Heng Thian Siau To BAGIAN 19 : GEREJA KONG HIAU SI

 
BAGIAN 19 : GEREJA KONG HIAU SI

Dan sekarang marilah kita beralih pada lain tempat, yani kegereja Kong Hau Si yang terletak diwilayah Kwicu sana.

Kala itu adalah tanggal pertengahan, jadi penuh sesaklah orang datang berkunjung kegerja besar itu. Kaisar Ceng yang menduduki takhta kerajaan, sudah turunan yang kedua. Keadaan didalam negeri, boleh dikata sudah aman. Perjoangan para patriot negara hanya dilakukan secara subversif, jadi keamanan tampaknyak tak banyak terganggu.

Seperti lazimnya, diluar gereja sana tampak ber-deret2 para penjual menjajakan dagangannya. Ramainya bukan kepalang. Pada sebuah dasaran yang menjual barang2 cita dan kain sutera, tampak ada seorang nona yang bermata bundar sedang mengunjukkan sehelai sutera hijau pupus pada pemuda kawannya yang berada disisinya.

"Koko, bagus tidak warna ini? Mamah sering mengatakan dirinya sudah tua tak pantas bersolek. Tapi kalau saja dia dandan, kupercaya tentu masih kelihatan cantik. Bagaimana kalau kita belikan sutera ini untuk beliau?"

Nona itu bukan lain adalah Tio In, sedang yang dipanggil koko (engkoh) itu adalah Tay-keng. Saat itu pikiran Tay-keng tidak pada kain sutera yang diunjukkan adiknya. Dia celingukan kesana sini, se-olah2 mencari sesuatu. Maka sekenanya saja dia mengiakan pertanyaan adiknya tadi. Tapi dalam hati dia memaki Co In: "Hem......, budak perempuan kurangajar, mengapa berkeras ikut aku ke Kwiciu. Kalau Hiat-ji datang, bagaimana nanti? Ah, bagaimana aku dapat mengelabuhinya ya?"

Kiranya sebulan yang lalu, ketika Tio Jiang bersama anak isterinya tiba di Giok-li-nia, sampailah  padanya suatu berita yang menggembirakan. Berita itu mengenai diri Go Sam-kui. Penghianat yang karena jasanya memasukkan tentara Ceng kedalam wilayah Kwiciu,  maka oleh pemerintah penjajah tersebut dia dikerunia pangkat tinggi dan didudukkan sebagal gubernur yang menjaga wilayah Hunlam. Tapi pada beberapa tahun yang terakhir itu, tersiar desas-desus bahwa orang she Go itu hendak memberontak yang membawa berita kepada Tio Jiang itu, adalah salah seorang kepercayaan Go Sam-kui sendiri.

Tentang keretakan antara Go Sam-kui dengan pemerintah Ceng itu, memang sudah lama didengar oleh Tio Jiang.

Tempo hari Tio Jiang makanya sudah mengutus Tay- keng ke Hun-lam itu, perlunya yalah disuruh menyelidiki kebenarannya desas-desus itu. Tapi setelah mendapat keterangan tentang cenderungnya gerak gerik Go Sam- kui itu, bukannya memberitahukan kepada sang ayah, sebaliknya Tay-keng malah melaporkan pada Shin Hiat-ji dan kawan2.

Maka demi sekarang Tio Jiang mendapat berita itu sendiri, dia segera mengadakan kontak dengan para orang dari pelbagai kalangan persilatan. Benar Go Sam- kui itu seorang penghianat besar, tapi dia mempunyai puluhan ribu anak tentara. Kalau Go Som-kui kali ini  benar memberontak, itu berarti suatu kekuatan besar untuk mencetuskan pemberontakan mengusir penjajah Ceng. Sebagai seorang pejoang, Tio Jiang menyambut berita itu dengan semangat yang me-nyala2.

Sebagai pemimpin gerakan menentang penjajah, siang malam Tio Jiang amat sibuk, jadi dia tak sempat memperhatikan perobahan sikap puterinya. Tapi tidak demikian dengan Yan-chiu yang mengetahui bahwa sejak pulang dari Sip-ban-tay-san itu, Tio In tampaknya selalu bermuram durja. Berulang kali didapatinya sang  puteri itu ter-menung2 diatas puncak tempat Tong Ko loncat turun kedalam lembah tempo hari itu. Sebagai seorang ibu, tahulah Yan-chiu apa yang dikandung dalam hati gadisnya itu. Tapi iapun tak berdaya  untuk menasihatnya.

Kebenaran saat itu, hari pertemuan yang dijanjikan Tay-keng pada Hiat-ji, sudah tiba. Maka diapun mengatakan kepada orang tuanya hendak pergi ke Kwiciu. Yan-chiu suruh dia membawa Tio In agar hatinya terhibur. Oleh karena ingin menyelidiki tempat beradanya Tong Ko, Tio In pun setuju. Tay-keng mendongkol, tapi tak mempunyai alasan untuk menolaknya.

Begitulah setiba di Kwiciu, mereka mengunjungi gereja Kong Hau Si. Melihat keramaian disitu, hati Tio In agak terhibur, tapi sebaliknya Tay-keng sibuk tak  karuan. Berulang kali Tio In mengajaknya bicara tentang ini itu, tapi selama itu Tay-keng hanya mendengus saja malah kadang2 tak menyahut sama sekali. Akhirnya heranlah Tio In dibuatnya, tanyanya: "Koko, kau ini mengapa?"

Saat itu kebetulan mata Tay-keng tertumbuk pada seseorang yang berada didalam lautan orang disebelah sana. Orang itu tampak melambaikan tangan kepadanya, terus berputar kebelakang. Dari potongan punggungnya, terang orang itu Hiat-ji adanya. Maka pertanyaan Tio In tadi, telah membuatnya terkejut seperti disengat tawon. Tapi pada lain saat, dia sudah memperoleh daya, sahutnya: "Dik, kau tunggu dulu disini, jangan pergi ke- mana2. Aku hendak kesana sebentar!"

Habis berkata itu, dia terus berputar hendak mengayun langkah, tapi cepat2 dijambret. oleh Tio In. "Kau hendak kemana?" tegurnya.

"Tadi kulihat seseorang yang kalau tak salah adalah salah seorang saudara kita di Lo-hu-san, tampak sedang main mata dengan seorang kaki tangan musuh. Aku hendak me-mata2inya sebentarl"

"Kalau begitu aku ikut, koko. Apakah kau membawa pedangmu, kemungkinan kita nanti menghadapi pertempuran!" sahut Tio In dengan girang.

Tay-keng mengeluh dalam hati. "Dik, sebaiknya kau jangan turut saja. Kau baru pertama ini datang ke  Kwiciu, masih asing keadaan disini. Nah, jangan senrbarang pergi ke-mana2, tunggu saja aku disini!"

"Mengapa? Mamah pernah mengatakan padaku, bahwa kau ini tak boleh dipercaya, aku disuruh mengikuti kau!"

Tay-keng pucat air mukanya, hatinya berdetak keras, bantahnya terbata2: "Dalam hal apa aku. tak boleh

dipercaya?"

Dengan ucapan itu dia mengunjunkkan rasa cemas sekali karena mengira perbuatannya bersekongkol dengan Hiat-ji itu sudah ketahuan mamahnya. "Huh, mengapa kau begitu gelisah dikatakan begitu saja oleh mamah? Jangan mudah ketakutan ah! Ya, mengapa kau hendak pergi seorang diri? Tadi kutanya apa kau membekal senjata rahasia, kaupun diam saja. Bukantah kalau sepasang pedang pusaka kita bergabung, akan merupakan suatu kekuatan yang sukar dicari tandingannya? Tapi mengapa kau menolak, bukankah ini membuktikan bahwa benar2 kau ini tak dapat dipercaya?"

Legalah hati Tay-keng. Ternyata tadi adiknya  itu hanya menggertaknya saja agar ia diperbolehkan mengikut. Memang demikian halnya. Barang siapa yang berbuat salah, betapa tenang orang itu, namun tak urung ada kalanya tentu kelihatan sikapnya. Tay-keng cukup menginsyafi bahaya apa yang akan terjadi apabila dia ajak adiknya itu menjumpai Hiat-ji.

"Ah, aku tadipun tak melihatnya dengan jelas. Lebih baik mengurangkan urusan daripada cari urusan. Baik kita jangan hiraukan orang itu lagil" akhirnya dia mencari alasan untuk menghindari desakan adiknya.

Tio In juga dapat dibikin mengerti. Kwiciu sudah dikuasai tentara pendudukan Ceng. Asal timbul sedikit kegaduhan saja, tentara Ceng pasti akan mengepungnya. Dan kalau terjadi begitu, sukarlah rasanya ia meloloskan diri. Begitulah setelah membeli kain sutera hijau, ia ikut sang engkoh berjalan2 lagi.

Dalam pada itu, Tay-keng tetap pasang mata men- cari2 bayangan Hiat-ji. Tapi sampai begitu jauh, orang yang dicarinya itu tak kelihatan lagi.

Pada saat itu, orang2 yang mengunjungi gereja situ makin lama makin padat hingga sampai ber-jubel2 dorong mendorong. Tiba2 Tay-keng melihat ada seorang yang menghampiri kedekatnya. Setelah  menatap sejenak, orang itu mengulurkan tangannya. Tay-keng menduga bahwa orang itu tentulah pesuruhnya Hiat-ji. Buru2 dia acungkan tangannya kebelakang dan sesaat kemudian, tangannya sudah menggenggam sebuah gulungan kertas kecil. Tay-keng girang tapi baru saja dia hendak cepatkan langkahnya sekonyong2 terdengarlah seruan orang dari sebelah belakang: "Minggir, minggir!"

Menyusul terdengar suara tok.... tok..... bebrapa kali. Tay-keng menoleh kebelakang dan kiranya seorang pengemis berkaki buntung, pakaiannya compang camping berjalan mendatangi dengan sebuah tongkat. Wajah penyemis itu luar biasa buruknya.

Dalam arus berjenis kelas manusia itu, Tay-keng tak sempat memperhatikan sipengemis itu. Tapi ketika pengemis buruk itu lewat disisinya, dia  (Tay-keng) segera rasakan siku tangannya kesemutan sehingga tanpa terasa jarinya terbuka dan jatuhlah gunyan kertas kecil itu ketanah. Dalam kejutnya Tay-keng cepat menyambar kebawah dan dapatlah dia menangkapnya lagi. Mengetahui kalau membentur Tay-keng, pengemis jembel itu unjuk ketawa seperti hendak minta maaf. Karena hatinya sedang resah, jadi Tay-keng tak sempat untuk bikin perhitungan dengan sipengemis siapa tampak tok...., tok...., tok...., berjalan dengan kaki tongkat lalu disamping Tio In, terus menyusup diantara  orang banyak.

Tay-keng cepat membuka gulungan kertas itu untuk membacianya. Ada pepatah mengatakan "Harimau tentu beranak harimau" artinya ayah pandai atau gagah sang anak tentu juga demikian. Tapi rupanya axioma (dalil) itu hanya berlaku dalam arti yang sebenarnya, yaitu harimau (binatang) itu anaknya tentu juga harimau. Sebaliknya seorang besar, belum tentu anaknya akan selihay sang ayah. Tio Jiang dan Tay-keng adalah contohnya. Tio Jiang adalah seorang tokoh pejoang kemerdekaan yang dihormati oleh semua kawan perjoangannya. Berwatak lurus, berbubdi luhur, tendah hat!. Tay-keng seorang anak yang dimanjakan ibunya. Dan karena selalu dimanjakan dengan penghormatan oleh para orang gagah -- mengingat dia itu puteranya Tio Jiang -- maka melekatlah satu rasa tinggi hati sombong dan jumawa mangkak. Suka pelesir, gemar arak dan judi. Bebrapa kali dia didamprat keras oleh ayahnya, tapi bukan berobah baik sebaliknya dia makin terjerumus dalam2. Akhirnya relalah dia menjadi alat pekakas dari kawanan Hiat-ji.

Hampir tiga tahun dia galang gulung dengan gerombolan Hiat-ji, hilang musnalah segala petuah dan ajaran emas sang ayah dari lubuk sanubarinya. Dia anggap kawanan jagoan istana itu lehih gagah dan lebih nikmat hidupnya. Diam2 dia ingin mencapai kedudukan seperti mereka itu. Hanya dikarenakan ayahnya itu seorang musuh negara, jadi selama itu jalan cita2nya itu selalu tertutup. Tanpa disadari timbullah rasa benci kepada orang ayahnya sendiri. Dalam pertemuannya dengan Hiat-ji digereja Kong Hau Si nanti, dia sudah ambil putusan akan minta supaya Hiat ji mengajukan dirinya kepada pemerintah Ceng agar dia secara resmi diterima menjadi pembesar.

Buru2 hendak mengetahui bunyi gulungan surat tadi, dia. Segera berpaling kepada adiknya dan berkata dengan nada tergetar: "Dik tunggu didekat perapian tempat pembuangan dupa itu, aku hendak pergi dulu sebentar!"

Diluar dugaan, Tio In tak menghalanginya lagi, malah menyuruh supaya lekas kembali. Tay-keng lega hatinya lalu buru2 pergi. Tapi ketika dia berpaling lagi, tampak Tio In juga tengah membuka sebuah gulungan kertas kecil. Heran dia dibuatnya dari mana adiknya itu memperoleh gulungan tersebut. Namun dia tak sempat untuk memikirkan lebih jauh dan terus membuka gulungan kertasnya sendiri.

"3 li disebelah timur gereja, ada sebuah kakus, kita bertemu disitu. Dari sahabatmu yang cukup kau ketahui sendiri namanya."

Kembali rasa heran mencengkeram hati Tay-keng. Dimana saja kan bisa bertemu, mengapa harus disebuah kakus? Tapi karena Hiat-ji sudah menjanjikan begitu, terpaksa dia pergi kesana juga. Benar juga disitu terdapat sebuah kakus lama yang baunya sangat menusuk hidung. Dengan mendekap hidung, dia masuk. Disitu tiada tampak barang seorang manusiapun tetapi terdapat sebuah kertas yang ditempelkan pada tembok berbunyi begini: "Tunggu didalam sini jangan ke-mana2. Sahabatmu." Dengan menahan bau yang amat 'semerbak' itu. Tay-keng terpaksa menunggu disitu.

Surat apa yang ditangan Tio In itu? Kiranya sewaktu sipengemis jembel tadi lewat disisinya, tiba2 tangan nona itu terselip sebuah gulungan kertas. Sebenarnya Tio In hendak memberitahukan hal itu kepada engkohnya, tapi justeru pada saat itu Tay-keng menyuruhnya tunggu dulu disitu. Tio In sandarkan diri pada tempat perapian dupa lalu membuka gulungan kertas itu. "Tinggalkan adikmu dan segera menuju keruang atas tempat menyimpan kitab2. Ada urusan penting, kutunggu!" Surat itu tanpa tanda tangan, melainkan terdapat sebuah cap gambar anak kecil warna merah. Gaya tulisan hurufnya cukup gagah. Tio In terkejut, ketika mendongak kemuka dilihatnya Tay-keng sudah menyelinap kedalam orang banyak. Surat itu terang untuk engkohnya, mengapa diberikan kepadanya (Tio In)? Kelirukah pengantarnya? Tapi dipikir-pikir, masakan sipengantar itu tak dapat membedakan seorang pria dan wanita. Dari siapakah pengirimnya

1

Sambil memandangi ruangan gereja yang bertingkat itu, Tio In menjadi ragu2. Tapi akhirnya ia masuk juga kesitu."Apakah saudara Tio ini yang datang?" segera terdengar tegur seseorang

itu? Lukisan seorang anak warna merah itu, apa artinya? Dan mengapa disuruh "tinggalkan adikmu", jadi harus Tay-keng seorang diri yang pergikah? Makin mereka dugaan, makin timbul kecurigaannya dan akhirnya ia akan tunggu sang engkoh kembali untuk ditegurnya. Tapi tunggu punya tunggu hingga sampai setengah jam lamanya, tetap sang engkoh itu tak muncul kembali. Karena tak sabar lagi, akhirnya ia masuk kedalam ruangan besar gereja dan bertanya. pada seorang paderi dimana letak ruang penyimpan kitab2 itu.

Gereja Kong Hau Si itu terhitung salah satu gereja besar dalam wilayah Kwiciu situ. Masuk keruang belakang, akhirnya tibalah Tio In keruang tempat penyimpan kitab, Kiranya ruang itu merupakan loteng dua tingkat. Setelah meragu sejenak, Tio In lalu masuk kedalam ruang itu. Dfsitu tiada terdapat barang seorang pun jua, kecuali sebuah tangga yang menuju keatas. Kembali dia bersangsi baik naik atau tidak. Kalau naik terang ia bakal mengetahui siapakah orang yang mengadakan janji dengan engkoh nya itu. Tapi kalau tidak naik, pun belum tentu nanti engkohnya itu mau memberitahukan bal itu kepadanya. Terang sipengantar surat itu bukan orang Lo-hu-san, kalau tidak masakan menyusuh engkohnya itu tinggalkan ia. Ah, hendak kulihat siapa macamnya orang itu.

Demikian akhirnya Tio In melangkah naik ketangga. Diruang atas memang benar merupakan tempat penyimpan kitab2 gereja. Rak2an buku yang penuh dengan deretan kitab2 memenuhi ruangan itu.

"Apa yang datang ini Tio-hengkah? Sudah ber-jam2 aku menunggu disini!" tiba2 terdengar tegur seorang.

Tio In terkesiap kaget. Agaknya pernah ia mendengar pada suara itu, sayang orangnya teraling dengan deretan lemari buku sehingga tak kelihatan jelas. Dengan membesarkan pada suaranya, ia memberi penyhutan lalu mengitari rak buku untuk menjenguk orangnya.

Ya, memang yang menunggu dibelakang lemari buku itu adalah Hiat-ji. Seperginya dari pegunungan Sip-ban- tay-san, bersama Liat Hwat Cousu, dia langsung menuju ke Kwiciu. Hiat-ji adalah seorang ta-lwe si-wi (bayangkari istana Ceng), sudah tentu para pembesar didaerah Kwiciu sama jeri padanya. Sejak meninggal kan kampung halamannya di Tibet, Mo Put-siu alias Liat Hwat cousu itu belum pernah bertemu tandingan, maka selama itu dia anggap dirinya paling jempol dewek. Adalah ketika bertempur dulu Tio Jiang suami isteri dan tak berdaya menghadapi ilmu pedang hoan-kang-kian-hwat dan to- hay-kiam-hwat, barulah matanya melek. Maka setibanya di Kwicu, dia lalu sekap diri untuk meyakinkan salah suatu ilmu Im-yang-sin-kang yang paling ganas. Peyakinan itu memerlukan waktu selama 4 kali 7 hari atau 28 hari. Benar singkat waktunya, tapi ilmu itu harus diyakinkan terus menerus tanpa berhenti selama dalam waktu itu, harus sanggup menderita suatu siksaan yang hebat. Sebenarnya ilmu itu adalah ilmu warisan yang tergolong ilmu hitam dari aliran agama Mokau. Sedikit saja terdapat kesalahan dalam peyakinan, maka orang  itu akan mengalami bencana hebat, menjadi seorang invalid seIama2nya.

Tahu akan resikonya, sekalipun ilmu itu tidak tara saktinya, namun selama itu Liat Hwat masih bersangsi untuk meyakinkan. Adalah karena dia telah terlanjur buka suara besar dihadapan kaisar Kong Hi sanggup untuk membasmi anasir2 yang menentang pemerintah Ceng, maka terpaksalah dia jalani juga peyakinan ilmu im-yang-sin-kang yang berbahaya itu. Hiat-jipun tak berani mengganggu usik pada suhunya yang tengah meyakinkan ilmu sakti itu. Begitulah singkatnya saja, pada hari ini peyakinan Liat Hwat sudah mencapai hari yang ke 27, tinggal sehari lagi dia tentu sudah berhasil. Dan pada hari itu karena tiba janjinya, maka Hiat-ji lalu menyuruh orang untuk mengantarkan surat kepada Tay-keng.

Ketika dia menunggu diruang penyimpan kitab dari gereja Kong Hau Si, didengarnya ada suara tindakan kaki mendatangi. Mengira Tay-keng yang datang, dia menegurnya dan terus hendak keluar menyambutnya. Tapi demi didengarnya suara penyahutan itu agak aneh nadanya, beda dengan nada suara Tay-keng, dia batal keluar dan bersembunyi dibelakang sebuah lemari buku. Hai, kiranya benarlah dugaannya tadi. Yang muncul itu bukan Tay-keng melainkan adiknya yang cantik.

Hiat-ji makin curiga. Mengapa Tay-keng tak datang sendiri? Dalam pada itu karena sampai sekian saat belum melihat barang seorangpun juga, Tio Inpun juga curiga. Tio In berhenti sejenak. Ia mendapat suatu siasat, serunya: "Anda menyuruhku datang kemari, karena dia sedang ada urusan maka menyuruh aku yang datang. Ada, keperluan apa harap katakan padaku. Segala apa, kami berdua kakak beradik ini tentu saling berunding. Mengapa anda tak mau menampakkan diri?"

Sejak Hiat-ji dengan Tio In tersesat masuk kedalam goa dan dipaksa untuk menikah oleh siwanita aneh, timbullah rasa cinta sesungguhnya dalam hati si Hiat-ji.

Sayang itu waktu The Ing datang mengacau sehingga nona itu berhasil lolos. Juga waktu Sin Tok berhasil menawan nona itu untuk dibawanya kekota raja, Hiat-ji tetap menaruh hati pada Tio In. Pada saat itu Hiat-ji melamun lagi. "Apakah nona ini benar2 suka padaku? Adakah Tay-keng sudah mencium bau dan kedua kakak beradik itu kini mau menggabungkan diri pada rombonganku?"

Saat itu juga dia sudah segera akan unjukkan diri tapi pada lain saat terkilaslah pada ingatannya bahwa kala  Tio In ditangkap sikaki satu tempo hari, jelas sudah bagaimana nona itu bersitegang leher melawan mati2an. Begitu pula bagaimana beringasnya nona itu ketika menyerang Tong Ko yang dikiranya menjadi anggauta rombongan Hiat-ji itu. Ah, terang nona itu tak mungkin serupa pendiriannya dengan sang engkoh.

"Kalau benar kau disuruh kemari oleh engkohmu, tahukah kau siapa aku ini?" akhirnya dia berseru.

Tio In merenung sebentar. Teringat ia akan lukisan anak merah pada surat itu. Ah, biar ia coba2 menerkanya.

"Kau adalah yang digelari orang sebagai Ang Hay-ji (si Anak Merah) bukan?"

Sinona hanya main menerka, tak tahunya kalau hal itu membuat kejut hati Hiat-ji. Walaupun kecurigaan menyurut, namun tetap dia tak babis herannya mengapa Tay-Keng tak datang sendiri.

" Benar, silahkan nona datasng kemari!"

Sebenarnya Tio In seorang nona yang cukup ber- hati2. Tapi mungkin karena kegirangan, saat itu ia agak lengah untuk meneliti bahwa dalam nada suara orang itu jelas terdapat perbedaan antara yang tadi dengan yang sekarang. Disamping itu sedikitpun ia tak menduga bahwa engkohnya bakal menjumpai seorang kaki tangan macam Hiat-ji. Maka tanpa curiga apa2, sembari melangkah maju, ia masih bertanya: "Ang Hay-ji, kau berada dimana?..

Melihat bahwa asal sudah membiluk sebuah deretan Yak buku, nona itu pasti akan sudah muncul dihadapannya, buru2 Hiat-ji ambil sebuah kitab pelajaran agama Buddha untuk menutupi wajahnya, lalu melangkah keluar. Melihat orang main menutupi muka, oleh karena tak mengira kalau dia itu musuh yang dibencinya, maka seenaknya saja Tio In menggodanya: "Biasanya orang menutupi muka dgn sebuah harpa (pi- peh), tapi aneh mengapa kau memakai sebuah kitab suci menutup muka, malukah?"

Tio In mengiring olok2nya dengan tertawa lepas, sebaliknya Hiat-ji maju lagi dua langkah seraya menyahut: "Ya, benar, aku memang malu!"

Menyusul dengan kata "malu" itu, dia buka kitab yang menutupi mukanya itu dan astagafirulah Tio In seperti disengat kala kejutnya, hampir2 ia tak percaya apa yang dilihatnya. Bagi Hiat-ji, perobahan raut muka sinona itu cukup menjadi pegangan. Secepat kilat tangan diulurkan kemuka dan tepat menutuk jalan darah kian-keng-hiat dibahu sinona. Tubuh Tio In terhuyung dan rubuh. Tapi karena dikanan kirinya semua adalah rak buku, jadi tubuhnya itupun tersandar pada rak itu.

Setelah menunggu sekian saat tiada tampak lain orang lagi, legalah hati Hiat-ji. Melongok kejendela, dia bertepuk tangan 3 kali dan tak berapa lama kemudian muncullah seorang kedalam ruangan situ. "Shin toaya hendak memberi perintah apa?" seru orang itu dengan laku menghormat sekali.

"Kusuruh kiu antarkan suratku pada Tay-keng, mengapa kau berikan pada adik perempuannya?" tegur Hiat-ji dengan bengis. Orang itu terbeliak kaget. Biji matanya berkeliaran, wajahnya pucat lesi dan mendeproklah dia kelantai untuk berlutut.

"Hamba pantas dihukum mati, tapi benar2 hamba tak salah menerimakan surat itu," ter-bata2 orang itu meratap ampun.

Tanpa menyahut, Hiat-ji gerakkan sebelah kakinya yang tepat mengenai ulu hati orang itu, Hiat-ji sudah membayangkan bahwa rencananya itu tentu berhasil dan hasilnya pasti jauh lebih effektif (bermanfaat) dari rencana suhunya yang hendak meyakinkan imyang-sin- kang itu. Tapi ternyata rencananya itu menjumpai suatu kegagalan. Tio In bukan seorang nona yang tolol. Begitu kembali ke Lo-hu-san ia tentu menceritakan pengalamannya itu kepada Tio Jiang. Ini berarti pionnya (Tay-keng) akan hancur. Usaha untuk melenyapkan rombongan Lo-hu-san itu kelak pasti akan mengalami kesulitan besar. Maka saking marahnya, Hiat-ji sudah gunakan delapan bagian dari tenaganya untuk menendang. Orang itu ternyata hanya seorang opas biasa dari kantor tihu (residen) terang dia tak kuat menahan tendangan itu. Hanya sekali dia mengerang, mulutnya menyembur darah dan tubuhnya terkapar binasa.

Pada detik itu Tio In sudah mempunyai pengertian yang agak jelas, namun ia tetap tak dapat mempercayai bahwa engkohnya itu bersekongkol dengan kaki tangan pemerintah Ceng.

"Ya, kalau benar dia (Hiat-ji) itu bersekongkeol dengan engkoh, masakan sampai keliru menyampaikan surat itu? Terang dia hendak gunakan siasat mengadu domba." Demikian anggapan Tio In.

Rupanya masih belum reda amarah Hiat-ji dengan membinasakan opas itu. Berpaling kebelakang dia menatap wajah Tio In dengan mata ber-api2. Sembari mengangkat tangannya pe-lahan2 keatas, dia berkata dengan nada buas: "Nona Tio, karena kau telah mengetahui rahasia ini, maka jangan salahkan aku orang she Shin yang terpaksa tak dapat membiarkan kau hidup lebih lama didunia inii" Tangannya itu diarahkan untuk menghantam umbun2 kepala sinona.

"Celaka, apakah dugaanku keliru bahwa dia ini bukan sedang main siasat mengadu domba? Tapi biarlah kutunggunya saja. Kalau dia hanya menggertak scja, terang dia hendak pinjam mulutku untuk mencelakai engkohl" demikian masih Tio In menimang dalam hati.

Ah....., Tio In...., Tio In....., kau keliwat memintari dirimu sendiri. Kalau saja tangan Hiat-ji itu turun menghantam, sebelum mengetahui bahwa engkohmu itu benar2 bersekongkol dengan kawanan kaki tangan Ceng, nyawamu pasti melayang sudah!

Baru Hiat-ji hendak layangkan tinjunya, tiba-tiba matanya tertumbuk akan sepasang mata bundar dari sinona yang sedikitpun tak mengunjuk rasa takut. Terhadap gadisnya Tio Jiang itu memang Hiat-ji sudah jatuh hati benar. Hatinya lemas dan tinjunyapun pe- lahan2 diturunkan kemball. "Hem, benarlah dugaanku itu. Kawanan anjing, bangsat penghianat, jangan mimpi kau dapat berhasil memperalat aku untuk mencelakai engkohku!" demikian diam2 Tio In memaki.

Hiat-ji serba sulit. Melepaskan Tio In berarti rencananya gagal dan lenyap pula semua impiannya untuk memperoleh kedudukan yang tinggi dan penghidupan yang mewah. Namun membunuh nona secantik itu, hatinya keliwat sayang. Sebenarnya walaupun berusia muda, tapi si Hiat-ji itu dapat bekerja dengan cermat dan kejam. Hanya karena kali ini. Terbentur dengan asmara, dia sudah tak dapat mengambil keputusan yang tegas.

Akhirnya setelah berpikir sekian lama, dia menemukan suatu jalan yang bagus. "Nona Tio, bukan sehari dua hatiku tercurah padamu. Tadi kau sampai rubuh itu adalah karena terpaksa. Kita adalah orang sendiri, maka jangan dipikir dalam hati kejadian itu" katanya coba membujuk rayu.

Tio In tak mengira kalau anak bermata ungu itu dapat berlaku demikian. Juga Hiat-ji telah ambil putusan, cumbu rayu itu tak boleh hanya mengandal pada mulut manis tapipun harus disertai paksaan. Maka sebelum Tio In dapat menyahut, anak muda itu sudah memeluknya. Berulang kali Tio In coba salurkan jalan darah untuk membuka uratnya yang tertutuk itu, namun gagal.

Merah padamlah selebar mukanya karena dipeluk orang itu. Habis memeluk Hiat-ji kembali melongok keluar ruangan dan memberi isyarat 3 kali tepukan tangan. Waktu ada seorang datang ke situ, Hiat-ji segera memberi perintah: "Lekas sediakan sebuah tandu besar  yang tertutup rapat. Bawa nona ini kegedung thayhu. Awas, jagalah hati2!"

Agar nona itu jangan sempat berusaha membuka jalan darahnya yang tertutuk, Hiat-ji hendak menuntut lagi jalan darah dipundak kiri. Tapi baru tangannya menjulur, tiba2 punggungnya terasa dingin karena dilekati sebuah ujung senjata tajam.

"Nona Tio jangan takut, ada aku disini!" kedengaran seorang bernada wanita berseru kepada Tio In. Ketika Tio In berpaling mengawasi, kiranya orang itu adalah seorang wanita dari pertengahan umur, kulitnya agak hitam dan mencekal sebatang samcat-hi-jat (garu penusuk ikan yang berujung 3). Dilihatnya Hiat-ji tak berani berkutik, tapi entah siapa wanita itu.

"Orang she Shin, telah sekian lama kunantikan kau disini. Nona Tio sudah mempunyai kekasih, apa maksudmu hendak membawanya kegedung thay-hu, hendak memaksanya untuk menikah denganmu?" kembali wanita itu berseru. Wanita itu bukan lain adalah Ciok Siao-lan, istri The Go. Karena sifatnya yang melasan dan disebabkan menjaga Hiat-ji, jadi ia belum sempat untuk membuka jalan darah Tio In. Maksudnya, biarlah nanti tunggu kalau sang suami datang. Dan sebab ini, pada kebalikannya, ia bakal mengalami derita.

Mendengar nada suara Siao-lan itu cukup ramah dan rupanya seperti hendak menunggu seseorang, legahlah hati Hiat-ji. "Nona Tio sudah setuju menikah dengan aku. Kekasihnya itu adalah aku ini mengapa kau mengadu biru?"

"Ngaco be......", belum lagi Siao-lan sempat menyelesaikan kata2nya, Hiat-ji sudah gunakan 

kesempatan untuk buang dirinya kemuka hingga kini terlepas dari ancaman, tangan menekan Iantai, kedua kaki Hiat-ji menendang kesiku tangan Siao-lan. Saking tak menduga serangan secara tiba2 itu, senjata garu terlepas dari tangan Siao-lan dan terlempar keudara. Belum Siao-lan tersadar dari kesimanya, kembali kaki Hiat-ji bekerja dan bluk......, robohlah Siao-lan terkapar dilantai. Dua buah jurus tendangan yang digunakan Hiat- ji itu adalah menirukan gaya gumul dari orang Tibet.

Hiat-ji enjot kakinya untuk melambung keatas, begitu pun Siao-lan juga lekas2 loncat keatas. Kini keduanya saling berebut hi-jat yang tengah melayang turun itu.

Sebenarnya ilmu silat Siao-lan tak lemah. Tapi sejak pada 20 tahun yang lalu ia menikah dengan The Go, puaslah sudah rasa hatinya. Sewaktu The Go berhasil mendapatkan kitab pelajaran Tat Mo dan tiap hari ber- sungguh2 meyakinkan, satu kalipun Siao-lan tak pernah buang mata memperhatikan. Baginya, dengan memperoleh seorang suami yang di-idam2kan itu, itu sudah lebih dari cukup.

Dalam ilmu silatpun berlaku axioma (dalil) "barang siapa berhenti berarti mundur".

Demikian halnya dengan Siao-lan. Kepandaian Hiat-ji setingkat lebih atas dari ia. Ini jelas kelihatan sewaktu keduanya sama2 loncat berebutan senjata. Hiat-ji dapat meloncat lebih tinggi setengah meter darinya dan hijat sudah tentu dia yang dapat merebutnya. Dan selagi masih melambung diudara, Hiat-ji hantamkan hi-jat itu pada lawan. Dalam sibuknya. Siao-lan terpaksa berjumpalitan untuk menghindar. Tapi bagaikan seekor burung elang, Hiat-ji memburunya turun sembari kirim dua buah serangan. Salah sebelah bahu Siao-lan telah kena termakan ujung hi-jat. Sampai pada detik itu The Go masih belum muncul dan ini makin menggelisahkan Siao-lan. Dalam kebingungan ia berkelahi dengan kalap, namun penjagaan Hiat-ji terlampau kokoh untuknya. Dalam pertempuran yang berlangsung beberapa jurus itu, kembali Siao-lan kena disengkelit roboh.

Pada saat itu muncullah bebrapa orang dengan menggotong sebuah tandu.

Mereka memasukkan Tio In kedalam tandu terus dibawa pergi. Teringat Hiat-ji bahwa dalam. pertempuran digunung Sip-ban-tay-san tempo hari, secara gaib Siao- lan dapat meloloskan diri, jadi terang ada seorang kawan lihay yang membantunya. Kuatir hal itu terulang lagi, Hiat-ji undur selangkah kemudian dengan mengetuk seluruh tenaganya dia lemparkan hi-jat itu kearah lawan. Syukur Siao-lan dapat miringkan tubuh untuk menghindar, tring......., hi-jat itu menyusup masuk kedalam lantai.

Teringat Siao-lan bahwa urusan yang dipaserahkan kepadanya oIeh The Go, masih belum selesai. Ber- gegas2 ia memburu keluar, tapi baik Hiat-ji maupun tandu tadi tak tampak sama sekali. la tinggalkan gereja Kong Hau Si situ untuk langsung menuju kegedung thayhu (residen).

---oo<dw-kz0tah>oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar