Jiwa Ksatria Jilid 07

 
 “Khong-khong Jie yang mendengar kabar itu, karena ia adalah seorang yang suka bertanding dengan orang yang berkepandaian tinggi, maka belum sampai Hoa Ciong Tay mencarinya lebih dulu sudah datang ke tempatnya untuk menantang. Tetapi kepergiannya itu ternyata tersia-sia, karena entah dalam sekejap Hoa Ciong Tay telah pindah ke lain tempat.

“Selanjutnya tidak terdengar lagi kabar cerita dirinya, juga tidak pernah menampakkan dirinya di dunia Kang-ouw. Ada orang mengira Hoa Ciong Tay takut kepada Khong-khong Jie, ada pula yang berkata, bahwa berita tentang Leng Ciu Siangjin yang minta pertolongan kepada Hoa Ciong Tay itu tidak benar. Pendek kata urusan ini cuma tersiar sebentar kemudian lenyap dengan sendirinya, maka masih belum terhitung suatu permusuhan.”

“Pui susiok, kau membicarakan soal ini, aku merasa sedikit heran.” “Apa yang diherankan?”

“Aku pernah minta keterangan urusan pertandingan pedang antara suhu dengan Leng Ciu Siangjin, suhu dan Sukong (Khong-khong Jie) semuanya agaknya tidak suka membicarakan soal itu. Suhu bahkan memaki aku, katanya aku tidak mau belajar silat secara tekun, sebaliknya suka mengurus urusan orang lain.

“Malam itu aku mencuri dengar pembicaraan suhu dengan Sukong. Sukong berkata: Kalau hatimu merasa tidak senang, mengapa kau tumpahkan kepada anak-anak? Suhu berkata: mengapa aku tidak senang? Aku hanya takut kau merasa cemburu! Sukong berkata: mana bisa? Dahulu aku tidak tahu persoalannya, hingga ingin cari orang itu untuk bertanding. Nampaknya ia tidak berani bertanding dengan aku. Setelah aku dengar pembicaraan demikian aku takut diketahui oleh Suhu, maka tidak berani mencuri dengar lagi. “Pui susiok, sekarang kau menceritakan kisah tentang diri Hoa Ciong Tay Lo-cianpwee aku sekonyong- konyong teringat urusan itu. Orang yang dibicarakan oleh suhu dan sukong itu, apakah adalah Hoa Ciong Tay Lo-cianpwee?”

Pui Pek Hu juga tidak mengerti, tetapi ia dapat menarik suatu kesimpulan bahwa di antara Hoa Ciong Tay dengan suami istri Khong-khong Jie, mungkin masih terselip suatu rahasia. Maka ia lalu berkata sambil tertawa:

“Kata suhumu memang tidak salah, anak-anak tidak seharusnya mencampuri urusan orang tua. Sebaiknya kita lekas pulang, mungkin bibimu sudah cemas menantikan kedatanganmu.”

“Suhu menjatuhkan Leng Ciu Siangjin, dan Sukong menggertak kabur Hoa Ciong Tay. Hal ini bagi mereka merupakan urusan yang patut dibuat bangga, kalau aku menanyakan kepada mereka bagaimana dianggapnya mencampuri urusan orang lain?”

Namun demikian, Tiat Leng masih dengar ucapan Pui Pek Hu, ia mengerahkan pula ilmunya meringankan tubuh, sebab ia sendiri memang juga segera ingin bertemu lagi dengan bibinya.

Saat itu sudah menjelang subuh, langit di sebelah timur, sudah mulai terang. Baru saja mereka mendekati jalan pegunungan, hanya tinggal seperjalanan lima atau enam pal sudah akan tiba di rumah, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda. Ketika Pui Pek Hu dapat menyaksikan, wajahnya berubah seketika, Tiat Leng dan Can Pek Sin juga mengeluarkan seruan terkejut.

Apa yang dilihat oleh Pui Pek Hu justru itu tiga orang yang pernah dijumpainya di tengah jalan sewaktu ia berangkat menyusul Tiat Ceng bertiga. Saat itu tiga orang itu sedang melarikan kudanya keluar dari pekarangan belakang rumah keluarga Pui. Jika dilihat keadaannya mungkin mereka habis berkunjung dari rumah keluarga Pui.

Can Pek Sin lalu berkata:

“Pui susiok, tiga orang itu aku kenal semuanya. Satu di antaranya adalah musuh besarku yang binasakan ayah dan ibu!”

Sementara itu tiga penunggang kuda itu sudah kabur jauh meninggalkan mereka. Pui Pek Hu terperanjat, ia bertanya:

“Apakah Touw Goan?”

“Benar, dan dua yang lainnya satu adalah Pok Sui Thian, satu lagi adalah Say Ban Hiong. Dua orang itu kemarin dulu hendak merampas kereta barang-barang kita dan pernah bertempur dengan kita.”

Tiga orang itu semua merupakan orang-orang golongan hitam yang berkepandaian tinggi dan ganas perbuatannya. Meski Pui Pek Hu dulu belum pernah melihat mereka, tetapi sudah pernah mendengar nama mereka, maka ketika mendengar keterangan Can Pek Sin, bukan kepalang terkejutnya dengan tidak bertanya lebih jauh ia ajak ke dua anak muda itu pulang.

Tiat Leng dan Can Pek Sin juga ketakutan, mereka merasa khawatir kalau-kalau bibinya mengalami kesulitan apa-apa.

Betulkah Jie Im Nio mengalami kejadian tidak enak? Marilah kita balik untuk menceritakan kejadian yang dihadapinya.

<>

Malam itu Jie Im Nio tinggal sendirian di rumah, sampai hampir kira-kira jam lima pagi belum nampak suaminya pula, sedangkan perutnya sudah mulai sakit. Ini ada tanda-tanda hendak melahirkan.

Jie Im Nio baru pertama kali hendak melahirkan anak, tetapi segala pengetahuan mengenai perempuan yang hendak melahirkan anak, ia pernah minta keterangan kepada dukun beranak yang sudah banyak berpengalaman. Ia tahu bahwa rasa sakit itu tidak akan terus menerus, dan kalau rasa sakitnya sudah memuncak itu tandanya hendak melahirkan.

Sebagai seorang yang baru pertama kali hendak menjadi ibu, dalam hatinya sedikit banyak tentu merasa girang bercampur takut. Jie Im Nio meskipun terhitung seorang perempuan gagah tetapi juga tidak terkecuali.

Saat itu semua barang keperluan untuk bersalin sudah disediakan, ia hanya mengharap jangan sampai susah melahirkan. Dalam keadaan yang demikian, ia memikirkan diri suaminya mengapa masih belum pulang.

Sebagai seorang dunia Kang-ouw yang selalu mengutamakan kesetiaan kawan, maka ia menyuruh suaminya pergi ke gedung Kepala daerah, untuk memberi bantuan kepada Tiat Ceng bertiga.

Karena hampir pagi suaminya masih belum kembali sehingga ia harus memikul dua rasa kekhawatiran. Dengan seorang diri ia duduk di pinggir jendela, setiap kali mendengar suara berkeresek ia selalu melongok keluar.

Selagi mengharap kedatangan suaminya, sekonyong-konyong didengarnya suara kaki kuda.

Rasa sakit di perutnya baru saja berhenti, sebagai seorang Kang-ouw kawakan, ia segera dapat mengenali bahwa itu adalah suaranya tiga ekor kuda.

Jie Im Nio merasa terkejut dan sangsi, pikirnya: Apakah mereka telah berhasil merampas kuda musuhnya dan dibawa pulang? Tetapi mengapa cuma tiga ekor? Apakah ada seorang yang terjatuh di tangan musuh?

Sebelum pikirannya lenyap kuda itu sudah berhenti di hadapan pintu rumahnya, lalu terdengar suara orang mengetuk pintu dan memanggil-manggil:

“Pui Pek Hu, apakah Pui tayhiap ada di rumah?” Suaranya ternyata masih asing baginya.

Pelayan wanita Jie Im Nio dulu pernah menjadi tentara wanita dan sudah bertahun-tahun mengikuti dirinya, ia berkeberanian besar. Dengan menyalakan api ia melongok ke luar, dari lubang pintu segera dapat melihat tiga laki-laki beroman buas dan bengis, maka segera ditegurnya:

“Kalian siapa? Ada urusan apakah datang kemari?” Tiga orang itu menjawab dengan serentak:

“Sahabat dari dunia Kang-ouw. Urusan dalam dunia Kang-ouw. Setelah berjumpa dengan Pui tayhiap sudah tentu kita nanti akan menerangkan.”

Pelayan wanita itu berkata:

“Tengah malam buta, majikan kita tidak akan melayani kamu, kalau ada urusan besok boleh datang lagi.” Tiga orang itu tertawa terbahak-bahak, seorang di antaranya berkata:

“Pui Pek Hu, kau juga terhitung seorang Kang-ouw, bagaimana kau tidak mengerti aturan? Kita masih memberi muka kepadamu, maka datang minta bertemu secara hormat. Kita juga bukan orang yang tidak punya nama, bagaimana kau perlakukan demikian sombong? Apakah kau benar-benar ingin kita berlaku tidak sopan? He, he. hem! hem! Kalau kau tidak membuka pintu, apakah kau kira kita tidak bisa masuk?”

Salah satunya lagi berkata:

“Apakah Pui Pek Hu tidak ada di rumah?” Yang lainnya lagi berkata:  “Tidak ada di rumah, kita juga akan masuk menggeledah.”

Satu di antara kembali menggedor pintu sambil bertanya:

“Majikanmu sebetulnya ada di rumah atau tidak?”

Selagi pelayan wanita itu hendak menjawab, sekonyong-konyong terdengar suara Jie Im Nio: “A-hong buka pintu biarlah mereka masuk!”

Kemudian berkata kepada tetamunya: “Orang yang datang dari jauh adalah tetamu, kita suami isteri sudah tentu perlakukan kalian secara sepantasnya. Silahkan masuk!”

Ternyata Jie Im Nio sudah tahu bahwa kedatangan tiga orang itu mengandung maksud tidak baik. Jikalau mereka tahu Pui Pek Hu, tidak berada di rumah, barangkali mereka akan berlaku lebih kurang ajar, dalam keadaan demikian terpaksa ia harus berlaku berani untuk mempersilahkan mereka masuk.

Perkataan itu diucapkan oleh Jie Im Nio dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam. Meskipun terpisah dari beberapa kamar, suaranya masih terdengar amat tegas dan nyaring, seolah-olah diucapkan di samping telinganya. Tetapi dalam ucapannya itu tidak dijelaskan Pui Pek Hu ada di rumah atau tidak.

Tiga orang itu ketika mendengar ucapan Jie Im Nio, semuanya terperanjat dan saling memandang, dalam hati mereka masing-masing berpikir: Suami isteri Pui Pek Hu benar-benar bukan cuma nama kosong belaka. Jie Im Nio hanya seorang wanita tetapi juga demikian hebat, suaminya mungkin lebih hebat lagi.

Tiga penjahat itu semula mengukur kekuatan kedua pihak, sebetulnya sudah yakin akan kekuatan pihaknya sendiri. Tetapi kekuatan tenaga dalam yang diunjukkan oleh Jie Im Nio, ternyata jauh di luar perhitungannya. Sedang dalam rumah itu ada persiapan atau tidak, mereka juga titdak tahu. Maka mereka malah tidak berani masuk secara gegabah.

Tetapi tiga orang itu meskipun masing-masing merasa curiga, tetapi tiada seorangpun di antara mereka yang mau mengunjukkan kelemahannya dihadapan kawan sendiri.

Setelah bersangsi sejenak, satu di antaranya berkata dengan suara perlahan: “Biar bagaimana kita masuk saja, kemudian bertindak dengan melihat gelagat.”

Dua orang yang lainnya dapat mengerti maksud kawannya, maka dapat menyetujuinya dan kemudian masuk bersama-sama.

Jie Im Nio menggunakan akal mengosongkan kota. Sebetulnya hendak menggertak tiga orang itu, tidak diduga bahwa tiga penjahat itu semua orang Kang-ouw kawakan, sekalipun hatinya sangsi, juga tidak dapat digertak mundur.

Jie Im Nio sudah menyalahkan pelita, dengan tenang duduk di ruangan tamu. Ketika melihat datangnya tiga orang itu, lalu berkata dengan nada suara dingin:

“Maafkan aku tidak bisa keluar. Siapakah tiga sahabat itu? Dan ada urusan apa datang ke mari?”

Tiga orang itu menyaksikan Jie Im Nio memakai pakaian gerombongan, perutnya kelihatan gendut seperti sedang mengandung, hingga agak terkejut. Disamping itu mereka juga lihat sikap dan pembicaraannya perempuan itu sangat tenang, maka mereka tidak dapat menduga sampai dimana tingginya kepandaian dia itu.

Tiga penjahat itu juga tidak berani berlaku kurang sopan, mereka lalu memberitahukan nama masing- masing ialah Pok Sui Thian, Say Ban Hiong dan Touw Goan.

Kiranya hari itu Pok Sui Thian, Say Ban Hiong dan kakak beradik Pan, setelah terpukul mundur, oleh Hoa Ciong Tay, dua saudara Pan karena terluka, telah balik ke gunung bersama anak buahnya. Pok Sui Thian dan Say Ban Hiong merupakan penjahat, yang suka bekerja sendirian. Setelah dikalahkan mereka masih penasaran, sehingga masih berdiam di bukit sekitar tempat kejadian itu untuk menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka dapat menyaksikan bagaimana Tiat Ceng dan kawan-kawannya dikepung oleh tentara kerajaan juga dapat menyaksikan bagaimana Hoa Ciong Tay melindungi mereka nerobos keluar kepungan itu. Tetapi Tiat Ceng bertiga yang menunggang kuda telah lebih dahulu terlolos dari bahaya, sedangkan Hoa Ciong Tay dan putrinya setelah terlepas dari kepungan, berjalan menuju ke lain jurusan.

Pok Sui Thian dan Say Ban Hiong meskipun satu sama lain masih menaruh dendam, tetapi karena mengalami nasib sama, kedua orang itu akur lagi. Maka Pok Sui Thian lantas berunding dengan Say Ban Hiong:

“Apakah kau lihat itu perwira yang bersenjata anakan tembaga? Orang itu adalah Pak-kiong Hong yang dahulu pernah mengacau di di daerah barat utara, entah bagaimana ia mau bekerja pada kepala daerah Tian Sin Cie.”

Say Ban Hiong berkata:

“Benar, kepandaian ilmu silat Pak-kiong Hong sangat luar biasa, Hoa Ciong Tay juga belum mampu menjatuhkan dirinya.”

Sebetulnya sewaktu dua orang itu bertempur, Pak-kiong Hong yang mengalami kekalahan tetapi karena pertempuran berlangsung dalam kepungan tentara yang sedemikian banyak jumlahnya, maka Pok Sui Thian dan Say Ban Hiong yang menyaksikan dari jarak jauh, tidak dapat lihat dengan tegas.

“Aku kenal dengan Pak-kiong Hong itu. Kali ini kita tidak berhasil merampas barang-barang berharga itu, sudah menanam bibit permusuhan dengan Tiat Mo Lek. Tiga bocah itu nanti kalau memberitahukan kepada orang tuanya, barangkali Tiat Mo Lek akan mencari kita untuk membuat perhitungan. Walaupun kita sudah bertekad hendak bermusuhan dengannya, maka juga tidak perlu merasa takut, akan tetapi Tiat Mo Lek mempunyai kawan banyak, dengan bermusuhan dengannya, biar bagaimana merupakan bahaya.

“Menurut pendapatku, sebaiknya kita pergi kepada Pak-kiong Hong untuk sementara kita berlindung di bawah pengaruhnya kepala daerah. Kemudian kita bertindak lagi dengan melihat gelagat. Andaikata Tian Sin Cie berlaku baik kepada kita, kita boleh mengabdi kepadanya. Jikalau tidak kita perlahan-lahan mengumpulkan kekuatan, sedapat mungkin kita ajak Pak-kiong Hong mendirikan kekuatan sendiri di dalam rimba persilatan. Kau pikir bagaimana?”

“Baik sih baik, tetapi dengan tangan kosong kita pergi menghadap orang, tentunya akan di pandang rendah. Menurut pikiranku, kita harus membawa bingkisan sebagai tanda perkenalan.”

“Benar, aku juga berpikiran demikian. Mari kita tangkap tiga bocah itu sebagai tanda jasa kita, selain dari pada itu, kita juga dapat membalas dendam kekalahan kita hari ini.”

Oleh karenanya maka kedua penjahat itu diam-diam mengikuti perjalanan Tiat Ceng dan Tiat Leng tetapi karena Tiat Ceng bertiga menunggang kuda, sudah tentu dua penjahat itu tak dapat mengejarnya. Tetapi ketika Tiat Ceng, bertiga memasuki lembah telah diketahui oleh mereka, bahkan akhirnya diketahui pula oleh mereka bahwa tiga pemuda itu sembunyi di rumahnya Pui Pek Hu.

Pok Sui Thian dan Say Ban Hiong tahu benar kegagahan Pui Pek Hu suami istri, hingga mereka tidak berani berlaku gegabah, tetapi mereka juga tak mau melepaskan rencananya maka terpaksa mencari pembantu. Apa mau dengan secara kebetulan telah berjumpa dengan Touw Goan yang baru ke luar dari lembah Phoan-liong-kok.

Touw Goan tidak ingin mengabdi kepada Tian Sin Cie, ia ada mempunyai rencana sendiri, mengenai barang-barang berharga itu, dianggap miliknya keluarga Touw. Ia bermaksud untuk pura-pura mengabdi kepada kepala daerah, kemudian mencari kesempatan untuk mencuri balik barang-barang itu. Dengan demikian mereka bertiga lalu setuju satu sama lain untuk bekerja sama.

Tiga orang itu ketika memasuki rumah keluarga Pui, ternyata tidak dapat melihat Pui Pek Hu begitu juga Tiat Ceng bertiga. Tidak satupun yang menyambut kedatangan mereka. Hal ini menimbulkan rasa curiga dalam hati mereka, khawatir akan terjebak.

Pok Sui Thian yang pertama membuka suara, ia berkata:  “Dimana Pui tayhiap? Kedatangan kita justru hendak mengunjunginya.”

Selama berbicara matanya berputaran untuk melihat keadaan di sekitarnya untuk mengetahui, di situ ada

sembunyi atau tidak.

Jie Im Nio meskipun belum pernah melihat mereka, tetapi sudah dengar namanya, maka diam-diam ia merasa terkejut, dalam hatinya lalu berpikir: Kabarnya suami isteri Can Goan Siu mati ditangan orang she Touw ini. Pok Sui Thian dan Say Ban Hiong juga merupakan orang-orang kuat di golongan hitam. Sekalipun aku tidak mengandung, barangkali juga tidak sanggup melawan mereka.

Tetapi jago betina itu, disamping ilmu silatnya yang tinggi, juga sangat cerdik dan banyak akal. Meski dalam hatinya merasa gentar tetapi sikapnya masih tenang-tenang saja, dengan suara hambar ia berkata:

“Tuan-tuan datang dari tempat jauh, duduklah dulu, A-hong sediakan teh untuk tamu!”

Ia pikir hendak mengulur waktu, maka memperlakukan tetamunya dengan manis budi, karena apabila terang tanah, Pui Pek Hu dan Tiat Ceng bertiga sudah pasti akan kembali.

Akan tetapi tiga orang itu semuanya merupakan orang-orang Kang-ouw kawakan, sudah tentu tak mudah kena diakali. Say Ban Hiong berdiri di ambang pintu lalu berkata:

“Tidak usah sedia teh, kita ingin bertemu muka dengan tuan rumah.”

“Aku juga tuan rumah. Kalian ingin bicara apa? Mengapa tidak dibicarakan dengan aku saja?” berkata Jie Im Nio.

Pok Sui Thian berkata dengan perasaan tak senang:

“Pui tayhiap sebetulnya tak ada di rumah atau tidak suka menjumpai kita?” Karena tetamu itu terus mendesak, Jie Im Nio terpaksa berkata:

“Baiklah, kalian duduk sebentar, suamiku akan segera kembali. A-hong, kau panggil tuan pulang, ia berada di rumahnya salah satu sahabatnya yang tidak jauh letaknya dari sini, sebentar ia akan pulang.”

Jie Im Nio suruh pelayannya keluar sebetulnya masih mengandung maksud lain karena apabila terjadi pertempuran, pelayan itu dapat menyelamatkan jiwanya.

Tetapi pelayan wanita itu sangat setia, ia tidak suka meninggalkan majikannya dalam keadaan sangat berbahaya itu.

Pok Sui Thian sangat girang ia berkata:

“Oh, kiranya Pui tayhiap benar-benar tidak ada di rumah. Baiklah, tidak perlu panggil dia pulang, urusan kita ini sangat sederhana, hanya ingm minta beberapa orang saja.

Jie Im Nio berkata:

“Siapa? Aku tidak mengerti maksud kalian.”

Touw Goan tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:

“Nyonya Pui, kita semua adalah orang-orang Kang-ouw, lebih baik bicara terus terang. Aku ada mempunyai dua famili dari tingkatan muda, mereka adalah putra putrinya Tiat Mo Lek, Tiat Ceng dan Tiat Leng. Mereka berlaku kurang ajar terhadap aku yang masih merupakan orang tingkatan tua maka aku hendak mengajar adat kepada mereka.

“Masih ada satu lagi anak muda yang bernama Can Pek Sin, adalah anak musuh besarku, maka aku juga hendak membuat perhitungan dengannya. Tentang dirinya tiga orang itu kita sudah menyelidiki dan mengetahui benar ada sembunyi di dalam rumahmu. Asal kau suka menyerahkan tiga orang itu, kita tidak berani mengganggu kalian suami isteri.”  Jie Im Nio perdengarkan suara ketawa dingin, kemudian ia berkata:

“Kalian ternyata belum tahu persis keadaan sebenarnya. Memang benar, tiga orang itu pernah datang ke

rumahku tetapi mereka telah pergi lagi.”

Touw Goan perdengarkan ketawa di hidung, kemudian berkata:

“Aku tidak percaya! Nyonya, aku nasehatkan padamu sebaiknya kau serahkan tiga bocah itu!” Jie Im Nio sudah hilang sabarnya, dengan alis berdiri ia berkata:

“Kau tidak percaya, habis mau apa? Hem, jangan berkata bahwa memang benar mereka sudah pergi, sekalipun masih ada disini aku juga tidak hisa menyerahkannya kepada kalian!”

Touw Goan yang menyaksikan sikap nyonya itu yang agaknya ada yang diandalkan hingga sedikitpun tidak merasa takut, sebaliknya malah merasa curiga.

Pok Sui Thian lalu berkata sambil tertawa cengar-cengir:

“Nyonya Pui, kita tadi sudah kata, kita tidak berani mengganggu nyonya. Tetapi tiga bocah itu, tidak boleh tidak kita harus dapatkan, sekarang bagaimana? Begini saja, kalau benar mereka sudah pergi kita minta supaya nyonya ajak kita sama-sama menangkap mereka kembali.”

Kata-katanya itu diucapkan dengan sikap merendah, tetapi sebetulnya hendak menawan Jie Im Nio dijadikan barang tanggungan.

Pelayan perempuan itu sekonyong-konyong meludahi muka Pok Sui Thian ia berkata dengan keras:

“Apakah matamu tidak lihat bahwa nyonya sedang mengandung? Kau menghina seorang perempuan yang sedang mengandung, sungguh tidak tahu malu!”

Pok Sui Thian gusar, ia mengangkat tangannya hendak menghajar pelayan perempuan itu. Jie Im Nio lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Ha, sungguh gagah sekali!”

Pok Sui Thian menganggap dirinya seorang gagah dari golongan hitam. Diejek demikian oleh Jie Im Nio mukanya lalu merah, ia lalu urungkan maksudnya hendak membinasakan pelayan perempuan itu, hanya memukul jatuh padanya seraya berkata:

“Benar aku tidak ada harganya membunuh pelayanmu ini. Tetapi nyonya Pui kau adalah seorang ternama, jikalau kau tidak menyerahkan orang itu, maaf aku seorang she Pok akan berlaku tidak pandang muka lagi kepadamu.”

Ia tahu bahwa Pui Pek Hu tidak ada di rumah, iapun tahu bahwa nyonya itu sedang mengandung tua maka ia merasa tidak takut.

Sebaliknya dengan Touw Goan, saat itu ia merasa tidak enak, dalam hatinya diam-diam berpikir: Menghina seorang perempuan mengandung, aapabila kejadian ini tersiar di luaran barangkali dapat merusak nama baik.

Sebagai seorang gagah, nama adalah lebih penting dari segalanya. Karena tidak ingin namanya ternoda maka ia lalu menasehati kawannya itu, katanya:

“Saudara Pok sabar dulu. Kita harus pandang nyonya Pui yang sedang mengandung dan tidak baik untuk berjalan jauh maka biarlah ia berdiam di rumah, dan kau menjaganya, kita berdua yang pergi mencari.”

Pok Sui Thian lalu berkata:

“Maaf nyonya Pui, aku terpaksa berlaku tidak pantas terhadap dirimu.” Ia lalu mengeluarkan senjatanya hendak menotok jalan darah Jie Im Nio.

Touw Goan mengerutkan alisnya, ia agaknya tidak dapat menyetujui perbuatan kawannya itu, tetapi kemudian ia berpikir karena nyonya Pui itu berkepandaian sangat tinggi, meskipun sedang hamil tua tetapi hanya dijaga oleh Pok Sui Thian seorang mungkin masih tidak sanggup. Ditotok jalan darahnya, meskipun bisa mengganggu kandungannya, ia juga tidak perdulikan lagi maka walaupun Touw Guan menganggap bahwa perbuatan itu tidak pantas, tetapi ia juga tidak menghalangi.

Tatkala senjata itu sudah akan menotok jalan darah Jie Im Nio, nyonya itu tiba-tiba berseru: “Toako, lekas keluar bunuh saja mereka!”

Sementara itu tangannya juga bergerak untuk memadamkan api lilin, selain itu badannyapun bergerak mengelakkan totokan Pok Sui Thian. Walaupun sedang hamil tua, tetapi sebagai seorang gagah, untuk mengelakkan serangan Pok Sui Thian baginya masih tidak sukar.

Touw Goan bertiga yang sebetulnya sudah khawatir masuk perangkap, maka ketika mendengar seruan Jie Im Nio itu, semua terkejut, dengan serta merta lompat menyingkir ke ujung satu sudut untuk menjaga serangan gelap. Dalam keadaan demikian tiba-tiba terdengar suara senjata rahasia, ternyata Jie Im Nio sudah menyerang dengan senjata rahasianya jarum Bwee-hwa-ciam.

Touw Goan yang berkepandaian paling tinggi, ia segera putar tamengnya sehingga jarum itu tidak mengenakan dirinya. Pok Sui Thian dengan senjatanya sepasang yang mirip dengan alat tulis tidak mudah menangkis, tetapi ia sangat cerdik, mengetahui gelagat tidak baik segera melompat keluar dari lobang jendela. Hanya Say Ban Hiong yang gerakannya agak terlambat, sebelum ia melesat keluar, lengan tangan kirinya sudah terkena sebuah jarum.

Ia adalah satu orang Kang-ouw kawakan, karena tidak merasakan gatal atau kesemutan sehingga ia mengetahui bahwa jarum itu tidak ada bisanya, dengan demikian hatinya baru merasa lega. Namun demikian karena jarum itu mengenakan tepat di bagian jalan darah Ciok-te-hiat, maka sebelah tangannya tidak dapat bergerak secara leluasa lagi.

Pok Sui Thian menyalakan batu api ia dapat kenyataan Jie Im Nio sudah menutup kamar itu, maka ia lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Nyonya Pui apakah kau kira sudah merasa sentosa sembunyi di dalam kamar?”

Jie Im Nio diam saja, tiba-tiba ia melancarkan serangannya lagi dengan jarumnya. Tetapi kali ini mereka sudah siap, maka senjata itu telah dibikin buyar oleh Touw Goan dan Pok Sui Thian.

Touw Goan menanya kepada Say Ban Hiong:

“Say toako bagaimana?”

Dengan wajah merah Say Ban Hiong menjawab:

“Tidak apa-apa hanya lenganku saja terkena sebuah jarum.”

Touw Goan lalu mengeluarkan sepotong besi, ia tempelkan besi itu di lengan Say Ban Hiong untuk mengeluarkan jarum dari dalam tubuhnya.

Say Ban Hiong dengan perasaan malu gusar, diam-diam merayap keluar sambil membawa senjatanya. Ketika tiba di depan pintu kamar Jie Im Nio, ia lalu menyerang pintu dengan goloknya, mulutnya membentak dengan suara keras:

“Perempuan busuk, lekas keluar!”

Ia tahu benar bahwa senjata rahasia digunakan untuk menyerang lawan yang berada di jarak jauh, karena ia sudah berada dekat di depan pintu kamar Jie Im Nio, maka ia merasa khawatir lagi.

Tidak disangka belum lagi menutup mulutnya kaki Say Ban Hiong terpeleset, hingga badannya kehilangan imbangan dan jatuh rubuh di depan pintu. Dalam keadaan demikian Jie Im Nio tiba-tiba membuka pintu dan menikam dengan pedangnya. Say Ban Hiong terpaksa bergulingan di tanah untuk menghindarkan serangan tersebut, namun demikian, pundaknya juga masih terluka oleh ujung pedang, sedangkan golok besarnya juga terlepas dari tangannya.

Kiranya Jie Im Nio sudah mengatur lebih dahulu, lantai di depannya sudah disiram dengan minyak. Ketika Pok Sui Thian maju menyerang, Jie ¬Im Nio sudah kembali menutup pintu kamar lagi.

Selagi Pok Sui Thian hendak mengetuk pintu, Jie Im Nio menyerang pula dengan senjata rahasianya. Tetapi kali ini dia tidak menggunakan jarum melainkan menggunakan paku yang agak berat, karena senjata jarum itu mudah disampok oleh tangan kosong. Maka Pok Sui Thian terpaksa menggunakan senjatanya untuk menangkis.

Jie Im Nio dengan caranya yang demikian untuk menahan majunya musuh-musuh kuat itu. Pok Sui Thian bertiga ternyata juga tidak berdaya.

Tidak antara lama, pagi sudah menyingkir, maka Say Ban Hiong lalu berkata:

“Touw toako, kalau kau tidak lekas menangkap keluar perempuan busuk ini, nanti kalau Pui Pek Hu kembali, ia lebih sulit lagi bagi kita untuk menghadapinya.”

Touw Goan masih mengingat kedudukannya, ia tidak begitu suka mengeroyok seorang perempuan yang sedang hamil. Tetapi setelah mendengar perkataan Say Ban Hiong itu, ia terpaksa merubah pendiriannya, sambil memutar perisainya ia menggedor pintu kamar.

Dengan perisainya itu ia berhasil menangkis senjata rahasia Jie Im Nio, maka sebentar ia sudah berada di depan pintu kamar. Dengan nada suara dingin ia berkata:

“Nyonya Pui, lebih baik kau keluar sendiri, kalau aku yang menarik kau keluar itu rasanya tidak pantas!”

Jie Im Nio yang sudah banyak mengeluarkan tenaga, perutnya tiba-tiba dirasakannya sakit, ia seperti merasa hendak melahirkan, karena sudah merasa tidak sanggup menahan rasa sakitnya, setelah mengeluarkan jeritan lantas roboh di pembaringan.

Touw Goan yang mendengar suara jeritan itu nampaknya terperanjat, hatinya diam-diam berpikir: Kalau aku masuk ke kamar dan kebetulan ia sedang melahirkan, ini benar-benar sial.

Say Ban Hiong yang masih belum hilang dendamnya karena baru saja tertikam oleh pedang Jie lm Nio lagi, ketika menyaksikan Touw Goan nampak agak ragu-ragu lalu berkata:

“Touw Toako, kau takut sial, tetapi aku tidak. Hem, perempuan busuk ini, kebanyakan berpura-pura, biarlah aku yang menyeret keluar.”

Ia segera bertindak, benar saja goloknya digunakan untuk membacok pintu hingga pintu kamar itu terbelah.

Tepat pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan orang: “Kalian tiga kawanan anjing busuk sungguh tidak tahu malu!”

Pok Sui Thian yang pada waktu itu menjaga di depan pintu telah merasakan hembusan angin menyambar dirinya, dalam terkejutnya ia buru-buru melompat ke pinggir. Sementara itu ia telah dapat lihat seorang laki-laki dan seorang perempuan sudah melompat masuk ke dalam rumah. Kegesitan dua orang itu benar- benar hampir membuat ia tidak percaya.

Touw Goan yang mendengar suara bentakan itu menegur:

“Siapa?”

Karena saat itu sudah terang tanah, ia dapat melihat dengan jelas, dua orang yang masuk itu usianya tidak lebih dari duapuluh tahun. Ia lihat laki-laki itu bukanlah Pui Pek Hu, meskipun ia sangat heran dan kagum dengan kepandaian ilmu meringankan tubuh mereka yang luar biasa itu, tetapi ia tidak takut.

Atas pertanyaan Touw Goan tadi, pemuda yang baru tiba itu segera bertindak dengan kecepatan luar biasa ujung pedangnya sudah mengancam ditenggorokan Touw Goan.

Touw Goan menangkis dengan perisainya, senjata kaitan di tangan kirinya digunakan untuk menikam perut pemuda itu, tetapi pemuda itu dengan satu gerakan manis dapat mengelakkan serangan Touw Goan itu, sedangkan ujung pedangnya yang gemerlapan, masih tetap mengancam diri Touw Goan.

Touw Goan yang baru berhasil mengelakkan serangan pertama pemuda itu, tetapi sudah terdesak pula atas serangannya yang aneh luar biasa dari si pemuda, sehingga ia terpaksa mundur sampai tiga langkah.

Sementara itu terdengar suaranya perempuan muda itu berkata:

“Khek Gee, biarlah aku yang mengurus enci Im Nio, kau bunuh mati saja tiga anjing buruk ini, untuk sementara kau jangan masuk!”

Dua orang yang baru datang itu ternyata adalah Toan Khek Gee dan isterinya Su Yak Bwee.

Say Ban Hiong yang baru saja hendak menarik goloknya yang digunakan untuk membacok pintu kamar, sambil melirik kepada Su Yak Bwee ia menanya:

“Nyonya muda, kau masih ingin berbuat apa? Apakah kau tidak takut akan mendapat sial? Lebih baik kau menyingkir, aku tidak tega melukai dirimu!”

Say Ban Hiong waktu itu masih belum tahu bahwa mereka adalah suami isteri Toan Khek Gee yang namanya sudah menggemparkan dunia rimba persilatan, sebagai sepasang pendekar yang gagah budiman. Karena melihat Su Yak Bwee berparas cantik, ia sengaja hendak menggoda.

Su Yak Bwee merasa jemu terhadap penjahat itu, dengan alis berdiri ia membentak, “Menyingkir!” sementara itu pedang di tangannya sudah melancarkan serangan sampai tiga kali!

Sebetulnya, meskipun kepandaian Say Ban Hiong masih belum seimbang dengan kepandaian Su Yak Bwee, setidak-tidaknya masih dapat melawan sampai tigapuluh jurus, tetapi karena ia terlalu gegabah dan tidak tahu asal usul perempuan gagah itu, maka ketika diserang secara tiba-tiba ia menjadi repot. Ia cuma sanggup menahan tiga jurus sudah merasa kewalahan.

Su Yak Bwee benci sekali kepada penjahat yang sangat kurang ajar itu, lalu berkata sambil tertawa dingin: “Hem, kau mempunyai mata tetapi tidak bisa melihat, lebih baik kukorek saja biji matamu!”

Dengan segera pedangnya bergerak, kemudian darah muncrat berhamburan, satu biji mata Say Ban Hiong sudah dikorek olehnya.

Say Ban Hiong rubuh di tanah, ia menjerit kesakitan. Su Yak Bwee tidak menghiraukan padanya lagi, ia buru-buru masuk ke kamar untuk melihat keadaan Jie Im Nio.

Mereka berdua memang sejak masih anak-anak sehingga dewasa tinggal bersama-sama, hingga perhubungan mereka merupakan kakak dengan adik. Kedatangan Su Yak Bwee secara tiba-tiba itu, sesungguhnya di luar dugaan Jie Im Nio, sudah tentu ia merasa girang sekali.

Tetapi ia hanya dapat mengeluarkan perkataan:

“Adik Bwee!” Perutnya sudah dirasakan sakit lagi sehingga baru saja hendak duduk ia sudah terlentang lagi.

Su Yak Bwee terperanjat, ia lalu menanya: “Enci Im, kau kenapa?”

Dengan paras merah Jie Im Nio berkata dengan suara perlahan sambil menunjuk perutnya: “Tidak apa- apa, keponakanmu mungkin akan lahir, kau bantu aku dulu menutup pintu kamar.”  Dengan perasaan girang Su Yak Bwee berkata:

“Oh, kiranya begitu. Baiklah kau terlentang jangan bergerak!”

Ia buru-buru menutup pintu, dengan sebuah bangku panjang yang ia gunakan untuk menutup lubang yang bekas golok Say Ban Hiong, kemudian berkata kepada suaminya:

“Khek Gee! Bagaimana kau belum berhasil membunuh kawanan bangsat itu? Kau lekas bertindak, baik kaubunuh mati atau kau usir mereka!”

Pada saat itu Pok Sui Thian sudah membantu Touw Goan mengeroyok Toan Khek Gee, Touw Goan yang berkepandaian sangat tinggi, Pok Sui Thian juga bukan bangsa lemah, maka Toan Khek Gee tidak mudah mengalahkan mereka dalam waktu yang singkat.

Ketika mendengar suara isterinya, hatinya merasa malu sendiri sambil menyahut, “baik,” ilmu pedangnya lalu dirobah. Ia menggunakan gerak tipu yang paling ampuh, yang dengan satu gerakan dapat menikam sembilan bagian jalan darah, dengan diimbangi oleh ilmunya meringankan tubuh yang luar biasa, melancarkan serungannya secara ganas terhadap dua musuh itu.

Karena mendengar suara Su Yak Bwee yang menyebut nama suaminya tadi, Touw Goan dan Pok Sui Thian diam-diam terperanjat. Touw Goan lalu menegur padanya:

“Benarkah kau Toan Khek Gee?”

“Seorang laki-laki tidak perlu merobah nama, Toan Khek Gee juga bukan manusia yang perlu ditakuti. Apakah kau kira aku harus menyamar memalsukan namanya?”

Meskipun pemuda itu mulutnya bicara, tetapi pedang di tangannya masih tetap bergerak dengan hebat, suara beradunya senjata terdengar nyaring. Selama ia bicara sudah melancarkan tigapuluh enam kali serangan dan kesemuanya itu di tujukan kepada bagian yang berbahaya.

Touw Goan dengan susah payah dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya barulah ia berhasil menahan serangan yang hebat itu. Sebaliknya dengan Pok Sui Thian, beberapa kali hampir binasa di ujung pedang. Satu kali ujung pedang Toan Khok Gee lewat di atas kepalanya, segumpal rambut di atas kepalanya telah terpapas kelimis.

Walaupun usia Toan Khek Gee masih terlalu muda, tetapi namanya sudah lama terkenal di dunia Kang- ouw, bahkan pada waktu belakangan ini namanya semakin meningkat. Dengan saudara seperguruannya Khong-khong Jie dan saudara sepupunya Tiat Mo Lek, merupakan tiga jago pedang yang ternama. Baik kepandaiannya maupun namanya masih jauh di atasnya Pui Pek Hu. Kalau Touw Goan bertiga masih agak jeri terhadap Pui Pek Hu, apalagi terhadap Toan Khek Gee?

Say Ban Hiong yang sembunyi di satu sudut, baru membungkus lukanya dan belum habis rasa terkejut karena mendengar nama Toan Khek Gee sudah tentu merasa takut setengah mati, maka lekas-lekas ia angkat kaki.

Toan Khek Gee yang pernah menggetarkan dunia Kang-ouw, jarang menemukan tandingan kali ini berhadapan dengan Touw Goan dan Pok Sui Thian yang ternyata sanggup melawan sampai sepuluh jurus lebih ia diam-diam juga terperanjat.

Karena mengkhawatirkan keselamatan diri Jie Im Nio, lagi pula didesak oleh istrinya, hatinya merasa cemas maka serangannya semakin hebat.

Touw Goan dan Pok Sui Thian walaupun merupakan orang-orang kuat kelas wahid dalam rimba hijau, tetapi masih belum dapat dibandingkan dengan kepandaian Toan Khok Gee, maka dalam waktu sekejap mata saja dua orang itu telah terkurung oleh sinar pedang lawannya.

Sebetulnya dua orang itu sudah merasa jerih. Andai kata Toan Khek Gee mengendorkan serangannya dan memberikan kesempatan bagi mereka, niscaya mereka siang-siang sudah kabur. Tetapi kini setelah terkurung oleh sinar pedang, karena merasa sulit untuk kabur terpaksa melawan dengan hebat. Touw Goan memutar perisainya demikian rupa sehingga mengeluarkan suara menderu-deru dan hembusan angin dingin ujung pedang Toan Khek Gee yang gemerlapan, seolah-olah setiap saat dapat menembusi perisai dan badannya.

Karena terkejut Touw Goan lalu berseru:

“Kita adalah orang sendiri, aku saudara sepupumu Tiat Mo Lek mempunyai hubungan sudah dua generasi!”

Toan Khek Gee membentak dengan suara keras:

“Kau bohong besar. Siapa tahu kamu muncul dari mana, bagaimana Tiat toako ku mempunyai hubungan dengan orang semacam kau ini?”

“Ini adalah benar, kau dengar dulu kataku.”

Sebelum habis ucapannya Su Yak Bwee berkata kepada suaminya:

“Khek Gee, jangan banyak bicara dengannya! Lekas usir lari kawanan bangsat itu. Enci Im tidak dapat membiarkan kawanan bangsat itu tinggal di rumahnya, apakah kau mengerti?”

Toan Khek Gee yang selalu dengar kata istrinya dengan cepat menjawab:

“Ya, aku mengerti!”

Kembali ia cecer musuhnya dengan serangannya, lalu membentak:

“Kau mau lari atau tidak? Kalau kau tidak lari, sekalipun mempunyai hubungan sudah tiga generasi, pedangku ini, tidak akan kenal dan tidak pandang bulu kepada siapapun juga.”

Pok Sui Thian yang agak lemah, ia sudah ingin lekas kabur, ia coba menempuh bahaya sambil balas menyerang dengan dua senjatanya. Ia coba hendak menotok jalan darah Toan Khek Gee.

Toan Khek Gee mengerti maksudnya orang she Pok itu, lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Kalau kau memberi dan tidak kubalas itu berarti kurang sopan, maka sekarang kau lihat balasanku!”

Ia lalu menggerakan pedangnya, dalam satu gerakan, ia telah menikam sembilan jalan darah Pok Sui Thian, bahkan masih sempat mengancam lutut Touw Goan dengan ujung pedangnya.

Touw Goan lalu berseru:

“Kau suruh aku lari, seharusnya kau memberikan kesempatan kepadaku!”

Karena sudah menghadapi saat yang berbahaya, maka sekalipun penjahat yang sangat sombong seperti Touw Goan juga tidak perdulikan akan dapat malu, akhirnya ia mengucapkan perkataan demikian.

Sementara itu Pok Sui Thian sudah terkena ujung pedang sehingga mundur terhuyung-huyung sampai enam-tujuh langkah dan Toan Khek Gee yang mendengar perkataan Touw Goan itu lalu menarik kembali pedangnya seraya berkata:

“Ya, aku tadi tidak pikirkan itu. Baiklah, sekarang kalian boleh pergi, lekas-lekas enyah dari sini!”

Masih untung dia tarik kembali pedangnya dengan cepat, jikalau tidak Pok Sui Thian sedikitnya akan terkena serangan tiga tempat, itu bukanlah suatu luka yang ringan.

Sambil menarik dirinya Pok Sui Thian, Touw Goan lari terbirit-birit.

Toan Khek Gee menyimpan lagi pedangnya, kemudian bertanya kepada istrinya:

“Aku sudah mengusir semua kawanan penjahat itu. Bagaimana dengan enci Im Nio? Apakah ia terluka? Perlukah dengan bantuanku?” Pada saat itu Jie Im Nio sudah akan melahirkan, hingga mulutnya mengeluarkan rintihan terputus-putus. Su Yak Bwee menjawab sambil berkata:

“Ini adalah urusan orang perempuan, kalian orang laki tidak dapat membantunya. Kau lekas panggil A- hong kemari!”

Toan Khek Gee mendengar perkataan istrinya yang dibarengi dengan suara tertawa, hatinya merasa lega. Setelah menyahut, “baik,” ia lalu pergi memanggil A-hong.

“A-hong! Eh, kemana A-hong pergi?”

Sambil menahan rasa sakit, Jie Im Nio berkata:

“Ia baru saja dipukul oleh kawanan penjahat itu, kau pergi lihat, mungkin ia masih pingsan di pekarangan!” Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara A-hong yang berkata:

“Nyonya aku datang. Toan kongcu, untung kau datang dan berhasil membuat kabur kawanan penjahat itu.”

A-hong adalah pelayan Jie Im Nio yang sudah lama ikut dengannya, sehingga kenal baik dengan suami istri Toan Khek Gee. Ia baru saja dipukul oleh Pok Sui Thian untuk sementara waktu tak sadarkan diri, tetapi karena badannya kuat, maka sebelum Toan Khek Gee tiba ia sudah siuman.

Ketika Toan Khek Gee melihat ia datang dengan membawa air panas, lalu tercengang dan berkata kepadanya:

“Kau dipanggil oleh nyonyamu, tidak perlu repot membuat teh untuk aku.” A-hong ketawa geli, kemudian ia berkata:

“Air ini untuk mencuci badan tuan muda kecil kita, kongcu. Kau lekas dipanggil paman oleh kemenakanmu yang akan lahir.”

Toan Khek Gee kini baru mengerti, ternyata waktu itu Jie Im Nio hendak melahirkan bayi.

Dengan seorang diri ia menunggu di ruang tamu, berbagai pertanyaan timbul dalam hatinya. Kemana Pui Pek Hu telah pergi? Tetapi karena pelayan perempuan sedang repot membantu majikannya yang hendak melahirkan sudah tentu ia tidak dapat bertanya.

Pada saat itu sinar mata hari sudah mulai masuk ke dalam rumah. Jie Im Nio masih mengeluarkan suara rintihan, sedangkan bayi masih belum lahir. Selagi Toan Khek Gee berjalan mundar mandir di ruangan tamu, tiba-tiba terdengar suara tindakan kaki orang, sehingga Toan Khek Gee mengira tiga penjahat tadi balik lagi.

Dengan cepat ia segera dapat melihat Pui Pek Hu, Tiat Leng dan Can Pek Sin bertiga sudah berada dihadapannya. Satu sama lain merasa terkejut dan girang.

Kedua pihak masih belum sempat menanyakan hal-hal yang lain, Pui Pek Hu sudah berkata lebih dahulu: “Maaf aku hendak pergi lihat Enci Jie mu. Im Nio, aku sudah pulang, kau tidak mengapa-apa?”

Pada saat itu dari dalam kamar tiba-tiba terdengar suara bayi, Su Yak Bwee dalam kegirangannya lalu berkata:

“Pui toako kedatanganmu sangat kebetulan. Aku haturkan selamat kepadamu, satu baji yang sangat montok, kau tunggu sebentar! Baiklah, sekarang kau boleh masuk!”

Toan Khek Gee lalu berkata sambil tertawa: “Bayi ini lahir dalam keadaan berbahaya, dikemudian hari pasti akan menjadi seorang gagah perkasa. A- leng, Pek Sin, kamu berdua bagaimana juga berada disini? Ke mana tadi malam, kamu pergi bersama paman Pui?”

Can Pek Sin menjawab:

“Panjang ceritanya.”

“Biar bagaimana sekarang kita tidak mempunyai kerjaan apa-apa, kau ceritakanlah semuanya.”

“Barusan saja kita melihat tiga bangsat itu lewat pegunungan di belakang rumah dengan menunggang kuda. Apakah Paman yang mengusir mereka pergi?”

“Benar. Apakah kenal dengan mereka?”

“Satu di antaranya bersama Touw Goan, dia adalah musuhku yang membunuh mati ayah bundaku. Toan Khek Gee terkejut ia berkata:

“Di kalangan Kang-ouw aku juga mendengar kabar, kematian ayah bundamu tidak jelas. Sungguh tidak disangka kalau mati di tangan orang she Touw itu. Sayang aku tadi tidak tahu sehingga melepaskannya pergi.”

“Tetapi ibu pesan aku tidak boleh menuntut balas,” berkata Can Pek Sin sambil menghela napas. “Loh, ini apa sebabnya?” bertanya Toan Khek Gee heran.

Can Pek Sin lalu menceritakan semua apa yang telah terjadi, hanya tentang perhubungannya dan perginya Thie Po Leng dari rumah kakeknya ia tidak sebutkan. Akhirnya ia berkata:

“Semua bencana ini, adalah gara-gara orang she Touw itu. Aku sekarang juga tidak tahu dendam sakit hati ini harus aku tuntut atau tidak?”

Toan Khek Gee telah mengetahui segala kejadian yang menyangkut antara keluarga Ong, Tauw dan Tiat, sehingga dalam hatinya berpikir: Sungguh tidak disangka urusan ini demikian rumit, pantas saja Touw  Goan tadi mengatakan ada hubungannya dengan kakak sepupuku Tiat Mo Lek.

Setelah berpikir demikian, ia lalu berkata:

“Aku kira segala kejadian atau permusuhan yang menyangkut diri orang-orang tua kita boleh dikesampingkan, tetapi antara baik dan jahat atau benar dan salah kita harus membuat garis yang tegas. Tentang kau perlu menuntut balas atau tidak, kita harus melihat tindakan Touw Goan selanjutnya. Jikalau ia melakukan hal-hal yang tidak patut dan tidak sesuai dengan tingkah laku dengan orang Kang-ouw yang baik mengapa kau tidak boleh membunuhnya?”

Toan Khek Gee telah menitik beratkan kepada tindakan Touw Goan selanjutnya, karena ia takut bahwa kakek luar Can Pek Sin, ibunya dan Thie Sui, di waktu yang lalu tindakannya juga tidak seluruhnya benar, sehingga tidak dapat hanya menyalahkan kekejaman Touw Goan sepihak saja, cuma dalam hal ini ia tidak menjelaskan terus terang.

Namun demikian jawaban Toan Khek Gee yang mengandung inti kebenaran itu sangat jelas sehingga membuka mata Can Pek Sin dan melenyapkan keragu-raguannya. Ia lalu berkata:

“Terima kasih atas petunjuk paman. Adik Leng mengenai urusan Touw Goan yang hendak merampas harta kekayaan itu, sekarang kaulah yang menceritakan.”

Tiat Leng lalu menceritakan hal ikhwal bersama kakaknya dan Can Pek Sin yang mengangkut kereta yang membawa harta kekayaan itu, lalu di tengah jalan dicegat oleh kawanan berandal. Kemudian atas bantuan Hoa Ciong Tay sehingga mereka bertiga lolos dari tangan kawanan penjahat, tetapi barang-barang kekayaan itu ahirnya terjatuh ke tangan tentara pasukan Tian Sin Cie, sehingga mereka bersama Pui Pek Hu pergi ke kantor kepala daerah dan akhirnya Tiat Ceng mendadak menghilang. Jie Im Nio sehabis bersalin merasa sangat lelah, Pui Pek Hu setelah menengok anaknya telah membiarkan sang istri itu tidur.

Su Yak Bwee yang berada di dalam kamar juga dapat mendengar cerita Tiat Leng, tatkala ia keluar dari kamar lalu berkata sambil tertawa,

“Kiranya kalian setan-setan cilik ini, telah meniru perbuatanku dahulu yang mencuri kotak mas itu.” Dengan paras merah Tiat Leng berkata:

“Bibi Toan, dahulu kau telah berhasil, tetapi kali ini kita gagal.” Su Yak Bwee berkata sambil tertawa:

“Itu bukan berarti apa-apa, kalian semuanya adalah anak-anak muda yang baru muncul di dunia Kang- ouw, dimana ada orang yang baru muncul lalu berhasil dalam usahanya? Pamanmu dan aku di kalangan Kang-ouw juga mengalami banyak rintangan.”

Pui Pek Hu yang saat itu juga sudah keluar dari kamar lalu bertanya kepada Toan Khek Gee: “Toan hian-tee, bagaimana kalian secara kebetulan bisa datang kemari?”

Toan Khek Gee berkata:

“Kita telah pergi mengembara keluar daerah, sekembalinya kita pergi ke rumah bibi Siang. Kabarnya saudara Hee Hui telah menerima undangan Ciu Ceecu dari kota Yang-ciu, untuk membantunya pergi merampas rangsum kerajaan. Aku khawatir bibi Siang tidak tenteram pikirannya, maka aku pergi untuk memberi bantuan kepadanya. Yak Bwee telah mendengar kabar bahwa kalian sudah pulang ke rumah, maka kita mampir untuk menengok kalian. Sungguh tidak disangka sedemikian kebetulan, berjumpa dengan kawanan orang jahat itu.” 

Bibi Siang yang disebut oleh Toan Khek Gee adalah ibunya Hee Lui, Hee Liang Siang.

Suami Hee Liang Siang, Lam Cee In, dengan ayah Toan Khek Gee dahulu pernah binasa bersama-sama di kota Hoay-yang, sehingga Toan Khek Gee dirawat oleh Liang Siang, maka selama itu ia telah menganggap Hee Liang Siang seperti ibunya sendiri. Kali ini, sebetulnya ingin mengajak Pui Pek Hu suami isterinya membantu Lam Hee Lui tetapi karena Jie Im Nio baru habis melahirkan sudah tentu hal itu ia tidak sebut sama sekali.

Pui Pek Hu berkata:

“Kalau begitu, aku menghambat perjalanan kalian.” Toan Khek Gee berkata:

“Rangsum kerajaan yang hendak dikirim ke kota raja itu, kabarnya dalam pertengahan bulan delapan akan lewat di Kota Yan-ciu. Masih ada waktu kira-kira duapuluh hari, sekalipun terhambat beberapa hari, aku yakin terburu.”

Su Yak Bwee lalu berkata sambil tertawa:

“Antara saudara Hee Lui dengan Ceng-tit dan Leng-tit semua sama saja, berarti sanak saudara dalam urusan mereka. Kita harus membedakan mana yang patut diberi bantuan lebih dulu karena secara kebetulan kita telah menjumpai kejadian ini, bagaimana boleh kita berdiri sambil berpeluk tangan? Sudah tentu kita harus membereskan persoalan ini lebih dulu, kemudian baru ke kota Yan-ciu.

Pui Pek Hu berkata:

“Tiat Ceng semalam telah hilang, emas terjatuh di tangan musuh atau tertolong oleh orang pandai? Sebelum mendapat kabar beritanya, kita masih selalu kurang tenang. Dan lagi harta kekayaan itu andaikata kita dapat membawanya ke atas gunung, besar sekali faedahnya, tetapi sekarang telah dirampok oleh Tian Sin Cie. Soal ini kita juga sangat penasaran.” Su Yak Bwee lalu berkata:

“Dua urusan ini baiklah kau serahkan kepada Khek Gee saja. Khek Gee, aku beri waktu tiga hari kepadamu, supaya kau ambil kembali harta kekayaan itu dan cari kembali diri Tiat Ceng. Apakah kau sanggup?”

“Untuk mengambil kembali barang-barang itu dari tangan Tian Sin Cie bukanlah soal susah, tetapi untuk mencari kembali Tiat Ceng, merupakan suatu usaha untung-untungan. Tetapi sekalipun harus membuang waktu dua hari lagi, aku juga pasti mendapatkannya. Jikalau tidak bagaimana aku ada muka menemui kakak sepupuku?”

“Baik, kalau begitu lebih dulu kita urus soal yang lebih gampang. Nanti malam, aku dengan kau pergi menyelinapi kantor kepala daerah lagi. Sungguh tidak disangka sepuluh tahun kemudian kita harus mengulangi kejadian yang lama.”

“Baiklah, nanti malam sekali lagi kau menjadi pencuri kotak mas, dan aku juga akan mengulangi lagi perbuatanku yang meninggalkan surat dengan disertai senjata golok!”

Pada saat itu Toan Khek Gee tiba-tiba mendengar suara halus di atas genting rumah, ia segera menegur dengan suara keras: “Siapa?”

Tiba-tiba nampak berkelebatnya sinar putih, sebilah golok tajam melayang masuk melalui lobang jendela. Ujung golok menancap di dinding tembok, gagangnya masih bergoyang-goyang.

Toan Khek Gee beramai berkumpul dan bercakap-cakap di tengah-tengah ruangan tamu, sedang golok itu menancap di dinding tembok terpisah kira-kira berkisar sejarak satu tombak di sebelah kiri mereka. Jelas bahwa orang yang menyambit itu tidak bermaksud melukai orang dalam rumah melainkan memberi peringatan, yang dalam kalangan Kang-ouw berarti suatu tantangan.

Toan Khek Gee sangat gusar, ia segera menghunus pedangnya dan melompat keluar dari jendela sambil memutar pedangnya untuk menjaga serangan senjata rahasia musuh, tetapi musuh itu ternyata tidak melepaskan senjata rahasia lagi.

Toan Khek Gee yang berada di atap rumah dapat lihat berkelebatnya satu bayangan hitam, sudah berada jauh di gunung belakang pekarangan rumah. Menyaksikan kegesitan orang tersebut, Toan Khek Gee diam-diam juga merasa kagum.

Pada saat itu Su Yak Bwee, Can Pek Sin dan Tiat Leng juga sudah memburu keluar. Toan Khek Gee lalu berkata:

“Jangan terjebak oleh akal musuh yang hendak memancing kita keluar, biarlah aku sendiri yang menghadapinya!”

Karena melihat bayangan orang itu hanya sendirian saja, Su Yak Bwee menganggap dengan kepandaian Toan Khek Gee ia yakin dapat menangkap orang itu, maka ia membiarkan padanya pergi mengejar seorang diri.

Di luar dugaan Toan Khek Gee yang mengerahkan ilmu lari pesatnya setelah mengejar sekian lama, meski sudah dapat melihat bayangan orang itu, tetapi masih tetap terpisah sejarak sepuluh tombak lebih.

Dalam hal ilmu meringankan tubuh dan lari pesat pada dewasa itu, suhengnya Toan Khek Gee ialah Khong-khong Jie terhitung orang nomor satu. Tetapi Toan Khek Gee sendiri pada waktu belakangan ini mendapat kemajuan pesat dengan suhengnya berbeda tidak jauh. Setelah mengejar sekian lama masih belum berhasil menyandak bayangan orang itu, hal itu merupakan suatu kejadian yang ia belum pernah dialami pada waktu sebelumnya, maka diam-diam ia juga merasa heran. Terpaksa ia berkata dengan suara nyaring:

“Sahabat dari mana, kau sudah berani menantang, seharusnya kau memberi tahukan namamu, mari kita menguji kepandaian masing-masing.” Tetapi orang itu tidak menjawab, sebaliknya mempercepat gerak kakinya. Toan Khek Gee sangat penasaran, ia berkata pula sambil tertawa dingin:

“Baiklah, aku mengadu ilmu kepandaian meringankan tubuh lebih dulu denganmu.” Keduanya lalu, saling mengejar, tidak antara lama mereka telah tiba di suatu lembah.

Toan Khek Gee berkeberanian besar, ia sudah siap sedia, sekalipun harus menghadapi bahaya dikeroyok, ia juga sanggup meloloskan diri.

Memang hebat kepandaian lari cepat Toan Khek Gee, saat itu ia sudah berada di belakang orang itu sejarak kira-kira yang dapat dicapai oleh tikaman pedangnya. Tetapi ia tidak suka menyerang orang dari belakang maka ia segera membentak:

“Kau sudah tidak bisa lari lagi mengapa tidak mengeluarkan senjatamu untuk bertanding denganku?”

Orang itu mendadak berhenti dan membalikkan badannya, dengan satu gerakan yang dinamakan burung menyambar pasir, lima jari tangannya menyambar pergelangan tangan Toan Khek Gee, maksudnya hendak merampas pedang lawannya.

Toan Khek Gee sangat gesit, sehingga usaha orang itu tidak berhasil. Ujung pedangnya segera digerakkan untuk balas menyerang.

Orang itu maju selangkah, dengan kepalan tangan kiri dan telapak tangan sebelah kanan melakukan serangan serta menangkis serangan pedang Toan Khek Gee tadi.

Toan Khek Gee tidak berhasil dengan serangannya tadi lalu menarik kembali pedangnya untuk mengamati orang itu. Ternyata ada seorang laki-laki berdandan seperti seorang pelajar. Orang itu usianya ditaksir kira- kira limapuluhan, sinar matanya tajam, dari situ bisa diketahui bahwa orang itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang sangat sempurna.

Karena melihat orang itu bertangan kosong Toan Khek Gee hendak menyimpan pedangnya. Di luar dugaan orang itu menyerang lagi seraya berkata sambil tertawa,

“Sudah lama aku dengar nama harum Toan Siao-hiap. Hari ini kebetulan kita telah berjumpa, maka jangan kau berlaku merendah. Agar aku dapat belajar kenal dengan ilmu pedangmu yang khusus menotok jalan darah sebagai ilmu pedang nomor satu di kalangan rimba persilatan.”

Meski mulutnya terus berbicara, tetapi tangannya juga tidak tinggal diam, sekaligus melakukan serentetan serangan yang terdiri dari tiga jurus gerak tipu serangan yang hendak merampas senjata di tangan orang.

Toan Khek Gee sangat mendongkol, ia berkata:

“Kiranya kau sengaja hendak menguji aku. Baiklah, kalau aku tidak dapat menangkan kau selamanya aku tidak akan menggunakan pedang lagi.”

Orang itu berkata sambil tertawa:

“Itu apa perlunya?”

Sebelum melanjutkan kata-katanya tiba-tiba melihat ujung pedang Toan Khek Gee bergerak demikian cepat seolah-olah dirinya terkurung oleh bayangan pemuda itu.

Orang itu berkata dengan pujiannya:

“Bagus, ilmu pedang menotok jalan darah dan ilmu pedang dari turunan Wan Kong, benar-benar bukan cuma nama kosong belaka!”

Dengan menggunakan enam atau tujuh gerakan, baru berhasil mengelakkan serangan Toan Khek Gee. Orang itu melayani serangan Toan Khek Gee nampaknya dengan secara susah payah, maka kata-kata pujian yang keluar dari mulutnya sebetulnya bukan cuma pujian kosong belaka. Tetapi, pujian itu di dalam telinganya Toan Khek Gee sebaliknya dirasakan seperti satu ejekan sehingga hatinya semakin panas.

Ia sebetulnya merasa sayang dengan kepandaian orang itu, karena melihat memberi perlawanan dengan tangan kosong, ia tidak bermaksud melukai dirinya maka dalam babak pertama ia cuma menggunakan enam bagian dari seluruh kepandaiannya. Setelah melihat orang itu benar-benar hebat ia terpaksa mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk melayani orang itu.

Toan Khek Gee mahir sekali ilmu meringankan tubuh dan ilmu pedangnya, dengan cepat sudah berhasil mengurung lawannya dengan sinar pedangnya.

Orang itu dengan sepasang tangan kosong, dengan berbagai-bagai gerak tipunya yang gesit, dan lincah dapat melayani sehingga tigapuluh jurus. Tetapi sekalipun sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya juga belum mampu melepaskan diri dari kurungan sinar pedang.

Orang itu diam-diam mengeluh ia menyesal karena terlalu memandang ringan musuhnya. Sedangkan Toan Khek Gee mendesak semakin hebat. Dalam keadaan sangat berbahaya, orang itu tiba-tiba membentak dengan suaranya bagaikan geledek, kedua jarinya bergerak dengan menempuh bahaya besar ia mencentil pedang tajam, ternyata berhasil menyingkirkan pedang Toan Khek Gee.

Setelah itu ia lalu lompat keluar dan kalangan seraya berkata:

“Sungguh satu ilmu pedang yang sangat hebat!”

Meskipun mulutnya berkata demikian, tetapi diam-diam ia merasa bangga. Di luar dugaan perkataan Toan Khek Gee selanjutnya telah membikin buyar perasaan bangganya itu.

Toan Khek Gee segera menyahut:

“Terima kasih kau telah memberi kesempatan satu jurus, sehingga aku dapat memperhatikan pedangku ini.”

Orang itu tercengang, tetapi biar bagaimana ia adalah seorang kuat dan ahli ilmu silat kenamaan. Mengingat usahanya untuk menyingkirkan serangan pedang Toan Khek Gee, barusan pedang itu yang sedang meluncur dengan satu gerakan membabat, untung tangannya ditarik kembali dengan cepat sehingga tidak sampai terluka. Tetapi benarkah karena ditarik kembali itu, sehingga tidak terluka?

Hal ini baru merupakan satu pertanyaan dalam hatinya. Karena berpikir demikian maka dengan cepat ia menundukkan kepala untuk melihat keadaan dirinya. Ternyata lengan bajunya terdapat sebuah lubang karena tertusuk oleh ujung pedang Toan Khek Gee, sehingga selembar mukanya menjadi merah.

Kalau orang itu merasa malu, demikian juga Toan Khek Gee yang ternyata lebih duka dari padanya. Karena pedang yang digunakan oleh Toan Khek Gee adalah sebilah pedang pusaka, dengan pedang pusaka melawan sepasang tangan kosong. Sekalipun sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya juga masih harus menggunakan waktu tigapuluh jurus baru berhasil mendapat kemenangan tipis saja. Sebagai seorang yang belum pernah menemukan tandingan setimpal, maka kemenangannya itu dirasakan kurang memuaskan.

Orang itu selagi hendak memberitahukan namanya, Toan Khek Gee sudah berkata lebih dulu: “Mari, mari! Kita bertanding lagi!”

Orang itu berkata sambil mengerutkan keningnya,

“Apa? Toan siaohiap sudah menang, apakah perlu masih bertanding lagi?”

“Baru saja aku dapat kemenangan karena menggunakan senjata, maka kemenangan itu tidak masuk hitungan. Mari kita bertanding lagi secara adil.”

Orang itu melihat sikap Toan Khek Gee yang suka menang, diam-diam merasa geli, ia lalu berkata sambil tertawa: “Biar bagaimana kalah satu kali tetap kalah, kalah dua kali juga kalah. Toan siaohiap kalau memang gembira aku terpaksa mengiringi kehendakmu.”

Toan Khek Gee yang menggunakan sepasang tangan kosong, setelah bertempur sepuluh jurus lebih diam-diam hatinya mengeluh. Ia sebetulnya sudah tahu orang itu sangat sempurna kekuatan tenaga dalamnya, tetapi ia tidak menduga bahwa kekuatannya itu ternyata di atas perhitungannya.

Orang itu menggunakan ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Bian-ciang, yang tergolong ilmu tenaga lunak. Ilmu silat itu tak ada apa-apanya yang aneh atau luar biasa, tetapi digunakan oleh orang itu nampak hidup, setiap serangan seolah-olah mengandung kekuatan tenaga lunak yang sangat hebat. Setiap serangan Toan Khek Gee bukan saja dilunakkan dengan tanpa bekas, tetapi dari telapakan tangan orang itu seolah-olah mengandung kekuatan lain dengan dayanya yang mengisap, maka setelah sepuluh jurus lebih serangan Toan Khek Gee perlahan-lahan mulai kurang leluasa.

Toan Khek Gee diam-diam merasa khawatir ia buru-buru menenangkan pikirannya dan memusatkan kekuatan tenaga dalamnya, dengan kekuatan tenaga yang bersifat keras, untuk memecahkan kekuatan tenaga lunak lawannya. Dengan demikian agaknya sedikit baik keadaannya. Tetapi karena ia menggunakan tenaga penuh sehingga sekujur badannya basah kuyup mandi keringat, sedangkan orang itu nampak enak saja seolah-olah tidak menggunakan tenaga sama sekali.

Selagi pertempuran berjalan seru, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan muda yang berkata sambil tertawa:

“Ah, ha, ayah hari ini menemukan tandingan!” Sementara itu terdengar pula suara seorang pemuda:

“Paman Toan, paman Toan! He! Semua ada orang-orang sendiri, jangan bertempur lagi!”

Toan Khek Gee tercengang, tepat pada saat itu sepasang telapakan tangannya sudah ditempel oleh orang itu.

Karena masih belum mengetahui benar siapa adanya orang itu, diam-diam ia merasa mengeluh.

Karena mengadu kekuatan tenaga dalam, yang lebih kuat itulah yang menang, sedikitpun tidak dapat menggunakan akal apa-apa saja. Justru karena Toan Khek Gee tahu kekuatan tenaga dalam orang itu lebih tinggi setingkat, maka ia selalu berusaha jangan sampai tangannya ditempel oleh lawannya.

Bagi seorang yang mempunyai kekuatan tenaga dalam sangat sempurna, apabila berada dalam keadaan yang berbahaya, dengan sendirinya bisa mengeluarkan kekuatan tenaga perlawanan.

Toan Khek Gee meski tahu tidak dapat melawan, tetapi kekuatan tenaga tangannya segera dikeluarkan. Di luar dugaannya serangan itu seolah-olah masuk ke dalam air tidak menjumpai rintangan, juga tidak ada reaksi dari lawannya.

Toan Khek Gee tambah heran, orang itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata: “Sungguh hebat kepandaian Toan Siaohiap, kita tidak perlu bertanding lagi.”

Ia lalu mengendorkan tangannya, namun demikian Toan Khek Gee masih tidak sanggup menahan, sehingga berputaran sejenak baru bisa berdiri tegak.

Toan Khek Gee tahu orang itu sengaja memberi muka kepadanya, maka hatinya lalu berpikir:

Baru saja aku tidak melukainya, dan sekarang ia tidak juga melukai aku, sehingga satu sama lain tidak ada yang berhutang, tetapi baru aku menggunakan pedang memenangkannya yang menggunakan tangan kosong, maka ditinjau kepandaian aslinya, ia masih di atas kepandaiannya.

Pada saat itu muncullah Tiat Ceng dan satu perempuan muda. Toan Khek Gee melihat muka Tiat Ceng pucat kuning, dan sedang dibimbing oleh perempuan muda itu, dalam terkejutnya ia segera bertanya: “Ceng-tit, kau kena apakah?” Tiat Ceng lalu menjawab:

“Tadi malam di gedung kepala daerah aku kena dibokongi orang, hampir saja jiwaku melayang, untung Hoa lo-cianpwee ini datang menolong diriku. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi. Paman Toan, bagaimana kau bisa berada di sini, bagaimana pula kau bertempur dengan Hoa lo-cianpwee?”

Kini tersadarlah Toan Khek Gee, maka ia lalu berkata:

“Kalau begitu tuan ini kiranya adalah Hoa Ciong Tay cianpwee?” Hoa Ciong Tay lalu berkata sambil tertawa:

“Ah, itu hanya nama kosong belaka yang dibesar-besarkan oleh ayahmu. Apakah Toan siaohiap tahu urusan ini?”

“Pada tigapuluh tahun berselang kabarnya ayah hersahabat baik dengan Hoa lo-cianpwee, kala itu meski aku belum lahir, tapi dari familiku Tiat Mo Lek pernah dengar urusan itu. Sungguh tidak diduga aku dapat berjumpa dengan sahabat karib ayah, terimalah cianpwee hormatku ini.”

Hoa Ciong Tay balas memberi hormat, setelah membimbingnya bangun, lalu berkata sambil tertawa:

“Nama Toan siaohiap telah menggemparkan dunia Kang-ouw, hari ini aku dapat melihat anak sahabat karibku, juga merasa sangat gembira.”

Tiat Ceng lalu berkata:

“Paman Toan, kalau begitu kau sudah bertemu dengan adik Leng dan Can toako? Apakah mereka tidak berhalangan suatu apa-apa?”

“Mereka semua selamat tidak apa-apa. Tadi pagi mereka sudah kembali ke rumah paman Pui. Hoa lo- cianpwee hari itu pernah memberi pertolongan pada kalian, tentang ini Tiat Leng sudah menceritakan padaku. Mereka juga menduga bahwa tadi malam kau tentunya ditolong oleh Hoa lo-cianpwee. Aku benar- benar sangat goblok seharusnya aku dapat menduga Hoa lo-cianpwee tetapi aku tidak pikirkan sampai di situ, bahkan masih menguji kepandaian dengan cianpwee.”

Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:

“Kalau tidak begitu, bagaimana aku dapat belajar kenal dengan ilmu pedang menotok jalan darah yang luar biasa itu?”

Toan Khek Gee juga berkata sambil tertawa:

“Kali ini aku benar-benar bermain kampak di hadapan tukang kampak. Hoa lo-cianpwee yang mempunyai gelar dengan senjata pena menyapu ribuan tentara, sepasang senjata alat tulis lo-cianpwee yang menotok jalan darah, kepandaian itu di dalam dunia sudah tanpa tandingan. Bagaimana kepandaianku yang tidak berarti itu dapat dibandingkan dengan kepandaian lo-cianpwee? Hem, di sini tidak boleh tidak aku akan sesalkan Hoa lo-cianpwee, karena dengan demikian berarti Hoa lo-cianpwee sudah mendesak aku mengeluarkan semua kepandaianku, sebaliknya ilmu totokan lo-cianpwee belum diperlihatkan.”

“Sudah bertahun-tahun aku tidak menggunakan lagi, dalam perjalananku kali ini, sepasang senjata alat tulis itu juga tidak kubawa. Cuma, baru saja aku juga menyesal karena tidak membawa sepasang senjataku itu. Dengan sejujurnya, aku benar-benar masih belum menyangka ilmu pedangmu begitu hebat, kalau kau tadi tidak memberi muka kepadaku, sepasang tanganku ini biar bagaimana tidak sanggup melayani.”

Sebetulnya, kali ini Hoa Ciong Tay tidak membawa senjata hanya alasan di luarnya saja. Dengan sejujurnya, seluruh kepandaian orang tua itu sengaja disimpan dan akan digunakan nanti kalau bertanding dengan Khong-khong Jie.

Toan Khek Gee lalu mengikuti Hoa Ciong Tay memasuki sebuah rumah batu. Hoa Ciong Tay lalu berkata: “Rumah ini sebetulnya didiami oleh keluarga pemburu binatang buas, keluarga itu cuma terdiri dari kakek dan cucu, dua orang saja. Sang kakek setengah bulan lalu mati digigit harimau, sang cucu yang baru berusia delapanbelas tahun belum dapat melakukan pekerjaan yang berbahaya itu dengan seorang diri saja.

“Beberapa hari berselang kebetulan aku lewat di sini dan minta menginap di rumahnya. Setelah aku mengetahui duduknya perkara, aku memberikan padanya sedikit uang, menyuruhnya berusaha kecil- kecilan di kota. Ia lalu memberikan rumah ini untuk tempat tinggalku sementara. Tempat ini sepi dan terpencil, tetapi tidak jauh jaraknya, dengan Kota Gui-pok paling-paling cuma empatpuluh pal saja. Mungkin aku masih akan menggunakan rumah ini untuk menyambut tetamuku yang terhormat.”

Toan Khek Gee tidak tahu tetamu terhormat siapa yang hendak disambut oleh orang tua itu, tetapi ia juga tidak mau bertanya, lalu mengalihkan pembicaraannya dan bertanya kepada Tiat Ceng tentunya kejadian yang dialaminya tadi malam.

Tiat Ceng lalu menceritakan pengalamannya:

“Tadi malam aku pergi menyelidiki loteng tempat kediamannya Tian Sin Cie. Baru saja aku melompati dinding tembok pagar rumah, telah menyentuh pesawat jebakan, sehingga terkena sebatang panah beracun. Pak-kiong Hong dengan senjata orang-orangan tembaga, datang hendak membunuh aku. Dengan perasaan bingung aku hendak melawan mati-matian, tetapi sebelum aku bergerak sudah jatuh pingsan. Setelah aku tersadar tahu-tahu aku sudah berada di dalam rumah batu ini. Aku baru tahu ternyata Hoa lo-cianpwee lah yang sudah menolong jiwaku.”

Hoa Ciong Tay lalu berkata:

“Setelah aku berhasil menolong Tiat Ceng, aku lihat di loteng sebelah sana timbul kebakaran, diam-diam aku pergi mengintai. Aku dapat lihat Pui Pek Hu sudah tiba, aku segera menduga Tiat Leng tentunya tidak akan menemukan bahaya. Sebaliknya dengan racun yang mengenakan diri Tiat Ceng perlu dikeluarkan dengan cepat, sehingga aku tidak sempat menjumpai mereka lagi.

“Pagi-pagi sekali setelah aku menukar obatnya Tiat Ceng, lebih dulu aku pergi ke kota, kemudian baru mengunjungi kalian di sana. Aku sebetulnya hendak berkunjung cara semestinya, untuk memberitahukan kabar tentang diri Tiat Ceng kepada Pui Pek Hu. Tetapi kebetulan aku dengar saudara Khek Gee sedang menceritakan pengalamannya di masa yang lampau. Timbullah hati kekanak-kanakanku, aku sengaja ingin main-main dengan saudara Khek Gee, untuk memancing ia keluar. Dengan jalan ini aku ingin belajar kenal dengan kepandaian saudara Khek Gee yang menggemparkan dunia Kang-ouw.”

Hoa Khiam Hong berkata sambil tertawa:

“Ayah kau main-main, tidak apa, tetapi sebaliknya kau membikin adik Leng dan orang-orang keluarga Pui menantikan dengan hati cemas.”

Toan Khek Gee sebaliknya merasa agak heran, dalam hatinya lalu berpikir: Hoa lo-cianpwee tentunya tahu bahwa kita sedang memikirkan keselamatan diri Tiat Ceng, sehingga perlu datang menyampaikan kabar. Tetapi sebelum datang memberi kabar mengapa lebih dulu harus pergi ke kota Gui-pok. Apakah ada urusan lain yang lebih penting yang harus didahulukan?

Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:

“Perbuatanku itu sebetulnya tidak seharusnya, tetapi baiknya aku dapat memberikan jasa-jasaku untuk menebus dosa. Saudara Toan, aku masih minta kau supaya tinggal satu hari di sini.”

Toan Khek Gee berkata:

“Kalau begitu, aku akan pulang lebih dulu untuk memberikan kabar supaya mereka tidak mengharap- harap.”

“Mungkin hari ini di sini akan terjadi suatu pertunjukan ramai, aku khawatir kau kehilangan kesempatan yang baik. Jikalau besok pagi kau pulang, aku bawakan kau sedikit bekal supaya Pui Pek Hu merasa terkejut dan girang!” “Kalau aku bawa pulang Tiat Ceng mereka pasti akan sangat girang. Apakah masih ada barang yang lebih berharga dari pada orang?”

“Sudah tentu barang yang bagaimanapun berharga tidak dapat dibandingkan dengan Tiat hian-tit. Akan tetapi luka Tiat hian-tit masih perlu aku rawat beberapa hari lagi, besok tidak bisa ikut kau pulang.”

“Kalau begitu barang apakah yang Lo-cianpwee suruh aku bawa pulang?” “Saudara Toan barang apakah yang kalian paling ingin dapat kembali?” Toan Khek Gee telah tersadar ia lalu berkata:

“Hoa lo-cianpwee apakah yang kau maksudkan itu adalah barang permata dalam kereta itu? Tetapi dengan cara bagaimana kau kata dapat kembali lagi?”

“Tidak perlu aku pergi minta sendiri kepada Tian Sin Cie, ia bisa antar sendiri kepadamu!” Toan Khek Gee bingung, ia berkata:

“Maaf aku seorang bodoh, aku sebetulnya tidak dapat menebak rencana Lo-cianpwee, suka menjelaskan duduknya perkara, supaya aku tidak usah menduga-duga.”

“Ini bukan merencanakan apa-apa, hanya boleh dikatakan suatu keberuntungan yang kebetulan saja. Tadi malam setelah aku menolong Tiat Ceng, diam-diam aku memutar di loteng sebelah sana, karena aku tahu Pui Pek Hu sudah datang maka aku dapat membawa lari Tiat Ceng dengan pikiran tenang.”

“Ya. Barusan Lo-cianpwee sudah mau menceritakannya.”

“Benar, tetapi masih ada suatu hal aku belum memberitahukannya kepadamu. Ketika aku lewat di dekat loteng itu, secara sangat kebetulan aku dapat melihat Tian Yat di bawah perlindungan para pengawalnya sedang menonton pertempuran. Aku bersembunyi di belakang gunung-gunungan sehingga aku dapat melihat mereka, sebaliknya mereka tidak melihat aku. Aku menyaksikan kepandaian Pui Pek Hu. Aku tahu ia tidak memerlukan bantuanku tetapi aku tahu jumlah musuh sangat besar, betapapun tinggi kepandaian Pui Pek Hu, rasanya tidak mungkin dapat menangkap hidup Tian Yat.

“Karena kebetulan aku sudah melihat itu sudah tentu aku tidak dapat melepaskannya. Sudah tentu aku tidak dapat menangkap Tian Yat itu hidup, tetapi panah beracun yang melukai Tiat Ceng telah menggerakkan pikiranku. Mengapa aku tidak menggunakan cara orang lain untuk menundukkannya? Seumur hidupku aku belum pernah menggunakan senjata rahasia beracun. Tetapi kejadian adalah sangat kebetulan.

“Dalam perjalananku kali ini ke daerah Tiong-goan, sebelum berangkat, aku meminta diri kepada salah seorang sahabat, dan sahabat ini pandai menggunakan racun. Dalam pembicaraan kami tentang berbagai senjata rahasia beracun ia berkata bahwa dalam waktu belakangan ini ia telah menciptakan semacam jarum beracun.

“Meskipun racun itu tidak terlalu hebat tetapi bekerjanya aneh sekali. Mula-mula orang yang terkena senjata itu sama sekali tidak pernah merasa apa-apa, tetapi satu jam kemudian barulah tampak tanda- tandanya. Apabila racun itu mulai bekerja menimbulkan perasaan gatal yang luar biasa, dan empatpuluh sembilan hari kemudian orang itu baru binasa.

“Senjata ini paling tepat digunakan untuk mengajar adat orang jahat. Karena sifatnya yang sangat unik itu, aku minta kepadanya beberapa buah berikut juga obat pemunahnya. Aku lalu bawa, dan sungguh tidak aku sangka malam itu aku akan menggunakan senjata tersebut.

“Setelah sembunyi di belakang gunung-gunungan diam-diam aku melancarkan serangan jarum beracun itu kepada diri Tian Yat, yang secara kebetulan kena di bagian yang paling mudah merasa gatal. Tetapi kala itu, Tian Yat agaknya tidak merasakan apa-apa, aku cuma melihat gerakan sebentar lengannya, mungkin ia anggap di gigit oleh binatang kecil. Ha, ha, ha!” Toan Khek Gee yang mendengarkan cerita itu sangat terkejut, dalam hati berpikir: Sebuah jarum yang sangat halus dan ringan sekali, bisa dilepaskan ke jarak sejauh sepuluh tombak lebih. Apalagi dalam waktu malam yang gelap gulita, masih dapat mengenakan sasarannya dengan tepat. Kepandaian melepaskan senjata rahasia sedemikian tingginya, suhengku sendiri barangkali juga belum dapat menandingi.

Ia segera berkata sambil tertawa.

“Rasa gatal lebih hebat dari pada rasa takut bangsat Tian Yat itu. Sekarang mungkin sedang gelisah dalam penderitaannya itu.”

Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:

“Tidak cukup cuma itu saja, apabila racunnya bekerja. ia nanti pasti akan bergulingan di tanah. Tadi malam jam empat hampir menjelang pagi ia terkena senjata jarum itu, begitu terang tanah racunnya akan bekerja.”

Toan Khek Gee segera tersadar, ia lalu berkata:

“Hoa lo-cianpwee, tadi pagi, pagi-pagi sekali kau sudah ke kota, apakah kau menyampaikan surat kepada Tian Sin Cie?”

“Benar, surat itu aku masukkan ke dalam kantor kepala daerah. Aku beritahukan kepadanya apabila ia masih menghendaki jiwa anaknya, maka ia harus segera mengembalikan kereta rampasan itu untuk menukar obat pemunahnya. Dalam surat itu aku sertakan gambar peta, menyuruh ia mengirim orang untuk mengantarkan kereta barang itu kemari. Aku masih memperingatkannya, semua barang permata itu harus diserahkan dalam keadaan utuh tidak berubah. Apabila kurang sebutir saja, aku juga akan mengurangi kekuatan obat pemunah.”

“Bagus sekali! Tian Sin Cie cuma mempunyai seorang anak, barang-barang permata itu ditukarkan dengan obat pemunah, rasanya ia tidak berani tidak menurut.”

Sementara itu samar-samar sudah terdengar suara kuda dan kereta, maka Hoa Ciong Tay lalu berkata sambil tertawa:

“He! begitu cepat mereka datang!”

Bersama-sama Toan Khek Gee dan lain-lainnya ia berjalan keluar, dari jauh sudah nampak mengepulnya debu. Benar saja ada serombongan pasukan tentara yang membawa sebuah kereta besar sedang menuju ke lembah. Rombongan itu dipimpin oleh seorang perwira yang membawa senjata berupa anak-anakan yang terbuat dari tembaga. Perwira itu bukan lain dari pada Pak-kiong Hong.

Hoa Ciong Tay berkata sambil tertawa:

“Jenderal Pak-kiong Hong, tidak diduga hari ini kita bertemu lagi!”

“Hoa Ciong Tay, hari ini biarlah untuk sementara kau boleh merasa bangga, hitung-hitung akalmu yang pandai telah berhasil. Aku mendapat perintah untuk membawa barang ini segera ditukar dengan obat pemunah racun,” berkata Pak-kiong Hong.

Toan Khek Gee berkata:

“Hoa lo-cianpwee, sabar dulu, aku akan periksa dulu dengan Tiat Ceng, apakah mereka betul-betul ataukah main gila.”

Toan Khek Gee lalu mengajak Tiat Ceng. Selagi hendak naik ke atas kereta untuk memeriksa dihadang empat perwira yang turut melindungi kereta itu, semua merupakan orang-orang kuat dalam pasukan kantor kepala daerah. Kali ini Tian Sin Cie dipaksa harus melepas kembali makanan yang sudah berada dalam mulutnya, ini berarti bagian yang mereka hendak dapatkan juga terpaksa turut lenyap, maka dalam hati mereka sangat mendongkol sekali. Ketika melihat Toan Khek Gee hendak melakukan pemeriksaan sudah tentu mereka tidak ijinkan. Empat perwira itu berdiri berbaris di depan kereta, dengan senjata masing-masing menuding Toan Khek Gee dan Tiat Ceng, salah satu di antaranya berkata dengan suara keras:

“Obat pemunahnya belum diserahkan, kau sudah akan membuka kereta untuk memeriksa, mana ada itu aturan?”

Toan Khek Gee berkata dengan nada suara dingin:

“Kalian mengerti peraturan dunia Kang-ouw atan tidak? Dalam hal ini adalah kalian sendiri yang datang untuk minta mengadakan pertukaran, sudah tentu kau harus memberikan kesempatan untuk mengadakan pemeriksaan barang-barang kalian. Dengan terus terang aku juga tidak percaya kepada Tian Sin Cie, maka mau tidak mau harus diperiksa lebih dahulu, lekas sedikit!”

Tiat Ceng yang saat itu mukanya masih pucat nampaknya tegas belum sembuh dari lukanya.

Toan Khek Gee juga merupakan seorang pemuda tampan dan gagah, yang nampaknya baru berusia duapuluhan. Karena empat perwira itu tidak terang asal usulnya, sudah barang tentu mereka tidak memperdulikannya.

Pak-kiong Hong yang mendapat perintah untuk menukar barang dengan obat, sebetulnya tidak ingin menimbulkan keonaran yang dapat mengakibatkan tugasnya. Tetapi setelah memikirkan sikap sombong pemuda itu ia juga setuju apabila anak buahnya menghajarnya.

Karena ia sendiri juga tidak tahu siapa Toan Khek Gee itu, maka ia juga tidak merintangi perbuatan perwira bawahannya.

Ia mengira setelah digertak dan dihalangi oleh empat perwira bawahannya, Toan Khek Gee pasti tidak akan naik ke atas kereta. Siapa tahu pemuda itu sambil satu tangan menarik tangan Tiat Ceng, masih berani menerjang kepada empat perwira itu dengan sikapnya yang berani sekali.

Bentrokan segera terjadi. Apa yang terjadi selanjutnya, benar-benar sangat mengejutkan Pak-kiong Hong, sebab empat perwira bawahannya semua sudah terjatuh setombak lebih jauhnya dan tidak bisa bangun lagi!

Kiranya Toan Khek Gee dengan kecepatan bagaikan kilat sudah menggunakan ilmu memisahkan urat dan mematahkan tulang. Ia menyerang empat perwira itu sedemikian rupa sehingga semuanya roboh tidak berdaya, sedangkan senjata yang mereka bawa, sebelum menyentuh badan Toan Khek Gee dan Tiat Ceng, sudah terlepas dan berterbangan di tengah udara.

Seorang laki-laki pertengahan umur berbadan pendek agak kecil yang berdiri di sisi Pak-kiong Hong mengeluarkan suara maki-makian yang tidak sedap sambil mendelikan matanya. Selagi hendak bergerak, Pak-kiong Hong buru-buru memberi tanda kepadanya supaya jangan berlaku gegabah.

Hoa Ciong Tay lalu berkata:

“Setelah aku menerima barang yang kalian serahkan, sudah tentu akan memberi obat pemunah kepadamu. Karena kalian yang berlaku kasar lebih dahulu, sudah tentu tidak dapat menyalahkan saudara kecilku ini.”

Pak-kiong Hong tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:

“Empat orang ini tidak mengerti aturan dunia Kang-ouw, harap kau jangan buat kecil hati dan minta supaya saudara kecil ini lekas memeriksa.”

Orang she Pak-kiong itu karena lekas ingin mendapatkan obat, terpaksa ia berlaku merendah dan menahan sabar.

Toan Khek Gee berkata:

“Perlu apa kau tergesa-gesa? Tokh tidak nanti Tian Yat segera binasa.” Sambil menggandeng Tiat Ceng, dengan tenangnya dia naik ke atas kereta, peti-peti barang itu diperiksanya satu persatu. Delapan peti besar itu kelihatan masih dalam keadaan utuh, tutup peti yang dilak, juga masih belum terganggu.

Tiat Ceng membuka sebuah di antaranya seraya berkata:

“Dalam peti ini terisi barang-barang mas dan permata, kiranya tidak mungkin dipalsukan. Tapi entah bagaimana dengan peti-peti yang lainnya, Paman Toan, apakah kau ingin peti itu diperiksa satu persatu?”

Toan Khek Gee tahu benar bahwa barang-barang itu hendak ditukarkan dengan jiwa anaknya, tidak mungkin berani memalsukan, apalagi semua peti masih dalam keadaan utuh, sudah tentu tidak perlu merasa curiga. Tetapi Toan Khek Gee ingin menggunakan kesempatan itu untuk mempertunjukan kepandaiannya agar kawanan tentara itu merasa jerih, sehingga tidak berani main gila setelah mendapatkan obat pemunah.

Suheng Toan Khek Gee, Khong-khong Jie adalah seorang ahli mencuri yang sangat ulung. Toan Khek Gee yang sejak kecil mengikuti suhengnya, meskipun belum pernah melakukan pekerjaan mencuri, tetapi juga merupakan salah seorang ahli dalam pekerjaan itu.

Salah satu kepandaian yang harus dipunyai oleh seorang pencuri sakti, harus dapat membedakan barang- barang permata yang tulen dan yang palsu, serta dapat menduga barang apa yang berada dalam peti hanya menaksir dari berat ringannya peti itu. Umpama barang permata yang berada dalam peti apabila ditukar dengan batu, setelah diangkat oleh tangannya sebelah diketahui kalau barang itu sudah ditukar. Maka seketika itu ia lantas berkata sambil tertawa:

“Tidak usah terlalu repot, asal setiap peti aku angkat, aku segera dapat ketahui barang-barang di dalamnya benar ataukah sudah ditukar.”

Ia lalu mengangkat sebuah peti, kemudian berkata pula sambil tertawa:

“Karena melihat mereka sudah demikian gelisah biarlah aku memeriksa dengan dua peti dengan berbareng.”

Ia lalu mengangkat sebuah peti lagi dengan tangan kirinya.

Beberapa buah peti itu bukanlah peti biasa, melainkan peti-peti besi berbentuk besar yang diisi dengan barang-barang mas dan permata. Sekalipun kosong, sedikitnya juga ada seratus kati beratnya, dengan isinya yang penuh, setiap peti mungkin ada empat atau limaratus kati beratnya. Ini berarti, apabila Toan Khek Gee dapat mengangkat dua buah peti, maka kedua tangannya mempunyai kekuatan tenaga hampir seribu kati.

Kalau hanya itu saja, masih tidak begitu mengherankan. Di bawa mata para perwira itu, Toan Khek Gee tiba-tiba memutar peti itu lalu dilemparkan ke atas dan kemudian disambut lagi dengan sikap tanpa menunjukkan perobahan apa-apa. Kalau tadi ia telah merobohkan empat perwira dengan sekaligus, sudah cukup mengejutkan semua orang, dan perbuatannya kali ini, lebih-lebih mempersonakan semua orang yang menyaksikannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar