Wanita iblis Jilid 42

Jilid 42

ORANG ANEH itu tertawa keras. Nadanya macam harimau terluka. Kumandangnya jauh me ngge ma ke selurub pegunungan. La ma sekali baru ia hentikan tertawanya.

“Ho, engkau mas ih sayang jiwanya?” serunya.

“Sebagai kakak- beradik seperguruan yang bergaul la ma, sudah tentu me mpunyai perasaan begitu. Apanya yang lucu?” sabut Hian-Song.

“Aku hendak mencari seorang ahli waris. Wajah dan bakatmu, termasuk pilihan. Maka dapatlah kuberi pengecualian.  sebenarnya  sekali pun   engkau   tak   tega me mbunuhnya, dia juga tak dapat lolos dari kematian!” kata si orang aneh seraya peiahan lahan longgarkan cengkeramannya.

Begitu jalan darahnya longgar, Hian Song  cepat menendang ja lan darah sin lam yang tertutuk dan ia sendiri pun cepat berputar tubuh.

Ilmu mer ingankan tubuh orang itu hebat sekali. Gerakannyapun gesit. Begitu lepaskan cengkera mannya ia terus loncat mundur. sejenak me mandang kearah orang itu, Hian  Song  muak me libat wajahnya yang seram.

Orang itu tertawa dingin, “Hehe, heh,  ku-berimu kesempatan untuk mengunjuk kepandaian ku. Tetapi bagaimana kalau engkau kalah?”

Hian Song merenung sejenak lalu menyahut “Aku tak biasa bertanding dengan tangan kosong. Jika engkau yakin dapat menga lahkan aku, mari kita bertanding dengan me nggunakan senjata!”

setelah me mpunyai pengala man beberapa kali bertempur, Hian-Song merasa ilmu pedangnya telah mendapat ke majuan. Maka ia menantang orang aneh itu dengan pakai senjata.

“Tangan  kosong  maupun  pakai   senjata,   aku   dapat me layanimu. Tetapi engkau harus me luluskan sebuah permintaanku dulu. Ialah, kalau kau kalah, engkau harus jadi mur idku!”

“Kalau engkau kalah?” balas Hian-song. “Aku akan angkat kaki dari sini!”

“Ih, mungkin saat itu sudah terla mbat,” ejek Hian-song.

Orang itu kerutkan dahi dan berseru marah, “Budak hina, rupanya percuma kupakai cara lunak terhadapmu….” serempak dengan kata-kata itu, orangnyapun sudah menyerbu Gerakannya luar biasa cepatnya.

Hian-Song cepat menghindar kesamping lalu melesat untuk menga mbil pedangnya yang terletak diujung ruang.

Orang aneh itu tak mau mengejar. Ia menunggu. Rupanya ia yakin sekali tentu dapat mengalahkan dara itu.

setelah mencekal  pedang,  semangat  Hian-kong  bangkit ke mbali. setelah menghunus,  ia tertawa dingin, “Pakailah senjatamu!” Orang aneh itu tertawa gelak-gelak, “Jika menga lahkan eegkau dengan pedang, bagaimana layak menjadi gurumu?”

Hian Song taburkan pedang sebentar lalu berseru, “Kalau tak mau menggunakan senjata, Itu salahmu sendiri!”

Hiansoog menutup kata-katanya dengan me mbuka serangan pertama. Jurus pertama dia gunakan jurus Bidadari mendayung. Ujung pedang bertebar menjadi tiga kuntum bunga pedang masing mas ing menusuk t iga buah jalan darah lawan.

Pembukaan itu telah me mbuat si Orang aneh tergetar hatinya dan cepat-cepat menghindar ke samping.

Hian-Song me mbayanginya. Pedang ditaburkan ke kanan- kiri. sinar pedang mengha mbur ke arah tujuh buah jalan darah orang.

Tetapi gerakan orang aneh itu teramat gesit. Tubuhnya laksana kupu kupu dihe mbus angin sekalipun cepat serangan Hian Song na mun orang itu tetap dapat menghindar inya.

Tiba tiba Hian-Song menarik pulang pedangnya dan menegur, “Mengapa engkau tak mau me mbalas?”

Tampak olehnya bahwa wajah orang aneh yang pucat lesi itu, samar sa mar seperti me nge mbang warna merah.

Orang aneh itu mengangguk angguk lalu berkata, “Tenaga dan Ilmu pedangmu benar benar diluar  dugaanku….” ia tertawa seram lalu melanjutkan pula, “Seorang dara cantik yang jarang terdapat….”

“Jangan ngaco belo!” bentak Hian-Song seraya menahas dengan jurus Pohon besi, bunga perak.

Kali ini si orang aneh tak mau menghindar melainkan mencengkeram pergelangan tangan Hian Song. Dara itu turunkan tangannya kebawah untuk me mapas kelima jari lawan. Tetapi laksana angin orang itu mengge liat menghindar ke samping lalu secepat kilat menusuk lengan.

Hian Song menyadari kedudukannya. Orang aneh berwajah buruk dan berpakaian hitam itu, selain tenaga dala mnya tinggi, gerakannya aneh, pun selalu cepat sekali bergerak. seolah olah sudah mengetahui jurus yang dima inkan dara itu. Dan sebelum Hian Song bergerak tentu didahuluinya sehingga dara itu tak dapat menge mbangkan per ma inannya.

setelah dua puluh jurus, tiba tiba orang aneh itu bebalik yang menyerang. Jari jarinya selalu me mbayangi pergelangan tangan Hian Song.

setiap kali dara itu hendak bergerak, tentu si orang aneh mendahului menya mbar pergelangan tangannya. Mau tak mau Hian Song terpaksa berganti jurus.

Tiba-tiba orang aneh itu bersuit aneh dan seketika pergelangan tangan Hian-Song terasa kesemutan. Tahu tahu pedangnya sudah berpindah ke tangan orang aneh. Dalam kejutnya Hian Song cepat menendang orang itu.

Tetapi orang itu lebih cepat. setelah merebut  pedang, tangan kirinyapun mencengkera m pergelangan tangan si dara. Ketika kaki Hian-Song baru berayun setengah jalan, tiba-tiba separoh tubuhnya terasa kesemutan, tenaganyapun lenyap dan kakinya pelahan lahan terkulai turun.

setelah menutuk dua buah jalan darah Hian-song, orang aneh itu me letakkan pedang si dara lalu tersenyum, “Ilmu pedangmu benar istime wa, tetapi kurang gesit. Namun menurut t ingkatan dunia persilatan, engkau sudah tergolong jago kelas satu.”

Walaupun tertutuk jalan darahnya, tetapi pikiran Hian-Song masih sadar. Bisa bicara tetapi hanya tak dapat berkutik. Ia mendengus dingin, “Tak perlu engkau puji, hm! Karena sudah tertangkap, bunuhlah. sekalipun aku seorang anak perempuan tetapi tak takut mati!” Orang aneh itu tertawa  hambar,  “Jika  me mang  hendak me mbunuhmu, masakan  aku mau me mber i kelonggaran sampai dua puluh jurus kepadamu….”

sesungguhnya orang aneh itu bersikap ra mah, tetapi karena wajahnya buruk, maka sekali pun dengan tersenyum tawar, Wajahnya tetap tak sedap dipandang.

“Siapa menyuruhmu jangan melukai aku, huh. Jika me lihat wajahmu yang se-ngeri itu, mati sekalipun aku tak mau menjadi mur idmu!”

Wajah orang aneh itu berobah, geramnya, “Arak penghormatan engkau tolak sebaliknya engkau mencari arak pahit. Engkau kira aku tak sanggap menekanmu supaya menyerah?”

sesaat orang aneh itu berganti nada ramah ujarnya, “Sejak dilahirkan, aku me mpunyai dua keinginan. Pertama, memba las dendam masa yang dulu. Kedua, mencari seorang ahli waris yang mewarisi kepadaianku. Cukup engkau dapat menerima delapan atau sembilan bagian saja, dalam dunia persilatan tiada seorang yang ma mpu melawanmu. Bakat mu bagus sekali ma ka pilihanku jatuh kepada dirimu!”

Diam diam tergerak hati Hian song, pikirnya, “Kepandaianku masih kalah setingkat dari Bwe Hong  Swat. Tadi kalau pertandingan, tak sampai t iga puluh jurus saja, dia sudah dapat merebut pedangku. Jelas dia lebih sakti dari kakekku. Jika dapat mewaris i kepandaiannya, kelak aku tentu dapat me mper mainkan Bwe Hong Swat.”

Walaupun dara itu berdiam diri merenung, tetapi orang aneh itu dapat melihat perobahan wajahnya. Ia lihat hati Hian Song mulai tergerak.

“Dalam dunia hanya Lo Hian dan seorang paderi sakti dari siau lim si yang dapat menandingi aku. Tetapi sudah berpuluh tahun aku mengasingkan diri meyakinkan kepandaian. Dan sekali muncul didunia persilatan lagi, tentulah paderi sakti dari siau lim si itu tak ma mpu me lawan aku. Karena Lo Hian telah dicelakai oleh mur idnya sendiri  dan  menderita  luka  berat,  ke mungkinan saat ini tentu sudah meningga l!” kata orang aneh itu.

Makin keras renungan Hian Song akan diri Hong Swat yang diduganya tentu me mperoleh ajaran sakti dari Lo Hian.

“Mengapa engkau juga takut  kepada  Lo.  Hian,”  sesaat ke mudian ia bertanya.

Wajah orang aneh itu berobah gelap, ujarnya, “Sepuluh tabun la manya ku pendam diri di- Laut Timur. Telah berhasil kuyakinkan beberapa maca m ilmu kesaktian yang istimewa. sekalipun Lo Hian masih hidup, belum tentu dia dapat menandingi aku….” ia berhenti sejenak lalu, “Tetapi kukira dia tentu sudah binasa.”

Karena tutukan yang dilakukan orang aneh itu hanya ringan maka Hian Song masih dapat bicara dan bergerak. Ketika berpaling dara itu me lihat Siu- lam me mandang kearahnya.

Tiba tiba timbullah pikiran dara itu, “Tindakanku  yang begitu takut mati, tentu akan dihina Pui suheng….”

Dengan pe mikiran itu, tiba-tiba berobahlah pendirian Hian song. Ia terawa dingin. serunya kepada orang aneh itu, “Tak perlu  engkau  me mikir   aku!   sekalipun   kepandaian   mu   me muncak kelangit, aku tak sudi menjadi muridmu!”

Marahlah orang aneh itu, “Seumur hidup tak pernah aku bicara begini ra mah kepada orang. Hmm, aku tak percaya engkau dapat menahan siksaan dari tulang yang copot dan urat urat yang meleset!”

“Matipun tak gentar apa lagi hanya tulang copot dan urat me leset saja!” seru Hian Song dengan gagah.

“Ho, budak yang tahu tingginya langit, dalamnya bumi! Biarlah engkau rasakan sedikit pelajaran!” Orang aneh itu mena mpar la mbung kiri Hian-song. Dara itu mengerang pelahan. Tubuhnya bercucuran keringat.

Orang aneh itu ulurkan tangan kanannya mengurut beberapa jalan darah Hian song.

Dengan menahan kesakitan tukng iga kirinya yang copot dari tempatnya itu, Hian Song loncat bangun. Tetapi orang aneh itu lebih cepat lagi. Tangan kanannya me mauk paha kanan Hian Song. seketika tulang tulangnya copot dan sebelum dara itupun menjer it rubuh lagi.

“He, be, hendak kulepaskan seluruh tiga ratus enam puluh lima buah tulang tubuhmu dan menceraikan urat uratmu!” Orang aneh itu tertawa mengekeh. Dan serentak tangannyapun mengurut tubuh dara itu.

seketika Hian-So ng rasakan kesakitan yang luar biasa yang belum pernah dialami seumur hidup. Keringatnya bercucuran seperti banjir. Tubuhnya basah kuyup. Dara itu mengerang….

sehabis me lakukan siksaan, orang aneh itu pun segera duduk bersila dan pejamkan mata. Ia tak menggubris Hian- Song lagi.

Dengan tahan  rasa  kesakitan  yang  hebat,  Hian  song me mandang kearah Siu- lam dengan pandang derita sengsara….

Melihat keadaan dara itu, hati Siu- lam seperti disayat sembilu, ia menghela napas, serunya, “Sumoay, luluskan  untuk menjadi mur idnya!”

Dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya, Hian-Song meronta, “Pui suheng, engkau…. segera bunuh saja aku. Aku…. tak tahan penderitaan ini….”

Siu-la m gelengkan kepala, “Dia takkan me mbunuhmu, lebih baik engkau luluskan saja!” Orang  aneh  itu  tiba  tiba  membuka  matanya,  “Benar, me mang aku takan me mbunuhnya.”

Siu-la m me mandang kearah orang aneh itu, serunya, “Lekas sa mbung lagi tulang tulangnya, nanti akan kunasehatinya supaya meluluskan syaratmu!”

Orang aneh itu tertawa dingin, “Sekalipun engkau berhasil me mbujuknya, tetapi engkau sendiri takkan kuberi a mpun!”

“Hal itu la in soal lagi, jangan dica mpur adukkan. Aku sendiri tak berniat minta a mpun!” sahut Siu-la m.

“Bagus, bagus, atas perkataanmu sendiri itu,  akan kuberimu suatu kelonggaran yang mengge mbirakan,” dengan cepat orang aneh itu gerakkan kedua tangannya  untuk  menge mba likan tulang tulang Hian-song.

setelah rasa sakitnya lenyap, Hian Song pun duduk dan mengusap keringatnya. Katanya setengah mema ki, “Hm, caramu tadi benar benar kejam sekali!”

“Me mang aku selalu ganas tetapi terhadap anak mur id sendiri selalu me nyayang dan tak pernah membikin susah,” kata orang aneh, itu.

Kuatir dara itu menolak lagi, Siu- lam buru buru berseru, “Kalau sumoay mengangkat  guru kepadanya dan dapat mewaris i kepandaiannya, kiranya tidak rugi!”

Dara itu pelahan lahan beralih pandang ke pada Siu- la m, “Apakah engkau sungguh sungguh me nyuruh aku berguru kepadanya?”

“Kalau sumoay menolak tentu akan mengala mi penderitaan yang menyiksa sekali. Hal itu kurang perlu!”

than-Song menghela napas panjang, “Jika engkau dapat bergerak, kita dapat melarikan diri….” Siu-la m tertawa hambar, “Kenyataan sudah begini,  tak perlu dio mongkan lagi. Harap sumoay suka mendengar kataku dan meluluskan syaratnya!”

Hian-Song alihkan mata  me mandang orang aneh itu, serunya, “Boleh, aku mau menjadi mur idmu tetapi engkau harus menga mpuni jiwa suhengku!”

Orang aneh itu mendengus. “Aku tak pernah menelan ludahku lagi. Mengatakan satu, tetap satu. Tak pernah tawar menawar dengan orang!”

“Jika engkau tak me luluskan syaratku itu, biar engkau bunuh, aku tetap tak mau menjadi mur idmu!”

Orang aneh itu tertawa dingin, “Dalam saat ini, engkau tak me mpunyai ke ma mpuan untuk bunuh diri. Jika engkau yakin dapat menahan derita siksaan dari tulang tulang  yang terlepas, boleh saja engkau meno lak syaratku itu!”

Teringat akan penderitaan yang dialaminya  tadi, gemetarlah Hian song. Tetapi cepat ia tenang ke mba li dan berseru, “Baiklah, biarlah ka mi berdua sumoay suheng mati bersama. silahkan bunuh saja.”

Orang aneh itu tertegun, “Benar benar budak pere mpuan yang keras kepala sekali!”

Tiba tiba Siu-la m menyeletuk, “jika lo-cianpwe me mang hendak me mbunuh aku, sumoay tentu  akan  menolak.  Aku me mpunyai saran, entah apakah locianpwe suka mendengarkan!”

“Baik, katakanlah!”

“Dalam keadaan dan saat seperti ini, me mang mudah sekali lo cianpwe hendak me mbunuh aku. Pertama, karena lo cianpwe me mang sudah tetap me mutuskan untuk me mbunuh. Dan kedua, karena akupun tak mau me minta a mpun! ” “Apa yang telah kukatakan tak pernah ku-tarik ke mbali!” seru seorang aneh itu.

“Tetapi kedua hal itu tak dapat dilakukan dalam waktu yang serempak “

Orang aneh itu kerutkan alis. Ia merenung dia m. Dari ucapan Hian Song tadi, me mang kata kata Siu- lam itu benar.

“Jalan satu satunya….” tiba-tiba Siu-lam menyeletuk lagi, “harap lo cianpwe suka mende kat ke mari hendak kubisiki!”

Orang aneh itu mendengus, “Aku tak takut  kau  hendak ma in gila!” ia terus acungkan kepala mendekat kete mpat Siu- la m.

Dengan bisik Siu- lam pun berkata, “Lebih baik lo ciaDpwe mengabulkan permintaannya, Yang penting supaya  dia menjadi mur id lo Cianpwe dulu.  Nanti  dalam  kese mpatan me mber ikan   pelajaran   kepadanya,   lo    cianpwe    tetap me mbunuhku. Bukan sekali tepuk dua lalat?”

Orang aneh itu mengangguk menyetujui.

“Pui suheng, apa yang kalian bicarakan?” t iba tiba Hian- Song melengking.

Siu-la m hanya tersenyum tak menyabut. Bagiannya, hanya mati. Dan ia tak menghiraukan segala apa lagi.

“Aku setuju syaratmu!” seru siorang aneh, “Benarkah?” Hian Song tertegun.

“Ya, me mang benar,” sambung  Siu- la m, “lekas  kau jalankan peradatan mengangkat suhu!”

Tiba-tiba Hian Song mengucurkan air mata dan berke mak ke mik seperti berdoa. “Harapanku se moga aku dan pui suheng dapat menjadi suami isteri petani dan hidup dengan tenang. siapa tahu ternyata Tuhan tak meogabulkan dan  harus  menga la mi nasib begini.”  “Entah berapa banyak orang yang kepingin sekali menjadi mur idku. Tetapi kutolak, Masakan engkau berani banyak tingkah lagi!” seru orang aneh itu.

Hian Song pelahan lahan bangkit dan me mberi hor mat tiga kali kepada orang aneh itu selaku mur id. Kemudian mengucap sebutan ’suhu’.

Orang aneh itu tertawa gelak gelak, “Kalau sudah me njadi mur id harus taat pada peraturan!”

“Murid mengerti,” sahut Hian Song.

Siu-la m menghela napas. sesungguhnya hatinya pilu tetapi ia pura pura gembira. Katanya pelahan, “Selamat sumoay, engkau telah me mperoleh seorang guru yang sakti. Mudah- mudahan kelak engkau menjadi seorang pendekar wanita yang tiada tandingannya di dunia persilatan!”

Hian Song tundukkan kepala tak mengucap apa apa.

Hatinya rawan sekali tetapi sulit untuk menyatakan.

Hanya si orang aneh itu tertawa riang gembira, “Hari ini lebih dulu akan kubeRImu pelajaran dasar darI ilmu tenaga dalam perguruan ku. Dan besok pagi mulai kuajarkan ilmu silat. Dalam waktu satu bulan, engkau harus ikut aku tinggalkan tempat ini! ”

“Ke mana?”

“Mencari seseorang!”

Karena orang aneh ini tak mau menyebut nama orang yang hendak dicarinya itu, Hian-Song pun tak mau mendesak. Ia beralih tanya. “Murid sudah mengangkat guru, tetapi belum tahu siapakah na ma suhu itu?”

“Dalam dunia hanya ada seorang lain yang na manya sejajar dengan Lo Hian. Nah, itulah suhumu!” sahut orang itu.

Hian-Song kerutkan kening. Tetapi sampai beberapa saat ia belum mene mukan. “Aku jarang keluar ke dalam dunia persilatan. Tak tahu na ma tokoh-tokoh yang termasyhur. Harap suhu suka me mber itahukan.”

Baru orang aneh itu hendak me mbuka mulut, tiba tiba terdengar suara nyaring melantang. “Lihatlah,  di samping gunung itu terdapat sebuah batu menonjol, rupanya di bawah batu itu tentu sebuah cekung guha. Ayo kita kesana. Jika mencoco ki, kita menetap disitu beberapa hari dulu. setelah selesai me mpelajari beberapa ilmu barulah kita pergi lagi!”

Terdengar nada seorang perempuan menyahut. Tetapi kaiena pelahan sekali, tidak dapat terdengar jelas.

“Suhu, ada orang datang,” kata Hian song.

“Bagus, kita tunggu saja siapa yang datang itu. sudah berpuluh tahun aku tak keluar ke dunia persilatan. Banyak sekali tokoh-tokoh muda yang ber munculan!”

Terdengar derap orang mengha mpir i ke cekung karang situ. Tak berapa lama, muncullah dua orang, seorang pria dan seorang wanita.

Ketika berpaling mengawas i, Siu- lam tersirap kaget. Pendatang lelaki rambut dan jenggotnya terurai memanjang tetapi disisir rapi. De mikian juga pakaiannya. Ternyata orang itu adalah Gan Leng poh si tabib sakti. Hanya sekarang tabib itu tidak seperti orang gila lagi.

sedang yang perempuan bukan lain adalah si nona baju merah, mur id kedua dari ketua Beng gak.

seketika teringatlah Hian-Song akan siksaan yang diterimanya dari nona baju merah itu. Ia kerutkan dahi, berkata, “Hm, penasaran me mang se mpit jalannya.  Kalian juga muncul ke mari!”

Cepat sekali nOna baju merah itu melibat Siu- lam tak berkutik karena diikat dengan rantai. Dan siapa orang aneh yang menjadi gurunya Hian Song itu, ia tak tahu. Menurut perhitungannya, ia anggap hanya Hian Song yang merupakan musuh berat.

setelah me mperhitungkan, ia percaya fihaknya takkan mender ita kerugian. Walaupun tak menang tetapipun tak nanti kalah.

Nona baju merah itu  segera  tertawa  mengikik,  “Bagus, me mang manusia itu selalu berjumpa. Tak kira kalau disini  aku berjumpa lagi dengan kalian berdua suheng sumoay!”

sambil menundukkan kepala, ia melangkah masuk diikuti sitabib Gan Leng poh.

Siu-la m mengangguk me mberi hor mat seraya mengucap, “Gan locianpwe, apakah sela ma ini sehat sehat saja?”

Gan Leng poh tertawa dingin, “Eh, siapakah yang mengikat tubuhmu itu? Hm, benar-benar cari bahaya!”

serentak Hian Song tak tahan lagi dan me lengking, “Peduli apa engkau, hem….”

Tabib itu tertawa tawar, “Uh, apakah  aku tak boleh bertanya?”

Hian-Song mencabut pedangnya, “Guha ini sudah kami miliki, lekas keluar!”

Nona baju merah tiba-tiba tertawa nyaring, “Nona Tan. bicaralah yang lembut. Jika suheng mu itu tidak terikat dan lukanya sudah sembuh. Jika  dua lawan dua, kita tentu berimbang!”

Hian Song serentak loncat bangun dan menghardik, “Kalian mau pergi atau tidak?”

Nona baju merah itu me lir ik kearah siorang aneh yang saat itu masih peja mkan mata, duduk bersila. seolah olah tak menghiraukan kedatangan kedua orang itu dan ramai-ra mai yang terjadi saat itu. serentak timbullah nyali sinona baju merah. Ia mencabut pedang dan tertawa, “Apakah engkau sungguh sungguh hendak berkelahi dengan aku?”

“Masakan hanya pura pura saja!” sahlut Hian soog seraya menahas dengan jurus Biang la la mengurung langit.

Nona baju merah itu melesat dengan pedangnya menghindari tabasan lalu menusuk dada dengan  jurus Bidadari mele mpar tali.

Penasaran yang menga muk dalam hati Hian Song terhadap orang aneh tadi, kini ditumpati kan habis habisan kepada sinona baju merah.  Ia menutup serangan orang dengan lintangkan pedangnya keatas.

Tetapi rupanya nona baju merah itu tak mau adu kekerasan. Ia endapkan tangan dan merobah pedangnya dalam  jurus  Tirai  menggulung   angin   barat.   Pedangnya me la mbung me nusuk dari sa mping.

Hian-Song mendengus dingin. sa mbil lintangkan pedang menangkis, ia berseru, “Berhenti, aku hendak bertanya kepadamu!”

Nona baju merah hentikan pedangnya dan tertawa, “Lekas bilang! Jangan mengulur saat ke matianmu!”

“Dima nakah Ceng Hun totiang, Ciok sam kong dan lain lainnya itu?” tanya Hian song.

“Entah!” nona baju merah gelengkan kepala ierus menyerang lagi.

setelah menangkis tiga buah serangan. Hian Song hendak me mba las. Tetapi tiba-tiba nona baju merah itu hentikan pedangnya dan loncat mundur.

Kiranya nona baju merah itu timbul pikirannya secara mendadak. Bahwa Siu-la m terikat dalam guha itu tentu ada sesuatu peristiwa yang tidak wajar. Ia duga terjadi sesuatu antara Hian long dengan pemuda itu.

“Engkau menanyakan Ciok sam kong dan kawan kawannya itu?” serunya.

“Hm, bagaimana?” balas Hian- Song gusar.

“Sederhana sekali,” sahut nona baju merah, “asal engkau me mber itahukan siapa yang mengikat suhengmu itu, tentu segera kuberitahukan ditoana Ciok sam kong serta kawan- kawannya itu.”

“Apa hargannya me mber itahukan kepadamu? Kan hari ini kalian jangan harap dapat pergi dari sini dengan masih bernapas!”

si nona baju merah tudingkan pedang ke arah si oraog aneh, “Siapakah orang itu?”

“Suhuku….” sahut Hian Song perlahan- lahan.

Nona baju merah terkesiap, “Suhumu?” ia me negas. “Bagaimana? Engkau tak percaya….”

baru Hian-Eong berkata begitu, si orang aneh mendadak  me mbuka mata. sepasang matanya yang berkilat-kilat tajam menumpah kebadan sinona baju merah, serunya, “Engkau juga tak kenal padaku?”

sinona baju merah terkejut. Diam diam ia menimang, “Luar biasa sekali sorot mata orang tua baju hitam itu. seperti dapat mene mbus ulu hatiku….”

“Tokoh tokoh dunia persilatan banyak sekali. Bagaimana aku dapat mengenal pa man?” sahutnya.

Otang aneh itu tertawa dingin, “Kenalkah engkau pada Lo Hian?” “Lo Hian adalah orang pendekar luar biasa. setiap orang tentu tahu. sekalipun belum berjumpa tetapi sudah mendengar,” jawab nona baju merah.

sementara sitabib Gan Leng-poh  tak henti  hentinya menga mati orang aneh itu dengan penuh perhatian. sepasang alisnya sebentar naik sebentar turun seperti kenal-kenal lupa akan orang aneh itu.

Orang aneh itu tertawa dingin, “Tak kira, angkatan muda sekarang tak kenal orang lagi. Bahkan diriku juga tak diketahui!”

Gan Leng poh batuk batuk lalu t iba tiba menyeletuk, “Bukankah locianpwe ini yang disebut Dewa setan Ban Thian seng?”

Tiba-tiba orang aneh itu tertawa keras, serunya, “Bagus, kiranya diatas dunia masih ada orang yang mengetahui namaku! Menilik engkau tahu na ma ku, kali ini kuberi a mpun jiwa mu!”

Nona baju merah kicupkan mata, ujarnya, “Ban Thian seng, aku tak pernah kudengar orang menceritakan na ma itu.”

Dewa setan Ban Thian  seng tertawa tawar, serunya. “Ketika aku mengundur kan diri dari dunia persilatan, engkau masih belum lahir. Tak tahu na maku, me mang sudah sewajarnya!”

Tampak wajah sitabib Gan Leng poh berrubah pucat. sikapnya  pun  a mat menghor mat  sekali.  Tersipu  sipu  ia me mber i hor mat, “Murid, Gan Leng poh dari perguruan Lo Hian, menghaturkan hor mat kepada locianpwe!”

“Apakah Lo Hian masih hidup?” tanya Dewa setan  Ban Thian seng.

“Suhu sudah meninggal dunia….” Ban Thian seng berbangkit serentak- “Benarkah itu?” bentaknya.

“Bagaimana murid berani me mbohongi locianpwe?” sahut Gan Leng poh.

Mendadak Dewa setan Ban Thian-seng tertawa nyaring. Nadanya ssseram suara burung hantu. Kumandangnya jauh mene mbus keluar dan menusuk anak telinga orang….

Gan Leng-poh berpaling me mandang kearah guha.

Rupanya ia me mikir kan rencana dan lalu melar ikan diri.

Tiba tiba Ban Tbian seng berhenti tertawa dan berseru, “Didalam tanganku, belum pernah terdapat manusia yang dapat melo loskan diri-Kecuali me ma ng ku berinya hidup!”

Gan Leng poh tertegun dia m.

Melibat gelagat itu, diam diam Siu-la m kerahkan tenaga untuk beringsut me nghindarkan diri dari pancaran mata siorang aneh Ban Thian seng. Ke mudian ia gunakan ilmu menyusup suara Coan-im jib bi kepada Hian-song. “Sumoay, walaupun kepala batu tetapi Gan Leng-poh itu bukan orang jahat. saat ini hanya engkaulah yang ma mpu me nyelamatkan jiwanya!”

Hian Song batuk batuk pelahan sebagai tanda sudah menangkap kata Siu-la m Ia turunkan pedangnya dan berpaling kepada Ban Thian seng, serunya, “Suhu….”

“Mengapa?” Ban Thian seng berpaling dengan pandang hambar.

“Kedua orang itu walaupun telah bersalah kepada suhu dan harus dihukum mat i, tetapi kalau dibunuh dengan sekali tebas saja, masih terlalu murah,” kata Hian-sOng. Kini dara  itu sudah sema kin masak dalam soal tipu siasat.

“Baiklah, katakan dengan cara bagaimana untuk menyiksa mereka,” sahut Ban Thian- Beng. Kata Hian song, “Ka mi berdua dan mereka pun dua orang, yang satu lelaki yang satu perempuan. Maksud murid,  lebih baik tutuk saja jalan darah mereka dan jadikan mereka budak kita sela ma la manya!”

Ban Thian seng merenung sejenak lalu berkata, “Dapat menjadi budakku, juga suatu bal yang patut dibanggakan. Coba tanyakan, apakah mereka mau?”

Hian Song beralih me ma ndang kepada kedua Orang itu, “Suhuku, kali ini me mberi kelonggaran besar. Memberi kalian sebuah jalan hidup dengan mener ima kalian menjadi budak kami. Lebih baik kalian me luluskan saja agar jangan cari mati!”

Dalam kata kata itu, Hian Song sa mar sa mar menasehati kepada kedua orang supaya jangan melawan.

Nona baju merah yang tak tahu siapa. Dewa setan Ban Thian-seng itu. segera menyambut dengaa tertawa mengejek, “Mengandalkan engkau….”

Belum selesai ia mengucap, tiba tiba Dewa setan Ban Thian seng mengangkat tangan, menutukkan sebuah jarinya dari kejauhan. Nona baju merah  yang sudah siap, cepat menghindar ke sa mping.

“Ho, engkau masih dapat menghindar?” Ban Thian seng tamparkan tangannya kiri. Kelima jarinya sere mpak bergerak.

Kali ini sinona baju merah tak ma mpu menghindar lagi. seketika tubuhnya kese mutan. Tiga buah jalan darah pada tubuhnya tertutuk oleh tamparan jari Ban Thian seng.

Me mang ilmu lwekang Untuk menutuk jalan darah dari jarak jauh, bukanlah suatu ilmu yang mengherankan, Tetapi sekali bergerak dapat menaburkan kelima jarinya, benar benar suatu ilmu yang tak pernah terdapat didunia persilatan.

Noaa baju merah itu terhuyung huyung. Pedangnya terlepas jatuh dan orangnyapun pelahan lahan duduk ditanah. Tahu gelagat tak baik, pada saat Ban Thian seng sedang menyerang sinona baju merah  tabib Gan Leng-pob cepat loncat keluar.

Tetapi diluar dugaan, kepandaian Dewa setan Ban Thian seng itu benar benar telah mencapai tingkat yang tinggi. Begitu Gan Leng-poh berputar tubuh. Dewa setan itu sudah kebutkan lengan bajunya. Baru kaki sitabib tiba diluar.

ia rasakan dua buah ja lan darah tubuhnya kese mutan.

Bluk…. ia jatuh telentang.

Hian soug terkejut saksikan kesaktian gurunya itu. Diam diam ia mengakui bahwa  kepandaian  Ban  Thian  seng  itu me mang tiada tandingannya. Andaikata Lo Hian masih hidup, pun hanya setaraf itulah kepandaiannya.

Ketika melirik, Hian-Song dapatkan Siu-la m terlongong. Tentulah pe muda itu terpesona menyaksikan kesaktian Dewa- setan Ban Thian seng.

Hian Song hendak me mbuka mulut tetapi tak jadi. Ia merasa heran dalam hati atas ilmu tutukan Ban Thian seng. sekalipun sudah tertutuk jalan darahnya tetapi Gan Leng poh dan siaona baju merah masih dapat bergerak. Benar benar suatu ilmu tutukan yang luar biasa!

Kini kecongkakan sinona baju merah lenyap seketika. Ia kerutkan dahi dan mengerang. Rupanya bagian jalan darah yang tenutuk itu sudah mula i bekerja.

Hian-Song mengha mpiri gurunya. “Suhu akan diapakan kedua orang itu?”

Tanpa berpaling, Ban Thian seng menyahut tawar, “Tak perlu mengurusi mereka. setengah jam lagi, luka mereka akan bekerja. sakitnya melebihi Hun kin ja kut atau tulang copot, urat lepas. Yang satu menangis, yang satu tertawa….hm, biarlah engkau menyaksikan kepandaian suhumu sebelum kau menyadari betapa bangga engkau dapat kuterima  sebagai mur id!”

Hian tong tidak me nyahut. Tetapi dalam hati ia me mbatin. Jika me mang kepandaian orang itu luar biasa saktinya, tidaklah rugi ia menjadi mur idnya. Kelak ia tentu dapat menjuarai dunia persilatan. Dan yang penting tak akan ada gadis la in yang dapat merebut Pui suhengnya….

Tiba-tiba nona baju merah itu tertawa mengikik. Hian Song cepat berpaling. Dilihatnya dahi nona baju merah  itu mengucurkan keringat. suatu tanda  bahwa  ia  sedang mender ita kesakitan hebat. Tetapi kenapa ia tertawa?….

Tiba tiba terdengar suara tangis perlahan. Nadanya sedih sekali seperti orang yang ke matian orang tuanya.

Belum se mpat Hian Song me mer iksa siapakah Orang yang menangis itu, tiba-tiba terdengar si nona baju merah tertawa lagi. Kali ini bahkan keras dan la ma sekali. ha mpir seperminum teh la manya baru berhenti.

suara tangis itupun tak mau kalah. Tangisnya makin mengguguk keras. Dengan demikian terdengarlah perpaduan antara suara tangis dan tertawa yang riuh rendah.

Siu-la m menghela napas. Katanya seorang diri, “Benar- benar suatu hukuman yang paling ngeri di dunia!”

Tangis dan tawa itu makin la ma se makin keras dan keadaan si nona baju merah serta Gan Leng pohpan makin ngeri. Tubuh mereka basah Oleh keringat.

Hian Song dan Siu- lam seperti di tusuki jarum hatinya. Tetapi Ban Thian seng masih tetap pejamkan mata duduk betsemadhi.

sekonyong konyong terdengar sebuah suitan panjang menyusup kedalam suara tangis dan tawa itu. Ban Thian seng tiba tiba me mbuka mata dan serentak ayunkan kedua tangannya, menutuk dari kejauhan pada  kedua orang itu.

sesungguhnya Siu-la m dia m-dia m sudah me mperhatikan bagian jalan darah yang mana yang di tutuk Ban Thian seng itu. Tetapi ia tetap tak dapat mengetahui. Hanya yang jelas, suara tangis dan tawa itu sudah berhenti.

Rupanya Gan Leng poh dan si nona baju merah sudah kehabisan tenaga. Mereka menggeletak di tanah tak berkutik.

“Seret mereka ke sudut goa. Ada orang persilatan datang lagi. suhumu akan  merubuhkan  beberapa  orang  lagi  agar ke munculanku di dunia persilatan kali ini, diketahui orang!” ucap Ban Thian seng kepada Hian song.

Hian song segera melakukan perintah. setelah meletakkan kedua orang itu di sudut ruang, ia teringat bahwa sudah beberapa lama Siu-la m belum ma kan. Kuatir kalau sahengnya itu kelaparan ia segera bertanya kepada Bau Thian-seng, “Apakah suhu hendak dahar?” 

“Tak perlu. Orang itu sudah tiba dibawah cekung karang ini,” sahut Ban Thian seng.

Di luar guha keadaannya sunyi senyap. Ban Thian seng kerutkan alis dan berbisik, “Orang itu licik sekali. Rupanya dia curiga mendengar suara tangis dan tawa tadi dan hentikan langkahnya kesini.”

“Perlukah mur id keluar meninjau?” tanya Hian song.

“Tak perlu,” sahut Ban Thian seng. “Masakan mereka  dapat bersabar lama. Tentu akan segera me manjat ke mar i!”

Hian Song letakkan  pedangnya  dan  duduk  bersemedhi me mulangkan tenaga. Diam diam ia merenungkan peristiwa yang di alaminya hari itu. Ia menyesal karena telah mengikat Siu-la m sehingga pe muda itu tak dapat berbuat apa-apa. Namun iapun tak berani untuk me mbuka rantai itu karena kuatir akan menimbulkan ke marahan Ban thian seng. sekali orang aneh itu marah, di kuatirkan segera akan me mbunuh Siu-la m.

Karena pikirannya gundah, walaupun berse medi tetapi ia tak me mperoleh ketenangan.

Kebalikannya, karena sudah tahu akan mati,  Siu-lam bahkan tenang tenang saja. Ia sudah sedia untuk mati setiap waktu….

Aneh juga Ban thian seng itu. Ia tak segera membunuh Siu-la m. Rupanya orang aneh itu sengaja hendak menyuruh Siu-la m menderita lebih la ma sebelum mati.

Diam diam Siu- lam menghe la napas. Ia memandang keluar guha. sebelum mati, ingin ia menikmat i pemandangan alam dunia.

Tiba-tiba matanya tertumbuk pada dua buah kitab yang mengge letak diatas tanah. Ia terke siap, pikirnya, “Kedua buah kitab itu tentu milik Gan Leng poh dan  sinona  baju merah yang berasal dari peninggalan Lo Hian….”

Baru ia merenung begitu, tiba tiba dari mulut guha muncul sesosok kepala orang. Ketika me lihat wajah orang itu, Siu-la m serentak kaget. Demikianpun orang itu Kejutnya bukan kepalang sebmgga lupa untuk me narik keluar lagi.

Mengapa? siapakah orang itu sehingga me mbuat Siu-la m terkejut seperti me lihat setan?

Kiranya kepala orang itu bukan lain adalah sumoay kawan sepermainannya dimasa kanak- kanak, yakni Ciu Hui Ing!

setelah pulih ketenangannya, buru buru Siu-lam me mberi isyarat dengan gelengkan kepala. Maksudnya menyuruh sumoay itu lekas- lekas tinggalkan tempat itu.

Tetapi hai itu bahkan menimbulkan salah faha m. Begitu  me lihat Siu-la m, Hui ing terus melangkah masuk. “Sumoay, jangan masuk, pergilah lekas!” teriak Siu- lam gugup.

“Mengapa?” Hui ing heran.

Hian Song tiba tiba loncat menghadang Hui ing, bentaknya, “Berhenti, siapa engkau!”

Hui ing tertawa hambar, “Aku Ciu Hui ing.”

Hian Song agak pucat. Pelahan lahan ia turunkan pedangnya, tegurnya, “Engkau kenal padanya?”

Hui ing tersenyum, “Sejak kecil aku sama sa ma ber main hingga sa mpai dewasa. Mengapa tak kenal?”

Tiba tiba Hian Song gunakan ilmu menyusup suara Coan im jip bi berkata kepada Hui ing, “Percuma, kau teniu tak ma mpu meno longnya-sekalipun tokoh tokoh silat yang sakti, pun sukar menolongnya. Aku sendiripun tak dapat menolongnya, tetapi   akan    berusaha    sekuat    tenagaku    untuk menyela matkannya. silahkan kau t inggalkan te mpat ini….”

“Hayo, enyahlah!” cepat cepat ia berganti nada dan berseru keras agar jangan ketahuan Ban Thian-seng.

Hui ing me mandang kesekeliling guha itu. Ta mpak diujung ruangan, menggeletak seorang lelaki dan seorang nona. Dan seorang kakek muka panjang berpakaian hita m, tengah duduk bersila, disa mping mereka.

Hui ing tertawa hambar, “Soal yang paling penting dalam hidup manus ia itu hanya mati, Tapi mengapa kita harus takut mati?” ia menyelinap disa mping Hian tong terus mengha mpiri Siu-la m.

Hian Song terpaksa menebaskan pedangnya kepinggang nona itu. Tetapi dengan cepat Hur Ing mena mpar siku lengan kanan Hian song.

sebenarnya Hian Song ber maksud baik kepada Hui-ing. Tetapi tak disangkanya Hui- Ing tidak menghiraukan peringatan itu. Apa boleh buat, terpaksa Hian-Song gunakan pedangnya untuk menghalau pedang nona itu.

Ia endapkan tangasnya, setelah menghindari ta mparan, ia menusuk dua kali. Jurus itu cukup hebat setangga Hui- ing terpaksa mundur dua langkah.

Pada saat Hian Song hendak menyusul lagi serangannya supaya Hui ing  mundur  keluar,  tiba  tiba  Ban  Thian  seng me mbuka mata dan berseru, “Jangan melukainya, biarkan ia masuk!”

Hian Song tertegun. Terpaksa ia menyimpan  pedangnya dan mundur.

Tanpa me mandang kepada orang aneh itu, Hui-ing  terus me langkah masuk dan mengha mpir i Siu-la m. Ia berjongkok, mence kal tali yaug mengikat lengan kiri Siu-la m dan diam diam kerahkan tenaganya.

Tiba tiba terdengar suara orang berseru dingin. “Lepaskan tali itu!”

Hui ing berpaling. Ternyata yang berseru itu adalah Ban Thian seng. Nona itu tertawa hambar, tanyanya, “Mengapa?”

“Pernah apa engkau dengan dia?” seru Ban Thian seng. “Aku sumoaynya, mengapa? Engkau siapa? ” Hui irng bal&s

bertanya.

“Aku Dewa setan Ban Thian Seng!” Hui ing  kerutkan kening. sesaat kemudian baru ia berkata, “Pernah kudengar cerita orang engkau sangat sakti dan bersahabat baik dengan Lo Hian.”

Ban Thian seng tertawa gelak gelak, serunya,  “Bagus, ternyata dalam angkatan muda masih terdapat orang yang mengenal diriku!” “Tetapi, walaupun lahirnya bersahabat baik dalam batin engkau  me mbenci  Lo   Hian.  setiap   saat   ingin   hendak me mbunuhnya….”

Mendengar ucapan Hui ing itu, Ban Thian-Seng terbeliak, “Hai, bagaimana engkau tahu?”

“Me mang banyak hal yang kutahu,” sahut sinona, “meskipun engkau mendenda m rencana untuk mence lakai Lo Hian, tetapi engkau tak berani bertindak.”

“Mengapa?” seru Ban Tbian seng.

“Karena engkau tak punya keyakinan pada dirimu sendiri, adakah engkau dapat menga lahkannya. Oleh karenanya rencana pembunuhan itu tetap terkandung dalam angan angan saja!”

sepasang mata Ban Thian  seng berkilat-kilat menyala.

Tetapi pada la in saat ia tindas perasaannya.

“Dari siapa engkau mendengar hal itu?’” serunya. “Siluman tulang kumala Ih Ing hoa….”

serentak melonjakkan Ban Thian  seng dari duduknya, serunya kalap, “Siluman tulang kumala? Dimanaa  ia sekarang?”

Hu ing geleng geleng kepala tak menyahut.

“Apakah engkau tak tahu?” Ban Thian-seng menegas. “Tahu sih tahu tetapi tak perlu me mberi tahu kepada mu!” “Hai apakah kau hendak mencoba rasanya siksaan yang

paling hebat dalam dunia?” teriak Ban Thian  seng  dengan mur ka seraya ulurkan tangan menyambar tangan Hui ing.

“Sekalipun engkau dapat menggunakan siksaan yang paling ngeri dalam dunia untuk menyiksa diriku, tetapi akupun dapat me mbunuh diri di hadapanmu!” Ban Thian seng tertegun dan lepaskan cekalannya, “Mengapa engkau tak mau beritahukan (e mpat tinggal Ih Ing- hoa?”

“Ketahuilah, kuberitahukan kepada mu sekalipun aku juga takkan hidup!” Hai ing tertawa.

“Engkau takkan kubunuh, bilanglah!”

“Dan bebaskan dulu suhengku itu, baru nanti aku bilang!”

Ban Thian-seng terpaksa ulurkan tangan mencekal rantai pengikat siu-la m. sekali kerahkan tenaga, tali rantai itupun putus berkeping keping.

“Nah, sekarang bilanglah!” serunya.

Hui ing geleng geleng kepala, “Tidak jadi, sekarangpun tak dapat kukatakan!”

“Mengapa?” bentak Ban Thian seng marah.

“Karena jika tadi, engkau hanya me mbunuh aku seorang. Tetapi jika sekarang, engkau tentu me mbunuh aku berdua dengan suhengku!”

“Engkau begitu pintar, apa Ih Ing Hoa yang mengajarkan kepadamu?” seru Ban Tbian- Seng.

“Benar, kecuali dia, siapakah yang ma mpu me mberi ajaran tentang cara menjaga hati orang yang gampang berobah itu?” sabut Hui- ing.

“Lalu bagaimana kehendakmu?” seru Ban Thian seng. “Antar aku keluar dari guha ini dulu, baru nanti kukatakan!” “Baik,” sahut Ban Thian seng seraya menyambar tubuh Siu-

lam terus dibawa loncat ke luar guha.

Hian Song tak mengira bahwa Hui ing dengan mudah dapat meno long Siu-la m. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu ketika me lihat Siu-la m dibawa keluar oleh Ban Thian seng. Darahnya tersirap dan seketika timbullah rasa gundah dalam hatinya. serentak ia menghunus pedang dan mengikuti dibelakang Hui ing.

Dalam me mbawa tubuh Siu-la m. Ban Thian seng hanya menggunakan sebelah tangannya dan dengan ringan sekali ia berlo mpatan seperti di tanah datar. sekalipun  Hui  ing mengejar dengan sekuat tenaga, tapi tetap tak dapat menyusul.

Melibat ilmu meringankan tubuh dari Hui- ing itu tak dibawabnya, diam diam Hian-Song terkejut. Ia kuatir  tak dapat menyusul. Cepat ia melambung keatas sebuah batu gunung lalu loncat turun kebaWah, tepat dibadapan Hui ing.

Hui- ing terpaksa berhenti. “Mau apa kau?”

“Ada beberapa hal yang hendak kutanya kan kepadamu?” jawab Hian song.

“Apa?” kata Hui-ing seraya lanjutkan larinya agar jangan kehilangan jejak Ban Thian  seng. Terpaksa Hian-Song mengikut inya.

“Hendak engkau bawa ke manakah engkoh Siu-la m itu?” tanya Hian Song sa mbil berjalan.

“Entah, mungkin aku sendiripun tak dapat lolos,” sahut Hui- ing.

“Apakah engkau sungguh-sungguh tahu di mana te mpat si Tulang kuma la itu?” tanya Hian-fOng pula.

“Sudah tentu tahu,” sahut Hui ing. “Ah, aku sendiripun dalam keadaan terdesak. Kalau tidak mengangkat guru kepadanya, Pui suheng tentu dibunuh!” kata Hian song.

Hui ing tertawa hambar, “Dia mati, bukan urusanku. Tetapi sekali berjumpa, tak sa mpai hati jika tak menolongnya!”

Dalam pada bercakap cakap itu, keduanya telah tiba dikaki gunung Disitu Ban Thian-ieng sudah menunggu. Hui ing menatap Ban Thian seng dengan pandang yang jernih, ujarnya, “Jika diam diam engkau menutuk jalan darahnya….”

Ban Thian seng cepat menyeletuk dengan marah, “Engkau anggap aku ini orang bagaimana? Masakan aku tak pegang janji. Jika sudah kutuluskan me mbebaskan dia, tak nanti aku mence lakainya secara diam dia m!”

Hui Ing tersenyum, “Kawan sepermainan sejak kecil sa mpai berangkat dewasa, pun tak dapat dipercaya. Apalagi kita yang baru saja bertemu. Masakan begitu saja aku percaya penuh!”

Tiba tiba Ban Thian seng tertawa gelak gelak, “Bagus, sekarang tulang kuma la telah menghasilkan seorang murid yang benar benar lain dari yang lain. Baiklah, akan kubuka jalan darahnya!”

Beberapa kali jari orang aneh itu menepuk tubuh Siu- la m. Kemudian meletakkan Siu- lam dan berpaling kepada Hui-Ing, “Nah, sekarang katakanlah.”

Hui ing gelengkan kepala, “Belum dapat!”

“Kalau masih ada per mintaan lagi, katakan semua!” seru Ban Thian seng.

“Diantara kita berempat ini, hanya aku sendiri yang tahu dimana te mpat tulang kuma la, benar tidak?” kata Hui- ing.

“Benar, jika ada lain orang lagi, tentu tak sudi aku begini sungkan kepada mu,” sahut Ban Thian-seng dengan mengkal mengkal geram.

“Kalau begitu tahanlah, aku seorang dan suruhlah suhengku pergi dari sini!”

sejenak Ban Thian seng me ma ndang kearah Siu-la m, lalu berkata, “Mudahlah untuk melepaskannya, tetapi engkau harus mengatakan dulu te mpat tinggal Tulang kumala itu!” “Sesungguhnya aku bukan murid  dari Tulang-kuma la, tetapi me mang kenyataannya ada pertalian guru dan  murid itu. Ketika berpisah, ia pernah memberitahukan kepadaku. Tak peduli apapun yang terjadi, tak boleh kupercaya pada orang. Pedang harus tetap berada dalam tanganku,” kata Hui- ing.

“Itulah kelicinan dari siluman pere mpuan lh Ing hoa!” seru Ban Thian seng la lu mela mbai kepada Siu- la m, “Lekas, tinggalkan tempat ini jangan sa mpa i terla mbat, aku nanti merobah hati ku dan me mbunuhmu!”

Tergerak hati Siu-la m me lihat pengorbanan yang dilakukan Hui ing kepadanya. Dengan berlinang linang air mata, ia berseru tak la mpias, “Sumoay, engkau….”

“Lekaslah pergi, jangan sampai hatiku berubah dan  tak suka meno longmu lagi!” tukas Hui ing menirukan nada Ban Thian seng.

“Tetapi dia seorang ganas. Jika aku pergi dia tentu tak mau me lepaskan engkau!” bantah Siu-la m.

“Tak apa, aku mas ih harus me mbawanya mencar i Tulang kumala. Masih ada sedikit waktu bisa hidup!” Hui ing tertawa.

saat itu barulah Siu- lam menyadari bahwa dara Hui ing yang dahulu menjadi kawan seper mainannya, kini telah menjadi seorang nona yang dewasa pikirannya.  Tenang, dingin dan tak mengacuhkan segala apa….

Tiba tiba Hui ing me manggil Ban Thian seng, “Locianpwe….”

“Meugapa?” pelahan lahan Ban Thian seng me ma lingkan kepala.

“Jika dia tak mau pergi, tandanya dia tak niat pergi.

Potonglah kedua kakinya saja!” kata Hui ing. Siu-la m terkejut. Ia menghe la napas dan berkata, “Sumoay berdua harap menjaga diri baik baik!” ia me mberi sala m, terus me langkah pergi.

Dua butir air mata  me leleh dari sudut mata  ketika mengantar pandang pada bayangan Siu- la m.

“Suhu, bolehkah aku mengantar suheng  sebentar?” pintanya dengan rawan.

“Tidak!” Ban Thian-seng gelengkan kepala  seraya menuding ke arah ja lan darah di paha dara itu.

Hian Song lunglai dan jatuh terduduk. Me mandang ke arah Hian-song, Hui ing bertanya kepada Ban Thian seng, “Apakah nona itu muridmu?”

Ban Thian seng mengia kan.

“Siluman Tulang kuma la me mberi tahu kepadaku bahwa Lo Hian itu seorang licin dan engkau seorang ganas.  Agaknya  me mang benar,” kata Hui ing seraya terus berputar tubuh terus melangkah ke muka pelahan lahan.

“Berhenti!” bentak Ban Thian-seng, “hendak ke mana engkau!”

seenaknya saja Hui ing berpaling dan melengking, “Hendak me mbawa mu mencari Tulang kumala!”

“Dima na?”

“Kira kira seratus li, tak sa mpai selengah hari tentu akan dapat mene mukannya,” kata Hui ing seraya cepatkan langkah seperti anak panah terlepas dari busur.

Ban Thian seng menjinjing tubuh Hian-  Song dibawa mengejar. Dengan ilmu mer ingankan tubuh yang hebat, dalam berapa kejab saja ia sudah dapat menyusul dibelakang Hui- ing. “Jika engkau berani menipu itu, akan kulepaskan se mua tulang belulangmu dan kule mpar ke dalam le mbah, biar engkau    digerogoti    se mut    sa mpai     mati!”     serunya me mper ingatkan Hui ing.

Hui ing tetap tentang. Ia acuh tak acuh menangapi ancaman itu. Larinya tak pernah di- kendorkan.

dalam pada itu, baiklah kita ikuti perjalanan Siu-la m. Ketika lari beberapa waktu, tiba tiba ia rasakan kedua lututnya sakit. Ia duga Ban Thian-seng tentu telah melakukan sesuatu terhadap dirinya. Terpaksa ia berhenti dibawah sebatang pohon siong. Ketika me mer iksa, ternyata kedua lututnya  itu me mang bengkak merah segera ia duduk menyalurkan tenaga murni. Mudah- mudahan  setelah dapat menghidupkan lagi urat-urat nadinya, ia dapat melanjut kan pejalanan lagi.

setelah mengala mi beberapa siksaan, hati Siu- lam makin teguh. Ia menyadari bahwa lukanya itu sukar disembuhkan sendiri. Ia segera bangun dan lanjutkan perjalanan. Tetapi luka-lukanya makin la ma makin sakit sekali sehingga sukar untuk dibawa jalan. Akhirnya ia mencar i dahan kayu untuk tongkat.

Dengan bantuan tongkat itu, walaupun sudah me ne mpuh perjalanan semala m setengah hari, tentu ia dapat keluar dari daerah gunung. Kemudian untuk me nghilangkan jejak, ia menyewa sebuah kereta. selama  perjalanan,  ia  menutup tenda kereta agar jangan diketahui orang.

Kini ia mulai mengakui bahwa dunia persilatan itu me mang penuh bahaya, tipu muslihat dan segala maca m kejahatan. setiap saat selalu terancam bahaya maut. Ah, jika  dia  dulu dulu tak belajar silat, tentulah ia tak usah menderita masih begitu. Ia tentu dapat hidup tenang di rumah.

Tetapi kesemuanya itu sudah terlanjur. setelah belajar silat, ia harus me manfaatkan untuk me mbalas dendam ke matian gurunya…. Tiba tiba ia teringat akan tindakan Hui- ing yang berani menipu Ban Thian-seng hanya demi menyelamatkan jiwanya ( Siu-la m ). Tetapi pengorbanan itu terlalu besar. Ia me mang selamat tetapi sumoaynya itu jatuh ketangan seorang iblis seganas Ban Thian seng. Jelas wanita. Tulang kumala Ih Ing- hoa itu sudah meninggal, tentu Ban Thian seng akan menyadari kalau dirinya ditipu. Ban  Thian  seng  pasti  akan me lakukan siksaan yang paling menger ikan kepada Hui- lng. Ah, mengapa ia tek berbuat sesuatu untuk menolong jiwa sumoaynya itu? Tetapi, kesemuanya itu harus mengandalkan kepandaian silat yang sakti….”

Tiba-tiba la munannya itu dibuyarkan oleh bunyi derap kuda mencongklang. seekor kuda dengon cepat lalu disa mping keretanya.

Walaupun terluka lututnya dan tak dapat berjalan tapi kepandaian Siu- lam masih belum lenyap. Mendengar pesatnya lari kuda itu, ia juga penunggangnya tentu mempunyai suatu urusan penting yang harus cepat cepat dilakukan.

Tiba tiba ia dikejutkan Oieh teriakan seseorang, “Hai, kuda mengkejutkan orang sa mpai mat i!”

Dan teriakan itu segera bersa mbut dengan suara hiruk pikuk orang r ibut r ibut. Karena Siu- lam pun tepaksa berhenti. Karena Ingin tahu, Siu-lam  menyingkap  ujung  tenda  dan  me longok keluar.

seorang penunggang kuda tengah dihadang oleh puluhan orang seorang perempuan berumur tiga puluh tahun tengah me me luk seorang anak yang berlumuran darah. sambil menangis, perempuan itu menjerit-jerit dengan kalap.

“Ganti jiwa anakku! Hayo, ganti jiwa anak ku ini!” teriaknya sambil me nangis.

Penunggang kuda itu tertawa dingin…. “Anakmu sendiri yang menubruk kudaku. Jangan banVak urusan, aku masih ada lain ke-pentingan. Nih, kuberi ganti sekedarnya!” seru penunggang kuda itu.

Makin keraslah tangis wanita itu, “Sekali pan kau ganti seribu tail e mas, tak nanti dapat menge mba likan jiwa puteraku!”

Penunggang kuda itu gelengkan kepala, “Orang yang mati tentu tak mungkin hidup ke mba li. Adakah aku harus mengganti jiwanya?”

“Benar, kau harus mengganti jiwanya….” teriak wanita itu.

Siu-la m gelengkan kepala, pikirnya, “Hutang jiwa me mang harus ganti jiwa. Tetapi jelas dia tak sengaja. Kurang layak kalau diharuskan me ngganti jiwa….”

Tiba tiba serangkum angin meniup. Ketika Siu- lam berpaling, tampa k seorang pe muda berbaju biru menyusup masuk kedalam keretanya. Diam-dia m Siu- lam kerahkan tenaga dan me mperhitungkan gerak-gerik pe muda itu.

Pemuda itu seenaknya saja menggulung tenda kereta lalu duduk pejamkan mata. sedikitpun tak menghiraukan Siu-la m.

Me mang Siu- lam menduga pemuda itu tentu memiliki kepandaian istimewa. Tetapi ia percaya, bahwa kecuali bertemu dengan tokoh-tokoh sakti setarap ketua Beng gak. ia masih dapat menghadapi. Mengingat dija lan banyak orang berkerumun, ia tak mau me ma ksa pe muda itu turun.

Tiba tiba pe muda itu masuk kedalam gerbong kereta. Terpaksa   Siu-la m   bersiap   siap.   Ia   tak   sempat    lagi me mperhatikan keadaan diluar.

Keretapun berjalan lapi. Ia kira tentulah perist iwa tubrukan itu sudah selesai.

Me mandang kearah pnmuda itu, tampak dia masih pejamkan ma la seperti tidur. Dia m-dia m Siu-la m heran mengapa begitu ceroboh sekali orang itu. Jika  bertemu dengan orang jahat, tentu mudah dicelakai.

Beberapa kejap ke mudian, pe muda itu me mbuka  mata, me mandang Siu- la m. “Terima kasih atas budi pertolongan anda!”

“Ah, tak perlu mengucapkan begitu,”Sahut Siu- la m. Pemuda itu me mberi hor mat dan minta diri. “Tunggu sebentar, aku hendak bertanya.” “Silahkan,” kata pemuda itu dengan hor mat.

“Bagaimana anda mengatakan bahwa aku telah meno long jiwa anda?” tanya Siu-la m.

Pemuda itu menghe la napas pelahan, “Aku telah dikejar orang. Dalam gugup terpaksa menyelundup  kadalam kereta ini. Harap  saudara  maafkan,”   ringkas   saja   pemuda   itu me mber i keterangan tanpa menyinggung sebab-sebab pengejaran itu.

Siu-la m pua tak mau mendesak dan me mpersilahkan pemuda itu me lanjutkan perjalanan. Beberapa langkah jauhnya, pemuda itu balik ke mbali dan menga mati kedua lutut Siu-la m yang bengkak.

“Apakah   lutut   saudara   terluka?”   tanyanya.   Siu-lam me mandang lututnya. Ah, ternyata makin besar bengkaknya. iapun mengiakan.

“Apakah luka itu karena dipukul orang?” ke mbali pe muda itu bertanya.

“Benar, dipukul orang dengan pukulan ganas.”

Pemuda itu  mengangguk,  “Mengingat  saudara  telah meno long jiwaku, akan kuberitahukan tempat untuk berobat….” berhenti sejenak, ia melanjutkan  pula, “dan tempat itu dekat dari sini. Ilmu pengobatan orang itu, pada dewasa ini termasuk yang nomor wahid. selain dia, mungkin luka saudara itu sukar dise mbuhkan!”

Menyadari  bahwa  lukanya  memang  parah   benar   dan ke mungkinan tak dapat mencapai gunung Ko san, Siu-lam pun segera me minta keterangan tentang tempat itu.

“Terpisah dari sini hanya kurang lebih sepuluh li. Dari sini terus menuju ketimur terdapat sebuah kuil kecil. Disitu tinggal seorang ima m tua yang buta matanya. Asal saudara mohon kepadanya, jangan hanya luka begitu, sekalipun yang lebih berat lagi, dia tentu dapat mengobatinya!”

“Eh, apakah dia tak mau menolong orang?” tanya Siu- la m. “Tergantung  dari  peruntungan  saudara.  Jika  dia senang,

tentu mau  menolong  siapa  saja.  Tetapi  jika  tak senang, dia

akan biarkan saudara menunggu sa mpai tiga hari tiga mala m tak digubris!” habis berkata tanpa menunggu penyahutan Siu- lam lagi, pe muda itu terus lari pergi.

Dia m-dia m Siu-la m menimang. Baiklah ia mencoba ketempat itu. siapa tahu….

Baru ia berpikir begitu, tiba tiba dari jauh terdengar suara pemuda tadi, “Jika ima m itu me nanyakan dari siapa engkau mengetahui dirinya, harap jangan member itahukan bahwa aku yang kasih tahu Karena kalau tahu, bukan melainkan kakimu tak sembuh, juga jiwa mu terancam hilang!”

Siu-la m menyingkap tenda kereta. Ternyata pemuda itu sudah berada satu li jauhnya. Kereta segera diluncurkan ketimur.

Ternyata apa yang dikatakan pemuda tadi me mang benar. Kurang lebih sepuluh li, tibalah ia disebuab kuil kecil. Siu-la m hentikan kereta dan perlahan lahan turun. Ia terpaksa berjalan dengan dua buah tongkat. Ternyata dalam kuil itu tiada terdapat suatu apa. Halaman kuil penuh ditumbuhi rumput ila lang sehingga menutup jalan masuk kedalam kuil.

setelah berhasil masuk, Siu-la m me lihat seorang ima m rambut panjang yang tidur telentang dimuka meja pe mujaan. selain tumpukan rumput kering untuk alas tidur, lain  lain barang tak terdapat dalam ruang itu.

Siu-la m batuk batuk dan berssru pelaban, “Locianpwe…. “diulangnya beberepa kali tetapi ima m itu tetap diam saja.

selama me ngala mi peristiwa peristiwa, banyak dan pengalaman Siu-la m sela ma ini. Ia tak mau menggunakan kekerasan dan hanya duduk bersila menunggu.

sepernanak nasi la manya, barulah ima m itu terjaga dari tidurnya. sambil menge liat malas, ia menegur, “Uh, siapakah itu?”

“Aku yang rendah bsrna ma Pui Siu-la m.”

Ima m itu berbaiik tubuh me mbelakangi Siu- la m, serunya, “Mau apa engkau ke mari?”

“Aku hendak mohon pengobatan!”

“Aku sendiri ha mpir mati, bagaimana ma mpu meno long orang? Pergilah, jangan mengganggu tidurku!” seru ima m itu.

“Biarlah kutunggu sa mpai nanti lo cianpwe bangun lagi, ” kata Siu Jam dengan sabar.

Tiba-tiba imam itu tertawa gelak gelak. “Apakah engkau terluka berat? “tanyanya. Dan ima m yang buta kedua matanya itupun serentak berbangkit duduk, “Siapa yang me mberi-tahu kepadamu tentang diriku ini?”

Siu-la m hendak mengatakan diri pe muda baju biru itu tetapi tiba tiba ia teringat akan pesannya. Ia tak menyahut. Walaupun matanya buta, tetapi ima m itu mesmiliki perasaan yang tajam sekali, “Hm. aku paling benci kepada seorang pembohong. Jika engkau berani bohong, jangan harap engkau dapat tinggal te mpat ini!”

Nadanya  bengis   dan   penuh   wibawa.   “Orang   yang me mber ilahu kepadaku itu. pesan wanti wanti supaya aku jangan mengatakan dirinya. Dan akupun sudah berjanji kepadanya.  Jika  lo   cianpwe   hendak   me maksa,   berarti me mbikin  susah  padaku,  “Sahut  Siu-la m  beberapa   saat ke mudian.

“Bukan orang itu seorang pemuda yang berumur dua puluh tigaan tahun, perawakan sedang dan kulitnya putih bersih?” tanya siima m buta.

Mendengar itu Siu- lam terkesiap. Ima m itu buta tetapi mengapa dapat mengga mbar wajah orang sedemikian tepatnya?

“Jika engkau tak mau me nerangkan berarti me mbenarkan dugaanku tadi!” seru siima m pula.

“Ah, maafkan, aku mohon diri saja, ” kata Siu-la m seraya menya mbar tongkat dan ayunkan langkah.

“Berhenti!” ima m buta itu mendadak berteriak. ia tak sangka kalau Siu- lam hendak pergi dengan begitu saja.

Siu-la m berhenti “Apakah kehendak locianpwe?”

“Karena berjalan dengan tongkat, lukamu tentu berat  sekali, bukan?”

“Kedua kakiku me mbengkak  besar, darah tak dapat menga lir lancar. Rasanya kaku seperti mati separuh!”

Siu-la m menghaturkan terima kasih dan ke mbali ia mohon diri hendak pergi.

Ima m buta itu terkesiap, “Eh, perlu apa engkau datang padaku?” “Berobat!”

“Kalau berobat mengapa belum diobati, eagkau sudah terburu-buru hendak pergi?”

“Walaupun me mang ingin sekali aku mohon pengobatan kepada lo-cianpwe, tetapi aku tak mau karena hal itu harus merusak kepercayaan  orang  terhadap  diriku.  Ialah  untuk me mber itahukan orang yang kasih tahu tempat lo-cianpwe ini ” sahut Siu-la m.

Ima m buta itu menghe la napas, “Rupanya engkau seorang yang jujur.”

“Ah, lo cianpwe keliwat me muji!”

Ima m buta itu me la mbaikan tangannya, “Ke marilah, akan kuperiksa luka mu!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar