Darah Ksatria Bab 03: Thian-sat

 
Bab 03: Thian-sat

Tetap tidak ada jawaban dari Ma Ji-liong. Jika itu orang lain, seandainya tidak minggat, mereka tentu akan menyangkal dosanya dengan keras. Tapi dia tidak. Dia cuma berdiri dengan tenang di sana, seolah-olah hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan dia.

Dia tidak menyangkal. Apakah karena dia tahu kalau persoalan ini tidak bisa dibantah?

Dia tidak melarikan diri. Apakah karena dia tahu bahwa tidak seorang pun bisa lolos dari kejaran tiga orang di depannya ini? Coat-taysu sejak tadi berdiri di sana dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi. Baru sekarang dia mulai bicara, “Agaknya aku pernah mendengar seseorang mengatakan bahwa ilmu golok Ngo-hou- toan-bun-to adalah ilmu golok terbaik di dunia, dan tidak ada ilmu golok yang tidak dia ketahui di kolong langit ini.”

Peng Thian-pa berkata, “Kau memang pernah mendengarnya. Bukan 'agaknya'.” Coat-taysu bertanya, “Siapa yang mengucapkan kata-kata itu?”
“Tentu saja aku,” Peng Thian-pa menjawab.

Coat-taysu berkata, “Jika kau yang bicara, tentu tidak salah.”

Peng Thian-pa berkata, “Meskipun aku suka membual, aku cuma membual pada wanita, bukan pada hwesio.” Dia tertawa dan meneruskan, “Membual pada hwesio sama seperti bermain musik di depan sapi, tidak ada gunanya.”

Coat-taysu tidak menjadi marah, dia juga tidak balas bergurau. Wajahnya tetap dingin dan kaku. Dia berkata, “Orang serba hitam tadi hendak membunuhmu dengan goloknya. Serangan golok tadi pasti merupakan jurus terbaiknya.”

Peng Thian-pa berkata, “Dalam keadaan seperti tadi, dia pasti menggunakan jurus terbaiknya.”

“Tapi agaknya kau pernah bilang bahwa tidak ada ilmu golok yang tidak kau ketahui di kolong langit ini,” kata Coat-taysu.

“Memang,” kata Peng Thian-pa.

Coat-taysu bertanya, “Kalau begitu, jurus tadi berasal dari partai mana?”

Peng Thian-pa berkata, “Tidak tahu.” Jawabannya langsung saja, tanpa tedeng aling-aling. Orang- orang Kang-ouw memang tahu bahwa ketua perguruan golok Ngo-hou-toan-bun-to sekarang ini adalah orang yang tidak suka bertele-tele.

Coat-taysu bertanya lagi, “Kau benar-benar tidak tahu?”

Peng Thian-pa menjawab, “'Tidak tahu' berarti 'tidak tahu'. Memangnya ada arti lain?” “Kau tidak tahu, tapi aku tahu,” kata Coat-taysu.
Tentu saja Peng Thian-pa sangat terkejut. Terlontar kata-katanya, “Kau tahu?” Coat-taysu berkata, “'Aku tahu' berarti 'aku tahu'. Tidak ada arti lain.”
Peng Thian-pa tertawa dan bertanya, “Jurus golok itu berasal dari partai mana?” “Itulah Thian-sat!” Coat-taysu menjawab.
Thian-sat!

Peng Thian-pa bertanya, “Aku masih tidak mengerti. Apa itu Thian-sat?” “Buka bajunya dan periksalah,” jawab Coat-taysu.

Di dada orang serba hitam itu terdapat belasan huruf berwarna merah menyala. Apakah huruf-huruf itu ditato dengan tinta merah ataukah darah?

Tulisan itu berbunyi, “Thian memberikan segalanya kepada manusia, manusia tidak pernah memberikan apa-apa kepada Thian, Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh! Bunuh!”

Bunuh!

Peng Thian-pa bertanya, “Inikah Thian-sat itu?” “Benar,” kata Coat-taysu.
“Sayangnya aku masih belum paham,” kata Peng Thian-pa.

Coat-taysu menjelaskan, “Thian-sat adalah sebuah organisasi pembunuh bayaran. Di dalam organisasi ini, anggotanya membunuh untuk mencari nafkah, dan mereka membunuh demi kesenangan. Asal kau punya uang, siapa pun yang kau ingin mereka bunuh, mereka akan bunuh orang itu untukmu.”

Peng Thian-pa bertanya, “Bagaimana kau tahu?”

“Aku sedang memburu mereka, aku sudah memburu mereka selama lima tahun ini,” jawab Coat- taysu.

“Bagaimana caramu memburu mereka?” Peng Thian-pa bertanya lagi.

Coat-taysu menjawab, “Aku memburu markas mereka, pemimpin mereka, dan nyawa mereka!” Lalu dia meneruskan dengan pelan, “Siapa yang membunuh, harus dibunuh. Mereka sudah membunuh banyak korban. Jika mereka tidak mati, lalu di mana letaknya keadilan?”

“Kau belum menemukan mereka?” Peng Thian-pa bertanya. “Belum,” jawab Coat-taysu.
Peng Thian-pa berkata, “Tapi suatu hari nanti kau akan menemukan mereka. Jika tidak, mati pun kau tidak akan melepaskan mereka.”

“Benar,” kata Coat-taysu.

Langit menjadi gelap, angin yang dingin menyayat bagaikan pisau. Peng Thian-pa membungkukkan badan dan menutup mayat orang serba hitam itu dengan mantelnya, seolah-olah dia khawatir kalau orang serba hitam itu kedinginan. Tapi orang mati tentu saja tidak merasa kedinginan.

Seandainya orang serba hitam itu masih hidup, dia tentu sudah membeku ketakutan. Peng Thian-pa tidak perlu melakukan hal ini. Tapi orang memang selalu bersikap baik pada orang mati. Ini terjadi karena setiap orang pasti mati, dan mereka berharap orang lain pun akan bersikap baik pada mereka bila giliran mereka sudah tiba. Tapi saat Peng Thian-pa menarik mantel itu, sebuah benda tiba-tiba terjatuh. Itulah sepotong giok – paling langka di antara yang langka dan paling berharga di antara benda- benda berharga. Giok adalah benda yang membawa kemujuran. Bukan hanya bisa mengusir setan, tapi juga membawa kemakmuran dan ketenangan.

Dalam sebuah kisah klasik, diceritakan bahwa giok pun bisa 'berkorban' untuk pemiliknya. Potongan giok yang diberikan oleh Siau-hoan pun sudah menyelamatkan nyawa Khu Hong-seng.

Tapi potongan giok yang ini malah menginginkan nyawa Ma ji-liong. Karena giok itu terikat dengan seutas tali sutera. Ujung lain tali sutera itu terikat pada sebuah medali emas. Di salah satu sisi medali emas itu terukir lukisan seekor kuda. Di sisi lain medali itu ada tertulis beberapa huruf!

“Thian-ma-hing-khong”.

Inilah lencana perintah Thian-ma-tong. Dan Ma Ji-liong adalah putera pemimpin Thian-ma-tong.

Bagaimana mungkin lencana perintah Thian-ma-tong bisa ditemukan di tubuh pembunuh ini? Cuma ada satu penjelasan. Ma Ji-liong tentu menggunakan potongan giok dan lencana perintah ini untuk meminta si pembunuh agar datang ke sini dan membunuh orang – Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap, Khu Hong-seng, Kim Tin-lin, dan para pelayan dari rumah makan Kik-hong-wan.

Tapi dia tak menduga kalau Khu Hong-seng tidak mati dan Peng Thian-pa, Pang Tio-hoan dan Coat-taysu akan tiba di tempat kejadian. Inilah kejadian yang tak disangka-sangka. Kegagalan membunuh juga tidak diduga-duga. Inilah pesan dari Thian untuk si pembunuh!

Sampai sekarang tidak seorang pun yang menyebut nama orang ini. Karena hal ini adalah persoalan besar. Kematian Toh Ceng-lian, Sim Ang-yap, dan Kim Tin-lin tentu akan mengguncangkan dunia Kang-ouw. Lebih dari itu, tidak mustahil akan segera terjadi aksi balas dendam di antara keluarga- keluarga ternama di dunia Kang-ouw!

Bila peristiwa itu sampai terjadi, maka tidak akan mudah mengakhirinya. Tidak seorang pun yang tahu berapa banyak orang tak berdosa yang akan mati karenanya.

Dengan raut muka kelam, Pang Tio-hoan perlahan-lahan berkata, “Sekarang kita harus mendengarkan apa yang akan dikatakan Ma Ji-liong.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ma Ji-liong pelan-pelan melepaskan mantel bulu rubahnya. Lalu dia berkata dengan perlahan-lahan, “Sam-siok (paman ketigaku) mendapatkan ini waktu berburu pada malam hari di gunung saat dia masih muda. Ini adalah barang milik pamanku. Aku tidak boleh merusaknya di tanganku.”

Dia menyerahkan mantel bulu rubah itu pada Peng Thian-pa dan berkata, “Aku tahu, dulu Cianpwe dan Sam-siok bersahabat. Kuharap kau mau membawa benda ini kembali ke Thian-ma-tong dan memberikannya pada bibiku.”

Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Ma-samko mati muda. Aku...... aku pasti akan mengembalikannya untukmu.”

Ma Ji-liong pelan-pelan melepaskan pedang panjangnya yang indah dan berkilauan, dan memberikannya pada Coat-taysu. Dia berkata, “Pedang ini mulanya diberikan kepada ayahku oleh ketua Bu-tong-pay. Siau-lim dan Bu-tong berasal dari aliran yang sama. Kuharap kau bersedia mengembalikan pedang ini kepada Hian-cin Koancu di Bu-tong-pay sehingga tidak terjatuh ke tangan yang salah!”

“Baik,” kata Coat-taysu.

Kembali Ma Ji-liong mengeluarkan setumpuk perak dan daun emas dari tubuhnya dan memberikannya pada Pang Tio-hoan.

“Kepada siapa kau ingin memberikannya?” Pang Tio-hoan bertanya.

“Harta tidak ada pemilik aslinya. Kau boleh memberikannya pada siapa saja,” jawab Ma Ji-liong.

Pang Tio-hoan merenung sejenak dan kemudian berkata, “Aku akan mendermakannya untukmu. Ini perbuatan yang baik.”

Sekarang setiap orang sudah tahu bahwa Ma Ji-liong sedang menjelaskan pada mereka apa yang dia inginkan setelah dia mati. Jarang ada orang yang menentang keinginan terakhir orang yang akan mati. Mereka menggenggam benda-benda yang diberikan Ma Ji-liong dengan kedua tangan mereka, hati mereka terasa berat.

Sambil menghela napas dalam-dalam, Ma Ji-liong bergumam, “Sekarang yang tersisa cuma kuda ini.”

Kuda putihnya masih terikat pada sebatang pohon bwe di pinggir sana. Kuda itu adalah hewan yang terlatih dan terkenal. Dan, seperti majikannya, meskipun dalam bahaya dia tetap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ma Ji-liong berjalan menghampiri dan melepaskan talinya. Dia menepuk bokong hewan itu dan berkata, “Pergilah!”. Kuda putih itu meringkik perlahan dan segera berlari pergi.

Lalu Ma Ji-liong membalikkan badan dan menghadapi Pang Tio-hoan. Dia berkata, “Sekarang cuma ada satu hal yang hendak kukatakan.”

“Katakanlah,” kata Pang Tio-hoan.

Ma Ji-liong berkata dengan dingin, “Sekarang kalian harus mengejarku!”

Habis berkata begitu, tubuhnya segera melesat seperti anak panah dan meletik di udara. Kuda putihnya tadi pergi dengan berlari-lari kecil, tapi kemudian bertambah kencang, dan sekarang jaraknya ada 20-30 kaki. Ma Ji-liong mengerahkan seluruh kekuatan tubuhnya, menampilkan ilmu ginkang Thian-ma-hing-khong (Kuda Langit Berlari Di Angkasa). Ilmu ginkang ini sebenarnya menguras banyak energi. Tapi, di saat tenaganya surut, dia telah berhasil menyusul kudanya. Inilah kuda dengan kecepatan tak tertandingi. Sekarang tubuhnya sudah hangat, maka dia bisa berlari secepat mungkin. Ma Ji-liong melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu pun meringkik panjang. Lalu mereka bergerak seperti naga. Penunggang dan kudanya sama-sama serba putih, dan begitu pula dengan bumi.

Pang Tio-hoan dan Peng Thian-pa bergerak mengejar, tapi tangan mereka menggenggam daun  emas dan mantel bulu rubah yang diberikan Ma Ji-liong pada mereka. Saat mereka merasa betapa mengganggunya benda-benda itu, penunggang dan kudanya ternyata sudah lenyap dari pandangan. Pang Tio-hoan membanting kakinya, dan tumpukan daun emas itu terjatuh ke atas tanah. Lalu dia berkata, “Aku benar-benar bodoh.” 
Langit semakin gelap. Angin bertambah dingin, menyayat seperti pisau. Tapi wajah Ma Ji-liong tampak merah membara – merah karena gusar! Ini terjadi karena dia tahu sendiri bahwa dia tidak membunuh siapa-siapa. Dan tentu saja dia tidak meracuni arak itu.

Sayangnya, selain dirinya sendiri, tidak ada orang yang akan percaya bahwa dia tidak bersalah. Dia memahami hal ini. Karena itu dia lari.

Dia tentu saja tidak perduli dengan kematian. Bertarung sampai mati dengan orang-orang yang menuduhnya sebagai pembunuh tentu menyenangkan. Tapi jika dia mati di tangan mereka, ketidak- adilan ini tak akan pernah tersingkap. Jika ingin mati, dia harus mati dalam keadaan bersih dan jujur. Dia bersumpah pada dirinya sendiri – bila urusan ini mendapat titik terang dan semua kebenaran sudah terungkap, dia akan mencari mereka dan bertarung dengan mereka sampai mati.

Siapakah pembunuh sebenarnya? Siapa yang menebar racun ke dalam arak? Siapa yang menyewa Thian-sat?

Dia masih belum punya petunjuk.

Siapa pun itu, satu hal sudah jelas. Dia adalah orang yang amat jahat dan keji. Rencana yang disusunnya amat teliti dan tak ada cacatnya. Sekarang dia tak bisa mengatakan apakah dia akan mampu mengungkapkan persoalan ini dan menemukan penjahat sebenarnya, dia juga tak tahu hendak mulai dari mana. Tapi dia tahu – bila dia tidak berhasil menemukan orang itu, maka dialah yang menjadi penjahatnya di mata dunia.

Jika Pang Tio-hoan, Peng Thian-pa dan Coat-taysu dari Siau-lim-pay mengatakan bahwa orang tertentu adalah seorang pembunuh, tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang akan meragukan kata-kata mereka. Tak perduli ke mana pun dia pergi, tentu akan ada orang yang berusaha membunuhnya. Dia pun tidak bisa membawa urusan ini ke rumah. Orang-orang akan mengetahui keberadaannya. Benar-benar tidak ada tempat yang bisa dituju olehnya dan tidak ada tempat untuk berpaling baginya.

Jika orang lain yang berada dalam situasi seperti dirinya, mereka tentu akan menyerah dan bunuh diri. Tapi dia tidak perduli. Dia percaya bahwa dunia ini luas, dan akan selalu ada tempat ke mana dia bisa pergi. Dia percaya bahwa Thian itu maha kuasa, melihat semua dan tahu semua. Suatu hari nanti dia akan menyingkap persoalan ini dan menemukan penjahat sebenarnya. Dia yakin pada dirinya sendiri. Tak satu sel pun dalam tubuhnya yang tidak dia percayai. Dibandingkan dengan orang lain, tangannya pun lebih kuat, otaknya lebih cerdas, mata dan telinganya lebih tajam.

Saat itulah dia mendengar sesuatu yang tidak mungkin bisa didengar orang lain. Suara yang mirip jeritan, tapi lemah, seperti suara bisikan. Lalu dia melihat segumpal rambut. Walaupun langit sudah gelap, rambut hitam itu amat bertolak-belakang dengan salju yang putih, dan karena itu bisa tertangkap oleh matanya.

Jika itu orang lain yang lewat di sini, mereka pun mungkin sudah melihat gumpalan rambut ini. Tapi mereka tentu tidak bisa melihat orangnya. Seluruh tubuh orang ini terkubur dalam salju dan es, dan cuma setengah dari wajah pucatnya yang tersembul. Saat bayangan setengah wajah itu melintas di depan matanya, kudanya sudah melesat lewat. Ma Ji-liong tidak berhenti. Dia sedang sibuk menyelamatkan diri.

Terkenal karena kesadisannya, Coat-taysu tentu tidak akan melepaskannya, dan saat ini dia mungkin sudah sangat dekat. Jika orang-orang itu berhasil menyusulnya, tentu tidak akan ada lagi kesempatan baginya untuk melarikan diri. Tentu saja dia tak boleh berhenti hanya untuk seorang asing yang sudah hampir mati karena beku.

Orang itu memang masih belum mati. Tapi apa salahnya kalau dia lebih mementingkan dirinya sendiri? Ma Ji-liong adalah orang yang egois dan sangat angkuh.

Rambut hitam kelam itu sudah penuh dengan es, dan sedikit pun tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di wajah yang pucat membiru itu. Orang ini benar-benar sebuah keajaiban hidup. - Jika terkubur dalam salju dan es seperti ini, berapa banyakkah orang yang tidak mati beku?

Katanya perempuan lebih tahan terhadap kelaparan, kedinginan dan rasa sakit, karena itu mereka lebih kuat daripada laki-laki. Orang ini adalah seorang perempuan. Dia masih amat muda, tapi tidak cantik. Kenyataannya, dia berwajah buruk – sangat buruk. Di bawah hidungnya ada sepasang bibir yang gemuk dan tebal seperti bibir babi. Gadis ini seperti sebuah boneka porselen mentah yang rusak di dalam tungku saat dibakar.

Walaupun sekarang dia masih hidup, amat sulit baginya untuk bertahan hidup. Jika ada secawan arak, semangkok sup panas dan seorang tabib yang sangat baik, dia mungkin bisa bertahan hidup. Sayangnya, tidak satu pun dari semua itu yang ada di sana sekarang. 

Baju Ma Ji-liong sendiri tidak cukup untuk melindungi dirinya dari hawa dingin, dan dia sendiri mungkin tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri. Dia tahu benar bahwa sekarang adalah waktunya untuk mengacuhkan orang asing yang amat jelek itu dan terus melarikan diri. Tapi dia malah melepaskan satu-satunya pakaian yang tetap kering di tubuhnya dan menyelubungi perempuan itu dengannya. Lalu dia memeluknya erat-erat, menggunakan panas tubuhnya untuk menghangatkan gadis itu.

Yang paling menyedihkan dari seorang laki-laki adalah kebodohannya, dan yang paling jelek bisa terjadi pada seorang perempuan adalah keburukannya. Perempuan buruk rupa biasanya tampak menyedihkan. Tapi Ma Ji-liong bukan saja tidak mencampakkannya karena dia buruk rupa, dia juga bersimpati kepadanya. Asalkan dia masih bernapas, dia tak akan membiarkan gadis ini mati beku seperti anjing liar. Tapi dia tidak tahu ke mana harus membawanya. Sekarang dia sendiri tidak punya apa-apa dan tidak ada tempat tujuan.

Sekarang langit sudah gelap gulita. Malam di musim dingin bukan saja datang sangat cepat, tapi juga amat lama berakhirnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar