Wanita iblis Jilid 23

Jilid 23

“HAI, mengapa engkau berteriak? Apakah engkau takut mati?” nona itu tertawa mengejek. “Apakah engkau bernama nona Hun?” seru Siu-la m. Bermula  nona  itu tertegun ketika  orang  menanyakan she-

nya.   Kemudian  ia  tertawa: “Setengah meter  di belakangmu,

jurang yang curam sekali. Sekalipun paderi tua itu bangun, tak mungkin dia dapat meno longmu!”

“Kecebur jurang belum tentu pasti mati. Apalagi kalau hancur lebur, bukan hanya aku seorang…” sahut Siu-lam dengan marah. Ke mudian ia me ngulangi pertanyaannya lagi: “Apakah engkau bernama Hun Bong-lian?”

Sepasang mata bundar dari nona itu me mbelalak. Sejenak ia termenung mengingat na ma itu.

“Apakah engkau bukan Pui Siu- la m!” tiba-tiba nona itu tertawa dan serentak mendorong lagi sehingga tubuh Siu-la m me luncur sejengkal pula.

Saat itu Siu-la m sudah mengge lantung di tepi jurang. Separuh tubuhnya tercebur dalam mulut jurang. Asal si nona mendorong lagi, tentu mereka tergelincir!

Tiba-tiba nona itu tertawa tawar: “Di dasar jurang penuh dengan batu-batu yang runcing. Asal jatuh ke dalam, biarpun bertulang besi, tetap tak mungkin bisa hidup!” ia menutup kata-katanya dengan mengangakan mulut dan sekonyong- konyong menggigit tangan Siu- lam yang mencengkera m pergelangan tangannya.

Siu-la m terkejut sekali. Ia tak menduga akan mendapat serangan begitu maca m. Karena tak dapat menghindar lagi, tangannya tergigit sehingga berlumuran darah.  Sakitnya bukan kepalang.

Siu-la m me mperhitungkan ke mungkinan yang akan dihadapinya. Nona itu dapat  melepaskan  cengkeramannya dan me mukulnya. Daripada menerima pukulan lebih baik ia mendahului lepaskan cengkera mannya pada tangan nona itu dan loncat ke dalam jurang. Me mang perhitungan Siu- lam itu tepat. Nona itu benar- benar telah lepaskan cengkeramannya dan menghanta m. Tetapi karena Siu-lam sudah mendahului loncat ke bawah, maka hantaman nona itupun hanya mene mui angin kosong.

Cepat nona itu loncat bangun dan melongok ke bawah jurang. Ketika me lihat tubuh Siu-la m sedang meluncur ke bawah, ia tersenyum dan berseru nyaring: “Sam-sumoay,  maaf aku tak dapat mengantarkan jenasahnya,,,,”

“Hm,   orang    Beng-gak    benar-benar    tak    kenal perike manusiaan. Akupun takkan me megang peraturan dunia persilatan lagi!” tiba-tiba terdengar suara seseorang dan tahu- tahu punggung nona itu telah dicengkera m.

Nona itu tengah berdiri di tepi jurang. Asal orang itu mendorongnya, pasti ia terle mpar ke dalam jurang.

Nona itu terkejut. Namun ia berusaha untuk berlaku setenang mungkin. Ia menunggu  timbulnya  suatu kesempatan.

Kembali suara orang yang bernada serat itu berseru pula: “Seumur hidup, loni tak pernah mencelakai orang dan jarang berkelahi dengan orang. Tetapi saat ini  loni  tak  dapat menga mpunimu. Sebenarnya sekali gerak loni dapat menghancur kan urat-urat jantungmu sehingga engkau mati seketika. Tetapi aku mas ih berlaku murah.  Biarlah kudorongmu masuk ke dalam jurang. Mati hidup terserah  pada nasibmu….”

Tiba-tiba terdengar suara orang melantangkan doa Omitohud: “Apakah itu bukan Tay Ih suheng? Harap berhenti dulu!”

Suara itu cukup dikenal tetapi mau tak mau Tay Ih siansu terkejut juga. “Tay Ih suheng, silahkan mundur dan  lepaskan nona itu!” ke mbali suara itu terdengar dari belakang. Tapi nadanya kini rada bengis.

Tay Ih siansu bergeliat berpaling ke belakang dan lepaskan cengkeramannya pada punggung si nona. Lalu cepat-cepat mundur tiga langkah. Tak salah lagi dugaannya. Yang datang itu adalah Tay Hong siansu, ketua Siau-lim-s i yang dikabarkan hilang di gunung Beng-ga k.

Si nona  baju  merahpun  cepat  berputar  tubuh.  Begitu me mandang Tay Hong siansu, ia melangkah maju dua tindak dan berdiri tegak.

Tay Ih siansu tertegun beberapa saat. Perasaannya benar- benar meluap ketika mengetahui bahwa sutenya yang dikabarkan hilang itu ternyata muncul ke mbali.

“Sute, kau datang? Ah, kini gereja sudah ke mbali pada pimpinannya. Siau-heng menderita luka  berat…”  belum selesai mengucap Tay Ih siansu jatuh ke tanah.

Luka yang diderita dari pertempuran dengan si nona baju biru tadi, masih belum pulih betul. Demi meno long Tay Teng siansu, ia terpaksa lepaskan pukulan dahsyat. Walaupun Tay Teng tertolong, tetapi hawa murni dalam tubuh Tay Ih menjadi buyar dan lukanyapun me mbengkak lagi. Adalah karena me mpunyai keyakinan berpuluh tahun dalam hal tenaga dalam, maka ia mas ih dapat bertahan diri.

Saat itu, begitu berhadapan dengan Tay Hong, perasaan  Tay Ih meluap-luap lagi. Darah melancar liar.  Habis bicara, ia terus rubuh pingsan.

Tetapi anehnya Tay Hong hanya dingin-dingin saja melihat suhengnya itu pingsan. Malah ia me ngha mpir i si nona baju merah dan berkata: “Telah kucegah bala bantuan Siau-lim-si datang ke lembah ini. Tapi jika nona  tetap tinggal di sini, tentu berbahaya. Harap sembunyi di lain te mpat dulu. Dalam tiga hari, seluruh Siau- lim-s i tentu sudah dapat dibubarkan!” Sejenak nona itu me mandang sekelilingnya lalu berkata: “Te mpat ini selain ja lanan masuk tadi, tiada jalan keluar lainnya. Suciku terluka berat. Kemanakah engkau hendak suruh kami pergi?”

Tay Hong kerutkan alisnya: “Apakah lukanya berat?”

“Kalau orang pingsan, masakan tidak luka berat?” sahut si nona baju merah.

“Mari kita periksa. Aku me mpunyai pil mujizat yang mungkin dapat menye mbuhkannya,” kata Tay Hong.

Sebelum menyusul langkah Tay Hong, lebih dulu nona baju merah itu me mber i sebuah tendangan kepada Tay Ih siansu.

Tay Hong segera memer iksa tubuh si nona baju biru yang pucat wajahnya dan meram. Kemudian ia berkata kepada si nona baju merah: “Toa-siocia ini telah menderita luka berat. Tetapi tak apalah. Dia telah terkena pukulan Kim-ko ng-ciang dari Siau-lim-si sehingga perkakas dalam tubuhnya terluka. Asal minum dua butir pil ini dan beristirahat beberapa waktu, tentu akan sembuh.”

Tiba-tiba Tay Teng siansu yang rubuh di tanah tadi, bangun dan berseru: “Tay Hong suheng, kapan engkau datang….”

Tay Hong berpaling. Ta mpak Tay Teng berseri wajahnya dan bersyukur karena Tay Hong yang menjadi suheng dan pimpinan gereja Siau- lim-s i sudah ke mbali dengan sela mat. Tetapi tiba-tiba mata Tay Teng tertumbuk akan si nona baju merah yang berada di samping suhengnya. Buru-buru ia berseru dengan gelisah: “Suheng, hati-hatilah di belakangmu!”

“Hm, orang itu sudah pulih kesadaran pikirannya. Jika dibiarkan hidup, kelak tentu berbahaya. Lebih baik segera dilenyapkan saja!” pikir si nona baju merah seraya melangkah ke samping Tay Teng dan plak, plak, ia me mberi dua kali tamparan ke muka paderi itu. Tay Teng yang baru tersadar dari pingsannya, menjadi gelagapan menerima tamparan itu. Mulutnya mengucur darah dan kepalanya pusing tujuh keliling. Tetapi pada lain saat, tiba-tiba ia loncat dan mencabut senjatanya.

Melihat itu si nona baju merah cepat-cepat menendang lengannya. Tetapi Tay Teng dapat menghindar dan berguling- guling sa mpai beberapa langkah jauhnya. Kini ia  berdiri dengan menghunus senjata hong-pian-jan. Cepat-cepat ia sapukan senjatanya dalam jurus Hong-jui- lok-yap untuk menahan serangan nona baju merah.

Karena sudah mengetahui kelihayan paderi-paderi Siau-lim- si, si nona baju merah tak berani mengabaikan. Ia terpaksa loncat menghindar. Ke mudian ia me mandang Tay Hong dengan pandang penuh kece masan.

Tay Hong letakkan tubuh si nona baju biru lalu berbangkit dan me mbentak sutenya: “Tay Teng, ke mar ilah!”

Tay Teng siansu terkesiap heran dan tak berani lanjutkan serangannya.

“Kenalkah engkau siapa aku ini?” tanya Tay Hong. “Suheng adalah ketua gereja Siau-lim-si!”

Tay Hong me mbentaknya: “Tidak menur ut perintah pimpinan, harus mendapat hukuman bagaimana. Lepaskan senjata dan ke marilah!”

Sejenak Tay Teng tertegun. Kemudian ia lepaskan senjatanya dan pelahan-lahan maju mengha mpiri. Rupanya ia sudah mendapat firasat  bagaimana  nasibnya.  Wajah mengerut gelap, mata berkunang-kunang.

Si nona baju merah  segera  mundur  dua  langkah  untuk me mber i jalan. Begitu tiba di hadapan Tay Hong, Tay Teng segera rangkapkan kedua tangannya ke dada dan peja mkan mata, berkata: “Apakah perintah yang ciang-bun suheng hendak berikan?” Tiba-tiba sepasang mata Tay Hong me mancarkan hawa pembunuhan. Ia pelahan- lahan mengangkat tangan kanannya.

Sesungguhnya Tay Teng hanya pejamkan mata tetapi tidak menutupnya sa ma sekali. Ia tahu akan tindakan suhengnya yang hendak mela kukan hukuma n itu. Walaupun Tay Teng seorang paderi yang sudah tinggi kebatinannya tetapi dalam menghadapi maut saat itu, tak urung hatinya goncang, keringat dingin me mbasahi tubuh….

Tiba-tiba timbullah rasa kasihan dalam hati Tay Hong. Tangannya yang sudah diacungkan tinggi itu pelahan-lahan diturunkan pula.

Pada saat tangan ketua Siau-lim-si itu turun, tiba-tiba terdengar Tay Teng mengerang tertahan dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke dalam jurang!

“Hi, karena kulihat engkau ragu-ragu, terpaksa kuwakili untuk menyelesaikannya!” menyusul terdengar lengkingan suara si nona baju merah. Ternyata dialah yang menurunkan tangan telengas untuk menghanta m Tay Teng dari jauh.

Tay Hong tersenyum: “Bunuhlah! Entah bagaimana aku masih mengingat kepada hubungan la ma!”  ia segera berjongkok, menyusupkan dua butir pil ke mulut si nona baju biru lalu berkata kepada si nona baju merah: “Ji-kounio, harap mengurut jalan darahnya. Setengah jam saja dia tentu sadar. Lalu harap nona berdua mencar i te mpat bersembunyi di sekitar daerah sini dan beristirahatlah sehari. Besok ma la m, loni akan menje mput nona berdua kemari.  Nah,  supaya jangan menimbulkan kecurigaan mereka, aku hendak pergi lebih dulu!”

“Baik, engkau harus menjemput kami!” sahut si nona baju merah.

Tay Hong me mber i hor mat. Ia mengangkat Tay Ih siansu lalu dibawanya pergi. Siu-la m yang kecebur ke dalam jurang, pikirannya masih sadar. Buru-buru ia kerahkan semangat sambil mena mpar- namparkan tangannya untuk mencari  benda yang dapat dijadikan pegangan. Tetapi ternyata dinding jurang itu licin sekali dan tiada tumbuh-tumbuhan sa ma sekali. Akhirnya ia putus asa dan menghela napas. Entah berapakah dalamnya dasar jurang itu. Ia tak tahu bagaimana nasibnya nanti.

Tubuhnya makin la ma makin cepat meluncur ke  bawah. Dan ia merasa ajalnya segera tiba. Ia pejamkan mata pasrah nasib….

Dalam menghadapi datangnya malaikat elmaut saat itu, ia terkenang akan tiga bulan kenangan yang indah. Pertama kepada sumoaynya, Ciu Hui-ing yang masih bersifat kekanak- kanakan. Kedua kepada Tan Hian-song yang mudah merangsang e mosi dan ketiga kepada Bwe Hong-swat yang dingin laksana es….

Tiba-tiba ia rasakan luncur tubuhnya itu agak sendat. Seperti ada sesuatu tenaga yang menahan luncuran tubuhnya itu.

Sebelum ia sempat mengetahui siapa yang melakukan itu, tahu-tahu ia sudah menginjak tanah. Aneh, bukan batu-batu tajam seperti yang dibayangkan tetapi ternyata semacam permadani yang e mpuk sekali.

Setelah menenangkan perasaannya, ia memandang ke sekeliling te mpat itu. Hai…  kejutnya bukan kepalang. Ternyata ia bukan di atas per madani melainkan di dalam dua belah tangan dari seorang tua yang tubuhnya berlumuran darah.

Serempak orang tua itu me mbis ikinya dengan nada yang ramah: “Nah, engkau beruntung telah tertolong. Tiada seorangpun yang dapat terhindar dari nasib yang telah tersurat. Surat pesan mendiang toa-suheng, me mang tepat sekali…” ke mba li ia me nghela napas. Siu-la m segera loncat turun dari tangan orang tua itu. Tampak tak jauh dari te mpat orang tua itu, menggeletak seorang tua gundul yang berjenggot hitam. Jubahnya yang pendek, penuh berlumuran darah. Lambungnya terdapat luka sebesar dua dim. Dia menggeletak tak berkutik.

Siu-la m ingat lupa akan kedua orang tua itu. Entah di mana, rasanya ia pernah me lihat mereka.

Orang tua yang rambutnya putih yang menyanggapi tubuh Siu-la m tadi tersenyum: “Bagaima na, apakah engkau sudah mengenali ka mi….”

“Apakah lo-cianpwe berdua bukan kedua tianglo dari Siau- lim-s i?”

“Siau sicu…” baru orang tua bera mbut putih itu hendak berkata, tiba-tiba terdengar suara dahsyat dan disusul dengan darah mencurah dari atas, sehingga tubuh Siu-la m tercurah merah.

Orang tua itu sapukan mata dan menghela napas, serunya: “Apakah bukan Tay Teng sutit?”

Siu-la m me mandang ke sebuah tubuh yang jatuh dari atas. Badannya hancur berlamuran darah tetapi dari pakaiannya dapatlah Siu-la m mengena linya sebagai Tay Teng  siansu. Oleh karena orang tua berambut putih itu sudah berpuluh tahun bertapa, sehingga ia tak dapat mengenal sutit (murid keponakan) dengan jelas. Untung kemarin mala m ia se mpat mengenal wajah beberapa sutitnya itu dan tahulah kalau yang jatuh itu Tay Teng siansu.

Rupanya orang tua berambut putih itu dapat me mbaca keraguan hati Siu- la m. Maka tertawalah ia tawar: “Anak muda jangan banyak keraguan. Sebenarnya ketika jatuh tadi, loni sudah mengenalnya, sayang karena tubuh loni  sedang mender ita tusukan pedang gerakan loni tak leluasa sehingga tak dapat menolonginya.  Ah,  Tay  Teng  sutitpun  telah  mene mui ajalnya….” Tersipu-sipu Siu-la m menyadari kesela matan. Segera ia berlutut me mberi hor mat di hadapan orang tua itu: “Jika tiada lo-cianpwe me nolong, wanpwepun tentu sudah mati! ”

Orang tua berambut putih mengawasi Siu-la m, ujarnya: “Di dalam kelicikan masih punya kepribadian, di dalam keganasan masih punya welas asih. Siapa yang dapat menguasai hal itu barulah dapat menandingi gero mbo lan iblis yang sedang merajalela di dunia persilatan….”

Siu-la m tak begitu jelas apa yang dimaksudkan, tapi ia sungkan bertanya. Setelah beri hor mat, iapun bangun.

Tampak orang tua itu pejamkan mata. Siu-lam yang masih hendak bicara, terpaksa tak jadi. Ia tahu tentu orang tua itu mender ita luka berat dan perlu berse medhi.

Kemudian ia keluar me nuju ke sebuah batu besar. Di situ merupakan dasar jurang yang tak pernah diinjak manusia. Penuh dengan tumbuh-tumbuhan pakis yang lembab dan berair. Tetapi entah dari mana sumber airnya. Tiba-tiba ia terkejut ketika melihat air berwarna merah. Ah, ternyata bercampur darah. Dan me mang tak jauh dari situ terdapat tubuh Tay Teng yang sudah tak bernyawa….

Dia m-dia m ia menghela napas. Sama-sama jatuh ke dalam jurang  tetapi  lain  nasibnya.  Akhirnya   ia   berniat   untuk me mbuat lubang gnna mengubur mayat si paderi. Setengah jam ke mudian barulah ia berhasil me mbuat sebuah  lubang dan lalu menguburnya. Setelah itu ia mendekati ke tempat si jenggot hitam yang masih menggeletak di tanah. Lukanya masih berdarah, pinggangnya agak gemetar tapi masih belum mati.

Siu-la m berjongkok, mengeluarkan sapu tangan, dicelupkan dalam air lalu hendak me mbersihkan luka paderi itu.

Tiba-tiba si paderi yang bera mbut putih menyusupkan suara kepadanya: “Nak, jangan mengganggunya. Dia takkan mati, hanya lukanya me mang berat. Dia kehabisan tenaga karena melakukan perjalanan jauh. Maka untuk beberapa waktu dia tentu belum dapat tersadar.

Siu-la m kagum me lihat orang tua bera mbut putih itu. Walaupun menderita luka berat, tetapi masih tenang dan pikirannya masih terang. Suatu tanda bahwa ia memang seorang sakti.

Terdengar orang tua berambut putih itu berkata pula: “Loni pun menderita luka berat. Punggung tertusuk t iga kali sehingga sampai masuk ke tulang. Harus perlu beristirahat beberapa waktu. Enam jam lagi, barulah loni dapat bicara dengan leluasa….”

Siu-la m me mperhitungkan, enam jam ke mudian tentu hari sudah   ma la m.   Iapun   perlu   bersemedhi   juga    untuk me mulihkan se mangat tenaganya.

Entah lewat beberapa lama, Siu-la m dikejutkan oleh dengusan napas yang keras. Ketika  matanya dibuka, terkejutnya bukan kepalang. Seekor binatang yang menyerupai orang hutan, dengan menyeringaikan gigi, tengah berdiri di sa mping orang tua jenggot hitam yang menggeletak di tanah itu. Setelah mengawasi luka si orang tua,  orang hutan itu me mbungkuk hendak mengisap darah pada luka si orang tua berjenggot hita m.

Kejut Siu-la m bukan kepalang. Buru-buru ia menje mput sebuah batu dan bersiap-siap. Berpaling ke sebelah la in, tampak orang tua berjenggot hitam itu tengah mencapai titik yang tegang. Ubun-ubun kepalanya mengeluarkan  uap, jenggotnya bergoncang-goncang. Tetapi rupanya dia tak mengetahui tentang ke munculan binatang aneh itu.

Siu-la m cepat teringat bahwa ke mungkinan besar, ma khluk itu yang disebut Jim-hiong atau Beruang orang. Siu-la m agak cemas karena ia tak me mbeka l senjata. Pedangnya telah  jatuh ke dalam jurang. Tengah menimang, mulut beruang  yang  besar  sudah mene mpe l pada luka orang tua yang menggeletak itu.

Siu-la m tak mau berayal lagi. Cepat ia timpukkan batu dengan seluruh sisa tenaganya. Gheeerr… hidung beruang itu tepat terhantam dan meraunglah ia sekeras-kerasnya.

Mendapat hasil, Siu-la m susul lagi dengan dua buah timpukan. Tetapi binatang itu sudah siap. Dengan meraung kera, ia mena mpar batu yang mengarah hidung. Tetapi batu yang tertuju ke perut tetap mengenai. Bluk, batu itu seperti  me mbentur batu yang keras dan terpental balik.

Melihat itu Siu-la m tertegun. Cepat ia melesat  dan menghajarnya dengan jurus Hui-pa-cong-ciong.

Jim-hiong itu bertubuh berat maka gerakannyapun kaku. Dadanya kena terpukul. Tubuhnya pun bergoyang-goyang. Dengan menggerung keras, ia menya mbar. Siu-la m dapat menghindari lalu menendang perutnya. Duk… ia  ha mpir menjer it sendiri karena terasa menendang batu.

Kini ia me nyadari bahwa tiada gunanya menggunakan kekerasan. Segera ia berganti cara. Ia gnnakan siasat berlincahan kian ke mari. Begitu dapat kesempatan, barulah ia beri pukulan.

Benar juga. Jim-hiong itu menjadi pusing diajak berputar- putar. Karena marah binatang itu seperti orang gila yang loncat-loncatan tak keruan. Beberapa dinding karang yang menonjo l atau runcing, berhamburan hancur karena terlanda gerakan beruang itu.

Tiba-tiba binatang itu berputar tubuh dan terhuyung- huyung mengha mpir i ke te mpat orang tua gundul. Kejut Siu- lam bukan kepalang. Dengan gunakan seluruh tenaganya, ia menghajar punggung binatang itu dengan pukulan Ngo-ting- hiat-san. Binatang itu hampir terjerumus  jatuh.  Dengan menggerung keras ia berputar tubuh, rentangkan kedua tangannya untuk me meluk si anak muda.

Dalam keadaan seperti itu, Siu-la m nekad. Bukannya menghindar mundur, ia malah maju menyeruduk kepalanya ke perut lawan. Kedua tangannya mencengkeram siku lengan si binatang. Binatang itu menggerung keras dan mendorong si anak muda mundur sa mpa i tiga langkah.

Detik-detik ketegangan segera berlangsung. Asal cengkeraman Siu- lam kendor, dia tentu akan dicekik atau digigit binatang itu. Atau terus didorong, ia  tentu  akan terpojok pada dinding karang.

Ternyata ia kalah kuat. Pelahan tapi tentu ia makin terdorong ke belakang dan akhirnya dipepetkan pada karang. Kini satu-satunya harapan ialah ia harus bertahan diri agar tangan binatang itu jangan sampai terlepas sehingga dapat mence kiknya.

Duel adu tenaga antara manusia dan binatang itu berlangsung dengan hebat dan la ma. Na mun akhirnya detik- detik maut itu telah mencapai titik yang memuncak. Ia kerahkan tenaga dan tak lama ke mudian ia rasakan tenaga binatang itu makin berkurang dan akhirnya lenyap. Tetapi begitu ia terlepas dari tekanan, karena kehabisan tenaga, ia sendiri pun rubuh tak ingat diri.

Entah berapa lamanya, ketika  ia siuman ternyata  hari sudah mala m. Di sisi tempat ia berbaring terdapat setumpuk unggun api dan bau daging bakar yang wangi. Buru-buru ia duduk dan menya mbar sekerat daging yang berada di dekat unggun api. Setelah menggerogoti dua t iga kali, laparnyapun hilang dan kesadaran pikirannyapun makin terang. Ternyata daging bakar yang dimakannya itu belum pernah ia lihat. Lain dengan daging kebanyakan. Begitu diperiksa ke dekat api, ternyata daging itu sebesar tahu dan berwarna merah darah. Baunya agak anyir. Buru-buru ia hendak mele mparnya. “Jangan   anak  muda.    Makanlah   sampai  habis.    Loni me mang sengaja telah menga mbilkan limpa  beruang untukmu. Walaupun mungkin baunya agak anyir, tetapi khasiatnya baik sekali untuk tubuh…” tiba-tiba terdengar seorang tua berseru dengan suara parau.

Kembali orang tua itu menghela napas panjang: “Engkau sudah tidur ha mpir duapuluh e mpat jam la manya. Selama engkau tidur tadi, loni telah me mbuka beberapa jalan darah di tubuhmu.  Ah,  berpuluh-puluh  tahun   loni  pantang  untuk me mbunuh jiwa, sekalipun seekor se mut. Tetapi de mi untukmu, loni telah melanggar pantangan itu dan me mbunuh jim-hio ng. Habiskanlah ma kanan itu, nanti loni masih perlu bicara denganmu!”

Siu-la m me ngenali suara itu adalah suara si orang tua berambut putih. Dengan pejamkan mata segera ia menghabiskan  sate  bakar  limpa  Jin-hiong.  Setelahnya   ia me langkah keluar.  Tetapi  orang  tua  berambut  putih  tadi me manggilnya supaya masuk.

Tampak orang tua berambut putih duduk bersila sedang orang tua gundul yang berjenggot hitam menyandar ke  dinding karang sa mbil pejamkan mata.

Siu-la m menghaturkan terima kasih atas pertolongan orang tua itu yang telah menyela matkan jiwanya dari Jin-hiong.

“Engkau bukan anak mur id Hud, tak perlu me mberi hor mat begitu rupa. Silahkan duduk,” kata si orang tua berambut putih.

Siu-la m terpaksa menurut ke mudian menanyakan petunjuk- petunjuk apa yang hendak diberikan orang tua itu.

“Usia mu masih muda, tetapi engkau me miliki kepandaian yang luar biasa. Sayang sumbernya tak jelas ma ka sekalipun kepandaianmu itu sakti, tetapi bukan tergolong yang paling tinggi. Benarkah ucapan loni ini?” kata si orang tua berambut putih. Siu-la m terkejut dan menga kui me ma ng ia telah mendapatkan suatu rejeki besar sehingga me mpero leh suatu ilmu kesaktian yang aneh.

Orang tua berambut putih mengelus-elus jenggotnya lalu berkata: “Ilmu silat itu sumbernya satu, dalamnya tiada terbatas. Memang panjang sekali kalau mau diterangkan. Tetapi pada pokoknya hanya terbagi menjadi dua aliran, yakni aliran   Ceng-cong   dan   Pian-ci.  Aliran   Ceng-cong  menguta makan pada dasar dan ketekunan latihan. Kemajuannya me mang la mbat, tetapi merupakan pengokohan jasmani yang uta ma….”

Ia menghe la napas sejenak, lalu berkata pula: “Dan yang disebut Pianci itu adalah me mang menguta makan jurus-jurus yang aneh untuk merebut ke menangan. Dan walaupun terhitung menjaga diri dan me lindngi jiwa tetapi ilmu itu cenderung ke aliran nyeleweng. Misalnya menggunakan obat- obatan Im dan Yang, me minja m tenaga orang dan lain-la in. Tetapi ah, ilmu itupun me mpunyai sifat-sifat kebaikannya juga.”

“Bagaimana sifat kebaikannya itu?”

“Bagus, pertanyaan yang bagus,” seru orang tua itu perlahan.

Siu-la m heran. Buru-buru ia bertanya: “Apakah wanpwe salah o mong? Mohon lo-cianpwe suka me mberi maaf!”

“Bila engkau anak mur id perguruan ka mi, atau seseorang yang berhati luhur, sekalipun dalam hati mau mendengarkan kelanjutannya, tetapi tentu tak berani bertanya kepada loni,” kata orang tua itu.

“Jadi lo-cianpwe menganggap wanpwe ini seorang yang rendah budi?”

Sahut paderi tua itu: “Menilik tulangmu, engkau seorang berbakat bagus. Tetapi kecerdasan otak terbatas, keluhuran jiwa kurang. Syukur masih me mpunyai hati yang perwira dan iman yang baik!”

“Tiap patah kata yang lo-cianpwe ucapkan merupakan kata-kata emas. Terus terang tanpa tedeng aling-aling. Wanpwe makin tersengsam.”

Orang tua berambut putih itu me ngelus-elus jenggotnya tertawa:  “Menilik  keadaan  dunia  persilatan   dewasa   ini, me mang perlu seorang yang seperti engkau. Ialah orang yanda dapat menyesuaikan diri  dan menghadapi setiap perubahan. Tegas dan berani bertindak! Dengan de mikian barulah suasana kejahatan dalam dunia persilatan selama ini dapat tersapu bersih.”

Siu-la m tersipu-s ipu mengucapkan kata-kata merendahkan diri.

“Tetapi loni mengatakan suatu kenyataan, bukan bermaksud hendak menyanjungmu!”

“Ah, wanpwe merasa telah kelepasan omong, mo hon lo- cianpwe suka me maafkan,” ke mbali Siu- lam me minta maaf.

“Tadi engkau hendak menanyakan, apakah sifat kebaikan dari aliran Piau-ki itu. Apakah sekarang engkau mas ih ingin mengetahuinya?” tanya orang tua berambut putih itu.

“Disebut Pian- ki tentulah menjurus ke jalan sesat. Pinjam barang merugikan orang, termasuk perbuatan yang jelek. Sudah tentu kesemuanya itu akan mendapat hasil secara cepat. Ah, wanpwe  memang  tolol,  mohon  lo-cianpwe  suka me mber i petunjuk.”

Tiba-tiba orang tua berambut putih itu pendelikkan mata dan menatap Siu-la m dengan tajam. Sesaat kemudian Siu-  lam rasakan sinar mata orang tua itu seperti menembus ke dadanya. Tiba-tiba saja ia merasa gelisah.

Tiba-tiba orang tua itu menghela napas, ujarnya: “Kau benar-benar. Ternyata kau cerdik sekali. Ah, rupanya sudah suratan takdir. Pertumpahan darah tak dapat dihindari lagi. Budha bersifat welas asih. Mungkin juga tak dapat menolong keadaan dunia persilatan dewasa ini. Daripada me mbiarkan kejahatan  merajalela,   lebih  baik   menja lankan   tindakan me mbunuh untuk mencegah pembunuhan. Agar dunia persilatan lekas bersih dari segala pengaruh iblis!”

Siu-la m terpukau. Tak jelas ia yang dimaksudkan  orang  tua berambut putih itu.

Kembali orang tua itu berkata pula: “Ilmu di luar sumber yang murni itu, sekalipun sebelumnya me mang sudah terdapat, tetapi Lo Hian-lah yang paling berani sendiri. Ilmu kesaktian Lo Hian itu telah menggetarkan dunia persilatan sehingga dianggap lebih unggul dari se mua ajaran partai- partai persilatan….”

Orang tua itu berhenti sejenak. Ia menghe la napas  pula lalu melanjut kan: “Sebelum bertapa, loni me mang mengagumi juga akan kesaktian dan kepribadian Lo Hian itu. Karena itu dengan susah payah loni telah berusaha mencarinya. Kedua, loni ingin mengada kan pe mbicaraan mengenai berbagai masalah di dunia persilatan. Jika dia suka kerja sama dengan Siau-lim-pay, tentu mudah untuk me mbersihkan dunia persilatan dari segala kejahatan. Tetapi ternyata dia terlalu tinggi hati dan tak mau campur urusan dunia persilatan. Diapun tak mau mene mui loni dan akhirnya dia harus menelan akibat dari sikapnya itu sendiri….”

“Bagaimana lo-cianpwe mengetahui hal itu?” tanya Siu-la m.

Orang tua itu menghela napas pelahan, ujarnya: “Sekalipun waktu itu tak dapat berjumpa, tetapi loni telah menyelidiki jejaknya. Hasil penyelidikan itu loni kumpulkan dan menyimpulkan bahwa meskipun Lo Hian telah terluka oleh musuhnya tetapi dia belum meninggal. Di dalam peristiwa itu me mang penuh dengan liku- liku dendam dan kasih. Beberapa puluh tahun berselang, di dunia  persilatan telah muncul sepasang muda- mudi. Dan loni  pun menyelidiki mereka. Me mang benar mereka berdua adalah anak mur id Lo Hian. Kemunculan mereka di dunia persilatan itu sebenarnya sudah menyalahi pesan gurunya. Tetapi entah apakah Lo Hian mengetahui hal itu. Atau memang disengaja olehnya. Karena lebih dahulu ia telah me mbuat sebuah peta Giok-ti-tho. Menurut desas-desus, barang siapa menemukan peta itu, akan me mpero leh semua ilmu ajaran Lo Hian. Tetapi mengenai hal itu, loni masih ragu-ragu.”

“Apakah lo-cianpwe tak percaya tentang desas-desus peta Giok-ti-tho itu?” tanya Siu- la m.

“Walaupun pernah mendengar ceritanya, tetapi loni belum pernah melihat benda itu. Mungkin peta itu me mang ada. Tetapi loni tak percaya bahwa peta itu benar-benar berisi ilmu ajaran Lo Hian.”

“Mengapa lo-cianpwe me mpunyai pandangan yang berbeda dengan anggapan dunia persilatan?”

Kembali orang tua berambut putih itu  menghela  napas: “Ah, rupanya kau hendak mengorek keterangan dari loni…” ia berhenti sejenak lalu berkata pula: “Menurut cengli (logika), tak mungkin Lo Hian akan menulis se mua ilmu kesaktiannya dalam buku itu dan dise mbunyikan dalam Telaga Darah. Apalagi nama Hia-ti (Telaga Darah) itu merupa kan nama buatan. Agaknya bukan nama sebuah te mpat. Menilik kecerdikan Lo Hian, tentulah dia tak mau begitu mudah mencantumkan na ma te mpat perse mbunyian  kitab itu. Kemungkinan tentu me mpunyai maks ud lain.”

“Tetapi wanpwe pernah me lihat peta itu!” tiba-tiba Siu- lam berkata.

Orang tua berambut putih itu menatap Siu-la m: “Di mana peta itu sekarang?”

“Benda itu berada pada seorang sumoayku. Sayang dia jatuh ke dalam perangkap orang Beng-ga k dan nasibnya belum ketahuan bagaimana.” “Apakah engkau masih ingat akan lukisan pada peta itu?” “Peta    itu    penuh    dengan    gurat-gurat    merah  yang

menyeramkan.   Tetapi  tiada  keterangan suatu apa sehingga

sukar dimengerti orang.”

Paderi angkatan tua dari Siau- lim-si itu mendesak Siu-la m: “Cobalah engkau ingat-ingat. Apakah dalam peta itu masih ada lain- lain cirinya?”

Siu-la m merenung beberapa jenak. Lalu katanya: “Ah, benarlah. Memang beberapa huruf yang mirip dengan syair tapi bukan syair!”

Masih paderi tua bera mbut putih itu mendesak agar Siu- lam mengingat-ingat lagi. Siapa tahu peta itu terdapat ciri-ciri yang disembunyikan Lo Hian.

Siu-la m pejamkan mata. Ia menggali lubuk ingatannya. Berselang beberapa waktu, barulah ia me mbuka mulut: “Ai, aku ingat sekarang!”

Tiba-tiba orang berjenggot hitam yang menyandar pada dinding karang itu, matanya dibuka dan menukas: “Apakah yang ditulisnya.”

Siu-la m tertegun. Dia heran mengapa orang tua yang terluka parah itu dapat sembuh dalam waktu yang cepat. Segera ia beri hormat: “Lo- cianpwe sungguh hebat  sekali. Luka yang begitu parah dalam waktu sehari saja sudah sembuh.”

Orang tua berjenggot hitam itu tersenyum dan tidak menyahut melainkan berkata pada si orang tua berambut putih: “Pandangan suhengnya me mang tajam sekali. Bocah  ini me mang boleh juga.”

“Kecerdasan terbatas, keluhurannya tidak cukup…” sahut si paderi berambut putih. Sahut orang tua gundul berjenggot hitam itu: “Jika semua orang seperti kami berdua, ah, dunia persilatan sukar dicari orang jahat…” lalu dengan helaan napas berat, ia  berkata pula: “Suasana dunia sudah begitu rupa. Penuh dengan kejahatan dan pembunuhan. Jika kita tak ma mpu berbuat apa-apa, ya, apa boleh buat. Tetapi sebenarnya kita dapat berbuat dan bertindak. Jika kita me mbiarkan  saja kesemuanya itu berlangsung, apakah itu bisa dianggap sebagai suatu sikap welas asih.”

Orang tua berambut putih itu menghe la napas: “Luka sute masih belum se mbuh benar. Janganlah banyak bicara. Lekas bersemedhi lagi!”

Sebenarnya orang tua gundul berjenggot hitam itu berwatak berangasan. Tapi terhadap suhengnya  dia  tak berani me mbantah.

Setelah sutenya bersemedhi lagi, barulah orang tua berambut putih itu alihkan pandangannya ke Siu-lam: “Apakah kau ingat akan kata-kata dalam peta itu?”

Siu-la m mengiyakan. “Cobalah kau katakana!”

Kata Siu-la m: “Dalam peta yang berwarna merah darah itu terdapat sebuah jalur putih yang bertuliskan beberapa huruf kecil, berbunyi:

Tiga puncak melindungi pusaka, lima racun menjaga pil. Angin jahat, api berkobar. Penuh dengan perubahan aneh. Rahasia ajaib jaman kuno. Mana boleh dia mbil se mbarangan. Masuk ke Telaga Darah. Mati jangan penasaran.

“Sungguh ber mulut  besar!” tiba-tiba orang tua gundul berjenggot hitam tadi me lengking lagi.

Tapi orang tua berambut putih tenang-tenang saja bertanya pada Siu-lam: “Cobalah ingat-ingat lagi, apakah masih ada tulisan lain?” Siu-la m menanda kan bahwa hanya itulah yang terdapat dalam peta tersebut.

“Bagaimana kepandaianmu?” tiba-tiba orang tua berambut putih bertanya.

Sudah tentu Siu-la m terbeliak dan sukar menjawab. Berselang beberapa saat baru ia berkata: “Sesungguhnya kepandaian wanpwe ini hanya tergolong jago kelas dua atau tiga saja. Terhadap ko-jin dari angkatan lo-cianpwe yang tadi, wanpwe tak ma mpu menandingi. Tapi terhadap jago silat kebanyakan, mereka bukanlah tandingan wanpwe.”

Tiba-tiba orang tua itu ulurkan tangannya lalu berkata: “Cobalah kau sa mbut pukulan loni ini untuk mengetahui sampai di mana kepandaianmu!”

Dan habis berkata terus dorongkan tangan kanannya ke wajah.

Siu-la m menghindar ke sa mping dan berseru: “Bagaimana wanpwe ma mpu me nerima pukulan lo-cianpwe?”

Orang tua itu tertawa: “Masakan untuk menguji kepandaianmu sendiri kau tak berani?”

Siu-la m terkesiap. Tiba-tiba ia rasakan serangkum tenaga menyerang dadanya sehingga jantungnya berdebar  keras.  Kini ia merasakan tak dapat menghindari lagi. Terpaksa ia empos tenaganya untuk bertahan.

Walaupun tekanan tenaga itu cukup dahsyat tapi begitu Siu-la m gerakkan tangannya menangkis, tenaga itupun berhenti.

Tiba-tiba orang tua berambut putih tersenyum: “A, tenaga dalammu cukup tangguh! Hati-hati loni hendak mena mbahi tekanan!” Seketika Siu- lam rasakan tenaga tekanan yang dideritanya makin lebih dahsyat lagi. Terpaksa ia kerahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi.

Tapi tekanan orang tua berambut putih ma kin menghebat. Pada saat Siu-lam sudah habis tenaganya, orang tua itu malah mena mbah tenaga tekanannya lagi. Huh… Siu- lam rubuh terjerembab ke belakang. Na mun ia mas ih dapat menyangga tubuh dengan tangan kiri, sedang tangan kanan tetap menahan gempuran si orang tua.

Berselang beberapa jenak lagi, Siu- lam merasa letih sekali. Tulang-tulangnya seolah-olah seperti tercerai berai sehingga ia tak dapat me mbuka mulut lagi.

Orang tua berambut putih itu tersenyum, serunya: “Hati- hatilah, loni hendak mena mbahi tenaga tekanan lagi!”

Ah, benar-benar ia lakukan apa yang dikata itu. Seketika Siu-la m rasakan darah dalam tubuhnya bergolak ke atas. Ruas-ruas tulang dan jalan darahnya, sakit bukan kepalang. Siku lengannya melentuk dan pingsanlah ia….

Ketika ia me mbuka mata, ternyata ia rebah di hadapan orang tua berambut putih itu. Buru-buru ia hendak bangun tetapi tubuhnya terasa nyeri sekali. Ruas-ruas tulangnya seperti terpisah-pisah. Ia menge luh: “Mati aku sekarang. Karena tadi terlalu banyak menggunakan tenaga, urat nadi dan tulangku tentu hancur. Ah, aku tentu menjadi seorang cacad seumur hidup.”

“Engkau sudah bangun?” tiba-tiba terdengar paderi tua berambut putih itu menegur dengan nada ra mah.

“Ya, jika aku tak tersadar lagi,  itu  lebih  baik!” sahut Siu-  la m.

Paderi tua itu tertawa: “Orang mas ih muda mengapa tak me mpunyai cita-cita. Dewasa ini dunia persilatan sedang dilanda kejahatan. Tenagamu dibutuhkan sekali. Mengapa enak saja mengucapkan ke matian?”

“Lo-cianpwe telah menghancur kan urat-urat nadi ruas tulangku. Kini aku sudah tidak dapat  berkutik,  mengapa masih disebut-sebut dalam dunia persilatan, hem….”

Paderi berambut putih itu tertawa: “Dunia persilatan akan me letakkan tugas berat di bahumu. Suruh engkau merasakan sedikit penderitaan saja, apa sudah dingin hatimu?”

Siu-la m hendak berkata tetapi tak jadi.

Paderi tua berambut putih itu menghela napas: “Ah, budak yang licik. Kau me mpunyai rahasia dalam hati mengapa tak mau mengatakan? Ai… cerdik dan banyak akal me mang tepat untuk melaksanakan beban besar. Hanya  dikuatirkan  dlam  me lakukan tugas itu, menggunakan keganasan tanpa kenal sedikit belas kasihanpun.”

Dia m-dia m Siu- lam terkejut karena paderi tua itu rupanya mengenal jelas perangainya.

Tiba-tiba paderi tua yang berjenggot hitam nyeletuk: “Engkau telah me makan kue Cwan- leng-kau yang dibuat oleh suhengku dari ra muan tangan, hati dan empedu beruang. Karena tiada api, suheng telah gunakan waktu dua belas jam untuk me mbuat kue itu. Tadi dia mendesakmu untuk adu tenaga agar kau benar-benar kerahkan seluruh tenaga dalam. Kemudian ia sambut dengan tenaga murni hasil peyakinannya selama berpuluh tahun. Lalu dikerahkan untuk  mene mbus jalan darah dalam tubuhmu. Suheng tak sayang mengorbankan hawa murni yang tidak kalah nilainya dengan jiwa karena hendak menciptakan suatu keajaiban yakni dalam waktu singkat akan menyusupkan tenaga dalam istimewa dari Siau-lim-si ke dalam tubuhmu. Hm, budak hina, tak perlu engkau harus berterima kasih,  tetapi pun jangan lancang mengucap kata-kata kurang ajar!” Serentak Siu-la m hendak menghaturkan terima kasih. Tetapi pada lain saat itu menimang. Adanya paderi angkatan tua dari gereja Siau-lim-si itu rela mengorbankan tenaga  murni kepadanya, tentulah karena me mpunyai maksud tertentu. Jika ia buru-buru me nghaturkan terima kasih, ia kuatir paderi tua itu malah akan me mandangnya  rendah. Maka ia tak jadi mengucapkan terima kasih.

Tampak paderi tua berambut putih itu setengah pejamkan mata. Jenggotnyapun  tampak  bergoncang-goncang. Rupanya dia tengah mempertimbangkan suatu masalah yang berat.

Sepeminum teh la manya, paderi itu me mbuka mata dan menatap Siu- la m, ujarnya: “Dewasa ini dunia persilatan sudah mulai keruh. Keganasan makin merajalela. Walaupun loni menguta makan welas asih, tapi sukar rasanya untuk melawan takdir.”

Ia    berhenti    sejenak    lalu    berkata     pula:     “Loni me mpertimbangkan untuk menyerahkan ilmu kesaktian yang loni peroleh sela ma bertapa tigapuluh tahun itu, padamu,..” tiba-tiba wajahnya berubah serius dan nadanyapun ma kin tegas: “Tapi kau harus bersedia me menuhi tiga syarat.”

Siu-la m tertawa: “Mohon lo-cianpwe sudi mengatakan tiga syarat     itu     lebih     dulu      agar      wanpwe      dapat me mpertimbangkannya.”

Paderi tua itu merenung sejenak lalu berkata: “Pertama, setelah me maha mkan ilmu sakti itu, kau harus me lindungi Siau-lim-si agar partai gereja itu tetap hidup di tengah dunia persilatan.”

“Sudah menjadi kewajiban, setelah menerima budi lo- cianpwe, wanpwe harus mela kukan tugas itu. Lalu yang kedua?”

“Yang kedua, harus menegakkan kepercayaan  dan kebajikan dalam dunia persilatan. Dan kau sendiripun harus benar-benar melaksanakan kedua hal itu, sekalipun harus ditebus dengan pengorbanan jiwa raga.”

Siu-la m menyahut: “Kepercayaan dan kebajikan, me mang me liputi luas sekali. Penuh dengan dalih-dalih yang berliku- liku. Tapi de mi balas budi locianpwe,  wanpwe berjanji akan me lakukan kedua hal itu dengan sepenuh hati. Dan bagaimana syara yang ketiga?”

“Yang ketiga ini, mungkin kau tak mau meluluskan.”

“Tak apalah. Karena lo-cianpwe belum menurunkan ilmu itu, apabila wanpwe tak sanggup menerima, toh lo-cianpwe pun tak perlu berikan ilmu itu.”

Dia m-dia m paderi tua itu menghela napas, batinnya: “Benar-benar seorang bocah lihay. Rupanya ia sudah perhitungkan bahwa aku mau tak mau  harus  mengajarkan ilmu itu kepadanya.”

Kemudian ia menyahut tegas: “Apa yang hendak loni ajarkan kepadamu, kebanyakan adalah ilmu pusaka dari Siau- lim-s i. Ilmu itu merupakan ilmu simpanan Siau-lim-s i selama seratus tahun. Yang dipahaminya, memang sedikit sekali. Bahwa loni terpaksa mengajarkan ilmu itu bukan kepada anak mur id Siau-lim-s i, sebenarnya sudah melanggar pantangan gereja. Tetapi karena keadaan memaksa, terpaksa loni bertindak menyimpang. Hanya pantangannya, jangan sekali- kali kau mengajarkan ilmu itu pada lain orang lagi. Sekalipun isteri dan anak, juga tak boleh!”

Siu-la m kerutkan dahi, ujarnya: “Tapi andaikata orang perhatikan dan pelajari gerak-gerak wanpwe pada saat bertempur, bukankah hal itu tak dapat diartikan wanpwe telah mengajar pada orang la in?”

Paderi tua berjenggot hitam tiba-tiba menyeletuk: “Benar- benar seorang bocah yang licin. Asal tak disengaja,  biarlah lain orang mencur i sedikitpun tak mengapa!” “Karena lo-cianpwe ber maks ud sungguh-sungguh hendak menyela matkan dunia, maka wanpwe pun akan melaksanakan dengan sepenuh hati,” kata Siu- la m.

“Sebenarnya suhengku masih me mpunyai harapan pribadi.

Tetapi dalam saat ini, dia tak mau mengatakan pada mu….”

“Sute, jangan…” cepat-cepat paderi tua berambut putih berseru.

“Silahkan lo-cianpwe mengatakan. Asal wanpwe ma mpu saja, pasti akan melakukan dengan sungguh-sungguh!” seru Siu-la m tegas.

Paderi jenggot hitam tertawa: “Bagus, akulah yang  akan me mber itahukan. Kelak apabila sudah berhasil me mpelajari ilmu kesaktian dari suheng dan keluar ke dunia persilatan, carilah Lo Hian dan te mpur lah dia. Jika  menang, bilang kepadanya bahwa Bong taysu mencarinya akan diajak adu kesaktian!”

“Kalau wanpwe kalah?”

“Bilang kepadanya bahwa Kak Hui menunggu kedatangannya untuk menetapkan siapa yang lebih unggul!”

Siu-la m menyatakan kesanggupannya.

Paderi tua berambut putih itu ternyata bergelar Kak Bong taysu. Sedang paderi tua berjenggot hitam Kak Hui taysu.

“Engkau bukan anak murid Siau- lim-s i,” kata Kak Bong taysu, “bagaimana watak perangaimu, sukar diketahui jelas. Adanya loni  dan sute menurunkan ilmu kesaktian itu kepadamu adalah karena hendak me minja m tanganmu untuk menyela matkan dunia persilatan dari kehancuran….”

Serentak wajah Siu-la m mengerut serius dan dengan khidmatnya menjura di hadapan Kak Bong taysu: “Atas kepercayaan yang lo-cianpwe limpahkan kepada wanpwe, Pui Siu-la m bersumpah, akan melaksana kan tugas dengan sepenuh jiwa raga. Apabila lo-cianpwe menganggap diri wanpwe masih kotor dan sukar diterima sebagai mur id gereja, wanpwepun tak berani me ma ksa. Hanya masih ada sebuah hal yang wanpwe kurang jelas dan hendak mohon penjelasan.”

“Berdasarkan pada tanda-tanda di wajah, maka loni dapat menilai watak seseorang. Sa ma sekali loni tak dapat mera mal. Jika me mpunyai persoalan, silahkan  engkau mengatakan. Sedapat mungkin, loni akan bantu menjelaskan!”

“Dalam ucapan lo-cianpwe tadi, samar-samar lo-cianpwe menunjuk bahwa wanpwe seorang yang berwatak licin tak jujur. Berpegang pada itulah maka timbul pertanyaan dalam hati wanpwe. Apakah dalam gereja Siau-lim-s i tiada seorangpun yang me menuhi syarat untuk mener ima warisan ilmu dari lo-cianpwe berdua. Bukannya  wanpwe  hendak meno lak kepercayaan lo-cianpwe tadi. Tetapipun tak mengharapkan lo- cianpwe berdua sampai  melanggar peraturan gereja. Apabila lo-cianpwe sudi me nunjukkan, wanpwe sanggup untuk mengaja k orang yang lo-cianpwe penuju, datang ke mari mener ima ajaran lo-cianpwe!”

Kak Bong taysu mengusap janggut tersenyum: “Bagus sekali pertanyaanmu itu. Mencari orang yang berbakat bagus dan berbudi luhur, tidaklah semudah seperti yang diucapkan. Di kalangan Siau-lim-si walaupun banyak anak murid yang berbudi luhur tetapi jarang yang me mpunyai bakat baik….”

Paderi tua itu menghela napas, ke mudian lanjutkan kata- katanya: “Ilmu silat me mang setiap orang dapat me mpe lajari. Tetapi yang dapat mencapai tingkat kesempurnaan, hanyalah mereka yang me mpunyai tulang dan bakat  bagus.  Orang yang begitu, sukarnya seperti mencar i jarum di lautan. Ratusan tahun yang lalu, tokoh-tokoh saktipun pusing untuk mencari ahli warisnya. Terpaksa harus menjelajah ke segenap penjuru dunia untuk mencarinya. Tetapi itupun belum tentu ketemu. Maka itulah sebabnya banyak sekali ilmu kesaktian yang lenyap. Andaikata ketemu dengan orang yang dicita- citakan,   demi   untuk   menge mbangkan   ilmu    dan menyela matkan dunia persilatan dari bencana, tokoh-tokoh itu tak ragu-ragu untuk mengangkat orang di luar perguruannya menjadi ahli waris. Dengan keterangan ini, harap sicu dapat mengerti!”

Siu-la m mengiyakan.

“Misalnya dalam kalangan Siau-lim-s i,” Kak Bong taysu lebih lanjut, “sejak Tat Mo cousu mendirikan gereja Siau-lim-  si, dengan kecerdasan yang gemilang dan bakatnya yang luar biasa, cousu telah delapan tahun berse medhi dan akhirnya dapat menciptakan kitab Tat- mo-ih- kin-cin- keng. Walaupun di ke mudian hari jumlah anak mur id Siau- lim-s i makin tambah besar, tetapi tiada seorangpun yang dapat memaha mi warisan ilmu Tat Mo Cousu itu. Siau-lim-s i me miliki tujuhpuluh dua  ilmu kesaktian. Tetapi hingga saat ini, loni belum mendengar bahwa di antara angkatan Siau- lim-s i yang terdahulu, ma mpu me maha mi benar-benar seluruh ilmu itu. Telah diatur cara latihan yang berlapis. Setelah diberi ajaran oleh sucou (guru) maka murid- murid  itupun mengadakan latihan bersa ma. Tetapi itu pun tak berhasil menciptakan seorang tokoh yang benar-benar mencapai kese mpurnaan….”

Paderi tua itu me nghela napas.

“Bukan ma ksud loni hendak menonjo lkan keadaan Siau-lim- si tetapi hanya sekedar menceritakan yang sebenarnya. Di dalam me milih anak mur id, Siau- lim-s i me mang keras. Dititikberatkan pada kecerdasan dan peribudinya, barulah diberikan ilmu sakti. Tetapi kehidupan di dalam gereja yang keras itu, me mang jarang orang yang dapat tahan. Banyak para  angkatan  tua,  telah  mencurahkan   hidupnya  untuk me mpe lajari ilmu silat, sehingga mereka tak pernah keluar ke masyarakat ramai. Maksudnya agar mereka tidak terganggu pikirannya oleh urusan dunia. Tetapi hasilnya pun kurang me madai. Yang ma mpu menguasai duapuluh satu  maca m ilmu sakti gereja Siau- lim-s i, dapat dihitung dengan jari….”

Berkata sampa i di sini, paderi tua itu merenung dia m. Berselang berapa jenak ke mudian baru ia menghela napas, ujarnya: “Menurut apa yang loni ketahui, sa mpai sekarang, Siau-lim-si telah turun-temur un berpuluh angkatan. Muridnya tak terhitung jumlahnya. Di antara mereka yang tergolong paling tinggi kepandaiannya, hanya dapat menguasai limapuluh empat maca m ilmu kepandaian saja….”

Kak Hui taysu nyeletuk: “Di dalam kalangan Siau-lim-s i, suhenglah satu-satunya yang dapat mencapai pertapaan selama t igapuluh tahun. Dengan de mikian dapatlah kiranya suheng dianggap sebagai satu-satunya murid yang ma mpu mencapai tingkat tertinggi.”

Kak Bong taysu gelengkan kepala: “Setelah bertapa selama tigapuluh tahun itu, barulah loni mengetahui kesusahan Lo Hian. Sekalipun tak rela menurunkan ilmu  kepandaiannya pada orang yang tak sesuai dengan cita-citanya, tapi dia tidak menghenda ki ilmu itu sa mpai turut lenyap bersamanya ke alam baka….” Ia menatap Siu- la m, ujarnya: “Begitulah susahnya mencari tunas berbakat!”

Serentak  Siu-la m  tersadar  dan  tersipu-sipu   berlutut  me mber i hor mat: “Banyak terima kasih atas petunjuk lo- cianpwe yang berharga itu.”

Wajah  Kak  Bong  siansu  berseri-seri:  “Walaupun   aku me langgar peraturan perguruan, tapi aku telah menurunkan hasil pertapaanku sela ma tigapuluh tahun kepada dunia. Asal kelak kau me mpergunakan ilmu itu de mi kejayaan Siau-lim-s i, loni tentu mati dengan tenteram di alam baka!”

Siu-la m mengangkat muka dan berkata dengan tandas: “Petunjuk lo-cianpwe itu, bagai lonceng pagi di hati wanpwe. Mengapa wanpwe tidak mati terlempar ke dalam jurang ini. Mengapa wanpwe pun tidak mat i dima kan beruang tadi. Beberapa bulan ini, wanpwe telah menga la mi bahaya maut dan peristiwa-peristiwa yang tegang. Kesemuanya itu ma kin mena mbah kesadaran hati wanpwe. Maka sekiranya diri wanpwe sebagai murid gereja Siau-lim-s i. Agar wanpwe dalam mengabdikan hidup wanpwe pada gereja….”

Sampa i beberapa jenak Kak Bong taysu menatap wajah pemuda itu. Ia bergeleng kepala:

“Engkau bukan selayaknya menjadi murid gereja.”

“Tetapi  tekad  wanpwe  sudah  bulat. Harap lo-cianpwe jangan mensia-siakan per mohonan wanpwe ini!”

“Se mua  sudah tersurat dalam takdir. Tak dapat manusia meno laknya!” kata Kak Bong taysu.

Masih Siu-la m mendesak: “Hidup wanpwe penuh kehampaan, jika lo-cianpwe sudi….”

“Obat takkan me matikan orang. Pengabdian aga ma Hud (Budha) hanya bagi orang yang berjodoh. Jangan mengulangi permintaan itu lagi!” tukas Kak Bong taysu.

Kak Hui taysu pun mena mbah keterangan: “Adanya suheng tak berani menerima permintaan karena me mpunyai maksud lain. Jika engkau mencukur ra mbut masuk ke dalam biara, siapakah yang akan mengangkat senjata untuk menumpas iblis-iblis di dunia persilatan?”

“Tetapi mohon lo-cianpwe suka mener ima dulu wanpwe menjadi murid Siau-lim-si. Setelah  tugas  menyelamatkan dunia persilatan itu selesai barulah wanpwe mela kukan upacara cukur ra mbut dan tinggalkan dunia kera maian.”

“Sedang seorang tokoh berbakat cemerlang seperti Lo Hian tetap tak berani melanggar kodrat. Apalagi aku yang kalah tinggi  dengan  Lo  Hian. Sudahlah,  percuma  saja  engkau  me mohon. Lekas mulai berse medhi, kosongkan pikiran. Loni segera hendak menurunkan pelajaran kepadamu.” Siu-la m menghe la napas. Terpaksa melakukan perintah paderi tua itu. Ia mula i berse medhi.

Dalam pada itu Kak Hui taysu gunakan ilmu menyusup suara Coan-bi-jib-bi, bertanya kepada Kak Bong: “Suheng, apakah benar-benar bocah itu tak berjodoh dengan Siau-lim- si?”

Jawab Kak Bong taysu: “Alisnya me mpunyai tiga kerut guratan. Pertanda jalan hidupnya penuh berlumuran budi dan dendam, cinta dan kebencian. Tak mungkin untuk melawan suratan takdir!”

“Kalau begitu dia kelak akan terjerumus dalam pergolakan soal wanita?” kata Kak Hui dengan nada kurang senang.  Ia me mang benci kepada orang yang gila paras cantik.

“Yang dikatakan budi dan denda m, cinta dan kebencian, belum tentu dapat digolongkan sebagai orang yang gemar paras cantik. Tetapi me mang dalam perjalanan hidupnya, bocah ini selalu terlibat dengan wanita. Dia tak  bersalah karena dialah yang selalu dilibat….”

Kak Bong taysu menghela napas pula, ujarnya: “Me mang karena kurang ke mantapan dia tak dapat menjalankan tugas- tugas agama kita. Tetapi dia benar-benar memiliki tulang dan bakat yang bagus sekali. Ya, benar-benar seorang tunas pilihan.”

“Setelah mendapat ilmu kesaktian, apakah kelak dia dapat menja lankan a mal perbuatan yang baik, ataukah dia akan mengikut i jejak Lo Hian yang me langkah ke jalan sesat. Maka meskipun kita dapat melahir kan seorang bintang ce merlang dalam dunia persilatan, tetapi kita pun telah menimbulkan sebuah bencana di dunia persilatan,” kata Kak Hui taysu.

“Ah, rasanya takkan sampai menjurus ke tingkat begitu,” kata Kak Bong, “yang nyata dia mempunyai perbawa angkuh sekali. Dikuatirkan sela ma me lakukan tugas me mbas mi kejahatan itu, dia akan melakukan pe mbunuhan tidak kenal kasihan.”

Kata Kak Hui pula: “Dewasa ini dunia persilatan tercengkeram oleh iblis- iblis jahat. Jika ada seorang gagah yang ma mpu me mberantas kejahatan itu, sudah tentu dunia persilatan akan menyambut girang. Maka tak perlu suheng cemas….”

“Ai, me mang suasana dewasa ini, memer lukan seseorang yang  seperti  dia.  Cerdik  dan   banyak  akal  serta   dapat  me lakukan siasat dengan racun mengobati racun. Ketika kita terluka dan lolos dari sanggar pertapaan ke mudian jatuh ke dalam jurang ini, secara kebetulan diapun jatuh tepat di atas kepalaku. Andaikata jatuhnya pada jarak setombak dari tempatku, tak mungkin aku dapat menyanggapi tubuhnya. Jelas bahwa peristiwa kebetulan itu, sebenarnya tersurat dalam takdir. Ini tepat sekali seperti yang diramalkan toa- suheng.”

Karena kedua paderi itu bicara dengan gunakan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi, maka Siu-la m tak dapat mendengarkan sa ma sekali.

Tiba-tiba Kak Hui teringat akan sebuah hal yang sangat penting. Ia gelengkan kepala dan menghe la napas lalu berkata: “Tetapi dewasa ini di dunia persilatan sudah mulai terjadi pembunuhan ganas. Mengajar ilmu kesaktian,  pun tentu tak dapat selesai dalam waktu yang singkat. Sampai seluruh kepandaian kita turunkan se mua kepadanya, dikuatirkan keadaan sudah terla mbat dan sukar meno longnya lagi.”

“Tetapi dia sudah me miliki kepandaian yang hebat. Aku hendak menggunakan cara perguruan kita Ih-goan-coan-sin untuk me mber inya pelajaran secara cepat. Dalam waktu tiga bulan saja, kiranya sudah dapat selesai.” Kak Hui terkesiap: “Apakah cara itu takkan me mbuat suheng menderita?”

“Keadaan sudah me maksa. Tiada lain pilihan  lagi. Tay Teng sutit dile mpar ke dalam jurang dan tubuhnya hancur lebur….”

“Mengapa aku tak tahu?” Kak Hui terkejut.

“Jenazahnya sudah dikubur anak muda itu,” kata Kak Bong. Wajah Kak Hui berubah tegang: “Kalau begitu gereja Siau-

lim-s i sudah diserang musuh!”

Kak Bong tertawa dan segera suruh anak muda itu segera me mpertunjukkan per mainan ilmu pedangnya.

Kedua paderi tua itu mengikuti dengan penuh perhatian ketika Siu-la m me mainkan ilmu pedang ajaran kakek dari Hian-song.

Siu-la m mainkan ilmu pedang Jiau-toh-co-hoa dengan pelahan. Tiga jurus kemudian ia berhenti: “Sebenarnya ilmu pedang itu terdiri dari delapan jurus tetapi wanpwe hanya ingat tiga jurus saja!”

Sambil mengangguk, berserulah Kak Bong taysu: “Walaupun hanya tiga jurus, tetapi cukup hebat. Jika engkau dapat mengingat keseluruhannya, keganasannya memang luar biasa.  Sebelum  mengetahui  keseluruhannya,   sukar   loni me mber i penilaian. Hendak merenungkan dahulu baru dapat me mber i keterangan!”

Siu-la m mengiyakan. Ia menandaskan lagi bahwa ilmu pedang Jiau-toh-co-hoa itu ter masuk keras dan ganas. Tidak segemilang dan sejujur ilmu pedang Tat- mo-kia m.

Kak Bong taysu merenung sejenak. Tiba-tiba ia kerutkan wajahnya: “Dahulu, empat partai besar telah mengepung wanita siluman yang bersenjata Chit-jiau-soh. Tetapi wanita itu tetap berhasil melo loskan diri, setelah melukai beberapa orang. Tay Ti sutit, salah seorang murid ce merlang dari Siau- lim-s i pun terluka dan binasa….”

Berhenti sejenak, Kak Bong taysu menghela napas: “Jika Tay Ti sutit mas ih ada, tentu takkan kuajarkan hasil pertapaanku kepadamu.”

Kak Hui yang dapat menangkap ke mana arah jatuhnya ucapan Kak Bong, cepat menyeletuk: “Apakah suheng teringat bahwa ilmu Jiau-toh-co-hoa itu ciptaan Lo Hian?”

“Benar,” sahut Kak Bong, “Jurus itu me mang sangat ganas sekali. Mirip dengan watak penciptanya, Lo Hian. Seorang yang sombong, me mandang rendah pada se mua orang di dunia. Jika siluman wanita dari  Beng-gak  itu  benar-benar anak mur id dari perguruan Lo Hian, ya, cukup hanya dengan jurus tadi saja, Siau- lim-s i pasti tak akan tertolong….”

Tiba-tiba Kak Bong berpaling pada Siu-la m:  “Sekalipun tiada ikatan guru dan murid, tetapi terdapat budi me mberi pelajaran. Aku dan sute telah menderita luka parah. Luka itu mene mbuh pada jalan darah yang penting. Jika tak ada kesempur naan hasil bertapa, mungkin saat ini ka mi berdua tentu sudah binasa. Apakah nanti kami berhasil me mulihkan urat-urat yang putus itu dan mendapat kembali tenaga sakti, belumlah berani kami pastikan. Tapi yang nyata, Siau-lim-si sedang di ambang kehancuran. Maka dalam menurunkan pelajaran sakti itu, aku hanya minta tukar  supaya  kau menyela matkan gereja Siau-lim-si.”

Serentak Siu-la m berbangkit dan ia berjanji: “Ah, janganlah lo-cianpwe  terlalu   sungkan.   Sekalipun  lo-cianpwe   tidak me mber i pelajaran, tapi wanpwe tetap akan membalas budi pertolongan lo-cianpwe yang telah me nyelamatkan jiwa wanpwe!”

Bergegas Kak Hui berseru: “Dia hanya pelajari Tat-mo-sam- kiam dan belum se mpurna. Apakah hanya dengan tangannya seorang, dapat mengatasi masalah gawat itu?” “Dalam keadaan begini tiada lain jalan kecuali harus berani menga mbil resiko, melepaskan kedua La m-pak-ji-koay itu. Mudah- mudahan dengan bantuan tenaga kedua orang itu, Siau-lim-si akan tertolong dari kehancuran!” kata Kak Bong taysu.

“Lebih baik me ncoba daripada diam saja!” Kak Hui menyetujui. “Harap suheng segera member i pesan kepadanya.”

Siu-la m pun mendesak agar paderi tua itu segera me mberi petunjuk  apa   yang  harus   dilakukan.   Ia   berjanji   akan me laksanakan dengan sekuat tenaga.

Kak Bong menghe la napas pelahan, ujarnya: “Di dalam menghadapi dua pilihan, kita harus menga mbil salah satu. Walaupun kedua La m-pak-ji-koay itu luar biasa ganasnya, tapi kepandaian mereka me mang jarang terdapat di dunia persilatan. Tiba-tiba ia berbangkit dan berkata pula: “Mari, kutunjukkan te mpat penjara mereka itu!”

Ketika mengikuti keluar, Siu-la m me mperhatikan bahwa kedua bahu paderi tua itu yang satu lebih rendah dari lainnya. Begitu pula jalannya agak terhuyung-huyung. Siu-la m terkejut. Ia tahu paderi itu benar-benar parah sekali lukanya.

Tiba-tiba Kak Bong cepatkan langkahnya. Tangannya tak mau me megang dinding karang lagi, ia bagaimana yang kita bayangkan, janganlah me mbebaskan kedua ji- koay itu.”

Tiba-tiba Siu- lam menyatakan keheranannya: “Waktu lo- cianpwe berdua bertapa, jarang diketahui orang. Bahkan sebagian besar anak mur id Siau- lim-s i sendiri banyak yang tidak tahu. Tapi mengapa orang Beng-gak dapat langsung mencari lo-cianpwe. Kalau hal itu hanya secara kebetulan  saja, rasanya kurang dapat diterima. Terus terang wanpwe curiga, jangan-jangan di dalam gereja terdapat cumi-cumi yang me mbocor kan rahasia pertapaan lo-cianpwe itu. Menurut pendapat wanpwe, saat ini Siau- lim-s i benar-benar terancam bahaya kemusnahan. Jika lo-cianpwe tetap berpegang pada welas asih, dikuatirkan Siau- lim-s i tak mungkin bangun lagi. Maaf, wanpwe tak mengerti soal ramalan atau perbintangan, tetapi hanya melihat  pada kenyataan saja.”

Siu-la m berhenti sejenak, ke mudian berkata pula: “Wanpwe mohon diri. Berhasil atau gagal, wanpwe tentu segera akan cepat-cepat kembali!”

Kak Bong me mandang bayangan pemuda yang bergerak gesit itu dengan helaan napas panjang.  Kemudian  ia  masuk ke dalam le mbah lagi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar