hanya disebabkan perbuatan Thie Po Leng itu dianggapnya sangat tercela. Apalagi selama beberapa bulan ini sejak ia bergaul rapat dengan Can Pek Sin, dengan tanpa disadari perasaan kasihan terhadap pemuda itu perlahan-lahan berubah menjadi perasaan cinta, maka ia selalu sesalkan Can Pek Sin apabila mengingat perbuatan Thie Po Leng.

Setelah mendengar keterangan Can Pek Sin tadi, perasaan mendongkol agak reda. Sebaliknya timbullah perasaan kasihan terhadap diri Thie Po Leng yang sudah menjadi sebatang kara, maka ia lalu berkata:

“Can toako, kau begitu perhatikan dirinya dan mengingatnya. Kalau begitu pergilah ke kota Yang-ciu untuk mencarinya. Aku bisa pergi ke gunung Kim-kee-nia seorang diri saja.”

Apa yang diucapkan memanglah dengan sejujurnya, tetapi dalam telinga Can Pek Sin, dianggapnya nona ini kurang senang maka ia berkata:

“Usiamu lebih muda dari padanya, ia adalah kakakku, kau adalah adikku. Bagaimana karena dia, aku boleh meninggalkan kau? Sudah tentu aku harus mengantar kau ke gunung menjumpai ayahmu dulu!”

“Kebaikanmu baik kau tinggalkan untuk kakak Thie mu. Aku tidak perlu kau awasi.”

Meskipun mulutnya berkata demikian, tetapi dalam hatinya merasa senang. Ia dapat kenyataan bahwa Can Pek Sin tidak mengabaikan dirinya oleh karena dapat kabarnya Thie Po Leng.

“Kau tidak suka aku turut, tetapi aku tetap akan menjaga keselamatanmu. Siapa suruh kita seperti saudara sendiri? Terhadap kakak Thie aku juga menganggap sama seperti kau. Aku cuma mengharap kebaikan untuk kedua pihak hingga hatiku merasa senang.”

Apa yang diucapkan oleh Can Pek Sin itu juga dengan sejujurnya. Ia menganggap Tiat Leng sebagai adiknya, tidak mengingat atau timbul pikiran yang bukan-bukan. Tetapi perkataan itu dalam telinga Tiat Leng adalah lain, seketika itu parasnya merah dan berkata:

“Baiklah, kalau kau hendak mengantar aku ke gunung, mari kita jalan!” Pada saat itu malampun mulai terang.

“Jangan kesusu, kita masih ada urusan yang belum diselesaikan.” “Urusan apa yang belum diselesaikan?” bertanya Tiat Leng terkejut. “Apakah kau sudah lupa, uang kamar kita masih belum dibayar?” Tiat Leng tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:

“Benar, kita telah merusak banyak barang-barang rumah penginapan, seharusnya juga diganti.”

Pengurus hotel masih ketakutan. Ketika Can Pek Sin dan Tiat Leng balik memberikan uang kamar dan penggantian barang-barang yang rusak, sudah tentu sangat girang. Setelah membereskan soal itu, Can Pek Sin dan Tiat Leng melanjutkan perjalanannya.

Sepanjang jalan karena memikiri Thie Po Leng, Can Pek Sin kurang gembira.

Sementara itu hatinya terus berpikir: Kematian Lauw Cin dan perginya Lauw Bong, semua karena harta benda yang disimpan oleh keluarga Thie. Orang Kang-ouw yang menginginkan harta benda itu, jumlahnya pasti tidak sedikit, di antaranya mungkin sudah tahu bahwa harta benda itu sudah kuberikan kepada paman Tiat. Tetapi bukan semua orang tahu dan kakak Thie yang merupakan satu-satunya orang yang ada hubungannya dengan harta benda itu. Bagi orang yang tidak mengetahui keadaannya yang sebenarnya mungkin akan mencarinya dan menyusahkannya. Ia adalah seorang perempuan sebatang kara, harus mengembara seorang diri di kalangan Kang-ouw. Apabila terjadi apa-apa bagaimana perasaanku terhadap Thie Yaya? Namun demikian aku juga tidak boleh meninggalkan adik Leng seorang diri. Biarlah setiba di gunung Kim-kee-nia nanti kupikir lagi.

Hati Can Pek Sin sangat gelisah, ia ingin lekas tiba di gunung Kim-kee-nia, supaya setiba di sana dapat pergi mencari Thie Po Leng. Maka dalam perjalanan itu dilakukan cepat sekali.

Tiat Leng juga tahu apa yang sedang dipikirkan oleh anak muda itu, maka ia tidak berani menggoda lagi.

Mereka berangkat masih pagi-pagi sekali, di waktu tengah hari, sudah berjalan kira-kira duaratus pal lebih, selagi hendak mencari tempat untuk beristirahat, tiba-tiba di depan ada dua penunggang kuda yang lari mendatangi.

Tiat Leng berseru: “Eh, eh!” kemudian berkata: “Can toako kau lihat, dua penunggang kuda yang datang itu bukankah paman Sin, dan paman Kay?”

Dua penunggang kuda itu juga berseru:

“Apakah kalian nona Tiat dan saudara Can? Ha, ha, ha, kita justru sedang mencarimu!” Mereka berempat turun dari kuda masing-masing untuk saling berjumpa.

Kedua orang itu adalah Sin Thian Hong dan Kay Thian Hoa. Yang tersebut duluan merupakan cecu yang lama di gunung Kim-kee-nia, sedangkan yang tersebut belakangan adalah pembantu Beng-cu rimba hijau, yang terdahulu. Ia meninggalkan Beng-cu nya, lalu mengikuti Tiat Mo Lek hingga sekarang. Dengan Sin Thian Hong merupakan tangan kanan kirinya Tiat Mo Lek.

Kepandaian dua orang itu sangat berimbang, adatnya juga mirip, ke mana saja selalu berdua-duaan, jarang terpisah.

Tiat Leng sangat girang, ia berkata:

“Bagaimana kalian tahu kalau aku sudah pulang?”

“Orang-orang dari gunung Hok-gu-san, beberapa di antaranya sudah tiba di gunung. Tentang kepergian kalian ke desa Kui-chiu-chung, untuk mewakili ayahmu mengunjungi Li Hong Chun, kita juga sudah tahu. Ayahmu merasa khawatir maka menyuruh kita datang menyambut kalian,” berkata Sin Thian Hong.

“Ayah selalu anggap aku sebagai anak kecil saja, selalu merasa khawatir, hingga menyusahkan paman- paman saja.”

“Ini juga bukan cuma karena itu saja. Seratus orang saudara-saudara kita yang datang dari Hok-gu-san, semua membawa barang permata, juga memerlukan kita menyambut dan melindungi sepanjang jalan.”

“Setelah kita memutar ke desa Kui-chiu-chung dengan mereka lalu terputus hubungan. Dalam perjalanan aku masih belum tahu entah ada terjadi apa-apa atau tidak atas diri mereka.”

“Sudah ada sepuluh orang lebih yang tiba di atas gunung, mereka umumnya membawa berita bahwa di sepanjang jalan tidak menjumpai pasukan tentara Negeri. Mereka semuanya sebagai orang-orang pelarian, aku kira tidak terjadi apa-apa, sedang di pihak kita juga sudah ada orang pergi menyambut.

“Apakah sebetulnya terjadi di desa Kui-chiu-chung itu? Justru urusan itulah yang menjadi perhatian ayahmu, maka perlu kita datang menyambut,” berkata Kay Thian Hoa.

“Urusan ini sangat ruwet, tetapi sekarang sudah beres. Di perjalanan nanti kuceritakan kepada kalian.” Kay Thian Hoa nampaknya sangat ingin tahu maka ia tetap menanya:

“Ayahmu menduga Li Hong Chun mungkin menemukan musuh tangguh, betul tidak?” “Betul, bahkan musuh tangguh itu aku percaya kalian pasti tidak dapat menemukannya.” “Siapa?”

“Orang suku Hwee dari Negara Hwee-kie.” Kay Thian Hoa terperanjat, ia berkata:

“Orang suku Hwee? Em, em, em, aku ingin benar mencari keterangan sesuatu hal kepada kalian. Dalam perjalanan kalian ini, apakah mendapat kabar tentang diri Cho Peng Goan? Kabarnya ia sudah berada di daerah Tiong-goan?”

“Jika kalian datang lebih dulu satu hari, masih dapat menjumpainya. Kenapa? Apakah ayah juga mendengar kabar tentang paman Cho?”

“Begini, Adik perempuanku pada dua bulan berselang mengirim orang mengabarkan kepadaku, katanya kedudukan Cho Peng Goan di Negara Su-tho-kok tidak baik, mungkin akan meninggalkan negeri itu dan balik ke Tiong-goan. Menurut keterangan adikku, mereka di antara suku itu sendiri mungkin juga akan timbul kesulitan. Aku ingin pergi menengok ia, tetapi karena di atas gunung selama dua bulan ini justru mengalami kesulitan, sudah tentu aku tidak dapat meninggalkan begitu saja.”

Kiranya adik perempuan Kay Thian Hoa, Kay Thian Sian telah menikah dengan putra mahkota Negara suku Hwee. Negara itu berbatasan dengan Negara Su-tho-kok, maka keadaan Cho Peng Goan juga diketahui oleh Kay Thian Sian. Tetapi berita yang ditulis dalam surat, sudah tentu kurang jelas.

“Paman Cho dan bibi Cho aku sudah menjumpainya. Urusan ini sangat panjang ceritanya. Marilah kuceritakan sambil berjalan,” berkata Tiat Leng.

“Di atas gunung untuk sementara ini boleh dikata tenteram. Cho Peng Goan suami isteri telah meninggalkan negaranya. Apabila terjadi apa-apa di negara itu, negara suku Hwee mungkin akan merembet. Sudah ada aku yang mengantar nona Tiat pulang ke gunung, jikalau kau ingin menengok adikmu sebaiknya kau lekas berangkat,” berkata Kay Thian Hoa.

Can Pek Sin tiba-tiba berkata:

“Adik Leng, kau ikut paman Sin pulang, ke gunung, aku juga ingin minta diri pada kalian.” Sin Thian Hong berkata:

“Mengapa kau juga mau pergi? Dari sini ke atas gunung cuma tinggal dalam perjalanan tiga hari saja, mengapa kau tidak tengok paman Tiat dulu? Dulu kau lewat di bawah gunung Hok-gu-san, juga tidak naik ke gunung, paman Tiat yang mengetahui sangat memikirkan dirimu. Kali ini mendengar kabar kau akan datang bersama A Leng, sangat girang sekali, maka ia berpesan kepada kita menyambut kau ke atas gunung. Bagaimana kau tidak pergi menengoknya?”

“Aku sebetulnya ingin menengok paman Tiat akan tetapi, karena aku ada urusan sangat penting harus pergi ke kota Yang-ciu, terpaksa minta Sin cecu supaya memintakan maaf kepada paman Tiat.”

“Urusan penting apakah? Apakah hendak membantu Ciu cecu yang ingin merampas ransum negara itu? Aku disini meskipun belum mendapat kabar, tetapi menurut perhitunganku, mereka seharusnya sudah bertindak.”

“Aku masih hendak menengok seorang sahabat. Harap sampaikan kepada paman Tiat, aku pasti akan kembali menengoknya.”

Sin Thian Hong, adalah seorang laki-laki jujur, ia merasa bahwa alasan yang dikemukakan oleh Can Pek Sin tidak cukup kuat, maka ia ingin memberi nasehat kepadanya, tetapi Tiat Leng sudah berkata sambil tertawa:

“Paman Sin, kau jangan merintangi maksudnya. Sahabatnya juga adalah sahabatku. Memang benar ada urusan penting yang menantikannya. Aku sebetulnya juga ingin menyuruhnya lekas pergi, tetapi ia berkokoh hendak mengantar aku pulang ke gunung dulu, maka sekarang kita tidak bisa menahannya lagi.” Sin Thian Hong tertawa terbahak-bahak dan berkata:

“Aku sudah lupa kalian sudah merupakan jago-jago muda di kalangan Kang-ouw, sudah tentu kalian juga mempunyai sahabat baru. Baiklah, kalian tidak ingin memberi keterangan kepadaku, aku juga tidak bertanya lagi.”

“Soal ini bukan merupakan rahasia, nanti setiba di atas gunung, aku akan memberitahukan padamu. Baiklah, Can toako kau boleh pergi!” berkata Tiat Leng sambil tertawa, ia memberi isyarat dengan lirikan mata kepada Can Pek Sin maksudnya ia akan menyampaikan kepada ayahnya, juga dapat mengerti keadaannya.

Namun demikian, biar bagaimana Tiat Leng merasa terharu juga, sehingga matanya berkaca-kaca.

Can Pek Sin juga merasa agak sedih, tetapi ia hanya mengira Tiat Leng yang sudah bergaul sekian lama dengannya, merasa sedih ditinggalkan begitu saja. Sedikitpun tidak menduga bahwa gadis cilik itu ternyata sudah mengerti soal asmara.

Can Pek Sin menggenggam tangan Tiat Leng, tangan itu dirasakan agak dingin dan gemetar. Ia lalu berkata:

“Baiklah adik Leng aku hendak pergi, harap kau menjaga sendiri baik-baik dirimu. Selambat-lambatnya satu tahun, secepat-cepatnya setengah tahun aku pasti akan datang menengokmu. Kalau kakak Ceng mu sudah datang, tolong kau juga sampaikan kabarku kepadanya.”

“Ya, aku tahu. Kita semua mengharap sama-sama mengerti. Kau pergilah!”

Ucapan dalam hati sama-sama mengerti, tidak dimengerti oleh Sin Thian Hong, tetapi dipahami oleh Can Pek Sin.

Can Pek Sin mengerti asal usul ucapan itu, yang keluar dari mulutnya sendiri, tetapi ia tidak mengerti apa yang terkandung dalam maksudnya Tiat Leng. Mengapa ia harus mengucapkan perkataan demikian?

Sesaat itu, Can Pek Sin merasa agak bingung, sehingga kesannya terhadap gadis itu mulai berubah. Tiat Leng yang selama itu dikenal sebagai seorang anak perempuan yang sifatnya masih kekanak-kanakan dan nakal dalam waktu sekejap ini, agaknya sudah berubah menjadi seorang gadis remaja yang tidak dapat diduga dan dijajaki perasaannya.

Sin Thian Hong adalah seorang laki-laki kasar, sudah tentu tidak mengerti perasaan Tiat Leng, maka lalu berkata sambil tertawa:

“Benar-benar seperti anak kecil, Can toakomu tokh bukannya pergi yang tidak akan kembali, bagaimana kau harus menangis?”

Seraut wajah Tiat Leng menjadi merah, ia berkata sambil membereskan kuncirnya: “Siapa mengatakan aku menangis? Baiklah, toako, kau pergilah!”

Can Pek Sin setelah meninggalkan pesan lagi kepada Tiat Leng, ia melompat ke atas kudanya dilarikan menuju ke selatan.

<>

Selama berjalan dengan Tiat Leng ia tidak merasakan apa-apa, tetapi kini setelah berpisah dengannya, perjalanan itu dirasakan kesepian.

Sepanjang jalan pikiran Can Pek Sin terus bekerja. Ia teringat sikap aneh yang ditunjukkan oleh Tiat Leng waktu hendak berpisah, hingga pikirannya merasa tidak tenang. Dari ucapan Tiat Leng kembali teringat kepada diri Thie Po Leng. Sejak peristiwa menyedihkan di keluarga Thie, Can Pek Sin selalu merasa bahwa tidak akurnya hubungan antara kakek dan cucu itu, dialah yang menjadi gara-garanya, maka terhadap Thie Po Leng yang merasa tidak enak dan mengharapkan pengertiannya.

Dengan perasaan tidak tenang itu ia melakukan perjalanannya ke selatan. Untung sepanjang jalan itu tidak terjadi apa-apa? Hari itu tibalah di tepi sungai Tiang-kang.

Karena kota Yang-ciu letaknya di sebelah selatan sungai itu, maka setelah menyeberangi sungai besar itu, dalam waktu satu hari sudah bisa tiba.

Tetapi perhitungan manusia kadang-kadang tidak tepat. Hanya tinggal sepuluh pal lebih, di tempat penyeberangan, tiba-tiba turun hujan besar dan timbul angin puyuh sehingga sekujur badan Can Pek Sin basah kuyup. Oleh karena badai sedang mengamuk, maka di tepi sungai itu tidak tampak, sebuah perahupun.

Can Pek Sin mencari tempat untuk meneduh. Tempat itu ternyata sudah penuh orang, di antaranya terdapat beberapa ekor kuda.

Can Pek Sin sudah mempunyai sedikit pengalaman di dunia Kang-ouw. Ketika mendengar pembicaraan orang-orang itu serta badan mereka yang membawa senjata, jelaslah sudah orang-orang itu juga adalah orang-orang jago dari kalangan Kang-ouw. Tetapi karena ia hanya seorang diri, maka ia sedapat mungkin menjauhkan diri dari mereka.

Akan tetapi, walaupun ia tidak ingin mencari onar, orang lain sebaliknya yang mencari gara-gara dengannya.

Seorang laki-laki bertubuh pendek kecil berkata kepadanya sambil tertawa cengar cengir: “Saudara kecil, kudamu ini bagus sekali. Kau datang dari mana?”

Can Pek Sin menjawab sekenanya:

“Kemarin aku berangkat dari kota Teng-cu, sungguh tidak diduga hari ini ada badai besar.”

“Kita tidak bisa menyeberang sungai, malam ini terpaksa menginap di sini. Hawa udara dingin sekali, mari kau juga turut hangatkan dirimu di tempat dekat perapian,” berkata orang itu sambil menarik tangan Can Pek Sin.

Can Pek Sin manganggap orang itu sopan budi bahasanya. Siapa tahu ketika tangannya digenggam, ia merasakan ilmu jari tangan orang itu keras bagaikan jepitan besi. Ia kini baru mengerti bahwa orang itu sebetulnya sedang menguji kepandaiannya.

Can Pek Sin sangat mendongkol, tetapi ia tidak berkata apa-apa, sebaliknya diam-diam mengerahkan tenaga dalamnya sehingga sesaat itu tangannya menjadi keras bagaikan besi. Orang itu berseru kaget dan melepaskan tangannya, kemudian berkata sambil tertawa:

“Sungguh hebat kepandaian saudara kecil! Mari kita dekatkan ke tempat perapian.”

Karena disaat itu di luar hujan dan angin sedang mengamuk, kecuali masuk ke dalam gubuk yang ada perapian itu sudah tidak ada jalan lain, maka ia menerima baik ajakan orang itu.

Beberapa orang itu ketika menyaksikan Can Pek Sin menunjukkan kepandaiannya, semua nampaknya merasa heran, karena usia Can Pek Sin yang baru meningkat dewasa. Meskipun kepandaiannya itu belum tentu memenangkan setiap orang yang ada di situ, tetapi sudah cukup mengherankan mereka sehingga semua mata ditujukan kepadanya. Suara yang semula begitu riuh kini mendadak diam.

Kini Can Pek Sin baru dapat melihat bahwa di dekat tempat perapian ada rebah terlentang seorang laki- laki yang lengan tangannya, dibalut dengan kain. Darah masih nampak keluar, begitupun baju di bagian dadanya juga terdapat tanda darah. Jelaslah bahwa orang itu sedang menderita luka parah.

Orang-orang itu memberikan tempat untuk Can Pek Sin duduk, ia segera membuka baju luarnya yang basah digarang di tempat perapian. Seorang laki-laki tinggi besar berkata:

“Saudara kecil kau tentunya sudah lapar, mari makan sedikit daging panggang, aku disini masih ada arak baik.”

Orang itu mengambil sepotong paha kambing yang dimakan sendiri, kemudian mengambil buli-bulinya dan setelah minum dulu araknya, baru diberikan kepada Can Pek Sin. Ini merupakan suatu tanda dalam kalangan Kang-ouw untuk menunjukkan bahwa daging dan arak itu tidak ada racunnya.

Orang itu berkata pula sambil tertawa:

“Sudara kecil, jikalau kau berlaku merendah, ini berarti tidak pandang sahabat.”

Can Pek Sin karena belum tahu keadaan orang-orang itu, maka ia harus berlaku hati-hati. Sekalipun ia tidak takut diracuni, tetapi juga takut mabuk, maka ia hanya menyambuti dagingnya dan menolak untuk minum arak.

Ia menghabiskan sepotong paha kambing dan minum dua cawan teh. Badannya dirasakan hangat. Tetapi ia selalu waspada terhadap orang-orang itu, maka tidak suka bicara dengannya.

Orang orang itu semula memperhatikan dirinya, perlahan juga tahu bahwa Can Pek Sin adalah seorang yang baru muncul di kalangan Kang-ouw, maka perhatian agak berkurang.

Laki-laki yang terluka itu itu selalu diganti obatnya, nampaknya agak baikkan. Kini ia mulai memperhatikan kuda Can Pek Sin, kemudian mengucapkan kata pujiannya:

“Kuda yang bagus sekali!”

Seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya lalu berkata sambil tertawa:

“Bagaimana kalau dibanding dengan kuda yang kau jumpai hari ini?” Laki-laki luka itu mengeluarkan makian yang kasar, kemudian berkata, “Kau jangan mengejek aku!”

Ada beberapa orang di antaranya yang berkata: “He, kita masih belum tahu urusan ini kau ceritakanlah.” Pada saat itu dari luar tiba-tiba ada orang berkata: “Kalian sedang ribut apa?”

Beberapa laki-laki yang pinggangnya menggantung golok berjalan masuk, seorang nampaknya sebagai kepala, wajahnya kasar dan penuh brewok.

Orang-orang dalam gubuk itu pada berdiri seraya berkata:

“Toako, kau datang!”

Laki-laki brewokan itu membuka topinya yang lebar, segera ada orang yang menyambuti untuk di garang di atas perapian. Can Pek Sin yang menyaksikan sikap demikian hormat orang-orang itu terhadap laki-laki brewokan, ia menduga laki-laki brewokan itu, pastilah pemimpin mereka.

Laki-laki brewokan itu memperdengarkan suara di hidung, kemudian berkata:

“Teng Lo Si, kau bagaimana terluka? Siapa yang melukai dirimu? Apakah kau tidak menyebutkan namaku?”

Laki-laki terluka itu menjawab dengan suara gelagapan:

“Toako, siaotee sebetulnya sangat malu, karena telah menodai namamu.” “Siapa sebetulnya yang melukai dirimu? Katakanlah!” Laki-laki terluka itu mukanya nampak merah, seorang yang duduk di sampingnya lalu berkata: “Ia terluka di tangan seorang gadis yang nampaknya baru meningkat dewasa.”

Laki-laki berewokan itu berkata sambil mengerutkan keningnya:

“Teng Lo Si, apakah penyakit lamamu kambuh lagi, karena melihat nona cantik, kau lalu menggodanya?” Laki-laki terluka itu buru-buru membantahnya:

“Bukan, karena aku melihat kuda tunggangannya bagus sekali, aku ingin merampasnya untuk kuberikan kepada toako.”

“Apakah hanya itu saja?”

“Waktu aku hendak merampasnya, juga mengeluarkan kata-kata yang bersifat main-main dengannya.”

“Hem, kalau begitu kita dapat sesalkan orang turun tangan kejam terhadap dirimu. Bukankah aku sudah beberapa kali memperingatkanmu? Kalau kau ingin main perempuan boleh pergi ke tempat pelacuran, tetapi perempuan-perempuan di kalangan Kang-ouw tidak boleh kau ganggu. Coba kau pikir, seorang perempuan dengan seorang diri saja. Kalau tidak mempunyai kepandaian yang berarti, bagaimana berani berkelana di kalangan Kang-ouw

Orang yang disamping laki-laki terluka itu berkata:

“Tetapi perempuan itu sesungguhnya juga terlalu ganas. Lo Si hanya mengatakan beberapa kata yang sifatnya menggoda. Ia sudah membacok dua kali. Setelah Lo Si roboh di tanah, ia masih hendak menginjak punggung Lo Si.”

“Kalian tidak sanggup melawan kepandaiannya, tidak boleh disesalkan orang lain berlaku ganas. Hanya, sebelum kau terhina, apakah kau pernah menyebutkan namaku atau tidak?”

Laki-laki terluka itu berkata:

”Justru setelah aku menyebutkan nama toako, perempuan itu menambah lagi satu serangan golok, kembali menginjak badanku dengan kaki kudanya.”

Laki-laki berewokan itu wajahnya nampak berubah seketika, ia berkata:

“Dalam dunia Kang-ouw timbul percekcokan mulut atau berhantam dengan senjata, memang merupakan kejadian biasa. Karena kepandaiannya lebih tinggi dari pada kepandaianmu, kau dibunuh olehnya, aku tidak sesalkan perbuatannya. Yang tidak khususnya adalah, setelah kau menyebut namaku, tetapi kau masih tetap dihina, bahkan menginjak-injak badanmu. Ini berarti, bukanlah dirimu yang diinjak tetapi diriku. Ini benar-benar sangat keterlaluan!”

Laki-laki terluka itu menggunakan kesempatan itu hendak membakar hati pemimpinnya, ia berkata pula:

“Ya, apa yang membuat aku panas hati adalah soal ini. Perempuan itu sesungguhnya terlalu tidak pandang mata orang. Nama toako demikian tersohor di daerah selatan dan utara, tetapi nyatanya ia tidak pandang mata sama sekali!”

Laki-laki berewokan itu perdengarkan suara di hidung, kemudian berkata:

“Perempuan itu berjalan menuju ke mana? Sudah berjalan berapa lama?”

“Tadi di waktu tengah hari aku berjumpa dengannya di tepi sungai. Setelah ia melukai diriku lalu menyeberang ke sungai.

“Baiklah, besok pagi aku akan pergi menyeberang sungai, aku akan mencari tahu ia anak perempuan siapa, aku akan menangkapnya, supaya kau juga membacok dua kali di atas badannya!”  Laki-laki di sampingnya lalu berkata sambil tertawa:

“Lo Si, justru tidak tega membacok dirinya, toako. Bukankah lebih baik kau hadiahkan pada dia sebagai

isterinya saja?”

Semua orang yang mendengarkan itu pada tertawa besar:

Can Pek Sin yang mendengarkan pembicaraan itu perasaannya tidak enak, dalam hatinya diam-diam berpikir: Toako ini menganggap dirinya sendiri sebagai jagoan. Ia membiarkan anak buahnya berlaku sewenang-wenang, tentunya bukan orang baik-baik. Tetapi siapakah orang itu? Oh, oh, apakah bukan Thie Po Leng?

Ia tahu benar bahwa perangainya Thie Po Leng sangat keras. Ia tidak suka dirinya dihina, ilmu golok warisan keluarganya, juga merupakan ilmu golok sangat ganas. Apalagi ia justru dalam perjalanan menuju ke kota Yang-ciu.

Can Pek Sin semakin berpikir semakin pasti anggapannya bahwa perempuan itu pasti adalah Thie Po Leng. Ia ingin segera menyeberangi sungai untuk mencarinya dan menyampaikan kabar itu supaya ia berlaku waspada.

Sementara itu mata laki-laki berewokan itu tiba-tiba ditujukan kepadanya, kemudian berkata: “Siapakah bocah ini?”

Can Pek Sin dengan tenang menjawab:

“Aku adalah orang yang kebetulan lewat di sini, karena tidak bisa menyeberang, hingga meneduh di sini.” Laki-laki pendek kecil yang mengajak ia duduk tadi lalu berkata:

“Kepandaian saudara kecil ini hebat sekali karena aku lihat sekujur badannya basah kuyup, maka aku ajak dia duduk di sini.”

“Gubuk ini dibangun untuk keperluan orang banyak, siapa saja boleh datang meneduh. Aku tidak perlu menanyakan soal lainya. Bocah, kau jangan banyak pikiran yang bukan-bukan,” berkata laki-laki brewokan itu.

“Baik, terima kasih kalian mengijinkan aku berteduh disini,” berkata Can Pek Sin hambar.

Sang toako itu dengan mata tidak berkesip mengawasi kuda Can Pek Sin. Seorang yang datang bersama toako itu agaknya mengerti maksud pemimpinnya itu, maka lalu berkata sambil tertawa,

“Bocah, kepandaianmu bagus atau tidak? Aku tidak tahu, tetapi kuda tungganganmu ini benar-benar bagus sekali.”

Sehabis berkata orang itu lalu menghampiri kuda Can Pek Sin dan mengelus-elusnya. Apa mau dikata, kuda itu binal sekali. Ia tidak suka dielus-elus oleh orang lain, hingga menendang dengan kakinya.

Laki-laki itu menyingkir seraya berkata:

“Kuda ini masih binal, barangkali hanya toako kita yang mampu menjinakkannya.” Can Pek Sin lalu menghampiri dan berkata:

“Kau jangan mengganggunya lagi. Kuda ini hanya mengenal majikannya saja.”

“Benar? Aku ingin coba untuk menukar majikannya. Kau bocah berjalan dengan menunggang seekor kuda yang begini bagus, barangkali bisa membawa bahaya bagi dirimu! Apakah kau tidak takut ada orang yang akan merampasnya? Dengan terus terang aku bersedia memberikan uang untuk membeli kudamu ini. Sebetulnya adalah untuk kebaikan bagi dirimu!” “Terima kasih atas kebaikanmu. Meskipun aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, juga bukan satu jago, tetapi jika ada orang yang akan merampas kudaku ini, boleh saja coba-coba.”

Wajah laki-laki itu berubah, kemudian berkata:

“Aku dengar kau mempunyai kepandaian yang lumayan, baiklah aku mencobanya. Mari, lihat kau sanggup menerima berapa jurus seranganku?”

Sang toako ini mengerutkan keningnya, agaknya hendak melarang, tetapi akhirnya tidak berkata apa-apa.

Kiranya laki-laki itu, adalah pembantunya nomor dua. Ia pandai ilmu silat yang dinamakan Ngo-heng-koan, tetapi dalam pertandingan dengan Can Pek Sin itu, setiap serangannya dapat dielakan dengan mudah oleh Can Pek Sin, maka ia membiarkan mereka bertanding.

Can Pek Sin yang semula terus mengalah, tetapi laki-laki itu sungguh tidak tahu diri, maka akhirnya ia naik darah dan mengeluarkan ilmu serangannya yang meniru gerak gerik binatang terbang, ditambah dengan pelajaran menangkap tangan lawan yang didapat dari Thie Sui untuk balas menyerang.

Laki-laki itu masih melakukan serangannya mengarah dua ketiak Can Pek Sin. Karena Can Pek Sin mengenali ilmu silat itu, maka dapat mengelakkannya dengan mudah, bahkan tangannya dengan cepat menampar muka laki-laki itu.

Laki-laki itu meski berhasil mengelakkan tamparannya, tetapi mukanya dirasakan panas oleh sambaran anginnya. Hingga ia menjadi gusar dan menyerang semakin hebat.

Can Pek Sin juga tidak berani memandang ringan, dengan gerak tipunya yang lunak ia menyingkirkan serangannya orang itu. Tangan kirinya diam-diam menotok jalan darahnya. Laki-laki itu ternyata dapat melihat gelagat tidak baik, cepat-cepat merubah gerakannya.

Tepat pada saat itu tiba-tiba terdengar suara yang masih mengandung suara anak-anak: “Seorang tua menghina satu bocah sungguh tidak tahu malu!”

Kiranya selama pertandingan berlangsung, di situ datang lagi anak muda, yang agak mudaan nampaknya baru berusia enam atau tujuhbelas tahun. Perawakannya kurus sekali, wajahnya cukup bersih. Kalau ia tidak berdandan sebagai satu laki-laki gagah, dari mukanya mirip seorang wanita. Ucapan tadi keluar dari mulutnya.

Yang agak tua usianya kira-kira duapuluh tahun, badannya tegap dan gagah. Setelah melihat sejenak ia berkata:

“Samtee, kau jangan mencari urusan. Kepandaian orang itu jauh lebih tinggi dari padamu!”

“Benar. Orang tua itu nampaknya tidak sanggup melawan pemuda itu, hingga tidak perlu aku turut campur tangan.”

Orang-orang yang berada dalam gubuk itu sebetulnya sedang mencurahkan perhatian mereka kepada Can Pek Sin yang sedang berkelahi dengan kawannya itu, maka terhadap kedatangan kedua pemuda itu mereka tidak mau perduli. Tetapi setelah mendengar pembicaraan mereka, lalu diperhatikannya.

Saat itu meski hujan angin sudah berhenti, tetapi tanah dalam gubuk itu masih becek dan licin karena tersiram air hujan.

Walaupun kekuatan tenaga Can Pek Sin tidak seimbang dengan lawannya, tetapi ia mempunyai kepandaian meringankan tubuh yang sudah mahir sekali. Apalagi ia sudah pernah belajar ilmu pertempuran jarak dekat dan ilmu menangkis tangan lawan. Bertempur di tempat yang becek dan licin itu malah menguntungkan dirinya.

Dalam suatu kesempatan, lawannya menggunakan gerak tipu Harimau hitam menerkam hulu hati, kepalan tangannya yang besar menyerang dada Can Pek Sin, agaknya ingin sekaligus menjatuhkan dirinya. Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat Can Pek Sin merubah kepalan tangan kirinya menjadi serangan telapak tangan, ia memutar balik ke dalam, lengan tangan kanan menyikut, dengan satu gerakan yang manis ia mengelakkan serangan lawannya.

Karena lengan tangan lawannya tertindih oleh sikutnya, tidak dapat mengeluarkan tenaga. Selagi hendak ditarik kembali, serangan tangan Can Pek Sin yang kiri itu sudah sampai, mengarah jalan darah Thay- yang-hiat.

Karena jalan darah itu merupakan jalan darah sangat penting dalam anggota badan manusia, sudah tentu lawannya itu tidak memberikan kesempatan padanya untuk mencapai maksudnya.

Namun demikian, saat itu ia sudah berada dalam ancaman tangkapan tangan Can Pek Sin. Untuk menghindarkan kedua-duanya sudah tentu tidak mungkin, maka akhirnya ia miringkan kepalanya, jangan sampai terkena serangan Can Pek Sin.

Can Pek Sin yang sudah berada di atas angin, namun tidak mau melukai musuhnya, maka ia merubah kepalannya menjadi satu dorongan dengan telapakan tangan, mendorong pundaknya sambil membentak: “Pergilah!”

Meski dorongannya itu tidak menggunakan sepenuh tenaga, tetapi badan lawannya itu sudah kehilangan seimbangan, sehingga jatuh roboh terjengkang di tanah yang becek itu.

Pemuda berwajah putih bersih itu tertawa terbahak-bahak ketika menyaksikan keadaan orang itu katanya sambil tertawa:

“Orang besar menghina anak kecil, akhirnya kehilangan muka!”

Can Pek Sin tidak mau menurunkan tangan kejam. Hal itu dapat diketahui oleh ‘toako’ itu, tetapi karena orang-orang itu biasanya memang suka berlaku sewenang-wenang, lagi pula kejam dan buas perangainya, setelah dibanting secara demikian, lalu menjadi marah. Apalagi setelah diejek oleh pemuda itu, ia segera melompat bangun, sambil menggeram hebat. Kini ia menerjang pemuda bersih itu.

Karena ia tahu bukan tandingan Can Pek Sin maka ia tidak berani balas menyerangnya, sebaliknya hendak menimpahkan amarahnya kepada pemuda itu.

Sang toako hendak mencegah, tetapi sudah terlambat. Tiba-tiba terdengar suara beleduk yang amat nyaring, tetapi yang terpukul bukannya pemuda bermuka putih bersih itu, melainkan si penyerangnya, ialah lelaki tegap gemuk itu.

Kali ini lebih hebat, sehingga ia tidak dapat bangun dan perlu dibimbing oleh kawannya.

Pemuda yang usianya agak tuaan itu sejak tadi diam saja, saat itu ia baru membuka mulut mengeluarkan caciannya:

“Kau manusia tidak tahu diri ini benar-benar sangat kurang ajar! Akulah yang memukul kau. Kalau tidak senang, boleh kita berdua main-main lagi beberapa jurus.”

Yang lebih muda usianya itu lalu berkata sambil tertawa:

“Koko, kau seharusnya memberikan kepadaku yang memberi hajaran kepadanya.”

Kiranya pemuda yang lebih tua usia itu tadi sudah menggunakan gerakanya yang cepat luar biasa, sudah berhasil mematahkan pergelangan tangan orang itu dan kemudian dipukulnya sehingga jatuh. Tetapi gerakannya itu terlalu cepat sekali, sebagian besar orang-orang dari golongan orang-orang jahat itu masih belum melihat dengan tegas. Kalau bukan pemuda itu sendiri yang mengaku, orang-orang itu masih belum tahu kalau sang kakak atau sang adik yang memukulnya.

Laki-laki itu dalam golongan kawanan berandal itu termasuk orang kuat yang menduduki kursi keempat. Tetapi kini nyatanya sudah dipukul jatuh oleh pemuda itu, hanya dalam sekejap mata saja, sedangkan kawanan berandal itu tidak tahu dengan cara bagaimana dipukulnya, maka seketika itu mereka pada tertegun. Sang toako itu dalam hati mengerti, anak buahnya itu sebab dijatuhkan oleh Can Pek Sin sehingga matanya sudah gelap, dengan sendirinya memberikan kesempatan baik bagi pemuda itu. Namun demikian, pemuda itu dapat merobohkan anak buahnya yang mendapat tempat nomor empat dalam golongannya dengan sangat mudah, kepandaiannya juga tidak boleh dipandang ringan.

Karena ia sendiri sebagai pemimpin atau ketua dalam golongan itu, kalau melayani segala anak-anak sekali pun bisa merebut kemenangan, tetapi juga akan membuat tertawaan orang banyak.

Namun demikian, ia juga tidak akan membiarkan ‘anak-anak’ itu terlalu mangkak. Sang toako itu lalu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:

“Kalau tidak berkelahi, niscaya tidak saling kenal. Lo Sam bangun, lekas minta maaf, kepada saudara- saudara kecil itu, mari kita bersahabat!”

Tetapi karena orang itu tangannya patah, sehingga tidak bisa bangun.

Sang toako itu setindak demi setindak berjalan menghampiri tanah yang becek itu, yang diinjak olehnya, ternyata tidak meninggalkan bekas kakinya. Keruan saja hal tersebut mengejutkan Can Pek Sin dan kedua pemuda itu.

Laki-laki yang terjatuh di tanah itu sekujur badannya penuh kotoran lumpur tanah. Toako itu agaknya takut tangannya kotor, ia hanya menggunakan dua jari tangannya untuk mengait badan laki-laki yang besar itu.

Dari perbuatannya itu menandakan bahwa toako itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sudah sempurna.

Setelah laki-laki itu disembuhkan tangannya yang patah, di bawah perintah toakonya, dengan menindas perasaan malunya, terpaksa minta maaf kepada tiga pemuda itu.

Melihat musuhnya sudah minta maaf, kemarahan Can Pek Pin lalu reda.

Sang toako itu menyilahkan tiga pemuda itu duduk di dekat perapian lagi, sementara itu ia akan tidur lebih dulu. Sebagai dari satu golongan, sudah tentu ia mengerti peraturan dunia Kang-ouw, maka ia tidak menanyakan asal usul ketiga pemuda itu.

Waktu itu sudah jam tiga malam, orang-orang itu mengadakan penjagaan dengan bergiliran, yang lainnya lalu pergi tidur.

Dua pemuda itu duduk bersama dengan Can Pek Sin. Pemuda yang usianya agak muda itu menanya kepada Can Pek Sin:

“Toako ini, kepandaiannya bagus sekali, siapakah namamu yang mulia?”

“Kepandaian yang tidak berarti ini, sebetulnya sangat memalukan saja. Aku orang she Ong,” jawabnya Can Pek Sin yang tidak mau memberitahukan nama aslinya, ia menggunakan she ibunya.

Pemuda itu terkejut: “Kau she Ong? Hem, gerak tipu ilmu silatmu yang meniru gaya binatang terbang ini...”

Karena sang kakak menyentuh, pemuda itu maka tiba-tiba bungkam, sebaliknya dengan pandangan mata heran mengawasi Can Pek Sin.

“Di waktu masih anak-anak aku belajar ilmu silat ini, aku juga tidak tahu apa namanya. “Saudara berdua dari keluarga she apa?” berkata Can Pek Sin.

Sang toako yang tadi sudah tidur mendengkur, saat itu tiba-tiba membalikkan badannya, dan bangun tidur lagi.

Perbuatan itu menimbulkan kecurigaan Can Pek Sin, apakah ia pura-pura tidur dan mencuri dengar pembicaraan mereka? Sebab gerak tipu serangan tangan yang meniru gerakan dan gaya burung terbang itu, adalah kepandaian keturunan keluarga Can. Apabila orang itu itu merupakan ahli yang banyak pengetahuan dari rimba persilatan, pasti mengetahui bahwa ia adalah keturunan dari keluarga Can.

Ia juga terkejut bahwa pemuda yang usianya masih muda ini ternyata dapat mengenali gerak tipu serangannya itu.

Namun demikian, terhadap dua pemuda itu ia tidak menduga jelek, sebab dua pemuda itu tadi pernah membantu dirinya hanya sekedar untuk membela keadilan. Apalagi mereka nampaknya juga tidak mirip dengan orang-orang yang licik, terutama yang usianya lebih muda, masih belum lenyap sifat kekanak- kanakannya.

Apa yang harus dijaga, ialah rombongan orang-orang yang macamnya seperti kawanan bajak laut itu. Setelah ia mengetahui bahwa toako yang menjadi pemimpin rombongan itu ternyata pura-pura tidur, tetapi nyatanya sedang mencuri dengar pembicaraan orang.

Tetapi kemudian ia berpikir: Aku dengan ia tidak ada permusuhan apa-apa, meskipun tadi aku berkelahi dengan anak buahnya, tetapi ia sudah menghabiskan perkelahian itu. Sekalipun ia mengetahui asal usulku, kiranya akan juga tidak menyulitkan diriku.

Walaupun hatinya merasa tidak tenang tetapi karena harus menjaga tata tertib, ia juga menanyakan she dua pemuda itu.

Pemuda yang berusianya agak lebih tua lalu menjawab:

”Kita orang keluarga she Hee. Kita berdua saudara, ingin mencari famili di kota Yang-ciu. Aku bernama Hee Cun dan adikku ini bernama Hee Ciu.”

Hati Can Pek Sin heran, karena nama itu agaknya sangat istimewa. Pemuda yang agak muda itu segera berkata sambil tertawa,

“Kau she Ong, dan kita she Hee. Kau hendak ke mana?”

Can Pek Sin terkejut. Ia merasa bahwa pertanyaannya itu agak aneh, tiba-tiba ia seperti tersadar, pikirannya: Aku menggunakan she ibuku. Apakah sudah diketahui oleh mereka? Pemuda ini agaknya mengisiki aku bahwa mereka juga memakai she ibunya. Tetapi mengapa mereka harus mengisiki aku?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar