Wanita iblis Jilid 29

Jilid 29

SIU LAM segera mendesak Tay Ih siansu supaya  segera  me mer intah rombongan paderi lekas me mpersiapkan air: “Kelima barisan dengan lima maca m pakaian seragam itu, tentu ada maksudnya. Wanita baju kuning itu entah sedang merancang rencana apa. Tetapi yang jelas pembagian kelima maca m serangan dari barisan Beng-gak itu tentu juga merupakan sebuah barisan yang hebat. Jika  kita  tunggu sampai mereka bergerak menyerang dengan me mbaurkan asap pembius itu, dikuatirkan kita akan hancur se mua! Belum habis Siu-la m  bicara,  tampak  Tay  Hian  Siansu  me mimpin berpuluh-puluh paderi berlari-larian mendatangi. Setiap orang menenteng sebuah e mber terisi air.

Wanita baju kuning itupun hentikan gerakan  tangannya. Kini ia me mandang ke arah barisan Lo-han-tin dan perlahan- lahan mulai me ngangkat tangannya.

Tay Hian siansu yang telah tiba di samping Tay Ih siansu segera me mberi laporan: “Telah kukerahkan delapan puluh anak mur id angkatan kedua untuk menga mbil air. Kini mereka sudah siap. Harap suheng segera me mberi perintah.”

“Suruh mere ka lekas naik ke atas titia. Jika barisan musuh mau bergerak menyerbu, siramkan e mber air itu kepada benda berasap yang mereka pegang itu!”

Tay Hian mengiyakan lalu me mimpin ro mbongan jago-jago Siau-lim-si dari angkatan ke dua itu menyongsong barisan musuh.

Pada saat itu, tangan wanita baju kuning digerakkan dan kelima barisan Beng-gak segera maju menyerbu Lo-han-tin.

Melihat itu Siu- lam segera minta Tay Ih siansu dan rombongan masuk ke dalam barisan Lo-han-tin, sedang ia sendiri hendak me mbantu ro mbongan Tay Hian siansu tadi.

Tetapi Tay Ih siansu mencegah: “Tay  Hian sute dan rombongan paderi itu sudah me mbawa e mber air untuk menyira m musuh. Kiranya tak perlu sicu me mbantu, karena kalau sa mpai sicu terputus hubungan, bukankah pihak kita akan kehilangan tenaga yang penting?”

Dengan kata-kata itu jelas Tay Ih siansu telah menganggap Siu-la m sebagai otak yang me mimpin pertahanan Siau-lim-si.

Dia m-dia m Siu-la m mendengus: “Hm, ka mu paderi-paderi Siau-lim-si, me mang selalu menjunjung kebajikan saja. Menghadapi musuh yang licik dan ganas, harus harus menggunakan cara yang ganas juga. Sekali kese mpatan itu hilang, kita tentu akan menga la mi kekalahan total.”

“Sekalipun paderi-paderi Siau- lim-si itu berkepandaian tinggi, tetapi mereka tak paham akan hal dan t ipu mus lihat. Maka dalam menghadapi keadaan seperti saat ini, tentu kurang cepat menyesuaikan diri. Maksud wanpwe, silahkan siansu me mimpin barisan Lo-han-tin, wanpwe yang menghadapi setiap perubahan!”

Setelah berpikir sejenak akhirnya Tay Ih setuju. Setelah itu, Siu-la m me minta kepada La m-koay dan Pak- koay supaya beristirahat dulu. Setelah itu, Siu-la m terus loncat ke muka menyusul ro mbongan Tay Hian.

Pada saat itu barisan Beng-gak sudah menyerbu Lo-han-t in. Di bawah penerangan dari berpuluh- puluh obor yang nyala terang  benderang,  tampak  sinar   golok   berkilat-kilat menya mbar kian ke mar i ditimpah oleh deru angin dari tongkat yang menabur seperti hujan mencurah. Pertempuran dahsyat telah mula i....

Lo-han-tin bergerak-gerak maju mundur dan berputar-  putar seperti roda. Paderi yang bertempurpun sering berganti tempat.

Tetapi barisan Beng-gak itupun juga me mpunyai gerak perubahan yang tertentu. Tiga orang maju setelah bertempur sampai duapuluh jurus mereka me nyisih ke dua belah sa mping lalu mundur. Gelo mbang orang baru segera maju menyerang. Demikian selanjutnya gelombang  de mi gelombang, silih berganti mereka maju dan mundur.

Dengan cara ganti berganti yang berte mpur itu, pertempuran berjalan amat seru. Anak buah Lo-han-tin telah dipesan Tay Ih siansu, dalam berte mpur dengan musuh harus mendahului merebut posisi untuk menguasai penyerangan. Dan pada waktu bertempur harus menutup pernapasan untuk menghindari asap bius. Dia m-dia m Siu-la m terkejut me lihat gerakan Lo-han-tin yang sedemikian mengagumkan itu.  Oleh  karena  ia  harus me lalui barisan tersebut, maka gerakannya menyusul Tay Hian siansu tadi terpaksa agak terlambat. Mencapai empat lima tombak saja, ia harus menggunakan  waktu  sepe minum  teh la manya.

Bluk... tiba-tiba ia mendengar dua sosok tubuh rubuh. Dan ternyata dua orang paderi Siau-lim-s i menjadi mayat tanpa kepala karena kepalanya ditabas oleh manusia- manus ia setan dari barisan Beng-gak.

Ternyata asap dupa pembius itu ma kin la ma makin tebal. Walaupun anggota Lo-han-t in dapat menguasai penyerangan, tapi akhirnya paderi-paderi itu tak kuat harus menutup pernapasan terlalu lama. Sekali me nyedot asap, rubuhlah mereka.

Karena asap itu mcmpero leh hasil, anggota barisan Beng- gak menjadi lebih bersemangat. Kini mereka  bersuit-suit sambil menyerang. Suitan mereka bernada aneh, maca m binatang yang terluka.

Bluk, bluk, bluk… susul- menyusul rubuhlah paderi-paderi anggota Lo-han-tin itu dengan berlumuran darah. Dalam beberapa kejap saja lima belas orang paderi telah tewas. Mereka rubuh sendiri baru kemudian ditabas oleh manusia setan dari barisan Beng-gak.

Anggota barisan Lo-han-tin itu terdiri dari murid Siau- lim-si angkatan kedua dan ketiga yang me miliki kepandaian tinggi. Apalagi barisan itu me mpunyai sistim bertempur secara bergilir. Maka walaupun telah jatuh berpuluh-puluh korban, barisan itu masih tetap hebat. Betapapun barisan Beng-gak telah  mengganas,  namun   mereka   sulit   untuk   mendapat ke menangan secara cepat.

Tapi mau tak mau karena mayat-mayat bergelimpangan makin menumpuk, gerakan Lo- han-tin menderita rintangan juga. Poros tengah barisan mula i tampak tak lancar lagi. Jika paderi Siau-lim-si t idak bertekad hendak menyerahkan jiwa, tentu barisan itu sudah sejak tadi pudar.

Menyaksikan keadaan itu, Siu-la m segera berteriak kepada Tay Hian siansu: “Lo siansu, mengapa  tak lekas-le kas menyerbu? Apakah hendak menunggu kalau barisan Lo-han- tin sudah pecah ?”

Dia hanya menuruti kekuatiran hatinya tetapi tak mengerti keindahan  dari  barisan  Lo-han-tin.   Me mang   Lo-han-tin me mpunyai rahasia kebagusan tersendiri. Sekali gerak, maka seluruh barisan segera bergerak dan berubah. Makin dekat musuh, gerak perubahan itu makin cepat dan banyak ragamnya.....

Sebenarnya Tay Hian  juga mengerti akan perubahan- perubahan barisan Lo-han-t in, tetapi dia pun tak berdaya untuk menerobos maju mendekati barisan Beng-gak. Me mang diapun tak kurang sedihnya melihat kerusakan yang diderita Lo-han-tin itu. Dan ketika me ndengar seruan Siu-la m yang setengah menda mprat itu, hatinya makin bingung. Segera ia berkata  kepada  seorang   murid   angkatan   kedua   yang  me mimpin barisan depan: “Lekas tarik mundur barisan agar aku dapat menghancurkan asap mereka, baru nanti kalian bergerak maju lagi !”

Sekedar supaya me mperoleh ga mbaran yang lebih jelas, baiklah kami terangkan di sini. Barisan Lo-han-tin itu terdiri dari berpuluh-puluh lapis regu. Regu yang terkecil jumlahnya terdiri dari delapan belas orang. Sedang regu yang paling besar meliputi jumlah seratus delapan orang.

Untuk menghadapi Beng-gak Tay Ih siansu telah kerahkan delapan ratus paderi. Suatu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah kehidupan Siau- lim-s i selama ini.  Dan  untuk me lancarkan gerakan barisan, Tay Ih telah me mbagi menjadi lima ro mbongan. Setiap ro mbongan dipimpin oleh seorang dan kelima ro mbo ngan itu diketuai oleh seorang ko mando. Kepala ro mbongan pertama ketika mendengar seruan Tay Hian, segera menghentikan gerak barisan. Karena barisan muka berhenti, seluruh barisanpun ikut berhenti. Mereka segera mundur kedua belah ke sa mping.

Melihat itu barisan Beng-gak segera mendesak maju. Dan saat itu Tay Hian siansu tak mau menyia-nyiakan tempo lagi. Dengan mengge mbor keras ia me mpelopor i menyira mkan air dalam e mber ke arah musuh.

Barisan Beng-gak itu terkejut ketika kepala dan muka mereka basah kuyup dengan air dan dupa menyala yang mereka pegang, padam seketika!

Tindakan Tay Hian itu segera diikut i oleh ro mbongannya. Mereka serempa k menyira mkan air dalam ember yang dibawanya. Dan barisan Beng-gak seperti dit impah hujan lebat. Dupa yang mereka bawa, padam asapnya.

Menyaksikan hal itu, dia m-dia m Siu-la m tersenyum girang: “Ah, tidak kira dengan cara yang begitu sederhana, barisan Beng-gak telah dapat digagalkan rencananya.”

Baru ia berpikir begitu, tiba-tiba dua orang anak buah Beng-gak menyerbunya dan menyerang dari kanan kiri. Tetapi Siu-la m sudah siap sedia. Mundur setengah langkah, ia menyabat dengan pedangnya. Tring… terdengar  dering senjata beradu, disusul dengan muncratnya darah ke udara. Kedua manusia setan anak-anak buah Beng-ga k itu terbelah menjadi dua!

Semangat Siu- lam ma kin berkobar. Sambil me mutar pedang, ia menerjang maju. Dalam perte mpuran mala m itu, ia menyadari bahwa dalam me nghadapi musuh yang ganas, ia harus bertindak dengan ganas juga.

Pedang Pek-kau-kia m yang tajam tiada taranya, dan permainan pedangnya yang serba aneh telah membuat  Siu- lam laksana seekor banteng me nga muk. Dalam sekejap mata saja dia sudah berhasil melukai belasan orang anak buah Beng-gak.

Barisan Lo-han-tin yang bergerak mundur tadi, demi menyaksikan kegagahan Siu- la m, seketika timbullah lagi semangatnya. Segera mereka me mbentuk diri dalam for masi barisan Lo-han-tin lagi.

Terdengar Siu-la m mengge mbor keras dan dua anak buah Beng-gak menjadi korban. Setelah itu Siu-la m berkisar mengha mpiri ke muka Tay Hian, serunya pelahan: “Losiansu ternyata para paderi Siau-lim-s i a mat gagah berani dan tak gentar menghadapi maut. Menilik gelagat, kita tentu dapat menahan serangan musuh. Satu-satunya yang  dikuatirkan  ialah apabila mus uh menyalakan dupa pe mbius itu lagi!”

Dalam pertempuran yang a mat berisik itu, tetap Tay Hian dapat menangkap  seruan  Siu-la m.  Sahutnya:  “Loni  akan me mpers iapkan e mber-e mber air lagi!”

Habis berkata Tay Hian terus berputar tubuh dan lari ke dalam gereja untuk menga mbil air. Rombo ngan pengikutnya segera mengikuti.

Amukan Siu-la m me mang hebat sekali.  Sebagian besar anak buah Beng-gak telah terluka di bawah tabasan anak muda itu. Dan yang lain-lain dapat dihalau mundur oleh paderi Siau-lim-si.

Setelah melihat situasi Lo-han-tin mulai tenang kembali, Siu lam hendak mencari Tay Ih siansu. Akan dimintanya paderi itu agar me merintahkan anak murid Siau-lim-si  menyediakan lebih banyak air lagi. Untuk menghadapi musuh yang mungkin akan menyalakan dupa pe mbius lagi diperlukan seratus paderi yang dipecah msnjadi dua regu dan mengambil air secara bergiliran.

Tetapi baru ia hendak melangkah, tiba-tiba terdengar lengking teriakan dari seorang wanita disusul dengan sesosok tubuh yang melayang turun ke arahnya. Siu-la m terkejut. Jika pendatang itu ketua Beng-gak sendiri atau si wanita baju kuning tentu ia tak dapat menahan serangannya.   Cepat   ia   memutar   Pek-kau- kiam    untuk me lindungi diri.

Tring...tring....tring… terdengar pedangnya berbenturan dengan  satu  pedang  lain.  Siu-la m   loncat   mundur   dan me mer iksa pedangnya. Ternyata Pek-kau-kia m itu sedikitpun tidak menderita cacad apa-apa.

Me mandang ke muka tampa k seorang nona cantik dalam pakaian biru, tegak menghadapinya. Tangan kiri nona itu mence kal sebuah benda maca m tanduk rusa yang merah warnanya. Sedang tangan kanan mencekal pedang pusaka Ceng-liong-kia m. Ah, lagi-lagi dia, mur id ketua Beng-ga k yang mera mpas pedang Ceng-liong- kiam dari tangannya.

Begitu masuk ke dalam barisan Siau-lim-si, nona baju biru itu segera memutar senjatanya tanduk rusa yang aoeh untuk menangkis serangan dari para paderi. Di sa mping  itu ia lencangkan pedang Ceng-liong-kia m lurus ke muka dada untuk menjaga serangan Siu- la m.

Siu-la m tertawa dingin: “Ho, nyalimu besar sekali, berani masuk ke dalam barisan….”

Nona itu me mang hebat kepandaiannya, tetapi menghadapi serangan para paderi Siau-lim-si yang gencar, mau tak mau ia agak kewalahan juga. Cepat-cepat ia berseru kepada Siu-lam: “Suruhlah mereka berhenti menyerang, aku hendak bicara kepadamu!”

Siu-la m hanya menjawab dingin: “Dalam perte mpuran, setiap detik, jiwa tentu melayang. Sekali salah hitung, seluruhnya akan gagal semua. Hm, rencanamu itu bagus juga!” Sambil mas ih me mutar tanduk rusanya untuk menangkis serangan para paderi, nona itu tertawa dingin: “Aku diutus ke sini oleh suhu, jika engkau tak percaya, apa boleh buat.”

Melihat sikap dan nada nona itu serius sekali, tergeraklah perhatian Siu-la m. Ia hendak mengetahui apa yang akan diajukan ketua Beng-ga k itu.

“Barisan Lo-han-tin dari Siau- lim-s i merupakan barisan nomor satu dalam dunia persilatan. Gerak perubahan dan keindahan barisan itu me mang tak sembarang  orang mengerti. Walaupun hatiku ingin menyuruh mereka berhenti, tetapi aku tak mempunyai ke ma mpuan untuk menghentikan barisan itu!” sengaja Siu-la m berseru dengan nyaring untuk menyindir nona baju biru itu dan supaya pemimpin barisan Lo- han-tin mendengar juga.

Me mang benar. Pemimpin Lo-han-tin mendengar juga dan berpaling me mandang  Siu-la m la lu mengangkat  tangan kanannya ke atas ke mudian dikiblatkan ke sa mping.

Paderi-paderi yang menyerang nona baju biru berkisar ke samping. Sekalipun barisan mas ih tetap bergerak, tetapi tidak lagi menyerang si nona baju biru.

“Nah, sekarang nona me mpunyai kese mpatan cukup untuk bicara. Apakah yang hendak engkau katakan?” kata Siu-la m.

Nona baju biru itu kedipkan matanya lalu berkata: “Suhu menyuruh aku menya mpaikan sebuah perkataan.”

“Silahkan!”

“Beliau hendak bertanya kepadamu, apakah engkau mau menggabung diri pada Beng-gak?”

Siu-la m   menengadahkan   kepala,   tertawa:    “Akupun me mpunyai pernyataan, harap nona suka. “Tanyakanlah kepadanya, apakah dia mau mencukur rambut masuk me njadi biarawati, tinggalkan lumpur kcdosaan, mensucikan diri dalam gereja?”

“Kata-kataku tadi, bukan bergurau!” seru si nona. “Ucapanku itu pun keluar dengan setulus hatiku,” Siu- lam

tertawa.

Nona itu tersenyum, serunya: “Engkau  bebas untuk menerima atau menolak. Mengapa engkau mengejek begitu rupa…” dalam pada berkata itu, pedang dipindah ke tangan kiri dan tangan kanan meraba dada bajunya.

Siu-la m a mat waspada. Begitu melihat gerakan tangan si nona, cepat-cepat ia jujukan ujung Pek-kau-kia m ke siku lengan si nona: “Harap nona jangan se mbarang bergerak!”

Nona itu tertawa mengejek. Sekali kelima jarinya dibuka, ia menjepit sehelai sapu tangan merah.

“Jangan kelewat tegang, bung !”

“Ha ha,” Siu-la m tertawa, “Terhadap  orang  Beng-ga k, me mang aku harus waspada!”

“Karena engkau menola k, aku akan ke mba li!” seru si nona baju biru.

“Harap nona masukkan sapu tangan nona ke dalam baju, baru nanti kita bicara lagi! ”

Betapapun angkuhnya nona itu, tetapi dalam keadaan seperti saat itu, dimana setiap saat para paderi akan menerjangnya dan ujung pedang Siu- lam sudah menganca m ketiga buah jalan darahnya, terpaksa nona itu menurut perintah Siu-la m. Sapu tangannya segera dimasukkan lagi ke dalam baju.

“Hm, sebelum terang tanah  nanti,  kita  toh  masih  akan me lakukan pertempuran maut ” serunya dengan dingin. Sambil menar ik pedangnya, Siu-la m tertawa: “Dengan segala senang hati aku akan melayani kehendak nona!”

“Aku hendak pergi!” “Silahkan, silahkan!”

“Tetapi para paderi itu masih bergerak di sekelilingku,

bagaimana aku dapat keluar?”

“Tadi bagaimana cara nona masuk ke mari?” tanya Siu-la m. “Aku me layang melalui pagar manusia!”

“Ya, ya, benar! Sekarang silahkan nona terbang lagi melalui

kepala mereka!” seru Siu- la m.

Nona itu tertawa dingin: “Sekalipun Lo- han-tin itu termasyhur sebagai barisan nomor satu di dunia persilatan, tetapi belum tentu dapat merintangi aku!”

Dia m-dia m Siu- lam menimang: “Budak pere mpuan ini tentu me mpunyai maksud datang ke mar i. Sekalipun sudah kucegah agar dia tak dapat menjalankan kclicikannya, tetapi orang Beng-gak itu kaya dengan tipu muslihat yang licik. Terhadap mereka  me mang  tak  perlu  harus  merasa   sungkan   dan me megang peraturan-peraturan persilatan lagi.”

Cepat ia gerakkan Pek-kau-kia m seraya berseru: “Aku tak percaya kalau nona hanya menyampaikan pesan suhu nona saja. Jika engkau merasa sukar untuk keluar dari Lo-han-tin, lebih baik jangan keluar sajalah!”

Mendengar itu, gelisahlah nona baju biru tersebut. Dia m- diam ia mengeluh bahwa rencana nya akan gagal dan ia akan celaka sendiri.

“Keadaan saat ini, kiranya nona tentu sudah mengetahui. Siapa yang bakal mati, nona tentu tak berani me mastikan. Jika nona suka mendengar kata-kataku...!” baru Siu-la m hendak me lanjutkan kata-katanya, si nona sudah tertawa menukas. “Ai, bagaimana? Engkau ber maksud hendak menganjurkan aku supaya berpihak kepada Siau-lim-si?!”

“Se mua partai-partai pcrsilatan telah diundang Siau-lim-s i. Paling la mbat besok pagi, mereka tentu sudah datang. Suhumu tak ubahnya seperti katak dalam tempurung. Menganggap dirinya yang paling sakti sendiri di dunia. Kiranya sekarang dia tentu sudah menyadari, bahwa untuk menguasai dunia persilatan, tidaklah semudah seperti yang dibayangkan!” kata Siu-la m.

“Pukul berapakah sekarang ini?” seru si nona.

“Masakan engkau tidak dapat me mandang cahaya di langit sendiri?” serunya nyaring tanpa me mandang ke atas.

“Hm, pemuda ini me mang keras kepala sekali.  Mungkin sukar bagiku keluar dari barisan mereka. Terpaksa aku harus menerjang bahaya!” dia m-dia m nona itu menima ng dalam hati.

Siu-la m me mandang tak berkesiap kepada nona itu. Segala gerak-gerik dan mimik nona itu tak lepas dari pengawasannya. Ketika melihat mata nona itu mulai berkeliaran me mandang ke sekeliling, sekonyong-ko nyong Siu- lam me nyerangnya.

Kepandaian nona itu bukan sembarangan. Begitu Siu-la m bergerak iapun segera mengisar ke sa mping dan secepat kilat Ceng-liong-kia m pun sudah me lintang di dadanya…. Tring..., terdengar benturan nyaring.

Siu-la m buru-buru tarik pulang pedangnya. Tetapi sebelum ia sempat lancarkan serangan yang kedua, senjata  tanduk rusa dari si nona sudah mendahului menutuk dadanya.

Senjata itu mengkilap dan me mpunyai duri-duri taja m. Sekali menutuk beberapa jalan darah di dada Siu-lam telah terancam.

Siu-la m tak mau unjuk kele mahan. Dengan jalan Heng-soh- ngo-gak atau menabas lima gunung, ia menabas senjata si nona. Tring! terdengar benda keras saling berbenturan. Pedang Siu-la m seperti me mbacok batu keras. Sekalipun tanduk rusa itu terpental, tetapi tak mender ita cacad apa-apa.

Heran juga Siu-la m dibuatnya. Tak tahu ia senjata apakah yang dipakai si nona itu. La tak berani mere mehkan dan menyerang dengan hati-hati. Jurus Pat-hong-hong-u atau hujan angin menderu dari delapan penjuru, segera dimainkan. Pek-kau-kia m berubah laksana gelombang sinar pedang yarg me landa musuh.

Untuk menghadapi serangan dahsyat itu, si nona segera gunakan jurus Kim-tin-t ing-hay atau Jarum mas menentang laut.

Tring, tring, tring, terdengar Pek-kau-kia m dan Ceng-liong- kiam beberapa kali saling berbenturan dengan nyaringnya.

Dalam hal tenaga, ternyata Siu-lam lebih kuat. Benturan itu me mbuat si nona harus mundur dua langkah.

Pada saat itu, Siu-Iam mendidih.  Dengan mengge mbor keras, ia lancarkan pula jurus Khong-jio k-thi- ih atau burung merak tanggalkan bulunya. Pek-kau-kia m menabas dari samping.

Tetapi nona baju biru itupun tak mau unjuk kele mahan. Bukan mundur kebalikannya malah menyongsong maju dua tindak. Tanduk rusa dengan cepat sekali ditutukkan ke dada Siu-la m.

Cara yang dilakukan si nona itu adalah cara yang nekad, mengajak lawan bersa ma-sa ma mati. Jika Siu- lam tak mau menarik pedangnya untuk  menangkis,  me mang  dia  dapat me lukai si nona, tetapi tanduk rusa nona itupun dapat menutuk dadanya.

Siu-la m terpaksa menarik pedang dan menggeser ke samping dua langkah. Kesempatan itu tak disia-siakan si nona. Tiga buah serangan segera ia lancarkan. Yang diarah ia lah jalan darah maut se mua.

Siu-la m  terpaksa  mundur  dua   langkah   lagi   baru   ia me lancarkan balasan.

Demikianlah keduanya bertempur mati- mat ian di tengah- tengah barisan Lo-han-tin. Nona itu me mang sengaja melibat Siu-la m dalam perte mpuran yang sengit. Sedapat mungkin ia dapat mendesak lawannya sehingga paderi-paderi anggota Lo- han tin itu segera membantunya. Dengan demikian perhatian mereka tersedot ke arah pertempuran itu, tetapi mereka tak berdaya untuk me mbantu si anak muda.

Seperti telah diketahui, kepandaian yang dimiliki Siu- lam saat itu, hampir me liput i seluruh ilmu dari semua aliran partai persilatan. Walaupun dia tak dapat menguasai se mua ilmu dari setiap partai persilatan, tetapi ilmu istimewa yang menjadi kebanggaan setiap partai persilatan itu dia tentu dapat.

Dengan kepandaiannya yang beraneka ragam dan aneh itu, ia dapat melayani serangan si nona dengan seimbang.

Pada saat itu barisan setan dari Beng-gak, makin menyerang hebat. Sehingga barisan Lo-han-tin pun ma kin cepat bergerak.

Sejak semula, Siu-la m me mang mencurigai kedatangan nona  itu  tentu  tidak  sewajarnya.  Tentu  nona  itu  akan  me lakukan suatu siasat yang licik. Maka ia mainkan Pek-kau- kiam dengan gencar agar tak me mberi kese mpatan si nona me laksanakan rencananya.

Nona baju biru itupun kuatir kalau paderi Lo-han-tin akan me mbantu Siu- la m. Maka iapun lancarkan serangan dahsyat untuk melibat Siu- la m. Dengan de mikian perte mpuran kedua anak muda itu berlangsung seru dan sengit sekali. Tiba-tiba terdengar sebuah suitan nyaring. Saat itu tampak si nona mulai kewalahan. Sebaliknya ma kin la ma Siu-la m makin gagah. Dia menyadari bahwa sejak dalam  beberapa hari ini menerima pelajaran dari Kak Bong taysu dan kedua tokoh Lam koay-Pek koay, kepandaiannya makin bertambah pesat. Sekalipun begitu dia m-dia m ia  tetap  merasa  heran me lihat ke majuan yang dicapainya pada saat itu.

Mendengar suitan itu, tiba-tiba semangat si nona bergelora lagi. Cepat ia lancarkan tiga buah serangan balasan yang dahsyat.

“Aneh, mengapa mendengar suitan, tiba-tiba se mangat si nona ini serentak timbul lagi? Siapakah gerangan yang bersuit itu? Jika menilik nada suitannya yang melengking  tinggi sedemikian rupa, jelas tentu berasal dari seorang tokoh yang sakti dalam ilmu lwekang. Dan tentulah suitan itu me mpunyai sangkut-paut dengan pertempuran. Karena bersuit, barisan Beng-gak menyerang hebat lagi.” demikian Siu-la m menimang dalam hati.

Tring, tring, tring habis menangkis ketiga serangan si nona, Siu-la m terus lancarikan jurus sakti Jiauw-toh-co-hoa!

Nona itu terperanjat sekali ketika pedang Siu- lam berhamburan maca m ke mbang api pecah di udara dan mencurah kepadanya. Ia bingung dan tak mampu menangkis lagi. Dalam kebingungan ia gerakkan Ceng-liong-kia m dan tanduk rusa untuk melindungi tubuhnya.

Sebagai mur id dari ketua Beng-ga k, sudah tentu kepandaian nona itu sealiran dengan pelajaran Lo Hian. Ilmu pedang Jiau-toh-co-hua yang dimainkan Siu-la m itu adalah ciptaan Lo Hian yang paling ganas sekali. Walaupun hanya terdiri dari satu jurus, tetapi seimbang dengan ilmu pedang Lo-han-kia m- hwat. Walaupun belum pernah me mpe lajari, tetapi sepintas pandang, ia serasa mengenal jurus itu. Tring, Pek-kau-kia m menyingkap Ceng-liong- kiam dan tentu akan terus menyusup ke tenggorokkan si nona. Tetapi sekonyong-konyong Pek-kau-kia m berhenti di tengah jalan. Ah, kiranya Siu-la m hanya dapat menjalankan per mainan pedang itu sampa i di situ saja. Jurus kelanjutannya, ia tak bisa.

Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri susul-menyusul. Dan barisan Lo-han-tin yang berputar-putar seperti  roda, mendadak menjadi kalut.

Sejenak menenangkan diri, nona baju biru itu segera menabas la mbung Siu- la m. Siu- la mpun terpaksa loncat ke samping. Berpaling ke sa mping, tampak t iga e mpat puluh paderi Siau-lim-si telah bergelimpangan menjadi mayat di lantai. Entah apa yang menyebabkan mereka rubuh itu.

Barisan Beng- gak terus maju menyerbu.

Rupanya paderi pemimpin barisan itupun juga binasa, sehingga karena tiada pimpinan lagi Lo-han-tin menjadi kacau balau.

Meskipun para paderi itu masih me lakukan perlawanan, tetapi mereka bertindak menurut ke mauan sendiri. Tidak lagi terikat dalam for masi barisan Lo-han-tin yang teratur. Dengan begitu mereka tak kuasa lagi mencegah penyerbuan barisan manus ia aneh dari Beng- gak.

Tiba-tiba si nona baju biru serempak menyerang hebat. Didahului dengan teriakan keras ia putar Ceng-liong- kiam dengan sangat gencar sekali. Seketika seorang paderi Siau- lim-s i telah terpapas kutung.

Melihat darah, nafsu pembunuhannya makin berkobar. Dia tak mau menyerang Siu- lam lagi mela inkan mencari mangsa dimana paderi Siau- lim-s i ta mpak menggero mbol dalam jumlah yang banyak. Pedang Ceng-liong-kia m dan senjata maca m tanduk rusa, bagaikan sepasang sinar merah dan hijau yang menya mbar-nyambar. Dalam beberapa kejap saja, tujuh orang paderi telah menjadi korbannya.

Menyaksikan korban yang diderita paderi Siau-lim-si, Siu- lam sedih sekali. Buru-buru ia berseru kepada mereka: “Harap suhu  sekalian   berhenti   di   tempat   masing- masing   dan me lawan. Jangan bergerak sembarangan agar tidak menjadi korban keganasan mus uh!”

Habis berseru, Siu-la m segera menyerbu si nona baju biru. Nona itu terpaksa tinggalkan  mangsanya  dan me layani Siu-  la m.

Tring tring tring berulang kali terdengar dering tajam dari benturan senjata tajam Ceng-lio ng-kia m dan Pek-kau- kiam saling beradu beberapa kali.

Dalam pertempuran itu, Siu-la m telah keluarkan jurus-jurus berbagai partai persilatan. Serangannya bagaikan gelombang yang melanda si nona.

Serangan dahsyat dari anak muda itu me maksa si nona mundur dan kalah angin. Dia tak ma mpu lagi melancarkan serangan balasan melainkan hanya me mbe la diri saja.

Sesungguhnya kepandaian nona itu cukup sakti. Tetapi karena ia kalah cepat dan diserang oleh ber maca m- maca m ilmu pedang istimewa dari partai-partai persilatan, mau tak mau terpaksa ia terdesak juga.

Pertempuran kedua anak muda itu benar-benar seru dan sengit sekali. Dalam menguasai lawan itu, Siu- lam telah menghabiskan seluruh tenaganya. Namun dalam kedudukan yang kelabakan, nona itu masih tetap dapat bertahan diri.

Dalam beberapa kejap saja keduanya telah melangsungkan lebih dari e mpat puluh jurus serangan pedang.

Siu-la m tak mau melepaskan kese mpatan sebaik itu. Ia curahkan  segenap  perhatian  dan  tenaga   untuk menghancur kan si nona. Dan hasilnya, nona itu makin payah. Kehancuran hanya tinggal menunggu saat saja. Asal Siu-la m dapat langsung me mpertahankan serangannya, nona itu pasti kalah.

Dalam detik-detik hanya menunggu saat kekalahan dari si nona baju biru itu, tiba-tiba terdengar teriakan me lengking yang nyaring sekali. Sesosok bayangan merah meluncur dari udara tahu-tahu terus menyerang Siu-la m dari belakang.

Pemuda itu cepat berputar tubuh dan me nyisih tiga langkah ke samping. Ketika menga mati ternyata penyerangnya itu seorang nona baju merah yang mencekal pedang di tangan kanan dan sebuah kebut hud-tim di tangan kiri. Nona baju merah itu tegak berdiri berhadapan dengan si nona baju biru.

Beberapa langkah di belakang, tampak si wanita baju kuning dan di belakang wanita baju kuning itu tegak berbaris Siau Yau-cu, Su Boh-tun, Pek Co-gi, Tio Hong-kwat dan jago- jago sakti yang telah dikuasai pihak Beng-gak.

Dengan ke munculan si wanita baju kuning atau ketua Beng-gak itu, terang kalau dia telah mengganti siasat. Barisan manus ia aneh, telah dijadikan pelopor penyerang. Sedang rombongan jago-jago sakti, ditaruh di belakang. Mereka disiapkan untuk mengadakan perte mpuran terakhir dengan Siau-lim-si.

Berhadapan dengan ro mbongan musuh yang sakti itu, Siu- lam bersikap tenang dan serius. Mencuri pandang sekeliling, ia tak me lihat  lagi  barang  seorang  paderi  Siau-lim-si.  Yang me mbentur pandangan matanya hanyalah mayat-mayat paderi yang bergelimpangan malang- me lintang di lantai. Jumlahnya terang dari lima puluhan orang.

Suara nyanyian gereja dan musik ira ma setan tadi, tak terdengar lagi. Hanya lepat-lepat terdengar  dering gemerincing dari suara senjata beradu.

Berpaling ke belakang, Siu-la m melihat sisa ro mbongan pertama paderi Siau-lim-si mundur sepuluh to mbak jauhnya. Di bawah sinar penerangan berpuluh batang obor yang terang benderanag, ia lihat dalam ruangan besar telah berlangsung pertempuran.

Siu-la m me mpero leh ga mbaran jelas. Barisan atau rombongan pertama dari Lo-han-tin telah menga la mi kehancuran total.

Sebelum anak muda itu dapat menetapkan rencana, tiba- tiba ketua Beng-gak mengangkat tangannya dan rombongan jago-jago sakti yang berada di belakangnya itu segera maju mengepung Siu-la m.

Siu-la m me nghela napas panjang, ia kerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk siap menghadapi serangan mereka. Tetapi ternyata jago-jago sakti itu hanya mengurungnya, tidak menyerang.

Wanita baju kuning melangkah maju mengha mpiri Siu- la m. Dia m-dia m tergetar juga hati pe muda itu, pikirnya: “Dengan menyuruh jago-jago  sakti  mengepung  dan  ia  sendiri mengha mpiri ke te mpatku ini, tampaknya wanita itu telah menga mbil keputusan me mbunuh aku ”

Dengan dugaan itu, ia cepat lintangkan pedang Pek-kau- kiam untuk melindungi diri. Ia menggunakan ilmu pedang Tat- mo-sa m- kiam mene mpur wanita Beng-ga k itu.

Tetapi tenang-tenang ketua Beng-gak ayunkan langkah. Kira-kira tiga langkah dari Siu-la m, tiba-tiba ia berhenti. Ditatapnya Siu-lam taja m-tajam, serunya dingin: “Sekarang engkau tentu percaya, bahwa sebelum terang tanah, aku tentu dapat me mbas mi seluruh paderin Siau- lim-s i!”

Siu-la m menengadah ke langit. Diperhitungkan bahwa saat itu belum jam tiga.  Menilik  keadaan  Siau- lim-s i  saat  itu me mang kata-kata wanita itu bukan ucapan kosong. Sejenak  merenung  berkatalah  pe muda  itu:   “Merebut ke menangan dengan akal siasat yang licik, bukanlah laku yang perwira!”

“Ha ha ha ha…” wanita baju kuning itu tertawa sinis, “tujuan perang adalah untuk mengalahkan musuh. Dengan cara apapun, bukanlah soal. Perang menghalalkan  semua  cara, makin licin ma kin bagus….”

“Dunia persilatan dan kaum pendekar, menguta makan kepandaian silat yang sejati. Barangsiapa memiliki  ilmu kepandaian yang gemilang, seluruh kaum persilatan tentu akan tunduk. Dalam kedudukan sebagai ketua Beng-gak dan kau tak segan me nggunakan cara-cara yang licik, apakah tidak akan merendahkan derajat mu?”

Wanita baju kuning itu tertawa: “Paderi Siau- lim-si berjumlah ribuan orang. Sekalipun mereka  menyerah, tetapi me mbutuhkan waktu juga untuk me nghabiskan mereka ”

Siu-la m selalau dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Karena menyaksikan kehancuran paderi Siau- lim-s i yang sedemikian mengenaskan, seketika t imbullah keinginannya untuk mengetahui alasan apa yang digunakan Beng-gak.

Sejenak me mandang ke cakrawala, berserulah ia dengan nada yang serius: “Ucapan beng-cu me mang benar. Jika seluruh paderi Siau-lim-si bertekad untuk mengadu jiwa, pertempuran mala m ini akan merupa kan pertempuran berdarah yang paling dahsyat. Baik kalah ataupun menang tentu akan tercatat sebagai pertempuran berdarah yang paling ngeri dalam sejarah dunia persilatan ”

Sepasang mata wanita Beng-gak itu berkicup-kicup dan menyahutlah ia tenang-tenang: “Saat ini waktu berharga sekali. Sedetik bagai sejumput e mas. Begitu mcr intih-r intih dan mengelu-elu kata-kata mu itu, entah hendak kau perdengarkan kepada siapa?” “Biarlah aku bicara sampai lidahku kering tak lain karena berharap agar beng-cu suka mengingat peri-ke marusiaan….”

“Hahaha.” wanita baju kuning itu tertawa hambar. “Suruh pade'i paderi itu le mparkan senjata dan menyerah, nanti tentu akan kua mpuni jiwa mereka!”

Mendengar itu menggigillah bulu kuduk Siu-la m, serunya: “Dengan begitu, kata-kataku tadi hanya angin  kosong. Baiklah, karena bengcu sudah memutuskan begitu,  aku hendak mengusulkan sebuah cara agar menghindarkan pembunuhan yang tak berguna!”

“Jika ada usul,  lekaslah  katakan  dengan  jelas,  jangan me lingkar-lingkar me mbis ingkan telinga!” tukas wanita baju kuning itu.

“Menggebuk ular harus menggebuk bagian kepalanya. Mencari burung harus mendjo lok sarangnya. Jika bengcu dapat menundukan tokoh-tokoh pimpinan Siau-lim-s i, paderi- paderi anak murid mereka tentu tak ma mpu me lanjutkan perlawanannya lagi!” kata Siu- la m.

“Maksudmu, cukup menyuruh pimpinan Siau- lim-si untuk mengadu kesaktian guna menentukan kalah atau menang?” seru si wanita.

Siu-la m mengiyakan.

“Bagus juga cara  itu....”  kata  ketua  Beng-gak  seraya  me la mbaikan tangan kanannya. Rombongan jago-jago sakti yang mengepung Siu-la m itupun segera me mberi jalan. Kemudian wanita ketua Beng-gak menyuruh Siu-la m: Berundinglah dengan paderi-paderi itu!”

Sambil ma ncekal kencang Pek- kau-kia m, Siu-la m me mberi hormat: “Baiklah, akan kulaksanakan perintah bengcu. Harap bengcu suruh barisan yang beraneka pakaiannya itu, hentikan penyerangannya!”

“Ga mpang saja,” kata ketua Beng-gak. Siu-la m segera me langkah keluar dari kepungan. Beberapa langkah ke mudian, ia berhenti dan berpaling lagi. “Masih ada sebuah permintaan, harap bengcu suka meluluskan!”

Wanita itu marah: “Engkau me mang menje mukan sekali! Kalau mau me mbunuhmu, adalah semudah me mba lik telapak tanganku. Lekas bilang!”

Dengan nyaring Siu-la m berseru: “Aku hendak mengusulkan supaya bengcu menyetujui dalam pertempuran itu jangan menggunakan senjata rahasia serta tak boleh menggunakan racun. Adu kepandaian itu harus dilangsungkan secara jujur untuk menentukan unggulnya kepandaian sejati!”

“Baik!” wanita ketua Beng- gak itu menjawab r ingkas. “Sebagai ketua Beng-gak. bengcu seorang pemimpin yang

diandalkan sekali. Harap jangan mengingkari perjanjian ini!”

Tanpa menunggu jawaban, Siu- lam terus berputar dan lari.

Setelah pemuda itu agak jauh. nona baju biru segera berpaling kepada gurunya: “Pe muda itu lihay sekali, mengapa suhu tak segera melenyapkannya saja?”

“Tetapi kata-katanya me mang tepat,” jawab wanita baju kuning, “Jika kita menghabis kan seluruh paderi Siau- lim-s i, mungkin sa mpai terang tanah belum selesai. Biarlah kita turutkan usulnya agar Siau- lim-s i mengajukan beberapa jagonya yang sakti untuk me langsungkan pertempuran yang menentukan. Kita me mpunyai keuntungan dalam hal itu. Asal beberapa jago mereka sudah kalah, Siau-lim-si tentu menyerah!”

“Tetapi suhu telah meluluskan untuk tidak menggunakan kita juga?” tanya si nona baju merah.

Ketua Beng-gak sejenak sapukan matanya me mandang tajam kepada kedua nona yang menjadi  muridnya itu, katanya: “Jika ji-sumoay mu masih hidup, ia tentu takkan mengajukan pertanyaan semacam itu. Karena kalian dapat bertanya, tentu dapat menjawab sendiri ”

Kedua nona baju biru dan merah itu angkuh dan dingin sekali sikapnya. Tetapi terhadap suhunya, mereka takut sekali. Seketika mereka tundukkan kepala dan berkata perlahan: “Mohon suhu sudi me mberi ampun kepada murid.”

Wanita baju kuning me langkah perlahan seraya berkata: “Lekas suruh mereka berhenti menyerang. Barisan Ngo-kui-tin kita, terang bukan tandingan barisan Lo-han-tin mereka!”

Nona baju biru merogoh keluar sebuah suitan. Sekali ditiup terdengarlah bunyi yang nyaring sekali.

Barisan lima maca m serangan dari Beng-ga k segera hentikan serangannya dan mundur, Lo-han-tinpun berhenti juga.

Di bawah penerangan obor yang terang benderang, ta mpak berpuluh-puluh mayat paderi Siau-lim-si bergelimpangan di lantai.

Wanita baju kuning berkeliaran me mandang ke  sekeliling ke mudian berbisik kepada si nona baju biru: “Tunggulah perintahku. Selekas pe mimpin Siau-lim-s i dapat kubekuk, engkau harus gerakkan barisan menyerang dan me mbakar gereja. Ratakan gereja Siau-lim-si dengan tanah agar dunia persilatan jangan timbul lagi Siau-lim-si!”

Nona itu me ngiyakan.

Ketua Beng-gak me mberi isyarat, mengajak nona baju merah dan ro mbongan jago-jago sakti masuk ke dalam gereja.

Dari pihak Siau-lim-si, muncullah sebuah barisan paderi berjubah putih. Salah seorang paderi tua, dengan mencekal tongkat dan tangan kiri me megang sepasang senjata teng-po, me langkah maju. Di sebelah paderi tua itu, terdapat Lam-koay dan Pak-koay. Sebelah kanannya tampak Siu-la m dengan menghunus pedang. Kedua pihak berjalan dengan pelahan tetapi  langkah mereka menetap dan sikapnya serius sekali. Masing- masing pihak telah menyadari bahwa pertempuran ma lam itu merupakan pertempuran mati atau hidup.

Jarak kedua belah pihak ma kin dekat tetapi tiada kedengaran suara apa-apa. Agaknya setiap orang menumpahkan seluruh perhatiannya untuk  menjaga  setiap ke mungkinan.

Tiba-tiba wanita baju kuning itu kerutkan sepasang alisnya dan percepat langkahnya sehingga dalam beberapa kejap tibalah ia di hadapan ro mbongan Siau- lim-s i.

Me mang paderi yang berjalan di muka sendiri itu adalah Tay Ih siansu pejabat ketua Siau- lim-si. Dengan gunakan tongkat di tangan kanan, paderi itu mencongke l tutup kedua buah tempat pedupaan yang dipegang di tangan kirinya. Sepasang tempat pedupaan itu ternyata berisi sebuah arca Budha dari batu kumala putih. Dari dalam te mpat itu, mengepul asap tipis yang harum baunya.

“Benda apakah itu?” tegur si wanita baju kuning dengan nada dingin.

“Harap Gak-cu jangan kuatir. Sudah sejak berdiri ratusan tahun, Siau-lim-s i tak pernah bertindak curang melakukan penyerangan secara gelap. Dan tak pernah pula menggunakan bius beracun untuk me ncelakai orang. Asap dari te mpat pedupaan ini, menyiar kan bau harum yang sa ma sekali tak mence lakai  orang.  Kebalikannya,  bau  harum   itu   dapat me leuyapkan segala maca m bebauan ya ng mengandung racun!”

“Baiklah kita segera mulai me mbicarakan acara pertempuran. Tapi tak perlu mengurus i benda itu!” wanita baju kuning cepat menukas.

“Jangan me mpunyai pikiran untuk mencelakai orang tetapi jangan mengaba ikan untuk menjaga diri terhadap perbuatan orang. Dupa harum ini hanya tinggal satu-satunya  batang yang berada dalam Siau-lim-s i. Demi menghor mat kunjungan Gak-cu. maka kanmipun menyulutnya juga,” kata Tay Ih.

Ucapan ketua Siau- lim-s i itu sudah jelas me ngunjukkan bahwa dia tak percaya akan kejujuran ketua Beng gak.

Wanita baju kuning itu tertawa dingin: “Ucapanmu itu sukar me mbuat aku percaya!” Habis berkata ia gerakkan jari-jari tangan untuk menunduk ke arah te mpat pedupaan itu.

Tay Ih menginsyafi bahwa yang dihadapinya saat itu seorang musuh yang sakti. Dia tak berani lengah. Buru-buru ia kebutkan lengan jubahnya untuk meno lak tutukan dari jarak jauh orang.

Wanita  baju  kuning  itu  tertawa   dingin.   Tiba-tiba   ia me langkah maju.

Tenaga sakti dari Tay Ih siansu me mang hebat sekali. Tetapi ketika berbentur dengan tenaga tutukan jari si wanita, tiba-tiba paderi itu terkejut. Angin tutukan dari si wanita menyerupai pisau tajam yang me mbelah angin kebutannya tadi.

Melihat terjadi sesuatu dalam gerakan Tay Ih, Lam- koay Shin Ki pura-pura mengurut-urut jenggot tetapi dia m-dia m dengan gerakan mengurut itu, ia melancarkan tenaga sakti untuk menahan angin tutukan jari si wanita.

Mellihat kedua pihak belum-be lum sudah adu kesaktian, Siu-la m buru-buru lari mengha mpiri dan berseru nyaring: “Telah kusa mpaikan pesan gakcu pada Tay Ih siansu dan ia pun menyetujui. Kedua belah pihak, akan me ngajukan jago- jago untuk mewakili pihak mas ing- masing dan mela kukan pertandingan yang menentukan ”

Ia me mandang ke  langit,  ujarnya:  “Saat  ini  sudah mende kati terang tanah. Harap beng-cu ssgera menetapkan peraturan agar pertandingan dapat segera dimula i!” Wanita baju kuning itu mendengus dingin: “Rencananya engkau yang usulkan. Peraturannya juga terserah padamu!”

Siu-la m tertawa: “Siapa yang menentukan peraturan, tak begitu penting. Pokoknya peraturan itu harus benar-benar ditaati oleh kedua pihak Baiklah, aku menur ut saja.”

“Hai, dalam pertempuran nanti, engkau yang pertama kubunuh lebih dulu!” wanita baju kuning itu mengerang karena merasa tersinggung oleh kata-kata Siu-la m.

“Menilik banyaknya manusia yang terbunuh tadi, aku percaya akan ucapan bengcu. Tetapi sebelum ajal, aku harus berpantang maut. Kiranya bengcu tentu me mbutuhkan waktu yang cukup la ma untukK me mbunuh diriku! ” kata Siu-la m.

“Hm, hanya seperti orang me mbalikkan telapak tangan saja,” dengus wanita itu.

Siu-la m tak mau meladeni. Ia batuk-batuk sebentar lalu berpaling ke arah tujuh puluh dua paderi Siau- lim-si yang berdiri di belakang Tay Ih siansu, ke mudian berkata kepada si wanita: “Jika sebelum terang tanah, bengcu dapat me mbunuh habis ka mi se mua ini, paderi-paderi Siau- lim-s i yang lain tentu akan menyerah dan tunduk pada perintah bengcu!”

“Itu pun tak sukar!” wanita baju kuning tertawa dingin. “Tetapi  dikuatirkan  sebelum  terang  tanah  bengcu  tentu

sukar   untuk  me mbas mi  kami  semua.  Entah  kalau sampai

mene mui kegagalan, bagaimana tindakan bengcu?”

Ketua Beng-gak rupanya menyadari kalau ter makan tipuan Siu-la m untuk me mbangkitkan rangsangan ke marahan lawan. Tetapi wanita itu dingin saja menjawabnya: “Jika sebelum terang tanah, aku tak dapat menghabiskan jiwa kalian se mua, aku akan tinggalkan tempat ini. Dalam tiga tahun lamanya aku takkan me laksanakan rencanaku untuk menguasai dunia persilatan!” Siu-la m  tersenyum:  “Syarat yang  bengcu  ajukan   itu me mang lebih r ingan.Tetapi waktu tiga tahun itu bukanlah sedikit. Entah bagaimana nanti perubahan di dunia persilatan. Mungkin suhu bengcu belum meninggal dan muncul ke mbali. Mungkin muncul pula tokoh lain yang mengge mparkan. Ah, tetapi bagaimanapun halnya, ucapan bengcu itu sudah merupakan janji yang terhor mat!”

Wanita baju kuning itu pelahan-lahan mulai mengangkat tangannya yang berkulit putih, serunya: “Yang pertama, aku ingin me mbunuhmu!”

“Karena bengcu me mberi penghargaan sedemikian besar, terpaksa akupun akan melayani. Tapi sebelum turun tangan, aku hendak mengajukan dua patah kata dulu!”

Terpaksa wanita itu turunkan lagi tangannya: “Apa? Lekas bilang!”

“Entah dalam pertempuran ini, kita berkelahi satu lawan satu atau secara berubutan?”

“Kau yang mengajukan rencana dan kau yang menetapkan acaranya. Satu lawan satu, atau rombongan lawan rombongan, terserah saja kepadamu!” seru wanita itu dengan mur ka.

“Menurut he matku, baiklah kita bertempur satu  lawan  satu ”

Wanita baju kuning menyadari bahwa perte mpuran satu lawan satu tentu me makan waktu yang panjang. Sudah tentu hal itu tak menguntungkan pihaknya. Karena jika sampai terang tanah belum selesai, tentu ia kalah janji dan harus tinggalkan Siau-lim-s i. Cepat-cepat ia hendak berbicara. Tapi Siu-la m sudah lebih dulu berseru: “Partai pertama, biarlah aku yang menghadapi bengcu!” Dan tanpa me mberi kese mpatan orang bicara lagi, Siu- lam terus me mutar Pek- kau-kia m seraya berseru: “Harap bengcu hati-hati, aku akan me nyerang !”

Buru-buru Tay Ih siansu berteriak: “Pui sicu, sicu sebagai tetamu, partai pertama seharusnya loni yang maju...”

Tetapi Siu-la m me mang sudah mengatur rencana. Tanpa menghiraukan teriakan pejabat ketua Siau-lim-s i itu lagi, ia terus menyerang ketua Beng-gak dengan jurus Se-lay-co-im.

Jurus itu memang ganas, tapi masih mengandung kelonggaran kepada jiwa lawan. Tiba-tiba wajah wanita  itu jadi berubah. Tubuhnya sedikit menggeliat dan tahu-tahu ia sudah menyingkir tiga langkah ke sa mping.

Siu-la m  sudah  menetapkan  rencana.  Jika  wanita   itu me mpunyai kese mpatan untuk menyerang, tentu celakalah ia. Maka bagaikan bayangan, ia terus merangsang lagi.

Tetapi gerakan wanita baju kuning itu luar biasa cepatnya. Betapapun cepatnya Siu-lam melancar kan serangannya berantai, namun wanita itu tetap mempunyai kese mpatan untuk balas menyerang. Tetapi anehnya, dia tak mau dan tetap mengawasi, tenang-tenang saja menunggu serangan ke dua dari anak muda itu.

Siu-la m berotak cerdas. Melihat sikap wanita itu segera ia mengetahui is i hati orang. Wanita itu tentu akan me mpelajari bagaimana jurus-jurus ilmu pedang.

Sekilas dalam benaknya. Jika lawan me mpunyai rencana demikian, itulah kebenaran sekali. Ia hendak me ma inkan semua kepandaian yang dimiliki dengan pelahan, agar hari segera terang tanah.

Setelah menetapkan rencana mengulur waklu, Siu-la m menarik  pulang   pedangnya   dan   berseru;   “Aku   masih me mpunyai beberapa soal lagi yang terpaksa harus kuterangkan dahulu!” Wanita baju kuning itu kerutkan dahinya. Seri wajahnya penuh dengan hawa pembunuhan. Katanya: “Kali ini merupakan kesempatan engkau bicara untuk yang terakhir kali!”

Siu-la m tertawa: “Dalam pertempuran ini, kita bertempur sampai ada yang mati atau hanya berhenti apabila ada salah seorang yang terkena tutukan….”

“Sudah tentu harus sampa i mati. Tidak akan berhenti sebelum ada yang mati!” tukas wanita dari Beng-gak itu.

Siu-la m menyadari bahwa kepandaiannya masih kalah.

Maka ia tak mau sa mpai diserang dulu.

'Hati-hatilah, bengcu, aku hendak lancarkan serangan kedua. Jauh lebih dahsyat dari jurus pertama tadi!” serunya sambil bersiap tetapi tak segera menyerang.

“Mengapa engkau banyak mulut!” bentak wanita itu dengan marah.

“Ah, maksudku hanya hendak menjelas kan lebih dahulu untuk menghindar i tuduhan-tuduhan yang tak benar!” ia menutup kata-katanya dengan lancarkan jurus It-cut-mo-thian atau sebatang pilar menyanggah langit.

Pedang menukik atas kemudian berha mburan mencurah ke bawah. Gerakan hampir sa ma dengan jurus per mainan pedang Kun-eng- lin-tian atau Pek-kiong- ki-pay.

Sekalian orang yang melihat gerakan pedang si anak muda, mau tak mau terbelalak heran. Permainan pedang itu benar- benar mengagumkan sekali. Bahkan si wanita baju kuning sendiripun agak terkesiap. Tahu-tahu ia me lesat ke sa mping.

Gerakan menyingkir ketua Beng-ga k itu a mat gesit sekali. Tetapi ternyata pedang Siu-la m luar biasa cepatnya. Ujung pedangnya berhasil menusuk robek baju si wanita. Siu-la m sendiri pun kesima. Ia tak menyangka bahwa permainannya pedang kini bertambah maju sede mikian hebatnya. Serentak besarlah nyalinya.

“Jurus ketiga yang akan kulancarkan ini lebih ganas lagi, harap bengcu berhati-hati!” serunya.

Saat itu wanita baju kuning belum dapat  menenangkan rasa kejutnya. Mendengar seruan anak muda itu, diam-dia m ia tergetar. Pikirnya:

“Dua kali. Jika aku sampai terluka oleh anak itu, betapa aku hendak menyembunyikan mukaku nanti.”

Cepat ia gerakkan tangannya mena mpar!

Tampaknya pelahan sekali ta mparan itu tetapi angin yang me landa Siu- lam bukan kepalang hebatnya. Siu-lam menyadari bahwa ia tak ma mpu adu kekuatan. Namun kalau menghindar ia kuatir akan dicecer serangan sehingga ia tentu dikuasai lawan.

Tiba-tiba ia menga mbil keputusan. Ia salurkan seluruh lwekangnya ke tangan kanan dan pedang Pek-kau- kiam segera disongsongkan me nusuk.

Cis cis.... terdengar bunyi mendes is tajam dan Pek-kau- kiam terasa mendapat tekanan keras. Untuk meringankan diri, Siu-la m mengikat ke samping.

Pemancaran tenaga Iwekang dari si  wanita  baju  kuning me mang bukan olah-olah bebatnya. Tetapi berhadapan dengan pedang pusaka Pek- kau-kia m yang luar biasa tajamnya, serangan tenaga sakti wanita itupun terpecah juga.

Tiba-tiba Siu- lam rasakan sekujur tubuhnya tergetar seperti diangkat ke atas ke mudian dile mpar kan ke tanah. Dadanya terasa remuk, darah bergolak keras dan mata berkunang- kunang. Pek-kau- kiam ha mpir terlepas dari cekalannya. Sesungguhnya, ketua Beng-gak itu telah me lancarkan enam bagian dari tenaga lwekangnya. Dia m-dia m ia kagum juga karena pe muda itu tak sa mpai pingsan. Jika anak itu dibiarkan hidup tentu berbahaya sekali.

Sekali mengge liat, wanita  baju  kuning  itu  melesat mengha mpiri Siu-la m dan terus hendak menusuk dadanya.

Saat itu Siu- lam sudah tak berdaya lagi. Walaupun jari si wanita sudah hampir mengenai, dia tetap tak bergerak. Hanya ketika jari itu benar-benar hampir menyentuh dadanya, tiba- tiba ia rubuh terjerembab ke belakang.

Sepintas pandang, tampaknya dia seperti terkena tutukan jari si wanita. Tetapi si wanita itu sendiri terkejut karena tak merasa sudah me matuknya. Mengapa pe muda itu tahu-tahu jatuh sendiri?

Bluk, begitu punggung Siu- lam jatuh ke tanah, dia terus berguling-guling ke samping dan me lenting ke udara seraya berseru nyaring: “Perang menghalalkan segala maca m tipu siasat, makin licik makin bagus...” sambil meluncur ia taburkan Pek-kau-kia m dalam Tay-to-te-peng atau Malaikat menjaring tanah. Jurus yang paling ganas dari ilmu pedang Tat-mo-sa m- kia m.

Wanita itu terkejut ketika me lihat Siu- lam melent ing ke udara. Belum se mpat ia  menenangkan  hatinya,  segumpal gelo mbang sinar pedang telah menimpa kepalanya. Bukan kepalang kejut ketua Beng-gak itu. Seumur hidup  belum pernah ia menyaksikan per mainan pedang yang sedemikian hebatnya. Dalam gugup, ia buang tubuhnya ke belakang.

Sayang... karena terluka dalam maka Siu-la m tak dapat menge mbangkan ilmu pedang itu dengan sepenuhnya. Dan lagi, sejak menerima ajaran dari Kak Bong  taysu, baru pertama  kali   itu   ia   menggunakannya.   Maka  ia   belum me maha mi benar-benar segala perubahannya. Ketiga kalinya, wanita baju kuning itu bukan olah-olah saktinya. Gerakannya seperti kilat menya mbar. Dengan demikian dapatlah ia lolos dari anca man sebuah ilmu pedang pusaka warisan ja man dahulu yang sakti.

Andaikata kepandaian Siu-la m lebih tinggi sedikit dari sekarang dan dia sudah lebih me maha mi int i perubahan ilmu pedang itu, betapapun

saktinya wanita itu, tak mungkin dia dapat lolos dari bencana maut.

Ternyata Siu-lam tadi me nggunakan siasat. Menyadari bahwa dirinya telah terluka dalam sehingga apabila sa mpai diserang wanita itu sekali tentu nyawanya melayang, ia segera gunakan siasat, ia pura-pura terluka parah, begitu jari si wanita menutuk, ia lalu jatuhkan dirinya ke belakang, bergulingan dan terus mela mbung ke udara dan lancarkan serangan dahsyat.

Tetapi ternyata rencananya telah gagal. Si wanita baju kuning masih dapat lolos. Karena terlalu banyak menggunakan tenaga, ketika melayang turun ke tanah, Siu-la m terus muntah darah.

“Omitohud!” seru Tay Ih siansu,” harap Pui sicu beristirahat dulu. Biarlah loni yang melayani li-s icu itu!”

Siu-la m me nyadari keadaan dirinya yang terluka itu. Ia harus beristirahat memulangkan tenaga dalam, ke mudian dengan mengandalkan kesaktian ilmu  pedang  Tat-mo-sa m- kia m, ke mungkinan ia dapat mengundur kan si wanita baju kuning. Selain itu, kiranya hanya Lam-koay dan Pak koay yang ma mpu menghadapi ketua Beng-gak.

Tetapi ia sungkan mengatakan hal itu kepada Tay Ih. Setelah merenung sejenak, baru ia berkata: “Taysu adalah pimpinan gereja, sebaiknya jangan tergesa maju dulu….”

Tiba-tiba ia mengganti suaranya dengan nada berbisik: “Tadi berkat menggunakan pedang pusaka Siau-lim si, wanpwe telah berhasil me mberantas kecongkakan wanita itu. Walaupun wanpwe terluka, tetapi tujuan wanpwe telah terlaksana. Sekarang yang penting harus dapat me mbakar hati Lam- koay dan Pak-koay agar mau turun tangan. Dalam dunia persilatan dewasa ini, kiranya jarang yang mampu menandingi kesaktian wanita Beng-ga k itu. Asal kedua lo-cianpwe itu mau bersatu melawannya kemungkinan dapat mengimbangi wanita itu yang penuh siasat licik, tak perlu kita menuruti perjanjiannya. Dalam kedudukan sebagai ketua Beng-gak, jika tak terjepit bahaya dia tentu tak mau me langgar janjinya.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan lagi: “Wanpwe menghor mat i kejujuran lo-s iansu. Tetapi pertempuran mala m ini bukanlah menyangkut kepentingan siansu seorang, tetapi nasib dari seluruh dunia persilatan. Maka tujuan kita bukanlah hanya menurutkan kepanasan hati  untuk  mengadu keunggulan ilmu saja. Tetapi yang penting ialah  untuk menjaga kelangsungan hidup dunia persilatan. Dalam hal ini wanpwe minta agar lo-s iansu jangan terpengaruh oleh sepatah dua patah kata dalam perjanjian itu!”

“Baiklah,” kata ketua Siau- lim-si itu dengan kerut wajah bersungguh. Sebenarnya ia hendak me minta penjelasan tentang keterangan Siu-la m mengenai ilmu pedang yang digunakan tadi, tetapi karena melihat mulut pemuda itu mengumur darah, ia tak berani me ngganggunya lagi.

Dalam pada berkata-kata itu, mata Siu-lam tetap mencurah ke arah si wanita baju kuning. Kuatir wanita itu akan mengadakan gerakan lagi.

Tetapi ternyata wanita itu masih tertegun me mbayangkan ilmu pedang yang dimainkan Siu- lam tadi. Maka diapun tak berani sembarangan bergerak menyerang lagi. Ia me mbisiki mur idnya si nona baju merah dan Siau Yau-cu. Rupanya ketua Beng-gak itu tengah merencanakan sesuatu. Apa yang dikatakan Siu-la m me ma ng benar. Ilmu pedang Tat-mo-sa m-kia m telah meredupkan kecongkakan si wanita baju kuning....

Siu-la m berpaling ke belakang. Dilihatnya para paderi telah mengatur diri lagi dalam barisan Lo-han-tin. Siu- lam segera masuk ke belakang mengha mpiri ke tempat Lam-koay dan Pak-koay.

Kedua tokoh yang pernah mengge mparkan dunia persilatan pada jamannya mereka malang melintang dahulu, saat itu berdiri berjajar sambil mengurut-urut jenggot. Wajah mereka tetap dingin dan serius. Agaknya merasa acuh tak acuh akan pertempuran maut yang dilangsungkan Siu- lam dengan ketua Beng-gak tadi.

“Shin toako.” kata Siu-la m setelah tiba di tempat Lam-koay, “bagaimanakah pendapatmu tentang perma inan pedang yang kugunakan mene mpur ketua Beng-gak tadi?”

Lam- koay Shin Ki me nyeringai senyum: “Hebat dan aneh, tetapi tak cukup tenaganya. Dalam menyerang bagian penting tubuh lawan, la mban dan kurang tangkas gerakannya. Jika jurus itu aku yang menggunakan, tentu dia sudah putus kepalanya!”

Siu-la m tertawa: “Me mang kepandaian dan tenaga Iwekang toako, amat kukagumi sekali. Tetapi entah apakah dalam ilmu pedang toako juga liehay?”

“Pedang merupa kan sumber dari segala ilmu senjata.

Sudah tentu sejak dulu aku telah paham.”

Serentak Siu-la m menyerahkan pedang Pek- kau-kia mnya: “Tadi siaute telah menderita luka dalam yang cukup berat. Mungkin sukar untuk turun gelanggang lagi. Untuk se mentara waktu siaute akan serahkan pedang pusaka ini kepada toako untuk menghadapi wanita itu. Bagaimana toako?” Sejenak La m-koay me mandang  kepada Pak- koay lalu menya mbuti pedang pusaka itu. Ujarnya: “Sudah enam puluh tahun aku tak pernah menggunakan senjata dalam pertempuran ”

Dari nada ucapan itu, Siu- lam dapat menduga bahwa sebenarnya Lam-koay sudah dihinggapi rasa  gentar terhadap si wanita baju kuning. Dia m-dia m Siu- lam mengatur siasat: “Ah, jika tidak kubangkitkan ke marahannya, dia tentu tak mau keluar gelanggang karena takut !”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar