BPEHK Bagian 05 : Darah Dan Air Mata

 
Bagian 05 : Darah Dan Air Mata 

I

Jian-jian menundukkan kepalanya, seakan-akan ia tak berani memandang Siau Ho-ya yang sedang duduk persis di hadapannya, ia hanya menjawab dengan suara lirih, "Aku dari marga Cia."

II

Seorang kakek berambut putih yang memakai baju hijau sedang berjalan sendirian di jalanan sebuah perbukitan, sekulum senyuman yang licik dan penuh misterius tersungging di ujung bibirnya.

Tiba-tiba halilintar membelah awan mendung yang menyelimuti udara, cahaya petir yang menyambar turun dari balik awan terang sekali bagaikan seekor naga emas.

Di tengah hiruk-pikuk ramainya suara ringkikan kuda, rombongan pengawal barang itu segera menghentikan perjalanannya.

Rambut Liong Su telah basah kuyup oleh guyuran air hujan, butiran hujan setes demi setetes mengalir ke bawah membasahi baju di balik jas hujannya. Tubuhnya sama sekali tak bergerak, seolah-olah terpaku di atas pelana kudanya, sementara sepasang mata yang tajam mengawasi si kakek berbaju hijau yang sedang berjalan mendekat.

Orang tua itu seakan-akan sama sekali tidak melihat kalau ada satu rombongan besar kereta kuda menghadang jalan perginya, dia hanya menengadah ke atas memeriksa keadaan cuaca lalu bergumam, "Aneh, katanya ada naga sedang terbang di angkasa, kenapa aku tidak melihatnya? Masa hanya seekor naga mampus yang ada di situ?"

"Naga itu belum mampus!" bentak Ouyang Ci keras keras.

Di tengah bentakan nyaring, cambuk kuda yang berada di tangannya telah diayunkan ke tubuh kakek itu. Benar juga, sambaran cambuknya persis seperti seekor naga berbisa yang sedang terbang di angkasa.

Jarak antara mereka berdua masih selisih dua kaki lebih, tapi cambuk hitam itu panjangnya justru empat kaki, sambaran ujung cambuk tadi persis melilit di atas tengkuk kakek tersebut.

Si kakek masih berjalan ke depan dengan langkah lambat, ketika ujung cambuk tiba di hadapan mukanya tiba-tiba ia tarik ke belakang payung kertasnya kemudian diputar ke bawah, dengan tepat ia tahan sambaran cambuk tersebut.

Dalam waktu singkat ujung cambuk telah melilit tiga lingkaran di atas payung kertas itu.

Tiba-tiba kakek itu merentangkan payungnya... "Blaaakk!" diiringi suara nyaring tahu tahu cambuk lemas itu telah putus menjadi tujuh-delapan bagian.

Berubah paras muka Ouyang Ci, begitu juga Liong Su.

Sambil memandang kutungan cambuk yang tersebar di tanah dengan matanya yang sipit, gumamnya lirih, "Aku rasa naga yang ini sudah waktunya untuk mampus!"

"Coba lihat yang ini..." hardik Ouyang Ci nyaring.

Seraya menjejakkan kakinya pada pelana, ia segera melejit ke udara setinggi satu kaki, lalu setelah berjumpalitan beberapa kali tangannya segera diayun ke depan, puluhan titik cahaya bintang serentak memancar keluar dari balik punggung, siku, tangan, ujung baju serta kakinya.

Jangan dilihat piausu nomor wahid dari perusahaan Tionggoan Su Toa-piaukiok ini punya watak yang berangasan dan kasar, ilmu silat yang dimiliki justru amat tinggi dan sempurna, bahkan masih terhitung seorang jagoan dalam hal senjata rahasia.

Memang bukan satu pekerjaan yang gampang bagi siapa pun untuk melepaskan puluhan jenis senjata rahasia dalam saat yang bersamaan.

Kakek berbaju hijau itu masih memandang lawannya dengan mata yang sipit, dari ujung kaki hingga ujung kepalanya ia sama sekali tak bergerak, namun payung kertas yang berada dalam genggamannya justru diputar bagaikan gangsingan. Terciptalah selapis lingkaran cahaya yang amat menyilaukan mata.

"Cringg... criing... criing..." di antara serangkaian suara denting yang nyaring, dalam sekejap mata puluhan titik cahaya bintang itu sudah terpental balik ke empat penjuru

Ouyang Ci mempunyai banyak cara untuk melepaskan senjata rahasianya, ada yang berputar bagai gangsingan, ada yang terbang beriring, ada yang cepat, ada yang lambat, ada yang duluan ada juga yang belakangan bahkan ada pula yang saling membentur di angkasa. 

Sebaliknya cara yang digunakan kakek berbaju hijau itu untuk merontokkan senjata rahasia hanya ada satu, namun cara yang tunggal itu justru paling manjur dan bermanfaat.

Tidak perduli dengan cara apapun kau lepaskan senjata rahasia itu, asal terbentur dengan payung kertasnya, seluruh senjata amgi itu akan terpental dan mencelat ke empat penjuru.

Bahkan ada sebagian dari senjata rahasia itu yang berbalik menyerang tubuh Ouyang Ci... Tentu saja tak akan benar benar mengenai tubuh orang tersebut.

Buru buru Ouyang Ci melejit kembali ke atas pelana kudanya sambil mengawasi payung kertas di tangan lawannya itu dengan mata melotot, Kini siapa pun sudah dapat melihat dengan jelas, payung tersebut tentu saja bukan terbuat dari kertas.

Dengan wajah serius tiba tiba-Liong Su berseru, "Rupanya anda adalah Giam lo-san, si payung dari neraka Tio Hui-liu, Tio- losianseng!"

"Hmm, tak nyana Liong Su masih memiliki ketajaman mata yang mengagumkan!" sahut kakek itu sambil tertawa ringan.

Liong Su tertawa dingin, kembali katanya, "Sungguh tak disangka Tio losianseng sudah bergabung dengan Hiat-yu- bun, benar-benar di luar dugaan!"

"Mungkin masih banyak lagi urusan yang tak kau duga," tukas Giam-lo-san cepat.

Tiba-tiba ia membalikan tangannya menunjuk ke arah dinding bukit di tepi jalan sambil katanya;

"Coba kau perhatikan lagi siapakah dia?"

Dinding tebing itu tegak lurus lagi gersang, tak sedikitpun tumbuhan yang tumbuh di situ.

Mana orangnya? Tapi baru saja perkataannya selesai diucapkan, mendadak terdengar "Traaang!"

Percikan bunga api menyebar ke empatpenjuru.

Sejenis benda tiba-tiba meluncur datang dari samping dan langsung menancap di atas batu karang yang keras bagaikan baja itu, benda tersebut tak lain adalah sebuah kampak besar.

Menyusul kemudian dari atas tebing bukit di seberang sana meluncur kembali sebuah cambuk panjang yang langsung melilit di atas ujung kampak tadi hingga tertarik tegang, tali panjang itu langsung menutup seluruh jalan tadi.

Cambuk panjang yang berwarna hitam itu berkilauan me- mancarkan sinar di bawah curahan hujan gerimis, tidak jelas terlihat cambuk itu terbuat dari bahan apa.

Empatsosok bayangan manusia pelan-pelan berjalan turun melalui atas tali panjang tadi, mereka berjalan amat santai seolah-olah sedang berjalan di tanah datar.

Orang pertama bermata besar dan berewokan, ia biarkan pakaian bagian dadanya terbuka lebar hingga nampak bulu dadanya yang hitam lebat. Dia seolah olah memang sengaja mempamerkan bulu dadanya itu agar tampilannya nampak lebih jantan.

Orang kedua bertubuh jangkung dengan wajah yang putih bersih tanpa kumis atau janggut, sebilah pedang tergantung di pinggangnya, ia berjalan sedikit lengggak lenggok, persis seperti seorang wanita.

Kalau dilihat wajahnya, ketika masih muda dulu pasti masih terhitung seorang lelaki tampan, sayang kini telah berusia empatpuluh lima tahun sehingga walau sebersih apapun kau cukur kumis dan janggutnya, namun tak bisa menutupi kerutan-kerutan di wajahnya yang menandakan ketuaan.

Orang ke tiga adalah seorang lelaki berwajah kuning yang kurus lagi jangkung, sebilah golok berkepala setan tergembol di punggungnya.

Orang ke empat bukan hanya jangkung sekali, tubuhnya juga kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, dia tak ubahnya seperti seorang setan beneran.

Melihat kehadiran ke empat orang itu, sambil tertawa dingin Ouyang Ci segera berseru:

"Hmm, rupanya lima setan neraka dari lima istana (Ngo- thian Giam-lo) telah bergabung semua dengan Hiat-yu-bun. Selamat... selamat!"

Tio Lo-sianseng tertawa lirih, sahutnya, "Setelah melihat kehadiran Giam-lo San si Payung neraka, semestinya kau bisa menduga kalau Kampak neraka Giam-lo Pouw, Giam-lo Kiam si Pedang neraka, Giam-lo To si Golok neraka dan si Pecut neraka Giam-lo Pian juga telah hadir semua di sini"

"Tempat ini bukan neraka, buat apa begitu banyak raja neraka yang berkunjung kemari?"

"Mau apa? Tentu saja untuk membegal kereta barang dan bendera perusahaan kalian"

"Aaaah, tidak banyak, tidak banyak, kalian masih minta apa lagi?"

"Asal semua kereta dan bendera perusahaan kalian tinggalkan, lalu setiap orang meninggalkan sebelah tangan dan sebelah kakinya, hutang piutang kalian dengan Hiat-yu- bun kami anggap lunas!"

"Kalau tidak?"

"Kalau tidak maka tiga puluh enam butir batok kepala milik kalian harus ditahan di sini!"

Ouyang Ci segera mendongakkan kepalanyadantertawa terbahak-bahak, serunya, "Baik, kalau begitu silahkan ambil batok kepala kami yang masih menempel ini!"

"Hmm, apa sulitnya..." jengek Tio Lo-sianseng dingin. Liong Su masih duduk tak berkutik di atas pelana kudanya,

ia duduk bagai sebuah arca, tiba-tiba saja ia julurkan tangannya seraya menghardik, "Tombak!"

Sebuah tombak sepanjang satu koma empat kaki dengan ujung tombak berwarna merah darah. "Toookkk!" senjata itu ditancapkan ke tanah dalam-dalam.

Dengan suara nyaring Liong Su berseru, "Sudah lama aku orang she Liong ingin menjajal sampai di mana kehebatan ilmu silat yang dimiliki Ngo-thian Giam-lo! Ayoh, siapa yang ingin maju duluan?"

"Kami berlima!" sahut Tio Losianseng cepat.

Lalu sambil menuangkan mata tersenyum licik, lanjutnya, "Jangan kau anggap kejadian ini sebagai pertandingan ilmu silat. Kami datang untuk menghadang dan merampok kalian, jadi semua peraturan sungai telaga tidak berlaku di sini, toh jumlah kalian masih delapan-sembilan kali lipat lebih banyak ketimbang jumlah kami!"

Ketika kata terakhir baru meluncur keluar dari mulutnya, Giam-lo Kiam yang berada di atas tali mendadak melayang ke udara, di antara kilatan cahaya tahu-tahu ia sudah menyerbu ke tengah rombongan kereta barang.

Di antara kilatan cahaya pedang, jeritan ngeri bergema memecahkan keheningan. Di tengah muncratan darah segar seorang pengawal telah roboh bersimbah darah.

Jangan dilihat cara berjalan orang ini terseok-seok macam seorang banci, begitu turun tangan ternyata serangannya begitu ganas, tajam dan cepat. Bersamaan waktu, Giam-lo To si lelaki bermuka kuning melejit juga ke tengah udara, goloknya langsung membacok ke tubuh Ouyang Ci.

Giam-lo Pian segera menghentakkan tali panjangnya.

Kampak yang semula menancap di atas dinding karang segera melejit ke tengah udara. Giam-lo Pouw melompat maju menyambut senjatanya, lalu dengan sekali putaran badan ia ayun mata kampaknya langsung membabat kepala kuda yang ditunggangi Ouyang Ci.

Baru saja OuyangCi berkelit dari bacokan golok, kuda tunggangannya sudah meringkik kesakitan lalu roboh terkapar di tanah.

Dalam pada itu Giam-lo Pian telah menghentakkan senjatanya langsung menyambar ke arah panji perusahaan yang terpancang di atas kereta barang terdepan.

Di sisi lain Tio Lo-sianseng telah bertempur sengit melawan tombak Liong Su. Biarpun gerakan tombak itu cepat bagaikan seekor naga sakti, sayang kecepatan tersebut tak bisa mengimbangi kegesitan dan kelincahan Tio Lo-sianseng. Dia seolah-olah memang sangat ahli dalam mencari peluang kosong hingga untuk sesaat ilmu tombak yang dimainkan Liong Su tak sanggup dikerahkan semaksimal mungkin.

Apalagi selain harus melindungi anak buah sendiri, dia pun harus selamatkan kuda tunggangannya dari bokongan musuh.

Sementara itu Giam-lo Pouw telah menyerbu ke tengah rombongan piausu. Di satu sisi pedang menyambar, di sisi lain kampak membacok, satu keras satu lunak... jeritan ngeri bergema silih berganti, kembali ada lima orang roboh bermandikan darah.

Pecut panjang dari Giam-lo Pian telah menyambar persis di depan panji perusahaan. Seorang piausu segera menyongsong kehadiran senjata itu, dengan tubuhnya ia melindungi panji dari sergapan musuh, siapa sangka di detik terakhir itulah mendadak pecut panjang itu mengait ke atas dan langsung melilit tenggorokannya. "Kraaakkk!" terdengar suara gemerutuk keras, tahu-tahu batok kepala itu sudah terkapar lemas ke samping, disusul kemudian tubuhnya ikut roboh lemas ke atas tanah.

Ngo-thian Giam-lo (lima raja neraka dari lima istana) telah maju dan menyerang bersama, kerja sama mereka betul-betul luar biasa, serangannya fatal dan sangat mematikan.

Apalagi dalam pertempuran kali ini, waktu, tempat semua adalah pilihan mereka. Setiap langkah setiap jengkal tanah telah mereka rencanakan sebelumnya dengan sangat teliti. Oleh sebab itu begitu turun tangan, posisi mereka segera berada diatas angin.

Berbeda sekali dengan posisi Liong Su, pertarungan semacam ini sangat sulit dan tidak menguntungkan pihaknya.

Siau Lui masih duduk tenang di atas pelana kudanya, ia cuma menyaksikan pertarungan itu tanpa melakukan reaksi apapun. Walaupun pertempuran berdarah sudah dimulai, tapi entah kenapa ternyata tak sebuah senjata pun yang mampir di tubuh atau ke arah kuda tunggangannya.

Atau mungkin hal ini dikarenakan dandanannya yang kelewat kotor, kelewat rudin sehingga orang lain anggap dia tak berharga untuk diserang?

Dia masih tetap duduk, mengikuti jalannya pertempuran tanpa bergerak sedikit pun, biarpun kuda tunggangannya meringkik terus dan melompat kesana-kemari, namuniamasih belum juga bergerak, bahkan sepasang mata pun sama sekali tak berkedip.

Kalau bukan otot dan syaraf di dalam tubuhnya terbuat dari kawat baja, mungkin pemuda ini sudah dibuat kaku karena kejadian ini. Jika memang tak mau melakukan apa-apa, buat apa dia ikut datang ke situ?

Mungkinkah dia sedang menunggu kesempatan emas?

Cahaya pedang si Pedang neraka Giam-lo Kiam berkilauan memancarkan sinar tajam ke seluruh angkasa, tiba-tiba ia mundur tiga langkah kemudian sambil membalikkan tubuh, senjata itu langsung menusuk ke iga Siau Lui. Akhirnya apa yang ditunggu tiba juga, ternyata mereka memang tak akan lepaskan dirinya... tiga puluh enam lembar jiwa semuanya harus ditahan di situ.

Siau Lui berkerut kening, belum sempat dia menghindar tiba-tiba cahaya merah menyambar lewat, sebuah tombak telah menyapu di hadapannya menangkis datangnya bacokan pedang itu.

"Dia bukan anggota Piaukiok kami!" hardik Liong Su keras- keras. "Kalian tak boleh melukainya..."

Belum selesai hardikan tersebut, darah segar telah menyembur keluar dari kaki kirinya.

Walaupun ia berhasil menangkis serangan pedang yang ditujukan ke tubuh Siau Lui, namun kaki kirinya justru telah tersambar ketajaman payung sakti milik Giam-lo San sehingga tergores mulut luka sepanjang tujuh inci. Seandainya kuda tunggangannya tidak berpengalaman dalam pertempuran, mungkin kaki itu sudah terpapas kutung.

Siau Lui menggigit bibir kencang kencang, air mata telah membuat sepasang matanya berkaca-kaca.

Sementara itu si Kampak neraka telah terjerumus dalam kepungan musuh. Melihat itu Giam-lo Kiam segera menghentakkan tubuhnya menerjang ke depan, senjatanya diayunkan ke kiri-kanan berusaha membuka sebuah jalan berdarah.

Pecut yang berada di tangan Giam-lo Pian akhirnya sudah berhasil melilit panji yang berada di atas kereta barang.

Dengan sekali hentakan, panji itu segera mencelat ke udara mengikuti gerakan pecut yang mencengkeramnya.

Jika panji perusahaan ini sampai terjatuh ke tangan orang lain, maka nama baik perusahaan boleh dibilang sudah hancur setengahnya.

Merah membara sepasang mata piausu yang sedang memburu panji tersebut, sambil berteriak keras sontak dia meluruk ke arah jatuhnya panji perusahaan tersebut. Giam-lo Pian mendengus sinis, ia getar senjatanya ke angkasa, lalu bagaikan seekor ular sanca yang besar langsung melilit ke arah tenggorokannya.

Dengan satu balikan tangan, Giam-lo Pian mencengkeram panji perusahaan itu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya membetot kuat-kuat, pecut yang telah melilit di tenggorokan piausu itu segera mengangkat seluruh tubuh korbannya ke udara kemudian membantingnya keras-keras ke tanah. Lidah yang menjulur keluar membuat mayat piausu itu nampak sangat menyeramkan.

Giam-lo Pian sama sekali tidak melirik ke arah korbannya, tanpa berhenti sekejap pun kembali dia ayunkan pecut panjang di tangan kanannya sementara matanya mengawasi panji perusa-haan yang berhasil dirampasnya di tangan kiri dengan pandangan penuh kepuasan. Senyum bangga meng- hiasi ujung bibirnya.

Merah membara sepasang mata Ouyang Ci, sambil meraung keras ia meluruk maju ke depan.

Giam-lo To tidak memberi kesempatan musuhnya berbuat sekehendak sendiri, golok setannya membabat gencar ke sekujur tubuh musuhnya, dalam waktu singkat ia telah melancarkan tujuh-delapan bacokan maut.

Pada saat itulah di tengah kilatan caha golok dan bayangan pedang tiba-tiba sesosok bayangan manusia meluruk maju ke depan dengan kecepatan tinggi, dengan sekali ayunan tangan ia cengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Giam-lo Pian.

Waktu itu Giam-lo Pian sedang merasa sangat bangga dan gembira, tangan kirinya menggenggam panji perusahaan yang berhasil direbutnya sementara tangan kanannya menggenggam senjata pecut. Mimpi pun dia tak menyangka dalam situasi seperti ini dari atas udara akan muncul serangan maut dari seorang jagoan sakti.

Belum lagi dia melihat jelas wajah musuhnya, tahu-tahu urat nadi pada pergelangan tangannya telah dicengkeram kuat-kuat, dalam kagetnya cepat-cepat tangan kirinya berputar kencang lalu dengan tombak pendek di ujung panji tersebut ia rusuk dada musuhnya.

Sayang sekali separuh badan sebelah kanannya terasa kesemutan lalu jadi kaku, gerak tangan lorinya sudah tidak selincah sebelumnya, baru saja ujung tombak panji menusuk keluar, pergelangan tangan kirinya ikut tercengkeram kuat- kuat bahkan secara tiba-tiba badannya terangkat ke tengah udara Akhirnya Siau Lui berhasil mendapatkan kesempatan emas yang dinanti-nantikan. Begitu berhasil menguasai Giam- lo Pian, ia segera menghardik keras, "Coba kalian lihat, apa yang berada di tanganku ini?"

Tio Lo-sianseng berpaling, begitu tahu apa yang terjadi, paras mukanya segera berubah hebat. Ia bersalto beberapa kali di udara dan mundur sejauh dua kaki dari medan pertarungan.

Serangan golok, pedang dan kampak hampir serentak berhenti gerakannya. Masing-masing mundur sejauh dua kaki sementara paras muka mereka bertiga pun menampilkan rasa kaget, heran dan tercengang yang tak terhingga

Siapapun tidak menyangka seorang pemuda rudin yang sama sekali tak menyolok mata ternyata memiliki kepandaian silat yang begitu hebat.

"Lepaskan dia!" bentak Tio Losianseng dengan wajah serius. "Kami akan melepaskan juga dirimu!"

"Hmm, jika aku ingin pergi dari sini, aku sudah pergi sejak tadi!" sahut Siau Lui hambar.

"Mau dilepas tidak?"

"Bila kau jadi aku, harus kulepas tidak?"

"Mau apa kau? Bila kau bebaskan dia, kami akan segera pergi dari sini, bagaimana?"

"Baik!"

Bersamaan dengan bergemanya kata "baik,"tiba-tiba ia melompat ke udara dan langsung menerjang ke arah Tio Lo- sianseng.

Sesaat Tio Lo-sianseng termangu, melihat tubuh Giam-lo Pian masih berada di cengkeraman lawan, dia tak tahu harus menyongsong kedatangannya atau lebih baik mundur dari situ.

Belum habis dia mengambil keputusan, tiba-tiba Siau Lui membalikkan badannya, dengan menggunakan tubuh Giam-lo Pian sebagai senjata, dia tusuk tubuh Giam-lo To, si lelaki berwajah kuning.

Terkesiap lelaki berwajah kuning itu, tanpa sadar dia mengangkat goloknya untuk menangkis, dia lupa senjata yang dipergunakan pihak lawan adalah saudara angkat sendiri.

Terdengar jerit kesakitan bergema memecahkan keheningan, setengah dari bahu kanan Giam-lo Pian sudah terbabat kutung oleh bacokan golok itu, darah segar segera menyembur ke udara, mengotori seluruh wajah lelaki berwajah kuning itu.

Giam-lo Tomeraung keras, tanpa perdulikan golok miliknya lagi ia segera rentangkan tangannya untuk menyambut kedatangan tubuh Giam-lo Pian seraya berseru, "Kau..."

Sepasang biji mata Giam-lo Pian sudah melotot keluar bagaikan gundu, ia melototi saudaranya dengan perasaan bercampur aduk, menangis bukan menangis, tertawa bukan tertawa...

Kembali Giam-lo Totertegun,dia hanya sanggup mengucapkan sepatah kata sementara kata ke dua tak sanggup diutarakan lagi.

Di tengah bergemanya suara jerit kesakitan tadi, Siau Lui telah melepaskan cengkeramnya atas tubuh Giam-lo Pian, kini dia menyerbu ke hadapan Giam-lo Pouw.

Waktu itu mata golok yang diayunkan lelaki berwajah kuning itu sedang menyambar bahu saudaranya hingga menyemburkan banjir darah, tampaknya Giam-lo Pouw sedang termangu saking kagetnya.

Menunggu sampai ia sadar kalau ada bayangan manusia menerjang ke hadapannya, dengan buru-buru ia mengayunkan senjata kampak untuk menghadang. Siau Lui telah menerjang masuk ke hadapannya. Sementara sikut kirinya menyodok iga lawan, tangan kanannya langsung mencengkeram pergelangan tangan Idrinya.

"Lepaskan!" bentak Giam-lo Kiam dengan wajah berubah hebat.

Kilatan cahaya pedang membelah angkasa, ujung pedangnya langsung menembus ke dalam bahu Siau Lui, dari belakang langsung tembus ke depan.

Siau Lui sama sekali tak bergeming. Bukan menghentikan serangannya, pemuda itu justru membentak keras, dalam sekali hentakan ia patahkan lengan kiri Giam-lo Pouw lalu dengan menggunakan tubuhnya sebagai senjata, ia tusuk tubuh lawan dengan badan tersebut. 

Pucat pias paras muka Giam-lo Kiam, ia berniat mencabut senjatanya lalu melancarkan tusukan kembali.

Tak disangka ternyata Siau Lui menggunakan tubuh sendiri untuk menerima tusukan pedang itu, ketika tubuhnya berputar ke kiri, otomatis pedang yang berada di tangan Giam-lo Kiam ikut berputar juga ke kiri.

Terdengar suara gesekan keras ujung pedang yang tajam itu dengan tulang bahu Siau Lui, suaranya mengerikan bagaikan sebuah golok yang sedang menggerus besi.

Bila tidak mendengar dengan telinga sendiri, siapapun tak akan menyangka kalau suara tersebut begitu menakutkan.

Giam-lo Kiam segera merasakan mulutnya jadi kecut, tangannya terasa ikut melemas. Mimpi pun dia tak percaya kalau tusukannya itu sedang menusuk seorang manusia hidup.

Siau Lui memang manusia hidup. Baru saja Giam-lo Kiam terkesiap oleh kenyataan itu, keadaan sudah terlambat.

Tiba tiba Siau Lui menggerakkan badannya mendorong ke belakang, dengan menggunakan ujung pedang yang tembus di tubuhnya ia balas menusuk tubuh lawan.

Sebenarnya hanya enam-tujuh inci mata pedang yang tembus di atas bahunya, tapi kini pedang tajam sepanjang tiga depa tujuh inci itu sudah tembus semua di atas bahunya hingga tinggal gagang pedang yang tersisa. Melihat pedang sendiri menembus habis di tubuh orang, Giam-lo Kiam justru kelihatan sangat terkesiap dan kaget.

Menyusul kemudian ia mendengar suara tulang dalam tubuhnya hancur berantakan. Ketika tubuh mereka berdua saling berdempetan, tinju Siau Lui langsung dihantamkan ke atas dadanya kuat-kuat.

Tubuhnya secara tiba-tiba seperti berubah menjadi sebuah karung goni yang sudah dituang habis isinya, dengan lemas roboh terjungkal ke atas tanah.

Pada saat yang bersamaan secara kebetulan tubuh Giam-lo Pouw juga sedang melayang turun dari tengah udara, wajah mereka berdua langsung saling berdempetan satu dengan lainnya.

Sebuah wajah berwarna putih dan sebuah wajah berwarna hitam, kini sama-sama menampilkan perasaan terkesiap, ngeri dan seram yang luar biasa.

Mimpi pun mereka tak percaya kalau di dunia ini terdapat manusia semacam ini, sampai mati pun tidak percaya.

Semua gerakannya hampir dilakukan pada saat yang bersamaan dan dalam waktu singkat... tiba-tiba semuanya terjadi dan tiba-tiba semuanya telah berakhir.

Pedang panjang itu masih tertinggal di tubuh Siau Lui, cucuran darah segar masih mengalir keluar melalui ujung pedang.

Paras muka Siau Lui kini telah mengejang kencang saking menahan rasa sakitnya, tapi tubuhnya masih tetap berdiri tegak di atas lantai, tegak bagaikan sebuah senjata tombak.

Tio Lo-sianseng berdiri termangu bagaikan arca batu, ia dibuat sangat terkesiap oleh semua peristiwa ini, begitu juga dengan Ouyang Ci, dia pun berdiri tertegun.

Yang membuat mereka terkesiap bukan kecepatannya dalam melancarkan serangan, tapi kenekatan serta keberaniannya dalam menghadapi kematian.

Sorot mata Siau Lui makin menyusut, kini sinar matanya berubah semakin menyeramkan, bagaikan dua batang paku panjang yang memancarkan sinar tajam, mengawasi wajah Tio Lo-sianseng tanpa berkedip.

"Kita sudah bicarakan baik-baik!" seru Tio Lo-sianseng dengan suara keras. "Kau lepaskan dia lebih dulu, kami segera akan pergi dari sini!"

"Sudah kulepaskan dia!"

Ia memang sudah melepaskan cengkeramannya atas diri Giam-lo Pian, kini tubuh orang tersebut bersandar dalam pangkuan lelaki berwajah kuning itu dengan darah segar masih bercucuran deras.

"Kenapa kau harus turun tangan?" kembali Tio Lo-sianseng bertanya, sepasang matanya mengawasi pemuda itu tanpa berkedip.

"Hmm, kapan aku pernah berjanji tak akan turun tangan?"

Paras muka Tio Lo-sianseng berubah dari pucat jadi menghijau, lalu dari hijau berubah jadi merah padam. Sambil menggigit bibir katanya, "Bagus, kau bagus... bagus sekali..."

"Apakah sampai sekarang kau belum ingin pergi dari sini?"

Tio Lo-sianseng memandang sekejap mayat-mayat yang bergelimpangan di atas genangan darah, lalu setelah melirik Liong Su sekejap, katanya sambil tertawa, "Aku masih bisa pergi?"

"Kalau dia mengatakan kau boleh pergi, maka kau boleh pergi. Apa pun yang dia katakan, kami semua akan patuh!" sambung Liong Su cepat, ketika mengucapkan kata-kata tersebut, sepasang matanya telah memerah, butiran air mata nyaris meleleh keluar dari balik kelopak matanya.

Tio Lo-sianseng memandang pemuda itu sekejap, tiba-tiba ia menghentakkan kakinya berulang kali dengan perasaan jengkel lalu serunya, "Baik, aku segera pergi."

"Hmm, paling bagus pergi yang jauh dari sini," sambung Siau Lui dingin, "makin jauh semakin baik!"

Tio Lo-sianseng tertunduk lesu. "Yaa, aku tahu... Makin jauh semakin baik..." Tiba-tiba dia angkat kepalanya, mengawasi Siau Lui dengan mata melotot, kemudian teriaknya, "Tapi... siapakah kau sebenarnya?"

"Aku... aku juga bermarga Liong, namaku Liong Ngo!"

Tio Lo-sianseng mendongakkan kepalanya dan menghela napas panjang.

"Liong Ngo... Nama Liong Ngo yang hebat... Liong Ngo yang hebat... jika tahu sejak dini kalau di sini ada seorang Liong Ngo, buat apa aku mesti susah susah mencari Liong Su..."

Semakin berbicara suaranya semakin rendah, tiba-tiba ia menghentakkan kakinya berulang kali kemudian baru ujarnya, "Baik, aku segera pergi, pergi ke tempat yang sangat jauh, makin jauh makin baik... jika di daerah Kanglam sudah muncul seorang Liong Ngo macam kau, mana mungkin kami punya jalan lain?"

Darah segar yang membasahi permukaan tanah belum lagi mengering, tapi pertempuran berdarah telah berakhir.

Setelah melihat Tio lo-sianseng sekalian pergi jauh dari tempat itu, Siau Lui baru mundur dengan sempoyongan, agaknya ia sudah tak sanggup menahan diri lagi.

Bagaimana pun juga dia tetap seorang manusia, manusia yang terbuat dari darah daging, bukan terbuat dari besi baja.

Cepat-cepat Liong Su membuang tombaknya ke tanah sambil tergopoh-gopoh maju memayang-nya, airmata bercucuran membasahi pipinya. Ia merasa sangat terharu dan berterima kasih atas pertolongan pemuda itu, bisiknya dengan suara gemetar, "Kau..."

Ia merasa tenggerokannya seperti tersumbat oleh benda keras, kata-kata berikut tak sanggup lagi diucapkan.

Paras muka Siau Lui telah berubah semakin pucat, kini wajahnya putih bagaikan mayat, keringat sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi jidatnya, mendadak ia berseru, "Berapa banyak hutangku kepadamu yang telah terbayar...?"

"Kau... kau tak pernah berhutang kepadaku!" "Hutang!" tukas Siau Lui sambil menggertak gigi.

Menyaksikan penderitaan hebat yang terpancar dari balik wajah anak muda itu, Liong Su menghela napas panjang.

"Aiii... sekalipun pernah berhutang, tapi kini semuanya sudah impas!"

"Baguslah kalau sudah impas!" "Kita masih bersahabat?" "Tidak!"

"Aku..." Paras muka Liong Su ikut menampilkan penderitaan yang sangat.

Tiba tiba Siau Lui menukas, "Jangan lupa kau adalah Liong Su, dan aku adalah Liong Ngo!"

Termangu Liong Su mengawasi pemuda itu, akhirnya air mata jatuh bercucuran membasahi seluruh wajahnya, tiba-tiba ia menengadah lalu tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha... Benar, kita bukan sahabat, kita adalah saudara... Saudara yang sangat baik... saudara yang sangat baik..."

Sekulum senyuman segera tersungging pula di ujung bibir Siau Lui yang semakin kesakitan, gumamnya, "Aku belum pernah punya saudara, tapi sekarang aku telah punya..."

Tiba-tiba badannya jatuh roboh, roboh persis di atas bahu Liong Su.

Ouyang Ci mengawasi mereka berdua tanpa bicara, para piausu dan kuli angkut sama-sama memandang ke arah mereka tanpa bersuara, sementara mata setiap orang terasa mulai basah, entah basah oleh air hujan? Atau basah karena air mata?

Noda darah yang membasahi permukaan tanah semakin sirna tapi air mata yang membasahi wajah belum lagi mengering. Persahabatan mereka diperoleh dari tetesan darah segar, pernahkah kau saksikan persahabatan macam ini? Ada berapa banyak sahabat macam begini yang hidup di dunia ini?

III Pedang sudah dicabut keluar, sudah tiga hari tercabut dari mulut luka. Siau Lui masih berbaring dalam keadaan tak sadarkan diri. Air matanya telah mengering begitu juga dengan cucuran darah.

Dia telah melaksanakan apa yang harus dilakukan, telah membayar hutang yang harus dibayar. Apakah dia sudah tak ingin hidup terus?

Tiga hari... betul-betul tiga hari penuh, jiwa serta raganya seakan akan hidup dalam kobaran bara api yang panas, dalam ketidaksadarannya ia meraung tiada hentinya, memanggil nama dua orang secara bergantian.

"Jian-jian... aku bersalah padamu, bagaimana pun sikapmu terhadapku, aku tak pernah akan melupakan dikau..."

"Liong Su... aku pun berhutang kepadamu... hutang ini tak pernah akan impas untuk selamanya!"

Kata-kata semacam ini diucapkannya berulang-ulang, sambung-menyambung dan entah telah diulang berapa ratus kali. Liong Su sendiripun tak tahu sudah berapa banyak ia mendengar kata-kata tersebut.

Dia selalu berjaga di sisi pembaringan, saban kali selesai mendengar ucapan itu, air matanya selalu tak tertahan untuk meleleh keluar membasahi pipinya.

Kerut di atas wajahnya nampak semakin dalam, semakin banyak, matanya telah cembung ke dalam, entah berapa banyak rambut ubannya yang telah berguguran ke tanah. Tiga hari... yaaa, selama tiga hari penuh ia tak pernah meme- jamkan matanya.

Ouyang Ci duduk di tepi pembaringan dengan tenang, entah sudah berapa banyak ia membujuk Liong Su agar mau kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

Kini dia sudah tak berniat membujuk lagi, sebab dia mengerti, tak ada lagi tenaga macam apa pun di dunia ini yang dapat menarik Liong Su meninggalkan tepi pembaringan tersebut. Sekalipun kau kutungi sepasang kakinya lalu menggotongnya pergi dari situ, selama dia masih bisa merangkak, dia akan berusaha untuk merangkak balik ke ruangan itu.

Ouyang Ci hanya bisa memandangi mereka berdua dengan perasaan kalut, dia tak tahu perasaannya kini. Sedang terharukah? Sedihkah? Atau harus gembira?

Melihat seorang yang sangat dihormati dan dikaguminya sepanjang hidup ternyata bisa berkenalan dengan seorang sahabat macam ini, dia tak tahu bagaimana harus menampilkan perasaan sendiri.

Yang satu telah terkapar dengan napas yang nyaris putus, yang lain akan bisa bertahan berapa lama lagi?

Siau Lui yang belum lama bisa tertidur tenang, tiba-tiba meronta kembali dengan kerasnya, seakan-akan ia sedang berkelahi dengan seorang iblis jahat yang tak terlihat dengan mata telanjang. Wajahnya yang pucat kini telah berubah jadi merah membara karena panas tubuhnya yang meningkat, dengan keringat dingin bercucuran teriaknya berulang-kali, "Jian-jian... Jian-jian... juga putraku... kalian ada di mana? Di mana...?"

Dia seperti ingin meronta dan meloncat bangun lalu menenang keluar dari situ.

Sambil menggertak gigi Liong Su berusaha mencegahnya, dia harus menggunakan segenap tenaga yang dimilikinya untuk menahan agar pemuda itu tidak meronta bangun.

Mendadak Siau Lui membuka matanya, garis-garis merah darah kelihatan menyelimuti sepasang matanya, sambil meraung keras teriaknya, "Lepaskan aku... aku harus pergi mencari mereka..."

"Berbaringlah dulu..." bujuk Liong Su masih menggigit bibir. "Aku akan membantumu untuk menemukan mereka. Aku pasti berhasil menemukan mereka!"

"Siapa kau?" teriak Siau Lui dengan mata melotot. "Aku adalah Liong Su, kau Liong Ngo, masa kau sudah

lupa?" Lama sekali Siau Lui melotot besar, akhirnya dia seperti sudah mengenali kembali orang di hadapannya, gumamnya:, "Yaaa, betul... kau adalah Liong Su... aku adalah Liong Ngo... aku masih berhutang kepadamu, mau dibayar juga tak pernah bisa lunas!"

Perlahan-lahan dia pejamkan kembali matanya, tampaknya pemuda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.

Liong Su mendongakkan kepalanya sambil menghela napas panjang, sambil menjatuhkan diri ke atas bangku, air matanya kembali jatuh bercucuran.

Ouyang Ci tak sanggup menahan diri lagi, dia ikut menghela napas panjang, ujarnya sedih, "Perkataanmu tak salah, dalam hati kecilnya memang tersimpan banyak sekali kepahitan dan kegetiran yang tak mungkin diucapkan dengan perkataan, aku kuatir... aku kuatir..."

"Kuatir apa?" potong Liong Su sambil mengepal tinnjunya. "Bila dia sendiri sudah segan hidup terus, aku kuatir tak

seorang pun di dunia ini yang dapat selamatkan jiwanya lagi!" "Dia pasti dapat hidup terus.. dia pasti dapat hidup terus..."

teriak liong Su dengan nada keras. "Ia tak boleh mati..." Ouyang Ci menghela napas sedih.

"Ketika kau telah melakukan banyak pekerjaan baginya, dia bahkan pergi tanpa mengucapkan sedikit rasa terima kasih pun, tapi ketika kau menghadapi ancaman bahaya, kau paksa dia pergi pun dia malah bersikeras tetap tinggal... Aaai, sahabat semacam ini sudah tak banyak lagi di dunia ini, dia memang tak boleh mati. Cuma saja..."

"Cuma saja kenapa?"

"Kini darah yang beredar dalam tubuhnya sudah menipis, daya tahannya juga telah mengering, mungkin hanya satu orang yang dapat menolongnya saat ini."

"Siapa?"

"Jian-jian!"

Liong Su segera mencengkeram tangannya kencang kencang, serunya, "Kau... kau tahu siapakah orang itu? Kau bisa menemukan dia?" Sambil menghela napas kembali Ouyang Ci menggeleng.

Liong Su melepaskan tangannya, wajahnya semakin murung, bisiknya sedih, "Bila kita gagal menemukan Jian-jian, masa dia..."

Tiba-tiba perkataannya terhenti di tengah jalan, bibirnya terkatup rapat namun dari ujung bibir nampak setetes darah segar mengalir keluar.

"Kau..." teriak Ouyang Ci terperanjat.

Liong Su mengayunkan tangannya memotong pembicaraan yang belum selesai itu. la menunjuk ke arah Siau Lui yang berbaring di atas ranjang itu, lalu menggelengkan kepalanya berulang kali.

Pada saat itulah terdengar seseorang berkata dengan suara dingin, "Jian-jian bukan seorang tabib kenamaan yang begitu luar biasa, sekalipun tak berhasil menemukan dia, masih ada satu orang yang dapat menyembuhkan manusia she Lui ini!"

"Siapa?" belum sempat Liong Su memandang wajah orang itu, ia telah berseru keras.

"Aku!"

Tempat itu sebenarnya merupakan paviliun dari rumah penginapan itu, pintu kamar berada dalam keadaan tertutup.

Kini pintu ruangan telah terbuka, seseorang berdiri di depan pintu, ia mengenakan gaun panjang yang terurai hingga ke lantai, bajunya berwarna putih bersih bagaikan salju, wajahnya mengenakan sebuah cadar tipis, ternyata orang itu adalah seorang gadis muda belia.

Apakah dia adalah gadis tercantik di dunia ini? Atau bidadari dari kahyangan? Termangu Liong Su mengawasinya kemudian perlahan-lahan bangkit berdiri.

"Siapa kau?" hardik Ouyang Ci cepat.

"Seseorang yang ingin menolong seseorang," jawab Ting Jan-coat singkat.

"Kau dapat menyembuhkan dia?"

"Kalau tidak, buat apa aku datang kemari?" Rasa girang segera terbersit di wajah Liong Su, serunya tak tahan, "Nona, jika kau benar-benar bisa menyembuhkan lukanya, aku Liong Su..."

"Kenapa?" tukas Ting Jan-coat hambar, "mau menghadiahkan sepuluh ribu tahil perak untukku?" Setelah mendengus dingin, lanjutnya, "Bukankah dalam pandanganmu menolong selembar nyawa dan membunuh satu nyawa, nilainya sama saja?"

Berubah paras muka Liong Su, sahutnya sambil tertawa getir, "Asal nona berhasil menyembuhkan lukanya, sekalipun aku Liong Su harus melelang segenap harta kekayaan yang kumilikipun,aku tak pernah akan menyesal!"

“Sungguh?"

'Sedikitpun tak bohong!"

"Tampaknya kau Liong Su memang tak malu menjadi sahabat karibnya” ujar Ting Jan-coat hambar. "Cuma sayang sedikit harta kekayaan yang kau miliki itu masih belum berharga untuk kulihat"

"Apa yang nona kehendaki? Selembar nyawaku, Liong Su ini?"

"Hmmm, selembar nyawa tua bangkotan macam kau laku berapa tahil saja?" dengus Ting Jan-coat sambil tertawa dingin.

"Jadi apa yang nona kehendaki?" seru Ouyang Ci dengan otot pada menonjol keluar dari wajahnya.

"Katakan saja nona!" ujar Liong Su pula.

"Serahkan orang she Lui itu biar kubawa pergi. Kau tak boleh tanya banyak dengan cara apa kusembuhkan dirinya."

"Kau... kau hendakmembawanya ke mana?" tanya Liong Su dengan wajah berubah hebat.

"Itu urusanku!"

Liong Su mundur berapa langkah dengan sempoyongan lalu jatuh terduduk di bangku, paras mukanya berubah semakin gelap dan sedih.

Dengan pandangan dingin Ting Joan coat mengawasinya sekejap, kemudian katanya lagi, ”Mau setuju boleh tidak setujupun tak apa. Toh urusan ini tak ada sangkut pautnya denganku. Tapi  aku perlu beritahu, kini hawa darah orang she Lui itu semakin mengering, jiwanya sudah berada di ujung tanduk. Biarpun kau berhasil menemukan seorang tabib kenamaan yang hebat pun, belum tentu ia mampu menyembuhkan orang ini."

"Nona, siapa namamu?" tanya Liong Su setelah termenung sejenak

"Aku dari marga Ting!" "Nama lengkapmu?"

'Pokoknya aku bukan bernama Jian-jian!" tukas Ting Jan- coat sambil tertawa dingin,

Kembali Liong Su angkat kepalanya mengawasi gadis itu lekat-lekat, kemudian ujarnya,

"Nona Ting, kelihatannya kau tahu tentang persoalan yang menyangkut saudaraku ini?"

"Termasuk urusanmu pun aku tahu banyak!"

Liong Su tertawa paksa, tanyanya lagi, "Apakah nona kenal dia?"

"Aku juga kenal dengan dirimu, kau bernama Liong Kong." "Nona, apakah antara kau dengannya punya... punya

perselisihan?" hardik Liong Su tiba-tiba dengan mata memancarkan sinar tajam.

"Kau anggap aku punya dendam dengannya, maka sengaja menipumu agar gampang memberesi nyawanya?" Ting jan- coat balas menghardik dengan mata melotot.

"Aku..."

Ting Jan-coat tertawa dingin.

"Seandainya aku pingin memberesi jiwanya, setiap waktu setiap saat bisa kulakukan dengan sangat mudah, buat apa aku mesti bersusah payah membawanya pergi? Apalagi dia toh sudah hampir mampus, buat apa aku mesti bersusah payah turun tangan sendiri?"

Liong Su menoleh, memandang kembali wajah Siau Lui yang masih tak sadarkan diri, kemudian batuk-batuk perlahan. "Sekali lagi aku mau bertanya," kembali Ting Jan-coat berkata, "sebetulnya kau setuju tidak? Bila tak setuju, aku akan segera angkat kaki dari sini."

"Kalau begitu silahkan nona pergi dari sini," ujar Liong Su sambil menghela napas.

Berubah paras muka Ting Jan-coat mendengar perkataan itu, serunya, "Kau suruh aku pergi? Kau lebih suka melihat dia menunggu mampus di sini?"

"Aku sama sekali tak kenal nona, sebaliknya dia adalah saudaraku, mana mungkin aku boleh menyerahkan dia ke tangan seorang asing?"

"Baiklah" kata Ting Jan-coat sambil tertawa dingin, "kalau begitu lebih baik mulailah bersiap-siap menyediakan semua keperluan akhirnya."

Begitu selesai berkata, tanpa berpaling ia segera pergi me- ninggalkan tempat itu.

Liong Su mengepal tinjunya kencang kencang, menunggu gadis itu sudah melangkah pergi sejauh enam-tujuh langkah, tiba tiba teriaknya keras, "Nona, harap tunggu sebentar!"

"Aku tak punya waktu menunggu!"

Walaupun ia menjawab begitu, namun langkah kakinya segera berhenti.

"Nona, apakah kau baru mau menolongnya bila boleh membawanya pergi dari sini?" tanya Liong Su.

"Sedari tadi aku toh sudah menerangkan sejelas-jelasnya" jawab Ting Jan-coat tanpa berpaling.

Mengawasi bayangan punggungnya itu tiba-tiba Liong Su mengerdipkan matanya ke arah Ouyang Ci memberi tanda, dua orang itu sudah tiga puluhan tahun bertempur bersama, perasaan batin mereka sudah saling berhubungan. Dalam waktu yang hampir bersamaan kedua orang itu segera menyerbu ke depan.

Ouyang Ci dengan kelima jari tangannya yang tajam bagai cakar elang secepat sambaran kilat mengancam bahu kiri gadis tersebut. Serangan dari Liong Su tak kalah cepatnya, dengan satu gerakan secepat kilat ia totok jalan darah "sin-tong," "thian- cong," serta "hun-bun" di tubuh si nona.

Ting Jan-coat memang sangat lihay, belakang punggungnya seolah-olah tumbuh sepasang mata yang tajam, belum lagi ancaman itu tiba, ia sudah kebaskan ujung bajunya sembari melejit ke udara dan meluncur melalui atas kepala kedua orang itu, lalu dengan satu gerakan yang sangat ringan melayang turun persis di ujung ranjang di mana Siau Lui berbaring.

Gagal dengan serangan pertamanya Liong Su segera membalikkan tubuh seraya menerjang kembali ke depan.

Ting Jan-coat mendengus dingin, sambil mengancam jalan darah "thian-to" yang berada di tenggorokan Siau Lui, dia berkata ketus, "Bukankah sangat mudah bagiku kini untuk menghabisi nyawanya?"

Pucat pias wajah Liong Su setelah melihat ancaman tersebut, ia tak mampu berkata apa-apa lagi.

Sambil tertawa dingin kembali Ting Jan-coat berkata, "Hanya mengandalkan kemampuan kalian berdua sudah ingin memaksaku untuk menyembuhkan dia? Hmmm, kalian sedang bermimpi di siang hari bolong!"

Habis berkata, kembali dia meluncur keluar dari pintu ruanga n.

Paras muka Liong Su sebentar memucat sebentar menghijau, tiba-tiba serunya keras, 'Nona, tunggu sebentar!"

Kali ini Ting Jan-coat sama sekali tidak menggubris, menoleh pun tidak.

Buru buru Liong Su menyusul keluar dari ruang kamar, teriaknya, "Nona, jangan pergi dulu! Baiklah, silahkannona membawanya pergi."

Kali ini Ting Jan-coat memberikan reaksinya, ia berhenti sambil membalikkan tubuhnya, setelah tertawa dingin ia berkata, "Hmmm, semestinya kalian harus ijinkan sedari tadi."

Di luar pintu rumah penginapan berhenti sebuah kereta kuda yang kelihatan sangat mewah. Seorang nona kecil berkuncir panjang telah membukakan pintu kereta bagi mereka.

Liong Su membopong sendiri tubuh Siau Lui dan membaringkannya ke dalam ruang kereta, ia merasa tubuh Siau Lui yang semula panas menyengat kini telah berubah jadi dingin membeku.

Ia membaringkan tubuh yang dingin kaku itu dengan perlahan dan sangat berhati-hati, lalu digenggamnya sepasang tangan yang dingin itu erat-erat, lama sekali belum juga dia lepaskan genggaman itu.

"kau masih kuatir membiarkan aku membawanya pergi?" tiba-tiba Ting Jan-coat menegur.

Liong Su menghela napas panjang, Akhirnya dia lepaskan genggaman tersebut, setelah membalikkan tubuh katanya, "Nona... Nona Ting..."

"Kalau ingin bicara, cepat katakan!"

"Aku... aku serahkan saudara¬ku ini kepada nona."

Menyaksikan paras muka Liong Su yang nampak begitu risau bercampur duka, sekilas perasaan haru timbul dalam hati kecil Ting jan-coat, sepasang matanya terasa agak membasah, tapi sambil menggigit bibir segera katanya, "Jangan kuatir, aku tak akan menyusahkan dia, asal luka yang dideritanya telah membaik, kalian pasti dapat berjumpa kembali."

"Terima kasih nona..."

Suaranya terputus karena menahan sesenggukan, setelah menghembuskan napas panjang ia baru melanjutkan, "Aku tinggal di ibu-kota, distrik Thiat-say-cu Oh-tong. Tolong nona sampaikan alamat ini kepada saudaraku, suruh dia..."

"Aku tahu, pasti akan kusuruh dia pergi mencarimu." "Aku ingin titip sebuah benda, harap nona sampaikan

kepada saudaraku ini bila ia telah sembuh nanti." "Barang apa?"

Liong Su membalikkan badan sambil memberi tanda, seorang piausu segera muncul sambil menuntun seekor kuda tinggi besar yang berbulu hitam mengkilat.

"Kuda bagus!" tak tahan Ting Jan-coat berseru memuji. Liong Su tertawa paksa, katanya, "Hanya seorang enghiong macam saudaraku ini yang pantas menunggang kuda sebagus ini."

Kini, nada suara Ting Jan-coat juga telah berubah makin lunak dan halus, tanyanya, "Ooh, jadi kau sengaja memberinya seekor kuda bagus agar dia lebih cepat datang menjengukmu?"

"Dia lebih memerlukan kuda itu ketimbang aku, karena dia masih harus pergi mencari..."

Mendadak dia menghentikan perkataannya karena lamat- lamat ia sudah dapat merasakan kalau nona Ting ini rasanya tidak terlalu suka orang lain menyinggung nama "Jian-jian" di hadapannya.

Benar juga, nada suara Tingjan-coat segera berubah kembali jadi ketus, dingin dan kaku, katanya, "Aku membantuny menyembuhkan luka tersebut karena itu kesenanganku. Asal dia sudah sembuh, mau pergi mencari siapa pun bukan urusanku!"

Liong Su manggut-manggut, ia segera menjura dalam dalam memberi hormat, katanya, "Kalau begitu... kuserahkan saudaraku ini kepada nona."

Dia mengulangi kembali perkataan itu saru kali, setiap kata diucapkan dengan nada suara yang begitu berat dan tegas, kemudian setelah membalikkan tubuh, tanpa berpaling lagi dia berjalan masuk ke dalam rumah penginapan.

Tiba tiba terdengar kuda hitam itu meringkik panjang, suara ringkikan itu amat memilukan hati, seolah-olah dia tahu bakal berpisah dengan majikannya.

Liong Su tidak berpaling, tidak melihat lagi, sementara dua deret air mata telah jatuh berlinang membasahi pipinya...

Siau Lui berbaring lemah di dalam ruang kereta, bahkan napasnya pun mulai melemah.

Si nona kecil yang berkuncir panjang itu sedang mengawaai pemuda tersebut dengan matanya yang besar, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa, "Apakah orang ini mempunyai wajah asli yang tampan?" Ting Jan-coat bersandar kemalas-malasan di sudut kereta. ia sedang memandang ke luar jendela dengan pandangan kosong, entah apa yang sedang ia pikirkan.

Sampai lama kemudian ia baru mengangguk. "Ya, dia memang berwajah sangat menarik!"

"Tapi luka yang dideritanya sangat parah," kata nona kecil itu lagi sambil mengerutkan dahi. "Selama hidup, belum pernah kulihat ada orang yang menderita luka sebanyak ini."

"Ini dikarenakan ia selalu senang beradu jiwa demi oiang lain."

"Kenapa? Apa enaknya beradu jiwa? Kenapa dia begitu suka beradu jiwa?"

Ting Jan-coat menghela napas panjang.

"Mungkin hanya setan yang tahu kenapa dia begitu," sahutnya.

"Nona, kau benar-benar yakin bisa sembuhkan lukanya itu?" tiba-tiba nona kecil itu bertanya lagi dengan lirih.

"Tidak!"

Nona kecil itu terbelalak matanya lebar-lebar, serunya, "Apakah luka yang dideritanya itu masih ada harapan untuk disembuhkan?"

"Tidak"

"Kalau tak ada harapan lagi, kenapa nona membawanya pulang?" tanya si nona dengan wajah mulai memucat.

Tiba-tiba cadar yang menutupi wajah Ting Jan-coat bergetar keras, lewat lama kemudian keadaan baru mereda kembali.

Suasana kembali tercekam dalam keheningan, sampai lama, lama sekali, dia baru berkata pelan sepatah kata demi sepatah

"Karena aku ingin melihatnya mati!" "Melihatnya mati?"

Dengan tangan sebelah dia genggam ujung baju sendiri kencang-kencang, begitu kencang genggamannya hingga kuku jarinya pada memutih, bahkan mulai gemetar keras. Dengansuara yang ikut gemetar pula dia berkata, "Karena aku tak rela membiarkan dia mati dalam pelukan orang lain. Jika harus mati, dia harus mati di hadapanku!"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar