Darah Ksatria Bab 02: Pembunuh

 
Bab 02: Pembunuh

Toh Ceng-lian pun juga roboh. Sebelum terjatuh, darah merembes dari sudut mulutnya. Tapi dia masih berjuang untuk bangkit. Di atas meja masih ada arak di dalam guci lainnya. Ia merangkak ke sana dan menenggak arak itu. Sambil tertawa dengan keras, dia berkata, “Arak bagus. Arak bagus.” Suara tawanya terdengar melengking dan menyedihkan.

“Ini arak yang amat bagus. Walaupun aku tahu arak ini beracun, aku tetap meminumnya. Kalian berdua lihat, bukankah hari ini aku minum sampai mati?” Ketika suara tawanya lenyap, dia pun terjungkal ke dalam liang itu. Dia tidak mau membiarkan Sim Ang-yap memakai liang itu sendirian. Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, angin dingin terasa mengiris kulit, tapi kedua pemuda itu tidak akan pernah merasa kedinginan lagi.

Khu Hong-seng dan Ma Ji-liong mengawasi kematian kedua orang itu dengan ketakutan, mereka merasa diri mereka sendiri pun seperti akan ambruk juga. Perubahan ini terlalu mendadak, terlalu mencekam dan terlalu menakutkan.

Setelah sekian lama, Khu Hong-seng pelan-pelan mengangkat kepalanya dan menatap Ma Ji-liong. Tatapan matanya lebih dingin daripada angin. Sorot matanya tajam seperti pisau, seakan-akan dia hendak merobek dada Ma ji-liong dan mengorek hatinya. Kenapa dia memandang Ma Ji-liong seperti itu? Ma Ji-liong sudah pulih kembali ketenangannya. Toh Ceng-lian adalah temannya, yang baru saja mati dengan tiba-tiba tepat di hadapannya. Tapi dia tidak kelihatan sedih. Kematian Toh Ceng-lian sangat aneh. Tapi dia pun tidak kelihatan terkejut.

Agaknya dia tidak perduli apakah orang lain hidup atau mati, atau bagaimana mereka bisa mati, karena dia masih hidup. Karena dia masih tetap Ma Ji-liong, yang selamanya dijuluki Pek-ma Kongcu Ma Ji-liong.

Khu Hong-seng menatapnya. Tiba-tiba dia bertanya, “Kau benar-benar tidak pernah minum?”

Ma Ji-liong tidak menjawab. Jarang sekali dia mau menjawab pertanyaan orang. Biasanya, dialah yang bertanya dan memberikan perintah.

“Aku tahu kau juga minum arak. Aku pernah melihatmu minum, dan minummu itu tidak sedikit,” kata Khu Hong-seng.

Ma Ji-liong tidak mengiyakan dan juga tidak menyangkal.

Khu Hong-seng berkata, “Kau bukan cuma pernah minum, tapi kau juga sering minum. Bahkan kau sering mabuk. Saat berada di rumah makan Tin-cu-hong di Hangciu, kau minum siang dan malam selama tiga hari berturut-turut. Kau mengusir semua tamu di rumah makan Tin-cu-hong itu karena mereka semua jorok, tidak setimpal untuk minum denganmu.” Dia berhenti sejenak dan kemudian melanjutkan, “Menurut cerita orang, kau pernah menghabiskan seluruh persediaan arak Li-ang-ciu di rumah makan Tin-cu-hong itu, arak simpanan sebanyak 20 kati setiap gucinya. Dan kau menghabiskan empat guci. Sampai saat ini, belum ada yang berhasil memecahkan rekormu itu.”

Ma Ji-liong berkata dengan dingin, “Guci terakhir bukan berisi arak Li-ang-ciu. Rumah makan Tin- cu-hong itu cuma punya tiga guci arak Li-ang-ciu yang tulen.” “Setelah menghabiskan enam puluh kati arak simpanan, kau masih bisa membedakan bahwa guci terakhir bukan berisi arak yang tulen. Kemampuan minum arakmu benar-benar bagus.”

“Kemampuanku minum arak memang bagus,” kata Ma Ji-liong.

Khu Hong-seng berkata, “Tapi.... hari ini kau tidak menyentuh arak setetes pun.” Sorot matanya semakin dingin. “Kenapa hari ini kau tidak minum? Kau tahu ada racun di dalam arak ini, bukan?”

Ma Ji-liong tetap tutup mulut.

Khu Hong-seng meneruskan, “Kau datang ke mari bersama Toh Ceng-lian. Kau tentu tahu di mana dia memesan makanan dan arak. Kau menyuap seseorang untuk meracuni arak itu. Itu benar-benar urusan yang amat mudah.”

Walaupun Ma Ji-liong tidak membenarkan, anehnya dia pun tidak menyangkalnya.

Khu Hong-seng berkata, “Aku sudah bertekad hendak mati daripada masuk ke Bik-giok-san-ceng. Sekarang Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap sudah tergeletak mati seperti ini, maka Bik-giok Hujin tidak perlu memilih lagi. Paduka yang mulia ini tentu akan menjadi menantunya.” Lalu dia menyeringai dan berkata, “Hal ini benar-benar menggembirakan.”

Ma Ji-liong tetap berdiam diri. Baru kemudian, dengan dingin dia berkata, “Sekarang aku paham apa maksudmu.”

“Seharusnya kau sudah paham,” Khu Hong-seng berkata, tombak perak sudah berada di tangannya.

Ma Ji-liong tidak mau bicara lagi. Perlahan-lahan dia melangkah dan berhadapan dengan Khu Hong-seng.

Mendadak seseorang muncul dan berkata, “Khu Hong-seng adalah milikku. Sekarang bukan giliranmu.”

Tidak ada yang tahu kapan orang ini tiba. Mungkin waktu Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap tewas secara tragis. Tidak ada yang memperhatikan urusan lain pada saat itu.

Orang ini bertubuh jangkung dan kurus, dengan tulang pipi yang menonjol tinggi. Kedua tangannya berukuran amat besar, memegang sepasang tombak emas. Kedua tombak ini panjangnya empat kaki sembilan dim, dan ujungnya gemerlap berkilauan. Andaikan tidak terbuat dari emas, bahan baku tombak-tombak itu amat mirip dengan emas.

Pakaian orang ini juga berwarna kuning keemasan. Bajunya tampaknya terbuat dari bahan yang mahal dan dijahit sesuai dengan ukuran tubuhnya. Ini adalah mereknya, sehingga bila orang-orang Kang-ouw melihatnya, mereka akan segera mengenalinya sebagai Kim-jio (Tombak Emas) Kim Tin-lin.

Dulunya, di dunia Kang-ouw, tombak yang paling terkenal adalah tombak emas ini – tombak emas Kim Tin-lin. Tapi keadaan sudah berubah sejak Gin-jio Kongcu mengalahkan tombak emas ini tiga tahun yang lalu. Sejak saat itu, di antara mereka sudah timbul kebencian yang tidak bisa  dihilangkan oleh siapa pun.

Kim Tin-lin berkata, “Kita masih punya urusan yang belum beres. Hutang lama ini harus diselesaikan dulu.” 
Dia mengacungkan tombak emasnya pada Khu Hong-seng dan berkata, “Dan kita akan melakukannya hari ini juga.”

Khu Hong-seng menyeringai dan berkata, “Waktumu amat tepat.”

Kim Tin-lin balas menyeringai. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya, bergerak maju selangkah dan menusukkan tombak emas dengan ganas. Ketika sinar keemasan tampak berkilauan, Ma Ji-liong mengulurkan tangannya, tapi dia melangkah mundur. Ini adalah kebiasaan di dunia Kang-ouw bila orang lain hendak menyelesaikan hutang-piutang lama.

Serangan tombak emas itu keji, lincah dan kuat. Selain itu, tombak itu juga lebih panjang daripada tombak perak. Semakin panjang, semakin kuat. Tapi, tombak perak lebih ringan dan cepat, dan teknik yang digunakan juga jauh lebih baik daripada tombak emas. Tentu tombak emas akan kalah lagi. Khu Hong-seng jelas ingin mengakhiri pertarungan ini dengan cepat. Saat dia menjulurkan tangannya, dia sudah bersiap untuk menggunakan seluruh tenaganya. Tapi ketika dia hendak mendesak Kim Tin-lin, tiba-tiba seseorang muncul dari balik sebatang pohon bwe yang tertutup salju.

Orang ini serba hitam. Dengan baju hitam dan topeng hitam, seluruh badannya serba hitam. Tubuhnya lebih tinggi dan kurus dibandingkan dengan Kim Tin-lin, persis seperti sebatang anak panah berwarna hitam. Dia bergerak dengan cepat, amat mirip dengan sebatang anak panah.

Tangannya menggenggam sebilah golok, golok Yap-hap-to yang tipis dan tajam. Sinar golok berkilauan, langsung menyerang dengan cepat ke arah leher Khu Hong-seng. Benar-benar sebuah serangan golok yang mematikan.

Khu Hong-seng mengelakkan serangan golok itu, tapi akibatnya dadanya terbuka lebar. Tombak emas Kim Tin-lin pun secepat kilat menusuk ke jantungnya.

Serangan tombak ini juga mematikan! Setelah menyerang, Kim Tin-lin tidak berhenti lagi. Tubuhnya melayang di udara dan mencelat mundur sejauh 40 kaki.

Darah Khu Hong-seng menyembur keluar. Saat dia ambruk ke atas tanah, Kim Tin-lin sudah menjauh 100 kaki. Orang serba hitam malah mundur lebih cepat darinya.

Ma Ji-liong tidak mengejar. Dia malah menghambur ke arah Khu Hong-seng. Dia tidak perduli dengan nyawa orang lain. Tapi sekarang, jika dia tidak memeriksa, dia akan kehilangan kesempatan untuk melihat apakah Khu Hong-seng benar-benar sudah mati. Dan dia telah salah perhitungan – sesuatu yang tidak pernah diduga oleh siapa pun!

Kim Tin-lin tersusul oleh orang serba hitam, dan kedua orang itu lalu melarikan diri secara berdampingan. Orang serba hitam itu pelan-pelan mulai ketinggalan. Tiba-tiba, bagaikan kilat, golok Yap-hap-to di tangannya membacok ke leher sebelah kiri Kim Tin-lin. Serangan ini, bila dibandingkan dengan serangan yang dia lancarkan tadi, jauh lebih cepat dan keji.

Kim Tin-lin menjerit kesakitan, darah pun muncrat. Dia ingin memutar kepalanya untuk menyerang orang serba hitam itu. Tapi saat tubuhnya bergerak, dia pun ambruk ke atas tanah.

Setelah menyerang, orang serba hitam tadi tidak memperlambat gerakannya. Tubuhnya naik turun, melesat keluar dari lembah. Teknik membunuhnya benar-benar bersih, mulus dan amat efektif. Jelas dia adalah orang yang sangat berpengalaman. Setelah membunuh orang, dia pun pergi tanpa memandang ke belakang. Sayangnya gerakannya itu masih kurang cepat.

Tiba-tiba dia sudah dihadang oleh beberapa orang. Tadi dia membunuh untuk melenyapkan saksi, dan segera dia pun berpikir bahwa orang lain akan melakukan hal yang sama pula. Dia tidak menunggu lawan melancarkan serangan. Dia menyerang lebih dulu. Goloknya lebih beracun daripada ular berbisa. Saat membunuh orang, jarang sekali dia membuat kesalahan. Sayangnya kali ini dia memilih sasaran yang salah.

Di mulut lembah itu berdiri berdampingan tiga orang laki-laki -– yang satu bertubuh amat besar dan kuat; satunya lagi gemuk luar biasa; dan yang ketiga adalah seorang hwesio. Si tinggi besar tadi adalah seorang laki-laki tua berambut putih, bermuka merah dengan wajah yang serius dan sikap yang agung. Sedangkan untuk si hwesio itu, siapa pun yang terjun ke dunia Kang-ouw pasti tahu bahwa 'pengemis, wanita dan pendeta' adalah tiga jenis manusia yang paling sulit dihadapi.

Sebagai seorang pembunuh yang profesional, tentu saja dia akan memilih orang yang paling lemah. Dia pun memilih orang yang tampaknya bukan cuma gemuk luar biasa – tapi juga kelihatan amat lamban itu.

Mimpi pun dia tidak menyangka kalau orang gemuk ini adalah Peng Thian-pa, yang amat terkenal karena ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to keluarganya itu. Di jaman ini, itulah ilmu golok yang tercepat, paling keji dan paling termasyur di dunia Kang-ouw.

Peng Thian-pa tentu saja membawa golok di pinggangnya, masih tersarung. Tapi tahu-tahu golok itu sudah menyentuh tenggorokan si orang serba hitam. Tadi orang serba hitam itu sudah melancarkan serangan terlebih dulu, tapi mendadak dilihatnya kilauan golok yang menyambar tenggorokannya sendiri.

Si orang tua tinggi besar buru-buru berseru, “Jangan bunuh saksi. ” Sayangnya, saat ketiga patah
kata ini baru saja dikeluarkan, kepala orang serba hitam itu sudah terpisah dari lehernya. “Kau terlambat!” Peng Thian-pa berkata sambil menghela napas.
Si orang tua tinggi besar juga menghela napas. Dia berkata, “Benar, seharusnya aku sudah tahu. Tidak pernah ada saksi hidup di bawah serangan golokmu.”

Si hwesio berkata dengan nada menyindir, “Walaupun Peng-tayhiap sudah banyak membunuh orang, tapi mereka semua memang pantas mati. Orang ini sudah mengambil nyawa lima orang secara berturut-turut, maka kematiannya tidak patut disesali.”

Si orang tua tinggi besar berkata, “Aku cuma ingin menanyai dia tentang kelima orang pelayan dari rumah makan Kik-hong-wan. Mereka bukan orang-orang Kang-ouw dan tidak punya musuh. Kenapa dia harus memasang perangkap kematian untuk mereka?”

Peng Thian-pa berkata, “Walaupun orang ini sekarang sudah mati, belum tentu kita tidak bisa menuntaskan persoalan ini cepat atau lambat.”

Orang tua itu menyindir, “Siapa yang akan kita tanyai? Kecuali dia, siapa lagi yang tahu tentang persoalan ini?”

Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang keras, “Aku.” Ternyata Khu Hong-seng tidak mati. Dia berjuang untuk bangkit dan mendorong Ma Ji-liong ke samping. Dengan terengah-engah dia berkata, “Untunglah aku tahu apa yang telah terjadi.”

Sejak jaman kemasyuran puteri-puteri dari Ih-hoa-kiong (Istana Bunga), perempuan yang paling ajaib dan misterius di dalam Bulim adalah Bik-giok Hujin, dan tempat yang paling rahasia di dunia ini adalah Bik-giok-san-ceng. Tidak seorang pun di dunia Kang-ouw yang tahu banyak tentang Bik- giok-san-ceng atau di mana letaknya. Ini terjadi karena, seperti Ih-hoa-kiong, Bik-giok-san-ceng adalah dunianya para wanita, di mana laki-laki tidak diperbolehkan masuk.

Menurut cerita orang, perempuan-perempuan di sana bukan saja amat cantik, mereka semua juga melatih semacam ilmu kungfu yang amat misterius. Tapi, biarpun mereka adalah perempuan- perempuan yang hebat, ada saatnya di mana laki-laki tetap dibutuhkan. Jika mereka ingin punya keturunan, mereka tidak bisa melakukannya tanpa laki-laki.

Puteri Bik-giok Hujin sudah cukup umur, dan Bik-giok Hujin sendiri tentu saja tidak mau anaknya hidup sendirian untuk selamanya. Seperti ibu-ibu lainnya, dia pun harus mencari menantu yang tepat. Di jaman ini, laki-laki yang paling pantas dipilih di dunia Kang-ouw, yang patut menjadi menantunya, sudah pasti keempat orang Bu-lim-si-toakongcu.

Sayangnya dia cuma punya seorang puteri dan hanya bisa memilih satu dari keempat orang pemuda itu. Maka dia pun mengundang mereka ke Han-bwe-kok sini. Bila Bik-giok Hujin mengundang orang, tidak seorang pun yang bisa mengatakan tidak. Tidak satu pun yang berani.

Karena itu keempat orang Bu-lim-si-toakongcu -– Khu Hong-seng, Ma Ji-liong, Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap –- semua datang ke sini. Bik-giok Hujin tentu saja tidak berniat menyimpan rahasia ini, tapi keempat pemuda itu sendiri tidak mau menyinggung hal itu. Ini terjadi karena hanya salah satu dari mereka yang akan terpilih, dan yang tidak terpilih tentu akan kehilangan muka. Keempat pemuda itu sama-sama terkenal. Ditolak orang tentu saja sangat memalukan.

Tidak seorang pun yang menduga bahwa arak beracun akan membunuh Toh Ceng-lian dan Sim Ang-yap dan bahwa musuh bebuyutan Khu Hong-seng – Kim-jio Kim Tin-lin – akan muncul di sini. Selain itu juga ada si pembunuh bayaran. Selain keempat orang pemuda itu, tidak ada yang tahu kalau Khu Hong-seng hari ini akan berada di sini. Kenapa Kim Tin-lin bisa tahu tentang hal ini?

Tentu ada seseorang yang menyuruhnya datang ke sini. Orang itu juga menyewa seorang pembunuh bayaran karena dia tahu bahwa Kim Tin-lin mungkin bukanlah tandingan Khu Hong-seng.

Tentu orang ini pula yang meracuni arak. Lalu, untuk membungkam mulut para saksi, dia  menyuruh Kim Tin-lin dan pembunuh bayaran itu untuk membinasakan kelima orang pelayan dari rumah makan Kik-hong-wan.

Orang itu juga menyuruh si pembunuh bayaran untuk membunuh Kim Tin-lin agar melenyapkan seorang saksi lagi. Dia tidak takut kalau si pembunuh bayaran akan membuka rahasianya karena pembunuh bayaran itu seorang profesional. Dia bukan saja mempunyai hati yang hitam, tangan yang keji dan golok yang cepat, bibirnya juga akan selalu tertutup rapat. Maka, biarpun pembunuh bayaran itu tetap hidup, dia tidak akan membocorkan rahasia pelanggannya.

Khu Hong-seng akhirnya menarik kesimpulan, “Menurut rencana itu, seharusnya aku sudah mati oleh tombak emas Kim Tin-lin, dan kalian bertiga tidak ada di sini. Rencana orang ini benar-benar hebat, dan tak ada orang yang lebih cerdik darinya. Bik-giok Hujin pasti tidak perlu memilih lagi. Tentu orang inilah yang akan menjadi menantu Bik-giok-san-ceng.” 
Khu Hong-seng tidak menyebutkan siapa orang itu, dan dia memang tidak perlu mengatakannya. Semua orang jelas paham. Semua orang sedang menatap Ma Ji-liong dengan dingin.

Ma Ji-liong tidak menjawab. Tak perduli bagaimanapun orang lain memandangnya, tak perduli apa pun yang orang pikirkan tentang dia, dia tetap acuh tak acuh.

Peng Thian-pa berjalan mondar-mandir. Meskipun gemuk, dia amat aktif. Langkah kakinya terhenti oleh mayat Kim Tin-lin, lalu dia memungut tombak emas itu. Dia menimbang-nimbangnya dalam genggamannya dan bergumam, “Tombak ini tidak berat.”

“Dia melatih ilmu Tombak Bunga dari keluarganya. Ilmu itu memang termasuk ilmu tombak ringan,” Khu Hong-seng menjelaskan.

Peng Thian-pa berkata, “Menurut cerita, pernah ada seseorang yang melemparkan tujuh keping uang tembaga di depannya. Dalam sekali ayunan, tombaknya sudah berhasil menusuk tembus semuanya.”

“Ilmu tombaknya memang sangat akurat,” Khu Hong-seng memberi komentar.

Sambil menghela napas, Peng Thian-pa berkata, “Tentu dia tidak berpikir begitu. Kali ini tusukannya meleset.”

Khu Hong-seng berkata, “Memang benar.”

Peng Thian-pa berkata dengan nada kering, “Kalau tusukannya tidak meleset dari sasaran, bagaimana mungkin kau masih bisa hidup?”

Khu Hong-seng tidak memberikan jawaban langsung. Dia malah berusaha membuka pakaiannya. Baju luarnya merupakan mantel bulu yang tebal. Di dalamnya ada tiga lapisan lagi. Lapisan baju yang terdekat dengan kulit mempunyai sebuah kantung, persis di atas jantungnya. Di dalam kantung itu tersimpan sebuah dompet.

Di atas dompet itu tersulam gambar bunga. Sulaman itu amat bagus, jelas dibuat oleh tangan perempuan yang cekatan. Sekarang, dompet bersulam itu sudah tertusuk bolong. Di dalam dompet juga ada sepotong Giok-pwe (mainan kalung dari batu giok), dan Giok-pwe itu juga sudah hancur berantakan.

Tentu saja tombak Kim Tin-lin tidak meleset. Tombak itu pasti sudah menembus mantel bulu Khu Hong-seng dan kemudian menusuk jantungnya. Tapi Kim Tin-lin tidak menduga kalau ada sepotong giok yang tersimpan tepat di luar kulitnya, persis di depan jantung.

Khu Hong-seng berkata, “Dompet ini diberikan oleh Siau-hoan kepadaku. Dia ingin agar aku memakainya tepat di luar kulitku. Dia tak mau aku melupakannya karena perempuan lain.”

Tiba-tiba sorot matanya melunak. Dia berkata, “Aku tidak melupakannya, dan karena itulah aku masih hidup.” Siau-hoan pasti kekasihnya. Dia lebih suka mati daripada mengingkari kekasihnya.

Peng Thian-pa menghela napas. Dengan sinar mata berseri, dia berkata, “Agaknya menjadi orang romantis juga ada keuntungannya.” Si orang tua tinggi besar tiba-tiba berkata, “Khu-kongcu, walaupun aku tak mengenalmu, tapi aku mengenali tombak perak ini.”

Khu Hong-seng berkata, “Tombak ini diwariskan turun-temurun di keluargaku. Boanpwe tidak berani memamerkan diri sendiri.”

Orang tua itu berkata, “Aku tahu.” Dengan ekspresi wajah yang hangat, dia meneruskan, “Dulu ayahmu menggunakan tombak perak ini untuk bertempur melawan kawanan beruang dari Tiang- pek-san. Aku pun ikut berada di sana.”

Kawanan beruang dari Tiang-pek-san adalah penjahat-penjahat yang berkuasa dan jahat, bertahun- tahun mereka menduduki daerah Liau-tang. Orang-orang di dunia Kang-ouw tidak berani melanggar daerah kekuasaan mereka itu.

Suatu saat ayah Khu Hong-seng dan Hong-seng-thian Tayhiap, Pang Tio-hoan, menyerbu ke gunung Tiang-pek-san. Dengan tombak perak dan sepasang gun-goan-pai yang terbuat dari baja murni – logam pipih yang dinamakan sesuai dengan tenaga kasar Pang Tio-hoan, mereka berhasil mengobrak-abrik sarang kawanan beruang dari Tiang-pek-san itu. Pertempuran tersebut bukan hanya mengguncangkan dunia di jaman itu, sampai hari ini pun orang masih membicarakannya.

Khu Hong-seng bertanya, “Apakah Cianpwe adalah Pang-tayhiap?” “Benar, aku Pang Tio-hoan,” jawab orang tua itu.
Sambil tersenyum tipis, orang tua itu menunjuk Peng Thian-pa, “Kau lihat dia menggunakan golok. Tentu kau tahu siapa dia.”

Selain ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to, di kolong langit ini benar-benar tidak ada golok yang bisa menyayat seperti itu. Sebuah sabetan golok -- akibatnya perasaan orangnya disabet, manusianya disabet dan nyawanya pun disabet! Selain itu, sekali golok itu membunuh orang, selamanya tidak akan pernah ada saksi.

Sambil menghela napas, Khu Hong-seng berkata, “Orang ini memang sudah berbuat jahat. Dia pantas mati di bawah Ngo-hou-toan-bun-to-hoat.”

Peng Thian-pa tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Tadi, jika si hwesio yang turun tangan, aku khawatir kematiannya akan lebih cepat lagi.”

Memangnya kungfu hwesio itu lebih keji lagi daripada ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to? “Apakah Cianpwe ini adalah Coat-taysu dari Siau-lim-si?” Khu Hong-seng menebak-nebak. “Benar. Dia adalah Coat-taysu,” jawab Peng Thian-pa.
Coat-taysu dari Siau-lim-pay memang benar-benar keji dan tidak punya perasaan. Semua kejahatan di kolong langit ini adalah musuhnya. Semua penjahat yang jatuh ke dalam cengkeramannya akan segera pergi ke neraka.

Khu Hong-seng menghela napas dan berkata, “Tidak ada yang mengira kalau dewata akan mengutus ketiga Cianpwe datang ke sini.”

“Jika kami tidak bermaksud datang ke sini, maka kami tidak akan datang,” kata Peng Thian-pa. 
Pang Tio-hoan menambahkan, “Sebenarnya kami cuma ingin minum-minum di rumah makan Kik- hong-wan.” Dia adalah pelanggan tetap Kik-hong-wan.

Di rumah makan ini, pelanggan tetap mempunyai pelayan sendiri yang siap melayani mereka, karena hanya pelayan-pelayan ini yang tahu kesukaan si pelanggan. Tidak perduli apakah mereka ingin makan atau minum, mereka tidak perlu memesan lagi. Tapi hari ini, ketika Pang Tio-hoan berada di sana, pelayannya sedang dikirim untuk mengantarkan makanan dan arak ke Han-bwe-kok.

Cuaca sedingin ini, tapi ada orang yang ingin menyaksikan bunga bwe dan minum-minum di lembah. Tentulah orang ini mempunyai selera yang tinggi.

Peng Thian-pa meneruskan, “Setelah minum tiga cawan arak, kami bertiga mendapatkan ide yang cemerlang, hendak melihat orang yang berselera tinggi ini.”

Pang Tio-hoan menambahkan, “Kami tidak menyangka kalau di pertengahan jalan ke lembah ini, kami akan menemui mayat orang-orang dari rumah makan.”

“Semuanya dibunuh dengan sebilah golok. Setiap sabetan pun bersih dan amat cepat!” Peng Thian- pa berkata.

Pang Tio-hoan melanjutkan, “Dia sendiri adalah seorang jago golok. Tentu saja dia tidak tahan ingin melihat siapa orang yang mempunyai ilmu golok secepat itu!”

Peng Thian-pa mengakhiri, “Itulah sebabnya kami bertiga, yang seharusnya tidak datang, sekarang berada di sini.”

Ini benar-benar sudah takdir. Khu Hong-seng menengadah ke langit dan bergumam, “Thian yang maha pemurah, Kau tidak buta. Siapa yang membunuh, akan dibunuh!” Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan menghadap ke arah Ma Ji-liong. Lalu dia berujar sepatah demi sepatah kata, “Kau ingat ini di dalam benakmu dan jangan pernah lupa.”

Saat itulah langit berubah menjadi gelap. Malam di musim dingin memang selalu datang teramat cepat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar