Darah Ksatria Bab 11: Hukuman Gantung

  
Bab 11: Hukuman Gantung
Ma Ji-liong tercengang. Bagaimana mungkin ada racun di dalam arak itu? Siapa yang membubuhi racun? Mungkinkah Siau-hoan sudah tahu bahwa Khu Hong-seng akan membunuhnya, maka dia memutuskan untuk meracuni arak itu lebih dulu? Ma Ji-liong minum dari guci arak yang sama.
Sekarang Khu Hong-seng mati keracunan, tapi kenapa dia tidak merasa apa-apa?

Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab, dan semuanya juga begitu rumit. Selain itu, semua peristiwa ini terjadi begitu tiba-tiba. Pikirannya menjadi kacau, dan dia bahkan tidak sanggup menjawab meskipun pertanyaan yang paling sederhana. Sekarang, yang sebaiknya dilakukan adalah meninggalkan tempat ini dengan segera. Mungkin sekali kejadian ini juga merupakan sebuah rencana yang telah direkayasa dengan baik untuk menjebaknya. Dia sudah memikirkan hal ini.
Sayangnya, sementara dia sedang berpikir, dia benar-benar sudah terjebak. Rencana itu memang akurat dan berbisa. Tak perduli siapa pun yang terjatuh ke dalam perangkap ini, dia tidak akan bisa lolos.

Di ruangan itu ada empat buah lampu, empat buah lampu kristal Persia yang sangat mahal. Barang mahal adalah barang yang berkualitas. Meskipun jatuh ke lantai, lampu-lampu itu tidak akan pecah. Keempat lampu itu dipasang dengan teguh di atas sebuah meja.

Tiba-tiba terdengar suara ‘wut!’, dan kap lampu pun pecah. Sinarnya tampak berkerlap-kerlip.

Saat itulah Ma Ji-liong merasakan gelombang tekanan yang luar biasa kuatnya menghantamnya dari segala penjuru. Jantungnya berdebar dengan keras dan kencang. Napasnya hampir berhenti.
Hidungnya berdarah, dan dia pun bisa merasakan darah di tenggorokannya. Bola matanya seperti akan melompat keluar. Dia sudah hampir pingsan. Tapi tekanan yang aneh dan menakutkan itu tiba- tiba menghilang ketika empat orang manusia muncul di ruangan itu. Orang pertama yang dilihatnya adalah Coat-taysu yang tidak punya hati ataupun perasaan itu. Karena Coat-taysu sudah tiba, tentu saja Pang Tio-hoan juga berada di sini. Orang ketiga adalah seorang hwesio yang amat kurus dan bermuka hitam, seperti seorang pertapa yang berlatih ilmu menyiksa diri. Dan walaupun ia mengenakan jubah hwesio yang ditambal di sana sini, tapi dia menggenggam seuntai tasbih giok yang tak ternilai harganya.

Orang terakhir adalah seorang tosu yang mengenakan jubah berlengan lebar, memakai sandal jerami tanpa kaus kaki. Rambutnya disanggul, dan kulitnya putih berkilauan, membuat dirinya kelihatan seperti sebuah patung yang diukir dari giok putih. Dia merupakan kebalikan dari hwesio pertapa yang tampak kasar itu.

Keempat orang itu datang dari empat penjuru, dan tenaga dalam mereka muncul mendahului kedatangan mereka, lwekang yang telah dilatih selama puluhan tahun. Orang-orang ini pasti mengirimkan lwekang mereka untuk menutup jalan lari Ma Ji-liong dan menangkal serangannya.

Mereka menggunakan langkah terakhir ini terhadap Ma Ji-liong karena mereka yakin bahwa dia akan melakukan apa saja untuk melarikan diri.

Tadi, saat energi mereka menyerangnya, kekuatan dari arah timur dan barat jauh lebih hebat daripada yang datang dari arah utara dan selatan. Yang datang dari arah timur adalah hwesio pertapa itu, dan Giok-tojin (tosu dari giok) tiba di tempat itu dari arah barat. Ternyata kedua orang itu mempunyai lweekang yang jauh lebih dahsyat daripada Coat-taysu yang termasyur ke seluruh dunia itu.

Ma Ji-liong tidak perlu melihat mereka untuk tahu siapa mereka sebenarnya.

Nama Budha hwesio pertapa itu adalah Cia-go (tahan kesukaran). Dia memang tahan terhadap berbagai macam kesukaran. Dia pernah pergi ke India, tapi dia tentu saja tidak pergi ke sana untuk mencari kitab agama Budha. Dia malah mengembara ke seluruh negeri itu untuk mencari kungfu misterius kaum Hud-bun (Budha). Tentunya perjalanannya itu tidak sia-sia belaka.

Dan Giok-tojin dulunya adalah Giok-long-kun yang berjuluk ‘Satu Pedang Tanpa Rintangan’, yang pernah mengguncangkan dunia Kang-ouw. Semua pendekar di dunia ini pasti akan gemetar ketakutan terhadap dirinya, dan semua perempuan cantik pasti akan menyerahkan hatinya pada Giok-long-kun ini.

Melihat keempat orang itu, hati Ma Ji-liong serasa karam. Tentu saja tidak seorang pun di dunia ini yang bisa melarikan diri dari mereka, dan tidak seorang pun juga yang bisa menyelamatkan seseorang dari cengkeraman mereka. Itulah kenyataan yang tidak bisa dibantah.

Lampu-lampu belum dipadamkan. Ini terjadi karena mereka tidak ingin lampu-lampu itu padam. Bila orang-orang ini ingin melakukan sesuatu, mereka tentu saja akan dan bisa melakukannya. Jika tidak, tak seorang pun yang bisa memaksa mereka untuk bertindak. Agaknya mereka tidak melihat Ma Ji-liong, karena pandangan mata mereka tertuju pada Khu Hong-seng.

Khu Hong-seng sudah berhenti bernapas, dan guci arak serta cawan telah terbalik dan berserakan di lantai. Cia-go Hwesio memungut dan mengendusnya. Lalu, seperti sebilah golok yang tajam, sinar dingin tampak berkilat-kilat di sepasang mata yang cekung itu. Dia pernah mengikuti rute ke barat yang dahulu digunakan oleh pendeta Tong Sam-cong(1) saat melakukan perjalanan ke Thian-tiok (India), dan jalur ini tentu saja tidak mudah untuk dilalui. Dia harus melewati gunung-gunung yang tandus, sungai-sungai liar dan rawa-rawa, semua yang ada di sana pun amat berbisa – serangga berbisa, ular berbisa, bunga beracun dan tanaman-tanaman beracun. Dia sudah melihat hampir semua racun yang ada di dunia ini dan, karenanya, dalam hal racun dia hampir sama ahlinya dengan Sin-long (Petani Sakti) yang termasyur itu.

Meskipun Coat-taysu telah menjadi orang beribadat selama puluhan tahun, sifatnya yang tidak sabaran sama sekali tidak berubah.

Tak dapat menahan diri lagi, dia lalu bertanya, “Bagaimana?”

Cia-go Hwesio tidak berkata apa-apa dan menutup matanya. Coat-taysu menjadi makin gelisah.

Jika Cia-go Hwesio tidak bisa menebak racun apa yang telah diminum Khu Hong-seng, tentu saja tidak ada lagi orang lain yang tahu di dunia ini. Untunglah Cia-go Hwesio akhirnya angkat bicara.

“Tidak ada racun di guci arak itu.” “Lalu di mana racunnya?”
“Di cawannya yang terakhir.” “Racun apa itu?”
“Itulah Jiu-jo-san yang dibuat dari tiga macam tumbuhan beracun – Jian-ki, Toan-yang dan Sio- hun.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Racun jenis ini tidak berwarna dan tidak berasa. Paling baik bila dicampur dengan arak, karena dengan arak racun ini akan bekerja dengan sangat cepat.”

“Berapa cepat?”

“Racun ini akan langsung bekerja setelah masuk ke tenggorokannya. Dan bila mencapai usus, dia akan sama saja seperti ulat di musim gugur.”

“Jadi racun di dalam tubuhnya sudah bekerja.”

“Maka racun itu pasti berada di dalam cawan arak terakhirnya.” “Bisakah dia diselamatkan?”
“Orang tidak selalu harus mati karena racun ini. Jika kita bertindak cukup cepat, racun ini masih bisa ditawarkan.”

“Bisakah kau melakukannya?” “Aku tidak bisa, tapi dia bisa.”
Cia-go Hwesio memalingkan kepalanya pada Giok-tojin. Lalu dia berkata, “Tidak ada orang yang tahu tentang racun sebaik diriku, tapi dalam hal menawarkan racun, aku tidak sebaik dirimu.”

Giok-tojin bertanya, “Bagaimana kau tahu kalau kau tidak sebaik diriku?” Cia-go Hwesio menjawab, “Karena kau dulu seorang penakluk wanita dan aku bukan.”

Giok-tojin tersenyum. Dia tidak punya pilihan kecuali mengakui hal itu. Sejak dia berusia enam belas tahun, tak ada yang tahu berapa banyak perempuan yang telah berusaha membunuhnya dengan racun. Ini terjadi karena kekasihnya terlalu banyak dan dia tidak pernah pilih-pilih. Karena banyak perempuan yang memujanya, dan mereka tidak mau melepaskannya jatuh ke pelukan perempuan lain, mereka pun tahu bahwa mereka harus meracuninya sampai mati. Jika tidak, cepat atau lambat pikirannya akan berubah. Karena seringnya dia diracuni orang, akhirnya dia menjadi terbiasa dengan racun.

Bagaimana mungkin orang seperti dia tidak tahu cara menawarkan racun?

Cia-go Hwesio berkata, “Jika dia tidak tahu cara menawarkan racun ini, pemuda ini pasti sudah mati.”

Coat-taysu bertanya, “Jika dia tidak bisa menawarkan racun ulat musim gugur ini, apakah tidak ada orang lain yang bisa?”

Kali ini Giok-tojin sendiri yang menjawab pertanyaan itu. Dia berkata, “Tidak.”

Ma Ji-liong akhirnya paham. Ini bukan cuma sebuah perangkap. Tapi merupakan seutas tali, tali yang akan digunakan untuk menggantungnya. Racun itu ada di dalam cawan arak terakhir. Saat Khu Hong-seng meminum cawan itu, Siau-hoan sudah mati, jadi tidak mungkin dia yang menaruh racun itu. Tapi jika Khu Hong-seng meracuni dirinya sendiri, siapa yang akan percaya kalau dia berbuat begitu?

Dan karena itu, Ma Ji-liong tentu saja menjadi tersangka.

Khu Hong-seng diracun dengan cara yang sama seperti Sim Ang-yap dan Toh Ceng-lian. Pasti racun di dalam guci arak di Han-bwe-kok juga adalah racun Jiu-jo-san ini.

Dan karenanya, tersangka peristiwa itu juga adalah Ma Ji-liong.

Khu Hong-seng sudah tahu bahwa Coat-taysu dan kawan-kawannya akan datang. Dia sudah tahu pasti bahwa dirinya akan tertolong. Karena itu dia meracuni arak tersebut.

Barusan dia telah memberitahu Ma Ji-liong bahwa dialah penjahat yang sebenarnya, tapi tak ada orang lain kecuali Ma Ji-liong yang telah mendengar pengakuannya itu. Tak seorang pun di dunia ini yang akan percaya bahwa dia bisa meracuni dirinya sendiri. Dan meskipun Ma Ji-liong ngotot mengatakan hal yang sebenarnya kepada orang-orang, tak ada orang yang akan mempercayainya.

Dan karena orang-orang menganggap bahwa Ma Ji-liong adalah orang yang meracuni Khu Hong- seng, mereka juga akan percaya bahwa dialah yang telah mencekik Siau-hoan hingga mati. Mereka tidak akan menyelidiki lagi kenapa dia harus membunuh Siau-hoan. Memangnya masih ada yang tidak bisa diperbuat oleh seorang pembunuh seperti dirinya?

Semua pembunuh harus mati. Sekarang Ma Ji-liong telah dihadapkan dengan hukuman gantung.

(1)Tong Sam-cong = pendeta Budha dalam cerita 'Perjalanan Ke Barat'
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar