Heng Thian Siau To BAGIAN 24 : HONG-SIN-SAN

 
BAGIAN 24 : HONG-SIN-SAN . . . . . .

OBAT ANJING GIL A

Dua hari kemudian ketika tiba dikaki gunung, dari kejauhan sana tampak Tay-keng sedang melepaskan lelah duduk dibawah sebatang puhun. la merasa girang mendapatkan engkohnya itu belum naik keatas gunung. "Engkoh....., engkoh !" serunya dengan gembira.

Sebaliknya jantung Tay-keng berdebar keras demi mendengar suara adiknya itu.

Buru2 dia hendak mengumpat dibelakang puhun, "tapi saat itu Tio In sudah tiba dan loncat turun dari kudanya,

"Kau tentunya gelisah karena tak dapat mencari aku di Kong Hau Si bukan?" tegur Tio In dengan tertawa.

Tay-keng pucat wajahnya, baru dia hendak menyahut, Tio In sudah tertawa berkata lagi: "Aku kan sudah lolos dari bahaya, mengapa kau masih gelisah begitu macam?"

Tay-keng coba melipur getar hatinya dengan senyuman getir, tanyanya: "In-moay, kau kemana saja itu waktu?"

,”Kalau kuceritakan lucu rasanya," sahut adiknya, "ketika terhimpit dalam lautan manusia itu waktu, tiba2 tanganku tersisip segulung kertas. Setelah kau pergi, lalu kubuka gulungan kertas itu dan isinya ternyata ada orang yang mengundangmu datang keruangan perpustakaan gereja itu!"

"Kau kau pergi tidak?" tanya Tay-keng dengan nada gemetar. ”Sudah tentu pergi. Aku hendak mengetahui siapa orangnya yang mengundangmu itu, kiranya si jagoan istana Shin Hiat-ji!" sahut Tio In masih tetap tertawa.

Kalau adiknya tertawa, adalah Tay-keng serasa terbaring semangatnya.

Pikirnya Tio In tentu sudah mengetahui rahasia itu, untuk menjaga bahaya lebih baik dia bunuh adiknya itu.

Tangannya meraba tangkai pedang dan kakinya mundur selangkah untuk bersiap.

Masih Tio In tak mengetahui gerak gerik Tay-keng yang luar dari biasanya itu.

Dan setitikpun tak terlintas dalam hatinya, bahwa Tay- keng engkoh kandungnya sendiri, mengandung maksud sedemikian kejam terhadap dirinya.

Karena masih mengira engkoh geram mendengar nama Hiat-ji itu, Tio In tertawa lepas berseru: "Kau tentunya merasa aneh bukan? Memang bermula aku sendiri pun merasa aneh, masakan kau mengelabuhi  ayah dan bergaul dengan orang macam itu?"

Tangan Tay-keng bergerak, sring......., pedang dilolosnya sampai separoh bagian.

Keringatnya bercucuran membasahi tubuh, "Ngaco!" dia menjerit keras.

Tio In terkesiap. Diam2 ia puji engkohnya itu seorang pemuda perwira, sehingga marah namanya dinodai itu.

"Dengerkan dulu kulanjutkan ceritaku. Begitu berhadapan muka dengan aku. Hiat-ji lantas menanyakan dirimu, lucu bukan? Kalau dia hendak mengundangmu, masakan suratnya diterimakan padaku!"

Mendengar kata2 adiknya itu, hati Tay-keng tenang kembali.

Dia melihat ada setitik sinar terang. "Lalu kau bagaimana?" tanyanya buru2.

"Kuhajar dia, tapi dia lebih lihay. Aku  ditawan digedung ti-hu Kwiciu sana, diikat pada sebuah ranjang. Tiba2 muncul seorang lelaki buntung kedua kakinya yang mengatakan dirinya ada lah si Cian-bin-long-kun The Go"

”Seorang lelaki buntung?" tukas Tay-keng dengan kagetnya.

Tapi rupanya Tio In tak menghiraukan pertanyaan. engkohnya itu dan hanya melanyuntukan ceritanya lagi: "Dia memberitahukan padaku kalau kau bersekongkol dengan kaki tangan Ceng, lalu suruh aku pulang ke Lo- hu-san dan melaporkan pada ayah!"

Merah putih wajah Tay-keng saat itu.

Butir2 peluh sebesar kedele, bercucuran jatuh dari dahinya.

Dengan suara gemetar dia berseru: "Ho. bagus

ya!"

Tangannya siap mencabut pedang yang sudah setengah keluar tadi.

Begitu Tio In lengah, dia hendak menusuknya dengan tiba2. Urusan sudah mencapai tingkat sedemikian gentingnya, rasanya lebih baik dia habisi jiwa adiknya disitu, daripada dia nanti dibunuh ayahnya.

Tapi sesaat itu kedengaran hidung Tio In mendengus: "Hem , mereka ngimpi hendak jalankan siasat pinjam-

mulutku, lucu benar!"

"Siasat pinjam-mulut?" serentak Tay-keng menegas dengan kaget.

”Hem...., kau lebih tua beberapa tahun dari aku, mengapa urusan begitu sederhana saja, kau tak dapat mengetahui”, sahut Tio In dengan ke-bangga2an, ”kawanan budak Ceng berikut dengan The Go nya itu hendak main sandiwara agar aku mau percaya bah wa kau ini turut dalam gerombolan mereka. Kalau kulaporkan ayah, dia tentu akan membunuhmu, dan jika mamah mencegahnya, pasti akan timbal  keretakan hebat. Dan jika ayah bunda kita itu bertengkar, organisasi Lo-hu-sanpun tentu akan berantakan. Tapi mana aku kena dikelabuhi dengan "akal bulus itu?"

Setiap patah yang diucapkan adiknya itu didengarinya dgn penuh perhatian.

Setelah Tio In mengakhiri kata2nya, serasa longgarlah rongga dada Tay-keng dari perasaan tertindih batu berat.

Sudah tentu Tio In tak mengetahui, bahwa tadi setiap saat jiwanya bisa melayang!

Dan sememangnya, andaikata Tay-keng itu berhati ganas, tadi2 tentu dia sudah turun taagan. Soalnya, dia berhati khianat tapi bernyali kecil. Sekalipun demikian, tadi dia Sudah mandi keringat. Diam2 dia masih curiga dan kuatir.

Tio In ajak engkohnya lekas2 naik keatas, tapi segera dia minta agar adiknya itu jangan mengatakan suatu apa kepada ayahnya.

"Takut apa” bantah Tio In seraya tarik tangan engkohnya diajak naik.

Tiba diruang Gi-su-thia (tempat permusyawaratan) dilihatnya orang banyak sama berkumpul diluar thia.

Menyusup masuk, Tay-keng dan Tio In tampak ayahnya duduk ditengah ruangan, mamahnya berdiri disampingnya sedang Kiau To berdiri dihadapan mereka dongakkan kepalanya tak mengucap apa2.

Wajah sekalian orang itu keren2 tampaknya.

Tio In menduga tentu terjadi sesuatu  hal yang genting, maka iapun tak berani membuka mulut.

Lewat beberapa saat kemudian, barulah kedengaran Siau-beng-siang Tio Jiang mengeluarkan kata2: "Baik dalam hal umur mau pun tingkatan, sebenarnya tak pantaslah kalau ku duduk sebagai pemimpin Lo-hu-san. Tapi oleh karena saudara2 sekalian mendesak, maka akupun terpaksa menjabatnya. Apapun lembaran sejarah-hidup Peng-se-ong itu, tapi karena dia hendak bersatu haluan dengan kita, kita harus mempertimbangkan dengan baik. Siapa dan bagaimana tingkah laku utusan yang dikirimkan kemari itu, kita harus pandai menguasai diri untuk menyambutnya dengan baik2".

Muda usia Siau-beng-siang Tio Jiang itu, namun sebagai pemimpin dia cukup mempunyai kewibawaan. Orangnya jujur, tegas dan berani. Sedikit bicara, tapi setiap kali dia merigutarakan apa2, tentu diturut. Tapi  kali ini agak berlainan. Sehabis dia berkata, tiada seorangpun yang menyatakan apa2, keadaan hening2 saja.

Satu2-nya suara yang terdengar yalah mulut Kiau To mendenguskan tertawa sinis.

Tio Jiang terkesiap sejenak lalu berkata: "Kiau jiko, sebaiknya kau dan aku pergi ketempat Peng-se-ong di Gun-bing sana untuk menghaturkan maaf kepada Co Kong-liok. Bagaimana sikap mereka nanti, barulah kita tetapkan haluan lagi!"

Tegas dan positip ucapan Tio Jiang itu, tapi Kiau To pun seorang jago yang berangasan. Jangan kata Co Kong-liok, sedang Go Sam-kui sendiripun dia  tak pandang mata.

"Aku tak sudi kesana!" serunya keras.

Bahkan saat itu disana sini terdengar  sambutan hangat menunjang pernyataan siberangasan itu, "orang macam apa dia itu maka kita kaum persilatan harus menghaturkan maaf!" kata seorang.

Dan lain orang lalu menyambungi pula: "Kalau tahu begini, lebih baik tempo hari mampusi saja bangsat itu!"

Sana sini terdengar orang mencaci maki si Co Kong- liok itu.

Sebenarnya Tio Jiang baru saja datang dari bepergian. Kiau To menceritakan apa yang terjadi dengan utusan

Go Sam-kui itu.

Dia gembira kalau Tio Jiang tentu akan tertawa geli. Tapi ternyata dia kecele.

Siau-beng-siang Tio Jiang bukan Tio Jiang pada tahun berselang.

Dia kini seorang pemimpin perserekatan orang gagah, yang bertanggung jawab.

Orang2 gagah dari kedua propinsi Kwitang dan Kwisay, sama bernaung dibawah panji Lo-hu-san.

Ceng Bo siangjin telah berlayar keluar negeri untuk mencari bantuan, tapi hingga belasan tahun lamanya dia tak ada kabar beritanya.

Sejak itu Siau-beng-siang Tio Jianglah yang memikul tugas berat memimpin organisasi menentang penjajah Ceng yang sudah berakar pengaruhnya.

Tugas berat inilah yang menjadikan Tio Jiang seorang yang masak, tak mudah terpengaruh oleh sesuatu nafsu sentimen.

Berkat pimpinan Siau-beng-siang dapatlah dibentuk suatu koordinasi yang rapi antara organisasi2 dibawah tanah dari kedua propinsi itu.

Pemerintah Ceng mempunyai jaringan mata2 yang luas, maka gerak-gerik Lo-hu-san itu tak lepas dari pengintaiannya.

Sudah tentu merekapun cemas melihat pertumbuhan yang menguatir kan itu.

Mereka segera bertindak. Lebih dahulu dikirimkan bebrapa taylwe ko-chiu (jagoan istana) untuk menyelundup dan mengobrak-abrik. Rencana Go Sam-kui untuk berpaling haluan, cepat disambut dengan langkah tepat oleh Siau-beng-siang.

Dikirimnya bebrapa orang antara lain Tay-keng kemarkas Go Sam-kui di Gun-bing, untuk mengadakan kontak.

Sebab Tio Jiang sadar sesadar2nia, bahwa apabila Go Sam-kui sampai memberontak dan mau diajak berserekat, itulah suatu potensi kekuatan yang tak ternilai besarnya bagi perjoangan menentang penjajah.

Maka terhadap urusan yang mengenai fihak Go Sam- kui, dia bersikap hati2 sekali.

Untuk merealisir perserekatan itu, Tio Jiang rela kesampingkan soal2 remeh, misalnya yang mengenai gengsi, sentimen dan lain lain.

Segera dia menegur perbuatan Kiau To terhadap utusan Go Sam-kui itu.

Kiau To yang berangasan, tak mau mengerti.

Dengan suara keras, dia membantah hingga terbitlah perbantahan sengit dengan Siau-beng-siang.

Mendengar suara ramai2 itu, sekalian orang sama menjenguk datang ke Gi-su-thia.

Demikianlah asal mula suasana tegang yang terdapat diruang permusyawarahan itu.

Tio Jiang ceritakan urusan itu kepada sekalian orang, tapi ternyata reaksi malah runyam. Bukan melainkan Kiau To yang tak mau disalahkan, pun sekalian orang malah turut menunjang sikap Kiam To. Kehendak Tio Jiang untuk minta maaf pada Co Kong- liok, mendapat tentangan hebat. Mereka benar2 gusar atas sikap yang dibawa oleh utusan Go Sam-kui tempo hari itu.

Sepasang mata Siau-beng-siang ber-kilat2 menyapu kearah sekalian orang gagah.

Hanya dengan sikapnya yang penuh perbawa itulah maka orang2 yang marah2 tadi, dapat dibikin bungkam,

"Baik, kini hanya ada dua jalan. Pertama, aku berhenti dari pucuk pimpinan, silahkan saudara2 memilih ketua baru lagi. Kedua, Kiau jiko harus ikut aku ke Gun-bing. Kita telah berlaku kurang hormat, masakan mereka mau datang kemari lagi?" akhirnya Tio Jiang mengeluarkan pernyataan. Nadanya keras, menyatakan kemarahan.

Sebaliknya siberangasan Kiau To sudah tak mengerti isi hati Siau-beng-siang.

Dia salah kira, Tio Jiang bernyali kecil, maka dengan tertawa dingin menyahutlah dia: "Untung hanya fihak Go Sam-kui, kalau fihak kaisar Ceng yang mengirim utusan, aduh mak, mungkin aku diharuskan mengganti kepalaku ini, huh!"

Sehabis menumpahkan kemengkalannya itu, Kiau To lalu tinggalkan ruangan situ.

Suasana makin meruncing. Sekalipun orang tak berani membuka mulut.

Sesaat itu suasana ruang Gi-su-thia menjadi lelap.

Brak......, se-konyong2 Tio Jiang menghantam meja didekatnya. Tanpa disadari, dia telah gunakan tenaga besar, sehingga muka meja itu menjadi amblong, pecahannya berhamburan kelantai.

"Kembali!" teriaknya dengan suara mengguntur.

Kiau To terperanjat. Cepat dia memutar tubuh seraya berseru dengan tawar: "Bagaimana?"

"Tak usah Kiau jiko pergi, biarlah aku saja yang pergi!" kata Siau-beng-siang, lalu melirik kepada isterinya dia berseru: "Yan-chiu, sekalian saudara sudah tak menggubris perintahku, biar kupergi dari sini!"

Kalau Siau-beng-siang pergi, Lo-hu-san tentu kacau.

Dan ini diinsyafi juga oleh Ki Ce-tiong yang segera tampil kedepan serunya: "Jiang koji, jangan terburu nafsu dulu. Kiau loji, apa ucapan kita sewaktu memilih Jiang koji menjadi ketua? Itu waktu diapun sebenarnya menolak karena usianya masih muda, dikuatirkan nanti orang2 tak mau tunduk perintah. Dan bukankah kau sendiri yang kala itu memberi pernyataan tegas, siapa2 yang tiada taat akan kau hajar dengan pian? Kini mengapa kau sendiri yang menyalahi janji itu?"

Kiau To dibikin bungkam oleh teguran Ki Ce-tiong itu. "Mendaki gunung golok, menyilam kelautan api, aku

orang Kiau ini, tak nanti mundur. Tapi kalau suruh aku minta maaf pada bangsat Co itu, aku sungguh tak dapat menjalani. Kalau dikatakan aku melanggar janji, aku sedia menerima hukuman!" akhirnya dia berseru dengan geram.

Tio Tay-keng dan Tio In yang baru jelas akan duduk perkaranya itu, tak menduga kalau urusan menjadi sedemikian pentingnya. Tapi si Tay-keng itu diam2 malam bersorak dalam hati. Pucuk dicintai alam tiba (artinya: mendapat sesuatu lebih dari yang di-harapkan).

Biasanya Tio Jiang selalu diturut segala perintahnya.

Kalau kali ini sekalian orang sudah berani membangkang, itulah saat yang sebaik-baiknya untuk menjalankan rencananya.

Obat bius pemberian Hiat-ji itu, katanya akan dapat membikin orang tak ingat diri sampai bebrapa hari.

Setelah ayahnya dibikin tak ingat, dia lalu bubarkan perserekatan orang gagah itu.

Untuk mengumpulkan lagi orang2 gagah dari kedua propinsi itu, bukanlah suatu pekerjaan mudah. Dan kelak apabila ayahnya sudah tersadar, taruh kata tahu bahwa dialah (Tay-keng), yang melakukan perbuatan itu, namun saat itu dia (Tay-keng) akan jauh berada dikota raja.

Dia akan ganti nama, menikmati penghidupan sebagai pembesar kerajaan Ceng.

Memikir sampai disini, tangannya merabah kekantong baju.

Didapatinya obat hong-sin-san itu masih ada. Diam2 dia lalu melangkah keluar menyusul Kiau To.

"Paman Kiau, entah begaimana ayah ketakutan setengah mati terhadap Go Sam-kui.

”Peribadi semacam paman ini, masakan sudi disuruh minta maaf pada bangsat macam orang she Co itu!" bisiknya membakar hati Kiau To.

Kiau To mengangguk. Diam2 dia puji ketegasan anak muda itu.

Hubungan Ki Ce-tiong dengan Kiau To sudah sedemikian akrabnya.

Berpuluh tahun keduanya bahu membahu memegang pucuk pimpinan gerakan Thian Te Hui dahulu.

"Kiau loji, Jiang kojipun tak mau menghukummu," kata bekas pemimpin Thian Te Hui kepada Kiau To.

Kemudian kepada Tio Jiang, dia memberi pernyataan: "Karena loji tak mau, biarlah aku saja yang ikut padamu kesana!"

Bagaimana perasaan Tio Jiang ketika menghadapan tantangan tadi, sukar dilukiskan. Satu2nya orang yang mengetahui isi hatinya hanyalah Yan-chiu. Pernyataan Ki Ce-tiong tadi suatu bantuan moreel yang se-besar2nya

Serentak itu Yan-chiupun menyatakan kesediaannya untuk ikut sang suami.

Namun Kiau To tetap penasaran.

"Puncak Giok-li-nia gunung Lo-hu-san sini adalah tempat berkumpulnya kaum pencinta negeri dari kedua propinsi Kwi, bukan tempat permusyawaratan untuk mengambil hati Go Sam-kui, bah!" bekas wakil pemimpin Thian Te Hui itu mengejek.

Betapapun toleransi seorang pemimpin bijaksana macam Tio Jiang, namun diejek begitu, benar2 dia tak dapat menguasai dirinya lagi.

Wajahnya menampil kemarahan hebat. Hui-lay-hong Yan-chiu yang mengetahui perobahan muka suaminya itu, karena kuatir akan terjadi perkelahian, buru2 mencegahnya: "Jiang-ko, rasanya urusan sudah sampai disini saja, tak usah mengumbar hawa kemarahan!"

Tio Jiang menjadi tenang lagi, lalu bersama isterinya tinggalkan ruang Gi-su-thia situ. Tio In menyusul dan memanggil mamahnya. Tio Jiang berpaling. Melihat sikap ayahnya itu, Tio In ketakutan setengah mati, tak berani bercuwit lagi.

"Jiang-ko, jangan gitulah, In-ji sampai ketakutan setengah mati!" Yan-chiu menggerutu.

Setelah mendapat hati mamahnya itu, barulah Tio In berani melanjuntukan kata2nya: "Mah, waktu pergi ke Kwiciu ini, aku berjumpa dengan Cian-bin-long-kun The Go!"

Kali ini Siau-beng-siang terkesiap kaget.

Ya, kalau The Go yang cerdik itu berada disitu, pastilah dia (Tio Jiang) tertolong dari kesulitan. Buru2 dia menanyai anaknya dimana telah berjumpa dengan The Go.

Sebaliknya Yan-chiu menjadi kurang senang dan menyeletuk: "Perlu apa dengan orang macam itu?"

"Benar, mah, aku berjumpa dia didalam gedung ti-hu Kwiciu. Mereka hendak gunakan siasat pinjam mulutku supaya mengatakan pada ayah kalau engkoh Tay-keng itu bersekongkol dengan orang2 Ceng!"

"Tu dia, untuk mengharap orang macam dia kembali kejalan benar, adalah seperti orang mengharap halilintar berbunyi ditengah hari!" Yan-chiu memberi bumbu lebih pedas.

Darah Tio Jiang tersirap. Hatinya makin uring2an.

Bersama Yan-chiu, dia lalu balik kekamarnya untuk ber-kemas2.

Besok pagi mereka hendak berangkat ke Gun-bing.

Seperginya Tio Diiang dari ruang Gi-su-thia disana orang2 masih ramai kasak kusuk.

Mereka tetap menyesali sikap Tio Jiang yang tak seharusnya meminta maaf ke Gun-bing itu.

Ki Ce-tiong berusaha untuk menenangkan  mereka, tapi rupanya mereka tetap tak puas.

Melihat itu, Tay-keng makin girang. Kesana sini dia menambahi minyak (membakar), hingga orang2 itu makin panas. Seorang anak saja bisa mencelah perbuatan ayahnya, jadi terang kalau tindakan Tio Jiang itu keliwat merendahnya, demikian kesan buruk terhadap diri Siau-beng siang makin menggores tajam dalam hati orang2 itu.

Ki Ce-tiong menasehati Kiau To, supaya nanti malam apabila sekalian orang sudah sama reda kemarahannya, baiklah dia minta maaf pada Tio Jiang agar  ganjelan pada hari itu dapat dibikin habis.

"Suruh aku mengangguk 3 kali kepadanya, aku sih tak keberatan!" ujar siberangasan itu.

Tahu walaupun Kiau To itu beradat berangsan namun berhati diujur, legahlah hati Ki Ce-tiong.

Saat itu karena tiada pekerdiaan, Tio In keluar ber- jalan2 dipuncak. Tahu2 sang kaki membawanya ketempat Tong Ko dipaksa loncat kebawah lembah tempo hari.

la tahu kalau pemuda itu belum binasa, tapi kemanakah perginya?

Entah bagaimana hatinya terasa pilu.

Terkenang ia akan peristiwa iang lampau, dimana Tong Ko dengan membawa 3 kaki tangan Ceng telah membinasakan adiknya dan membakar perumahan  rakyat di Lo-hu-san.

Ah......, mengapa pemuda yang menjadi tambatan hatinya itu, menghambakan diri kepada musuh?

Dengan kenangan yang penuh tanda tanya itu, ia ter- mangu2 sampai bebrapa saat.

Tak antara lama kemudian, haripun masih gelap. Tay- keng merasa girang setelah dapat membakar hati orang2 gagah itu.

Kini dia ambil ketetapan untuk menjalankan rencananya. Kalau malam nanti, dia minumkan obat itu, besok pagi ayahnya tentu tak jadi berangkat ke Gun- bing.

Dia menuju kedapur untuk mengambil dua gelas teh wangi, lalu menuju kekamar Tio Jiang. Dilihatnya sang ayah masih bermuram durja dalam kamarnya,

Melihat puteranya datang membawa teh, hati  Tio Jiang merasa terhibur, tegurnya:

"Ho, kau sudah pulang? In-ji mengatakan, kamu berdua telah dipermainkan orang di Kwiciu. Besok aku hendak berangkat ke Gun-bing, bagaimana hasilnya, entahlah. Sebaiknya kalian berdua diangan turun gunung lagi dulu!"

Ketika menuang teh kedalam gelas tadi, Tay-keng telah memasuk kan obat racun hong-sin-san.

Sebenarnya diapun tak mengetahui bahwa obat pemberian Hiat-ji itu, ganas sekali kerjanya.

Tapi demi berhadapan dengan ayah kandungnia yang hendak dia "kerjai" itu, tak urung hatinya bercekat juga.

Maka diapun tak berani mendongak mengawasi sang ayah, melainkan hanya mengiakan saja.

"Kudengar fihak Ceng hendak mengadu domba hubungan kita berdua ayah dan anak maka kuharap diluaran kau harus berkelakuan yang baik. Oh, ya, coba terangkanlah, mengapa sekembalinya deri Gun-bing tempo hari, kau mengatakan padaku bahwa Go Sam-kui tak mempunyai rencana untuk memberontak?"

Tay-keng seperti disambar petir kagetnya.

Memang kepergiannya ke Hun-lam tempo hari itu, dia tak berhasil menjumpai Go Sam-kui,  melainkan menerima surat dari pembesar itu.

Tapi surat itu dia berikan pada Hiat-ji, siapa lalu unjukkan surat itu kepada kerajaan. bukti itu, fihak kerajaan Ceng gusar sekali, tapi oleh karena Go Sam-kui mempunyai tentara kuat, jadi untuk sementara belum diambil tindakan.

Satu2nya langkah, yaIah mengirim rombongan jagoan lihay untuk memperkuat penjagaan di Hun-lam Sejak dua bulan ini, daerah Hun-lam menjadi pusat berkumpulnya mata2 pemerintah Ceng. Kepada ayahnya, Tay-keng mengatakan tiada tanda2 bahwa Go Sam-kui itu hendak berpaling haluan.

Waktu itu, Tio Jiang percaya juga akan keterangan puteranya itu.

Tapi setelah mendanat keterangan Kiau To bahwa Go Sam-kui mengirim utusan ke Lo-hu-san, tapi oleh karena Co Kong-liok itu teramat gila hormat, maka lalu dihajarnya tumpang siur.

Dengan adanya kejadian itu, Tio Jiang menduga tentu ada sesuatu sang terselip dalam urusan itu. Maka demi berhadapan dengan Tay-keng dia  segera menanyakannya lagi.

Sebagai orang yang bersalah, sudah tentu Tay-keng menjadi ketakutan.

Saking getarnya, gelas yang berada dalam tangannya itu gemetar goyang, bebrapa tetes airnya tertumpah keluar.

"Mung.........kin aku belum menyelidiki jelas..............

akupun........tak tahu apa sebabnya!" sahutnya dengan ter-putus2.

Yan-chiu, ibu yang memanjakan anak itu, mengira kalau Tay-keng ketakutan akan sikap Tio Jiang yang masih belum reda kemarahannya itu, maka buru2 ia menyela: "Jiang-ko, jangan gegeri dialah. Menilik umurnya yang masih belum sebrapa itu, masakan dia dapat mengetahui sikap mereka yang sebenarnya!"

Sejak puteranya bungsu meninggal, harapan Tio Jiang ditumpahkan pada Tay-keng. Dia menghendaki agar puteranya itu kelak menjadi seorang jantan yang luhur perwira.

Memang lahirnya dia berlaku keras terhadap anak itu, tapi kebatinannya dia amat cinta, ya mungkin perasaan sayangnia itu lebih dari permanjaan Yan-chiu.

Sekalipun begitu dia tetap tak melepaskan cara pendidikan yang bengis itu.

"Jangan salah terima. Kalau siang2 aku mendapat kepastian tentang maksud mengajak berserekat dari Go Sam-kui itu, tentu aku tak turun gunung mengerjakan lain urusan. Dengan begitu pastilah aku dapat menyambut kedatangan Co Kong-liok itu. Selain tadi tak usah bentrok dengan Kiau jiko, pun kita tak perlu repot2 dibelakang hari" kata Tio Jiang.

Tay-keng hanya ter-sipu2 mengiakan saja, keringatnya mengucur deras.

"Minumlah teh itu, Tay-keng membawakan teh untuk menenangkan pikiranmu, sebaliknya kau malah menggegerinya!" kata Yanchiu.

Tio Jiang mengambil gelas dan terus ditempelkan kemulut.

Lekas minumlah, lekas minumlah! Demikian Tay-keng si anak "berbakti" itu mendoa dalam hati.

Tap! Tio Jiang tak lekas2 meminumnya, melainkan lebih dahulu berkata lagi: "Tay-keng, kalau kau tak mempunyai urusan apa2, besok kau turut aku ke Gun- bing. Kabarnya ketika Co Kong-liok datang kemari turut juga datang Cui-kui Jui Wi itu cianpwe persilatan yang sudah lama tak muncul. Rasanya di Gun-bing sana tentu berkumpul banyak orang2 gagah. Biar kau tambah banyak pengalaman!"

Hati Tay-keng pada saat itu gelisah sekali.

Apa yang diucapkan ayahnya itu, dia tak mendengar sama sekali.

Pada detik itu, hatinya hanya berbantah sendiri: "Mengapa belum diminum? Mengapa belum diminum?"

Saking kerasnya goncangan hatinya itu, sampai2 mulutnya turut mengingaukan suara hatinya itu.

"Hai, Tay-keng, apa2an itu, kau sedang liam-keng (berdoa sembahyang)?" tegur Tio Jiang yang heran diuga melihat sikap puteranya itu.

"Tidak apa2"! sahut Tay-keng yang sudah lemas lunglai persendian tulangnya itu.

Kalau mencelakai lain orang. mungkin tidak segoncang itu perasaan Tay-keng

Tapi yang hendak diracuni itu adalah  ayah kandungnya sendiri.

Dia cukup tahu bagaimana peribadi ayahnya itu.

Seorang lelaki yang tegas perwira, menjunjung kepentingan negara diatas kepentingan peribadi.

Kalau saja, perbuatannya chianat itu sampai ketahuan sang ayah dia tentu akan dibunuhnya. Ini sudah tentu dan cukup diinsyafi Tay-keng.

Membayangkan hal itu, tubuh Tay-keng bergemetaran. Apa lagi mengingat bahwa gelas itu berada ditangan sang ayah, suatu bukti yang tak dapat dibantahnya lagi.

Penyahutannya "tidak apa2" tadi, jelas diucapkan dengan nada gemetar.

Melihat tindak tanduk puteranya tak wajar itu, Tio Jiang makin mendongkol. diletakkan lagi kemeja, lalu membentaknya: "Tay-keng, mengapa kau gugup setengah mati begini?"

Semangat Tay-keng serasa terbang dibuatnia.

Serentak dia memalingkan muka kebelakang, tak berani berhadapan muka dengan sang ayah.

Dan Tio Jiangpun makin curiga.

Tapi baru dia hendak menanyai lagi, Tay-keng sudah meneriaki Yan-chiu: "Mah. "

Kala itu benar2 Tay-keng sudah mati kutu.

Mungkin kalau Yanchiu tak campur tangan, pastilah Tay-keng akan sudah terbuka kedoknya dan Tio Jiang pun tak sampai mengalami peristiwa yang tragis.

Tapi lagi2 datang Yan-ciu mengeloni puteranya, "Ah, sudah malam, kau tentu capai dari Kwiciu, ayuh, tidur sana!" serunya kepada Tay-keng.

Tio Jiang menarik napas panjang, ujarnya: "Dijelmakan sebagai manusia, tapi gerak geriknya seperti setan, omong saja ple......gak pleguk seperti maling tertangkap basah!"

"Ayahnya seorang jantan perwira, masakan anaknya menjadi maling? Kata2mu itu menghilangkan kedudukanku sebagai ibunya!" kata Yan-chiu. Rupanya Tio Jiang merasa kalau mendamprat kelewat batas, maka diambilnya gelas teh terus diteguk habis, kemudian berkata: ”Sana masuk tidur, besok pagi2, turut aku turun gunung?"

Sebagaimana diketahui, hong-sin-san atau obat membikin gila orang, adalah ramuan segala jenis dedaunan yang beracun, dan yang lebih hebat yalah dicampuri juga dengan busa ludah anjing gila, ular berbisa dan lain lain. Sang korban tiada lekas mati, tapi lebih dahulu akan menjadi gila. Dalam pertempuran digereja Ang Hun Kiong tempo hari, Kui-ing-cu hanya terkena sebuah piau Can Bik san yang dipolesi dengan hong-sin-san tersebut, tapi itu cukup sudah membuatnya gila seperti anjing buas. (baca: Lam Beng Ciam Liong).

Apalagi kini Tio Jiang meminumnya.

Bagaimana ngerinya dia nanti, dapat di-kira2kan. Dalam menunggu ravun ganas itu mencelakai Tio

Jiang, ........................

---oo-dwkz)0(kupay-oo--- 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar