Wanita iblis Jilid 30

Jilid 30

“APAKAH dahulu waktu bertempur dengan Lo Hian toako tak menggunakan senjata?” tanyanya kepada Lam- koay.

“Hanya dengan sepasang tinju saja!”

“Jika sekarang loako menggunakan pedang pusaka, apakah toako masih takut menghadapi muridnya Lo Hian saja?”

“Hai, siapa bilang aku takut  kepadanya!” teriak orang  aneh itu seraya me langkah maju.

Setelah berhasil me mbakar hati La m- koay, Siu-la m menatap Pak-koay, serunya: “Apakah dahulu lo-cianpwe juga bertempur dengan Lo Hian?”

“Sudah tentu!” sahut Pak- koay.

“Lo-cianpwe bertempur seorang diri atau bersama dengan Shin toako?”

“Ka mi bertempur dua orang!”

“Ah, kalau begitu, pada masa itu lo-cianpwe tentu baik  sekali hubungannya dengan Shin toako.”

“Seumur hidup aku tak pernah berbaik dengan dia!” “Tetapi mengapa lo-cianpwe me mbantunya?”

Pak-koay marah karena terus didesaknya saja: “Apa perlumu merengek-rengek tanya ini itu! Apakah engkau merasa tak menje mukan orang?”

“Apakah lo-cianpwe sekarang tak mau me mbantu Shin toako lagi?” Siu- lam hanya tertawa.

Pak-koay tertawa dingin: “Heh, coba saja, hatiku senang atau tidak!”

“Ah, tetapi lebih baik lo-cianpwe jangan me mbantunya. Biarlah dia terluka di tangan ketua Beng-gak. Dengan begitu bukankah lo-cianpwe akan terangkat menjadi jago no mor satu di dunia?”

Seketika berubahlah wajah Pak-koay, bentaknya: “Apa katamu?   Engkau    menganggap    aku    tak    ma mpu menga lahkannya!”

“Menurut apa yang kusaksikan, kesaktian Lam-koay dan Pak-koay itu berimbang Tak ada yang kalah atau menang. Seperti halnya dengan kemasyhuran nama lo-cianpwe berdua. Setiap menyebut Lam-koay Shin Ki orang tentu akan teringat akan Pak-koay Ui Lian.”

Pak-koay tertawa gelak-gelak: “Me mang benar…” tiba-tiba ia berhenti tertawa. Sepasang matanya berkilat-kilat  taja m, me mandang ke muka.

Menurut arah yang dipandang orang aneh itu, Siu- lam terkesiap, kiranya saat itu Lam- koay tegak berdiri dengan lintangkan pedang. Sedang wanita baju kuning itupun perlahan-lahan melangkah ke muka. Jarak keduanya hanya terpisah satu tombak.

Dan ketika berpaling ke muka lagi, ta mpak Pak-koay Ui Lian perlahan-lahan mengisar tubuh seperti hendak bergerak. Melihat itu hati Sin- lam terasa terlepas dari tindihan batu yang berat, pikirnya: “Menilik kenyataannya, walaupun kedua tokoh aneh itu selalu bercekcok, tetapi sesungguhnya mereka berdua selalu bantu me mbantu, sehidup se mati. Sekalipun tadi aku tak me mbakar hatinya, Pak-koay tentu tak nanti berpeluk tangan me lihat La m-koay celaka.”

Sebenarnya Siu-la m cukup parah lukanya. Tetapi ia selalu mengingat akan kata-kata Kak Bong taysu, bahwa jika La m- koay dan Pak-koay mau bersatu, kemungkinan  tentu dapat  me mbendung serangan ketua Beng-ga k. Maka dengan menahan sakit, Siu-la m tetap berusaha untuk me mbujuk dan me mba kar hati kedua tokoh aneh itu supaya mau menghadapi ketua Beng-gak. Setelah kedua tokoh itu maju, ia merasa longgar hatinya. Tetapi begitu ia kendorkan pengerahan lwckangnya, tiba-tiba ia rubuh ke tanah....

Tay Ih siansu bergegas-gegas mengha mpir i. Ia menyusupkan dua butir pil ke mulut  pe muda  itu  lalu menyalur kan Iwekangnya ke pusar Siu-la m.

Kurang lebih sepe minum teh lamanya, pemuda itu dapat menghe la napas dan sadar. Tetapi saat itu pertempuran telah pecah. Lam-koay putar pedangnya menjadi segulung sinar yang mengurung si wanita baju kuning. Ketua Bcng-gak itupun bergerak luar biasa cepatnya. Yang tampak hanya sinar putih mengurung sinar kuning. Sedangkan tubuh kedua orang itu ha mpir tak kelihatan lagi….

Pak-koay masih tegak berdiri melihat di samping. Dengan begitu, rupanya ia anggap La m-koay masih cukup tangguh menghadapi lawan.

Siu-la m menghela napas panjang, serunya: “Ke masyuran nama La m-koay-Pak-koay, me mang bukan na ma kosong!”

Sengaja ia berseru nyaring agar didengar Pak-koay. Buru- buru Tay Ih siansu mencegahnya agar jangan mengeluarkan tenaga dulu karena lukanya baru se mbuh. Siu-la m berpaling ke arah barisan Lo-han-tin. Katanya dengan berbisik: “Apakah mereka terdiri murid- mur id pilihan?”

“Setiap orang paling sedikit me mpunyai peyakinan ilmu silat selama dua puluh tahun.”

“Bagus,” sambut Siu la m, “harap taysu suka mengundang Tay To dan Tay Hian siansu ke mari. Kita kerahkan seluruh tenaga untuk me mpertahankan te mpat ini mat i- matian….”

“Jangan kuatir, sicu. Tanpa mendapat perintah loni, mereka tentu tak berani meninggalkan tugasnya!”

Siu-la m menghe la napas pula: “Jika kedua lo-cianpwe La m- koay dan Pak-koay, wanpwe dan para siansu di sini sa mpai kalah, ke mungkinan dan lain- lain paderi Siau-lim-s i tentu tak dapat melawan serangan Beng-gak lagi!”

“Apa yang sicu kehendaki, harap lekas bilang agar loni segera mela ksanakan,” kata Tay Ih.

“Kiranya lo-s iansu tentu sudah menangkap  kata-kata wanpwe,” kata Siu-la m, “maksud  wanpwe, jika seluruh kekuatan  yang  kita  kerahkan   di   sini  tetap   tak   dapat me mbendung serangan Beng-gak, Siau-lim-s i tentu menyerah. Perlawanan dari sisa-sisa anak murid dalam gereja ini, hanya mengorbankan jiwa secara sia-sia saja. Wanpwe bermaksud agar barisan Lo-han-tin bagian belakang, termasuk  Tay  To dan Tay Hian siansu, agar dikerahkan ke sini. Kita me mbuat pertahanan yang terakhir. Selebihnya, lain-lain paderi yang masih berada dalam gereja agar diperintahkan  bersiap-siap me loloskan diri. Begitu mendengar bunyi penandaan yang kita lepas, mereka harus cepat-cepat melolos kan diri dari gunung Ko-san sini. Dengan begitu, andaikan  musuh  mau menghancur kan gereja Siauw-lim-si, tetapi anak mur id masih tersebar luas di dalam masyarakat. Sehingga harapan untuk me mbangun Siau-lim-si masih tetap ada!”

Rencana Siu-la m itu didasarkan apa yang disaksikan tadi. Bagaimana ngeri tidak mayat berpuluh-puluh paderi Siau-lim- si bergelimpangan menjadi korban keganasan orang Beng- gak.

“Omitohud!” seru Tay Ih dengan perlahan, “Loni perintahkan mereka!”

“Maaf, lo-siansu, obat apakah dalam botol yang lo-siansu pegang itu?” tanya Siu-la m.

“Pil pusaka Siok-beng-kim-tan dari Siau-lim-si!” jawab Tay Ih. Siok-beng kim-tan artinya pil mujijat untuk mencabut nyawa.

“Apa khasiat pil itu?”

“Menyembuhkan segala maca m luka luar dan dala m, menguatkan jiwa dan menyehatkan tubuh!”

“Tentu sangat berharga sekali!” “Ramuan bahannya sukar dicari.”

“Adakah me mpunyai khasiat untuk me mbangkitkan semangat juga?” tanya Siu- la m.

Tay Ih siausu mengiyakan.

Tiba-tiba Siu-la m ulurkan tangannya: “Apakah lo-siansu tak keberatan jika me mberi pil itu padaku?”

“Sicu adalah penolong Siau-lim-s i. Masakan budi sicu hanya cukup dibalas dengan sebutir pil saja?” segera ketua Siau-lim- si itu mengangsurkan botol pil kepada Siu- la m.

Siu-la mpun tak mau sungkan lagi. Begitu menuang pil, sekaligus ia menelannya empat butir. Kemudian me masukkan botol pil ke bajunya.

“Harap lo-siansu segera mengerahkan orang. Saat ini  sudah hampir pukul tiga, mungkin wanita baju kuning itu segera akan bergerak!!” katanya.

Tay Ih siansu tampa k merenung. Tiba-tiba ia bertanya: “Bergerak bagaima na?”

“Mungkin mereka akan menggunakan semaca m senjata rahasia yang sekaligus dapat melukai berpuluh-puluh orang!”

“Hai, jika sicu tak mengingatkan, loni pasti lupa. Gereja kami me nyimpan sebuah alat yang bentuknya seperti kuali raksasa. Alat itu khusus untuk menggagalkan serangan  senjata gelap.”

“Bagus, apakah terdapat anak mur id yang bisa menggunakan alat itu?” seru Siu la m.

“Murid angkatan kedua dari Siau-lim-s i pada umumnya dapat menggunakan alat itu. Hanya me mang jarang kita menggunakannya!”

“Bagus, lo-siansu,” Siu- lam girang, “alat-alat itu dapat mengatasi serangan  senjata  gelap  musuh,  dengan menganda lkan  kesaktian  ilmu  pedang Tat- mo-sa m-kia m, ke mungkinan wanpwe tentu dapat melawan ketua Beng-gak itu!”

“Tat- mo-kia m?” Tay Ih berseru heran.

“Ah, saat ini tiada waktu untuk me nceritakan. Harap lo- siansu segera mengerahkan orang!”

Tay Ih Siansu menurut setelah memesan  supaya  anak muda  itu  beristirahat   me mulangkan   tenaga,   ia   segera me langkah pergi. Pada lain saat delapan paderi jubah kelabu berlarian datang dan berjajar-jajar di muka Siu-la m. Ternyata mereka hendak melindungi Siu- lam dari setiap kemungkinan diganggu musuh.

Setelah me mperhitungkan bahwa paling tidak La m- koay dan Pak-koay tentu akan menghabis kan waktu beratus-ratus jurus untuk mene mpur ketua Beng-gak, Siu-la m me mutuskan untuk berse medhi dulu me mulihkan tenaga. Tapi karena pikirannya tertuju pada pertempuran antara Lam- koay Pak-koay lawan  ketua  Beng-guk,  dia  tak  dapat me musatkan pikirannya. Setelah menjalankan peredaran jalan darah beberapa saat, ia segera loncat bangun.

Ketika melihat Pak-koay ternyata sudah Imenceburkan diri dalam gelanggang pertempuran, Siu-la m tercekat dalam hati. Pikirnya: “Apakah La m- koaydalam keadaan terdesak sehingga Pak-koay perlu me mbantunya?”

“Sudah berapa jurus mereka bertempur?” tanyanya kepada rombongan paderi.

“Paling tidak sudah lebih dari seratus jurus,” sahut mereka.

Siu-la m me minta kedelapan paderi itu ke mbali ke posnya masing- masing. Lalu ia maju mengha mpiri ke gelanggang pertempuran.

Saat itu kedua tokoh aneh sudah mencapai babak genting dalam perte mpurannya me lawan wanita baju kuning. Mereka bertiga bergerak-gerak cepat sekali laksana bayangan. Tapi anehnya sedikit pun tidak kedengaran suaranya.

Ternyata pertempuran itu merupakan perte mpuran gerak cepat. Masing- masing berusaha untuk mendahului menindas lawan. Masing- masing telah kerahkan tenaga sakti dalam ujung jari dan ujung senjata. Begitu mendapat lubang kesempatan, baru akan dilancarkan sepenuhnya. Itulah sebabnya maka walaupun bergerak cepat tapi tak terdengar suara apa-apa.

Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring dan Pak- koaypun loncat keluar dari gelanggang lalu lepaskan dua buah pukulan kepada wanita baju kuning.

Rupanya tokoh aneh itu tak sabar lagi berte mpur tele-tele. Segera ia lepaskan pukulan Hian-peng-ciang atau pukulan es sakti. Deru angin pukulan yang menyerupai badai di pegunungan salju itu mengandung hawa yang dingin menggigit tulang, seluas dua meter di sekitar tempat itu, terasa dingin me nguak.

Di dalam me nghadapi kedua tokoh  aneh  itu sesungguhnya si wanita baju kuning sudah kepayahan. Sepuluh tahun dikurung dalam penjara di bawah tanah, sepanjang hari kerja kedua manusia aneh itu hanya bersemedhi meyakinkan ilmu lwekang. Dengan de mikian lwekang mereka bertambah hebat. Sekalipun dalam jurus permainan silat, mereka kalah hebat dengan ketua Beng-gak tetapi dalam hal tenaga dala m, mereka lebih kuat.

Pak-koay dengan cepat dapat mengetahui kele mahan lawan. Maka segera ia loncat keluar dari gelanggang dan lepaskan pukulan dingin.

Ketua Beng-gak me lengking nyaring. Cepat-cepat ia menutuk dengan dua buah jari untuk me maksa La m- koay menarik serangannya. Lalu menggunakan kese mpatan itu untuk menyongsong pukulan Pak-koay dengan mendorongkan kedua tangannya.

Sekalipun La m-koay mahir dalam me ma inkan berbagai senjata, tetapi dalam ilmu pedang ia agak le mah. Sekalipun mence kal pedang pusaka tetapi ia merasa masih kurang leluasa bergerak.

Pada Saat wanita baju  kuning  loncat mundur  untuk menya mbut pukulan Pak-koay tadi, La m- koaypun segera berpaling  ke  arah   Siu- la m:   “Nih,   terima lah   pedangmu ke mbali!” sekali lontar, pedang Pek-kau-kia m melayang di hadapan Siu-la m. Pedang itu menyusup ke dalam tanah keras hingga tinggal kelihatan tangkainya.

Dahulu ketika berhadapan dengan Lo Hian, hanya dalam seratus jurus saja Lam-koay dan Pak-koay sudah terluka. Kala itu wanita baju kuning yang kini menjadi ketua Beng-gak baru berumur sebelas-dua belas tahun, seorang anak perempuan yang rambutnya dikuncir dua dan lincah. Melihat kedua orang itu terluka, bocah perempuan itu bersorak-sorak kegirangan menertawakan La m-koay dan Pak-koay. Karena takut kepada Lo Hian, ma ka La m-koay dan Pak-koay diamkan saja tingkah laku bocah pere mpuan itu.

Tetapi La m-koay dan Pak-koay itu seorang pendendam. Tingkah laku bocah pere mpuan itu tak pernah dilupakan dan tak pernah pula dimaafkan. Dia m-dia m keduanya mencatat dalam hati tentang wajah dan ciri- ciri bocah pere mpuan itu. Maka walaupun bocah itu sudah menjadi seorang wanita setengah tua, tetap kedua tokoh itu dapat mengenali rasa benci dan gsntar mencengka m hati kedua tokoh aneh itu.

Gentar karena kuatir jangan-jangan perempuan itu dapat mewaris i kepandaian Lo Hian. Benci, karena dahulu mereka diejek. Itulah sebabnya maka baik La m-koay maupun  Pak- koay tak mau buru-buru turun tangan.

Adalah karena Siu- lam telah me mbakar hati mereka, maka terpaksa mereka marah dan menghadapi wanita itu. Ke mudian setelah bertempur belasan jurus, barulah rasa takut mereka mulai menurun.

Ternyata mereka mendapatkan bahwa perempuan itu walaupun me miliki jurus per mainan yang serupa dengan kepandaian Lo Hian, tetapi tenaga dalamnya tidak begitu hebat.

Dan setelah Pak-koay Ui Lian ikut turun ke gelanggang, situasi ma kin berubah. Hanya berkat ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa, ma ka wanita itu dapat me ma ksa kedua lawannya tak berani me mandang rendah.

Tetapi Pak-koay yang tajam matanya dan luas pengalamannya, dengan cepat mengetahui kele mahan lawannya itu. Segera ia loncat keluar untuk adu pukulan dan Iwekang. Tatapi ketika saling berbentur, Pak-koay dapatkan angin pukulan  yang  mengandung   Iwekang  dingin  itu   seperti  me mbentur keping baja dan meniup balik.

“Hai, ilmu apakah yang dimiliki wanita itu?” dia m-dia m Pak- koay terkejut dalam hati. Buru-buru ia kerahkan semangat untuk menghadapi tenaga yang me mbalik itu.

Setelah mele mparkan Pek- kau-kia m kepada Siu-la m, La m- koay segera berputar tubuh dan lontarkan pukulan.

Pukulan Cek-yan-ciang  yang  bersifat  panas,  telah mengge mpur dan mendorong pukulan dingin Hian-peng-ciang yang sedang tertahan oleh Iwekang tutukan jari ketua Beng- gak. Dan tcrgempur lah rintangan keping baja dari Iwekang ketua Beng-gak....

Wanita itu tergetar tubuhnya, mundur dua langkah kebelakang seraya menyambut pukulan La m-koay.

Nona baju merah yang sejak tadi berdiri di pinggir, rupanya mengetahui juga tentang bahaya yang mengancam suhunya. Buru-buru ia me mutar pedang mengajak Siau Yau- cu dan rombongannya maju.

Tetapi wanita baju kuning itu segera menyusupkan dengusan dingin ke telinga nona itu.

Nona baju merah  itu tertegun mendengar bentakan suhunya. Serentak ia berhenti.

Pak-koay me mbentak keras dan lepaskan pukulan lagi….

Pukulan kedua itu lebih kuat dari pukulan yang pertama tadi. Anginnya menderu!

Meughadapi adu kekuatan lwekang itu, sesungguhnya dalam hati si wanita baju kuning sudah menge luh. Ia pun menyadari sukar untuk menghadapi kedua tokoh aneh itu. Namun ia tetap berusaha bersikap setenang mungkin. Dan yang lebih hebat lagi,  sesaat Pak-koay lepaskan pukulan Hian-peng-ciang, La m-koay pun menyerempa ki dengan pukulan panas Cek-yang-ciangnya.

Me mang sejak dijebloskan dalam penjara di bawah tanah, dalam penderitaan senasib dan saling terikat batinnya, Pak- koay lepaskan pukulan yang kedua itu, merupakan suatu isyarat bagi Lam-koay supaya bertindak. Dengan mata berapi- api me mancarkan kebuasan  La m-koaypun  segera  menghanta m.

Tiba-tiba ketua Beng-gak itu miringkan tubuhnya, sekali lengan kanannya bergerak, ia tebarkan selembar tenda putih maca m bayangan. Ternyata benda itu merupakan sehelai kain sutera putih. Dan ketika  kedua pukulan panas dingin itu terbentur  dengan  sutera  putih,  tiba-tiba  sutera  putih  itu me la mbung ke udara. Wut. Wut… angin kedua pukulan itu menya mbar di bawah sutera putih.

Kiranya setelah menyadari bahwa tak mungkin menghadapi kedua pukulan sakti, segera wanita itu mengeluar kan sutera putih. Begitu ditebarkan, ia diam-dia m me mperhitungkan jarak kedua lawan lalu salurkan Iwekangnya menyelubungi sutera itu.

Sutera itu tipis sekali tetapi licin dan ulet. Dan me mangnya bukan bahan sutera biasa tapi dari ulat sutera yang jarang terdapat di dunia.

Dengan tepat sekali ketua Beng-gak itu menunggu sa mpai angin pukulan melanda, baru ia mela mbung ke udara. Dan tatkala  kedua  tokoh  itu  terkejut  karena  pukulannya mengha mbur ke tanah, ketua Beng-gak sudah meluncur turun dan terus menyerang La m-koay. Sambil mena mpar dengan tangan kiri, ia menabas La m-koay dengan sebatang belati emas.

Telinga La m- koay luar biasa tajamnya, begitu mendengar suara baju berkibar, segera ia menduga tentu musuh menyerangnya. Buru-buru ia menghindar dua langkah ke samping.

Tetapi wanita baju kuning itu tak mau me mberi kesempatan lagi. Sekali gerakkan tangan, belati emas itu tiba- tiba melayang ke arah La m-koay.

Timpukan itu luar biasa cepatnya. Betapa pun saktinya Lam- koay tetapi karena tak menduga sama sekali, ia tak dapat menghindar atau menangkis lagi.

Wut… tiba-tiba Pak-koay menghanta m sehingga belati emas itu menyisih ke sa mping.

Luput menimpuk,  wanita baju kuning itu segera  maju mena mpar dada Lam- koay. Serangan itu istimewa sekali. Yang di arah pada ja lan darah yang berbahaya. Lam koay benar- benar tidak diberi kese mpatan untuk balas menyerang.

Pak-koay agak gelisah. Ia dapat membantu Lam- koay mengirim pukulan kepada wanita itu. Tapi karena wanita itu menggunakan siasat cerdik untuk merapat pada La m- koay, terpaksa Pak-koay tak berani gegabah menghanta m.

Tigapuluh jurus la manya Lam- koay dikurung dalam serangan deras oleh ketua Beng-ga k. Dahsyat dan cepatnya serangan si wanita, benar-benar me mbuat La m- koay kelabakan me mbela diri. Sa ma sekali ia tak ma mpu balas menyerang.

Dalam pada La m-koay mengikuti pcrte mpuran itu dengan penuh perhatian, ia sudah siapkan pengerahan Iwekang untuk setiap detik digunakan menghanta m ketua Beng-gak. Tapi wanita itu tidak ma u melepaskan siasat untuk menyerang secara merapat pada La m- koay.

Siu-la m pun mengetahui juga akan siasat ketua Beng-gak itu. Secepat kilat ia me mpero leh akal.

“Awas Ui lo-cianpwe, wanita itu tentu sedang merencanakan t ipu muslihat...” serunya kepada Pak-koay. “Jangan kuatir,” Pak-koay tertawa dingin, “Shin tua meskipun kehilangan kese mpatan, tapi tak mungkin kalah. Pertempuran ma lam ini mereka pasti takkan ma kan enak….”

Tiba-tiba wanita itu melengking. Ia me nutuk dada La m- koay dengan dua buah jari....

Sebenarnya karena tak ma mpu melepas kan diri dari libatan serangan si wanita baju kuning, La m- koay marah sekali. Melihat totokan jari si wanita walaupun ganas tapi la mban, timbullah rencananya supaya ia dapat  menguasai kemba li kedudukannya.

Setelah menghimpun tenaga murni, tiba-tiba ia menyurut mundur dua langkah. Tapi pada saat ia hendak lancarkan serangan balasan, tiba-tiba dari tangan ketua Beng-gak yang menutuk tadi, meluncur sebatang belati kecil bersinar hijau.

Serangan itu benar-benar tak terduga sama sekali. Betapapun kesaktian La m-koay, tapi karena diserang dari jarak yang dekat, ia tak berdaya menghindar lagi. Dalam gugupnya ia miringkan tubuhnya ke samping. Dadanya terhindar tetapi bahu kirinya, terasa sakit sekali. Belati kecil menyusup sa mpa i ke tulang bahu!

Pak-koay mendengus. Cepat melesat maju menghanta m seraya memaki: “Hidung kerbau Lo Hian itu me mang pandai sekali me mbuat senjata gelap untuk mencelaka i orang. Kau, budak pere mpuan, kepandaian yang sejati tak ma mpu mewaris i sepenuhnya, sebaliknya me mpelajari warisannya yang jahat!”

Ketua Beng-gak itu menghindar ke sa mping lalu balas menutuk. Tutukan itu disebut tutukkan sakti Thian-kong-ci. Merupakan ilmu istime wa yang diwariskan Lo Hian. Seluruh Iwekang dipusatkan ke ujung jari, hebatnya bukan kepalang. Walaupun orang me miliki kepandaian ginkang yang tinggi untuk me lindungi diri, tapi tetap sukar menahan tutukan itu. Dahulu ketika berhadapan dengan Lo Hian, Pak-koay pun mender ita  kerugian  dari  tutukan  itu.   Rasa  ngeri   masih me mbe kas dalam hati. Maka begitu mendengar angin tajam mendesis desis, cepat-cepat ia loncat menghindar.

Tetapi wanita ketua Beng-gak itu tak mau me mberi kesempatan lagi. Kalau tadi kepada Lam- koay, sekarang kepada Pak-koay pun dilepaskannya sepasang belati hijau.

“Budak hina, engkau me mang pandai menyerang secara pengecut!” Pak koay membentak keras seraya menghantam belati itu.

Pada saat tangan Pak-koay sedang menghantam serangan belati, tiba-tiba wanita itu lontarkan sebuah jaring  sutera untuk menjar ing Pak- koay.

“Awas, Ui lo-cianpwe!” teriak Siu-la m.

Pak-koay terkejut. Tampa k jaring sutera yang ditebarkan ke arahnya itu mencangkup beberapa tombak luasnya. Walaupun me mpunyai ilmu gin- kang yang bagaimana  saktinya, tak mungkin dapat lolos.

Akhirnya Pak-koay nekad. Dengan menggembor keras, ia menghanta m wanita itu dengan seluruh tenaganya.

Jarak mereka hanya terpisah dua-tiga meter. Jika menghindar dari pukulan maut Pak- koay, wanita itu harus dilepaskan jaringnya. Kalau ia tetap hendak menguasai jaringnya, ia harus berani menangkis pukulan.

Belum ia menga mbil putusan, tiba-tiba pukulan Pak- koay sudah me landa datang, cepat-cepat ia menyedot napas dalam hati dan tiba-tiba tubuhnya melayang seperti layang-layang tertiup angin....

Siu-la m dan Tay Ih siansu, terkejut. Ternyata pukulan maut Pak-koay tak ma mpu melukai si wanita. Dan jaring sutera itupun sudah melayang turun ke atas kepala Pak-koay. Rupanya Pak-koay pun menyadari ancaman itu. Cepat ia berguling ke tanah menuju ke samping La m-koay sambil lepaskan pukulan untuk menahan jatuhnya jaring.

Tetapi jaring yang sehalus jaring-jaring laba-laba itu, entah terbuat daripada behan apa. Mata jaring berlubang besar sehingga angin pukulan selalu mere mbes keluar mata jaring. Dengan demikian, pukulan Pak-koay itupun tak kuasa menahan me luncurnya jaring ke bawah.

Melihat itu timbullah pikiran Siu-la m. Dengan menghunus Pek-kau-kia m, ia lari menyerbu ketua Beng-gak. Ia teringat bahwa pedang pusaka itu  dapat  menabas  segala  macam loga m. Kemungkinan tentu dapat menghancurkan jaring sutera.

Setelah melihat jaring dapat menyelubungi kedua Lam- koay dan Pak-koay, ketua Beng-gak segera lepaskan cekalannya dan menggunakan gerak Put-poh-teng-gong melayang ke udara lalu meluncur ke arah ro mbongan paderi.

Siu-la m menubruk angin kosong. Ia berpaling ke belakang dan tercengang. Kiranya Lam- koay dan Pak- koay sudah terjaring.

Dalam keadaan bahaya itu, makin ta mpak ikatan batin kedua tokoh aneh itu. Dengan cepat Pak-koay menyanggakan kedua tangannya menahan jaring seraya berseru: “Lekas  cabut senjata yang menyusup pada bahumu itu. Kerahkan Iwekang mengobatinya  dan  marilah  kita  segera  menghancur kan jaring ini! ”

Tay ih siansu pun segera bertindak. Setelah me minta supaya Siu-la m mengur us kedua La m-koay dan Pak-koay, ia segera menyerang ketua Beng-gak dengan tongkatnya. Serempak dengan gerakan ketua Siau-lim-si itu, di tengah- tengah rombongan paderi Siau-Iim-s i telah terjadi keributan. Paderi-paderi itu berdesak-desak menyingkir dan di bagian tengah terbuka sebuah tempat kosong seluas satu to mbak. Tiba-tiba wanita baju kuning mengge liat ke udara. Bagai seekor burung belibis, ia meluncur pula ke tanah dan luputlah serangan Tay Ih siansu tadi. Tetapi saat itu barisan Lo-han-tin pun segera bergerak.

“Berhenti!” bentak wanita baju kuning itu dengan bengis.

Tay Ih siansu segera me mber i isyarat supaya Lo-han-tin berhenti dulu. Ke mudian ia bertanya: “Jika ketua Beng-gak hendak bicara, silahkan. Loni bersedia mendengar,” seru ketua Siau-lim-si.

Wanita baju kuning itu tertawa dingin: “Rupanya kalian hanya mengandalkan tenaga La m- koay dan Pak-koay. Sesungguhnya kedua orang itu me mang merupa kan tandingan berat. Sungguh di luar dugaan bahwa kalian dapat mengundang bantuannya. Tetapi lihatlah. Mereka telah dapat kujaring dan jelas tak ma mpu me mbantumu lagi ”

Tiba-tiba wanita itu berganti nada nyaring: “Masih ada sebuah kesempatan dan kesempatan ini merupakan yang terakhir kali. Menyerah dan dengar perintahku, masih ada harapan tertolong. Tetapi kalau keras kepala, jangan salahkan aku berlaku ganas. Kubumi- hapuskan gereja ini dan kubunuh semua paderi- paderinya!”

Dari  wajah  Tay  Ih  siansu  yang   penuh  welas  asih,   me mancar cahaya kerawanan. Sahutnya dengan tandas: “Loni bersama ratusan anak mur id, telah bertekad untuk pecah sebagai ratna. Jika Beng-gak hendak me mba kar gereja ini, sebelumnya Beng-gak harus mela lui tumpukan mayat ka mi.”

Wanita itu tertawa hambar: “Baiklah, hendak kucoba dulu barisan Lohan-tin yang ka mu banggakan itu. Sampa i di manakah kehebatannya!”

Wanita itu menutup kata-katanya dengan taburkan tangannya ke atas.  Sebuah  benda  hitam  mendesing  dan me la mban sa mpai tujuh delapan to mbak tingginya. Dor.... benda itu meletus dan pecah berha mburan jadi letikan bunga api.

“Si hidung kerbau Lo Hian itu me mang paling ge mar bermain ilmu setan, kalian harus hati-hati!” Seru Pak-koay dari dalam jaring.

Saat itu Siu-lam menghunus Pek-kau-kia m dan berada di hadapan kedua tokoh aneh. Ternyata jaring itu luar biasa sekali. Seolah-olah me mpunyai alat rahasianya yang dapat menyurutkan jaring itu menjadi se mpit. Dan saat itu jaring telah menjerat kencang-kencang kedua La m- koay dan Pak- koay.

Waktu ditaburkan ke udara tadi,  jaring  itu  berke mbang me mbesar sehingga tali-talinya menjadi halus sekali maca m rambut. Tetapi pada saat jaring itu mengecil mencengka m tabuh kedua tokoh tersebut, tali-talinya  mengumpul dan menjadi besar.

Siu-la m sudah menduga jaring itu tentu mempunyai rahasia tetapi untuk beberapa saat ia belum dapat mene mukan kuncinya. Dan sekalipun ia mencekal pedang pusaka na mun karena tali jaring itu me lekat pada tubuh kedua La m-koay Pak- koay, ia tak berdaya untuk me mapasnya.

“Belati pere mpuan siluman itu dilumur i racun. Saat ini racun telah bekerja menyerang tubuhku. Jika kucabut belati  itu, dikuatirkan racun akan bekerja lebih cepat,” kata Lam- koay.

Dalam pada itu Pak- koay masih tetap berjuang menyangga jala agar La m- koay tetap dapat duduk dengan leluasa.

Sedang Siu-la m mas ih termenung me mikir kan alat rahasia daripada jaring yang dapat menge mbang besar dan menyurut kecil itu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh ledakan ke mbang api yang dilontarkan kc udara oleh wanita itu. Screntak sadarlah ia. “Biarlah jaring ini dapat menge mbang surut tetapi yang penting harus kucoba me mutuskan dengan Pek- kau-kia m. Apabila berhasil, mudahlah untuk menolong kedua lo-cianpwe itu!” pikirnya.

Tetapi alangkah kejutnya ketika menebas dengan Pek-kau- kia m, jaring itu ma kin menyurut dengan cepat sekali. Siu-la m kerahkan tenaga, sekali mencungkil, pulaslah sehelai  tali jaring. Tetapi serempak dengan itu, Pak-koaypun mendengus. Ternyata jaring itu ma kin menyurut kencang.

Terpaksa Siu- lam tak berani me motong lagi. Otaknya yang cerdik segera bekerja. Untuk memotong jaring harus menggunakan tenaga besar. Pertama, begitu tersentuh benda, mata jaring itu akan menyurut ma kin cepat. Apabila sebuah mata putus, maka semua mata jaring akan bergerak menyurut dengan serempak. Padahal jaring itu menpunyai ribuan mata jaring. Selain me mer lukan waktu la ma, pun penyurutan mata jaring yang lain tentu lebih  menghebat lagi sehingga dikuatirkan La m- koay dan Pak- koay tak dapat bertahan diri.

Kedua kali, karena tali-tali jaring itu halus sekali, apabila menyurut dan mencengka m orang, tentu akan setajam pisau. Sekalipun orang me miliki Iwekang tinggi, mungkin juga tak dapat bertahan lama.

Jika Siu-la m agak gelisah. Sebaliknya wanita baju kuning itu enak-enak saja. Sedikitpun ia tak mau berpaling  kepala  ke arah kedua korbannya. Rupanya ia sudah mempunyai keyakinan bahwa Siu-la m dengan pedang pusakanya tak mungkin dapat menghancur kan jaring itu.

Saat itu barisan Lo-han-tin benar-benar mulai bergerak. Tongkat golok kwato berhamburan me landa ketua Beng-gak. Anggota barisan itu merupakan mur id pilihan dari gereja Siau- lim-s i. Selain bcrla mbar kan tenaga Iwekang t inggi, pun jurus- jurus per mainannya a mat dahsyat. Barisan Lo-han-tin yang terdiri dari seratus delapan orang, dipimpin oleh Tay Lip dan Tay To siansu. Sementara Tay Ih siansu dengan menceka l tongkat siangciang, menjaga gerak-gerik ro mbongan Siau Yau-cu dan kelima barisan Beng-gak. Dan  seperti yang telah diduganya, ke mbang api yang  dilontarkan  ketua  Beng-gak  itu  tentu me mpunyai tujuan tertentu.  Ternyata  kelima  ro mbongan mur id Beng-gak yang berpakaian lima maca m seragam  itu, me mecah diri lalu tangan mereka sa ma me megang seputik api berwarna kebiru- biruan.

Kemudian wanita baju kuning itu me la mbaikan kebut hud- tim la lu me mimpin rombongan Siau Yau-cu me langkah ma ju.

Barisan Lo-han-tin yang angker telah ditabur dengan api biru. Ruang gereja yang suci berubah menjadi seperti daerah tempat iblis- iblis berkeliaran....

Siu-la m segera menga mbil botol pil. Dia menga mbil tiga butir pil lalu ditelannya. Dengan mengge mbor keras, ia loncat menerjang si wanita baju kuning.

Anak muda itu benar-benar menga muk seperti banteng terluka. Pedang diganti dengan sebuah pukulan sakti Hud- hwat-bu-pian ke dada Siauw Yau-cu.

Hud-hwat-bu-pian adalah ilmu pukulan sakti ajaran dari mendiang Tan lo-cianpwe atau kakek dari Hian song. Betapapun saktinya Siau Yau-cu, namun dia terpental mundur sampai tiga langkah juga.

Setelah berhasil melukai Siau Yau-cu, Siu-la m menyerang Bu-ing-s in-kun Pek Co-gi dengan pedang.

Melihat itu Su Boh-tun segera gunakan gerak Chit-seng- tun-heng menghantam lengan Siu-la m dari sa mping. Siu-la m endapkan lengannya. Pek-kau-kia m tiba-tiba diganti dengan jurus Jiau-toh-co-hua dan tetap diserangkan pada Pek Co-gi. Sedang dengan tangan kiri ia menyambut pukulan Su Boh-tun. Bum… terdengar dua buah tinju saling berhantam keras. Tubuh Siu-la m terhuyung sehingga tusukan pedangnya kepada Pek Co-gi itupun mencong ke samping. Tetapi walaupun terlepas dari bahaya maut, lengan kanan jago Tibet itu tetap tergurat ujung pedang. Darah bercucuran deras....

Tetapi Siu-la m pun menderita. la muntah darah. Tetapi pada lain saat Su Boh-tun pun menyusul mendesak lalu mundur. Pukulan yang ha mpir menyentuh dada Siu- lam pun ditariknya ke mba li.

Kiranya pada waktu Siu-la m muntah darah, ia semburkan darah ke muka Su Boh-tun sehingga sepasang mata tokoh she Su itu  menjadi  gelap.  Terpaksa  ia  mundur.  Jika   tidak meye mburkan darah, mungkin Siu-la m terluka parah.

Anehnya setelah menyemburkan darah, semangat Siu- lam ma lah tambah segar. Cepat-cepat ia mundur ke belakang dan menelan dua butir pil lagi.

Saat itu barulah Tay Ih siansu mengetahui kenapa Siu- lam me minta botol pil tadi, Ia terharu atas kenekadan Siu- la m. Pikirnya: “Setelah mener ima pukulan dari wanita siluman tadi, Pui sicu tentu merasa sudah tak sanggup melawan lagi maka dia me mberanikan diri  me minta botol  pil.  Dengan menganda lkan khasiat pil itu,  dia  tetap  akan  melawan musuh ”

Dalam pada itu Sam-kia m-it-pit Tio Hong-kwat dan Kiu- seng-hui-hoan bergerak menyerang Siu-la m. Sedangkan wanita baju kuning menyelinap dari sa mping Siu-la m, terus mengha mpiri La m- koay dan Pak- koay.

Tay Ih siansu mengucapkan Omitohud lalu loncat ke muka Siu-la m. Dengan jurus Lat-soh-ngo-gak atau Menyapu Lima Gunung, ia serang Sam-kia m-lt-pit Tio Hong- kwat dan Kiu- seng-hui-hoan Kau Cin-hong. Desakan Siau-lim-s i itu me ma ksa kedua tokoh tersebut menyingkir mundur.

“Lo-siansu harus lekas melindungi Lam dan Pak kedua lo- cianpwe itu, di sini wanpwe mas ih dapat bertahan!” bisik Siu- la m. “Harap Pui sicu hati-hati, luka sicu…” baru Tay Ih siansu berkata sampai di situ, Siu- lam sudah me mbentaknya: “Silahkan lekas pergi!”

Habis berkata, kemba li Siu- lam muntah darah. Na mun pemuda yang nekad itu menyerang lagi dengan jurus It-cut- mo-thian. Pedang Pek-kau- kiam berubah menjadi lautan sinar putih yang melanda ke arah rombongan tokoh-tokoh yang telah menggabung pada Beng-gak.

Dalam ro mbo ngan mereka, Siau Yau-cu yang dianggap sebagai Dewa pedang, telah menderita pukulan di dada dan terluka dalam. Dia sedang bersemedi me mulangkan napas. Sedang jago Tibet Pek Co-gi, tangan kanannya terkena tusukan pedang sehingga tak mampu melepaskan pukulan Bu- ing-sin- kun lagi.

Maka walaupun ro mbo ngan mereka berjumlah banyak tapi mereka jeri juga diamuk oleh pedang Siu-la m dan terpaksa mundur.

Ilmu pedang hebat baru akan memancarkan keperbawaannya apabila dimainkan dengan tenaga Iwekang yang tinggi. Tapi saat itu Siu-la m sudah mender ita luka dalam yang parah. Dalam usahanya mengundur kan ro mbongan tokoh-tokoh itu, ia telah menghabiskan seluruh tenaganya. Setelah mereka muudur, ia tak mau me ndesak mela inkan tegak berdiri melintangkan pedangnya. Sesaat ia merasa darahnya bcrgolak-golak. Punggungnya seperti memanggul beban yang berat sekali sehingga matanya berkunang-kunang dan tubuh terhuyung huyung ingin jatuh.

Tapi pikirannya tetap sadar. Jika  ia sampai rubuh, rombongan tokoh tokoh itu tentu akan maju  menyerbunya lagi. Maka ditahanlah sekuat-kuat tenaganya untuk berdiri tegak seraya deliki mata kepada mereka. Sepintas dipandang me mang sangat garang sekali sikapnya. Tapi sesungguhnya ia sudah kehabisan tenaga. Sebenarnya dalam pandangannya, saat itu rombongan tokoh-tokoh hanya tampak seperti segunduk bayangan hitam saja. Apabila salah seorang nekad maju, tentu ia tak ma mpu melawannya lagi.

Dalam pada itu Tay Ih siansu pun ternyata sudah bertempur hebat dengan ketua Beng-ga k.

Untunglah Siu- lam tertolong oleh pil Siok-beng-kim-tan. Setelah berdiri tegak berdiam diri beberapa saat, tenaganya mulai pulih, pandangan matanyapun berangsur-angsur terang.

Ia menghela napas panjang sa mbil lintangkan pedang di dada. ia merogoh keluar pil dan menuang dua butir pil lalu ditelannya.

Siok-beng- kia m-tan buatan Siau-lim-si me ma ng hebat sekali khasiatnya. Merupakan obat penyembuh luka dalam yang mustajab. Untuk menahan lukanya, terpaksa Siu-lam minum sa mpai setengah botol. Padahal pil itu sukar sekali mencari bahan ra muannya.

Dalam pada itu setelah menghapus noda darah pada wajahnya, Su Boh-tun me mandang sekeliling. Ta mpak ketua Beng-gak si wanita baju kuning,  sedang  bergerak  malang- me lintang dalam barisan itu. Muridnya si nona baju merah sedang bertempur melawan Tay Ih siansu. Sedang si nona baju kuning yg me mimpin ke lima barisan Beng-ga k, masih tegak menanggapi api berwarna biru. Entah apa yang tengah mereka lakukan.

Menganggap dirinya sebagai pe mimpin ro mbo ngan tokoh- tokoh persilatan yang tunduk pada Beng-gak, Su Boh-tun segera tertawa dingin lalu mela mba ikan tangannya:  “Hayo, kita serbu!”

Habis berseru, ia terus mendahului me langkah ma ju. Langkahnya pelahan tapi setiap tindakan kakinya tentu meninggalkan bekas injakan telapak kaki yang dala m. Kiranya dia m-dia m dia telah kerahkan Iwekang. “Ah, kepandaiannya me mang hebat sekali. Dalam keadaan terluka seperti saat ini, mungkin tak dapat ketahannya!” diam- diam Siu-la m mengeluh dalam hati.

Dan ketika berpaling me mandang ke belakang, dilihatnya Lam- koay dan Pak- koay makin terjerat kencang dalam jaring. Bahkan untuk bergerak saja, mereka ta mpak kepayahan....

Tiada jalan lain bagi Siu-la m kecuali harus minta bantuan dari paderi anggota barisan Lo- han-tin.

Suara langkah kaki tokoh-tokoh persilatan itu ma kin la ma makin jelas dan makin dekat.

“Berhenti! Berani maju selangkah lagi, awas pedangku tak bermata!” hardik Siu la m.

Rombongan tokoh-tokoh itu berhenti. Tetapi Su Boh-tun tak menghiraukan, dia tetap maju….

Siu-la m siap sedia. Ia kerahkan seluruh lwekangnya untuk menghadapi Su Boh-tun. Tekadnya akan mati bersama musuh.

Sekonyong-konyong terdengar ledakan keras. Diundang berhamburan bunga api. Tanpa disadari Siu-la m Su Boh-tun sama-sa ma menengadah me mandang ke atas.

Belum bunga api itu berha mburan pada m, barisan Lo-han- tin sudah kalut. Lapat-lapat terdengar beberapa kali erangan tertahan. Dan menyusul dengan itu, musik berlagu seperti iblis mer intih itu, ke mbali terdengar menga lun lagi.

Siu-la m terkesiap. Jelas bahwa suara erang tertahan itu mirip dengan seseorang yang tengah menderita luka dalam yang parah dan me maksa diri untuk bertahan sekuat tenaga.

Suara itu bukan baru pertama itu ia dengar. Entah sudah berapa puluh suara begitu akibat dari senjata rahasia beracun yang ditaburkan ketua Beng-gak kepada mur id- mur id Siau-lim- si. Seketika timbullah ke marahan Siu- la m. Dengan kerahkan seluruh tenaganya, ia menggembor keras dan menghantam sekuat-kuatnya kepada Su Boh-tun.

Mendengar gemboran Siu-la m, Su Boh-tun sudah mengetahui pe muda itu akan menyerangnya. Maka tanpa berpaling kepala ia terus melesat menghindar ke sa mping.

Ilmu gerak Chit-poh-tun-heng, me mang merupakan ilmu yang istimewa dalam dunia persilatan. Keindahannya sukar dilukiskan. Betapa cepat dan dahsyat serangan Siu-lam itu, namun Su Boh-tun tetap dapat menghindarinya.

Serangannya luput, Siu-la mpun menghimpun tenaga murni lagi. Dan tegaklah ia diam menyalurkan napasnya….

Tiba-tiba terdengar lengking suara tertawa nyaring: “Ho, paderi tua, hebat juga kepandaianmu. Sejak sekarang keadaannya sudah berubah. Coba lihatlah barisan Lo-han-tin yang engkau bangga-banggakan itu!”

Ketika Siu-la m mengeliarkan pandangannya, pertama-tama ia melihat gadis baju merah sudah terlibat dalam taburan sinar tongkat Tay Ih siansu. Nona itu hanya dapat membe la diri tak ma mpu balas me nyerang.

Tetapi barisan Lo-han-tin mulai mengunjukkan tanda kekacauan. Wanita baju kuning menerjang kian ke mar i dalam barisan itu seperti seekor harimau berpesta pora di tengah kawanan do mba. Puluhan sosok tubuh rubuh menganak bukit di tanah. Ke mana wanita baju kuning itu menerjang, di situ tentu timbul tumpukan mayat ….

Barisan Lo-han-tin yang sejak beratus tahun menjadi kebanggaan Siau-lim-si dan disohorkan sebagai barisan yang belum pernah diterobos orang, ternyata saat itu mengala mi kenaasannya.

Jika barisan itu bobol, pertahanan Siau-lim-s i yang terakhir untuk menghadapi Beng-gak, akan hancur berantakan juga. Karena boleh dikata seluruh anak murid Siau- lim-s i yang dianggap me miliki kepandaian yang berarti, telah dikerahkan untuk mendukung barisan itu.

Tiba-tiba terdengar genta bertalu tiga kali.  Kumandang suara genta itu mengganas berkepanjangan.

Siu-la m tersirap dan menghela napas perlahan. Pikirnya: “Tiga kali bunyi genta itu, mungkin mer upakan pertanda agar sisa-sisa paderi Siau-lim-s i melolos kan diri dari gereja ini. Ah, ke masyhuran nama yang dipupuk sejak ratusan tahun, dalam sekejap mata saja akan hancur berantakan ”

Tiba-tiba barisan Lo-han-tin yang ha mpir dijebolkan ketua Beng-gak itu, selekas mendengar bunyi genta itu, segera bergerak dengan cepat lagi. Mayat-mayat anggota barisan yang terdampar di lantai, dile mparkan keluar barisan.

Me mang pedih hati paderi- paderi Siau-lim-si itu ketika harus kuatkan imannya untuk me le mparkan mayat dengan tongkat maupun pedang. Mayat-mayat itu adalah paderi- paderi seperguruan yang biasanya hidup  rukun  dengan mereka. Tetapi apa boleh buat. Dalam menghadapi ancaman ke musnahan seperti saat itu, mereka me maksa diri untuk menghapus segala rasa kepedihan hati.

Setelah itu barisanpun menjadi lancar. Dan paderi-paderi  itu rupanya sudah merelakan jiwa raganya. Mereka bertempur dengan kalap sekali. Asal dapat melukai lawan saja, biarlah tubuh mereka hancur, tak jadi soal.

Serangan kalap itu me ma ksa wanita baju kuning, menghentikan keganasannya.

Dalam pada itu Siu- lam ke mbali mengeluarkan botol obat. Semua sisa pil yang berada dalam botol itu ditelannya habis. Setelah sejenak mengambil pernapasan, ia maju  menyerbu lagi. Ia menyadari bahwa saat itu merupa kan saat-saat yang menentukan mati hidupnya. Dengan nekad ia menelan pil itu semua. Mudah- mudahan dapat diharapkan khasiat pil itu akan mena mbah tenaganya dan menye mbuhkan lukanya. Tetapi ia merasa tipis harapan untuk hidup lebih la ma. Luka dalam tubuhnya me mang parah. Sekalipun andaikata pil itu dapat meno long jiwanya, tetapi mus uh yang dihadapinya itu tentu takkan menga mpuni jiwanya. Daripada mati konyol lebih baik ia mati secara ksatria.

Dengan bekal berani mati itu, Siu-la m lancarkan serangannya  dengan  mantap  seakali.  Setiap  jurus  tentu dila mbari dengan tenaga penuh. Sabetan pedangnya penuh dengan taburan maut.

Kenekatan pemuda itu berhasil menghentikan ro mbongan Su Boh-tun yang hendak me nyerbu maju.

Dalam  pada  itu  si  nona  baju   biru  dia m-dia m  telah me mimpin   kelima   ro mbongan    barisan    setan    untuk me mada mkan obor-obor yang dinyalakan pihak Siau- lim-s i. Dalam ruang gereja yang semula terang benderang seperti siang hari saat itu segera menjadi gelap gulita. Setiap sudut dan lorong mer upakan te mpat-tempat yang berbahaya serta menyeramkan.

Sekonyong-konyong terdengar  wanita  baju  kuning  itu  me lengking nyaring. Sekali menggeliat, tubuhnya melayang ke udara sambil taburkan kedua tangannya. Sepuluh  paderi segera diterjang si wanita baju kuning untuk lolos keluar.

Melihat ha mpir separuh dari paderi-paderi sakti telah binasa, gentarlah hati Tay Hian siansu. Ia menghe la napas dan berbisik kepada Tay To siansu: “Sa m-te, harap menyusun sisa barisan Lo-han-tin, kita siap melawan lagi. Aku  mau  mene mpur wanita ketua Beng-gak itu!”

Barisan Lo-han-tin me mpunyai ciri, baik  menyerang maupun bertahan, tentu separuh barisan bergerak. Sekalipun musuh berilmu tinggi tetapi kalau terkepung di tengah barisan juga sukar untuk menge mbangkan kepandaiannya.

Tetapi karena ternyata banyak anggota barisan yang binasa di tangan ketua Beng-gak,  Tay  Hian  tidak  dapat  menahan ke marahannya lagi. Ia serahkan tugas pimpinan  barisan kepada Tay To, lalu ia sendiri lari mengejar wanita itu.

Setelah keluar dari Lo-han-tin, wanita baju kuning itu segera berteriak me merintahkan berhenti. Mendengar itu rombongan Su Boh-tun dan si nona baju merah, serentak mundur.

“Saat ini merupakan kese mpatan yang terakhir kali bagi kalian. Jika kalian tetap me mbangkang, seluruh paderi Siau- lim-s i akan aku bas mi!” seru wanita itu dengan nyaring.

Tay Ih pun menyaksikan kehancuran dalam barisan Lo-han- tin. Diam-dia m ia menghela napas lalu berseru nyaring: “Silahkan   gak-cu   perintahkan    menyerang.    Jika    tidak me mbas mi se mua paderi Siau-lim-si, kiranya sukar untuk menghancur kan gereja Siau-lim-si! ”

Wanita baju kuning itu tertawa dingin. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya dan mendorong. Tampa k le mah gemulai tidak bertenaga gerakan tangannya itu tetapi pada lain saat Tay Hian siansu kedengaran mendengus  tertahan dan cepat-cepat mundur lima langkah.

Tay Ih diam-dia m segera mengerahkan tenaga dalam dan me langkah maju lagi dengan wajah tegang, serunya: “Loni hendak mengadu jiwa lebih dulu dengan gakcu.”

Wanita baju kuning itu tertawa dingin, sahutnya: “Karena engkau tetap menghendaki ke matian, terpaksa akan kuhancurkan!”

Sambil me mbolang-ba lingkan tongkat sian-ciang, paderi sakti Siau- lim-s i itu berkata: “Loni hendak mohon pelajaran kepada gakcu, harap gakcu menghunus senjata!” Walaupun dalam keadaan Siau-lim-Si sudah payah, namun sebagai pejabat ketua Siau lim-si Tay Ih siansu tetap pegang gengsi.

Siu-la m yang berdiri di sa mping, tiba-tiba menyeletuk : “Harap lo-siansu mundur, pertandingan pertama ini biarlah wanpwe yang maju.”

Tiba-tiba terdengar suara mendebuk dan tahu-tahu Tay Hian siansu rubuh ke tanah.

Sambil me ma ndang ke sekeliling, wanita baju kuning itu tertawa: “Kalian sudah terkurung dalam barisan Ngo-kui (lima setan) Beng-gak. Asal kuberi perintah, segera akan berhamburan tigapuluh dua maca m senjata beracun yang ganas sekali. Di dalam keadaan yang gelap gulita seperti tempat ini, sekalipun me mpunyai mata yang tajam sekali, tetap tak nanti ma mpu menghindar. Dalam waktu sepeminum teh lamanya kalian tentu sudah menjadi mayat yang tak berkepala lagi!”

Tay Ih siansu mengeliarkan pandangan matanya ke empat penjuru. Memang ia merasa rombo ngannya telah dikepung rapat. Kiranya barisan manusia- manus ia setan dari Beng-gak itu, setelah keadaan gelap lalu berpencaran me mbentuk lingkaran untuk mengepung paderi-paderi Siau- lim-s i.

Siu la mpun lepaskan perhatiannya ke sekelilingnya. Diperhatikannya bahwa manusia- manus ia setan dari Beng-gak itu telah mene mpatkan diri dalam kedudukan yang tertentu. Jika mereka benar-benar serempak menaburkan senjata rahasia, seluruh paderi Siau-lim-s i yang berada di tengah ruang situ tentu akan hancur binasa se mua. Dia m-dia m ia menyadari bahwa ucapan wanita baju kuning itu me mang bukan anca man kosong.

“Satu-satunya jalan untuk menghadapi keadaan tegang ini ialah harus me libat ketua Beng-gak serapat-rapatnya agar anak buah Beng-gak tak berani se mbarangan melepaskan senjata rahasia… diam- diam ia telah merancang siasat.

Setelah menetapkan rencana, dengan mengge mbor keras, ia putar pedang menyerang wanita baju kuning itu. Tetapi sebelum ia turun tangan ia rasakan lukanya telah mender ita perubahan. Untuk me mpertahankan diri, ia berusaha minum pil Siok-beng-tan sebanyak-banyaknya. Tapi ia sadar apabila kekuatan pil itu sudah lenyap, jiwanya tentu turut lenyap juga. Kesempatan terakhir mas ih dapat bernapas itu, hendak ia pergunakan menulis sejarah hidup yang mengesankan. Kini ia lancarkan ilmu pedang Tat-mo-sa m- kia m.

Ilmu pedang tersebut merupakan ciptaan dari Tat Mo cousu, pendiri gereja Siau-lim-s i. Sembilan tahun menghadap tembok (ist ilah berse medhi). Kedahsyatannya tiada taranya.

Walaupun wanita baju kuning itu sakti sekali, tetapi dia tak berdaya me mecahkan ilmu pedang istimewa itu.

Tat-mo-sa m-kia m, jurus demi jurus makin dahsyat. Jurus kedua lebih hebat dari pertama dan jurus ketiga  lebih  sakti dari kedua. Apabila ketiga  jurus  itu  benar-benar  dapat dipaha mi dengan mahir, tentu takkan mene mui lawan yang ma mpu lolos dari serangannya.

Sayang kepandaian Siu-la m belum mencapai sede mikian tinggi. Apalagi ia sedang terluka parah. Khasiat pil Siok-beng- tan sudah mula i menurun. Pada saat ia lancarkan jurus Tay-lo- it-ong, ia sudah tak kuat lagi. Mulut menyembur darah dan orangnya pun meluncur jatuh ke tanah.

Sebenarnya ketua Beng-gak itu sudah tumpahkan seluruh kepandaiannya menghadapi serangan Tat- mo-sa m-kia m. Dengan susah payah ia dapat menghindar dari dua jurus serangan.

Pada saat ia terdesak dan kelabakan bertahan diri, tiba-tiba Siu-la m terbanting jatuh ke tanah sendiri. Dia m-dia m wanita baju kuning me nghela napas longgar. Ia tertawa mengejek: “Huh, anai-anai berani menerjang api!” Ucapan itu mengandung keputusan untuk me mbunuh pemuda itu.

Situasi pada saat itu benar benar suram sekali bagi pihak Siau-lim-si. Siu- lam rubuh terlentang di lantai. Napasnya terengah-engah. Di sekelilingnya penuh dengan mayat paderi-paderi Siau-lim-si. La m- koay dan Pak-koay sedang berjuang mati- matian untuk bertahan diri dalam jaring.

Api warna biru yang berada di tangan barisan setan Beng- gak, berkeliaran kian-ke mari. Angin ma lam berhe mbus dingin. Sosok-sosok mayat yang menganak bukit, bau darah yang anyir, menjadikan ruang gereja Siau-lim-si yang suci, sebuah tempat yang menyeramkan....

Menghela dala m-da la m, Tay Ih siansu lintangkan tongkatnya lurus ke muka dan me langkah ma ju, serunya: “Rencana Gak-cu hendak meratakan gereja Siau-lim-s i yang sudah berdiri sela ma ratusan tahun, agaknya tidak sukar….”

Rubuhnya Siu-la m telah me mbuat paderi tua itu tertekan batinnya. Dan kematian dari sekian banyak anak mur id Siau- lim-s i, meluluhkan se mangatnya.

Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan berkata pula: “Hanya sebelum gakcu dapat meratakan gereja ini, lebih dulu gakcu harus me mbunuh loni dulu!”

“Tentu akan kubunuh!” seru wanita baju kuning itu seraya mengangkat tangannya pelahan-lahan.

Pada saat itu terdengarlah suara seruling. Beralun-a lun seperti berasal dari jauh tetapi seperti pula berasal dari dekat.

Wanita baju kuning itu tiba-tiba menurunkan lagi tangannya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Nada seruling itu makin melengking tinggi. Di dalam iramanya yang rawan, mengandung kegagahan yang berwibawa. Sekonyong-konyong wanita baju kuning menutup mukanya dan berteriak keras: “Ayo, lekas pergi!” la terus  berputar tubuh dan lari keluar.

Perubahan yang tak terduga-duga itu, membuat Tay Ih siansu tercengang. Benar-benar ia tak mengerti mengapa dalam detik-detik ke menangannya, tiba-tiba  mus uh  malah me larikan diri.

Karena ketuanya lari, ma ka barisan setan Beng-ga k dan rombongan Siau Yau-cu pun segera mengikuti langkahnya.

Orang Beng-gak datang seperti laut pasang dan pergi juga seperti gelo mbang menyurut.

Tay  Ih  siansu  menghela  napas  panjang.   Segera mengha mpiri Siu- la m. Hidung dan mulut pe muda itu mengucurkan darah, napasnya terengah-engah le mah.

Ketua Siau-lim-si itu menghela napas. Kemudian dirabanya dada  pemuda  itu.  Ternyata  masih   bernapas  tetapi  sudah le mah sekali.

“Toa-suheng, apakah Pui sicu itu masih ada harapan tertolong?” tiba-tiba Tay To siansu berseru.

Tay Ih siansu pelahan-lahan mengangkat kepala. Dua butir air mata  menge mbeng turun dari pelapuk matanya, la gelengkan kepala: “Harapannya  tipis  sekali.  Semoga  Hud  me mber i berkah agar jiwanya dapat tertolong!”

“Tay Hian Suheng juga terluka parah sekali,” kata Tay To dengan rawan.

Ketika berpaling, Tay Ih melihat Tay To tengah memanggul tubuh Tay Hian yang sudah kaku.   Ketua  Siau-lim-si   itu mena mpilkan kedukaan yang dalam sekali. Sebuah helaan napas panjang meluncur pula dari mulutnya: “Ah, dalam pertempuran ini boleh dikata musuh telah me mbunuh Siau- lim-s i ” Tiba-tiba Tay Ih teringat sesuatu, serunya: ''Entah dengan senjata apa maka wanita siluman  itu  dapat  melukai  anak mur id kita dalam barisan Lo-han-tin. Lebih dari enam puluh orang yang terluka dan Lo-han-tin menjadi porak-poranda. Tapi anehnya pada saat Lo-han-tin hampir hancur, mengapa wanita itu tiba-tiba me larikan diri? Apakah dia me masang perangkap?”

“Menilik keadaan yang kita hadapi saat ini, jelas bahwa kita telah mengala mi kekalahan besar. Rasanya tak perlu wanita itu menggunakan siasat apa-apa lagi untuk me mperoleh kcmenangan yang sudah pasti itu!”

“Itulah yang me mbingungkan,” kata Tay To.

Sejenak Tay Ih merenung la lu berkata: “Sebelum wanita siluman itu pergi, apakah sute tak mendengar sesuatu bunyi yang aneh?”

Karena tumpahkan tenaga dan perhatiannya untuk mengadu jiwa dengan wanita baju kuning itu tadi, maka Tay  Ih telah kehilangan ketajaman pendengarannya. Walaupun sesungguhnya suara seruling itu cukup  nyaring tapi tak mendapat perhatiannya sehingga ia tak dapat me mastikan benda apa yang berbunyi itu.

Untunglah Tay To siansu seperti teringat sesuatu, serunya: “Benar, seperti terdengar semaca m suara seruling yang bernada rawan dan perkasa. Ketika mendengar suara seruling, wanita itu terus me larikan diri!”

Kata Tay  Ih: “Ilmu  kepandaian   wanita  itu  me mang sakti sekali. Dan pula ia me mbe kal segala maca m senjata rahasia beracun.  Mengapa hanya suara seruling saja dapat  me mbuatnya lari? Ah, tentu terdapat rahasia di balik peristiwa itu….”

Berhenti sejenak, ia melanjut kan kata-katanya pula: “Wakililah aku me mber i perintah supaya mayat-mayat itu segera disingkirkan. Anak mur id yang gugur dalam pertempuran supaya dicatat na manja dan ditanam bersa ma. Tiga hari kemudian akan diadakan doa sembahyangan untuk me minta pengampunan dosa. Dan murid- murid yang terluka, supaya dibawa dan dirawat di ruang Tat- mo-wan….”

Ketua Siau-lim-si itu me nghela napas, lalu berkata pula: “Berhasilnya Siau-lim-si terhindar dari bencana kehancuran hari ini, pahala Pui sicu yang paling besar. Entah  lukanya dapat disembuhkan atau tidak, tapi kita wajib berusaha sekuat tenaga untuk menolong jiwanya!”

Tiba tiba Tay To berbisik: “La m-koay dan Pak-koay masih terjerat dalam jaring. Bagaimana akan mengurus mereka?”

“Pakailah pedung Pek-kau-kia m ini untuk me motong jaring dan  lepaskan  mereka  keluar!”  tanpa  ragu-ragu   Tay   Ih me mber i perintah.

“Tetapi kedua orang itu agaknya mendenda m terhadap paderi Siau- lim-s i. Kita sekarang masih belum pulih tenaga kita.  Apabila  kedua  orang  itu   lepas  dan   menumpahkan ke marahan kepada kita, bukankah kita akan menga la mi kesulitan. Maksud siaute ..”

Tay Ih gelengkan kepala: “Kedua orang itu telah membantu pihak kita dan bertempur dengan ketua Beng-gak. Sekalipun nanti mereka tetap hendak menuntut balas kepada kita, tetapi kita pun tak dapat berpeluk tangan mengawasi orang yang sedang dalam kesulitan. Lekas tolong mere ka...!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar