Wanita iblis Jilid 26

Jilid 26

NONA itu kerutkan alis. Wajahnya menampilkan hawa pembunuhan, serunya: “Kasih tahulah kepada pemimpin gerejamu ini, nanti lewat tengah mala m, guruku bersama rombongan jago-jago Beng-ga k, akan berkunjung ke mari. Masihlah ada kesempatan apabila kalian hendak menginginkan perdamaian. Asal kalian suka menggabungkan diri ke dalam rombongan Beng-gak, tentu terhindar dari ma lapetaka. Tengah mala m belum ada pernyataan, begitu sudah terlanjur masuk ke dalam gereja ini, tentu sukar ditolong lagi….”

“Gereja Siau-lim-si cukup dikenal dalam dunia persilatan. Dengan kata-katamu yang sombong itu, seharusnya loni segera me mberi hajaran kepada mu….”

Tiba-tiba nona baju merah tertawa mengikik,  ujarnya: “Hanya dengan menganda lkan kepandaianmu yang tak berarti? Hm, apakah engkau tak takut lidahmu disa mbar angin?”

Nona baju biru me mber i isyarat dengan tangan: “Tak perlu banyak bicara dengan dia. Ayo, kita pergi!” katanya seraya mendahului pergi.

Si nona baju merah dan ketiga tokoh yang sudah menjadi kaki tangan Beng-ga k itu, segera mengikutinya.

Dalam pertempuran tadi, Tay Hi mengetahui bahwa kepandaian nona baju merah itu tak di bawahnya. Sejenak ia tertegun tak tahu apa yang harus dilakukan.

Tiba-tiba terdengar suara Siu-lam berseru dengan suara yang lemah: “Jangan mengejar mereka!  Lebih  baik  kita masuk ke dalam dan berunding menyiapkan rencana!”

Karena berterima kasih atas bantuan pemuda itu dalam menyela matkan gereja Siau-lim-si, Tay Hi mengindahkan sekali pada Siu- la m.

“Harap Pui sicu beristirahat dengan tenang. Biarlah loni yang me mber itahukan hal ini kepada Tay Ih suheng,” katanya.

Siu-la m menghela napas: “Saat ini aku sedang melakukan pernapasan. Maaf, tak dapat ikut ke dalam. Apabila Tay Ih siansu dapat datang ke mari, ah sungguh beruntung sekali!”

Sebenarnya dengan dilindungi oleh beberapa paderi, Siu- lam tengah menyalurkan lwekang untuk menye mbuhkan luka yang dideritanya dari pukulan Bu-ing-s in-kun Pek Co-gi. Tetapi karena mendengar pe mbicaraan antara si nona baju biru dengan Tay Hi siansu tadi, ia tak kuasa menahan diri untuk tidak sa mbung bicara.

Dia m-dia m Tay Hi suheng me mbatin: “Saat ini Tay Ih suheng sedang dalam kedudukan sebagai ketua gereja. Dan kedudukannya     berat     sekali. Bagaimana dapat mengundangnya keluar mene mui anak muda ini….”

Tiba-tiba terdengar suitan  panjang  yang  seolah-olah mene mbus angkasa. Dan dengan cepat sekali dua sosok bayangan melesat tiba. Ah, kiranya Pak-koay  Ui Lian dan  Lam- koay Shin Ki yang muncul.

Dengan mata berkilat-kilat Pak-koay menatap Siu-la m seraya berkata: “Hai, mengapa? Apakah engkau terluka?”

“Benar, me mang terluka,” sahut Siu- la m.

Pak-koay segera menghampiri, mengulur kan tangannya: “Bagaimana kalau kubantu engkau me mber i saluran tenaga supaya cepat sembuh!”

Bermula Siu- lam curiga jangan-jangan orang itu hendak mence lakakan dirinya. Tetapi pada lain kilas ia hilangkan kecurigaan itu. Kalau me mang ber maksud jahat, tentu  dengan terang-terangan mereka dapat mela kukannya.

“Silahkan lo-cianpwe mela kukan,” katanya serentak.

Sesungguhnya Pak-koay Ui Lian me mang me mpunyai rencana jahat untuk dia m-dia m mencela kai pe muda itu. Tetapi demi mendengar jawaban Siu-la m yang tegas dan berani, dia malah tak enak hati sendiri. Segera ia letakkan tangannya ke dada anak muda itu.

Serentak Siu-la m segera rasakan suatu hawa panas yang keras, menyalur ke dalam tubuhnya. Buru-buru ia kerahkan lwekang untuk me nyambut pancaran hawa itu. Agaknya Lam- koay Shin Ki  tak  puas  karena  Pak- koay me mber i saluran lwekang itu. Dia pun melangkah maju dan tanpa berkata suatu apa terus lekatkan tangannya ke punggung Siu- la m.

Pak-koay mendengus dingin. Tiba-tiba ia perkeras tenaga salurannya. Siu-lam didorongnya ke belakang dan serentak dengan itu ia menyalurkan lwekangnya lebih keras lagi.

Lam- koay  balas  tertawa  dingin.  Dia  pun  tak mau menga lah, salurannya lwekang ke tubuh si anak muda diperhebat untuk menghalau saluran lwekang Pak-koay.

Celaka… tubuh Siu-la m telah dijadikan medan adu lwekang dari kedua tokoh aneh itu. Mereka saling  penasaran  dan makin me na mbah hebat salurannya. Dengan demikian, Siu- lam ma kin menderita. Ia rasakan darah dan perkakas dalam tubuhnya seperti copot, darah bergolak-golak seperti kuda binal, sakitnya bukan alang- kepalang….

Tetapi kedua tokoh aneh itu tak menghiraukan penderitaan anak  muda  itu.   Mereka  hanya  mencari  kepuasan  untuk me la mpiaskan nafsu hatinya. Sekalipun diketahuinya bagaimana anak muda itu mender ita setengah mati, namun mereka tetap tak mau menghentikan pancaran tenaga saktinya, sebelum ada yang kalah dan menang.

Sesungguhnya Siu- lam sudah tak kuat lagi.

Ketika ia hendak berseru me minta kedua tokoh itu hentikan saluran mereka, tiba-tiba ia rasakan serangkum hawa hangat yang aneh, menyusup ke dalam perut. Hawa itu panas sekali dan Siu- lam merasa seperti dibakar  tubuhnya,  ia  tak  jadi me mbuka mulut karena harus mengerahkan tenaga dalam untuk meno laknya.

Ternyata karena marah  maka  La m-koay  Shin  Ki  telah me mancarkan lwekang Cek-yan-ciang. Pak-koay Ui Lian tertawa dingin. Diapun tak mau kalah dan me mancarkan lwekang Hian-ping-ciang yang dingin seperti es. Dua maca m lwekang sakti panas dan dingin telah menyerang tubuh Siu-la m. Dapat dibayangkan betapa penderitaan anak muda itu…. Dia sebentar merasa seperti dibakar, sebentar lagi merasa seperti dibenam dalam laut es!

Melihat penderitaan anak muda itu, Tay Hi tak  dapat tinggal dia m. Segera ia mengha mpiri.

“Harap sicu berdua suka hentikan penyaluran. Jika diteruskan, kiranya Pui sicu tentu tak dapat bertahan lagi!” serunya.

Pak-koay  Ui  Lian  deliki  mata  kepada  paderi   itu  dan me mbentaknya: “Lekas, enyah!”

Tay Hi siansu tertegun, serunya: “Apa?”

Pak-koay Ui Lian berteriak marah: “Apa engkau tuli? Pergilah!” dengan tangan kanan masih melekat pada dada Siu-la m, tangan kirinya tiba-tiba ditamparkan ke arah Tay Hi siansu.

Serangkum tenaga keras segera me landa paderi itu. Tay Hi terkejut dan buru-buru menangkis tetapi tak urung ia terdampar mundur dua langkah. Dia m-dia m ia terperanjat: “Hm, hebat benar lwekang orang ini. Hanya tangan kirinya saja sudah sedemikian dahsyat. Kepandaiannya tentu luar biasa….”

Huak… sekonyong-konyong Siu-la m muntahkan segumpal darah segar. Ia benar-benar tak tahan lagi.  Dan pingsanlah anak muda itu.

Sekalipun anak muda itu sudah pingsan, kedua manusia aneh  itu  tak  mau hentikan  adu  lwekangnya.  Yang  satu me lekatkan telapak tangannya ke dada Siu-lam, yang satu di punggung anak muda itu.

Tay Hi gelisah sekali. Siu-la m sudah pingsan. Jika kedua tokoh itu tetap tak mau hentikan penyaluran lwekangnya, Siu- lam tentu akan hancur binasa…. Tetapi Tay Hi menginsyafi. Kepandaiannya tak ma mpu menandingi mere ka. Apalagi mengingat saat itu Siau-lim-si sedang terancam gerombo lan Beng-gak yang ganas. Jika mencari per musuhan lagi kepada kedua tokoh sakti itu, tentu lebih me na mbah kesulitan.

Namun ia pun tak dapat melihat anak muda itu mender ita kebinasaan di tangan kedua manusia yang tak kenal kasihan itu. Pe muda itu harus disela matkan….

Tengah ia bingung tak tahu apa yang harus dilakukan, tiba- tiba terdengar derap kaki orang berlari mendatangi. Kiranya Tay Ih siansu dengan diiringi Tay Lip, Tay To dan delapan ko- chiu Siau-lim-si tengah berlari me ndatangi. Dalam beberapa kejap saja mereka sudah tiba.

Menyaksikan keadaan Siu-la m, Tay Ih kerutkan alis dan menegur Tay Hi: “Pui sicu adalah bintang  penolong  gereja kita. Mengapa engkau diam saja melihat dia berada dalam kesukaran?”

Tay Hi rangkapkan kedua tangannya me mberi hor mat kepada suhengnya yang kini menjadi pejabat pimpinan gereja itu: “Siaute telah me minta mereka, tetapi kedua sicu itu tak mau me luluskan permintaan siaute. Siaute me mang sedang bingung untuk menga mbil langkah!”

Tay Ih berpaling ke arah Tay Lip dan Tay To, me mberi isyarat kepada mereka supaya siap menghadapi musuh yang tangguh.   Kemudian   ia   sendiri   maju   mengha mpiri  dan me mber i hor mat.

“Omitohud!” serunya dengan tenang, “Maukah sicu berdua berhenti sebentar untuk mendengar ucapan loni?”

Saat itu Pak-koay Ui Lian  dan La m- koay  Shin  Ki tengah me mperhebat pancaran lwekangnya. Lwekang sakti Cek-yan- ciang dan Hian-ping-ciang sedang me mancar dengan dahsyatnya. Jangankah berhenti, sedang berpaling muka saja kedua tokoh itu tak mau. Melihat keliaran mereka,  Tay  Ih  yang  sabar  terpaksa  me ledak ke marahannya. Berserulah ia dengan nyaring: “Loni minta dengan hor mat supaya sicu berdua suka berhenti sebentar. Apakah sicu berdua tak mau mengindahkan sama sekali?”

Pak-koay Ui Lian tenang-tenang berpaling dan tertawa dingin: “Hm, engkau bicara dengan siapa?”

“Loni bicara kepada sicu berdua. Sicu berdua bukan orang yang tuli dan bukan pula  orang limbung, mengapa  tak mengerti pe mbicaraan loni?”

“Engkau berani berkata melukai hati orang. Mungkin engkau sudah bosan hidup, bukan?” seru La m-koay Shin Ki.

Jawab Tay Ih siansu: “Loni ingin me mper ingatkan bahwa tindakan sicu berdua terhadap seorang anak muda begitu itu, apakah sicu berdua tak takut ditertawai kaum persilatan?”

Pak-koay cepat menukas: “Hm, siapakah yang berani menertawai La m-koay dan Pak-koay….”

“Berarti dia tentu sudah bosan hidup!” cepat-cepat Lam- koay Shin Ki melanjutkan kata-kata rekannya.

Aneh, benar-benar aneh. Kedua manus ia aneh itu sedang mengadu kesaktian lwekang. Tetapi nada kata-kata mereka seolah-olah seperti seorang kawan.

Melihat keadaan Siu- lam sudah  ma kin  payah,  Tay  Ih  me mutus kan mencari daya untuk menghentikan tindakan kedua orang itu, baru nanti bicara lagi.

“Apapun maksud kata-kata sicu berdua itu, tetapi loni minta sicu berdua hentikan dulu  menganiaya anak itu!” teriak pejabat ketua Siau-lim-si itu dengan tenang.

Pak-koay Ui Lian menyambut per mintaan paderi itu dengan sebuah tamparan tangan kiri. Tetapi ketua Siau-lim-si itu sudah bersiap-siap. Buru-bur u ia gerakkan tangan kanan menangkisnya. Sekalipun begitu tak urung ia tetap merasa dadanya sesak dan tubuhnya tersurut mundur dua langkah….

Untunglah Tay Ih lebih sakti daripada Tay Hi dan lagi ia sudah mengadakan penjagaan lebih dulu. Cepat-cepat paderi itu berkisar ke kiri untuk menghindar kan diri.

Tetapi celaka, La m- koay Shin Ki pun tak mau kalah hati. Segera ia menampar paderi itu juga seraya berseru:  “Nih, coba rasakan juga pukulanku!”

Tay Ih siansu dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong. Karena tadi ia sudah mender ita, kali ini ia tak mau hal itu terulang lagi. Ia mendorong dengan kedua tangannya dan dengan tenaga penuh.

Terdengar letupan keras dan Tay Ih tetap tersurut mundur selangkah.

Tay Lip dan Tay To segera melangkah  ma ju. Dipandangnya  kedua  manus ia  aneh  itu  dengan   sikap mene mpur nya.

Saat itu tiba-tiba Siu-la m tersadar. Begitu me mbuka mata segera ia berkata kepada Tay Ih siansu: “Harap taysu jangan kuatir. Kedua lo-cianpwe ini bersahabat baik sekali dengan wanpwe. Tak nanti mereka akan mence lakai wanpwe.”

“Siapa bersahabat dengan engkau?”  t iba-tiba  Pak- koay me mbentaknya.

Siu-la m hanya ganda tertawa tak mau menyahut melainkan mengatupkan matanya lagi.

Ternyata  pancaran  lwekang  panas   dan   dingin   yang me landa dalam tubuh pe muda itu, saat itu sudah mulai menyurut. Dan terjadilah suatu keajaiban. Luka akibat dari pukulan Bu- ing-sin-kun tadi karena dia muk oleh lwekang panas dan lwekang dingin, luka itu me mbuka dan me luncur keluar dari mulut Siu- la m. Tetapi setelah darah kental itu keluar, luka itupun se mbuh sa ma sekali. Me mang pada saat terjadi proses penyembuhan itu, Siu- lam tak tahan dan pingsan. Tetapi setelah berlangsung beberapa jenak iapun dapat tersadar kemba li.

Dan saat itu walaupun lwekang panas dan lwekang dingin itu masih berkeca muk dalam tubuhnya, tetapi Siu-la m sudah tak begitu mender ita seperti ketika luka akibat Bu- ing-sin- kun tadi masih belum se mbuh.

Dan saat itu, iapun segera kerahkan lwekangnya untuk menghadapi serangan lwekang panas dan lwekang dingin itu. Dan terjadilah semaca m ‘perang tanding’ yang aneh. Jika ia merasa kepanasan, ia segera menggabungkan lwekangnya dengan lwekang dingin untuk menghalau hawa  panas  itu. Dan kalau lwekang dingin lebih kuat, buru-buru ia gabungkan lwekangnya dengan lwekang panas untuk mengus ir hawa dingin itu.

Dengan cara begitu, kini dapatlah ia menguasai  kedua maca m lwekang sakti yang tengah melanda tubuhnya.

Sesungguhnya lwekang kedua manusia aneh itu me mang istimewa hebatnya. Tetapi tingkat kesaktian mereka berimbang. Dalam keadaan itulah maka Siu- lam  berhasil dapat mengendalikan mereka dengan jalan saling mengadu lwekang mere ka.

Saat itu jika Siu- lam mau gabungkan lwekangnya dengan lwekang La m- koay Shin Ki Pak- koay Ui Lian pasti terdesak. Tetapi jika ia menggabung dengan Pak- koay Ui Lian, La m- koay Shin Ki tentu yang terdesak.

Pada saat Siu-lam me nyadari keadaan itu, Pak-koay dan Lam- koay pun mengetahui juga. Tetapi karena watak mereka yang angkuh dan tak mau kalah, mereka tetap tak mau berhenti.

Ada sebuah pepatah yang mengatakan: “Jika sang bangau berkelahi dengan kerang, si pengail ikan yang mendapat keuntungan karena dapat menangkap mereka!” Demikian pun dengan keadaan Siu-la m. Karena kedua manus ia aneh itu saling ngotot untuk mengadu kesaktian lwekang, maka diapun segera berusaha untuk menarik keuntungan.

Dalam mener ima banjir lwekang panas dan dingin itu, Siu- lam merasa bahwa kedua lwekang itu menga lir ke arah jalan darah Seng-si-hian- kwan dalam tubuhnya. Padahal Seng-si- hian-kwan merupakan ja lan darah utama yang paling sukar diterobos. Dan jalan darah itu merupakan bagian yang penting sekali atau merupakan ‘kwan’ rintangan terakhir yang harus ditembus. Begitu Seng-si-hian- kwan itu  tertembus, maka se mpurnalah lwekang seseorang.

Penderitaan yang dialami Siu- lam sela ma beberapa bulan ini, selalu berakhir dengan suatu rejeki besar di mana  dia selalu me mperoleh  keuntungan yang tak disangka-sangka berupa ilmu kesaktian dari beberapa tokoh sakti. Dengan begitu, sekalipun dalam batin ia menga la mi derita, tetapi dalam ilmu kepandaian ia me mpero leh ke majuan yang luar biasa.

Dalam pada itu karena adu lwekang itu berlangsung la ma, akhirnya Pak-koay Ui Lian marah. Dengan mendengus dingin, ia mencengkera m sekerasnya dada Siu-la m. Ia salurkan seluruh lwekang Hian-ping-ciang.

Seketika hawa panas yang menge mbang di punggung Siu- lam terdesak mundur. Dan menggigillah tubuh anak muda itu.

Lwekang yang dikerahkannya, buyar terlanda hawa dingin itu.  Untung  pada  saat  lain,   Lam- koay   Shin   Ki  segera me lancarkan serangan balasan. Gelo mbang hawa panas segera melanda dalam tubuhnya. Hawa dingin itupun segera menyurut reda.

Perubahan panas dan dingin itu berlangsung dengan cepat dan dahsyat sekali. Dan karena Siu-la m tak kuasa lagi me mpertahankan diri, gelombang kedua lwekang itu meluap ke atas dan menerjang bagian Seng-si- hian- kwan.

Saat itu Pak-koay tengah mengerahkan lwekangnya untuk balas menyerang. Tubuh Siu- lam yang panas tiba-tiba seperti disiram air es. Dan untuk yang kesekian kalinya, ia menggigil lagi. Wajahnya berubah me mbes i, darah serasa me mbe ku.

Tay Ih siansu berdiri diam di sa mping. Matanya tak lepas me mandang tubuh Siu-la m. Ia kaget sekali ketika menyaksikan tubuh pe muda itu menderita kecelakaan. Tay Ih siansu  tak dapat  tinggal  diam  lagi.  Segera   ia   lari mengha mpiri.

Tiba-tiba La m- koay Shin Ki mengge mbor keras. Tangan yang melekat di punggung Siu- la m, tiba-tiba didorongkan sekuatnya. Serangkum lwekang panas  segera  berhamburan ke dalam tubuh pe muda itu.

Tubuh Siu- lam yang kaku kedinginan, pun segera gemetar lagi. Peluh bercucuran me mbasahi mukanya.

Kumpulan lwekang panas dingin yang berpusat di pusar lwekang sendiri, akibat dorongan dari kedua tokoh yang gila- gilaan itu, telah meluap, meletus berha mburan me landa ke bagian jalan Seng-si-hian-kwan….

Auh… Siu-la m rasakan tubuhnya seperti ringan sekali. Tapi serempak dengan itu ia merasakan hawa panas me mbakar dirinya itu ma kin hebat. Buru-buru ia kerahkan lwekangnya untuk bertahan.

Tapi suatu keajaiban telah terjadi. Karena tubuhnya serasa ringan seperti bulu, begitu ia kerahkan tenaga, tiba-tiba tubuh me lanting ke udara dan turun seto mbak jauhnya….

Peristiwa aneh itu benar-benar mengejutkan La m- koay dan Pak-koay. Mereka     termangu- mangu. Pancaran lwekangnyapun reda. Tay Ih siansu yang berlari hendak memberi pertolongan, pun juga kesima menyaksikan anak muda yang duduk itu tiba- tiba dapat melenting ke udara dan terlepas dari himpitan kedua manusia aneh.

Pejabat ketua Siau-lim-si itu tertegun.

Kedua tokoh aneh itu me mang gila-gilaan. Begitu tempat penyaluran lwekang mereka menghilang,  keduanya  segera adu lwekang. Pak- koay Ui Lian dorongkan tangannya  ke muka, demikianpun La m- koay Shin Ki. Keduanya kini bertempur mengadu kesaktian lwekang….

Selekas berdiri di tanah, Siu-la m dia m-dia m menyalurkan darahnya. Bukan saja tiada sakit, pun malah terasa nyaman dan longgar sekali. Ia heran tapi girang sekali.

“Apakah sicu tak terluka?” sesaat ke mudian terdengar suara Tay Ih siansu bertanya.

“Tidak terasa apa-apa,” sahut Siu-lam. Dia sendiri tak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya. Maka ia menyahut menurut keadaan yang dirasakan saja.

Ketika me mandang ke arah sana, Siu-la m terperanjat. “Celaka, kedua tokoh itu sama-sama saktinya. Jika mereka

tak mau berhenti bertempur, siapapun yang terluka pasti akan menimbulkan kerugian kita. Saat ini Siau- lim-si me mer lukan tenaga mereka. Asal dapat menguasai mereka, mereka tentu merupakan tenaga-tenaga yang sangat berguna,” dia m-dia m ia mengeluh ketika melihat kedua tokoh aneh itu tengah adu lwekang.

Segera ia mengha mpiri.

“Mau ke manakah Pui sicu ini?” t iba-tiba Tay Ih siansu menghadangnya.

“Hendak kucegah agar mere ka jangan terus berte mpur.” Tay Ih terkejut, cegahnya: “Kedua orang itu sakti sekali. Pukulannya seberat seribu kati. Luka  sicu  masih  belum sembuh benar. Jika mere ka sa mpai….”

“Mereka berwatak jelek. Gemar me mbunuh tanpa suatu alasan. Tapi rasanya mereka masih mau mendengarkan kata- kataku. Kecuali aku, rasanya tiada seorang pun yang ma mpu mencegah mere ka.”

Tay Ih tertegun. Dia m-dia m ia mengakui kebenaran kata- kata anak muda itu.

Maka berserulah Siu-la m dengan nyaring: “Harap lo-  cianpwe berhenti dahulu. Wanpwe hendak bicara sedikit.”

Lam- koay dan Pak- koay berpaling me mandang kepadanya, tetapi tetap tak menghiraukan.

Siu-la m terkejut. Dari kerut wajahnya jelas kedua tokoh aneh itu telah berkokoh tekad, sebelum ada yang menang atau kalah, mere ka tak mau berhenti.

Siu-la m menjadi sibuk dibuatnya. Tiada seorangpun yang ma mpu melerai kedua tokoh itu.

Tengah ia sibuk mencari  akal, tiba-tiba tangannya menyentuh pedang Pek-kau-kia m yang tersanggul di punggungnya. Serentak ia mendapat pikiran.  Pedang pusaka itu dihunusnya lalu ia mengha mpiri mereka.

“Lo-cianpwe berdua adalah tokoh-tokoh ternama. Tentulah setiap patah ucapan lo-cianpwe berdua telah menyatakan sanggup untuk me mbantu wanpwe. Pernyataan itu harus dipenuhi. Saat ini bukan saat lo-cianpwe saling  bertempur mati- matian. Jika lo-cianpwe hendak me mutuskan siapa yang lebih sakti, pun harus  tunggu  nanti  apabila  sudah  selesai me menuhi janji terhadap wanpwe.”

Ia  yakin,  kata-katanya  itu   tentu   dapat   menimbulkan ke marahan kedua tokoh aneh itu. Tetapi Siu-la m sudah siap suatu rencana untuk menghentikan mereka dengan kekerasan. Segera ia bolang-balingkan pedang Pek-kau-kia m seraya berseru: “Jika lo-cianpwe tetap tak mau menghiraukan permintaan ini harap jangan sesalkan wanpwe akan berlaku kurang ajar!”

Ia menutup ucapannya dengan menusuk ke arah kedua tangan Lam-koay dan Pak-koay yang tengah saling mele kat itu.

Pek-kau-kia m merupakan pedang pusaka yang dapat menabas logam seperti orang mengiris tanah liat. Betapapun hebatnya kedua tokoh aneh itu, tetapi tangan mereka tetap terdiri dari darah dan daging. Tidak mungkin mereka ma mpu bertahan terhadap tusukan pedang pusaka itu.

Serentak Lam-koay dan Pak-koay menarik pulang lwekangnya dan menarik ke mbali tangannya. Dan tepat pada saat itu juga, Siu-la m pun menarik mundur pedangnya….

Pak-koay Ui Lian berpaling deliki mata ke arah Siu-la m: “Hm, engkau me mang budak yang ge mar menca mpuri urusan orang. Awas pada suatu hari, engkau pasti mampus di bawah pukulanku, Hian-peng-ciang!”

“Hm, belum tentu,” dengus La m-koay Shin Ki.

Siu-la m me mber i hor mat kepada kedua manus ia aneh itu: “Lo-cianpwe sudah berjanji hendak me mbantu wanpwe. Seharusnya janji itu harus ditepati. Lain- lain urusan, wanpwe minta nanti saja diselesaikan lagi setelah peristiwa  yang saat ini tengah menganca m Siau-lim-s i sudah selesai!”

Dia m-dia m Siu-la m mencatat dalam hati bahwa dalam setiap ucapan, Lam-koay Shin Ki itu selalu berdiri di pihaknya. Tetapi ia juga mengerti bahwa hal itu bukan disebabkan karena Lam- koay sayang kepadanya, tetapi semata-mata diperuntukkan untuk menentang Pak- koay saja.

Kedua manus ia aneh itu tak dapat menyangkal ucapan Siu- la m. Mereka tak menyahut melainkan me ndengus saja. Dalam kese mpatan yang luang itu, Tay Hi siansu segera menutur kan apa yang telah terjadi tadi. Terutama ultimatum dari si nona baju biru yang me mberi batas waktu sampai tengah mala m nanti. Apabila Siau- lim-s i tak mau menyerah, ketua Beng-gak dan ro mbongan jago-jagonya akan me mbikin rata gereja Siau-lim-s i.

Tay Ih siansu menengadah me mandang langit. Ujarnya: “Saat ini mas ih sore. Saudara-saudara tentu letih,  harap masuk ke dalam gereja dan beristirahat  secukupnya.  Nanti ma lam kita rundingkan lagi cara-cara untuk menghadapi musuh!”

Lam- koay Shin Ki kerutkan alis: “Jika tak ada arak, aku tak sudi makan. Sungguh menjengkelkan  sekali  gereja  ini. Banyak sekali aturannya….”

Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian nyeletuk tertawa dingin: “Toh, nyatanya sudah lebih dari tiga puluh tahun tak minum arak, engkau tetap tak mati!”

“Bagaimana engkau tahu aku tidak minum arak?” teriak Lam- koay dengan mur ka.

Kuatir kedua manusia aneh itu akan bertengkar lagi, buru- buru Tay Ih siansu berkata: “Memang pada kebiasaannya, dalam setiap menja mu tamu gereja, kami tentu tak menyediakan minuman arak. Tetapi gereja kami menyimpan arak wangi yang sudah puluhan tahun lamanya. Jika jiwi berdua me mang menginginkan, dengan segala senang  hati loni pasti akanmenghidangkannya!”

Pejabat ketua Siau-lim-si itu dengan sikap hor mat segera persilahkan kedua manus ia aneh itu masuk ke dalam gereja.

Siu-la m cepat melangkah ke sa mping Tay Ih siansu dan berbisik: “Wanpwe telah kehilangan sebatang pedang pusaka. Jika yang sebatang ini sampai hilang lagi, wanpwe benar- benar ma lu pada siansu….” Tay Ih siansu tersenyum: “Ceng-lio ng dan Pek-kau, sudah bukan hak milik gereja Siau- lim-s i lagi. Bagaimana Pui sicu hendak mengurusnya, loni tak berhak bertanya!”

Siu-la m menghela napas pelahan, ujarnya:

“Ah, pertemuan ma lam nanti, bukan  melainkan menyangkut hidup matinya gereja Siau-lim-s i, tetapi menyangkut nasib seluruh dunia persilatan….”

Sahut Tay Ih dengan tegas: “Murid Siau-lim-s i dari tiga angkatan, telah bersedia mati  untuk gereja dan dunia persilatan. Jika Pui sicu me mpunya  rencana  harap segera  me mber i tahu!”

“Wanpwe merasa ada suatu hal yang mengejutkan. Hal ini me mbuat hati  wanpwe  selalu  gelisah.  Pertempuran  nanti ma la m, walaupun yang utama karena mengandalkan kesatuan dan persatuan dari seluruh murid- murid Siau- lim-s i, tetapi kedua tokoh Lam- koay dan Pak-koay itu sesungguhnya merupakan tenaga-tenaga yang penting sekali. Melainkan tenaganya yang sakti mereka berdua pun me miliki ilmu pukulan yang istimewa. Menurut he mat wanpwe, kedua tokoh itu tepat sekali untuk menghadapi jago-jago dari Beng-gak. Tetapi yang wanpwe cemaskan adalah apabila mereka berdua sampai dapat dikuasai musuh dan dipergunakan mereka!”

“Sicu menguatirkan watak mereka yang buruk itu akan timbul ke mbali dan sukar diperingatkan?” tanya Tay Ih.

Siu-la m gelengkan kepala, sahutnya: “Tadi yang bertempur dengan wanpwe, kecuali nona baju merah yang me mang menjadi murid ketua Beng-gak, masih ada tiga orang yang merupakan tokoh-tokoh ter masyhur di daerah Kang-lam Kan- pak. Dalam pertemuan di gunung Thay-san tempo hari, mereka mer upakan tokoh-to koh yang paling me mbenci Beng- gak. Tetapi ternyata mereka sekarang menjadi kaki tangan Beng-gak. Inilah yang me mbuat wanpwe tak habis mengerti….” Ia berhenti sejenak, menghela napas: “Menilik kepandaian kedua tokoh La m-koay dan Pak- koay itu, tentu tak sukar untuk menangkap kedua gadis mur id Beng-gak. Tetapi anehnya, ternyata kedua anak perempuan  itu  dapat  lolos. Dan kemudian, wanpwe dapatkan kedua nona itu ternyata bukan mur id Beng-ga k yang sesungguhnya. Ini lebih mengherankan lagi. Seharusnya Lam-koay dan Pak-koay jauh lebih mudah untuk menangkapnya. Jelas kedua nona itu kepandaiannya tentu lebih rendah dari murid Beng-gak. Dan ketika bertemu dengan wanpwe, kedua tokoh La m- koay dan Pak-koay itu tak pernah menyebut-nyebut tentang peristiwa hasil pengejaran mereka. Wanpwe duga, kedua nona itu pasti berhasil melo loskan diri tanpa menderita suatu luka apapun. Inilah yang benar-benar menjadi pe mikiran wanpwe….”

“Menilik keadaan Tay Hong sute, loni duga orang Beng-gak itu tentu menggunakan se maca m obat untuk me nghilangkan kesadaran pikiran orang,” kata Tay Ih siansu.

“Penilaian lo-cianpwe itu tepat,” kata Siu-la m, “Wanpwe juga menduga mereka pasti menggunakan obat bius untuk menghilangkan pikiran orang, agar orang itu mau menjadi kaki tangan mereka dan menurut segala perintah mereka….”

Dalam pada bicara itu, mereka sudah tiba di ruang tempat hongsio atau ketua gereja.

Lam- koay, Pak-koay dan Siu-la m diperlakukan sebagai tetamu agung dari gereja Siau-lim-si. Di dalam ruang itu  sudah siap dengan hidangan yang lezat.

Tay Ih beserta ketiga sutenya, Tay Hi, Tay Lip dan Tay To mene mani ketiga tetamunya. Perjamuan itu benar-benar merupakan perja muan yang istimewa. Keempat paderi dari angkatan gelar Tay, demi menghor mati tetamunya telah sama me mbuka pantangan minum arak. Lam- koay dan Pak-koay tetap mengunjukkan wajah dingin. Mereka tak mau bicara dengan para paderi Siau- lim-s i, pun tak sudi o mong-o mo ng dengan Siu-la m. Kedua manusia aneh itu minum seenaknya sendiri. Paderi kecil  yang me layani menuang arak, tak henti-hentinya menuangkan arak lagi ke dalam cawan kedua tokoh itu.

Hanya dalam beberapa kejap saja, kedua tokoh itu masing- masing telah me nghabiskan limapuluhan cawan arak!

Siu-la m terkejut. Dia m-dia m ia mengeluh: “Ah, tampa knya kedua orang itu beradu lagi dalam kekuatan minum. Celaka, kalau sa mpai mereka minum di luar batas, tentu akan mabuk. Pertempuran nanti mala m, benar-benar menyangkut nasib dunia persilatan. Jika kedua tokoh itu sampai lupa daratan, mereka tentu t iada berguna tenaganya….”

Secepat mendapat pikiran, Siu-la m segera mengangkat cawan arak di meja dan berseru mengajak kedua tokoh itu minum: “Wanpwe hendak moho n petunjuk!”

Setelah meneguk habis cawannya, kedua tokoh itu serempak berseru: “Urusan apa?”

“Nanti tengah mala m, ketua Beng-gak akan  me mimpin anak buahnya menyerang gereja ini. Kiranya lo-cianpwe tentu sudah mengetahui, bukan?”

“Kalau tahu lalu mau apa?” dengus La m- koay.

“Soal itu menyangkut kepentingan seluruh dunia persilatan di kemudian hari. Dan bukan se mata-mata  hanya menyangkut kepentingan gereja  Siau-lim-s i saja!”  kata  Siu- la m.

“Aku toh bukan mur id Siau- lim-s i, apa peduliku?” dengus Lam- koay Shin Ki.

“Benar, biarlah paderi-paderi Siau- lim-si dibunuh habis, aku tak peduli!” seru Pak-koay. Seketika wajah Tay Ih dan ketiga sutenya berubah.

Ucapan kedua tokoh itu benar-benar menyakiti hati.

Tay Ih segera hendak bergerak….

Siu-la m cepat mencegah ketua Siau-lim-si itu, agar jangan bertindak sesuatu yang menimbulkan permusuhan dengan Lam- koay dan Pak- koay.

Anak muda itu menyadari betapa penting kedudukan kedua tokoh sakti itu dalam pertempuran nanti mala m. Apabila kedua tokoh itu se mpat me miha k Beng-ga k, Siau-lim-si pasti akan menderita ma lapetaka.

Dalam menghadapi tingkah laku La m- koay dan Pak-koay yang serba menjengke lkan itu, hati boleh panas tetapi kepala harus tetap dingin.

“Sekalipun lo-cianpwe tiada sangkut paut dengan Siau-lim- si tetapi lo-cianpwe sudah berjanji hendak me mbantu wanpwe!” kata Siu-la m.

Lam- koay saling berpandangan dengan Pak-koay. Serempak mereka berseru: “Urusan me mbantu  hanya terhadap engkau. Jangan menca mpur-adukkan dengan lain urusan!”

Dia m-dia m Siu-la m girang karena kedua tokoh itu ternyata masih pegang janji. Ia me mbisiki Tay Ih: “Mereka habis bertempur dahsyat, tentu lelah. Biarkan  mereka  tidur,  kita cari la in te mpat untuk berunding.”

Tay Ih siansu segera berbangkit dan berjalan keluar. Ia menghe la napas.

“Delapan ratus anak mur id Siau-lim-si telah me mbulatkan tekad untuk me mpertahankan gereja ini sa mpa i tit ik darah yang penghabisan….”

“Bagus,” seru Siu-la m, “Biarlah wanpwe yang mengajak kedua tokoh aneh itu untuk menempur jago-jago Beng-gak. Sedang siansu harap siapkan dua belas mur id Siau- lim-s i yang berilmu tinggi untuk me mimpin barisan!”

Tay Ih siansu mengangguk.

“Hanya loni masih tetap kuatir Lam-koay dan Pak-koay itu akan berkhianat….”

Siu-la m tersenyum: “Dalam hal ini harap lo-cianpwe jangan kuatir. Sekalipun watak kedua orang itu aneh dan angkuh sekali, tetapi mereka adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Sekali sudah berjanji me mbantuku, tentu mereka akan melaksanakan sa mpai selesai!”

Ia  tersenyum   pula  dan   me lanjutkan   kata-katanya: “Me mang me nghadapi mere ka, kita tak dapat menggunakan cara-cara biasa. Wanpwe sudah me mpunyai pengala man….”

Tay Ih bersyukur karena pe muda  itu  benar-benar  mau me mbantu kesukaran Siau-lim-s i.

Tiba-tiba Tay Hi menyeletuk: “Ada suatu hal yang masih kurang jelas dan akan minta Pui sicu suka me mberi penjelasan.”

“Silahkan.”

“Dengan tenaga lwekangnya yang sakti, kedua tokoh La m- koay dan Pak-koay tadi telah menjepit sicu di tengah. Sekilas pandang tampaklah Pui sicu sangat mender ita sekali. Tetapi mengapa pada saat ini sicu tak mender ita suatu apa?”

Siu-la m mengangguk tertawa: “Memang saat itu wanpwe mender ita kesakitan luar biasa. Kemungkinan karena lwekang kedua tokoh itu berimbang kekuatannya, maka wanpwe  sampai menga la mi penderitaan sehebat itu. Tetapi penderitaan itu malah berakibat suatu keuntungan yang tak disangka-sangka.” “Tuhan tentu selalu me mberkahi orang yang baik. Loni mengucapkan sela mat atas peruntungan sicu,” kata Tay Ih siansu.

Kemudian ketua Siau- lim-s i itu me mandang ke langit, katanya: “Loni sudah me mpersiapkan penjagaan di ruang ini. Silahkan sicu beristirahat. Apabila terjadi sesuatu, loni pasti segera suruh me mberitahukan sicu!”

Ketua Siau-lim-s i itupun segera tinggalkan tempat itu. Ketika mengantar ke luar ruang, Siu-lam berkata dengan bisik- bisik: “La m- koay dan Pak-koay memang me mpunyai kesan buruk terhadap Siau- lim-si. Tetapi saat ini kita me mer lukan tenaga, harap lo-cianpwe suka bersabar.”

Tay Ih mengiyakan dan me mpersilahkan anak muda itu masuk.

Ketika ketua Siau-lim-s i itu sudah pergi, Siu- lam ke mbali ke dalam ruang. Ta mpak di atas ruang itu tergantung tiga buah huruf bertuliskan tinta emas ‘Hong-tiang-s i’ (ruang kepala gereja).

Dia m-dia m Siu-la m terkejut. Beberapa bulan yang lalu, Siau-lim-si  adalah  gereja  yang  termasyhur  dan  sangat dihor mati. Tiada  seorangpun yang berani sembarangan masuk ke dalam gereja itu. Tetapi saat ini, bahkan ruang untuk kedia man ketua Siau- lim-s i pun diperuntukkan bagi tetamu. Ah, perubahan keadaan dunia me mang tak terduga- duga.

Saat itu hari mulai gelap. Pe mandangan di dalam gereja pada senja hari cukup me nyedapkan mata.

Siu-la m menghe la napas panjang dan duduk di dalam ruang. Tengah dia menikmati pe mandangan alam senja hari, tiba-tiba terdengar suara kilat meledak di udara. Gumpalan awan yang semula bersih sekonyong-konyong berha mburan tertutup awan. Siu-la m tertegun. Adalah begini jalannya  roda penghidupan itu. Senang, susah, untung, celaka, setiap waktu dapat tiba dengan tak terduga-duga.

Tiba-tiba benak Siu-la m terlintas suatu bayangan. Bayangan dari sesosok tubuh kecil yang ramping. Ah… terkenanglah ia akan Ciu Hui- ing, sumoaynya yang masih tertinggal di perut gunung te mpo hari.

Dan belum bayangan gadis itu hilang, tiba-tiba terlintas lagi bayangan si dara Hian-song. Dan menyusul terbayang juga wajah dingin dari si gadis cantik Bwe Hong-swat.

Siu-la m seperti terbenam dalam alam impian kenangan masa yang lampau. Sekonyong-konyong ia disadarkan oleh hujan yang turun seperti dicurahkan dari langit.

Siu-la m menghe la napas. Kematian dari ketiga  gadis  itu me mpunyai sangkut paut dengan dirinya. Dan mere ka tak dapat hidup ke mbali.

“Oh, Tuhan! Aku benar-benar tak berma ksud mencela kai mereka tapi ketiga gadis itu mati karena aku. Ah, siapa yang bertanggung jawab?”

Cuaca makin gelap, mala m mulai tiba. Siu-la m segera masuk ke dalam ruang. Ia mencoba tenaga  lwekangnya. Sekali enjot, tubuhnya me layang sampa i e mpat to mbak tingginya. Dan ketika me layang turun ia sudah tiba di depan ruang. Karena menerjang hujan, ia tak mengetahui ke majuan ilmu gin-kangnya saat itu setelah dijepit oleh kedua tokoh aneh.

Tapi La m- koay dan Pak-koay yang menyaksikan gerak loncatan anak muda itu, terkesiap heran dan saling berpandangan. Walaupun tak bicara apa-apa, tapi  kedua tokoh itu saling sependapat dalam penilaian. Kalau dalam usia semuda itu saja Siu-la m sudah me miliki kepandaian de mikian hebat, entah bagaimana kelak apabila sudah lewat berapa puluh tahun lagi. Karena dirantai dan dijebloskan dalam penjara bawah tanah, kedua tokoh itu mas ih tetap mendenda m kepada paderi Siau-lim-si. Setelah kenyang makan dan minum, keduanya pura-pura jatuh tidur dan tak mau bicara dengan rombongan paderi Siau- lim-s i.

Begitu paderi-paderi Siau-lim-si sudah pergi, mereka duduk lagi. Pak-koay Ui Lian me mandang La m-koay dingin-dingin, serunya sesudah menyesali: “Sayang kau tak mengindahkan kata-kataku. Jika kau menurut perkataanku, nasib dunia persilatan sejak kini dan selanjutnya….”

“Seumur hidup jangan mimpi kita akan dapat bekerja sa ma. Dan kalau mau kerja sa ma, kaulah yang menurut perintahku,” tukas La m-koay.

Pak-koay tertawa keras, serunya: “Apa dasarnya aku harus menurut perintahmu?”

“Dan apa pula  alasanmu mengapa  aku yang harus mendengar perintahmu?” balas La m-koay.

“Sepasang jago tentu tak dapat hidup bersama. Rupanya kita La m- koay dan Pak-koay, pada suatu saat tentu akan bertempur sa mpai ada yang ma mpus!”  teriak Pak-koay dengan murkanya.

“Benar, me mang hanya begitulah penyelesaiannya!” Keduanya mulai bersitegang leher. Yang satu sumbar-

sumbar yang satu menantang-nantang.  Suasana  makin panas, pertempuran hanya tinggal tunggu waktu saja.

Dalam saat-saat yang genting itu, tiba-tiba  muncullah Siu- la m.

Cepat Pak-koay Ui Lian merubah nada bicaranya: “Hari masih panjang.  Penjelasan itu tak perlu tergesa-gesa.  Saat  ini ada sebuah hal yang perlu diputuskan lebih dulu!” Lam- koay Shin Ki merenung sejenak, bertanya: “Soal apa, katakanlah!”

“Kita me mpunyai dendam kepada kawanan paderi Siau-lim- si. Apakah kita layak me mbantu mereka?” kata Pak- koay.

“Tetapi karena kita sudah berjanji akan me mbantu budak she Pui itu, tak boleh kita berhenti di tengah jalan,” sahut Lam- koay.

“Akupun    me mpunyai   pikiran   begitu   juga.    Sehabis me mbantu kawanan paderi Siau-lim-si me nghadapi bahaya kali ini, kita nanti me mbuat perhitungan lagi dengan mere ka,” kata Pak-koay.

Siu-la m tak ma u ca mpur bicara me lainkan menikmati pemandangan petang hari. Kedua tokoh itu merasa heran  atas tingkah laku anak muda itu tetapi merekapun tak mau mengacuhkan. Dalam anggapan mereka, betapapun sakti kepandaian anak muda itu tetapi tentu masih terbatas. Tak perlu ditakutkan.

Tiba-tiba Siu- lam loncat keluar terus lari.

Pak-koay Ui Lian terkejut. Entah bagaimana, ia pun serentak bangkit dan loncat lari me nyusul anak muda itu.

Lam- koay Shin Ki tak mau kalah. Dia segera mengejar di belakang Pak- koay.

Siu-la m mendadak merasa sebal duduk dalam ruangan itu. Segera ia lari menerjang hujan. Ia hendak menumpahkan perasaan hatinya dengan lari tanpa tujuan. Di luar dugaan, tindakannya itu disusul kedua tokoh La m-koay dan Pak-koay.

Hujan yang lebat telah menimbulkan kabut yang tebal sehingga di sekeliling tempat seperti terbungkus kabut.

Tiba-tiba Siu-la m teringat tempat kedua Siau-lim-ji-lo (paderi tua) yakni Kak Bong dan Kak Hui siansu. Segera ia tujukan larinya ke sana. Karena larinya cepat sekali dan kabut tebal apalagi nanti tengah mala m musuh akan datang ma ka saat itu sebagian paderi Siau-lim-si mengguna kan kesempatan itu untuk bersemedi me mulangkan tenaga. Hanya terdapat beberapa paderi yang berusaha menjaga di pos-pos yang  penting. Maka Siu-la m tak mene mui r intangan suatu apa.

Tiba-tiba Siu- lam hentikan langkah. Di sekelilingnya gelap dan hujanpun mulai reda. Kiranya dia berada dalam sebuah hutan. Sambil mengibas-kibas kan air pada  bajunya,  ia tertawa sendiri: “Huh, benar-benar aku seperti gila? Masakan lari pontang-panting menerjang hujan tanpa suatu tujuan!”

Tak  tahu  ia  sampai  di  mana   saat itu.   Tiba-tiba   kilat me lintas dan ta mpak jauh dari situ sebuah tembo k merah. Serentak ia teringat akan pengalamannya dahulu sewaktu pertama kali ia datang ke gereja Siau-lim-si, ia  disa mbut paderi Ti- khek-ceng (penyambut tetamu) dan dimasukkan dalam ka mar akan ditangkap. Ah, tak salah  lagi. Tempat itulah dahulu ia menga la mi peristiwa penangkapan itu.

Saat itu pikiran Siu-la m sudah sadar. Ia teringat akan peristiwa yang dideritanya akibat perbuatan gila-gilaan dari kedua La m-koay dan Pak- koay yang  adu  lwekang  dengan me minjam te mpat di tubuhnya. Untunglah akibat penderitaan itu, ia malah mendapat keuntungan yang belum pernah ia impikan. Me mang ia merasa, tubuhnya sekarang jauh lebih lincah dan ringan dari sebelum peristiwa itu.

Ia me mperhitungkan saat itu mas ih ada kese mpatan beberapa jam lagi dari tengah mala m. Mumpung tiada orang, ia ingin sekali mencoba  sampa i di mana kepandaiannya sekarang.

Segera ia mengha mpiri ke arah te mbok merah itu. Langkahnya kini lebih tenang. Ternyata di tengah hutan situ terdapat sebuah rumah pondok yang menyendir i. Pintu pondok itu tertutup rapat. Siu-la m sudah basah kuyup. Ketika ia hendak mengetuk pintu pondok itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang dari dalam pondok. Suaranya perlahan sekali. Pada saat hujan seperti detik itu, me mang suara itu ha mpir tidak kedengaran. Tetapi berkat telinga Siu-lam makin tajam, ia dapat menangkapnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan mendengari dengan seksama.

Terdengar suara yang amat perlahan itu berkata: “Saat ini lebih baik jangan mene muinya. Nanti apabila keributan ini sudah selesai, kiranya belum terla mbat untuk menjumpainya!”

“Tetapi rasanya aku tak dapat menunggu lagi,” kata sebuah suara anak perempuan, “Hendak kutanya secara baik-baik, mengapa dia bertindak melupa kan budi. Ketika ayahku masih hidup, ayah sayang sekali padanya, demikian pun perlakuanku padanya…” sampai di sini suara anak pere mpuan itu seperti tercengkeram oleh isak tangis.

Siu-la m terkejut. Walaupun perlahan, tetapi ia  taka sing lagi dengan suara itu. Seketika gemetarlah tubuhnya dan kepalanyapun terantuk pada pintu pondok.

Suara isak tangis anak perempuan itu berhenti sejenak.

Baru Siu- lam hendak berdiri tegak, tiba-tiba pintu terbuka lebar dan sebatang pedang yang berkilauan  segera menusuk….

Serangan itu datangnya cepat sekali. Siu-la m tak sempat bicara apa-apa kecuali harus me nghindar ke sa mping.

Dan berteriak suara anak perempuan tadi dengan nada terkejut: “Dialah….”

Atas teriakan itu, serangan pedang  ditarik ke mbali. Menyusul terdengar sebuah nada yang dingin: “Apakah dia suhengmu yang tak kenal budi itu?”

Dari dalam ruangan terdengar pula suara yang lambat: “Cici, jangan kasih dia masuk….” Sejak mengala mi berbagai peristiwa, perangai Siu- lam bertambah tenang.  Dengan  menekan  getaran  hatinya,  ia me langkah ke ambang pintu dan me mberi hor mat: “Apakah sumoay masih hidup?”

Terdengar penyahutan yang murka: “Jadi engkau mengharapkan agar aku mati? Hm, anggaplah  aku  sudah mati saja!”

Siu-la m terlongong- longong. Ia menyadari kata-katanya tadi me mang tak layak. Buru-buru ia me minta  maaf: “Sumoay, harap jangan salah mengerti. Sama sekali aku tak bermaksud begitu!”

Sambil berkata, ia melangkah masuk.

“Cici, lekas usir dia keluar! Jangan kasih dia masuk ke mar i.

Aku tak sudi me lihatnya!” teriak gadis itu.

Buru-buru Siu-la m me mberi penjelasan: “Betapapun kesalahanku kepada sumoay, tetapi  kuharap  sumoay  suka me mber i kese mpatan padaku untuk me mberi penjelasan. Apalagi suhu telah melepas budi….”

Siu-la m tak dapat melanjutkan kata-katanya karena sebatang pedang langsung menabasnya. Terpaksa ia mundur keluar pintu lagi.

Ia berdiri termangu di pintu, serunya: “Ikatan batin saudara seperguruan adalah laksana laut dala mnya. Budi sumoay sebesar  gunung.  Ketika  aku  kembali  dari  Kiu- kiong-san  me mbawa obat, yang kudapati dalam goa itu kecuali jenazah Ih lo-cianpwe, terdapat juga sesosok mayat orang. Baik pakaian maupun perawakan orang itu mirip sekali dengan sumoay. Karena wajahnya telah dirusak oleh pembunuhnya, maka aku telah keliru menyangka bahwa mayat itu adalah mayat sumoay….” Dari dalam ruang pondok terdengar suara helaan napas panjang. Jelas, bahwa gadis di dalam ruang itu tergerak hatinya mendengar kata Siu- la m.

Siu-la m sejenak menghela napas, lalu melanjutkan keterangannya lagi: “Ketika itu tak terlukiskan kedukaanku. Kutanam mayat itu dengan baik di dalam sebuah  le mbah. Dan kuberi juga tanda pada kuburannya. Maksudku  kelak akan kukunjungi kuburan itu guna me mbawa tulang kerangkanya dan akan kutanam di sa mping kuburan suhu dan subo….”

“Kalau begitu engkau mas ih teringat kepadaku?” seru gadis itu.

“Tiada sedikitpun kulupakan engkau!”

Terdengarlah lengking tertawa lembut. Tetapi nadanya penuh kerawanan.

“Asal engkau sungguh-sungguh masih ingat kepadaku, hatiku sudah ge mbira….”

Melihat orang sudah lunak, Siu-la m segera me langkah masuk. Tetapi gadis dalam ruangan itu, me lengking nyaring: “Jangan masuk!”

Siu-la m tertegun berhenti.

“Keluarlah!” dari belakang pintu terdengar bentakan bernada dingin dan me nyusul sinar pedang menya mbar.

Siu-la m dia m-dia m me muji gerakan pedang itu. Terpaksa ia keluar lagi.

“Suheng, apakah engkau sungguh-sungguh hendak bertemu dengan aku?” ke mbali terdengar suara gadis dalam pondok itu berseru.

“Sudah tentu ingin sekali. Masakan sumoay tak percaya kepadaku?” teriak Siu- la m. Dari dalam pondok terdengar suara helaan napas panjang: “Ah, daripada berjumpa lebih baik tidak berjumpa. Ciu Hui-ing sekarang bukanlah seperti Ciu Hui-ing yang dulu….”

“Mengapa?” Siu- lam berseru kaget.

Kembali terdengar Ciu Hui-ing menghela napas panjang: “Aku… aku sudah….”

Sampa i beberapa saat, tak dapat Hui-ing melanjutkan kata- katanya.

Dari nadanya, Siu-la m dapat menduga tentulah terjadi suatu perubahan yang mengejutkan pada diri sumoaynya itu.

Miringkan tubuh, ia menyelinap masuk ke dalam ruang dan berseru nyaring: “Kita berdua sejak kecil sudah menjadi kawan bermain- main sehingga sa mpai dewasa. Jikalau sumoay mendapat kesulitan harap jangan mengelabuhi  suheng. Masakan suheng tak boleh mengetahuinya?”

Tetapi sinar pedang segera berhamburan menutup pintu. Siu-la m sudah menga mbil keputusan tak mau mundur lagi. Tetapi sinar pedang yang menghamburkan hawa dingin, menyebabkan Siu-la m hentikan langkah.

Dia tahu bahwa orang yang menghalangi dengan pedang itu, bukanlah Ciu Hui- ing. Dia  tak kenal dengan orang itu.  Jika sampai kesalahan tangan, tentu akan menimbulkan hal- hal yang tak enak.

Walaupun Siu- lam sudah tak bergerak tetapi sinar pedang itu masih berha mburan di muka Siu-la m. Dengan demikian Siu-la m tak dapat me langkah ma ju lagi. Terpaksa ia menyurut mundur selangkah.

“Siau-heng benar-benar tak mengerti mengapa sumoay meno lek begitu getas kepada siau-heng!” Ciu Hui- ing tertawa mengikik,  serunya: “Pui suheng, rasanya kita tak perlu bertemu muka. Kita dapat bicara dari luar dan dalam saja.”

Siu-la m makin mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang luar biasa. Kemunculan Ciu Hui- ing di lingkungan gereja Siau- lim-s i itu, sudah merupakan merupa kan hal yang mengherankan. Dan caranya dia meno lak secara getas untuk mene mui dirinya, lebih tak masuk akal lagi….”

Sekonyong-konyong Siu-la m teringat akan Sin-to Lo Kun, Pek Co-gi dan lain-la in tokoh. Bahkan ketua gereja Siau-lim-si yang dianggap sebagai pimpinan ro mbongan orang gagah itupun juga tunduk pada gerombolan Beng-gak. Mereka lupa pada kawan seperjuangan, bahkan sampai hati juga untuk mence lakakan kawan- kawan segereja misal tindakan Tay Hong itu.

Jika tokoh-tokoh yang begitu termasyhur saja jatuh ke dalam kekuatan Beng-gak, apakah tidak mungkin Ciu Hiu- ing juga begitu?

“Eh, mengapa engkau diam saja?” tiba-tiba Ciu Hui- ing berseru nyaring.

“Sudah la ma kita tidak bertemu. Sekalipun dapat kudengar suaramu, tetapi bagaimana aku puas tanpa bertemu dengan orangnya?”

Kata-kata itu diucapkan dengan penuh gelora perasaan.

Dan Ciu Hui-ing pun termangu diam sa mpai beberapa saat.

Karena sampai sepeminum teh la manya belum juga gadis itu bicara lagi, akhirnya Siu-la m berseru: “Dari jauh sekali sumoay berkunjung ke gereja Siau- lim-si sini, apakah bukan karena hendak menjumpai siau-heng?”

Sahut Hui-ing dengan nada rawan: “Sejak berpisah beberapa bulan, aku sudah banyak mender ita kesengsaraan. Duduk bersandar pada dinding goa me mandang langit. Siang ma lam kuharap-harap kedatanganmu. Tetapi engkau bagaikan burung bangau berwarna kuning yang tak pernah tampak. Sekali pergi tak kunjung ke mba li….”

“Tetapi  ketika aku   ke mba li   ke   Poh-to-kang,   belum me la mpaui waktu perjanjian.”

“Mungkin engkau benar,” tukas Hui- ing, “tetapi keadaan sudah menjadi begitu. Apa guna kita mengungkatnya  lagi?  Aku menyesal tak seharusnya datang ke Siau-lim-si mencarimu.”

Gadis  itu  berhenti  untuk  menghela  napas,   kemudian me lanjutkan pula dengan nada yang rawan: “Aku kuatir engkau mence maskan diriku. Aku sudah cukup menderita dalam siksaan batin. Benar-benar kurasakan  sehari seperti tiga tahun la manya. Aku seperti duduk di atas permadani jarum. Ah, kele mbaban dan kerawanan goa itu takkan kulupakan seumur hidup….”

“Bagaimana wanita Ih Ing-hoa itu me mperlakukan kau?” teriak Siu- lam dengan tegang.

“Dia  me mper lakukan  aku  dengan  baik.  Jika   dia   tak me mber i pelajaran ilmu secara lisan, aku tentu sudah mati karena keha mpaan!”

Ciu Hui- ing menghela napas lagi, ke mudian melanjutkan: “Jika tahu bahwa engkau telah meninggal, tentu takkan kudatang ke mari untuk melihatnya!”

Ucapan yang sederhana itu penuh dengan pancaran hati yang halus sekali. Hati Siu- lam terasa tersayat dan butir-butir air mata bercucuran keluar.

“Suhu berdua telah me limpahkan budi yang a mat besar kepadaku. Dan engkau, sumoay, adalah satu-satunya orang yang kuindahkan….”

Terdengar suara ketawa rawan: “Impian di mus im semi telah berlalu tanpa bekas. Bahkan ternyata kau masih ingat kepadaku, hatiku girang bukan kepalang. Silahkan suheng pergi dan ka mipun juga hendak pergi!”

Siu-la m terkejut, serunya; “Apa? Apakah sumoay benar- benar tak mau berte mu denganku?”

Dengan gugup Siu-la m terus hendak me nerobos masuk ke dalam ruang tapi lagi- lagi sinar pedang telah melintang di ambang pintu.

“Sebelum mendapat ijin sumoay, janganlah kau gegabah masuk. Awas, pedang tiada ber mata!”

Gadis itu berse mbunyi di balik pintu. Dia berdiri terhalang oleh pintu. Maka hanya terdengar suaranya yang bernada dingin tetapi tak kelihatan bagaimana wajahnya. Betapapun Siu-la m berusaha untuk menerobos dalam pandangan matanya tetap hanya sebuah lengan putih yang kelihatan.

Berulang kali Siu-la m hendak mencabut pedangnya tapi pada akhirnya ia mas ih dapat menekan kesabaran hatinya. Mengingat gerak pedang gadis itu cukup hebat, jika sa mpai bertempur  tentu  menggunakan  puluhan  jurus   untuk menga lahkannya. Dan yang penting, ia kuatir akan menyinggung perasaan Ciu Hui-ing. Maka terpaksa ia buru- buru bersabar.

Kembali Ciu Hui- ing terdengar berseru dengan rawan: “Kau masih dapat mengenal suaraku tapi entah apakah kau masih dapat mengenal wajahku juga?”

Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Siu-la m sehingga ia tertegun beberapa saat.

“Wajah sumoay selalu terukir dalam hatiku. Masakan aku dapat melupakan?” serunya.

“Benarkah itu?”

“Seratus persen benar, ucapan ini keluar dari  hati nuraniku!” sahut Siu-la m. “Ah, apakah kau masih ingat bagaimana wajahku itu?” tanya Hui-ing pula.

Benar-benar Siu-la m tak menduga akan mendapat pertanyaan semaca m itu. Sere mpak ia menyahut: “Wajahmu laksana bunga me kar di musim se mi, cantik me mikat mata!”

Ciu Hui-ing tertawa riang: “Ingatlah selalu bayangan itu dalam hatimu, suheng!”

Nada tertawa gadis itu benar-benar riang bebas. Tiada getaran yang rawan. Jelas bahwa nona itu benar-benar terhibur hatinya dengan ucapan Siu- la m.

Saat itu hujan sudah berhenti. Awanpun  menipis. Beberapa bintang mulai ber munculan. Malam mulai merayap.

Menengadah ke langit, berkatalah Siu-lam dengan helaan napas: “Kata-kata sumoay seperti mengandung  kedukaan. Maafkan kebodohanku. Tetapi benar-benar siau-heng tak dapat mengetahui apa sebab sumoay tak mau bertemu muka dengan siau-heng?”

Hui- ing termenung beberapa saat, katanya: “Jika engkau me mang berkeras hendak bertemu muka, engkau harus lebih dahulu me luluskan sebuah per mintaanku!”

“Apa?”

“Engkau harus berdiri tiga meter jauhnya  dari tempatku, tak boleh terlalu dekat dengan aku,” seru Hui-ing.

Benar-benar Siu-la m heran atas pernyataan itu. Tetapi demi keinginannya untuk berjumpa dengan sumoaynya itu, iapun me luluskan juga.

“Selain itu, engkau tak boleh lama- la ma tinggal di pondok ini. Setelah melihat diriku, harus segera pergi,” seru Hui-ing pula.

“Baik,” sahut Siu-la m, “Apakah masih ada la in lagi?” “Masih sedikit lagi, yakni pembicaraan kita itu hanya mengenai kenangan peristiwa yang lampau, tak boleh mengenai soal di ke mudian hari. Jika engkau setuju, kita dapat bertemu muka. Jika  tidak, sekalipun untuk  yang terakhir kalinya, aku tetap tak mau berte mu muka!”

Setelah berdiam beberapa jenak, akhirnya Siu-la m menyetujui juga: “Kali ini aku dapat menyetujui se muanya. Tetapi pada pertemuan lain kali, engkau harus meniadakan syarat-syarat itu semua!”

Berkata Hui-ing dengan rawan: “Dalam kehidupan sekarang ini, kita hanya dapat bertemu sekali saja. Sejak kini, kita akan terpisah oleh dua langit. Sa mpai matipun takkan berhubungan lagi!”

Mendengar ucapan gadis itu bernada tegas dan pasti, tergetarlah hati Siu-la m.

“Sekalipun sumoay berada di ujung langit tetap akan kucarimu!” katanya.

“Ah, jangan setolol itu! Dunia a mat besar dan langit tiada terbatas luasnya. Ke manakah engkau hendak mencariku?”

“Tetapi engkau toh tentu me mpunyai te mpat tinggal yang tertentu?” seru Siu-la m.

Hui- ing tertawa, ujarnya: “Aku pergi datang tiada tertentu waktunya.  Aku  berjalang  tiada  membekas  jejak.   Hendak ke manakah engkau akan mencari? Ah, sudahlah, jangan buang-buang waktumu dengan sia-sia!”

Akhirnya Siu-la m tak mau banyak bicara lagi. Yang penting ia harus mengetahui bagaima na keadaan sumoaynya itu. Ia segera melangkah masuk. Sekalipun sudah me ndapat ijin Hui- ing, namun ia masih kuatir akan serangan pedang dari si nona di balik pintu.

“Cici, biarkan dia masuk!” terdengar Hui-ing berseru perlahan. Nona  di  balik  pintu  itu  mendengus:   “Engkau   harus me menuhi janji, tak boleh ingkar!”

Siu-la m segera melangkah masuk. Ruangan itu redup- redup gelap. Begitu mata Siu-lam berkeliaran me mandang, cepat-cepat    nona    di    balik    pintu     berbalik     tubuh me mbe lakanginya.

Ketika me mandang  ke muka, Siu-la m melihat sesosok tubuh langsing dalam pakaian serba hitam tengah berdiri menghadap ke arah sana, me mandang tembok. Nona itu menghunus sebatang pedang.

Tiba-tiba dari sudut ruang yang redup itu, terdengar suara teguran Hui- ing: “Pui suheng….”

Siu-la m tersirap. Cepat ia  memandang  ke  arah suara itu. Di sudut ruang ta mpak berdiri sesosok bayangan yang langsing tinggi. Dia pun mengenakan pakaian serba hitam seperti nona yang berada di balik pintu itu.

Hui- ing berdiri sa mbil miringkan tubuh sehingga hanya separuh mukanya yang Nampak. Sekalipun dengan matanya yang tajam, Siu-la m dapat me lihat jelas keadaan dalam ruang redup itu, namun ia tak ma mpu melihat bagaimana keadaan Hui- ing yang sesungguhnya.

Suasana  dalam  ruang  itu  benar-benar  penuh  dengan ke misteriusan. Malam yang gelap ma kin mena mbah keseraman ruang itu.

Hanya terpisah beberapa bulan saja, keadaan sudah berubah begitu rupa. Siu- lam pun bersiaga. Ia me langkah perlahan-lahan.

Tiba-tiba Hui-ing mengangkat tangan kanannya. Lengan jubah yang bergerombyongan segera menutupi  separuh mukanya sehingga tak kelihatan sa ma sekali.

“Pui suheng, jangan maju lagi,” serunya. Siu-la m tertegun dan hentikan langkahnya. Dari nada suaranya, ia dapat mengenal bahwa gadis baju hitam yang berdiri di muka itu adalah Ciu Hui- ing.

Saat itu keduanya terpisah kira-kira tiga meter. Mata Siu- lam makin jelas mengetahui keadaan ruangan. Tetapi karena Hui- ing tetap menutupi wajahnya dengan lengan baju, iapun tak dapat me lihatnya jelas.

“Apa yang suheng hendak katakana, harap lekas bilang. Aku segera akan tinggalkan tempat ini!” kata Hui-ing dengan rawan.

“Ah, apa maksud sumoay jauh-jauh datang ke gereja ini?” tanya Siu-la m.

“Perlu me mberitahukan kepadamu,  bahwa aku  belum mati!”

“Hanya itu saja?” Siu-la m menegas.

“Benar, me mang itu ma ksudku ke sini. Dan karena kini maks udku sudah terlaksana, akupun segera akan pergi.”

“Apakah sumoay dapat mencer itakan tentang peristiwa- peristiwa sejak kita berpisah dahulu?”

Kata Hui- ing: “Me mang se mula aku hendak mencar imu dengan me mbekal suatu hasrat yang menyala-nyala. Kecuali hendak bertemu, pun akan kutumpahkan kandungan hatiku kepadamu. Aku ingin rebah dalam pelukanmu dan menangis sepuas-puasnya…!”

“Sumoay tentu mengalami kedukaan yang besar.  Siau- heng bersedia mendengarkan kesemuanya itu.  Bilanglah,  akan kudengarkan dengan penuh perhatian!” 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar