Jiwa Ksatria Jilid 04

 
Ternyata Tiat Ceng hanya tahu sebagian saja, ia mengira ayahnya bersahabat karib dengan ayah bunda Can Pek Sin, tetapi ia tidak tahu di dalamnya masih tersangkut soal lain, lebih-lebih tidak tahu perasaan hati Ong Yan Ie di waktu hendak menutup mata. Karena maksudnya Ong Yan Ie, sebagian disebabkan karena merasa menyesal atas perbuatannya yang lalu, sebagian pula karena hendak menjaga nama baiknya Tiat Mo Lek, jangan sampai ia terlibat dalam kesulitan. Maka ia tidak mengidzinkan anaknya memberitahukan kepada Tiat Mo Lek.

Tiat Ceng berkata pula:

“Ayah menyuruh kita mengajakmu pulang ke gunung untuk tinggal bersama-sama, harap kau tidak menolak.”

“Aku sudah terima baik permintaan Yaya sekali pun ke pelosok dunia, juga harus mencari kembali enci Po Leng,” berkata Can Pek Sin.

“Setidak-tidaknya harap kau singgah dulu beberapa hari di atas gunung. Jikalau tidak, ayah nanti akan menyesali kita karena tidak mampu menjalankan tugas. Sahabat dan kenalan ayah banyak sekali, kau hendak mencari enci Po Leng, juga boleh minta pertolongannya untuk menyelidiki.”

Can Pek Sin berpikir, hal itu memang seharusnya memberi keterangan kepada Tiat Mo Lek, maka ia berkata:

“Baiklah, disini aku tokh tidak dapat berdiam lagi. Ku harap engkau membantuku mengubur jenazah Yaya, kemudian kita berangkat.”

Ia lalu mengangkat peti mati Yayanya ke kebun, ketika melalui gua tempat simpanan harta benda itu, hatinya merasa sangat terharu. Karena sang Yaya itu sudah beberapa puluh tahun menjaga harta benda itu, maka ia hendak mengubur jenazah Yayanya ke dalam gua tersebut.

Tiat Ceng dan adiknya membantu menggali tanah, peti-peti berisi harta itu dikeluarkan, lalu dimasukkannya peti mati Thie Sui.

Sambil bekerja Can Pek Sin bertanya: “Bagaimana keadaan di atas gunung?”

“Selama lima tahun ini, menurut keterangan ayah, tentara kerajaan sudah tiga kali mengadakan serangan, setiap kali semakin hebat serangannya, barangkali kita tidak dapat pertahankan kedudukan kita di gunung Hok-gu-san. Ayah ingin membubarkan anak buahnya, untuk berpindah ke lain tempat,” kata Tiat Ceng.

“Saudara-saudara di atas gunung, biasanya memang hidup dengan mengandalkan tenaga sendiri dengan usaha berladang. Dengan terjadinya serangan tentara kerajaan itu, mungkin tidak dapat melakukan pekerjaannya di sawah dengan baik, dan dengan demikian sudah tentu mempengaruhi penghasilan sawah mereka, kedudukan mereka pasti sangat sulit?”

“Namun, saudara-saudara kita itu sudah biasa hidup demikian.”

“Beberapa peti permata ini, bagiku juga tidak ada gunanya. Kita boleh membawanya ke atas gunung, supaya dapat digunakan untuk ransum anak buah ayahmu.”

“Tentang ini, entah ayah mau terima atau tidak?” “Biar bagaimana, aku akan minta ia menerima baik, sekedar sebagai sumbangan untuk membantu usaha ayahmu.”

“Baiklah, aku sanggup membantu kau untuk mengangkut semua peti-peti itu ke atas gunung.”

Selesai mengubur, menurut tradisi, Can Pek Sin harus menebar tanah pertama di atas makam, dengan mata tergenang air, Can Pek Sin memandang jauh, agaknya sedang memikirkan sesuatu.

Tiat Ceng berkata padanya:

“Can toako jangan bersedih lagi, lekas kita berangkat.”

“Ya,” jawabnya Can Pek Sin, yang segera menebarkan tanah di atas makam Yayanya. Hatinya masih sangat sedih, karena upacara itu seharusnya dilakukan oleh Enci Leng nya.

“Upacara ini sebetulnya harus dilakukan oleh enci Leng, sayang ia kini tidak dapat mengantar Yayanya yang pergi jauh dan tidak akan kembali lagi.”

Tiat Leng adalah seorang gadis sederhana yang sifatnya masih kekanak-kanakan, ia belum mengerti apa artinya duka, sambil mencibirkan bibirnya iapun berkata:

“Apakah kau masih teringat enci Leng mu saja? Aku justru tidak dapat menyetujui sikapmu demikian itu!” Tiat Ceng berkata:

“Adik Leng, janganlah berkata sembarangan saja.”

“Apa? Siapa kata sembarangan? Di waktu anak-anak, enci Leng mainnya dengan Can toako terus. Siapa sangka baru berpisahan berapa tahun saja, bertemu lagi lalu berubah hatinya. Kau sekarang capai-capai memikirkan dia, mungkin saat ini ia sedang bersenang-senang dengan bocah she Lauw itu!” berkata Tiat Leng.

“Tadi pagi ketika kemari, apakah di tengah jalan tidak bertemu dengannya?” bertanya Can Pek Sin.

“Kalau kita berpapasan dengannya, siang-siang niscaya kita sudah bawa kembali, apakah masih perlu ditanya? Can toako, kau, kau tidak perlu memikirkan yang bukan-bukan. Dia tidak memenangimu, biarkan saja ia pergi. Apakah di dunia ini hanya dia saja perempuan itu?” berkata Tiat Leng seenaknya.

Tiat Ceng lalu menegur adiknya:

“Seorang gadis, tak layak berkata seenaknya saja. Untung Can toako tahu sifatmu, dan kau juga masih anak-anak.”

“Apakah aku salah berkata? Kau lihat Can toako begitu sedih, apakah sebagian bukan karena kematian Yaya dan sebagian karena gara-gara enci Leng? Kau tidak membantuku memberi hiburan kepadanya, sebaliknya mencela aku, padahal kata-kataku ini justru sebenar-benarnya.

Can Pek Sin yang dikatakan demikian, wajahnya merah seketika, ia berkata:

“Enci Leng suka, siapa saja, kita tidak boleh menyalahkannya. Aku, aku juga tidak bermaksud lain, hanya pesan Yaya terakhir, aku harus berusaha untuk mencari dia supaya kembali. Adik Leng, ucapanmu memang betul, mungkin benar ia sekarang berada di rumah keluarga Lauw.”

“Aku hanya menduga-duga saja, apakah kau hendak ke rumah keluarga Lauw untuk mencarinya? Sudahlah jangan pergi, apakah tidak malu bertemu dengannya?” berkata Tiat Leng.

“Kalau memang kemungkinan itu ada, aku pikir sebaiknya kucoba mencarinya di sana,” kata Can Pek Sin.

Tiat Ceng yang usianya lebih tua, mengerti perasaan Can Pek Sin, berpikir: Kalau tidak mengidzinkan ia pergi mencobanya sendiri, pikirannya tentu tidak akan merasa lega, maka lalu berkata: “Baiklah, pergilah kau lihat ke rumah keluarga Lauw. Kalau Tok-kow tayhiap belum pergi, tolong kau sampaikan salamku kepadanya. Paling baik kau dapat mengajaknya supaya pergi bersama-sama kita.”

“Apa kita tidak perlu mengawani Can toako?” tanya Tiat Leng. Tiat Ceng menjawab sambil tertawa:

“Biarkan ia pergi seorang diri saja. Kalau kita pergi bersama-sama, akan menyulitkannya, mungkin ia tidak dapat bicara dengan leluasa. Touw Goan sudah kita usir pergi, keluarga Lauw dengan Can toako sudah bukan musuh lagi, apalagi mereka juga sudah terluka parah, sekalipun bermaksud jahat, Can toako juga masih sanggup meghadapinya.”

Can Pek Sin juga berkata:

“Tidak apa, rumah keluarga Lauw terpisah tidak jauh dari sini, jika terjadi sesuatu, aku nanti akan memberi tanda dengan siulan, kalian tentunya bisa mendengar. Kalian tunggu disini sebentar, aku akan segera kembali.”

Sehabis berkata, ia meninggalkan dua saudara Tiat dan pergi ke rumah keluarga Lauw.

<>

Di lereng gunung terdapat banyak tumbuhan bunga beraneka warna. Can Pek Sin teringat waktu pertama kali datang ke gunung itu, apa yang disaksikannya ialah enci Leng nya itu sedang membuat kalung bunga untuk Lauw Bong.

Ia lantas teringat selama satu bulan dalam pergaulan dengan Thie Po Leng, semua itu bagaikan impian saja. Impian yang semulanya indah, tetapi akhirnya berubah menjadi impian buruk.

Sementara itu, dalam hatinya terus berpikir: Enci Leng mencurigai aku menjual dia, dalam hatinya pasti membenci aku. Mungkin ia tidak sudi menjumpai aku. Tetapi, biar bagaimana, sekalipun ia menolak menemui aku, aku juga akan menyampaikan kabar kematian Yaya ini kepadanya. Yaya sangat sayang kepadanya, sedikitnya ia harus pulang satu kali untuk memberi hormat kepada arwahnya. Tetapi apa yang dapat kukatakan kepadanya? Sudah tentu aku tidak dapat menyampaikan kata-kata terakhir Yaya, tetapi aku juga tidak boleh membohonginya.

Dengan pikiran kusut, tanpa dirasa Can Pek Sin sudah berada di depan pintu rumah keluarga Lauw. Di dalam pekarangan, di bawah pohon dimana dulu ia pernah naik di atasnya, tertambat seekor kuda putih.

Dikiranya kuda itu kepunyaan keluarga Lauw yang sudah siap hendak pergi.

Dengan perasaan girang ia mengetok pintu sambil memanggil: “Lauw toako, Lauw toako, Lauw Bong toako!”

Ia tahu ayah Lauw Bong terluka parah, juga tidak berani memastikan Thie Po Leng berada di situ atau tidak, maka hanya memanggil nama Lauw Bong saja.

Beberapa kali ia memanggil, tetapi tidak dapat jawaban dari dalam. Ia mengerutkan alisnya, dalam hatinya berpikir: Kudanya ada di luar, terang didalam pasti ada orang, mengapa tidak mau menjawab? Apakah enci Leng masih membenci aku, hingga melarang Lauw Bong membuka pintu?

Ia lalu mengambil keputusan untuk memasuki rumah dengan jalan paksa.

Ia menggunakan akal seperti dahulu, ialah dengan memanjat pohon besar itu untuk melompat masuk melalui tembok pagar pekarangan.

Ia menengok ke dalam, ternyata tidak tertampak bayangan orang, ia memanggil lagi juga tidak mendapat jawaban. Ia lalu melompat masuk sambil berkata: “Maaf, karena ada persoalan penting, dan kalian tidak suka menemuiku, terpaksa aku masuk sendiri.”

Belum lagi ia menginjakkan kakinya, tiba-tiba merasakan desirnya angin halus dan berkelebatnya sinar putih, sebuah jarum bwee-hoa-ciam telah menyambar ke arahnya. Can Pek Sin terperanjat, untung ilmunya meringankan tubuh sangat sempurna, dalam keadaan demikian masih dapat menolong dirinya dengan satu gerakan lompat melesat ke atas, sehingga jarum itu lewat melalui bawah kakinya.

Dengan jalan jumpalitan di tengah udara, ia menerjang ke arah datangnya jarum tadi, matanya segera dapat lihat seorang perempuan muda dengan pedang di belakang punggungnya berdiri di pojok rumah, nampak perempuan itu hendak mengelakkan diri tetapi belum keburu menyingkir.

Can Pek Sin mengira itu adalah enci Lengnya, maka lantas berkata dengan hati sedih:

“Enci Leng, demikianlah bencimu terhadap aku? Kau hendaki jiwaku, setidak-tidak juga harus dengar dulu keteranganku!”

Perempuan muda itu mendadak berpaling dan berkata:

“Kau siapa? Siapakah enci Leng mu?”

Can Pek Sin kini baru dapat melihat tegas paras perempuan itu, ternyata masih asing baginya. Tinggi tubuhnya memang mirip dengan Thie Po Leng, parasnya sangat cantik, tetapi raut mukanya terdapat tanda-tanda sifatnya yang galak. Usianya juga sebaya dengan Thie Po Leng, mungkin agak tua sedikit.

Can Pek Sin merasa kaget dan malu, katanya dengan suara gemetar:

“Maaf, aku telah salah lihat orang. Aku adalah orang yang tinggal di lembah dekat tempat ini, aku hendak mencari Lauw Bong toako.”

“Untuk apa kau mencari Lauw Bong?” bertanya perempuan muda itu. “Aku hendak bertanya Lauw Bong toako, apakah enci Leng ada disini?” “Siapa enci Leng? Oh, apakah dia bukannya cucu perempuan Thie Sui?” “Tepat. Nona, apakah nona kenal dengannya?”

“Kalau begitu, kau adalah adiknya Thie Po Leng?” Ia tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya bertanya keterangan lebih dulu.

Can Pek Sin tidak suka menerangkan asal usul dirinya terhadap seorang perempuan yang baru dikenalnya, maka menjawab seenaknya:

“Ya. Kita selalu berbahasakan enci adik.”

Alis perempuan muda itu tiba-tiba berdiri, sambil tertawa dingin ia berkata:

“Aku dengar kabar Lauw Bong terpikat oleh satu siluman rase, kiranya adalah encimu!” “Mengapa dengan tanpa alasan kau memaki orang?” tegurnya Can Pek Sin gusar.

“Thie Po Leng kejam dan jahat, bukan saja aku harus memakinya jika kujumpai, bahkan aku hendak beset mukanya!”

Can Pek Sin naik darah, katanya sengit: “Kau, kau, benar-benar kurang ajar! Kalau kau berani berkata sembarangan lagi, aku nanti akan berlaku kasar terhadap dirimu!”

Dalam gusarnya. ia berkata tanpa dipikir, sehingga mirip menantang orang. “Bukankah Lauw Bong terluka oleh kalian orang orang keluarga Thie?” Can Pek Sin tidak mau memberi keterangan, jawabnya dengan lantang:

“Benar, ia terluka di tanganku, ini tidak ada hubungannya dengan enci Leng!” “Hm! Encimu adalah satu siluman rase. Kau tentunya juga bukan orang baik. Kalian enci dan adik telah bersekutu mencelakakan Lauw Bong, maka aku juga akan melukaimu.”

“Lihat pedang!”

Dengan cepat perempuan itu sudah menghunus pedangnya dan menikam Can Pek Sin.

Serangan itu hebat sekali, Can Pek Sin yang tidak membawa senjata, terpaksa menghadapinya dengan tangan kosong, untung ilmunya meringankan tubuh mahir sekali. Dalam keadaan sangat berbahaya, ia masih berhasil mengelakan serangan tersebut tetapi tidak urung ujung bajunya terpapas sepotong.

Can Pek Sin sangat mendongkol dan gusar tetapi ia masih tidak mau bertanding terhadap seorang perempuan muda dengan tanpa sebab. Setelah mengelakkan serangan tersebut, ia berkata:

“Kau jangan terlalu galak, dengar dulu keteranganku!”

Diperlakukan demikian, Can Pek Sin kini terpaksa hendak menjelaskan letak persoalannya. Tetapi perempuan itu agaknya memang sudah biasa dimanja, ketika mendengar Can Pek Sin mengatakan padanya galak, bahkan semakin marah. Sambil menyerang lagi, perempuan itu berkata:

“Kalau kau ingin kuampuni kesalahanmu, itu mudah sekali, cuma perlu berlutut di hadapanku dan menganggukkan kepala tiga kali, kemudian aku patahkan tulang lenganmu, demikian kau lukai Lauw Bong, demikian pula sekarang aku lukai kau. Dan anggukan kepala tiga kali itu sebagai bunganya. Segala perkataan tidak perlu lagi, aku juga tidak ingin mendengarkan!”

“Aku hanya memandangmu sebagai seorang perempuan, sehingga tidak suka ribut-ribut tanpa sebab. Apakah kau kira aku benar-benar takut kepadamu?”

“Bagus, aku melihat bau air tetemu masih belum kering, tetapi kau berani bermulut besar! Kau tidak takuti aku? Sekarang cobalah lihat kepandaian nonamu!”

Tanpa rewel lagi, ia melakukan serangannya lagi dengan gencar dan dahsyat.

Can Pek Sin kewalahan, ia lalu mengambil keputusan hendak merampas pedang dari tangan si nona.

Ilmu merebut senjata dari tangan musuh dengan tangan kosong keturunan keluarga Can merupakan salah satu ilmu yang tidak ada tandingannya dalam rimba persilatan. Apalagi selama satu bulan itu Can Pek Sin sudah berhasil mempelajari ilmu ‘Kin-na-chiu-hoat’ dari Thie Sui, ia yakin dapat merebut senjata lawannya.

Saat itu, pedang perempuan itu mengancam pula kedua matanya, dalam gusarnya, Can Pek Sin lalu mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, telapak tangannya nerobos bawah ketiak si nona, kemudian menyanggah lengan sikunya dan tangannya hendak mencekam pergelangan tangannya.

Siapa mengira gerakan pedang nona itu aneh sekali. Ketika serangannya mengenakan tempat kosong, dengan cepat telah merubah gerakannya yang semula hendak menusuk biji mata orang, kini berubah menjadi satu gerakan memutar, maka apabila Can Pek Sin tidak menarik kembali tangannya, jari tangannya, pasti akan tertabas kutung.

Can Pek Sin ternyata juga sangat cepat, ia yang kakinya sudah maju setindak, tidak keburu menarik mundur badannya, tetapi ia menuruti gerakan si nona. Kakinya turut memutar sehingga serangan si nona yang dilancarkan secara beruntun sampai tiga kali, setiap serangannya tidak mengenakan sasarannya. Tetapi beberapa gerakan bagus dari Can Pek Sin yang hendak merampas pedang dari tangan lawannya, juga dipunahkan oleh nona itu, sehingga tidak berhasil merebut pedangnya.

Ayah Can Pek Sin kenal baik ilmu silat berbagai cabang partay persilatan. Can Pek Sin yang sejak anak- anak dididik baik oleh ayahnya, dengan sendirinya mewarisi kepandaian dan pengetahuan ayahnya, meski belum dapat dibandingkan dengan ayahnya, tetapi pengetahuannya dalam ilmu pedang dari cabang atau partay yang agak kenamaan, ia dapat mengenali. Tetapi menghadapi ilmu pedang nona itu, meski sudah bertempur sepuluh jurus lebih, masih belum dapat menyelami ilmu pedang lawannya, sehingga diam-diam merasa heran. Sebaliknya dengan nona itu, ia juga merasa sangat heran. Can Pek Sin yang usianya baru belasan tahun, dan lebih muda daripadanya sendiri, bahkan cuma menggunakan sepasang tangan kosong, untuk menghadapi pedangnya, tetapi ia masih belum mampu merebut kemenangan. Dalam hatinya diam-diam berpikir: menghadapi adiknya yang masih begini muda saja aku belum mampu menjatuhkannya, bagaimana untuk menghadapi encinya.

Dalam cemasnya, serangannya dilakukan semakin hebat dan ganas.

Dalam hal ilmu silat, kepandaian Can Pek Sin sebetulnya lebih tinggi sedikit daripada nona itu, sekalipun ia tidak berhasil merebut pedangnya dengan tangan kosong, tetapi juga tidak sampai dikalahkan oleh lawannya. Tetapi karena semalam suntuk ia tidak tidur, apalagi sudah bertempur sengit setengah malam dan setengah hari lamanya, tenaganya sudah banyak terhambur. Meski ia sudah dapat waktu istirahat dua jam, tetapi letihnya masih belum pulih, maka setelah sepuluh jurus berlalu, napasnya mulai tersengal- sengal.

Perempuan itu ketika menyaksikan keadaan Can Pek Sin, diam-diam merasa lega hatinya, ia mendesak terus dengan serangannya yang semakin ganas.

Namun demikian, ia juga tidak ingin mengambil jiwa anak muda itu. Maksudnya hanya untuk memaksanya supaya mau mengaku kalah, paling-paling hanya dilukai saja, untuk membalas dendam sakit hati Lauw Bong.

Tetapi Can Pek Sin bagaimana dapat menebak isi hatinya perempuan itu? Ketika menyaksikan serangan semakin ganas itu, sudah tentu ia merasa khawatir dan gusar, sehingga ilmu simpanannya yang sifatnya sangat ganas terpaksa ia keluarkan.

Perempuan itu lalu berkata sambil tertawa dingin,

“Apakah kau masih ingin berkelahi terus? Kalau kau mau berlutut di hadapanku, mungkin aku dapat mengampuni jiwamu.”

“Kau telah menghina encieku, kaulah seharusnya yang minta ampun!” jawab Can Pek Sin gusar.

Di dalam gusarnya, ia menggunakan gerak tipu Naga menyambar mutiara, tangannya tiba-tiba menyambar lawannya. Perempuan itu karena terlalu memandang ringan lawannya, dalam keadaan tidak terduga-duga telah kena tersambar badannya. Dalam keadaan kaget ia buru-buru menarik mundur dirinya tetapi baju luar bagian dada sudah kena kesambar sehingga sobek.

Perempuan itu, merasa sangat malu dan gusar, bentaknya dengan suara keras: “Bagus, kau berani berlaku kurang ajar, hari ini aku terpaksa akan membunuhmu mati!”

Cepat ia maju lagi, dengan serangan yang semakin ganas ia mengarah jalan darah Can Pek Sin.

Mengarah jalan darah dengan ujung pedang, kepandaian itu juga merupakan keahliannya Can Pek Sin, tetapi gerak tipu yang digunakan perempuan itu sangat aneh, kadang-kadang mengarah di bnagian-bagian yang tidak terduga-duga, sehingga Can Pek Sin harus menggunakan tenaga sepenuhnya, untuk melayaninya. Tetapi dengan demikian, baginya semakin sulit lagi keadaannya. Diam-diam ia lalu berpikir; jika aku kehabisan tenaga, akhirnya pasti akan terluka di ujung pedangnya.

Ia sebetulnya sudah berjanji dengan Tiat Ceng, apabila ada bahaya yang mengancam, ia akan memberi tanda dengan siulan, semula karena yang dihadapinya itu hanyalah seorang perempuan, ia tidak suka minta bantuan Tiat Ceng, tetapi kini mau tidak mau ia terpaksa minta bantuannya.

Baru saja siulan berhenti, lalu terdengar suara derap kaki kuda yang mendatangi.

Can Pek Sin merasa heran, mengapa Tiat Ceng datangnya begitu cepat? Apakah bukan ia yang datang? Perempuan itu juga terperanjat, ia lalu memaki:

“Bagus sekali, kiranya sudah sedia pembantu di luar! Hm, kau mengundang bantuan, apa kau kira aku takut?” Perempuan itu mengira orang yang akan datang itu adalah orang tingkatan tua Can Pek Sin atau mungkin Thie Po Leng sendiri. Kalau Can Pek Sin sudah demikian hebat kepandaiannya, apa lagi orang yang lebih tua tingkatannya? Ada kemungkinan dirinya sendiri nanti akan tertangkap. Dan untuk menghindarkan kehinaan itu, sebaiknya menangkap Can Pek Sin lebih dulu sebelum bantuan itu tiba.

Di pihaknya Can Pek Sin, juga mempunyai pikiran demikian, ia takut orang yang akan datang itu adalah kawannya perempuan itu, maka lalu berpikir: Keadaan sudah mendesak, terpaksa aku harus mengadu jiwa, untuk menangkap perempuan ini, baru aku terlepas dari bahaya. Karena aku mempunyai tawanan di tangan, orang yang akan datang itu pasti tidak akan berani bertindak terhadapku. Setelah Tiat Ceng datang aku tidak perlu takut lagi.

Karena kedua-duanya berpikiran sama, lalu sama-sama mengeluarkan serangannya yang berbahaya. Perempuan memendekkan badannya, pedangnya menikam bagian lutut Can Pek Sin, sedang Can Pek Sin menggunakan gerak tipu ‘Kera mencakar’, ia mementang lima jari tangannya, selagi perempuan itu memendekkan badannya ia menyambar tulang Pi-pe-kut di pundak perempuan itu.

Kedua-duanya bergerak sama cepatnya, kalau Can Pek Sin kena tertikam pedang perempuan itu, salah satu pahanya pasti akan menjadi cacat, begitu pula dengan perempuan itu, kalau pundaknya kena kesambar jari tangan Can Pek Sin, tulang pi-pe-kutnya pasti akan hancur. Betapapun tinggi kepandaiannya, juga tidak akan ada gunanya, sama halnya dengan Can Pek Sin, ia juga akan menjadi cacat seumur hidup.

Selagi dua-duanya dalam keadaan berbahaya, mendadak sesosok bayangan orang, bagaikan burung terbang, melayang melalui tembok pekarangan, dan dengan kecepatan bagaikan kilat kibaskan lengan bajunya di tengah-tengah dua orang yang sedang bertempur mati-matian itu.

Saat itu ujung jari tangan Can Pek Sin baru saja menyentuh daging pundak perempuan muda itu tetapi segera didorong oleh orang yang baru datang itu, di lain pihak, ujung pedang si nona sudah menusuk baju orang tersebut, tetapi karena terhalang oleh baju itu, sehingga serangannya tidak mengenakan lutut Can Pek Sin, sedangkan pedang panjang di tangannya, tahu-tahu sudah dirampas oleh orang tersebut.

Can Pek Sin berputaran sampai dua putaran, baru berdiri tegak. Ia kini baru dapat lihat bahwa orang yang memisah dirinya itu adalah seorang laki-laki tegap sudah mempunyai kepandaian demikian tinggi.

Perempuan itu kini juga sudah dapat melihat siapa orangnya yang memisah dirinya tadi. Kalau Can Pek Sin tidak kenali orang itu, sebaliknya dengan perempuan muda itu, yang agaknya kenal baik padanya.

Selagi Can Pek Sin hendak membuka mulut, sudah didahului oleh perempuan itu.

“Hai, orang she Lam, apakah perlunya kau mengikuti aku? Hm, apa kau sengaja hendak menghina aku?” demikian tegurnya.

Pemuda yang disebut she Lam itu lantas menyahut sambil tertawa:

“Kalau kau bisa datang kemari, mengapa aku tidak boleh? Jikalau bukan aku yang bertindak, tulang pi-pe- kut mu barangkali sudah hancur, mengapa kau katakan aku menghina kau?”

Perempuan itu semakin gusar, dengan alis berdiri ia berkata:

“Kau jangan mengira karena kau membantu aku, aku lalu sudi menerima budimu. Aku datang mencari Lauw Bong, ada hubungan apa dengan kau? Mengapa kau mengikuti aku? Aku hendak membunuh bocah ini, apakah hubungan denganmu, sehingga perlu kau campur tangan?

“Hm! kalau bukan kau yang menghalangi, aku pasti sudah berhasil membikin pincang kakinya!”

Wajah pemuda she Lam yang agak hitam itu nampak merah, terang ia juga agak gusar, dengan suara datar ia berkata:

“Nona Liong, jikalau bukan encimu yang minta pertolonganku, aku tidak sudi mencampuri urusanmu. Apa lagi datang kemari juga atas permintaannya Lauw Bong, kau masih belum menjadi nyonya rumah dalam rumah ini, tidak patut kau melarang aku datang kemari!” Perempuan itu tercengang, kemudian berkata:

“Apakah kau sudah melihat Lauw Bong?”

“Benar. Lauw Bong dan ayahnya semuanya terluka, kuda kereta mereka jalannya sangat lambat, jikalau kau menyusul menuju ke Barat, malam ini barang kali dapat terkejar.”

“Bagaimana keadaan luka mereka? Lauw Bong berkata apa dengan kau? Dia suka menemui aku atau tidak?”

“Luka Lauw Cin sangat parah, Lauw Bong agak mendingan, tulang lengan yang patah sembuh. Ia mendengar kabar kau menuju ke mari menyuruh aku pergi melihat, ia minta supaya kau jangan mencari musuh dengan orang keluarga Thie. Tentang ia suka menemui kau atau tidak, aku sendiri juga tidak tahu.”

“Ayah dan anak telah dihajar orang sampai terluka, dan tokh masih takut aku mencari musuh dengan siluman rase itu! Hm, kali ini meski ia masih beruntung tidak melayang jiwanya, satu hari kelak pasti akan mati di tangannya siluman rase itu!” katanya perempuan itu sengit.

Karena ia tidak tahu sebab musababnya, hanya mengira Lauw Bong mencegah ia mencari balas, semata- mata karena hendak melindungi Thie Po Leng.

Tetapi Can Pek Sin yang mendengarkan kata-kata yang memaki encinya itu, hatinya panas, tetapi karena adanya pemuda itu, ia merasa tidak pantas ribut mulut dengan seorang perempuan, maka hanya memandang padanya dengan mata melotot.

Pemuda she Lam itu agaknya dapat lihat sikap Can Pek Sin, ia berkata sambil tertawa:

“Aku dengan Lauw Bong tidak berbicara banyak, lantas berlalu dengan tergesa- gesa maka tidak menanyakan sebab musababnya, kau juga tidak perlu memaki-maki yang tidak karuan dulu padanya.”

“Benar juga, sekalipun ia tidak sudi menemui aku, aku juga harus melihatnya.” “Tunggu dulu, apakah kau sudah tidak mau mengambil kembali pedangmu ini?’

Pedang perempuan itu tadi memang direbut oleh pemuda she Lam itu. Kini mendengar pertanyaan demikian, mendadak marah lagi, katanya dengan sengit:

“Aku tidak mau. Kau simpan saja, satu hari kelak, setelah aku berhasil melatih kepandaianku, aku akan merebut kembali dari tanganmu!”

Setelah mengucapkan demikian, cepat berlalu.

Pemuda she Lam itu cuma mengawasi sambil geleng-gelengkan kepala, adatnya yang mau menang sendiri dari si nona itu, benar-benar menggelikan.

Can Pek Sin yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka, sudah tahu bahwa pemuda she Lam itu adalah sahabatnya Lauw Bong, dengan perempuan muda itu agaknya juga mempunyai hubungan baik, tetapi biar bagaimana, pemuda itu pernah memisah dirinya, sehingga terhindar dari bencana, sudah seharusnya menyatakan terima kasih padanya.

Tetapi sebelum ia menyatakan maksudnya, pemuda she Lam itu sudah mendahului berkata sambil tertawa,

“Saudara kecil, kau agaknya masih belum puas!” Can Pek Sin tercengang, ia balik bertanya:

“Apa maksudmu?”

“Tidak apa-apa, aku hanya ingin belajar kenal dengan kepandaianmu. Pedang ini kupinjamkan untuk kau pakai, mari!” Hal ini di luar dugaan Can Pek Sin, ia tidak segera menerima pedang itu. Pemuda itu berkata pula sambil tertawa:

“Kau sudah lelah, aku tak boleh menarik keuntungan darimu!”

Ia lalu melemparkan pedang berikut sarungnya kepada Can Pek Sin.

Can Pek Sin merasa kaget dan agak mendongkol, pikirnya: Ya, biar bagaimana ia adalah sahabat wanita itu, sudah tentu ia hendak membantunya untuk menghinaku.

Dalam keadaan mendongkol, ia menerima pedang tersebut sambil berkata: “Baik, aku terima baik keinginanmu, silahkan kau membuka serangan!” Pemuda she Lam itu lalu berkata sambil ketawa:

“Aku tadi berkata bahwa aku tidak boleh menarik keuntungan darimu yang masih lelah, sebaiknya kau yang membuka serangan terlebih dulu!”

Can Pek Sin kini baru tersadar bahwa pemuda itu hendak menyambut serangannya dengan tangan kosong. Ia lantas berkata dengan gusar:

“Kepandaianmu lebih tinggi dari padaku, kalau kau hendak menghina aku, tak perlu bertanding lagi. Aku berlaku salah terhadap sahabatmu, kalau kau hendak melakukan pembalasan, terserah padamu, apa yang kau ingin perbuat terhadap diriku, sedikitpun aku tidak akan kerutkan alisku.”

Ia keluarkan perkataan demikian, maksudnya hendak menjajaki hati pemuda itu. Jika benar hanya hendak menguji kepandaiannya, seharusnya ia mengeluarkan senjata, ini berarti telah anggap padanya secara adil dan tidak bersifat menghina.

Pemuda she Lam itu tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:

“Saudara kecil, kau tidak usah berlaku begini sombong, baiklah, aku menggunakan golok ini saja, silahkan!”

Can Pek Sin benar-benar tidak menduga maksud pemuda itu, dalam hatinya berpikir: Pemuda ini usianya lebih tua dari padaku, memang seharusnya aku yang berada di pihak muda.

Menurut peraturan dalam rimba persilatan, dalam suatu pertandingan mengadu kepandaian ilmu silat, pihak yang muda selalu membuka serangan lebih dulu.

Sambil mengucapkan perkataan ‘maaf’’ Can Pek Sin mengangkat pedangnya, kemudian melakukan serangan pembukaan dengan menggunakan ilmu pedang Thian-ceng-kiam-hoat.

Sambil menyahut ‘jangan sungkan-sungkan’ pemuda itu menggeserkan kakinya satu tindak sembari menekan goloknya, mengelakan serangan tersebut, tetapi ia tidak balas menyerang.

Ilmu pedang keluarga Can bukanlah ilmu pedang sembarangan, nampaknya memang biasa saja, tidak ada apa-apanya yang luar biasa, tetapi mengandung banyak perubahan yang aneh. Ujung pedang mendadak memutar, bagaikan rantai melibat kembali kepada sasarannya, hendak membabat pinggang si pemuda.

Pemuda itu dengan satu gerakan membungkukkan badan dan kaki memutar, sehingga hampir mengikuti gerakannya Can Pek Sin, membuat serangan Can Pek Sin mengenakan tempat kosong.

Can Pek Sin yang tak berhasil dengan serangannya itu, dengan cepat telah berubah pula, dan kini ujung pedangnya menikam dengan lurus. Serangan itu cepat dan tepat, tapi ternyata masih tak berhasil, ia tetap mengenakan tempat kosong. Namun ia lanjutkan dengan serangannya yang ketiga, dan kali ini menggunakan serangan yang mematikan dalam dua rupa serangan.

Can Pek Sin tidak menghendaki jiwanya pemuda itu, melainkan hendak paksa padanya supaya balas menyerang. Ia sudah menyaksikan sendiri kepadaiannya pemuda tersebut, sehingga ia tahu bahwa kepandaian pemuda itu masih di atas kepandaiannya sendiri, maka serangannya itu tak nanti dapat melukai lawannya, tetapi setidak-tidaknya dapat memaksanya untuk balas menyerang.

Siapa tahu pemuda itu ternyata masih tidak menggunakan goloknya untuk menangkis, hanya sambil berseru: “Satu serangan yang bagus!” Ia menyentil dengan jari tangannya ke arah belakang pedang, sehingga serangan Can Pek Sin tak berhasil melukainya.

“Aku tak suka kau mengalah, kalau kau sengaja hendak mempermainkan aku, aku tidak ada waktu untuk melayanimu!” demikian Can Pek Sin berkata.

Pemuda itu berkata dengan suara sungguh-sungguh:

“Saudara kecil, ilmu pedangmu bagus sekali! Belum sempat aku menyatakan kagumku, bagaimana aku berani mempermainkan kau? Baiklah, akan kuperlihatkan kejelekanku, sambutlah seranganku!”

Mendadak ia melintangkan goloknya dan melakukan serangan dengan cepat. Dari sinarnya yang gemerlapan, Can Pek Sin segera dapat menduga bahwa golok itu pasti golok pusaka.

Can Pek Sin yang sudah lelah, tahu bahwa ia tak mampu menerima serangan tersebut, namun demikian, ia juga tidak mau menyerah begitu saja. Ia segera menggunakan gerak tipu yang mengandung kekuatan keras dan lunak, mengharap dapat mengurangi kekuatan serangan lawannya.

Tetapi apakah ia akan berhasil atau tidak, masih merupakan satu pertanyaan. Ketika golok dan pedang saling beradu, kesudahannya di luar dugaan Can Pek Sin.

Kalau semula ia menduga sekalipun tidak sampai terluka, tetapi pedangnya tentu akan terpapas kutung oleh golok lawannya. Siapa nyana serangan pemuda yang nampaknya hebat itu, ketika dua senjata saling beradu, ia hanya merasakan seolah-olah dua benda yang saling bersentuhan, dan pemuda itu lalu menarik kembali goloknya kemudian berkata sambil tertawa:

“Saudara kecil, tangkisanmu ini bagus sekali! Jago-jago dalam tingkatan muda, kau adalah salah satu di antaranya.”

Can Pek Sin tahu bahwa lawannya itu sengaja mengalah, ia merasa malu dan mendongkol. Selagi hendak menyerang, pemuda itu sudah melanjutkan serangannya, kali ini goloknya mengarah bagian kakinya dari tiga jurusan, bahkan sudah menutup jalan mundurnya ke belakang dan kedua sampingnya. Dibandingkan dengan serangan pertama, masih jauh lebih hebat.

Can Pek Sin tidak dapat meraba maksud serangan itu benar-benar atau hanya gertakan saja, tetapi bagi orang yang mengerti ilmu silat, jika jiwanya terancam, dengan sendirinya mengeluarkan kepandaiannya yang paling ampuh. Tetapi karena ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk menghidarkan dari serangan itu, maka ia segera lompat melesat ke atas, dengan masih tetap di tempatnya. Ia melesat untuk menghindarkan serangan sehingga golok pemuda itu lewat di bawah kakinya.

Pemuda itu kembali memberikan pujiannya:

“Satu gerak tipu Ngo-khim-sin-hoat yang bagus sekali.”

Can Pek Sin turun ke bawah, dengan suara gusar menegurnya: “Kau masih ingin bertempur atau tidak?”

Pemuda itu menjawab sambil goyangkan tangan dan tertawa: “Tidak perlu lagi! Kau mahir ilmu pedang Thin-ceng-kiam-hoat dan ilmu meringankan tubuh Ngo-khim-sin- hoat. Can tayhiap, Can Goan Siu masih pernah apa denganmu?”

Can Pek Sin melengak, ia sekarang baru mengerti bahwa maksud pemuda itu sebetulnya cuma ingin mengetahui asal usul perguruannya.

Karena melihat pemuda itu sudah memasukan kembali goloknya, ia tahu pemuda itu tidak bermaksud jahat, maka ia juga lalu mengembalikan pedangnya kemudian berkata:

“Siapakah engkau? Apakah kau kenal dengan ayah?’

Ketika pemuda itu hendak menjawab, mendadak ia berseru: “Eh, sahabat dari mana?”

Can Pek Sin mengikuti ke arah pandangan mata pemuda itu, ia baru dapat melihat Tiat Ceng yang lompat dari tembok pekarangan.

Kiranya Tiat Ceng sudah mendengar pembicaraan antara Can Pek Sin dengan pemuda itu, ia lalu berkata sambil tertawa:

“Can toako, Lam siok-siok, apakah kalian baru pertama kali ini bertemu muka?” Ia lalu maju memberi hormat kepada pemuda itu dan berkata pula:

“Lam siok-siok, angin apakah yang telah meniup kau kemari!” Can Pek Sin menepuk kepalanya sendiri seraya berkata:

“Aku benar-benar sudah linglung, tuan ini tentunya adalah Lam tayhiap, Lam Hee Lui!”

Ayah Lam Hee Lui, Lam Cie Hun, pada tigapuluh tahun berselang sama-sama terkenal namanya dengan ayah Toan Khek Gee, Toan Kui Ciang, mereka berdua mendapat julukan dua pendekar berkelana. Ayah Lam Hee Lui kawin agak terlambat. Lam Hee Lui merupakan anak yang pertama tetapi usianya hanya lebih tua beberapa tahun saja dengan Tiat Ceng, namun demikian, tingkatannya lebih tua setingkat dari pada Tiat Ceng.

Lam Hee Lui lalu berkata:

“Sebutan tayhiap aku tidak berani menerimanya. Saudara Can, bagaimana kau tadi berkelahi dengan nona Liong? Tiat hiantit, dan kau, bagaimana kau juga kau tiba di sini?”

Tiat Ceng menjawab:

“Panjang ceritanya, mari kita bicara sambil berjalan. O, ya, Thie Lo-enghiong bukankah kau juga kenal? Kau mau mengantar jenazahnya atau tidak?”

“Kau katakan Thie Lo-enghiong, apakah bukan Thie Sui? Lho mengapa, apakah dia telah meninggal dunia?”

“Benar, kematiannya sesungguhnya sangat tidak berharga, juga terlibat banyak persoalan, nanti Can toako akan memberi keterangan padamu. O, ya, adikku juga datang, ia sekarang berada di rumah keluarga Thie!”

Lam Hee Lui tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Thie Sui, hanya pada beberapa tahun berselang, waktu ia baru muncul di dunia Kang-ouw pernah melihat satu kali dalam satu pertemuan para jago. Tetapi Thie Sui adalah seorang tingkatan tua dari golongan rimba hijau, dan ia juga ingin menjumpai Tiat Leng, maka kemudian berkata,

“Kalau begitu, sudah sepantasnya aku memasang hio di kuburannya.”

Mereka berjalan meninggalkan rumah keluarga Lauw, Lam Hee Lui menuntun kuda tunggangannya. Di dalam perjalanan, Can Pek Sin dengan ringkas menceritakan kematian Thie Sui. Lam Hee Lui waktu mendengar kematian sangat menyedihkan dari seorang jago tua, juga menghela napas.

“Sungguh tidak nyana Can tayhiap suami isteri dan Thie locianpwee semuanya mati di tangan Touw Goan. Orang itu belakangan ini mendapat nama di kalangan rimba hijau, aku juga pernah mendengar, tetapi aku tidak tahu kalau dia adalah musuh besar saudara Can.” Demikian ia berkata.

Can Pek Sin dulu belum pernah melihat Lam Hee Lui, tetapi karena ia sama tingkatannya dengan Tiat Ceng, maka juga berbahasakan paman terhadapnya.

“Lam siok-siok, mengenai pertikaian antara keluarga Thie dan keluarga Lauw, aku tadi sudah ceritakan, menurut pendapatku, keluarga Lauw yang agak salah.

“Tetapi sekarang urusan sudah lalu, Yaya juga sudah meninggal dunia, Lauw Cin juga sudah terluka parah, tidak ada gunanya kita sebut-sebut lagi. Lam siok-siok, kau kenal baik dengan keluarga Lauw ayah dan anak, dengan nona Liong itu juga merupakan sahabat. Dengan tanpa sebab aku didesak harus berkelahi dengannya, tetapi aku tidak tahu siapa dia, bolehkah kau beritahukan padaku?”

Lam Hee Lui berkata:

“Tiat hiantit, mengenai diri nona Liong ini, dengan kau malah masih ada sedikit hubungannya.” “Apa? Sedang namanya saja aku masih belum tahu,” sahut Tiat Ceng.

“Bukankah suhu adikmu adalah Sin Cie Kow? Adikmu adalah muridnya yang terakhir. Sin Cie Kow dulu mempunyai dua orang murid, satu adalah Su Tiauw Ing yang sudah menutup mata, satu lagi adalah Liong Seng Hiang, tahukah kau?”

“Oh, apakah nona Liong itu sekeluarga dengan Liong sucie?”

“Benar. Dia bernama Liong Seng Hong, masih pernah adik sekandung dengan Liong Seng Hiang. Usia mereka terpaut sepuluh tahun lebih, encinya sudah menikah dan sudah mempunyai anak, tapi perkawinannya sang adik masih menjadi pikiran encinya.’’

Dengan tanpa dirasa, mereka sudah memasuki pekarangan Thie Sui. Tiat Leng yang masih menantikan Tiat Ceng dan Can Pek Sin di hadapan kuburan Thie Sui, seketika melihat Lam Hee Lui, juga sangat gembira dan maju menanyakan.

Tiat Ceng berkata:

“Lam siok-siok sedang membicarakan Liong suciemu yang kau belum pernah bertemu muka.” Tiat Leng berkata:

“Aku sudah mendengar. Suboh juga pernah menyebut dia, ia selalu teringat kepadanya. Dia menikah dengan siapa?”

“Dia menikah dengan seorang keluarga besar dari kampung Poh-ie, nama suaminya Bok Khong bertetangga juga masih ada hubungan keluarga, Lauw Bong dan Bok Khong merupakan saudara sepupu,” berkata Lam Hee Lui.

Can Pek Sin kemudian berkata:

“Kiranya begitu. Kalau demikian halnya, enci nona Liong itu masih pernah enso piauw dengan Lauw Bong.”

“Benar,” berkata Lam Hee Lui, “Maka mereka berdua juga seperti kau dengan nona Thie, yang bersahabat sejak masih sama-sama kanak-kanak. Ayah bunda Liong sudah lama meninggal dunia, ia berdiam bersama encinya. Kepandaian ilmu pedangnya itu adalah pelajaran encinya. Lauw Bong menggunakan golok, tetapi kepandaiannya masih kalah dengan nona Liong, mereka berdua sering sama-sama melatih. Lauw Bong mungkin sering dibuat mendongkol olehnya,” berkata Lam Hee Lui.  Tiat Leng tiba-tiba berkata sambil mencibir.

“Persoalan dua anak muda, bagaimana Lam siok-siok mengetahui sampai begitu jelas?”

“Aku hanya menduga-duga saja. Adatnya Liong Seng Hong sangat galak tentang ini, saudara Can tahu sendiri,” berkata Lam Hee Lui sambil ketawa.

Tiat Leng berkata:

“Kalau begitu, Lauw Bong tentunya juga bukan seorang baik, ia sudah mempunyai seorang kawan perempuan nona Liong itu, tidak seharusnya merampas Can toako punya enci Leng.”

Muka Can Pek Sin menjadi merah seketika mendengar ucapan itu, sementara itu Tiat Ceng menegur adiknya:

“Adik Leng, mengapa berkali-kali aku harus peringatkanmu seorang gadis tak layak berkata seenaknya saja?”

Tiat Leng berkata sambil tertawa:

“Lam siok-siok toh bukan orang luar, takut apa?” Lam Hee Lui lalu berkata:

“Dalam hal ini juga tidak boleh menyalahkan Lauw Bong, keluarga Lauw sebetulnya sudah melamar, tetapi ditolak oleh encinya.”

“Mengapa?” bertanya Can Pek Sin.

“Encinya tidak suka Lauw Bong, mungkin karena menganggap kepandaiannya kurang tinggi, mungkin juga tidak suka adiknya menikah dengan orang dari rimba hijau.

“Siapa yang tahu sebab yang sebenarnya, pendek nya tidak suka saja. Kala itu Lauw Cin berdua anaknya sudah mulai melakukan penghidupan di kalangan hitam, tetapi belum mempunyai kedudukan kuat, hanya kadang-kadang saja keluar mencari mangsa dan pendapatan dibagi.”

Tiat Leng kembali berkata sambil tertawa:

“Encinya tidak suka Lauw Bong, bagaimana kau tahu?”

“Setan kecil, kau kecil-kecil orangnya tetapi banyak pikirannya, bagaimana kau berpikir sampai begitu jauh? Enci nona Liong adalah suciemu dan ibuku bersahabat karib dengan suciemu. Setelah aku muncul di dunia Kang-ouw, ibu juga pernah mengajakku berkunjung beberapa kali ke rumah keluarga Bok. Semua itu aku sudah ceritakan pada kalian, kau tidak usah banyak bertanya-tanya lagi.”

Sebetulnya Lam Hee Lui masih merahasiakan satu hal. Ia adalah anak sulung. Ibunya ingin supaya ia lekas berumah tangga, maka mengajaknya ke rumah keluarga Bok untuk menjumpai Liong Seng Hiang, maksudnya ialah ingin mencarikan jodoh buat anaknya. Liong Seng Hiang juga ingin menjodohkan adiknya dengan Lam Hee Lui tetapi mengenai lamaran itu, sebelum ibu Lam Hee Lui membuka mulut, Liong Seng Hong sudah mengetahui maksud kedatangannya, maka ia segera menyatakan kepada encinya, bahwa ia bersumpah tidak akan menikah kecuali dengan Lauw Bong.

Di lain pihak, Lam Hee Lui juga sudah dapat tahu kalau Liong Seng Hong jatuh cinta kepada Lauw Bong, dan ia sendiri sebetulnya juga tidak suka adatnya Liong Seng Hong yang galak dan kasar, karena mengetahui hubungan itu maka ia juga semakin tidak berani bertutur kata lagi, bahkan mencegah ibunya membicarakan soal jodoh itu. Akhirnya kedua pihak tidak membuka mulut, dan soal perjodohan itu kandas di tengah jalan.

Setelah perjodohan itu, habis sampai di situ, bagi ibunya Lam Hee Lui masih tidak apa, tetapi encinya Liong Seng Hiang masih tetap mengharap agar adiknya bisa menikah dengan Lam Hee Lui. Liong Seng Hong mengetahui maksud encinya, bukan saja marah terhadap encinya, tetapi Lam Hee Lui juga dibawa-bawa, ikut dibenci. Maka ketika bertemu muka di rumah keluarga Lauw, ia lalu memberi teguran pedas kepada Lam Hee Lui.

Lam Hee Lui dengan kedudukan sebagai paman sudah tentu tidak pantas menceritakan urusan yang menyangkut pribadinya sendiri itu. Maka ia hanya berkata:

“Kemudian Lauw Cin dengan resmi melakukan pekerjaan di kalangan hitam, dalam kalangan hitam, dalam kalangan rimba hijau juga mendapat sedikit nama, tetapi mereka ayah dan anak, setiap tahun masih pulang ke kampungnya beberapa kali. Lauw Bong meski jarang bertemu muka dengan Liong Seng Hong, tetapi hubungan mereka belum putus.

“Hingga pada dua tahun setengah berselang, Lauw Cin dan anaknya tiba-tiba menghilang dari dunia Kang- ouw. Keluarga Bok pernah minta pertolongan orang untuk mencari kabar, juga tidak tahu dimana mereka berada. Selama itu Liong Seng Hiang ingin mencarikan jodoh orang lain buat adiknya, tetapi Liong Seng Hong tetap menolak. Ia terus berusaha untuk mencari Lauw Bong.

“Usahanya itu ternyata, tidak tersia-sia, dalam musim semi tahun ini, telah dapat kabar tentang diri Lauw Bong dan ayahnya, sehingga ia datang kemari untuk mencarinya.”

Tiat Leng berkata sambil ketawa-tawa:

“Nona Liong ini tajam juga telinganya, tetapi dengan tanpa sebab ia menantang berkelahi, Can toako, tentunya ia juga sudah mendengar kabar tentang hubungan Lauw Bong dengan enci Leng.”

Tiat Leng meskipun usianya masih muda sekali tetapi orangnya cerdas, maka dugaannya itu juga tepat sekali.

Tiat Ceng berkata sambil mengerutkan alisnya: “Adik jangan banyak campur tangan urusan yang tidak ada gunanya.”

“Baik, kalau begitu aku harus mengurusi urusan yang ada gunanya. Lam siok-siok, bagaimana kau bisa berada di sini? Kedatanganmu ini karena nona Liong ataukah ada persoalan lain?” berkata sang adik.

“Karena persoalan lain, hanya secara kebetulan saja aku liwat kampung Poh-ie, sehingga mampir di rumah keluarga Bok, aku juga lihat enci nona Liong, kebetulan pula nona Liong pada dua hari berselang pergi secara diam-diam. Meski ia tidak memberi tahukan kepada encinya ke mana ia pergi, tetapi encinya juga sudah tahu kalau ia pergi mencari Lauw Bong.

“Liong Seng Hiang takut sifat adiknya yang galak dan berangasan, nanti menimbulkan huru hara di luaran, ia menanyakan aku akan ke mana, hingga tahu kalau aku harus mengambil jalan ini melalui lembah Phoan-liong-kok. Maka ia minta aku supaya mengamat-amati adiknya, ia pesan aku supaya memerlukan datang ke lembah Phoan-liong-kok untuk menengok Lauw Bong serta meminta adiknya lekas pulang. Urusan pribadi adiknya aku tidak ingin campur tangan, tapi dengan Lauw Bong aku juga punya sedikit hubungan, sudah beberapa tahun kita tidak bertemu aku juga ingin melihatnya, maka datang kemari.”

Tiat Ceng bertanya:

“Lam siok-siok ada keperluan apa? Bolehkah ditunda sementara, supaya pulang bersama-sama kita dulu?”

“Aku telah terima baik undangan Ciu Ceecu dari Yang-ciu, untuk membantunya merampas uang ransum yang dikirim ke kota raja. Kita sudah berjanji akan bertindak pada akhir bulan, kalau sekarang aku berangkat ke sana, masih ada waktu.

“Setelah persoalan itu selesai, aku nanti akan ke gunung Hok-gu-san menengok ayahmu.”

“Oh! ya, aku dengar kabar ransum di gunung ayahmu agak sulit, kali ini jika kita berhasil boleh bagi separuhnya untuk ayahmu. Nanti kalau kalian pulang, tolong sampaikan kabar dulu kepada ayahmu, supaya hatinya merasa tenang.”

“Terima kasih, kalian pakai sendiri saja,” berkata Tiat Ceng. “Eh, bagaimana kau berani mengambil keputusan sendiri?”

“Kita sudah mempunyai uang ransum sendiri, mungkin lebih banyak jumlahnya daripada ransum yang akan kau rampas itu.”

“Dari mana datangnya?” Can Pek Sin lalu berkata:

“Thie Yaya yang meninggalkan padaku, itu adalah barang permata peninggalan kakek luarku di masa yang lampau. Lam siok-siok, kalian merampas uang yang dikirim kepada raja, barangkali akan menempuh bahaya besar? Sebaiknya aku bagi dua peti untuk kau bawa pulang, boleh kau gunakan sebagai persediaan jika usahamu itu nanti gagal.”

Ia takut Lam Hee Lui tidak percaya, maka lalu mengajak ia ke dalam goa untuk menyaksikan sendiri delapan peti yang berisi barang permata, emas dan mutiara itu.

Lam Hee Lui lalu berkata:

“Saudara Can, kau junjung tinggi persahabatan dan memandang ringan harta kekayaan. Sifat demikian sesungguhnya sukar didapat, tetapi, daripada aku membawa dua peti besar begitu, lebih baik merampas uang ransum kerajaan, yang lebih mudah dibawanya.”

“Apakah masih ada orang yang berani merampas dari kau Lam siok-siok?” berkata Tiat Ceng sambil berkelakar.

“Kalian masih terlalu muda, masih tidak tahu bahayanya di dunia Kang-ouw. Dalam perjalanan kalian nanti, juga harus hati-hati. Kau yangan mengira karena ayahmu Beng-cu rimba persilatan, lalu tidak ada orang yang berani merampas barangmu.

“Selama beberapa tahun paling belakang ini, di dunia Kang-ouw banyak muncul tokoh-tokoh yang tidak memandang muka orang-orang kuat golongan putih atau hitam. Touw Goan cuma merupakan salah satu di antaranya. Disamping itu kalian juga menjaga jangan sampai membocorkan rahasia, nanti tentara pemerintah juga akan bertindak terhadap kalian.”

“Ya. Ini adalah pertama kalinya kita melakukan pekerjaan, sudah tentu harus lebih hati-hati,” berkata Tiat Ceng.

“Dalam perjalanan kalian menuju ke gunung Hok-gu-san ini, hanya ada beberapa orang saja sahabat karib ayahmu yang boleh diminta bantuannya. Yang lainnya. sekalipun ada perintah dari ayahmu, juga tidak boleh tahu rahasianya. Kau harus tahu bahwa hati manusia susah dijajaki, dikhawatirkan mereka nanti lupa daratan karena melihat harta kekayaan, sehingga timbul pikiran yang jahat,” pesan Lam Hee Lui, ia memberitahukan beberapa nama sahabat Tiat Mo Lek yang boleh dipercaya, kemudian ia minta diri.

Setelah Lam Hee Lui berlalu, Tiat Leng agak penasaran, katanya:

“Lam siok-siok menganggap kita masih kanak-kanak. Aku bahkan mengharap di jalanan ada orang yang datang merampas, supaya bisa mencoba kepandaian ilmu silatku.”

Hari kedua, Can Pek Sin mencari kereta besar yang biasa digunakan oleh Yayanya pergi ke kota membeli barang-barang persediaan makanan untuk setengah tahun. Kereta itu meski sangat besar, tetapi setelah dimuati delapan peti besar, tempat yang terluang tidak seberapa lagi.

Sebelum berangkat, Can Pek Sin sembahyang di depan kuburan Yayanya dan berjanji hendak mencari enci Leng nya sampai ketemu.

<>

Karena muatan terlalu besar, empat ekor kuda yang menarik kereta jalannya agak lambat, setiap hari cuma melakukan perjalanan kira-kira seratus lie. Tiat Ceng khawatirkan adiknya menimbulkan huru hara, dalam perjalanan selalu memberi nasehat padanya: “Dari sini ke gunung Hok-gu-san sedikitnya harus menempuh perjalanan tigaribu lie, menurut keadaan seperti sekarang ini, paling cepat barang kali satu bulan sampai. Kau harus berhati-hati, tidak boleh mengandalkan ilmu kepandaianmu dan tidak memandang mata orang lain. Di waktu beristirahat, terutama harus bisa mengendalikan diri, jangan sembarangan membuka mulut, sehingga membocorkan rahasia.”

“Kau cuma lebih tua dua tahun dari aku, tetapi sudah mirip dengan satu kakek-kakek. Aku juga bukan anak kecil lagi, tidak usah kau pesan. Aku tidak ingin menimbulkan urusan tetapi kalau orang lain mencari ribut, tidak boleh tidak aku akan bertindak. Nanti kalian jangan bertengkar dengan aku,” berkata Tiat Ceng.

“Ini sudah tentu, apakah kalau orang lain menghina kita, kau tidak boleh bertindak? Walau terjadi demikian, aku nanti membantu menjaga barang-barang ini,” berkata Can Pek Sin.

Tiat Ceng hanya bisa menggelengkan kepala, katanya pula:

“Di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai kita tidak boleh memandang ringan orang-orang gagah dunia Kang-ouw.”

Tiat Ceng meskipun mulutnya tidak menyatakan apa-apa, tetapi dalam hatinya tidak membenarkan pikiran kakaknya. Touw Goan begitu lihay, tokh juga kita kalahkan. Dalam dunia Kang-ouw memang banyak orang berkepandaian tinggi, belum tentu kita tidak mampu menghadapi.

Berjalan kira-kira enam-tujuh hari, sepanjang jalan tidak ada kejadian apa-apa.

Hari kedelapan, ketika mulai menginjak daerah perbatasan propinsi shoa-tang, keadaan di jalan mulai tidak beres, dalam satu hari saja telah berpapasan dengan beberapa penunggang kuda yang mencurigakan. Rombongan itu terdiri dari dua orang atau tiga orang, semua menuju ke arah yang sama, bahkan ada yang jalan bersama dengan keretanya, agaknya hendak menyelidiki muatan kereta itu.

Tiat Ceng meski pengalamannya di kalangan Kang-ouw masih sedikit karena ia dibesarkan di dalam kalangan rimba hijau, terhadap keadaan orang-orang kalangan hitam, tahu juga sedikit. Ketika melihat gelagat demikian, ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres, maka lalu berkata:

“Nampaknya kita sudah diikuti orang bahkan bukan hanya satu rombongan saja.”

“Baik, kakak kita jangan mengunjukkan bendera ayah, biar mereka datang merampas!” berkata Tiat Ceng.

“Kita lihat dulu apa maksud mereka? Jika orang dari golongan putih, tidak perlu kita bicarakan, mereka hendak merampas, kita terpaksa menghadapinya dengan kekerasan. Jika dari golongan hitam dan ada hubungan dengan ayah, sebaiknya kita tanyakan dulu, jangan sampai merusak persahabatan.”

Berjalan tidak berapa lama, telah tiba di satu desa kecil, waktu itu sudah menjelang senja. Tiat Ceng berkata,

“Hari ini kita harus banyak beristirahat, jangan melakukan perjalanan malam, kita menginap di sini saja.”

Di antara mereka bertiga, Can Pek Sin yang usianya paling tua, tetapi pengalamannya di dunia Kang-ouw sedikit, sebaliknya adalah Tiat Ceng yang lebih banyak. Maka dalam perjalanan itu, kebanyakkan dialah yang berlaku sebagai pemimpin.

Setelah masuk ke rumah penginapan, Tiat Ceng memilih sebuah kamar besar yang menghadap ke pekarangan. Ia memberikan sejumlah uang kepada pelayan rumah penginapan, supaya kereta itu boleh diparkir di pekarangan, yang berada di muka kamarnya.

Setelah berada di dalam kamar, Tiat Leng kemudian berkata:

“Engko, rumah penginapan yang kau pilih ini justru merupakan sarang penjahat. Sewaktu kita masuk, aku dapat melihat beberapa orang melongokkan kepala dari jendela untuk mencuri melihat kita. Orang-orang itu rupanya seperti orang-orang yang pada hari ini kita jumpai di jalan.” “Jangan ribut-ribut, malam ini tidak akan terjadi apa-apa. Andaikata ada, kita bertindak juga belum terlambat,” berkata Tiat Ceng, sang kakak.

Sehabis makan malam, dengan berturutan rumah penginapan itu kedatangan pula beberapa tamu yang datang menginap. Tiat Leng diam-diam memasang mata, hampir semuanya adalah orang-orang yang tadi siang pernah dilihatnya di tengah jalan.

Waktu itu permulaan musin kemarau, hawa udara masih terasa panas, beberapa tamu itu pura-pura mencari angin, semua berada di pekarangan ada juga yang duduk dekat kereta.

Tiat Leng membuka jendela, ia sengaja berkata dengan Can Pek Sin:

“Can toako, apakah kau sudah sediakan barang antaran untuk encie Leng?” Can Pek Sin tercengang, jawabnya:

“Barang antaran?Aku justru belum memikirkannya!”

“Kau sungguh tidak teliti, kau belum memikirkan, tetapi aku sudah. Disini ada beberapa butir mutiara yang aku pilihkan dari dalam petimu. Kau lihat, betapa indahnya mutiara ini, kalau diberikan kepada encimu untuk barang perhiasan, betapakah gembiranya enci Leng?” berkata Tiat Leng sambil ketawa.

Mutiara yang ditunjukkan oleh Tiat Leng itu semuanya ada tigapuluh enam butir, setiap butirnya sebesar biji buah lengkeng, sinarnya yang berkilauan, telah dapat dilihat oleh semua orang yang berada di pekarangan. Terdengar suara pujian ramai dari mulut mereka.

Tiat Ceng kerutkan alisnya. Sementara itu sang adik berkata di samping telinganya dengan suara perlahan:

“Biar bagaimana kabar ini tokh sudah bocor, biar saja supaya mereka lekas bertindak.”

“Malam ini mereka tidak akan bertindak. Tetapi dengan perbuatanmu ini, besok kita akan menjumpai lebih banyak musuh kuat lagi.”

Malam itu, mereka bertiga tidur bergiliran, benar saja tidak ada kejadian apa-apa. Esok pagi mereka berangkat pagi-pagi sekali, tetapi tamu-tamu tadi malam itu ternyata sudah berangkat lebih dulu.

Keluar dari rumah penginapan, Tiat Leng kemudian bertanya kepada kakaknya: “Engko, bagaimana kau bisa menduga kalau mereka tadi malam tidak bertindak?”

“Beberapa orang itu cuma merupakan cecunguknya saja yang mencari kabar, mereka bukan cuma satu golongan saja. Maksud orang-orang itu barangkali hendak mencari keterangan bagaimana keadaan kita, lalu melaporkan kepada pemimpinnya, nanti baru melakukan perampasan. Karena bukan dari satu golongan saja, maka mereka perlu berunding dulu bagaimana membaginya.”

“Bagus, kalau begitu kita tunggu kedatangan mereka.”

Waktu tengah hari, ketika mereka melewati sebuah kaki gunung, benar saja terdengar suara mendesisnya anak panah, kemudian ada dua penunggang kuda mendatangi ke arah mereka.

Dua pemuda itu ada laki-laki setengah tua, berperawakan pendek tetapi kekar, wajah mereka mirip satu satu sama lain, mungkin mereka itu sepasang saudara kembar.

Di belakang mereka mengikuti sepasukan kawanan berandal, jumlahnya kira-kira empat atau limapuluh orang. Mereka lalu memisahkan diri, menjadi dua rombongan, menghadang perjalanan kereta.

Tiat Ceng menghentikan keretanya dan menegur mereka: “Kalian siapa? Mengapa merintangi perjalanan kita?” Dua penunggang kuda itu menghentikan kudanya di depan kereta, seorang di antaranya kemudian menyahut sambil tertawa:

“Keberanian kamu tiga anak-anak ini benar-benar besar sekali! Dengan tanpa diiringi oleh seorang tuapun sudah berani membawa kereta yang penuh perhiasan? Pribahasa mengatakan, di antara empat penjuru lautan semuanya adalah bersaudara. Kau juga tidak perlu bertanya siapakah kita, mari aku bantu kau membawa kereta.”

“Membantu? Itu baik sekali! Tetapi kau ingin membantu dengan cara bagaimana?” “Berikan kereta itu kepada kita dan kalian boleh pulang dengan tenang.”

“Berikan kepadamu? Apakah kau ingin mengantarkan untuk kita? Kau harus bertanya terlebih dulu kita hendak kemana?”

Satu di antara yang usianya lebih muda lalu nyeletuk:

“Aku akan bawa kereta ini ke tempat kita. Siapa mau perduli kau hendak kemana?”

“Kalau begitu, bukankah berarti kalian hendak merampok kereta kita? Ini mana berarti membantu?” Laki-laki yang lebih tua usianya mendelikkan matanya, dan berkata:

“Bocah kau terlalu tidak tahu diri! Tahukah kau dijalan ini ada banyak orang gagah? Kalau kau berikan kereta itu kepada kami, kalian semua boleh pulang dengan selamat, bukankah ini berarti sudah membantu kalian? Hm, kalau kau ketemu orang lain, tidak gampang kau bicara dengannya, barangkali sesudah minta barangmu, hendak mengambil jiwamu lagi.”

“Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih atas budi kebaikanmu ini.”

“Tetapi kalau kita kehilangan kereta ini, orang di rumah akan menyesalkan kita. Lebih baik kalian beritahukan nama kalian lebih dulu,” berkata Tiat Ceng.

Laki-laki itu kembali mendelikan matanya dan bertanya:

“Untuk apa?”

Tiat Leng kemudian berkata sambiI tertawa: “Supaya kita tidak kesalahan membunuh orang.” Laki-laki itu gusar, dengan suara keras ia berkata:

“Budak yang masih bau pupuk bawang, kau berani omong besar! aku tidak membunuh mati, sebaliknya kau hendak membunuh aku!”

“Kalau kau tidak merampas barang-barang kita, bagaimana kita hendak membunuhmu?” jawabnya Tiat Leng.

“Bagus, aku sebetulnya ingin mengampuni jiwa kalian bertiga, tetapi sekarang tidak lagi!” berkata laki-laki itu dengan gusar.

Ia lalu menggapaikan tangannya, kawanan berandal yang ada di belakangnya lalu maju mengurung kereta barang itu, selagi hendak menantang Tiat Ceng berkata: “Tunggu dulu! Terus terang kuberkata padamu, tadi aku minta kalian memberitahukan nama kalian, sebetulnya juga bermaksud baik. Kau menginginkan kereta ini tidaklah susah, beritahukan saja namamu, jka memang sahabat baik kita, kuberikan kepadamu juga tak ada halangan!”

Tiat Ceng yang sejak kanak-kanak hidup di kalangan rimba hijau, kebiasaan dan bahasa dalam golongan hitam sudah sangat apal, maka meski pengalamannya belum banyak, tetapi ucapannya sudah seperti seorang tua kawakan.

Laki-laki yang usianya lebih muda itu nampak mulai bimbang pikirannya, ia berkata kepada kawannya dengan suara perlahan: “Koko, beberapa bocah ini barangkali bukan anak-anaknya orang sembarangan, perlukah kita jelaskan dulu baru bertindak?”

Sang ‘koko’ itu lantas mendelikan matanya dan berkata:

“Hm, Lo-jie, kau benar-benar goblok! Kalau kita sudah jelas siapa mereka, apakah bisa bertindak?”

Sang adik itu baru sadar, dalam hatinya berpikir: Itu memang benar, tiga bocah itu berani mengangkut kereta yang membawa barang perhiasan sangat berharga, sudah tentu mempunyai andalan kuat. Jika kita sudah jelas keadaan mereka, sebaliknya malah tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik pura-pura tidak tahu, kita ambil saja habis perkara.

Dua saudara itu adalah orang-orang baru dalam kalangan rimba hijau, mereka adalah orang pemberani, gemar melakukan perampasan ‘berat’, kini sudah berkeputusan, tidak apalah ‘kawan’ makan ‘kawan’. Saat itu mereka sudah menghunus senjata masing-masing, hendak merampas kereta berisi barang-barang berharga itu.

Tepat pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang berkata:

“Pan Lo-toa, apakah kalian orang-orang dari Po-cu-kong ingin menelan sendiri makanan itu?” seorang laki- laki bermuka hitam dengan cepat sudah berada di depan mereka, di belakangnya diikuti oleh serombongan kawanan berandal, yang jumlahnya lebih banyak dari pada orang-orang Po-cu-kong.

Laki-laki yang disebut Pan Lo-toa itu mengkerutkan keningnya dan berkata:

“Say toako, kau datang terlambat. Menurut aturan, siapa yang datang lebih dulu, dialah yang dapat, tetapi mengingat persahabatan kita, ambillah tiga bagian sebagai bagianmu!”

Dua saudara ini agaknya merasa sedikit jeri terhadap orang she Say itu. Laki-laki bermuka hitam itu kemudian berkata dengan suara gusar:

“Peraturan dalam kalangan ‘hitam’ siapa yang melihat mendapat bagian. Dengan hak apa kau hendak mengambil tujuh bagian?”

Orang she Say itu merupakan orang ‘kawakan’ dalam kalangan rimba hijau, walaupun tahu dua saudara Pan itu berkepandaian tinggi, tetapi juga tak mau dirugikan.

“Paling banyak kuberikan kepadamu empat bagian, kalau kau tidak mau lepas tangan, terpaksa aku hendak menanyakan kepada ‘pegawaiku dulu’.” berkata Pan Lo-toa dingin.

Dalam kalangan rimba hijau, istilah ‘pegawai yang dimaksudkan ialah senjatanya.

Orang she Say itu berpikir, empat bagian boleh juga, tetapi dalam hati masih agak penasaran. Selagi masih dalam keadaan bimbang, Tiat Ceng yang duduk di atas kereta mendadak berdiri dan berkata,

“Kalian jangan ribut. Tuan ini bukankah Say Ceecu, Say Ban Hiong dari Hek-houw-cee? Dan dua tuan ini apakah bukan dua persaudaraan Pan Piauw dan Pan Ciong dari Po-cu-kong? Kalian menghendaki keretaku ini tidak menjadi soal, asal kalian meninggalkan senjata kalian, supaya dapat kubawa pulang untuk memberi laporan.”

Ternyata Say Ban Hiong, dahulu pernah hadir dalam pertemuan orang-orang rimba hijau di gunung Hok- gu-san, sehingga Tiat Ceng tahu namanya. Kala ia turut memilih Tiat Mo Lek sebagai Beng-cu, tetapi kemudian tidak mau mendengarkan lagi perintahnya, ia suka membawa caranya sendiri yang berlaku sewenang-wenang terhadap golongan lemah.

Sementara mengenai diri dua saudara Pan itu, Tiat Ceng dapat tahu dari Lam Hee Lui. Nama-nama yang disebutkan oleh Lam Hee Lui, sebagai jago-jago baru yang tidak mau memberi muka kepada siapapun juga, dua di antaranya adalah persaudaraan pan itu. Ketika mendengar ucapan Tiat Ceng yang dianggapnya masih bau pupuk bawang itu, ternyata bisa menyebutkan asal usul mereka, diam-diam merasa kaget, maka buru-buru menanya: .

“Kau anak siapa?”

Belum lagi Tiat Ceng memberi jawaban, mendadak terdengar suara orang tertawa dan berkata: “Say Ban Hiong, percuma saja kau terhitung salah satu orang tingkatan tua dari rimba persilatan, sampaipun tuan muda dari Beng-cu mu juga tidak tahu!”

Suara itu sangat menusuk telinga, agaknya diucapkan dari agak jauh, orangnya juga tidak kelihatan bayangannya.

Wajah Say Ban Hiong berubah ia lalu berkata: “Pok loya, kau juga datang? Apa? Apakah bocah ini anaknya Tiat Mo Lek?”

Berita yang disampaikan oleh orang itu, sudah tentu mengejutkannya, tetapi kedatangan orang itu yang secara mendadak, juga di luar dugaannya.

Tidak antara lama, mendadak terdengar jatuhnya barang logam di atas tanah, tetamu yang tidak diundang itu sudah berada di tengah-tengah kurungan orang banyak.

Tiat Ceng segera dapat melihat seorang tua berkepala botak, tetapi usianya tidak nampak lebih tua dari pada Say Ban Hiong, entah apa sebabnya Say Ban Hiong merendahkan dirinya sendiri dan memanggilnya loya.

Si botak itu adalah iblis kenamaan dari golongan hitam, namanya Pok Sui Thian. Di masa mudanya, entah mendapat gangguan apa, ia menyembunyikan diri sehingga duapuluh tahun lamanya, berapa tahun paling akhir ini baru keluar dari tempat persembunyiannya.

Di kalangan Kang-ouw ia suka berkelana seorang diri saja, hatinya kejam, perbuatannya telengas, adatnya lebih gila lagi. Siapa yang berjumpa dengannya selagi ia berada dalam keadaan tidak senang, celakalah dirinya orang itu. Usianya belum cukup enampuluh tahun, sebetulnya malah lebih muda dua tahun dari Say Ban Hiong.

Tetapi yang tersebut belakangan ini karena merasa agak jeri, ia rela merendahkan dirinya sendiri, setiap berjumpa selalu memanggil padanya loya.

Setelah tiba di situ, Pok Sui Thian berkata sambil mendelikan matanya:

“Sedikitpun tidak salah, dua bocah itu adalah putra putrinya Tiat Mo Lek, sedang yang satu itu adalah anaknya Can Goan Siu yang sudah menjadi setan. Kenapa? Apakah kalian takut? Berani bertindak atau tidak? Kalau tidak berani lekas pergi, jangan disini menjadi perintang saja.”

Pan Piauw gusar, dalam hatinya herpikir, kau orang she Pok meski lihay, kita berdua saudara dengan bahu membahu belum tentu jatuh di tanganmu.

Karena berpikir demikian, maka ia lalu berkata dengan nada suara dingin:

“Tidak perduli dia Tiat Mo Lek, atau Tong Mo Lek, kita berdua saudara tokh tidak mengangkatnya sebagai Beng-cu, tidak perlu takut kepadanya! Barang ini kita yang dapatkan dulu, maaf, hidangan yang sudah di depan mulut ini sudah pasti kita memakannya!”

Ia mengucapkan perkataan demikian, maksudnya adalah tidak mengizinkan Pok Sui Thian sampai bertindak, ‘Kawan makan kawan’.

Pok Sui Thian mengerlingkan matanya, sambil tertawa dingin ia berkata:

“Bagus, bagus, cuma dikhawatirkan hidangan itu terlalu panas. Aku tidak perlu berebutan dengan kalian, kalau kalian sudah tidak sanggup makan barulah aku yang pungut. Baiklah kalian berdua saudara kupersilahkan hidangan itu, aku akan berdiri sebagai penonton saja.”

Pan piauw berkata dengan suara gusar: “Baik kau lihat saja! kau sudah berkata sendiri, nanti jangan menyesal! Lo-jie mari maju!”

Ia tidak suka dipandang rendah oleh Pok Sui Thian, maka tidak menyuruh anak buahnya turut membantu, hanya dengan saudaranya ia maju hendak merampok kereta.

Senjata golok dan tombak dua saudara Pan itu, pada waktu belakangan ini telah mendapat nama baik di kalangan Kang-ouw. Si kakak mendapat nama julukan golok mematahkan sukma dan tumbak sang adik mendapat nama julukan tumbak mencabut nyawa. Betapa hebat senjata mereka, dari nama julukan yang mereka dapatkan itu, kita dapat membayangkan sendiri.

Kalau dua orang bersaudara itu maju bersama, dalam kalangan Kang-ouw mendapat nama julukan sepasang harimau merenggut nyawa, dengan dua serangan golok dan tiga serangan tumbak. Ini berarti bahwa yang berhadapan dengan mereka, tidak mungkin dapat mengelakkan diri dari dua serangan golok sang kakak, atau tiga kali serangan tumbak dari sang adik.

Dengan nama dan kedudukan seperti dua saudara Pan itu, sebetulnya tidak seharusnya mengerubuti orang tingkatan muda, tetapi karena mereka menganggap Tiat Ceng dan Tiat Leng adalah putra putrinya Tiat Mo Lek, sedangkan Can Pek Sin adalah putranya Can Goan Siu yang kenamaan dalam dunia rimba persilatan, takut kalau-kalau akan tergelincir, sehingga membuat tertawaan Pok Sui Thian, maka dengan tidak memperdulikan kedudukannya sendiri, mereka maju serentak.

Bagaikan dua ekor burung garuda, dua saudara itu melompat naik ke atas kereta. Tiat Leng yang duduk di atas kereta, sebelum kaki Pan Lo-toa menginjak atas kereta, sudah disambut dengan tusukan pedang, yang diarahkan ke arah lututnya!

Ilmu pedang Tiat Leng, aneh luar biasa, Pan Lo-toa semula mengira pedang itu hendak menikam dadanya, tetapi mendadak ujung pedang menunjuk ke bawah mengarah lututnya. Hebat juga kepandaian orang she Pan itu, ketika mengetahui serangannya mengenakan tempat kosong, meski ia merasa sakit tetapi tidak gugup, ujung golok bahkan diteruskan ke depan sehingga menancap di atap kereta. Dengan demikian badannya tidak sampai turun lagi ke bawah, di atas kereta ia main menendang pedang Tiat Leng dengan kakinya.

Tiat Ceng semula masih ingin berdamai dengan dua saudara itu, akan tetapi dua saudara itu setelah mengetahui siapa muda mudi itu, dan tokh masih tetap hendak merampas juga, bahkan masih menggunakan tangan kejam menghadapi adiknya.

Dengan hati panas ia segera mengeluarkan suara bentakan keras: “Turun!’

Dengan menggunakan ilmu pedang pelajaran dari ayahnya, ia menyerang orang she Pan itu.

Pan Lo-jie segera menyerbu untuk membantu kakaknya untuk menyambut serangan pedang Tiat Ceng.

Senjata pedang dan tombak saling beradu, namun serangan pedang Tiat Ceng ternyata hebat sekali, meskipun tertahan oleh senjata tombak Pan Lo-jie, tetapi tidak mengurangi kehebatannya, ujung pedang meluncur terus hendak membabat tangan Pan Lo-toa.

Pan Lo-toa terpaksa mengurungkan maksudnya hendak menendang pedang Tiat Leng, dengan ujung goloknya ia menangkis serangan Tiat Ceng.

Tiat Ceng secara tiba-tiba melesat ke atas, lalu berdiri di pinggir atap kereta, Pan Lo-jie yang pada saat itu justru melesat ke arah tersebut, segera disambut dengan serangan pedang. Pan Lo-jie belum sempat menggunakan ilmu tombaknya yang khusus mengarah jalan darah karena harus menghindarkan serangan pedang yang sangat hebat itu, terpaksa ia berjumpalitan di tengah udara kemudian melompat turun ke tanah.

Di pihak Pan Lo-toa, pada saat itu juga belum berdiri tegak, maka segera diserang oleh Tiat Ceng sambil berseru: “Kau juga turun!”

Pan Lo-toa sangat repot ia terpaksa menangkis dengan menggunakan ilmu goloknya yang sudah mahir. Dalam soal kepandaian ilmu silat Pan Lo-toa sebetulnya agak tinggi sedikit dari lawannya, akan tetapi, karena posisi Tiat Ceng lebih baik Pan Lo-toa yang semula anggap paling ringan lawannya membuat dirinya mendapat kerugian besar, sehingga golok di tangannya terpukul jatuh oleh pedang Tiat Ceng. Pan Lo-toa lekas menarik kembali tangannya dan melayang turun di depan kereta.

Sementara itu Can Pek Sin duduk di dalam kereta melindungi peti-peti barang permata.

Pan Lo-toa sangat penasaran, ketika melihat Can Pek Sin, dalam hatinya segera berpikir: Biarlah aku tangkap saja bocah she Can ini, boleh kugunakan sebagai orang tawanan untuk memeras.

Dengan cepat ia segera bertindak sambil mengeluarkan suara bentakan keras, ia merobek tutup kereta tangannya diulurkan, untuk menyambar badan Can Pek Sin.

Pan Lo-toa mengira pemuda itu bukan lawannya, siapa tahu pemuda itu mempunyai kepandaian dari pelajaran ayah bundanya serta Thie Sui, kepandaiannya sebetulnya tidak di bawah Thie Sui. Ketika tangan Pan Lo-toa masuk ke dalam kereta, ia tidak menghunus pedangnya, hanya menggunakan sepasang tangan kosong untuk menghadapinya.

Sambaran tangan Pan Lo-toa itu sangat ganas, ia mengira dapat menyambar dada Can Pek Sin, di luar dugaannya ketika tutup kereta robek, tangan Can Pek Sin juga meluncur keluar dengan cepat menyambar pergelangan tangannya.

Gerakan Can Pek Sin ini menggunakan gerak tipu yang dapat dipelajari dari Thie Sui juga mengandung kekuatan tenaga yang dipelajari dari orang tuanya.

Pan Lo-toa terperanjat, ia baru tahu bahwa pemuda itu juga merupakan satu lawan keras karena jarak antara dua orang itu dekat sekali, kedua pihak sama-sama tidak dapat mengelakkan diri dari serangan masing-masing. Meski kekuatan Pan Lo-toa agak tinggi sedikit, tetapi Can Pek Sin menang kedudukan, sehingga akhirnya Can Pek Sin jatuh ke dalam kereta sedang lengan tangan Pan Lo-toa dipelintir oleh Can Pek Sin sehingga patah tulangnya.

Sementara itu Tiat Leng sambil berseru: “Tidak tahu malu!” lalu menikam dengan pedangnya.

Pan Lo-toa yang patah tulangnya, sudah tentu tidak berani menyambut serangan Tiat Leng ia buru-buru lompat menyingkir, tetapi walaupun ia bertindak sudah cukup gesit, tidak urung pundaknya masih kena serangan ujung pedang Tiat Leng, untung tidak mengenakan tulangnya.

Pok Sui Thian yang menyaksikan itu lalu berkata dengan suara dingin:

“Dua golok dan tombak serangan-serangan harimau, ternyata tidak dapat menunjukkan pamornya lagi. Serangan kalian sudah lebih dari dua golok dan tiga tombak, dan sekarang kuku harimaunya juga sudah dipatahkan. Apa masih mempunyai muka untuk bertempur lagi?”

Dua saudara Pan sangat penasaran, dalam soal kepandaian, mereka satu tonil tidak kalah, daripada dua saudara Tiat itu, juga tidak akan kalah di tangan Can Pek Sin, tetapi karena tindakan mereka yang gegabah sehingga berakhir dengan suatu kekalahan yang amat memalukan ini.

Pan Lo-jie segera menyambung tulang tangan kakaknya yang patah, Pan Lo-toa lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Baik, untuk sementara kita mengaku kalah lihat saja nanti!”

Dua saudara itu lalu balik kembali ke rombongannya, tetapi mereka masih tetap mengambil sikap mengurung terhadap kereta yang membawa muatan barang berharga itu dan tak mundur barang setapakpun.

Pok Sui Thian tidak perdulikan mereka lagi, segera berpaling dan berkata kepada Say Ban Hiong:

“Say Thocu, bagaimana dengan kau? Hidangan yang sudah berada di depan mulut ini kau mau makan atau tidak? Kalau kau makan, boleh aku beri kesempatan untuk kau memakannya terlebih dulu.”

Say Ban Hiong adalah seorang licik, dalam hati diam-diam sudah mempunyai rencana, maka atas pertanyaan itu ia lalu menjawab: “Pok loya, aku hanya ingin dapatkan sedikit dari bagianmu, bagaimana berani berebut dengan kau?”

Pok Sui Thian merasa sangat bangga, sementara dalam hatinya berpikir: Tua bangka ini mungkin juga takut menghadapi anak-anaknya Tiat Mo Lek, sehingga menyuruhku bertindak lebih dulu dan ia akan memungut keuntungan yang sudah jadi. Baiklah aku akan menggunakan kesempatan ini mengikat hubungan dengan dia.

Karena berpikir demikian maka ia lalu berkata sambil tertawa:

“Tua bangka, kau sungguh cerdik. Tetapi asal selanjutnya kau suka mendengar kataku, aku akan bagi satu peti, juga tak menjadi soal.”

Tiat Ceng lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Mengenai beberapa peti barang permata ini, kau belum menanyakan kepadaku mengapa sudah berani mengambil keputusan sendiri.”

Pok Sui Thian menyahut sambil tertawa terbahak-bahak:

“Apakah kau masih ingin bertempur denganku? Kau jangan kira karena ayahmu adalah seorang pemimpin golongan rimba hijau, lalu menganggap aku tidak berani terhadap kalian! Kalau kalian tahu lebih baik lekas menyingkir, aku akan mengizinkan kalian pulang untuk memberi tahukan kepada ayahmu, katakan saja bahwa barang-barang permata itu, akulah yang merampasnya.

“Aku boleh menggunakan tata kerama dalam kalangan hitam, dalam waktu satu bulan, aku menantikan kedatangannya untuk mengambilnya kembali!”

“Baiklah, kau anggap saja kereta ini sebagai barang kereta antaran, dan kita yang bertindak sebagai pengawalnya. Menurut peraturan dunia Kang-ouw kalau kau menangkan kita, boleh merampas barang antaran itu. Tidak perlu merembes-rembes ayahku!”

“Bocah kau sungguh sombong, namun aku juga tidak dapat mencari keuntungan darimu, sekarang begini saja, kalian bertiga boleh maju semua!”

Tiat Leng yang mendengar itu lalu bertanya kepada Can Pek Sin dengan suara perlahan: “Can Toako, apakah kau terluka?”

Can Pek Sin menjawab:

“Tidak. Barusan cuma jatuh terguling saja, luka di kulitpun tidak ada.”

“Kalau begitu baiklah, kau tetap menjaga di dalam kereta.” Ia lalu berpaling dan berkata kepada kakaknya: “Koko, mari kita menghadapi tua bangka itu.”

Pok Sui Thian lalu berkata:

“Bagaimana, kalian sudah selesai berunding atau belum?” Tiat Ceng berkata:

“Kita kakak beradik, meskipun usia kita digabungkan, juga belum ada separuh dari pada usiamu.” “Lalu bagaimana? Kau tidak berani?”

Tiat Leng lalu berkata:

“Ini berarti kalau aku dengan kakak mengajar kau, bukan berarti bahwa kita menarik keuntungan darimu. Tetapi jika ditambah dengan Can toako, niscaya kau akan tidak sanggup menghadapi lagi. Sekarang lihat pedang!” Kakak beradik itu, sebetulnya berdiri di atas kereta. Sewaktu Tiat Leng mengucapkan lihat pedang orangnya sudah bergerak bersama senjatanya dengan gesit sekali menyerang lawannya!”

Pok Sui Thian sedikitpun tidak menduga bahwa gerakan mereka itu sedemikian gesit maka ia lalu berkata: “Bagus! Tidak kecewa kau menjadi murid Khong-khong Jie!”

Tiat Leng berkata sambil tertawa:

“Kau juga tahu kelihaian guruku.”

Sementara itu Tiat Ceng juga memutar pedang panjangnya dengan gerak tipu yang sangat hebat, membabat dari atas, sedangkan Tiat Leng dengan menggunakan ilmu yang totokan dalam waktu satu jurus permulaan itu dengan berturutan sudah mengarah berbagai jalan darah badan lawannya. Meskipun kekuatan tenaganya tidak sebanding dengan kakaknya, tetapi gerak tipunya sangat aneh dan ganas!

Pok Sui Thian juga hebat, dengan tongkat besinya ia menangkis serangan Tiat Ceng, kemudian diputar bahkan membabat pinggang Tiat Leng, lalu berkata sambil tertawa dingin:

“Hebat juga kepandaian kalian berdua, tetapi untuk menghadapi kita belum tiba waktunya.”

Kaki Tiat Leng yang belum menginjak tanah sudah disambut oleh serangan tongkat Pok Sui Thian, karena senjata tongkat lebih panjang dari pada pedang, maka Tiat Leng menganggap tidak mampu menembus pertahanan lawannya, sudah tentu ujung pedang tidak dapat menyentuh badan lawannya, sedangkan tongkat sang lawan ada kemungkinan menjatuhkan pedangnya.

Dalam keadaan demikian ia masih dapat menggunakan otaknya. Ia segera merobah gerak tipunya, ujung pedang menempel tongkat lawannya, dengan meminjam kekuatan tenaga lawannya, ia berhasil lompat melesat sejauh tiga tombak!

Sementara itu pedang Tiat Ceng sudah beradu tiga kali, dengan senjata tongkat lawannya sehingga menimbulkan suara mengaung. Tangan Tiat Ceng dirasakan kesemutan, tetapi senjatanya masih belum terlepas. Pedang yang digunakan adalah pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh Toan Kui Ciang, tajamnya luar biasa, sehingga tongkat besi Pok Sui Thian juga terpapas sebagian.

Dalam babak pertama itu meskipun Pok Sui Thian berada di atas angin, tetapi ketika menyaksikan kepandaian bocah-bocah itu, diam-diam juga terkejut!

Tiat Ceng setelah berada di tanah, segera maju menyerang lagi, karena kekuatan tenaganya tidak seimbang dengan kakaknya, maka ia lalu menggunakan siasat belut secara berputar-putaran menyerang lawannya. Ujung pedang sebentar nyalahkan ke timur sebentar ke barat, sebentar ke selatan sebentar ke utara, serangan-serangan dengan gerak tipunya yang aneh dan lincah itu, juga merupakan suatu ancaman besar bagi lawannya.

Dalam waktu sekejap mata saja, pertempuran telah berlangsung limapuluh jurus. Tiat Ceng berdua adiknya sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, sedangkan Pok Sui Thian juga tidak berani berlaku gegabah.

Kalau Tiat Ceng dan adiknya unggul dalam ilmunya meringankan tubuh dan gerak badannya yang lincah, sebaliknya Pok Sui Thian menang dalam hal tenaga dan pengalaman. Kedua pihak bertempur dengan sengit, siapa yang lengah, pasti akan terluka oleh senjata lawannya.

Pan Lo-toa yang sudah disambung lagi, tulang tangannya, meskipun gerakannya kurang leluasa, tetapi tidak menjadikan halangan. Ia bersama saudaranya menyaksikan pertempuran itu dengan penuh perhatian, dalam hati diam-diam merasa heran tetapi juga merasa girang. Terkejut dan heran, karena ia tidak menduga bahwa kepandaian kakak beradik itu ternyata sedemikian hebatnya. Kalau semula ia merasa penasaran tetapi kini setelah menyaksikan kepandaiannya untuk menghadapi Pok Sui Thian, mau tidak mau merasa sangat kagum juga.

Dan yang membuatnya girang ialah karena menyaksikan Pok Sui Thian setelah lebih dari limapuluh jurus, nampaknya mulai kewalahan, keringat sudah membasahi dahinya napasnya tersengal-sengal, maka dalam hati Pan Lo-toa diam-diam telah berdoa, semoga mereka kedua pihak jatuh terluka semuanya. Pada saat itu, Say Ban Hiong diam-diam menghampiri dua saudara Pan itu dan berkata dengan suara perlahan.

“Sekarang kita tidak bertindak, kapan tunggu lagi?” Pan Lo-jie agak heran ia bertanya:

“Apa? iblis tua itu telah menghina kita, apa kau ingin membantunya? Aku justru tidak sudi.” “Siapa yang menyuruhmu membantunya?” berkata Say Ban Hiong sambil tertawa.

Pan Lo-toa berkata:

“Paman Say maksudmu apakah kita harus menggunakan kesempatan ini, merampas kereta itu?”

“Benar. Di atas kereta itu cuma ada seorang bocah setan itu, yang menjaga. Apa kita masih perlu khawatir tidak sanggup menghadapinya? Biar besok Pok Sui Thian yang berkelahi mati-matian, dan kita yang bertindak lebih dulu!”

Biji mata Pan Lo-toa nampak berputaran, kemudian menatap wajah Say Ban Hiong dan ber kata kepadanya dengan suara datar:

“Apakah kau tidak takut dengan Pok Loyamu itu?” Muka Say Ban Hiong merah seketika, ia berkata:

“Apakah kau kira aku benar-benar rela diperintah olehnya, dan cuma ingin dapatkan sisa bagiannya saja? Asal kalian berani, kita boleh merampas kereta itu, kemudian menyingkirkan jiwa tua bangka itu!”

Dua saudara Pan itu meskipun agak sakit hati terhadap Say Ban Hiong, tetapi dalam menghadapi persoalan itu, kalau mereka bekerja sama, biar bagaimana lebih baik daripada barang itu ditelan oleh Pok Sui Thian seorang diri.

Pan Lo-toa sebetulnya memang sudah berpikir, setelah Pok Sui Thian luka bersama-sama dengan dua lawannya segera disingkirkan jiwanya, tetapi dua saudara Pan itu, juga masih belum yakin benar memenangkan dirinya. Dan kini Say Ban Hiong telah mengajak mereka bekerja sama, karena mengingat kepentingan bersama, maka kedua pihak lantas setuju.

Pan Lo-toa berkata:

“Baik, makanan ini kita bagi tiga bagian!”

Mereka bertiga lalu bergerak maju untuk merampas kereta barang permata itu.

Pok Sui Thian yang sedang bertempur sengit, ketika menyaksikan mereka hendak merampas kereta, lalu berkata dengan suara gusar:

“Kalian hendak berbuat apa?”

Say Ban Hiong menjawab sambil tertawa,

“Tidak apa-apa, kita cuma ingin membantu kau untuk membereskan barang-barang ini dulu, supaya kita tidak perlu memikirkan lagi!”

Pan Lo-toa berkata:

“Say toako, kau benar, makanan ini panas sekali, seorang diri tidak sanggup menelan. Kita akan menyingkirkan bocah setan itu, supaya kau boleh menghadapi dua bocah ini dengan tenang. Kita meski pernah ribut mulut, tetapi biar bagaimana masih merupakan orang-orang dalam sendiri, jangan sampai mengadu jiwa.” Maksud Pan Lo-toa ialah karena masih memerlukan tenaga Pok Sui Thian maka ia mengeluarkan perkataan yang enak didengarnya itu, untuk menenangkan hatinya.

Pok Sui Thian sudah tentu tidak percaya perkataan mereka, tetapi ucapan Pan Lo-toa tersebut sedikit banyak memang beralasan, dia pada saat itu masih belum sanggup menjatuhkan lawannya yang masih muda-muda itu. Jikalau sampai terjadi baku hantam antara orang sendiri, yang enak pasti kakak beradik Tiat itu.

Tiat Leng lalu berkata kepada kakaknya:

“Koko, celaka, mereka telah merampas kereta kita!” Tiat Ceng lalu berkata:

“Jangan lengah, penting kita menghadapi musuh yang berada di depan mata kita sendiri!”

Sementara itu telinganya tiba-tiba mendengar suara “trang”, pedang Tiat Leng sudah diterbang oleh tongkat Pok Sui Thian. Untung kepandaian meringankan tubuh Tiat Leng sudah sempurna, dengan satu gerakan melesat ia sudah berhasil mengelakkan serangan selanjutnya.

Tiat Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mencegah Pok Sui Thian mengejar adiknya.

Pok Sui Thian sebetulnya ingin lekas mengakhiri pertempuran ini, supaya bisa ambil bagian merampas kereta barang berharga. Sementara bagaimana caranya menghadapi Pan Lo-toa bertiga belum dapat kesempatan untuk memikirkannya. Tidak diduga meskipun ia berhasil membikin terpental senjata Tiat Leng, tetapi Tiat Ceng masih sanggup melawan mati-matian.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar