Wanita iblis Jilid 44

Jilid 44

MEMANG setelah mengerahkan tenaga  dalam untuk menya mbut. Siu- lam dapat bertahan sela ma setengah ja m. Tetapi dia telah menghabis seluruh tenaga sehingga tubuhnya letih sekali dan akhirnya runtuhlah pertahanannya. Ia tak kuasa menahan seluruh hawa panas yang menyusup kedalam ubun-ubun kepalanya. seketika ia rasakan seperti dilempar kedalam kawah api. Daging dan tulang belulangnya seperti di bakar….

Entah keadaan itu berselang berapa la ma, keadaan sadar tak sadar, Siu-lam me mbuka mata. Dilihatnya Kak Bong taysu duduk bersila, meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya. Kepala menyandar pada dinding karang dan tertidur pulas.

Siu-la m mengge liat, ia rasakan sakit pada tubuhnya sudah hilang. Ia menghela napas, lalu me manggil, “Lo- cianpwe….”

Kedengaran Kak Bong menyahut dengan suara lemah “Nak, lekas engkau salurkan napas, Aku letih sekali, hendak beristirahat. Dalam dua belas jam jangan diganggu!”

Tercengang hati Siu-la m melihat keadaan paderi itu. Bayang bayang ketakutan mencengkam perasaannya.  Ia kuatir Kak Bong taysu akan menga la mi nasib serupa dengan Kak Hui tadi.

“Nak, lekas salurkan pernapasanmu,  jangan mengecewakan harapanku,” ke mbali Kak  Bong taysu berseru le mah.

Siu-la m terkejut, Buru buru ia melakukan perintah paderi itu. setiap kali terbangun dari mela kukan penyaluran darah, ia rasakan dari perutnya selalu mengha mbur hawa  hangat keatas .Tubuhnya terasa terbang dihembus oleh hawa panas itu.

sejak belajar ilmu tenaga dalam baru pertama kali itu ia menga la mi perasaan seperti begitu. Diam diam ia gelisah tetapi beberapa kali hendak me mbuka mulut bertanya kepada Kak Bong, ia selalu me nahan diri. Dengan susah payah dua belas jam telah lewat. Kak Bong taysupun sudah terjaga. sepasang matanya me mancar sinar dingin yang menyeramkan se mangatnya sudah gegar kembali, tegak berdiri dihadapannya jenasah sutenya-Kat Hui taysu ia berkata dengan tegas “Mengasohlah dengan tentra m. Akan kulakukan segala pesanmu. Kepandaianku sela ma tiga puluh tahun la manya akan kuberikan kepadanya!”

Siu-la m berlinang linang air mata. Hatinya berat sekali meninggalkan Kak Hui taysu yang sudah menjadi almarhum itu.

Kak Bong taysu berpaling, ujarnya dengan berat “Nak, ambillah batu batu gunung. Guha ini hendak kututup!”

Siu-la m cepat me lakukan perintah itu. Guha yang berisi jenasah paderi Kak Hui, telah ditutup dengan batu.

Kak Bong taysu menghe la napas, ujarnya, “Mari kita tinggalkan tempat ini! ”

Siu-la m terkesiap. Ia heran hendak ke mana paderi itu. Bukankah te mpat disitu merupakan dasar le mbah yang buntu?

Rupanya Kak Bong dapat me mbaca is i hati Siu- la m. Ia tertawa hambar, “Kita menuju ke te mpat Lam koay dan Pak koay dipenjara dahulu. Di sana tentu masih tersedia makan. Ah, kira pengasingan diri sela ma tiga puluh  tahun yang kulakukan, ternyata akan menghadapi peristiwa yang begini. selama tiga puluh tahun itu aku hanya hidup dengan berpuluh ribu kacang yang kubawa sebagai persediaan makanan. Tetapi saat ini engkau mas ih belum dapat menyelami ilmu berse medi perguruanku. Jika tak makan engkau tentu tak tahan!”

Siu-la m mengikuti dibelakang paderi itu menuju ketempat penjara Lam koay dan Pak- koay. Ternyata disitu terdapat sebuah sumber air yang mengalir dari puncak gunung. Tiap tiga hari sekali, aliran itu tentu me mbawa sebakul ma kanan. “Dari manakah ma kanan ini? Apakah para paderi siau lim si yang mengirim?” tanya Siu- la m,

Kak  Bong  gelengkan  kepala,  “Dahulu  ketika   suheng me menjarakan Lam koay dan Pak koay disini, kese muanya itu telah diatur dengan baik. Anak murid gereja tak mengetahui hal ini!”

Tepat sekali setengah tahun telah berlalu siang mala m Siu- lam giat berlatih dengan sungguh-sungguh. Kak Bong taysupun dengan hati-hati sekali menurunkan kepandaiannya. Dalam waktu setengah tahun saja, Siu-la m telah me mperoleh semua kepandaian paderi sakti itu.

“Engkau sedan me ndapat seluruh kepandaianku.” kata Kak Bong tayju, “Sela ma beratus-ratus tahun ini. murid siau lim si yang me miliki kepandaian seperti engkau, hanya satu dua orang saja. Jika engkau menurut petunjuk petunjuk yang telah kuberikan dan giat berlatih, kelak pasti engkau merupakan toknh persilatan  yang  tiada  tandingannya.  Mungkin  yang ma mpu me nandingi engkau, hanya satu dua orang tokoh. Apalagi aku sudah tak me mpunyai simpanan pelajaran yang dapat kuturunkan kepada mu lagi.”

“Engkaupuc harus beristirahat. setelah hari gelap, keluarlah dari terowongan yang menembus keruang perpustakaan gereja!” kata paderi Kak Bong pula.

Teringat akan keadaan Hian song dan Ciu Hui ing, Siu- lam ingin segera keluar dari te mpat. Ia mengia kan saja.

selekas mala m tiba, Kak Bong taysu segera me mbangunkan Siu-la m. “Nah, tibahlah sudah saatnya engkau harus pergi!”

Siu-la m mengucur kan air mata.  Dengan  serta  merta  ia me mber i tiga kali hor mat kepada paderi itu, “Kuharap locianpwe selalu diberkahi kesela matan, sela mat tinggal locianpwe, sa mpai berjumpa pula….” Tiba tiba ia teringat, katanya, “Seorang lo cianpwe telah menyerahkan sebuah sarang berisi tawon raksasa. sarang tawon itu kutinggalkan di dalam le mbah. Entah  apabila  aku ke mbali lagi dalam setengah tahun, apakah tawon tawon itu masih hidup. Ah, aku sudah berjanji kepada lo-cianpwe itu untuk merawat tawon tawon peliharaannya dengan baik….”

“Janji adalah suatu kehor matan,” Kak Bong mengangguk, “jangan kuatir, pergilah!”

“Entah kapankah aku dapat berhadapan muka lagi dengan locianpwe yang telah me lepas budi sedalam lautan kepadaku?” kata Siu-la m dengan hati rawan.

Tetapi Kak Bong taysu sudah pejamkan  mata dan sandarkan kepala pada dinding guha, Dia tak ma u me layani pembicaraan Siu- lam lagi.

Pemuda itupun tak berani mengganggu lagi.  Dengan pelahan ia tinggalkan ka mar batu itu. Air matanya bercucuran, setiap langkah ia berpaling dan me mberi hor mat kepada Kak Bong taysu.

Tetapi dia tak mau menyusup terowongan yang dapat mencapai keka mar perpustakaan. Melainkan menga mbil jalan yang ia gunakan se mula-saat itu t ibalah ia ditengah le mbah yang penuh dengan batu batu karang runcing. Tampak sarang tawon itu masih berada dite mpat semula. Kawanan tawon mendengung dengung me mbisingkan telinga.

Benar benar hati Siu- lam tak tega meningga lkan tawon itu selama setengah tahun. Beratlah perasaan Raja tawon  Nyo Ko. Tetapi setelah memeriksa tempat dan keadaan sarang Bok liong iiu, ia anggap tiada halangan kalau  ditinggal  disitu sampai setengah tahun la manya.

Kemudian ia naik keatas dengan gunakan akar rotan yang bergelantungan kedalam le mbah setelah berada diatas, ternyata saat itu hari masih fajar. sejenak ia bersuit nyaring Untuk melonggarkan kesesakan dadanya. setelah itu ia lanjutkan perjalanan lagi.

selama  setengah  tahun   berada   dalam   guha   dibawah le mbah, banyaklah sudah perobahan yang terjadi didunia persilatan  setelah  menimang  beberapa  saat,  akhirnya  ia me mutus kan untuk menuju kegunung Beng gak. Ia  hendak me mbebaskan kawanan tokoh tokoh yang diperbudak ketua Bung gak. Untuk me nghindari ke mungkinan yang tak diinginkan, ia menga mbil jalan sepi dan mene mpuh perjalanan siang mala m.

Hari itu tibalah dikota Yan ciu yang terletak di perbatasan shoatang. Yan ciu sebuah kota dagang yang ramai. Karena  hari itu sudah petang, Siu-la m me mpercepat langkahnya agar lekas masuk kedalam kota.

Tetapi setelah masuk kedalam kota itu, ia merasakan suatu suasana yang lain dari biasa. Banyak penanggung kuda dan tokoh tokoh persilatan bermunculan dalam kota. Diam diam ia me mperhatikan orang orang itu.

Tiba-tiba ia melihat sebuah kereta mencongklang laju dari sampingnya. Karena itu tertutup tenda hitam yang rapat. Bahkan saisnya pun mengenakan kain kerudung menutup mukanya, me maka i topi sutera putih.

Dibelakang kereta diir ingi seorang penunggang kuda. Kereta dan pengawal itu laju sekali larinya sehingga menimbulkan deru angin yang keras.

Penunggang kuda seorang pe muda berpakaian indah. Tetapi anehnya, penunggang kuda itu merebahkan badannya diatas punggung kudanya. Dan lebih terkejut lagi Siu-la m ketika ia merasa seperti kenal pe muda itu.

Yan ciu tak jauh dari gunung Beng gak. Ke munculan tokoh tokoh persilatan dikota itu tentu me mpunyai bubungan dengan Beng gak. Tengah ia merenung tiba-tiba ia dikejutkan Oleh sebatang galah ba mbu yang menjulur ke-arahnya dan suara bentakkan orang, “Minggirlah!”

Terpaksa Siu- lam mundur selangkah. Ketika berpaling ternyata empat Orang lelaki dengan mencekal galah ba mbu tengah mengha lau orang orang sutera putih tengah duduk diatas dua buah galah yang digotong oleh dua orang lelaki.

Dara itu cantik sekali. Rambutnya yang hitam legam terurai lepas kebahunya. sepasang matanya yang indah tengah merentang lebar tak berkedip kedip. Tenang sekali tampaknya dara itu. sama sekali ia tak mengacuhkan orang orang yang terkesiap me mandangnya.

Siu-la m kerutkan dahi. Ia anggap nona itu me mang sengaja me ma merkan kecantikannya agar untuk menarik perhatian orang

Tetapi ketika mengawasi dengan seksa ma, ia terkejut dan dia m-dia m menghe la napas. Ternyata gadis jelita yang berada diatas tandu bambu itu sudah tak bernyawa lagi.

Marahlah Siu-la m terhadap kee mpat pengawal yang mengha lau orang Orang disepanjang jalan itu. Tetapi untunglah ia dapat menguasai ke marahannya, karena teringat sesuatu hal. Bahwa bagi seorang yang tinggi  tenaga dalamnya, memang bukan mustahil untuk menutup pernapasannya. Ah, lebih baik kita menunggu perke mbangan seianjutnya. Dan segera ia menyusul ro mbo ngan tandu itu.

Mereka berhenti disebuah hotel besar. Ke e mpat pengawal itu lintangkan tongkatnya untuk me magari orang orang yang hendak   melihat.   Ke   dua   penggotong   tandu,    setelah me lepaskan ba mbu pe mikul lalu mengangkat kursi dengan sijelila kedalam hotel-

“Sungguh Cantik sekali?” terdengar hiruk pikuk orang orang yang menyaksikan nona itu. se mentara Siu-la m menyusup diantara orang banyak dan ikut masuk kedalam hotel. “Hai, penge mis apa mata mu buta?” bentak salah seorang pengawal sa mbil lintangkan ba mbunya.

Siu-la m tertawa tawar, “Aku hendak menyewa hotel, harap saudara menyingkir.”

seorang pengawal disebelah kiri, me lihat pakaian Siu- lam kumal- kumal lesi, tertawa mengejek, “Huh, orang semaca m kau hendak menyewa hotel mewah ini?”

sambil me mberesi ra mbutnya yang kuma l Siu-la m tertawa, “Jangan menaksir orang hanya dari pakaiannya saja. Yang adalah isi kantong nya. Asal kuat membayar,  kau boleh. Apalagi saudara pengurus hotel ini, perlu apa ikut campur urusan tamu?”

Pengawal itu terlongong. Kemudian me mbentak marah, “Orang je mbel me ma ng banyak tingkah! Kalau tuanmu tak mengizinkan kau masuk kebotel ini kau mau apa?”

Siu-la m kerutkan dahi. Ketika tangannya hendak bergerak, tiba-tiba ia tahan ke marahannya lagi. Katanya, “Aku sudah berjanji pada seorang kawan untuk bertemu di hotel ini. Harap saudara jangan mengganggu diriku.” sekali bergerak, tahu- tahu Siu-la m sudah menyelinap di tengah dua orang pengawal.

“Penge mis busuk, mau minta gebuk!” pengawal diaebelah kiri terus menerka m. Tetapi ia me longo karena terka mannya luput. Siu- lam sudah ha mpir masuk kepintu botel.

“Hai, berhenti kau penge mis!” mas ih pengkawal itu tak menyadari gerakan Siu- lam yang luar biasa itu. Ia masih ngotot mengejar.

Tiba-tiba terdengar bentak perlahan dari seseorang. “Minggir!” tahu-tahu pengawal itu mengaduh dan berjongkok.

seorang pemuda berbaju biru, melangkah masuk. Pakaiannya   indah,   menyanggul   pedang    dan    dengan me mbus ungkan dada melangkah kedalam hotel. Mendengar ribut-ribut itu, Siu- lam berpaling. Ketika melihat pemuda baju biru itu, buru buru ia berpaling dan duduk di sudut. Ternyata pemuda baju biru adalah Kat Hong. Siu-la m kuatir pe muda itu akan mengenalinya. Di te mpat dan saat seperti itu, ia tak mau mengunjuk diri.

Melibat Kat Hong terus menuju kedalam ruang sebelah belakang, tentulah sebelumnya pe muda itu me ma ng sudah tinggal di hotel itu.

Pengawal yang jatuh terduduk tadipun berbangkit lalu bersama ketiga kawannya masuk kedalam hotel. Siu-la m buru- buru bersembunyi di bawah meja. Kee mpat pengiWal itupun menuju ke bagian belakang,

Diruang muka hanya terdapat tiga empat tetamu. sa mpai setengah hari duduk disitu, belum juga Siu-la m di tegur oleh jongos hotel. Rupanya hotel itu tak ada yang mengurus i lagi.

Diam diam Siu- lam me mperhatikan kee mpat orang yang duduk di ruang muka itu. Mereka duduk berdiam diri. Kemudian me mandang Kearah dala m, di balik pintu bundar, seperu terdapat sebuah halaman luas penuh oleh ruangan ruangan.

segera Siu-lam berbangkit hendak masuk.  Tiba-tiba seorang jongos mengha mpir i dia menegurnya, “Apakah engkau hendak pesan makanan?”

Siu-la m menunduk me mandang pakaiannya yang kuma l, tertawa, “Ya, sediakan arak bagus dan empat  maca m hidangannya.”

setelah jongos pergi, Siu-la m anggap te mpat disitu lebih sesuai. Ia dapat mengetahui setiap ta mu yang masuk dan keluar. setengah jam kemudian baru jongos itu  muncul dengan me mbawa hidangan yang di pesan.

“Hai, bung, nampa knya engkau ada kesulitan?” tegur Siu- la m. Jongos itu menyahut jemu, “Sudahlah, cepatlah makan dan lanjutkan perjalananmu. Orang desa jangan banyak campur urusan orang la in!”

Tiba tiba jongos itu terkejut karena mendengar bunyi mendengung-dengung dari sarang tawon Bok liong yang di bawa Siu- lam itu.

“Hai barang apa yang mendengung dengung itu?” seru si jongos seraya melangkah pergi.

Me mang asal sarang itu di tutup dengan kain hita m, tawon tawon itu tak berani terbang keluar.  Mungkin  karena  terlalu la ma dikerudungi kain hitam itu ma ka tawon tawon itupun berbunyi ribut r ibut. Tetapi setelah Siu-la m menepuk sarang itu, suara mendengung itupun berhenti.

Tiba tiba seorang tua berambut putih dan bertongkat sebatang bambu, melangkah masuk. Siu- lam terkesiap.

“Bukankah dia tabib sakti Gan Leng Poh? Bersa ma si nona baju merah, dia telah ditutuk ja lan darahnya oleh Ban Thian seng dan ditawan dalam guha. Mengapa sekarang dia muncul?”

Tabib itupun duduk di kursi kosong sebelah  samping tempat Siu- la m. Buru- buru Siu- lam merangkum abu terus di lunturkan pada mukanya  sendiri. sehingga dari seorang pemuda cakap dan gagah, saat itu Siu-lam berubah seperti orang gelandangan.

“Hat, bung, minta arak!” seru Gan Leng poh kepada seorang jongos. Tidak berapa la ma jongos me mbawakan arak dan sayur.

sambil meneguk arak, tiba tiba Gan Leng-poh melirik ke arah Siu-la m. Siu-la m terkesiap tetapi cepat tenangkan diri.

Tiba tiba terdengar suara tertawa dingin serta kata kata yang di ucapkan dengan nada lantang, “Ah, kiranya Gan lo cianpwe juga datang?” Ketika berpaling, Siu- lam dapatkan orang yang berseru itu bukan lain adalah Kat Hui.

sambil tekan Cawan araknya, Gan Leng poh tertawa dingin, “Huh, kalau engkau bisa datang apakah engkau kira aku tak ma mpu datang?”

“Apakah lo-cianpwe seorang diri saja?” tanya Kat Hui seraya mengambil te mpat duduk dihadapan Gan leng-poh.

“Huh, apakah engkau hendak menyelidiki diriku?” sahut Gan Leng poh dengan sinis.

Diam diam Siu- lam geli me lihat tingkah laku tabib yang masih sok congkak itu.

Kat Hui kerutkan alis. Ia hendak mengha mbur ke marahan tetapi tak jadi. sambil berbangkit, ia berkata tawar, “Dengan itikad baik aku bertanya malah kau jawab dengan sinis.”

Gan Leng poh menengadah keatas, meneguk habis  arak lalu mengeluarkan hancuran perak ke atas meja, terus tergesa gesa pergi.

Siu-la m ma kin heran. Mengapa sekian banyak tokoh persilatan berha mburan datang pergi dihotel situ.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa tergelak. Dua orang lelaki tua berambut putih dan berjenggot panjang sampai kelutut, melangkah masuk.

siu-la m ha mpir menjerit terahan. Untung dia dapat menekan diri. Kiranya kedua orang tua itu adalah Lam koay dan Pay-koay.

“Mengapa kau tertawa?” tegur Pak-koay kepada Lam koay.

Ternyata yang tertawa Lam- koay.

Lam- koay hentikan tertawanya, menyabut, “Tak kira kalau Dewa Iblis Ban Thian seng yang sudah mengasingkan diri selama bepuluh tahun, muncul lagi. Begitu pula Lo hian juga akan menghadiri pertempuran besar ini. Benar-benar akan merupakan suatu kera maian besar!”

Pak koay Ui Lian menghela napas lalu menyahut soal yang tidak ditanyakan, “Ha mpir tiga belas propinsi telah kita jelajahi, tetapi tetap tak menemukan saudara Pui. Jika dikota ini tetap tak mene mukannya, jelas dia tentu tertimpa bahaya!”

Lam koay shin Ki tertawa, “Jangan kuatir. Menilik ta mpang mukanya, anak itu selalu terlindung dari bahaya. Aku berani bertaruh dengan kau, dia tentu tidak mati!”

Keduanya me milih tempat duduk pada sebuah meja kosong. Mau tak mau terharulah Siu-lam mendengar perhatian mereka pada dirinya. Hampir ia menitikkan air  mata.  Buru buru ia palingkan muka dan melir ik gerak gerik kedua manusia aneh itu.

setelah me mesan hidangan kepada jongos, Pak koay berkata, “Ah, aku tak percaya kalau Lo Hian masih  hidup belum tentu kabar benar,”

Kata Lam koay shin Ki, “Tetapi dunia ini sekarang banyak hal hal yang terjadi diluar dugaan orang. Misalnya, didunia persilatan telah tersiar luas bahwa Dewa-Iblis Ban Thian-seng itu sudah mati. Tetapi nyatanya dia masih hidup juga. Juga tentang diri kita sendiri. Berpuluh tahun dunia persilatan menganggap kita sudah mati, ha ha, bukan saat ini kita masih segar bugar?”

“Tetapi jika tidak ada saudara Pui yang melepaskan tali pengikat tubuh kita, mungkin sa mpai mat i kita takkan muncul lagi didunia luar!” kata Pak- koay.

“Ah, seumur hidup aku tak pernah terkenang pada orang. Tetapi sekarang aku sering sering teringat pada saudira Pui….”

Ucapan Le m-koay terputus oleh masuknya Gan Leng poh bersama dua orang gadis. Begitu me mandang kedua gadis itu, hati Siu-la m hampir copot. Buru buru ia mir ingkan tubuh menghindar i perhatian pendatang pendatang itu. Kiranya  kedua  nona  itu  adalah mur id dari Beng-gak yakni Tong Bun kwan dan si nona baju merah.

siu-la m benar benar bingung. Kenapa nona Baju Merah dan Gan Leng poh yang ditutuk jalan darahnya oleh Ban Thian- seng dan ditawan dalam guha, muncul di hotel situ bersama Tong Bun-kwan. Apakah Tong Bun kwan yang me mbebaskan mereka? Ah, ilmu menutuk jalan darah, dari Ban  Tniao-seng itu termasuk ilmu istimewa yang tak dikenal dunia persilatan. Kemungkinan Tong Bun kwan tentu tak ma mpu me mbukanya.

Tiba-tiba La m-koay shin Ki tertawa nyaring  lagi,  serunya, “Ui lokoay, siapakah yang datang itu? Jika anak anak setan itu muncul ke mar i, tentulah perempuan siluman dari Beng gak  itu juga datang.”

“Uh, kalau Lo Hian benar masih hidup, entah bagaimana tindakannya  kalau  berjumpa  dengan  muridnya   yang mence lakai dirinya itu!” sahutnya.

Dahulu Lam koay dan Pak koay pernah dikalahkan Lo Hian, Maka mereka masih mendenda m kepada Lo Hian. Ucapan mereka terhadap Lo Hian pun bernada sinis.

Tong Bun kwan hendak bertindak tetapi tiba tiba ia tahankan kesabarannya. Bersama si-nona Baju Merah serta Gan Leng poh mereka me milih meja yang mas ih kosong.

Ketika me lir ik Siu- lam melihat Tong Bun kwan tak henti hentinya mengangguk kepala seperti orang yang sedang mengiakan perintah orang tuanya. Diam diam Siu-la m menduga. Tentulah mereka sudah me mpunyai rencana tertentu.

Cepat sekali Siu-la m menga mbil kesimpulan. Hanya wanita Beng gak itulah yang ma mpu me mbuatnya begitu patuh. Belum Siu- lam me mutus kan tindakan yang akan dilakukan, tiba-tiba Tong Bun kwan ber-bangkit dan mengha mpiri ketempatnya. Diam-dia m Siu-la m menge luh, “Celaka, nona itu me mang pintar sekali. Karena aku selalu  me mperhatikan gerak gcriknya, ia tentu mengetahui penya maranku!”

sambil me nyingkap ra mbutnya yang agak kusut, Tong Bun kwan langsung bertanya kepada Siu- la m, “Hendak kau tolong kedua sumoaymu itu?”

Siu-la m terbeliak, sahutnya, “Nona bicara dengan siapa?”

Tong Bun kwan tertawa dingin, “Tak usah pura pura! Jika engkau me mang hendak menolong jiwa kedua sumoay itu, dengarkan perintahku!”

“Dimanakah mereka sekarang?” karena ce mas me mikirkan keselamatan Hian Song dan Cui Hui ing, Siu- lam gugup.

sambil keraskan tubuhnya. Tong Ban kwan berkata, “Sejak saat ini engkau harus menurut perintahku. Tak boleh  main gila. Jika diam diam engkau gunakan ilmu  menyusup  suara me manggil kawan kawanmu, engkau mencari penyakit sendiri dan jangan harap kedua sumoaymu itu dapat hidup lagi!”

sejenak merenung, berkatalah Siu- lam “Bagaimana kalau aku bersedia menur ut perintahmu?”

“Kutanggung kesela matan kedua sumoay mu! Tetapi ingatlah, jika berani ma in gila. Dengan kekuatan  kami, tidaklah sukar menawanmu….”

setelah berhenti  sebentar,  Siu-la m  me lanjutkan  pula, “Na mun aku tak ingin adu kekerasan. Hanya ketahuilah behwa aku Pui Siu- lam bukan manus ia yang temaha hidup dan takut mati!”

Tong Bun kwan tersenyum, ujarnya, “Kapan kita berangkat, sekarang!”

Siu-la m mengia kan. Walaupun Tong Bun kwan berusaha keras untuk berlaku setenang mungkin, namun gerak-ger iknya tetap tak terlepas dari mata Lam koay dan Pak kOay-

“Hai, barang siapa yang kasak kusuk tentu me mbicarakan hal yang tak baik!” bentak Lam koay-

Tetapi Pak koay segera mencegah jangan terus buka suara.

Tong  Bun  kwan  pura  pura  tak  mendengar  dan  terus me langkah keluar. sejenak meragu Siu-la m segera berbangkit, menga mbil sarang tawon lalu mengikut dibelakang Tong Bun kwan.

Tong Bun kwan berjalan cepat. Dijalan sering berpapasan dengan orang orang persilatan yang menghunus senjata.

Siu-la m makin heran. Bukan tiada sebab jago jago silat itu berkumpul d kota situ. Tiba tiba dari sebelah muka tampak serombongan ima m berjubah hitam berjalan mendatangi. Yang dimuka searang ima m tua berjenggot putih, di iringi oleh empat ima m selengah tua. Menilik sinar mata ima m-ima m itu me mancar tajam, tentulah mereka me miliki tenaga  dalam yang tinggi.

Tong Bun kwan menghindari pengawasan orang dengan cepatkan langkahnya. sepanjang jalan Siu-la m melihat banyak jago jago persilatan yang berdatangan. Wajah mereka tampak serius seperti sedang menghadapi urusan besar.

Tak berapa la ma  Tong  Bun  kwan  dan  Siu- lam  sudah me lewati piatu kota, saat itu matahari senja sedang menur uni pegunungan. Tong Bun-kwan me mbawa siu-la m kesebuah tanah kuburan.

“Apa yang kau bawa itu?” tegur nona itu.

Siu-la m yakin bahwa kepandaiannya sekarang tentu dapat mengatasi Tong Bun kwan. Ia tertawa tenang, “Sebaliknya nona me mberitahukan dulu di mana tempat kedua sumoayku itu.” “Ya disini inilah!” kata Tong Bun kwan seraya menunjuk maka m dibawah pohon yang tinggi.

sejenak Siu-la m me mandang kesekeliling gunduk gunduk tanah kuburan yang menghias e mpat penjuru. satupun tak tampak rumah Orang. Heran ia dibuatnya. Apakah para pencelik itu berada didalam maka m?

Maka bertanyalah ia kepada Tong Bun- kwan, “Sebelumnya kita sudah berjanji aku takkan me manggil bala bantuan tetapi nonapun tentu akan melaksanakan janji. Maka sukalah nona me mber i kesempatan agar aku dapat melihat kedua sumoayku lebih dulu….”

Tong Bun kwan tertawa mengikik, “Ah, dalam setengah tahun tak berjumpa saja. sekarang engkau sudah berpengalaman!”

“Kaum persilatan paling me megang janji. Jika kau mengandung ma ksud hendak me mbohongi, pasti kau akan menyesal sendiri!” sahut Siu- lam

“Ih, tak seharusnya engkau me mberikan janjimu kepadaku!”

Marah Siu-la m bukan kepalang mendengar jawaban itu, serunya, “Orang Beng gak, engkau benar benar  jahat  dan licik. Tidak boleh dipercaya!”

Tong Bun kwan tetap tersenyum, “Tak  perlu engkau marah- marah dulu. Jika aku hendak menipu, tak nanti kuajak engkau ke mar i!”

Adalah karena mence maskan nasib Hian Song dan Ciu Hui ing, Siu- lam telah kehilangan ketenangannya. Melihat sikap Tong Bun kwan yang acuh acuhan, ia duga nona itu tentu akan menyiasatinya. suatu hal yang harus ia jaga. Maka iapun segera tenangkan pikirannya. Me mang sesungguhnya Tong Bun-kwan hendak mengacaukan pikiran Siu- la m. Melihat pe muda itu tenang tenang saja, diam diam Tong Bun kwan kelabakan sendiri.

“Setelah Bwe Hong-Swat sumoay mendapat warisan pelajaran dari kakek guru Lo Hian, tentu engkau bahagia sekali,” kata nona itu.

Cepat Siu-la m hendak menanggapi tetapi tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia hanya ganda tertawa hambar, “Ilmu pelajaran itu me marag sakti kekali. Misalnya, ilmu pedang dan ilmu pukulan nona itu juga demikian. Ter masuk ilmu yang sakti. Bedanya hanya terpaut sedikit. Akan tetapi sekalipun begitu nona sudah dapat menundukkan jago jago yang lihay.”

Tong Bua kwan me mang cerdik dan hati-hati. Tetapi justru karena kelewat cerdik itu, dia selalu me mperhitungkan setiap langkah dari banyak segi akibat akibatnya. Ketika masih di Beng gak, kepandaiannya memang setingkat dengan  Bwe Hong Swat. Bahkan dalam hal tenaga tenaga dalam ia lebih tinggi sedikit dari sumoinya itu. Tetapi setelah Bwe Hong Swat tercebur kedalam telaga darah dan mendapat warisan dari Lo Hian, ia bukan lagi tandingan snmoaynya itu.

Ucapannya kepada Siu-la m tadi, hanya sekedar dugaannya sendiri saja. Tetapi setelah mendengar jawaban pe muda itu, ia yakin me mang benar Bwe Hong Swat telah bertemu Lo Hian dan diberi ilmu pelajaran sakti.

“Kalau begitu engkau sendiri tentu mendapat pelajaran bermaca m- maca m ilmu yang sakti?!” ia hendak mengga li keterangan dari Siu-la m.

Siu-la m tertawa tawar, “Jika tak menguasai ilmu yang dapat menundukkan nona, masak aku berani mengikut i nona datang ketempat kuburan yang begini sepi!”

“Ai, sumoayku ketika itu me mang besar sekali rejekinya.

Benar benar me mbuat orang mengiler….” “Tetapi engkau sendiri sudah me miliki dasar ilmu silat yang tinggi. Pada hakekatnya, inti ilmu silat itu adalah sa ma. Jika kita dapat menyelami rahasia setiap perobahan dalam jurus ilmu  itu, tentulah kepandaian kita akan meningkat  lebih tinggi ” kata Siu-la m.

“Benarkah itu?” Tong Bun kwan menegas.

“Ah, aku hanya bicara menurut pandanganku sendiri.

Janganlah nona keliwat percaya!”

Tong Ban-kwan menghela napas, “Setiap patah  kata katamu itu   me mang   berisi,   bagaimana   aku   tak   mau me mpercayainya!”

Tiba tiba nona itu me mandang ke arah sarang Bok liong yang ditutup kain hitam. Ia menanyakan benda apakah yang dibawa pe muda itu.

sambil tertawa Siu-la m menyingkap kain hitam itu. seketika terdengarlah suara mendengung-dengung.

“Tawon raksasa, tawon yang paling beracun didunia,” seru Siu- la m.

Diam diam Tong Bun-kwan terkejut melihat tawon sebesar itu. Tetapi ia tak mau mengunjuk kegentaran hatinya, serunya perlahan, “Dari manakah engkau peroleh tawon itu? Apa gunanya engkau pelihara?”

“Tawon ini benar ganas, tetapi menurut kata. Tepat sekali digunakan untuk menghadapi musuh.”

“Kalau tak percaya, boleh coba!” kata Siu-la m sa mbil mena mpar sarang tawon. sekawanan tawon berhamburan keluar dan menyerang Tong Bun- kwan.

Tong Bun- kwan terkejut dan buru-buru siap. Tetapi setelah berputar putar mengelilingi Tong Bun kwan,  kawanan tawon itu ke mba li masuk kedalam sarangnya. Siu-la m sudah dapat me maha mi ilmu menguasai tawon yang diberikan Raja tawon Nyo Ko.

“Wah hebat sekali ilmumu!” seru Bun- kwan.

Siu-la m tertawa, “AH, sesungguhnya bukan aku, melainkan seorang lo cianpwe yang telah mengajarkan ilmu me melihara tawon. Dia telah menggunakan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mengumpulkan ratusan jenis tawon yang besar, Perkawinan tawon tawon itu telah melahirkan sejenis tawon yang besar, beracun ganas dan menyambar dahsyat. Pukulan Biat gong Ciangpun belum tentu dapat me mbinasakan mereka!”

Nona itu gelengkan kepala, “Kalau mereka me miliki racun ganas, aku sih percaya. Tetapi kalau mereka sanggup menerima pukulan Biat-gong ciang, ah, itu berlebih- lebihan!”

“Baik, silahkan coba sekali lagi!” Siu-la m menepuk sarang dan segerombol tawon segera menyerbu Tong Bun-kwan. Jumlahnya tak sebanyak tadi. hanya lima enam ekor.

“Apakah engkau tak keberatan kulepasi pukulan?” seru Tong Ban-kwan siapkan tenaga dala m.

Pada saat hendak menutup mata, Nyo Ko me mberitahukan kepada Siu- lam bahwa tawon itu me miliki sayap yang besar dan makin la ma akan bertamban makin besar. Angin prahara dan hujan puyuh tak mungkin dapat menahan terbang  mereka. Begitu pula pukulan Tong Bun- kwan, biasa.

Mengingat meninggalnya Nyo Ko baru tujuh hari, Siu- lam tak tahu sampai berapa besar akan tumbuhnya  sayap binatang itu. Ia bersangsi tetapi terpaksa me mpersilahkan nona itu.

Tong Bun-kwan pun segera menghanta m. Gelo mbang angin  yang  mengandung  tenaga  dalam  dahsyat   segera me landa tawon tawon itu. Ketika me lihat tawon-tawon itu seolah olah terbungkus dalam gelo mbang angin, diam diam Siu-la m menge luh. Ia duga tawon tawon itu pasti hancur lebur.

Tetapi alangkah kejutnya ketika angin telah Jauh dan tawon tawon itu hanya terdorOng ke sa mping tetapi sama rekali tak kena apa apa,

Berobahlah wajah Tong Bun kwan. Tanpa berkata &pa apa, ia susuli lagi sebuah hanta man. Tetapi secepat itu juga, Siu- lam pun menghanta m. Dua gelo mbang angin pukulan yang mengandung tenaga dalam, saling Derbentur. Karena setelah beristirahat dan terus giat berlatih, tenaga dalam Siu-la m dalam beberapa hari ini telah berta mbah maju. seketika Tong Bun-kwan tersurut mundur tiga langkah. Wajahnya  pucat darah bergolak golak….

Siu-la m sendiri juga terkesiap kaget me libat hasil pukulannya itu. segera ia me mber i penjelasan, “Tawon tawon itu merupakan binatang yang berkelompok. Jika  engkau menghanta m lagi, mungkin kawan-kawannya akan marah. Kalau kawanan tawon  itu  keluar  se mua,  nona  tentu mender ita!”

“Pada waktu kita berhantam di gereja siau-lim si, kekuatan kita berimbang. Tetapi baru berselang setengah tahun  saja, ke majuanmu sudah begini pesat sekali….” seru Tong Bun- kwan.

Kemudian ia berganti nada pelahan, “Jika kau mau mengajarkan ilmu warisan Lo Hian itu kepadaku, aku tentu akan me mbantu usaha mu sungguh sungguh.”

Siu-la m menyatakan bahwa sekali ia sudah berjanji, tentu akan  menepati.   Tetapi   lebih   dulu   ia   minta   nona   itu me mbawanya untuk melihat. Hian-Song dan Ciu Hui ing.

setelah merenung sejenak, berkatalah Tong Ban kwan dengan serius, “Sebenarnya aku me mang ber maksud hendak mence lakai engkau agar engkau masuk ke dalam perangkap….”

“Dan sekarang engkau tentu merobah ma ksudmu, bukan?” tukas siu-la m.

Tong Ban kwan mengangguk, “Ya, kuanjurkan enhkau lebih baik pulang dulu. sekarang hanya tinggal tiga hari lagi dari waktu pertemuan besar itu. Tiga hari itu a mat cepat. Pada  saat itu kedua sumoaymu tentu akan muncul menghadapi musuh. kiranya tak perlu sekarang engkan berkeras hendak masuk ke dalam perangkap  hanya  dengan  tujuan  hendak me lihat kedua sumoay mu itu….”

“Pertemuan besar apakah itu?” tanya Siu- la m.

“Eh, apakah engkau benar benar tak tahu? Atau memang pura-pura tak tahu saja?”

Siu-la m menyatakan bahwa ia memang benar-benar tak tahu.

“Lalu apa keperluanmu datang ke te mpat ini?” “Mencari dua orang!” sahut Siu 1a m.

“Siapa?”

“Dewa Iblis Ban Thian seng dan gurumu ketua Beng gak itu!”

“Langkahmu tepat. Memang kedua orang itu nanti tiga hari lagi akan muncul dalam perte muan besar itu “

“Benar  agaknya  ketua  Beng-gak  itu  me mang  hendak me mbuat acara baru lagi, mengundang seluruh tokoh tokoh persilatan menghadir i suatu pertemuan besar para orang gagah!” aeru Siu- la m.

Tong Bun kwan bersikap lebih ra mah. sa mbil tertawa ia berkata, “Dewa Iblis Ban Thian seng me mang bekerja sama dengan suhuku untuk menyelenggarakan pertemuan besar itu. seluruh tokoh dunia persilatan akan hadir….”

“Heran mengapa kali ini suhumu mengguna kan ist ilah begitu bagus untuk mena ma kan pertemuan sebagai pertemuan para orang gagah? Padahal bukanlah biasanya ia gemar me maka i na ma yang seram seram, misa lnya undangan perjamuan dile mbah ke matian….”

“Sudah tentu ada sebabnya…. dalam pertemuan besar itu nanti selain mengadu  ilmu kesaktian, juga akan muncul beberapa acara yang tak terduga duga. Untuk itu suhuku telah me mbuang banyak pikiran dan tenaga!”

Tiba-tiba Tong Bun kwan tak mau me lanjutkan keterangan. “Ah, sudahlah, jika nona me mang takut me mbocorkan

rahasia, tak perlu melanjutkan keteranganmu tadi….”

“Sejak pertemuan dalam pusar gunung di Telaga darah, suhu sudah mulai curiga kepadaku. Adalah karena tenagaku masih   dibutuhkan    dan    karena    suhu    sibuk    sekali  me mpers iapkan perte muan besar iiu, maka dia tak se mpat mengurus aku lagi. Tetapi setelah pertemuan besar itu selesai, suhu tentu tetap takkan melepaskan diriku!”

“Ah, aneh, mengapa diantara guru dan murid, diantara sesama saudara seperguruan, kalian tak mempunyai persatuan dan rasa kasih sayang?”

“Suhu penuh dengan kecurigaan. Ia selalu ketakutan jangan jangan kita akan mencela kainya maka dia telah gunakan ber maca m cara untuk menguasai murid muridnya. Dan menggunakan siasat untuk me mecah belah bubungan diantara kami dengan lain la in saudara seperguruan. Dengan begitu terjadilah perpecahan dan saingan satu sa ma la in.

Tiba tiba angin berhe mbus. Siu-la m me mandang kelangit, Ah, hari hampir petang. Dia m-dia m Siu- lam me maki dirinya sendiri. Bukankah tujuannya hendak menolong kedua sumoaynya? Mengapa saat itu ia asyik ngobrol dengan Tong Bun-kwan saja?

“Janji nona hendak me mbawa aku kepada kedua sumoayku itu, apakah masih berlaku?” segera ia bertanya kepada Tong Bun kwan

“Mereka berada ditempat  yang berbahaya. Lebih baik jangan engkau kesana!”

“Sekalipun dalam lautan api gunung pedang, aku tetap akan kesana!”

“Tetapi kalau aku segan me mbawamu ke sana?”

“Harap nona ingat sarang yang berisi tawon raksasa yang kubawa ini!”

Tong Bun kwan menghela napas, “Ah, apakah engkau sungguh hendak me mbunuhku?”

“Walaupun mengala mi banyak peristiwa berbahaya, bukankah sa mpa i saat ini aku mas ih hidup?”

“Hm, kalau engkau berkeras hendak ke-sana, jangan sesalkan aku kalau kau tertimpa bahaya!”

“Matipun aku takkan menyesal” sabut Siu- la m.

“Kalau me ma ng begitu, marilah ikut aku,” kata Tong Bun kwan seraya me langkah ke muka.

Nona itu  melintasi  gunduk  gunduk  kuburan.  sebentar  me mbiluk  kelana  sebentar  melingkar   kesini   seolah-olah me mang sengaja hendak me mbingungkan Siu-la m.

Tengah Siu-la m menduga duga gerak-gerik Tong Bun  kwan, tiba-tiba nona itu berhenti. Ternyata mereka tiba di sebuah tempat, di mana  delapan  buah  kuburan  besar menge lilingi sebuah tanah lapang seluas liga to mbak. Tanah lapang itu penuh di tumbuhi rumput dan ber maca m maca m bunga hutan. “Dima na?” tegur Siu- la m.

Menunjuk kearah sebatang pohon jati yang tinggi besar, berkatalah Tong Bun kwan, “Berse mbunyilah di atas pohon itu, kau tentu segera melihat mereka. Mereka segera akan muncul!”

Melibat kesungguhan  nada  bicaranya,  Siu-la m  hampir me mpercayai keterangan Tong Bun kwan. Tetapi keterangan itu mustahil sekali.

“Apakah nona bicara sesungguhnya?” ia menegas. Tong Bun kwan mengiakan.

“Perlu apa mere ka muncul dikuburan ini?”

“Bertanding ilmu silat dan ilmu pedang.” tiba-tiba wajah Tong Bun kwan berubah dan dengan bisik- bisik ia berkata, “Lekas engkau berse mbunyi diatas pohon itu dan akupun segera akan psrgi,” tanpa menunggu jawaban lagi nona itu terus lari pergi.

Siu-la m segera me manjat pohon jati yang tinggi itu. Ia bersembunyi di balik daun yang rindang.

Tepat pada saat ia bersembunyi, dua sosok tubuh berlarian datang. Ketika menga mati, Siu- lam terkejut tak terkira. Kedua orang itu adalah, tokoh pedang yang menggetarkan dunia persilatau yalah siau-yau-cu. Dan satunya tokoh aneh su Boh tun.

su Bob tun tetap dengan wajahnya yang dingin. sedang siau yau cu me makai kain hitam untuk me mba lut sebelah matanya

“Ah, tidak dikira kedua tokoh yang termasyhur itu, dapat di kuasai dan di peralat wanita Kuntilanak Beng gak. Entah Kuntilanak Beng gak itu me makai obat apa hingga tokoh tokoh itu seperti kehilangan kesadaran pikirannya….” diam diam Siu- lam perihatin me lihat keadaan kedua tokoh itu. Beberapa saat kedua tokoh itu me mer iksa keadaan di sekitar tanah lapang lalu melesat pergi.

Siu-la m heran. Ia tidak tahu apa maksud kedua tokoh itu. Akhirnya ia menyimpulkan. Ke mungkinan besar, kuntilanak Beng gak itu tentu telah me masang alat alat perangkap di tempat kuburan situ.

Tiba tiba muncul lagi dua orang. Keduanya sama me ma kai kerudung muka dan sa ma sa ma menyanggul pedang. setelah tiba di lapangan, mereka saling berhadapan lalu gama mencabut pedang.

Siu tam terkesiap kaget. Menilik perawakannya, kedua orang itu seperti Hian Song dan Ciu Hui ing. Na mun mengapa mereka hendak berte mpur. Perempuan yang berdiri disebelah barat, mulai gerakkan pedangnya. setelah menimbulkan segulung sinar, secepat kilat menusuk ke dada lawan dihadapannya Keduanya segera bertempur seru sekali. Dua pedang seolah olah bergabung menjadi satu sehingga tak dapat me mbedakan lagi mana Hian seng mana Ciu Hui ing.

Dengan penuh perhatian Siu- lam me ngikuti perte mpuran itu. Dia m-dia m ia mendapat kesan bahwa keduanya sama sama berasal dari satu sumber. Hanya serangan nona yang berdiri di sebelah barat tadi, me mang lebih ganas  dan dahsyat. setiap tusukan, tentu mengarah bagian tubuh lawan yang dapat membawa kebinasaan. Makin la ma kedua nona berpakaian serba hitam itu, makin sengit. Jurus per mainan pedang merekapun ma kin dahsyat dan ganas.

Siu-la m tak dapat berbuat apa-apa kecua. hanya gelisah.

Tiba-tiba terdengar suara dengus tartahan serempak dengan dering beradunya kedua peda kedua lawan itupun berpencar. Siu-lam terkejut. Dilihatnya nona yang berada disebelah timur tangannya me megang lengan kirinya yang berlumuran darah menilik potongan tubuhnya, Siu-la m duga nona yang terluka iiu seperti Ciu Hui ing. Ia makin gelisah sekali.

“Bagaimana, engkau tunduk atau tidak?” seru sinona yang me lukai.

“Hai, bukankah itu nada suara Hian song?” dia m-dia m siu- lam terperanjat

Nona yang terluka itu nrenyahut, “Hmm, tetap tidak akan menyerah, mau apa?”

“Kalau tak menyerah, terpaksa kukutungi sebelah lenganmu dan kubelah separoh muka mu!”

“Huh. belum tentu!” tiba-tiba nona yang terluka itu gerakkan pedang menusuk.

serangan yang tak terduga duga dan dilontarkan dengan jurus yang aneh, membuat si nona disebelah barat tak sempat menghindar dan menangkis. Cret…. lengan kiri kena tertusuk. Darah mengucur deras. Rupanya luka yang di deritanya, lebih berat dari nona yang berada di timur.

“Hm, engkau berani menyerang secara curang!” nona disebelah barat itu segera balas menyerang. Keduanya bertempur lagi dengan sengit. Lebih seru dan lebih ganas dari tadi.

Karena sama-sa ma me la mpiaskan ke marahan dan bertempur sengit, keduanya tak se mpat lagi untuk mengobati lukanya. Darah makin mengucur deras sehingga me mbasahi separoh pakaian masing- masing.

Dari suaranya, Siu-la m makin yakin bahwa kedua orang yang bertempur itu me mang Hian Song dan Ciu hui ing. Ia tak dapat menunggu lagi. serentak ia berseru menghentikan pertempuran dan terus me layang turun kebumi.

Karena terkejut, kedua nona itu sama sama menyurut mundur. Ketika melibat seorang pe muda yang ber muka kotor dan pakaian kumal, ke dua nona itu tak mengenali Siu- la m. Mereka hanya tertegun.

Tetapi begitu tiba, Siu- lam segera disambut oleh tusukan pedang Hian song

“Siapa engkau!”

Karena tak menduga-duga, Siu-lam tak sempat berjaga diri. Dengan gugup ia loncat mundur. Tetapi nona yang berada disebelah timur itu, me langkah ma ju dan menyerang Siu- la m.

Bermula kedua nona itu saling bertempur sengit. Tetapi ketika Siu-la m muncul, mereka ma lah bersatu untuk menyerang Siu-la m. Karena

terdesak, terpaksa Siu-la m kerahkan seluruh kepandaiannya untuk me nghalau kedua nona itu.

Dalam setejap saja, kedua nona itu sudah menyerang dua puluh kali lebih sehingga tak se mpat lagi Siu- lam hendak bicara me mberi penjelasan.

Walaupun lukanya ma kin berdarah dan pakaiannya berlumuran darah, tetapi kedua nona itu menyerang Siu-la m dengan mati matian

“Uh, kurang ajar, mereka rupanya ngotot hendak melukei aku,” dia m-dia m Siu- lam menimbang.

Karens sebelah tangannya me megang sarang tawon, Siu- lam agak tak le luasa me mberi perlawanan. Dia terdesak juga.

Tiba tiba nona yang disebelah barat menangkis serangan nona yang disebelah timur seraya berseru, “Sudahlah, jangan menyerang!”

Kesempatan itu digunakan Siu- lam untuk mundur tiga langkah. Ia segera mengusap wajahnya yang kotor dengan lengan baju lalu berkata, “Kalian sa ma sa ma terluka dan menge luarkan banyak darah, Mengapa tak lantas menyalurkan pernapasan untuk menghentikan darah itu. Ingat, kalau sampai kasip, tentu dapat melukai tenaga dala m!”

Karena mengusap keringat dimukanya itu kini tampa klah wajah Siu-la m yang sebenarnya. Kedua nona itu saling berpandangan dan serentak mereka sama sa ma me mbuka kerudung mukanya.

Ah….ternyata dugaan Siu-lam me mang tepat. Yang disebelah barat itu me ma ng Hian-song dan yang disebelah timur Ciu Hui ing. Ia menghela napas, ujarnya, “Ah, mengapa kalian saling berte mpur sendiri?”

“Karena kau!” sahut Hian Song dingin. “Aku?” Siu- lam tercengang.

Ciu Hui ing tertawa hambar, serunya, “Ya benar, memang

karena kau.”

Melibat wajah kedua nona itu sa ma pucat, segera ia mensuruh mereka me nyalurkan pernapasan.

Tetapi Hian Song tetap berseru, “Ai, kiranya kau masih hsdup….”

Kembali Siu- lam menyuruh nona itu  supaya  iekas menyalur kan napas karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Ia akan menunggu sa mpai  kedua  nona  itu  selesai me lakukan penyaluran napas.

“Tidak kau tak boleh menunggu disini, lekas pergilah!” seru Ciu Hui-ing.

“Mengapa?” tanya Siu-la m.

Hian Song deliki mata kepada Hui ing, “Takut apa? Biar dia dissini saja!”

sambil letakkan sarang Bit long, Siu- lam tertawa, “Hayo kalian lekas  menga mbil  napas,  kutunggu  disini.  Ah,  sudah la ma berpisah, aku pun ingin sekali o mong omong.” Kedua nona itu menurut. Mereka segera duduk bersemedhi menyalur kan tenaga dala m. Berkat tenaga dala mnya sudah tinggi ma ka dalam waktu singkat mereka sudah sudah menghentikan darahnya.

Hian Song yang lebih  dulu me mbuka mata  segera menanyakan benda berkerudung kain hitam yang dibawa Siu- lam itu.

“Sarang tawon raksasa,” sahut Siu- la m. “Apa gunanya?” tanya dara itu.

Melihat wajah dara itu ta mpak rawan, Siu-la m sengaja hendak menghibur nya, “Banyak sekali gunanya tawon raksasa itu. Buat menundukkan lawan, buat mengir im berita dan lain lain….”

“Ih, kapan engkau belajar me melihara tawon?” seru Hui ing.

“Tawon tawon raksasa ini, selain a mat beracun pun badannya luar biasa besarnya, Kekuatannya terbangpun hebat sekali. Kalau sumoay tak percaya, akan kupertunjukkan kepadamu!”

sekali menje mput kain kerudung hitam, lima ekor tawon segera terbang keluar seraya mendengung dengung.

Siu-la m sengaja hendak me ma mer kan kepandaiannya. Ia bersiul pelahan dan kibarkan tangannya. Kelima  tawon raksasa itu segera meluncur kebawah menerjang sebatang pohon bunga, itu dengan -ekor mas ing mas ing, kelima tawon itu terbang dan menge lilingi Siu- la m.

“Apakah kau sendiri yang me me liharanya?” tanya Hian song. Siu-la m me nceritakan asal usul ia mendapat tawon raksasa itu. Kemudian ia bersiul pelahan lagi me ma nggil kawanan tawon itu masuk ke-sarang.

Tiba-tiba Hui- ing menengadah me mandang kelangit. Kemudian me minta kepada Siu-la m “Lekas tinggalkan te mpat ini. sebentar lagi mereka tentu datang. Pada saat itu kau pasti terlambat dan sukar untuk pergi dari sini!”

Siu-la m menghela napas, “Demi mencar i kalian ma ka aku sampai tak se mpat meyakinkan banyak ilmu pelajaran sakti. Aku tergegas gegas datang kemari karena hendak segera menuju ke-Beng-gak untuk menyelidiki kalian berdua siapa kira. aku dapat berjumpa dengan kalian disini….”

“Mengapa kau bisa mene mukan tempat ini?” tanya Hian- song.

“Ah, panjang kalau  diceritakan….”  Siu-la m  segera menutur kan pengala man tiba dikota itu sa mpai akhirnya berjumpa dengan Tong Bun kwan.

“Lekas tinggalkan te mpat ini!” ke mbali Hui ing mendesak. Karena  sudah  dua  tiga  kali  Hui-ing  mengatakan  begitu.

timbullah  rasa  heran  Siu-la m,   “Sungguh  sukar  sekali untuk

menjumpai kalian berdua-Aku hendak omong o mong untak pelepas rindu. Tetapi me ngapa sumoay terus menerus mendesak aku supaya pergi saja?”

“Saat dan tempat ini bukan untuk bercerita. Hayo, lekas pergilah!” seru Hui-ing.

Tetapi Hian-Song tetap menghendaki supaya pemuda itu jangan pergi. Kembali ia deliki mata kepada Hui Ing dan menegurnya, “Mengapa?? Apakah kau takut?”

“Huh, jelas kau tentu sudah tahu betapa berbahayanya tempat ini tapi mengapa  kau malah hendak menahannya  disini. Apa maksudmu?” sahut Hui ing. “Hm, kalau me mang harus mati, biarlah kita mati bersama- sama!” jawab Hian song.

Hui ing tertegun, ujarnya, “Apakah itu berarti kau mencintainya?”

“Dia sudah beristri. karena dalam hidup sekarang aku tak dapat menjadi kawan hidupnya, biarlah dia mati saja!” kata Hian song.

“Ah, tak perlulah kiranya siau sumoay menguatir kan diriku!”

Berbeda dengan Hian song, Hui ing me mpunyai pandangan lain. sekalipun hatinya sudah patus asa, namun ia tak mau mengajak pe muda itu sa ma sa ma binasa.

Melihat Hian-Song tetap hendak menahan pemuda itu, Hui ing gelisah sekali. Tiba tiba ia mencabut pedang dan berseru, “Pui heng, jika kau masih mau mengingat hubungan kita semasa kecil, silahkan kau lekas tinggalkan te mpat ini. Beberapa saat lagi suhuku dan ketua Beng gak akan muncul disini. Ke mungkinan mereka tentu sedang menuju ke mari. .”

“Eh, siapakah suhumu?” Siu-la m tertawa. Hui ing banting banting kaki karena mangkel sekali ujarnya, “Kau ini me mang betul-betul keras kepala. Masuk kedalam perangkap maut, kau masih senyum senyum saja Ah, agaknya kau sudah bosan hidup. suhuku ia ialah Dewa iblis Ban Thian-seng. Apakah kau ma mpu menya mbut pukulannya.”

sekalipun tak tahu ke mana arah tujuan kata kata Hui- ing namun tak mau Siu-la m dibuat gadis itu jengkel.

“Apakah sumoay juga dipaksa orang itu supaya mau menjadi mur idnya?” kata Siu- la m.

“Te mpat ini telah di siapkan ketua Beng gak dan suhuku untuk tempat pertemuan besar itu. tempat ini sudah disiapkan dengan pekakas rahasia dan jebakan jebakan. Te mpat ini akan digunakan untuk mengubur seluruh tokoh-to koh dunia persilatan….” “Kalau kita boleh menjadi murid Ban Thian seng mengapa dia tak bolen!” Hian Song menyeletuk.

Kedua dara itu mulai berbantah serdiri. Masing mas ing sama menghunus pedang seperti hendak bertempur lagi.

Buru buru Siu-la m maju ketengah mereka dan me lerai. “Nanti dulu, segala apa bisa dirunding dengan baik-baik….” ia me lir ik kearah Hian Song dan berkata, “Song moay,  harap  me mandang mukaku dan jangan berkelahi lagi….”

“Minggir!” teriak Hian-Song seraya terus menusuk Hui ing.

Terpaksa Siu-la m menghanta m pedang sidara dan terus mence kal lengan Hian song.

sambil menurunkan gerak pedangnya yang terdorong kesamping, Hian-Song menghindari sambaran tangan Siu-lam dan menjerit, “Bagus kalian berdua hendak me ngeroyok aku?”

sret, sret, pedangnya cepat menusuk Siu-la m.

Siu-la m menghindar dan hendak me mbuka mulut. Tetapi saat itu Hui- ingpun gerakkan pedangnya untuk menyambut serangan Hian song. Kedua dara itu bertempur lagi. Mulut Hui ing tak henti hentinya berseru meminta Siu-la m supaya lekas tinggalkan tempat itu.

Siu-la mpun mundur. Jika  tak ma u pergi, tentu akan menyinggung perasaan Hui ing.  Tetapi kalau menuruti perintah dara itu, hatinya tak puas dan merasa tidak bersikap seperti seorang jantan.

“Terima kasih atas pember ianmu, sumoay,” akhirnya ia berseru, “tetapi aku jauh jauh datang ke mari adalah karena hendak mencari sumoay berdua. sekarang baru saja bertemu muka dan belum se mpat menuturkan se mua peristiwa, mengapa sumoay terus hendak menyuruh aku pergi?”

sekonyong konyong terdengar suitan nyaring dan berhentilah kedua nona yang bertempur itu. samar samar terdengar suara tetabuhan musik. suara musik  itu menimbulkan suatu  rasa  yang  aneh  seolah-olah   seperti me layangkan perasaan orang kesuatu dunia yang lain. Dunia kehampaan,

Hui ing menghela napas panjang, “Sekarang engkau mas ih me mpunyai kese mpatan setitik lagi. Kalau terla mbat, kesempatan terakhir itu tentu hilang!”

sambil me mandang kearah pohon tinggi, Siu- lam bertanya, “Apakah ketua Beng- gak itu datang?”

“Selain diapun Dewa iblis Ban Thian-seng juga beserta tiga puluh enam dayang gadis gadis dan tujuh puluh dua pengawal akan datang ke sini!” sahut Hui ing.

“Apakah yang disebut tiga puluh enam dayang dan tujuh puluh dua pengawal Itu?”

“Ai, apakah engkau benar-benar tek mau lekas pergi.! Ketiga puluh enam dayang itu rata rata memiliki kepandaian tinggi dan cantik-cant ik menggiurkan orang dan ketujuh puluh dua pengawal yang disebut dengan pangkat sucia itu, pandai sekali mengguna kan senjata rahasia yang dilumur i racun. Mereka mengena kan pakaian beraneka ragam dan merupakan suatu barisan Pelenyap nyawa!”

suara tetabuhan itu makin mendekat dan terdengarlah suara bentakan orang.

Akhirnya Hui Ing tertawa pahit, serunya, “Ah, sudahlah, sekarang sudah terla mbat jika engkau hencak pergi!”

Entah bagaimana tiba tiba sikap Hian-Song berobah ra mah kepada Hui ing, ucapnya, “Adik mereka segera datang, lebih baik suruh dia berse mbunyi di balik pohon besar itu saja!”

“Hm, sekarang engkau mula i gelisah. Tetapi mengapa tadi engkau tak mau me mbantu menyuruhnya pergi?” Dua titik air mata menetes turun dari pelupuk dara itu, katanya dengan perlahan, “Setempo aku me mang benci sekali kepadanya Ingin ku makan dagingnya. Tetapi ada kalanya aku kasihan dan rela mender ita apa saja dari dia….”

suara rombongan itu ma kin jelas. Hian-song cepat me mberi isyarat kepada Siu-lam, suruh pe muda itu lekas bersembunyi diatas pohon dan jangan sampai tawon tawon raksasa itu keluar.

“hayo kita pura-pura berempur lagi untuk mengelabuhi perhatian mereka!” cepat dara mengajak Hui-ing seraya terus menyerang.

Hui- ing pun menanggapi. Keduanya segera bertempur seru lagi. suara beradunya pedang  berdering mengge merincing nyaring.

“Lekas sembunyi!” bentak Hian-Song kepada Siu- la m. Pemuda  itu  terpaksa  menurut.  sekali  enjot  tubuhnya,   ia me la mbung keatas pohon besar.

Walaupun sedang berpura pura bertempur, tetapi kedua nona itu tetap memperhatikan Siu- la m. Diam diam keduanya mengagumi kepandaian Siu- lam yang maju cepat sekali.

Me mang cara Siu-la m mencapai puncak pohon tinggi itu, hebat sekali. sekali mela mbung ia mencapai dua to mbak tingginya. Ditengah udara, tangan kirinya mena mpar dan dengan me minja m  tenaga  tamparan  itu,  tubuhnya berjumpa litan menyambar sebuah dahan dan terus menggeliat keatas dan menyusup kedalam gerumbulan daun yang lebat.

“Ban Thian seng pernah mengatakan kepadaku bahwa pemuda itu tentu sudah mat i atau paling t idak tentu cacad. Tetapi mengapa selain  masih  segar  bugar,  kepandaiannya ma lah bertambah maju pesat sekali?” Hian Song tertawa. sambil mengangkat pedangnya, Hui ing menyahut, “Cara pertempuran ini, tentu tak dapat mengelabui mata mereka. Lebih baik kita bertempur lagi dengan sungguh sungguh!”

“Masakan engkau ma mpu menga lahkah aku?” kata Hian song.

“Sekalipun tak dapat mengalahkan, tetapi belum tentu juga kalah,” sahut Hui ing seraya merobah gaya per mainan pedangnya makin dahsyat.

Keduanya bertempur seru.

Melihat itu Siu-la m gelisah sekali. Ia hendak loncat turun  me lerai tetapi tiba t iba muncul beberapa dayang berpakaian aneh menggiring seorang wanita cantik berpakaian putih. saat itu suara mus ikpun berhenti.

Siu-la m merasa wanita baju putih itu seperti ketua Beng gak. Tetapi ia samar-sa mar lupa wajah wanita itu.

Me mang tak salah kalau Siu- iam ragu-ragu. Karena saat itu wanita tersebut mengenakan pakaian ringkas serba hijau, luarnya ditutupi sutera putih. Padahal biasanya ketua  Beng gak itu berpakaian hitam dan mukanya ditutup kerudung hitam.

“Berhenti!” serunya dengan nada dingin. Hian Song dan Hui ingpun berhenti serentak lalu me mberi hor mat kepada wanita itu dengan menyebutnya “Gak cu” atau ketua gunung.

sebutan itu sengaja diperdengarkan dengan nyaring agar Siu-la m dapat mendengarnya.

Me mang yang muncul itu sip siau hong, pemimpin Beng gak yang termasyhur. setelah me mbuka baju luarnya sutera putih, kini ia hanya mengenakan pakaian serba hijau.

Menilik perwujudannya, wanita itu baru berumur empat puluh tahun keatas. Tetapi karena pandai merawat diri, tampaknya ia seperti gadis berumur dua puluhan tahun. sepasang alis-nya yaag melengkung seperti busur, menaungi sepasang mata yang indah sehingga me mantulkan kecantikan yang gilang gemilang. Kecantikan Hian song dan Hui-ing surut seketika, laksana bintang dengan re mbulan.

sejenak me mandang kepada keuda gadis itu berkatalah sip siau hong, “Apakah kalian sudah la ma disini?”

“Ka mi ke mar i karena hendak me ngadu ilmu pedang,” jawab Hian song.

“Uh, tubuhmu berhias luka darah. Bukankah didaerah ini banyak tempat yang sepi, mengapa kalian me milih disini?” tegur ketua Beng gak itu.

“Disini lebih pelik dan rindang, tentu tak diketahui orang.” sahut Hui ing.

sejenak sip siau hong keliarkan pandang matanya keempat penjuru seraya tertawa, “Apakah suhumu tak me mberi tahu kepadamu bahwa tempat ini tak boleh sembarang didatangi orang?”

sebelum Hui ing menjawab, tiba tiba munculkah Ban Thian seng si Dewa iblis. Ia berjalan dengan perlahan sekali tampaknya tetapi ternyata dalam beberapa kejab saja ia sudah ada didepan mere ka.

“Lo cianpwe….” sip siau hong me nghadap orang itu seraya mengucap sala m.

“Apakah yaag Gak ku hendak me mberitahukan kepadaku?” kata Ban Thian seng.

“Lam koay dan Pak koay juga t iba di Khik Ciu.”

Ban Thian seng menyambut keterangan ketua Beng gak itu dengan tertawa dingin, “Kedua tua bangka itu, ternyata masih hidup.” “Kepandaian mereka a mat sakti,” kata sip siau hong lebih lanjut, “jika mereka benar benar hendak hadir dalam pertemuan besar ini, kita tentu akan ta mbah beban berat.”

Dewa iblis Ban Thian seng tertawa nyaring,  “Janganlah Gak- ciu terpengaruh kepandaian musuh, sehingga menyurutkan nyali kita sendiri. selain gurumu Lo Hian. tokoh- tokoh lain didunia tiada yang kupandang mata lagi. sayang gurumu sudah meninggal dunia sehingga tidak punya tanding lagi.”

sip siau hong tertawa gemer incing, ujarnya, “Me mang kupercaya lo cianpwe a mat sakti. Tetapi kedua Lam koay dan Pak koay itu bukanlah tokoh  biasa.  sebaliknya  kita  jangan me mandang re meh kepada mereka!”

Ban Thian seng kebutkan jubahnya lalu duduk ditanah. serunya tertawa, “Menurut pendapatku orang tua ini, kita baik menja lankan langkah begini. Kita undang seluruh orang gagah didunia dan para ketua partai persilatan agar datang kemari. Datang satu, kita bunuh satu. Pemimpin partai persilatan, tokoh tokoh sakti, kita habiskan separoh bagian. Ke mudian barulah Beng gak unjuk gigi. Dengan bantuanku, kalian tentu mudah sekali untuk mcnyapu bersih sisa sisa  mereka.  siasat itu paling mudah dan pasti berhasil cepat. Tetapi ternyata Gak ciu ke liwat hati hati sekali dan me mer lukan menyelenggarakan apa yang disebut Je mbatan burung Prenyak, sehingga me mperla mbat waktu saja!”

sip siau hong tertawa ha mbat, “Mungkin lo cianpwe belum tahu bahwa keadaan dunia petsiiatan sekarang sudah hampir lumpuh. Banyak tokoh sakti dan pe mimpin partai yang mati ditanganku atau kutawan jadi budakku. Tokoh tua ha mpir dapat kutawan semua tetapi tidak terduga duga dalam angkatan jago muda telah muncul seorang tunas baru….”

Ban Thian seng tertawa hina dan menukas ucapan ketua Beng gak itu, “Pada saat aku muncul ke mbali didunia persilatan, pertama tama aku tertarik akan ke masyuran nama Gak ciu yang telah dapat menguasai dunia persilatan. Maka segala kuperlukan datang ke Beng gak untuk bertemu muka. Tetapi ternyata, engkau hanya bangsa penakut yang bernyali kecil. .”

seketika sepasang alis sip siau hong mengangkat kearas. suatu pertanda bahwa ia akan bertindak. Tetapi tiba t iba ia dapat menguasai diri lagi dan tersenyum me mandang Hian- Song dan Hui ing,  serunya, “Lo cianpwe, bagaimanakah dengan tingkat kepandaian kedua mur id pere mpuan itu?”

“Tak nanti dibawah jago pedang ternama didunia!” sahut Dewa iblis Ban Thian seng dengan tandas. Tetapi ketika berpaling dan me lihat tubuh kedua gadis itu berlumuran  darah, ia terkejut, serunya, “Hai, mengapa kalian ini?”

“Tadi aku adu ilmu pedang dengan sumoay. Karena tak keburu menguasai pedang, kita masing mas ing sa ma terluka sebuah tusukan. Tetapi tak sa mpai parah. setelah beristirahat menyalur kan darah, luka itupun sudah tak berbahaya lagi,” sahut Hian song.

Ban Thian seng tertawa sinis lalu alihkan matanya kearah sip siau-houg, “Sejak beratus tahun terakhir ini, hanya gurumu seorang yang dapat mengalahkan aku dalam hal kepandaian dan ilmu kesaktian. Tetapi sayang, dia akhirnya harus mati ditanganmu. Hati pere mpuan benar benar ganas sekali….”

sip siau hong tertawa tawar, “Jika locian-pwe tak me mberi kepadaku obat racun yang luar biasa ganasnya, sekalipun hati ingin, tetapi tetap aku tentu tak ma mpu me lenyapkan suhuku. Dia adalah satu-satunya duri dalam mataku. Lebih  lekas lenyap, lebih baik. Tetapi engkau telah menerima budinya berpuluh puluh tahun dan dianggap sebagai ahli warisnya. Terapi toh sa mpai hati juga me mbunuhnya!”

Mendengar rahasia besar itu dipercakapkan oleh yang bersangkutan, hati Siu-lam berdebar keras sekali. Buru buru ia tenangkan diri dan mengikuti pe mbicaraan mereka lagi dengan seksama. sip siau hong tertawa mengikik, “Kalau locianpwe tahu bahwa hati wanita itu ganas dan sukar diraba, mengapa engkau sendiri menerima dua orang murid perempuan?”

sejenak Ban Thian seng berpaling me mandang Hian Song lalu menjawab, “Bekas jalan yang telah dila lui suhumu, tak nanti kutempuh lagi….” tiba tiba ia berhenti bicara karena merasa telah kelepasan o mong.

Berhadapan dengan tokoh Dewa iblis yang amat sakti dan ganas itu, tampaknya sip siau-hong kehilangan ketenangannya.

“Dengan berpura pura hendak me mbantu aku supaya dapat menguasai dunia persilatan ma ka engkau menyuruh aku mengundang seluruh tokoh dunia persilatan dalam perja muan mengadu kesaktian. Tujuanmu tentulah hendak me ma merkan kesaktianmu. Pada saat saat terakhir,  engkau pasti akan menindas aku….” ujarnya tajam.

Ban Thian-seng tertawa gelak gelak, “Benar…. Memang tak mungkin aku sudi dibawah perintah orang. Tujuanku menyuruhmu mengadakan perte mpuran itu, me mang hendak mene mpatkan engkau diatas punggung harimau. sebagian besar tokoh tokoh persilatan telah dapat engkau tawan dan jadikan budak. Engkau gunakan obat bius dan rupa rupa siksaan untuk me mperbudak mereka. Tetapi pada suatu saat daya obat bius itu hilang,  mereka tentu akan mendapat kesadaran pikirannya lagi. Mereka tentu menganggap engkau sebagai musuh no mor satu yang harus dibunuh. Dari luar dalam mendapat tekanan, ah, jangankan engkau, sekalipun Lo Hian mas ih hidup, juga tentu tak berdaya bila mender ita keadaan semaca m ini!”

Tak kecewa sip siau-hong dipuja sebagai mo mok wanita. setelah mendengar keterangan Ban Thian  seng,  sebaliknya dari marah ia malah tenang. sambil me mbereskan ra mbutnya yang memanjang, ia tertawa, “Sebagian besar dari tokoh tokob persilatan, saat ini sudah sama berkumpul di Khik ciu. Karena sudah naik punggung harimau, hanya satu diantara dua pilihan yang harus ditempuh. Membunuh atau dibunuh. Dengan de mikian tercapailah ma ksudmu!”

Ban Thian seng tertawa nyaring, “Benar, benar! Masakan gelarku sebagai Dewa iblis itu hanya gelar kosong saja!”

sip siau hong tertawa, “Jika locianpwe me mang menghasratkan kedudukan pe mimpin dunia persilatan, sudah tentu dengan segala senang hati akan kuserahkan!”

“Aku sudah tua, masakan masih me mpunyai selera untuk menjadi pemimpin persilatan,” sahut Ban Thian-seng dingin.

sip siau hong merenung sejenak, ujarnya, “Kalau begitu silahkan lo cianpwe mengatakan maksud lo cianpwe yang sebenarnya!”

sepasang mata Dewa iblis me mandang sip siau hong tajam tajam, ujarnya, “Aku bersedia membantu kau menundukkan sisa tokoh tokoh dunia persilatan agar tujuanmu terlaksana….”

“Terima kasih lo cianpwe!”

Dewa iblis tertawa, “Jangan buru buru berterima  kasih dulu. Aku mas ih me mpunyai syarat!”

“Silahkan!”

Ban Thian seng tertawa dingin, “Kau seorang wanita yang cantik jelita tiada bandingannya.  Adanya  Lo  Hian  mau menga mbil kau sebagai mur id, selain sayang akan bakatmu pun juga suka pada kecantikanmu. Itulah yang pokok!”

sip siau hong tertawa mengikik sa mbil mengusap alisnya, “Lihatlah baik baik,  adakah bintik bintik ini me ngurangi kecantikan wajahku….”

Nada tertawanya merdu me mikat hati. Walaupun dari tempat yang jauh tapi dengan ketajaman mata, dapatlah Siu-lam me lihat Wajah wanita Beng-gak itu.  Me mang cantik luar biasa. senyum tawanya benar benar mendebarkan jantung. Buru buru Siu- lam peja mkan mata tenangkan semangat.

Tampaknya Dewa iblis Ban Thian seng tak  dapat menguasai ketenangan hatinya mendengar senyum tawa sip siau hong itu. Buru buru dia  juga  katupkan  mata   lalu menge luarkan sebuah kotak kuma la dan menuang sebutir pil merah,

“Dari suhumu Lo Hian  kau tentu banyak menerima pelajaran tentang ilmu pengobatan. Dengan mengandalkan obat bius kau telah berhasil menundukkan tiada sedikit tokoh- tokoh sakti. Maka hari inipun kau hendak kusuruh mencoba pil aku yang beracun ini!.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar